21 January 2008

Bab 19 : HAL YANG PALING PENTING ? (Analisa Terhadap Bab 16 Buku Rick Warren)

Bab 19
Hal yang Paling Penting ??

Pada bab 19 ini, kita akan mencoba menggali masing-masing pengajaran Rick Warren di dalam bab/hari keenambelas dalam renungan 40 harinya. Penggalian ini bisa bersifat positif maupun negatif dari kacamata kebenaran Firman Tuhan, Alkitab. Mari kita akan menelusurinya dengan teliti berdasarkan kebenaran Alkitab.

Pada bab ini, Warren mengajarkan tentang konsep yang paling penting di dalam Alkitab yaitu kasih, tetapi sayangnya apa yang ia paparkan tentang kasih hanyalah beberapa potongan konsep dari Alkitab bukan keseluruhan konsep dari Alkitab. Bahkan beberapa prinsip kasih yang ia ajarkan ada yang disisipi dengan konsep bukan dari Alkitab.
Pada halaman depan bab ini, halaman 137, ia mendahuluinya dengan kalimat, “Seluruh kehidupan berkisar pada kasih.” Selanjutnya, ia memaparkan bahwa kasih itulah yang membuat kita dapat menyerupai-Nya, karena kasih adalah dasar dari semua perintah yang diberikan-Nya kepada kita. Lalu, ia juga mengatakan, “Belajar mengasihi tanpa mementingkan diri sendiri bukan pekerjaan yang mudah. Hal ini bertentangan dengan sifat kita yang mementingkan diri sendiri.” Allah menginginkan kita mengasihi setiap orang, terutama sesama Kristen.

Komentar saya :
Memang benar, belajar mengasihi tanpa mementingkan diri sendiri tidaklah mudah, karena kita sedang hidup di mana semangat individualisme dan egoisme sedang dijunjung tinggi. Orang semakin susah untuk memberi, dan sebaliknya lebih mudah untuk menerima bahkan menerima hal-hal yang seharusnya tidak layak untuk diterima (uang suap, dll). Kasih ialah salah satu atribut Allah yang dikomunikasikan kepada manusia. Warren terlalu mendegradasikan makna kasih sejati. Fakta pertama yang sungguh terlihat pada pemaparannya tentang pendegradasian ini adalah ketika Warren mencoba menghilangkan satu prinsip bahwa atribut Allah yang Mahakasih tidak berdiri sendiri, tetapi bersamaan dan saling bersatu dengan atribut-atribut Allah yang lain, yaitu Mahaadil, Mahabijaksana, Mahakudus, dll, di mana atribut-atribut-Nya yang dapat dikomunikasikan ini seharusnya menjadi teladan untuk manusia terapkan. Kasih memang harus dilakukan oleh manusia, tetapi tentu saja kasih harus disertai dengan keadilan, kebijaksanaan, dll. Allah yang Mahakasih juga Allah yang Mahaadil yang tetap akan menghukum mereka yang menolak-Nya sebagai Tuhan dan Juruselamat (baca Yohanes 3:16-18). Allah yang Mahakasih juga rela menghukum dan menghajar anak-anak-Nya, seperti yang Rasul Yohanes ungkapkan di dalam Wahyu 3:19, “Orang-orang yang Kukasihi, merekalah yang Kutegur dan Kucambuk. Karena itu hendaklah kalian bersemangat, dan bertobatlah dari dosa-dosamu.” (Bahasa Indonesia Sehari-hari) Mengapa Warren tidak memaparkan ayat ini sebagai salah satu bukti cinta kasih Allah ?


Selanjutnya, pada halaman 138, ia memaparkan bahwa Yesus berkata bahwa yang membuat kesaksian terbesar bagi dunia adalah ketika kita mengasihi sesama kita (Yohanes 13:35). Lalu, ia mengajarkan bahwa kita bisa mengembangkan keterampilan mengasihi tatkala kita berada di dalam persekutuan yang akrab dan terus menerus dengan sesama orang percaya.

Komentar saya :
Pertama, fakta kedua yang terlihat dalam hal pendegradasian makna kasih adalah ketika Warren mengatakan bahwa yang membuat kesaksian terbesar bagi dunia adalah ketika kita saling mengasihi. Ini tentu tidak salah, tetapi bukan satu-satunya. Memang benar, orang dunia seringkali melihat keKristenan dari perbuatan yang mereka lakukan, tetapi sebenarnya yang paling penting adalah esensi, yaitu inti di balik perbuatan tersebut. Apakah esensi itu ? Iman di dalam Kristus. Tuhan Yesus mengajarkan, “Demikianlah hendaknya terangmu bercahaya di depan orang, supaya mereka melihat perbuatanmu yang baik dan memuliakan Bapamu yang di sorga.” (Matius 5:16) Orang dunia melihat perbuatan kasih kita seharusnya langsung membuat orang tadi memuliakan Tuhan, bukan memuliakan orang yang bertindak kasih tersebut. Orang dunia bisa saja bertobat dan menerima Kristus setelah melihat orang Kristen mengasihinya, tetapi jika terbatas pada kesenangan melihat perbuatan baik orang Kristen, suatu saat jika orang Kristen ini tidak lagi mengasihinya, otomatis orang lain yang melihat perbuatan kasih orang Kristen dahulu bisa sakit hati dan meninggalkan Kristus. Perbuatan kasih hanyalah respon atau efek dari iman. Satu-satunya yang membuat kesaksian terbesar bagi dunia adalah karya keselamatan Kristus di dalam Injil yang diberitakan. Itu esensinya. Jangan menghilangkan esensi untuk mendapatkan fenomena terselubung.
Kedua, melalui persekutuan dengan sesama orang percaya, apakah benar kita bisa mengembangkan keterampilan kasih kita ? TIDAK. Yang benar, perasaan emosi kasih kita bisa dikuduskan melalui pengenalan akan Allah dan firman-Nya serta inisiatif karya Roh Kudus yang menguduskan kita terus-menerus. Afeksi kasih kita tidak perlu dikembangkan tetapi dikuduskan ! Dua istilah ini berbeda esensi, kata “dikembangkan” menunjukkan usaha inisiatif manusia, sedangkan kata “dikuduskan” berarti afeksi kasih kita terus-menerus dikuduskan oleh Roh Kudus, sehingga kasih kita tidak bersifat humanis tetapi Theo-sentris yang memuliakan Allah.

Melalui persekutuan, Warren mengatakan bahwa kita belajar tiga kebenaran penting,
Kehidupan Paling Baik Dijalani Dengan Kasih
Kasih seharusnya menjadi prioritas utama, tujuan utama, dan ambisi terbesar Anda. Kasih bukanlah bagian yang baik dari kehidupan Anda ; kasih merupakan bagian terpenting...
... Dalam kehidupan Anda, hubungan harus mendapatkan prioritas di atas segala-galanya. Mengapa ?
Kehidupan tanpa kasih benar-benar tidak berharga...
Sering kali kita bertindak seolah-olah hubungan adalah sesuatu yang harus diselipkan dalam jadwal kita... Tetapi Allah berkata hubungan ialah kehidupan itu sendiri... Setelah belajar mengasihi Allah (penyembahan), belajar mengasihi sesama adalah tujuan kedua dalam kehidupan Anda.
... Apa yang terpenting bagi Allah digantikan oleh apa yang mendesak.
Kesibukan adalah musuh besar bagi hubungan. Kita dikuasai oleh pekerjaan mencari nafkah, ..., dan menyelesaikan berbagai hal seolah-olah tugas-tugas ini merupakan tujuan hidup. Bukan. Tujuan hidup adalah belajar mengasihi, yaitu mengasihi Allah dan sesama. Kehidupan tanpa kasih sama dengan nihil.
Kasih akan berlangsung selamanya....kasih itu kekal :...
Kasih meninggalkan suatu warisan. Bagaimana Anda memperlakukan orang lain,..., merupakan pengaruh yang paling bertahan lama, yang bisa Anda tinggalkan di sana...
Jangan menunda sampai mendekati ajal baru Anda memahami bahwa tidak ada yang lebih penting dari hubungan.
Kita akan dievaluasi berdasarkan kasih kita.... Salah satu cara Allah mengukur kedewasaan rohani adalah dengan kualitas hubungan kita. Di Surga Allah tidak akan berkata, “Ceritakan pada-Ku tentang kariermu, tabunganmu, dan hobimu.” Sebaliknya Allah akan meninjau bagaimana Anda memperlakukan orang lain, khususnya orang-orang yang membutuhkan pertolongan. Yesus berkata bahwa cara mengasihi Dia adalah dengan mengasihi keluarga-Nya dan memperhatikan kebutuhan-kebutuhan sehari-hari mereka : “Aku berkata kepadamu, sesungguhnya segala sesuatu yang kamu lakukan untuk salah seorang dari saudara-Ku yang paling hina ini, kamu telah melakukannya untuk Aku.” (Matius 25:40, Penulis)
Ketika Anda masuk ke dalam kekekalan, Anda akan meninggalkan segala sesuatu. Satu-satunya yang Anda bawa hanyalah karakter Anda. Itulah sebabnya Alkitab berkata, “Yang penting hanyalah percaya kepada Kristus, dan itu nyata dalam kasih kita kepada orang lain.” (Galatia 5:6b ; BIS) (Warren, 2005, pp.138-141)


Komentar saya :
Menurut saya, ada tiga kesalahan di dalam pandangan Warren ini.
Pertama, kasih memang terpenting, tetapi bukan berarti kasih menjadi ambisi terbesar manusia. Kata “ambisi” menunjukkan adanya kecanduan kita untuk mengasihi, padahal kasih bukan obat yang membuat seseorang kecanduan. Kasih sejati dapat dilakukan setelah kita mengerti bagaimana besarnya kasih Allah dianugerahkan kepada kita. Rasul Yohanes mengajarkan, “Kita mengasihi, karena Allah lebih dahulu mengasihi kita.” (1 Yohanes 4:19) Dengan kata lain, kasih kita baik kepada Allah maupun orang lain dengan pengertian yang benar muncul sebagai respon terhadap anugerah Allah yang telah mengasihi kita. Respon ini meskipun hanya respon terhadap anugerah Allah, tetap harus dijalankan dengan bertanggungjawab.
Kedua, Allah menguji kedewasaan rohani BUKAN dengan tindakan kita yang memperhatikan orang-orang yang kekurangan. Matius 25:31-46 sangat digandrungi oleh para pemuja “theologia” religionum/social “gospel” lalu mengajarkan bahwa kita harus membantu mereka yang kekurangan seperti yang “Tuhan Yesus” ajarkan. Benarkah kata “saudara-Ku yang paling hina” identik dengan orang-orang yang kekurangan ? Ev. Jon Hendri Foh mengungkapkan,
Dalam Injil Matius, pemakaian istilah “saudara-Ku” ini selalu dihubungkan dengan para murid Tuhan Yesus. Pada suatu kesempatan, Kristus bertanya, “Siapakah ibuKu? Dan siapakah saudara-saudaraKu?” Lalu kata-Nya, sambil menunjuk ke arah murid-murid-Nya: “Inilah ibuKu dan saudara-saudara-Ku.” (Matius 12:48-49). Di tempat lain, Tuhan Yesus berkata kepada murid-murid-Nya, “Tetapi kamu, janganlah kamu disebut Rabi; karena hanya satu Rabimu dan kamu semua adalah saudara” (Matius 23:8,1)… Berdasarkan realita penggunaan istilah ini oleh rasul Matius, Knox Chamblin berpendapat bahwa “Viewing the term adelphoi in this passage in light of its usage elsewhere in Matthew, I conclude that Matthew, like Jesus before him, refers to disciples.”(11) [Melihat istilah adelphoi (saudara) pada perikop ini (Mat.25:31-46) dari aspek penggunaannya di tempat lain dalam Injil Matius, saya menyimpulkan bahwa Matius, seperti halnya Tuhan Yesus, mengacu kepada para murid]. Jadi, jelaslah bahwa Tuhan Yesus mengidentikkan diri-Nya dengan para murid bukan dengan orang miskin.
Pengidentikkan ini ada hubungannya dengan tugas memberitakan Injil. Dalam melaksanakan misi pekabaran Injil, murid-murid menyandang status sebagai wakil Kristus, selaku utusan dan duta Injil-Nya. Beridentitas seperti ini, maka kehadiran murid-murid Tuhan Yesus adalah suatu kehadiran yang disertai dengan berita Injil yang menyelamatkan (the messengers with the message of salvation). “…Betapa indahnya kedatangan mereka yang membawa kabar baik” (Roma 10:15). Setiap orang berdosa yang hatinya terbuka dan menerima berita keselamatan yang diwartakan oleh para murid adalah sama dengan menyambut Tuhan Yesus sendiri yang hadir melalui pemberitaan mereka. Tuhan kita memang tidak lagi menjadi sosok yang hadir secara jasmaniah seperti saat Ia berinkarnasi 2000-an tahun yang lalu. Namun Ia tidak absen, sebab kehadiran-Nya terwakili melalui keberadaan para murid-Nya. Sistem perwakilan ini ditegaskan oleh Kristus ketika Ia berkata “Barangsiapa menyambut kamu, ia menyambut Aku,…” (Matius 10:40).(12) Karena itu, tidaklah heran bila nasib akhir umat manusia sangat ditentukan oleh sambutan mereka terhadap para murid Kristus yang datang dengan Injil keselamatan-Nya. Bagi yang menerima berita ini, hidup kekal telah tersedia untuk mereka. Sedangkan hukuman kekal akan dialami oleh mereka yang menolak. Hanya pemahaman yang menempatkan murid-murid Kristus sebagai saudara-Nya yang paling hina inilah yang konsisten dengan konteks dari Matius 25:31-46, di mana temanya adalah tentang penghakiman Allah atas setiap insan yang pernah hidup di dunia.
Dari perspektif pengidentikkan ini, kita pun dapat memahami secara benar arti dari tindakan memberi makan, minum, tumpangan, pakaian; melawat ketika sakit dan mengunjungi dalam penjara (Matius 25:35-36). Perbuatan-perbuatan ini adalah bukti kasih dan kepedulian dari orang-orang yang sudah menerima berita Injil terhadap para pemberitanya. Murid-murid Kristus adalah orang yang hidup berdasarkan panggilan Ilahi untuk melaksanakan tugas pemberitaan Injil. Seringkali tugas sebagai duta Kristus membuat hidup para murid akrab dengan kekurangan dan penderitaan. Rasul Paulus adalah contoh riil dalam hal ini. Bacalah 2 Korintus 6:4-10, 11:23-29 untuk mendapat gambaran tentang penganiayaan dan kekurangan yang dialami Paulus sebagai seorang utusan Injil Kristus. Kondisi kehidupan yang serba minim secara lahiriah dan berbagai penindasan juga seringkali dialami oleh hamba-hamba Tuhan di setiap zaman dan di seluruh penjuru dunia. Jika orang berdosa sudah menerima keselamatan melalui iman kepada berita Injil yang di-sampaikan murid-murid Kristus, maka sudah sepantasnyalah rasa syukur mereka atas keselamatan tersebut diwujudnyatakan melalui tindakan kasih yang peduli terhadap kebutuhan para murid. Sam-butan dan perhatian untuk murid-murid Tuhan adalah sama dengan perbuatan yang dilakukan terhadap Kristus. Sebab, Tuhan berkata “…sesungguhnya segala sesuatu yang kamu lakukan untuk salah seorang dari saudaraKu yang paling hina ini, kamu telah melakukannya untuk Aku.” (Matius 25:40).
…Dalam Matius 12:50, Tuhan Yesus mengatakan, “…siapapun yang melakukan kehendak BapaKu di sorga, dialah saudaraKu laki-laki, dialah saudaraKu perempuan, dialah ibuKu.” Dari terang pernyataan Kristus ini, kita dapat mengerti bahwa ungkapan “saudaraKu” ini tidak menyiratkan eksklusivitas, tidak terbatas hanya untuk murid-murid pertama melainkan sebaliknya bersifat inklusif, meliputi siapa saja yang merealisasikan kehendak Allah Bapa. Semua pengikut Kristus yang menjalankan tugas memproklamasikan berita keselamatan bagi dunia yang berdosa adalah murid Kristus, saudara-Nya.
(
http://www.gkagloria.or.id/artikel/a07.php)

Adalah suatu kegemaran bagi para “pendeta/pemimpin gereja” pemuja “theologia” religionum dan para theolog Injili (non-Reformed) yang suka sekali mengutip ayat Alkitab di luar konteksnya (metode eisegese). Pentingnya hermeneutika (tafsiran Alkitab) hanya disadari oleh satu golongan theologia, yaitu theologia Reformed, pertama-tama dari John Calvin dan ilmu ini terus diajarkan dengan ketat dan bertanggungjawab hanya oleh para theolog Reformed. Konteks yang berbicara tentang penghakiman di akhir zaman, dialihkan sehingga Warren dan para pemuja “theologia” religionum mengajarkan bahwa “saudara-Ku yang paling hina” diidentikkan dengan orang miskin. Ini tafsiran gila ! Allah menguji kedewasaan rohani kita dengan melihat iman kita di dalam hati dan pengertian kita. Tuhan tidak membutuhkan fenomena palsu (Tuhan tidak bisa ditipu oleh perbuatan munafik kita), tetapi Ia memperhatikan hati kita (esensi). Percuma kita bertindak kasih, tetapi hati dan pengertian kita tidak beres, Tuhan sangat muak melihatnya. Ketika perbuatan kasih kita keluar sebagai hasil iman dan pengertian kita yang beres di dalam Kristus sesuai Alkitab, maka Tuhan sangat suka dengan kita, tetapi jika tidak, kita akan mendapatkan murka Allah.
Ketiga, ketika Warren mengajarkan, “Ketika Anda masuk ke dalam kekekalan, Anda akan meninggalkan segala sesuatu. Satu-satunya yang Anda bawa hanyalah karakter Anda. Itulah sebabnya Alkitab berkata, “Yang penting hanyalah percaya kepada Kristus, dan itu nyata dalam kasih kita kepada orang lain.” (Galatia 5:6b ; BIS)”, ia tidak sadar akan adanya ketidakkonsistenan dalam pandangannya sendiri. Adalah suatu ajaran yang aneh jika mengajarkan bahwa ketika kita masuk ke dalam kekekalan, kita hanya membawa karakter kita, lalu mengutip Galatia 5:6b yang mengajarkan bahwa yang penting itu hanya percaya kepada Kristus. Inilah yang Warren lakukan. Jelas-jelas, Galatia 5:6b dengan mempertimbangkan seluruh perikop mengajarkan bahwa yang penting beriman di dalam Kristus dan iman itu menghasilkan perbuatan baik, itulah yang menyelamatkan, bukan perbuatan baik !

Selanjutnya, ia mengajarkan,
Pernyataan Kasih Terbaik Adalah Waktu
Pentingnya sesuatu bisa diukur dari berapa banyak waktu yang dengan rela kita investasikan di dalamnya...
Waktu merupakan pemberian Anda yang paling berharga karena Anda hanya memiliki serangkaian waktu... pemberian terbesar yang bisa Anda berikan kepada seseorang ialah waktu Anda.
...
Pemberian karena kasih yang paling diinginkan ..., melainkan Perhatian yang terfokus. Kasih begitu terpusat pada orang lain sehingga Anda melupakan diri Anda pada saat tersebut...(Warren, 2005, pp 141-142)

Komentar saya :
Kita memang diperintahkan Tuhan Yesus untuk mengasihi orang lain, tetapi tidak berarti kasih harus terpusat kepada orang lain sehingga kita melupakan diri kita pada saat itu. Inilah bukti ketiga dari pendegradasian makna kasih sejati ala Warren. Kasih sejati harus terpusat kepada dan di dalam Allah (1 Yohanes 4:19), bukan kepada orang lain. Dari sini saja membuktikan Warren tidak teliti memperhatikan konsep kasih yang Alkitab ajarkan. Kedua, Alkitab memerintahkan kita untuk mengasihi orang lain, tetapi tidak pernah Alkitab mengajarkan bahwa pada saat itu kita melupakan diri kita, kalau perlu sampai-sampai kita tidak sadarkan diri. Ini pengaruh dari ajaran cenayang atau psikologi atau sejenisnya. Kita diperintahkan untuk mengasihi orang lain, sesudah kita mengerti dan mengasihi Allah dengan bertanggungjawab (perhatikan susunan ini di dalam Matius 22:37-40). Dengan kata lain, kita hanya boleh mengasihi orang lain seperti diri kita sendiri selama kasih tersebut sesuai dengan prinsip kasih Allah yaitu kasih yang tidak memanjakan, kasih yang rela berkorban, kasih yang menghukum, kasih yang bijaksana, dll. Hal-hal inilah yang perlu disadari oleh banyak orang Kristen yang hari-hari ini begitu mengobral “kasih”, salah satunya Rick Warren !


Terakhir, ia memaparkan pada judul “Waktu Terbaik Untuk Mengasihi Adalah Sekarang” bahwa karena kita tidak mengetahui hari esok, maka kita perlu mengekspresikan kasih itu sekarang. Lalu, menurut Warren, di hadapan Tuhan, kita akan ditanyai tentang penggunaan waktu kita. Oleh karena itu, ia menyimpulkan, “Kehidupan paling baik dijalani dengan kasih. Kasih paling baik diekspresikan dengan waktu. Waktu terbaik untuk mengasihi ialah sekarang.” (Warren, 2005,143)

Komentar saya :
Memang benar bahwa kehidupan itu paling baik dijalani dengan kasih, tetapi Warren kurang menjelaskan bahwa kasih sejati hanya didapat di dalam Allah sebagai Sumber Kasih Sejati. Lalu, apakah benar kasih paling baik dieksperikan dengan waktu ? Jika demikian, apakah benar kasih Allah juga dapat diekspresikan dengan waktu, padahal Allah itu kekal dan tidak dibatasi oleh waktu ?! Bagi saya, kasih berhubungan erat dengan hal-hal, yakni, iman sejati di dalam Kristus dan pengharapan akan kedatangan Kristus yang kedua kalinya. Jika dua hal ini hilang, maka kasih itu bukanlah kasih sejati, melainkan kasih munafik yang pura-pura yang telah menghilangkan esensi kasih !

No comments: