05 March 2007

THEOLOGIA REFORMED & MANDAT BUDAYA

THEOLOGIA REFORMED & MANDAT BUDAYA :
HARUSKAH ORANG KRISTEN MENGERJAKANNYA ?


oleh : Denny Teguh Sutandio

“TUHAN Allah mengambil manusia itu dan menempatkannya dalam taman Eden untuk mengusahakan dan memelihara taman itu.”
(Kejadian 2:15)

Di dalam Kejadian 2:15 ini, Tuhan menciptakan dan menempatkan manusia di Taman Eden untuk dua hal yaitu mengusahakan dan memelihara taman itu. Kata “mengusahakan” dalam bahasa Ibrani ‛âbad (abad) bisa berarti melayani (serve) dan kata “memelihara” dalam bahasa Ibrani shâmar (shamar) yang bisa berarti melindungi (protect), meneliti (observe), memelihara (preserve), dll. Di dalam Taman Eden ini, Allah tidak membiarkan manusia tidak bekerja, tetapi manusia diperintahkan Tuhan untuk melayani dan melindungi/memelihara. Ini berarti ada campur tangan manusia di dalam dunia ciptaan Allah. Di dalam dunia ciptaan Allah, Allah menginginkan manusia bertindak pertama, yaitu melayani. Menjadi pelayan berarti menjadi budak (Yunani : doulos) yang tidak memiliki hak apa kecuali taat mutlak kepada perintah tuannya. Begitu juga setiap kita, selain disebut anak-anak Allah, kita juga disebut hamba Allah yang berarti pelayan-pelayan Allah yang tidak bertanya apapun kecuali taat mutlak kepada perintah Allah. Selain sebagai hamba, kita juga diperintahkan oleh Allah untuk memelihara atau melindungi atau mengawasi. Hamba memang taat mutlak, tetapi bukan berarti taat dalam fanatisme sempit. Taat yang Allah maksudkan adalah taat yang bertanggungjawab. Kita diperintahkan untuk taat sambil melihat, melindungi dan memelihara dunia ciptaan Allah. Ketaatan kita dalam melihat, melindungi dan memelihara dunia ini harus dilakukan dari kacamata kedaulatan Allah sebagai Pencipta alam semesta ini. Inilah yang disebut mandat budaya di dalam theologia Reformed.

Theologia Reformed membagi dua macam mandat orang Kristen yaitu mandat budaya, dalam arti orang-orang Kristen yang mengembalikan fungsi sebagai raja, imam dan nabi (di dalam perspektif theologia Reformed) harus mengintegrasikan iman Kristen di dalam setiap aspek kehidupan baik politik, ekonomi, sosial, hukum, pendidikan, dll sebagai reaksi untuk memuliakan Allah, dan mandat Injil, artinya orang-orang Kristen dipanggil untuk memberitakan Injil Kristus di tengah dunia berdosa. Banyak orang Kristen sibuk menggarap penginjilan dan melupakan mandat budaya. Oleh karena itu kita perlu mengerti apakah mandat budaya itu.

Mandat budaya dapat dibagi menjadi dua kata yaitu mandat yang berarti suatu perintah dan tuntutan yang harus dipatuhi dengan sikap ketaatan mutlak dan kata budaya yang berarti peradaban manusia. Di dalam theologia Reformed, Allah mewahyukan diri-Nya melalui dua sarana, yaitu wahyu umum yaitu penyataan diri Allah kepada semua manusia melalui alam semesta (eksternal) dan hati nurani (internal) dan wahyu kedua, yaitu, wahyu khusus yaitu penyataan diri Allah hanya kepada umat pilihan-Nya melalui Pribadi Tuhan Yesus Kristus (yang tidak tertulis/nyata) dan Alkitab (yang tertulis). Di dalam wahyu umum Allah, manusia meresponinya dengan dua hasil, yaitu munculnya sains dan kebudayaan sebagai respon terhadap wahyu umum Allah di dalam bentuk alam semesta dan munculnya agama sebagai respon terhadap wahyu umum Allah dalam bentuk hati nurani. Tetapi akibat dosa, semua bentuk reaksi manusia terhadap wahyu umum Allah pun pasti terpolusi oleh dosa, sehingga manusia tidak dapat mengenal apa yang Allah telah nyatakan dengan benar. Sehingga tidak heran, manusia bukan menyembah Allah, tetapi ilah-ilah buatan mereka yang mereka anggap sebagai “Allah”. Misalnya, di dalam agama dan kebudayaan, orang-orang Jepang menyembah matahari sebagai ilah mereka, padahal matahari adalah ciptaan Allah. Di dalam kebudayaan Tionghoa, hal serupa dapat dijumpai, ketika menguburkan orang yang sudah meninggal, banyak orang-orang Tionghoa (baik yang “Kristen” maupun non-Kristen) masih dipengaruhi oleh tradisi memberikan sesajen dalam bentuk rumah-rumahan dan uang-uangan lalu dibakar dengan maksud agar orang yang sudah meninggal dapat menikmati barang-barang yang dibakar tersebut. Mereka mengenal “Allah” dalam kondisi berdosa, sehingga yang mereka sembah sebenarnya bukan Allah, tetapi ilah-ilah yang mereka anggap sendiri sebagai “Allah”. Apalagi di zaman postmodern, Allah bukan lagi dimengerti sebagai Pencipta, tetapi sudah dianggap setara dan berada di dalam ciptaan, sehingga semua manusia adalah “allah” (man is “god”). Tidak heran, munculnya filsafat Gerakan Zaman Baru dan humanisme mendapat angin segar bagi orang-orang postmodern untuk semakin membanggakan diri sebagai manusia hebat, pandai, bahkan “allah” itu sendiri. Dan herannya, filsafat sesat ini telah meracuni keKristenan khususnya banyak dari kalangan Karismatik/Pentakosta dengan munculnya ajaran yang mengatakan bahwa “mintalah apa saja maka pasti diberikan” atau “katakan apa yang kau inginkan dan percayalah pasti kau menerimanya”. Filsafat ini sering disebut “Sebut dan Tuntutlah !” (name it and claim it !).

Sebagai respon manusia terhadap wahyu umum Allah di dalam bentuk alam semesta, akibat dosa, manusia bukan lagi menyelidiki alam semesta lalu mengembalikan pujian bagi Allah, tetapi justru sebaliknya, mereka semakin membudidayakan alam semesta tanpa memeliharannya dan yang lebih parah lagi, semakin menyelidiki alam semesta, mereka semakin membanggakan diri. Tidak heran, jatuhnya modernisme yang mengilahkan rasio melalui meletusnya Perang Dunia 1 dan 2 membukakan mata banyak orang. Tetapi herannya manusia bukan kembali kepada Allah, melainkan kepada iblis dengan tipu dayanya melalui filsafat Pantheistik di abad postmodern ini.

Semua wahyu umum Allah tidak diresponi dengan tepat oleh manusia. Mereka pikir tanpa Allah mereka bisa melakukan apa saja dan itu pasti berhasil, tetapi kenyataannya tidak bisa, karena manusia tetaplah terbatas. Ketika manusia berlomba-lomba ingin menjadi “allah” sesuai ajaran Buddhisme, manusia semakin gila, perang terus berkecamuk, dll. Itukah bukti bahwa manusia adalah “allah” ?! Kalau semua manusia adalah “allah”, bagaimana mungkin ada perang yang merupakan pertengkaran/perselisihan antara pribadi “allah” yang satu dengan pribadi “allah” yang lain ??!! Aneh, bukan ? Begitu pula halnya dengan alam semesta yang dipergunakan manusia secara tidak bertanggungjawab mengakibatkan diciptakannya bom atom yang merugikan dan membunuh banyak manusia yang tidak bersalah. Inikah namanya superioritas manusia ? Ini menjadi pertanyaan bagi kita dan seharusnya menjadi keinginan kita selanjutnya untuk mau kembali kepada Kebenaran Allah.

Tidak ada jalan keluar bagi persoalan manusia, kecuali kembali kepada Allah. Tetapi benarkah semua manusia mau kembali kepada Allah ? Jawabannya, tidak selalu. Mengapa ? Karena adanya dosa manusia. Oleh karena itu, sangatlah tepat, ketika theologia Reformed mengajarkan bahwa hanya orang-orang yang telah Allah pilih sebelum dunia dijadikan sajalah yang sanggup meresponi anugerah Allah. Ketika Allah sejati memilih beberapa dari antara umat manusia untuk menjadi anak-anak-Nya, itu adalah mutlak kedaulatan-Nya yang tidak bisa diganggu gugat oleh siapapun karena tidak ada yang lebih besar, berdaulat dan agung daripada Allah ! Oleh karena itu, sudah seharusnya orang-orang Kristen mengembalikan apa yang telah dirusak oleh orang-orang dunia ini kepada Allah dengan iman yang bertanggungjawab memimpin pengertian yang bertanggungjawab sesuai dengan wahyu khusus Allah di dalam Kristus dan Alkitab.

Tetapi bagaimana dengan sikap orang-orang Kristen di abad postmodern ? Maukah mereka melakukan perintah Allah dengan taat dan setia sampai akhir ? Saya akan membagi dua macam respon manusia yang menamakan dirinya Kristen terhadap perintah/mandat budaya dari Allah ini, yaitu :

Sikap pertama, MENOLAK. Ini adalah sikap orang “Kristen” yang “wajar” (sebenarnya dari kacamata Allah, sangat tidak wajar). Banyak orang yang mengaku diri “Kristen” bahkan yang lebih celaka “melayani ‘tuhan’” tetapi menolak mentah-mentah kalau harus mengintegrasikan iman Kristen di dalam kehidupan mereka. Mengapa ? Apakah mereka tidak mampu ? BUKAN ! Masalah paling serius adalah mereka TIDAK MAU. Mengapa tidak mau ? Karena mereka telah teracun oleh filsafat dari Plato bahwa yang jasmani tidak ada hubungan dengan yang rohani, sehingga muncullah pernyataan, “religion dengan science tidak ada hubungannya.”. Apakah ini yang Alkitab ajarkan ? TIDAK. Ini yang dunia ajarkan. Layakkah mereka disebut orang Kristen ? Sangat tidak layak. Tetapi herannya, orang-orang “Kristen” palsu inilah yang sangat dipuja dan dihormati oleh orang-orang dunia, mengapa ? Karena setan (kejahatan) berpelukan dengan setan (kejahatan) ! “Wajar”, kalau orang-orang dunia menghormati orang-orang “Kristen” palsu ini, karena orang-orang “Kristen” palsu sebenarnya bukan orang Kristen tetapi (mengutip perkataan dari Pdt. Dr. Stephen Tong) hanya anak-anak setan yang masih indekos di dalam gereja dan memakai plang “Kristen”. Mengapa saya mengatakan bahwa respon ini tidak wajar ? Karena sikap ini jelas-jelas menolak Allah sebagai Pencipta di titik pertama karena dia percaya bahwa alam semesta ini terjadi dengan sendiirnya (teori evolusi). Lalu, dia juga menolak adanya campur tangan Allah di dalam dunia ciptaan karena baginya, Allah hanya mengurusi masalah-masalah rohani dan bukan jasmani (pengaruh dari Deisme dan atheisme). Kemudian, dia juga menolak Allah mengunjungi manusia berdosa di dalam inkarnasi Kristus karena baginya tidak mungkin Allah yang Mahakudus mengunjungi manusia berdosa (pengaruh dari Deisme dan monotheisme ala Jusufroni/Islam). Di samping itu, dia juga menolak atribut manusia di dalam Pribadi Kristus karena baginya “tidak masuk akal” Allah beratribut manusia sekaligus Allah. Dan terakhir, dia juga menolak bahwa segala sesuatu di dunia ini harus memuliakan Allah karena baginya yang penting adalah kehebatan dan kemuliaan dirinya sendiri. Inilah kelima alasan mengapa sikap ini saya sebut sebagai sikap TIDAK WAJAR.

Sikap kedua, MENERIMA. Inilah sikap orang Kristen sejati di dalam meresponi mandat dari Allah. Perintah dari Sang Pencipta harus ditaati oleh ciptaan. Itu sangat wajar dan logis ! Kalau kita menciptakan robot dan robot itu tidak menaati perintah kita, maka kita pasti marah. Begitu halnya dengan Allah yang lebih besar dan agung dari ilustrasi saya tadi. Sikap menerima perintah Allah ini harus disertai dengan komitmen total dengan kesungguhan hati melakukan apa yang Allah perintahkan. Sikap ini juga menuntut harga yang harus dibayar, karena kita harus berperang dengan dunia yang berdosa ini yang telah dikuasai oleh iblis dan kroni-kroninya (mungkin di dalamnya termasuk banyak orang “Kristen” palsu).

Bagaimana kita dapat mengerti mandat budaya yang sejati ?
Mandat budaya yang harus ditaati ini kadang kala disalahmengerti. Mereka menganggap mandat budaya identik dengan bagaimana keKristenan mensinkronkan dengan budaya setempat (peleburan keKristenan ke dalam kebudayaan). Di dalam Katolik Roma, mandat budaya dibangun di dalam semangat humanisme. Hal ini selanjutnya dijiplak dan “diteladani” oleh banyak gereja Protestan mainline dengan ide social “gospel” atau “theologia” religionum pujaan mereka (yang mensinkretiskan iman Kristen dengan iman dari agama-agama lain). Selain itu, banyak orang Katolik juga ikut-ikutan sembahyang di depan arwah orang mati dengan alasan bahwa itu hanya tradisi/kebudayaan yang tidak berhubungan dengan agama. Di samping itu, di dalam Karismatik/Pentakosta, mandat budaya hampir sama dengan Katolik yaitu peleburan keKristenan supaya cocok dengan budaya. Tidak heran, musik-musik untuk kaum muda/i di dalam gereja mereka dibuat sama dengan musik di dalam diskotek. Itu sama sekali BUKAN mandat budaya ! Itu “pelacuran” iman atas nama budaya ! Tidak ada jalan lain, kecuali kita sebagai orang Kristen kembali kepada theologia Reformed yang paling sesuai dengan Alkitab. Ini jelas bukan mandat budaya. Di dalam theologia Reformed, mandat budaya dibangun dengan prinsip bahwa wahyu khusus menerangi dan menyempurnakan wahyu umum Allah dan kesalahan reaksi manusia terhadap wahyu umum Allah. Ini berarti ada otoritas Kristus dan Alkitab sendiri mentransformasi dunia ini. Misalnya, ketika di dalam Perjanjian Lama, Abraham, dll memiliki istri lebih dari satu, itu tidak “dipermasalahkan” oleh Allah, tetapi ketika di dalam Perjanjian Baru, orang harus memiliki istri hanya satu, karena itu merupakan gambaran antara Kristus dan jemaat (Efesus 5:23-33). Ini yang dinamakan wahyu khusus menerangi wahyu umum Allah dan kesalahan reinterpretasi manusia berdosa terhadap wahyu umum Allah. Oleh karena itu, di dalam theologia Reformed, kebudayaan yang sejati harus dikembalikan kepada Allah sebagai Sumber, dan Alkitab sebagai Firman-Nya yang mutlak, final dan berotoritas. Menolak mandat budaya dalam pengertian theologia Reformed berarti dua hal, pertama, mempercayai deisme yang mengajarkan bahwa Allah tidak memelihara ciptaan-Nya setelah Ia menciptakan dunia ini, dan kedua, mempercayai bahwa budaya itu sempurna dan keKristenan (dan Allah) itu tidak sempurna sehingga keKristenan (dan Allah) harus tunduk kepada kebudayaan.

Oleh karena itu, sudah seharusnya orang-orang Kristen sejati tidak lagi tergila-gila dengan dualisme ala Plato, tetapi hanya kembali kepada Alkitab. Orang Kristen yang tidak kembali kepada Alkitab sama sekali tidak layak disebut Kristen apalagi beriman Kristen. Maukah kita kembali kepada Alkitab ? Amin.

Denny Teguh Sutandio
akoloutheo2003@yahoo.com
dennyteguh@gmail.com
www.friendster.com/imagodei

No comments: