Realita Murka Allah-1
Murka Allah Kepada Manusia-1
oleh : Denny Teguh Sutandio
Nats : Roma 1:18
Setelah kita membahas bagaimana orang percaya melalui imannya di dalam Kristus dapat hidup atau menikmati makna hidup sejati, maka Paulus “seolah-olah” mengganti topik pembahasannya mulai ayat 18. Tetapi yang sebenarnya tidak demikian. Paulus tidak sedang mengganti topik pembahasannya, melainkan membandingkan antara anak-anak Tuhan yang melalui imannya dapat hidup dan orang-orang dunia yang melalui “iman” di dalam dirinya sendiri pasti mati. Kalau di ayat 17, Paulus mengatakan “orang benar” yang berarti orang yang sudah, sedang dan terus-menerus dibenarkan Allah, maka di ayat 18, Paulus membuka suatu paradigma baru tentang kebalikannya, yaitu orang yang dengan sengaja menindas kebenaran dengan kelaliman. Perhatikanlah, “Sebab murka Allah nyata dari sorga atas segala kefasikan dan kelaliman manusia, yang menindas kebenaran dengan kelaliman.”
Sebelum di dalam ayat 18 ini muncul kata “murka Allah”, mungkin sebagian besar kita akan berasumsi bahwa Allah itu tidak pernah marah, karena Allah itu Kasih adanya. Itu anggapan konyol. Karena jelas-jelas, di dalam Perjanjian Baru, kata “murka Allah” dengan jelas muncul di dalam ayat 18 ini. Kata “murka Allah” identik dengan kemarahan Allah. Dari manakah murka Allah itu ? Alkitab menyatakan bahwa murka Allah itu datang dari Surga. Di dalam murka/kemarahan Allah, terkandung hukuman Allah. Lalu, apakah murka manusia identik dengan murka Allah ? Tidak. Murka manusia terjadi mayoritas karena adanya dendam yang disimpan (dengan banyak alasan yang tidak jelas bahkan dibuat-buat), tetapi murka Allah adalah murka Allah yang kudus dan kasih adanya. Dari Perjanjian Lama sampai Perjanjian Baru, kita dapat mengetahui prinsip-prinsip yang jelas dari murka Allah :
Pertama, murka Allah adalah murka yang penuh kasih. Ketika Allah murka kepada manusia, Ia tidak pernah mendendam seperti ketika manusia murka. Mengapa ? Karena murka Allah adalah salah satu atribut Allah yang tidak bisa terlepas dari atribut Allah lainnya yaitu Kasih. Raja Daud mengerti benar tentang kemarahan Allah yang penuh kasih, oleh karena itu, di dalam Mazmur 30:6, ia berkata, “Sebab sesaat saja Ia murka, tetapi seumur hidup Ia murah hati; sepanjang malam ada tangisan, menjelang pagi terdengar sorak-sorai.” Di sini, Daud mengerti bahwa Allah yang murka bukanlah Allah yang mendendam, tetapi Allah yang sebenarnya mengasihi umat pilihan-Nya. Murka-Nya membawa manusia lebih dalam untuk mengenal Allah. Hajaran-Nya menunjukkan bahwa Ia mempedulikan dan mengasihi kita. Di dalam murka-Nya, kita sebenarnya menemukan arti sukacita sejati. Sukacita sejati sebenarnya bukan sukacita tanpa ada hajaran Tuhan, tetapi justru melalui hajaran Tuhan, kita dikoreksi untuk menjadi lebih benar dan kita justru bersukacita di dalamnya. Seperti yang dilukiskan dalam Mazmur 30:6, Daud menyadari bahwa ketika Ia menghukumnya, Ia tetap mengasihinya. Buktinya, ia hanya mengalami kesengsaraan sebentar, lalu sukacita muncul setelahnya. Mungkin ketika kita mendapat murka Allah yang mengoreksi dan menegur kita mungkin secara keras, kita mungkin jengkel dan tersinggung, lalu menangis (band. Mazmur 30:6), tetapi justru yang tidak kita sadari adalah murka-Nya itu menempa dan mengajar serta memimpin kita untuk terus hidup di dalam jalan-Nya yang kudus. Penulis Ibrani mengungkapkan hal yang sama, “karena Tuhan menghajar orang yang dikasihi-Nya, dan Ia menyesah orang yang diakui-Nya sebagai anak.” (Ibrani 12:6) Kata “menghajar” dalam beberapa Alkitab terjemahan Inggris identik dengan kata menghukum untuk tujuan baik atau mendisiplinkan. Anak-anak Tuhan sejati bukan dimanja oleh-Nya, tetapi didisiplinkan, supaya mereka nantinya dapat menjadi berkat bagi orang lain dan kelak menjadi sempurna seperti Kristus. Anak Allah sendiri adalah teladan bagi kita, bahwa Kristus tidak dimanja oleh Allah Bapa, tetapi dibiarkan-Nya. Puji Tuhan, jika Kristus sebagai Anak sudah biasa dimanjakan oleh Bapa, maka kita pun bisa rusak, tetapi ketaatan Kristus kepada Bapa menjadi teladan bagi kita sebagai anak-anak Allah untuk terus-menerus taat kepada-Nya. Meskipun harus melewati penderitaan yang Ia izinkan, kita tidak perlu takut, karena ada Tuhan di sana yang memelihara kita.
Kedua, murka Allah adalah murka yang dahsyat. Ini jelas berbeda dengan murka manusia yang bisanya hanya membanting gelas atau piring atau memukul cermin. Ini namanya murka yang tidak mendidik, tetapi kerapkali dilakukan oleh banyak manusia yang tidak bertanggungjawab. Sungguh tidak masuk akal ketika manusia itu marah. Yang marah itu manusia, lalu yang menjadi bahan pelampiasannya adalah piring-piring, gelas-gelas, dll, lalu kalau pecah, manusia yang marah ini membeli piring, gelas, dll, lalu kalau marah, dipecahkan lagi, lalu membeli lagi, begitu seterusnya. Jadi, sebenarnya mereka membeli piring, gelas, dll hanya untuk dijadikan bahan pelampiasan. Itulah kemarahan yang tidak wajar dari manusia yang tidak wajar pula. Kemarahan manusia adalah kemarahan yang tidak berfaedah bahkan bisa mencelakan orang lain, misalnya bekas pecahan gelas, piring, dll akibat luapan kemarahan manusia tadi bisa membuat kaki orang lain berdarah. Tetapi tidak demikian halnya kemarahan Allah. Murka Allah memang adalah murka yang dahsyat, tetapi murka-Nya bukan bertujuan untuk mencelakakan orang lain dan tidak berfaedah. Pemazmur mengatakan, “Dahsyat Engkau! Siapakah yang tahan berdiri di hadapan-Mu pada saat Engkau murka?” (Mazmur 76:8) Di mana letak kedahsyatan murka Allah ? Daud berkata, “Lalu goyang dan goncanglah bumi, dan dasar-dasar gunung gemetar dan goyang, oleh karena menyala-nyala murka-Nya.” (Mazmur 18:8) Pemazmur di dalam Mazmur 88:17 juga berkata, “Kemarahan-Mu yang dahsyat menghancurkan aku;” Ketika murka-Nya yang dahsyat itu dinyatakan, jangan sekali-kali bermain-main dengan Allah, karena Allah kita adalah api yang menghanguskan (Ibrani 12:29). Murka-Nya yang dahsyat sekali lagi tidak terpisah dari konsep pertama yaitu murka-Nya yang penuh kasih. Murka-Nya yang dahsyat yang menunjukkan kedahsyatan kuasa-Nya bertujuan untuk menyadarkan dan mempertobatkan manusia dari dosa-dosa mereka.
Ketiga, murka Allah adalah murka yang kudus. Sekali lagi, satu atribut Allah tidak boleh dipisahkan dari atribut-atribut Allah lainnya. Ketika Allah itu menunjukkan murka-Nya, selain itu berkaitan dengan kasih-Nya, itu juga berkaitan dengan kekudusan-Nya. Allah yang murka adalah Allah yang Mahakudus yang membenci dosa. Di dalam diri Allah tidak ada dosa, sehingga Ia sangat membenci dosa. Ketika manusia mulai bermain-main dengan dosa, Allah tidak segan-segan menghukum mereka. Yang Allah benci adalah dosa, bukan manusia. Allah sangat membenci dosa, tetapi mengasihi umat pilihan-Nya yang masih berdosa. Salomo dengan tegas memperingatkan kita di dalam Pengkhotbah 5:5, “Janganlah mulutmu membawa engkau ke dalam dosa, dan janganlah berkata di hadapan utusan Allah bahwa engkau khilaf. Apakah perlu Allah menjadi murka atas ucapan-ucapanmu dan merusakkan pekerjaan tanganmu?” Di sini, penulis kitab ini mengaitkan konsep murka Allah dengan perkataan yang tidak bertanggungjawab. Saya pribadi menjumpai banyak orang dunia hari-hari ini pun (termasuk banyak dosen “Kristen” saya di kampus Petra, Surabaya) mengeluarkan perkataan dengan tidak bertanggungjawab. Mereka dengan sok tahunya berani mengatakan apapun yang mereka ketahui, seolah-olah membuktikan bahwa mereka itu pintar, akademis, berlogika, dll, padahal perkataan mereka najis di hadapan Allah. Di akhir pasal ini (ayat 6), penulis mengungkapkan bahwa banyak perkataan yang sia-sia, tetapi yang terpenting adalah takutlah akan Allah. Takut akan Allah yang akan menghakimi setiap perbuatan dan perkataan kita adalah lebih penting dari berkata hal-hal yang sia-sia. Ini himbauan Salomo yang terkenal dengan hikmat bijaksananya. Pikirkan dan renungkanlah, orang yang dikaruniai hikmat bijaksana saja seperti Salomo bisa rendah hati dan mengakui bahwa takut akan Allah lebih penting daripada kata-kata yang sia-sia, tetapi herannya banyak orang dunia (termasuk banyak orang “Kristen” dan “pemimpin gereja”) sudah tidak pintar, sok tahu pula, lalu mengeluarkan hal-hal yang tidak bertanggungjawab. Memang sangat ironis. Jangan bermain-main dengan murka-Nya, apalagi di dalam kita berkata-kata, perhatikan setiap perkataan kita. Begitu pula dengan pikiran, hati, perbuatan dan tingkah laku kita, perhatikanlah semuanya itu apakah itu memuliakan-Nya atau malahan mendatangkan murka Allah yang kudus menimpa kita. Paulus di dalam suratnya kepada jemaat di Galatia memperingatkan dengan tegas, “Jangan sesat! Allah tidak membiarkan diri-Nya dipermainkan. Karena apa yang ditabur orang, itu juga yang akan dituainya.” (Galatia 6:7) Allah yang tidak membiarkan diri-Nya dipermainkan identik dengan Allah yang tidak bisa ditipu atau diejek atau dihina oleh manusia. Albert Barnes dalam Albert Barnes’ Notes on the Bible mengungkapkan, “He knows what our real character is, and he will judge us accordingly. The word rendered “mocked” (μυκτηρίζω muktērizō), means, properly, to turn up the nose in scorn; hence, to mock, or deride, or insult.” Allah itu tidak bisa dipermainkan oleh manusia karena Ia mengetahui seluruh keberadaan kita termasuk hati kita yang paling dalam. Dengan kata lain, jangan menipu Allah, karena Allah itu Mahakudus dan Allah yang murka.
Lalu, setelah kita melihat tiga aspek murka Allah di atas, maka kita kembali pada ayat 18, kepada siapakah murka Allah dinyatakan ? Murka Allah dinyatakan dari sorga atas “segala kefasikan dan kelaliman manusia” Di sini, terjemahan Bahasa Indonesia Sehari-hari (BIS) menerjemahkan kata “kefasikan” dengan kata “dosa” dan kata “kelaliman” dengan kata “kejahatan” (“Dari surga Allah menunjukkan murka-Nya terhadap semua dosa dan kejahatan manusia,”) Dalam hal ini, BIS lebih tepat memakai kata “dosa” karena kata asli (Yunani)nya adalah asebeia yang menunjukkan salah satu arti dari dosa yaitu ungodliness (tidak beriman) atau impiety (tidak hormat kepada Tuhan) atau wickedness (jahat). Lalu, kata “kelaliman” dalam bahasa Yunaninya adikia yang berarti kejahatan/ketidakbaikan/ketidakadilan (secara hukum). Mengapa Paulus memisahkan kedua kata ini ? Karena ia ingin kita mengerti dua kata ini dalam pemikiran yang berbeda tetapi saling berkaitan. Kata “dosa” seringkali dimengerti sebagai tindakan-tindakan yang asusila seperti mencuri, merampok, membunuh, dll. Itu bukan dosa, tetapi akibat dosa. Dosa dalam bahasa Yunani bisa berarti meleset dari sasaran/arah (hamartia), atau juga bisa berarti tidak taat (asebeia), dll. Dari kata-kata tersebut, dosa identik dengan sikap hati yang pertama kali tidak mau mengakui Allah sebagai Allah. Ketika Hawa berdosa, dosanya bukan muncul ketika ia makan buah pengetahuan yang baik dan jahat, tetapi justru ketika ia memiliki hati yang mulai meragukan kebenaran Allah dan menyetujui racuan gombal dari iblis. Ketika manusia mulai meragukan kebenaran Allah, di situlah dosa muncul. Kejatuhan manusia pertama ke dalam dosa mengakibatkan seluruh manusia juga mewarisi dosa asal (original sin). Di dalam surat Roma, Paulus berkata bahwa Adam adalah representatif (wakil) manusia yang berdosa. Kepada dosa inilah, Allah sangat murka. Ditambah dengan poin kedua sebagai hasil/akibat dari dosa yaitu kejahatan (kelaliman), di mana manusia yang sudah jatuh ke dalam dosa memiliki tendensi hidup di dalam dosa, yang menguasai seluruh hati, pikiran, perkataan dan perbuatannya. Inilah yang disebut oleh Calvin sebagai kerusakan total (total depravity). Rusak total akibat dosa adalah seluruh keberadaan diri manusia sebagai gambar dan rupa Allah meskipun tidak hilang, tetapi sudah terpolusi oleh dosa. Inilah yang mengakibatkan mereka hanya memiliki satu keinginan yaitu melakukan apa yang jahat di mata Tuhan.
Lalu, apakah wujud dosa dan kejahatan manusia itu ? Wujudnya, “menindas kebenaran dengan kelaliman.” Atau terjemahan BIS mengartikannya, “kejahatan menghalangi manusia untuk mengenal ajaran benar tentang Allah.” Dosa dan kejahatan manusia digabungkan oleh Paulus dengan suatu wujud yaitu menindas atau menekan kebenaran dengan kelaliman. Mengapa manusia bisa demikian ? Karena manusia pada dasarnya tidak menyukai kebenaran Allah, sebaliknya mereka malahan mengagung-agungkan kehebatan dan kebenaran diri sendiri. Benarlah, apa yang dinubuatkan oleh Paulus kepada Timotius di dalam 2 Timotius 4:3-4, “Karena akan datang waktunya, orang tidak dapat lagi menerima ajaran sehat, tetapi mereka akan mengumpulkan guru-guru menurut kehendaknya untuk memuaskan keinginan telinganya. Mereka akan memalingkan telinganya dari kebenaran dan membukanya bagi dongeng.” Kalau di zaman Paulus, kejahatan yang menghalangi manusia mengenal ajaran benar tentang Allah adalah pengaruh budaya-budaya Yudaisme yang menitikberatkan Tauratisme sebagai jalan menuju surga dan Hellenisme dengan filsafat-filsafat Plato dan Aristotelesnya, maka di zaman postmodern ini, kita pun menghadapi wujud kejahatan yang menghalangi manusia mengenal ajaran benar tentang Allah yaitu relativisme, pragmatisme dan humanisme. Pertama, relativisme dengan ide gilanya yang “memutlakkan” kerelatifan ingin meracuni pikiran banyak orang untuk tidak lagi mempercayai Allah dan Alkitab. Mereka dengan nama beken terbarunya, “theologia” religionum/social “gospel” hendak mempelopori kebenaran, kebebasan, dll yang tanpa Allah dan Alkitab. Merekalah yang pasti mendapatkan murka Allah karena telah menghalangi manusia mengenal Allah dan wahyu-Nya, Alkitab. Kedua, pragmatisme mulai meracuni orang-orang dunia untuk selalu berpikir praktis dan melihat/mempertimbangkan segala sesuatu menurut asas manfaat/utilitarian (untung rugi). Dari kecil, filsafat ini sudah diindoktrinasi dengan tidak bertanggungjawab oleh banyak orangtua bahkan orangtua “Kristen” dengan mengatakan bahwa kalau mau mengerjakan sesuatu harus dihitung untung ruginya, lalu sampai dewasa, anak ini akan terus berpikir pragmatis, dan ketika anak ini diajak untuk menerima Kristus, ia akan berpikir tentang untung ruginya. Tetapi herannya, anak ini tidak segera sadar untuk mengoreksi ulang apakah filsafat pragmatis yang sudah diindoktrinasi ini juga memberikan untung rugi bagi dirinya. Inilah kelemahan fatal filsafat manusia yang berdosa yang menyerang diri sendiri. Manusia yang seperti ini yang pasti mendapat murka Allah karena telah menyimpangkan manusia untuk tidak mau lagi mengenal Allah yang benar. Tidak heran, manusia seperti ini bakal menciptakan “ilah” yang diproyeksikan dari pikirannya sendiri untuk membuat dirinya tambah untung. Ketiga, humanisme membuat manusia lupa diri dan meninggikan diri sebagai dasar kebenaran mutlak. Dari poin pertama dan kedua tadi, sebenarnya berintikan humanisme, di mana manusia menjadi ukuran kebenaran mutlak. Hal inilah yang membuat manusia tidak mau lagi mengenal Allah yang benar, karena merasa diri paling benar dan bahkan celakanya menganggap diri adalah “Allah” setelah dipengaruhi oleh filsafat gila dari Gerakan Zaman Baru yang beridekan Pantheisme. Yang paling celaka lagi, filsafat gila ini telah meracuni keKristenan melalui para hamba Tuhan yang belajar psikologi tanpa belajar theologia dengan benar yang akhirnya mempengaruhi banyak jemaat gereja menjadi seorang humanis murni dan boleh dibilang atheis (praktis). Jangan heran, kalau ada seorang dosen “Kristen” yang bolak-balik menggembar-gemborkan diri “melayani tuhan”, tetapi mengatakan dengan terang-terangan bahwa “religion dengan science itu tidak ada hubungannya”. Mereka itu orang Kristen ? TIDAK ! Mereka sebenarnya seorang penganut atheis praktis yang “setia dan taat”. Mereka inilah mungkin di mata dunia bahkan di dalam sebuah kampus “Kristen” dipuja-puji sebagai dosen yang “brilliant”, “baik”, “bijaksana”, dll, tetapi sebenarnya jika mereka tidak segera bertobat, mereka najis di hadapan Tuhan. Jangan mengira setiap orang Kristen itu pasti beriman Kristen, banyak dari mereka lebih beriman di dalam dirinya sendiri (humanis) atau di dalam materi (materialis). Itulah realitanya. Kepada merekalah, Allah menyatakan murka-Nya yang dahsyat yang berani mempermainkan wahyu-Nya dan menyelewengkannya dengan menganggapnya (wahyu Allah) sebagai salah satu kebenaran di antara semua kebenaran di dunia.
Saatnya, kita kembali kepada Allah di dalam firman-Nya yang menuntun kita satu-satunya kepada Allah yang benar dengan konsep yang benar pula. Hari ini, maukah kita kembali kepada-Nya dan firman-Nya, Alkitab sebagai penuntun hidup kita satu-satunya ? Amin.
No comments:
Post a Comment