20 February 2008

Bab 37: BERPIKIR SEPERTI SEORANG HAMBA ATAU PELAYAN?? (Analisa Terhadap Bab 34 Buku Rick Warren)

Bab 37

Berpikir Seperti Seorang Hamba atau Pelayan ??

P

ada bab 37 ini, kita akan mencoba menggali masing-masing pengajaran Rick Warren di dalam bab/hari ketigapuluhempat dalam renungan 40 harinya. Penggalian ini bisa bersifat positif maupun negatif dari kacamata kebenaran Firman Tuhan, Alkitab. Mari kita akan menelusurinya dengan teliti berdasarkan kebenaran Alkitab.

Pada bab 34 ini, Warren mengajarkan tentang bagaimana kita sebagai seorang pelayan Kristus bertindak di dalam pelayanan yang Ia telah percayakan kepada kita.

Pada awal bab ini, ia mengajarkan,

Pelayanan berawal di dalam pikiran Anda.

Untuk menjadi seorang pelayan atau hamba dibutuhkan perubahan mental, suatu perubahan di dalam sikap Anda. Allah selalu tertarik pada mengapa kita mengerjakan sesuatu ketimbang pada apa yang kita kerjakan. Sikap lebih berarti daripada pencapaian... Pelayan-pelayan sejati melayani Allah dengan cara berpikir yang mengandung lima sikap... (Warren, 2005, p. 291)

Komentar saya :

Benarkah pelayanan itu berawal dari dalam pikiran kita ? Bukankah pada bab sebelumnya Warren telah membahas bahwa dari hatilah timbul segala perasaan/emosi, keinginan, dll ? Warren benar-benar tidak konsisten. Suatu keinginan untuk melayani timbul pertama-tama dari hati kita yang terdalam sebagai suatu respon terhadap anugerah Allah, lalu hati kita mempengaruhi pikiran kita dan pikiran kita akhirnya membuat kita bertindak di dalam pelayanan.

Kedua, memang benar, untuk menjadi seorang pelayan, kita juga perlu mengubah mental kita, yaitu sikap kita. Tetapi sebelumnya, ubahlah hati kita terlebih dahulu dan motivasi kita sehingga kita bisa melayani-Nya dengan bertanggungjawab dan dengan motivasi yang murni untuk memuliakan Allah. Setelah mengubah hati, kita perlu mengubah paradigma, lalu baru mengubah sikap. Tanpa mengubah hati, maka sikap kita meskipun diubah, tidak akan mengenai sasaran yang semestinya atau keluar dari hati yang tulus.

Selanjutnya, ia memaparkan tentang sikap dan cara berpikir seorang pelayan sejati yang melayani Allah yang pertama dan kedua,

Para pelayan lebih banyak memikirkan orang lain daripada diri mereka sendiri. Para pelayan mengutamakan orang lain, bukan diri mereka sendiri. Inilah kerendahan hati yang sejati : bukan menganggap diri kita kurang, melainkan kurang memikirkan diri kita sendiri. Mereka suka lupa pada diri mereka sendiri... Inilah apa yang dimaksudkan dengan “kehilangan nyawa Anda,” yaitu melupakan diri Anda dalam melayani orang lain. Ketika kita berhenti memfokus pada kebutuhan-kebutuhan di sekeliling kita.

... Anda tidak bisa menjadi seorang pelayan jika Anda penuh dengan diri Anda sendiri. Hanya bila kita melupakan diri kita sendiri barulah kita melakukan hal-hal yang layak untuk diingat.

Sayangnya, banyak pelayanan kita sering kali merupakan pelayanan pada diri sendiri... Ini adalah manipulasi, bukan pelayanan... Pelayan-pelayan yang sejati tidak berusaha memanfaatkan Allah demi tujuan-tujuan mereka. Mereka membiarkan Allah memakai mereka untuk tujuan-tujuan-Nya.

Sifat melupakan diri sendiri, seperti halnya kesetiaan, sangatlah jarang... Berpikir seperti seorang hamba atau pelayan sulit karena hal tersebut menantang masalah dasar dari kehidupan saya : ... Itulah sebabnya kerendahan hati merupakan pergumulan sehari-hari, sebuah pelajaran yang harus saya pelajari kembali berulang-ulang kali... Penyangkalan diri merupakan inti dan kepelayanan.

Kita dapat mengukur hati pelayan dalam diri kita melalui cara kita memberi respons ketika orang lain memperlakukan kita seperti pelayan. Bagaimana Anda bereaksi ketika Anda diterima biasa-biasa saja, diperintah, atau diperlakukan sebagai seorang yang tidak penting?...

Para pelayan berpikir seperti penatalayan, bukan pemilik. Para pelayan ingat bahwa Allah memiliki segalanya. Di dalam Alkitab, seorang penatalayan ialah seorang hamba yang dipercayai untuk mengelola harta... Keadaan sebagai hamba dan penatalayan berjalan bersamaan (1 Korintus 4:1 ; AITB), karena Allah ingin agar kita bisa diandalkan dalam keduanya.

Untuk menjadi seorang hamba atau pelayan sejati Anda harus menyelesaikan masalah uang di dalam kehidupan Anda... Hidup untuk pelayanan dan hidup untuk uang sama-sama merupakan tujuan-tujuan yang eksklusif. Manakah yang akan Anda pilih ? Jika Anda seorang pelayan Allah, Anda tidak bisa bekerja sambilan untuk diri Anda sendiri. Seluruh waktu Anda milik Allah. Dia menuntut komitmen penuh, bukan kesetiaan paruh waktu.

Uang memiliki potensi terbesar untuk menggantikan Allah di dalam kehidupan Anda. Lebih banyak orang tidak melayani karena materialisme ketimbang karena hal lainnya... Bila Yesus menjadi Tuan Anda, uang melayani Anda, tetapi jika uang menjadi tuan Anda, Anda menjadi budaknya. Kekayaan tentu bukanlah dosa, tetapi gagal memanfaatkannya bagi kemuliaan Allah adalah dosa. Pelayan-pelayan Allah selalu lebih peduli pada pelayanan ketimbang uang.

Alkitab sangatlah jelas : Allah memakai uang untuk menguji kesetiaan Anda sebagai seorang pelayan... Cara Anda mengelola uang Anda mempengaruhi seberapa banyak Allah bisa memberkati kehidupan Anda. (Warren, 2005, pp. 291-294)

Komentar saya :

Dari pengajaran kedua konsep pertama ini, saya menemukan beberapa pelajaran penting dan sedikit kelemahan.

Pertama, seorang pelayan Tuhan sejati, menurut Warren, “tidak berusaha memanfaatkan Allah demi tujuan-tujuan mereka. Mereka membiarkan Allah memakai mereka untuk tujuan-tujuan-Nya.” Hal ini benar, karena pelayan Tuhan tetap adalah pelayan, bukan bos, atau direktur. Posisi ini sebenarnya harus menyadarkan setiap pelayan Tuhan untuk merendahkan diri mereka di bawah pemerintahan-Nya, BUKAN malahan meninggikan diri bahkan “memerintah” Tuhan untuk mengabulkan apa yang mereka inginkan, seperti yang dibiasakan melalui pengajaran-pengajaran dari banyak “hamba Tuhan” gereja Karismatik/Pentakosta yang tidak bertanggungjawab. Mereka mengaku dan menyanyi dengan mulut bahwa Allah itu Mahakuasa BUKAN dengan motivasi benar-benar memuliakan Allah, tetapi dengan motivasi yang busuk yaitu ingin “menguasai”-Nya dengan mengeruk berkat-berkat-Nya. Sungguh busuk motivasi mereka yang mereka tutupi dengan tudung “rohani” ! Sebaliknya, seorang pelayan Tuhan sejati bersedia dengan segala kerelaan hati dan sukacita membiarkan Allah sendiri yang memakai kita sesuka hati-Nya untuk memenuhi apa yang dikehendaki-Nya (saya lebih menggunakan kata “kehendak-Nya” ketimbang “tujuan-Nya”).

Kedua, karena seorang pelayan Tuhan adalah seorang hamba yang tidak berguna yang telah dipanggil Allah untuk melakukan tugas-tugas dari-Nya, maka sudah sepatutnya para pelayan Tuhan memiliki suatu makna/semboyan hidup, “Penyangkalan diri merupakan inti dan kepelayanan.” Para pelayan Tuhan (termasuk semua anak Tuhan) harus menyangkal diri (Matius 16:24), baru dapat dikatakan seorang pelayan, karena dirinya hanyalah sebagai sarana yang dipakai-Nya untuk menyaksikan kasih, kebenaran dan keadilan-Nya di tengah dunia yang berdosa ini. Kalau seorang pelayan Tuhan tidak mau menyangkal diri, bahkan mengajarkan sebaliknya bahwa menjadi orang “Kristen” pasti kaya, tidak pernah terkena marabahaya, penyakit, bahkan tidak pernah digigit nyamuk, dll, mereka PASTI bukan pelayan Tuhan, karena Tuhan TIDAK PERNAH mengajarkan “theologia” kemakmuran seperti ini, melainkan setan yang mengajarkannya !

Ketiga, seorang pelayan bukan hanya sebagai pelayan, tetapi juga seorang yang mempertanggungjawabkan apapun yang telah Allah percayakan kepada-Nya (atau disebut penatalayan, menurut Warren), sehingga, “Jika Anda seorang pelayan Allah, Anda tidak bisa bekerja sambilan untuk diri Anda sendiri. Seluruh waktu Anda milik Allah. Dia menuntut komitmen penuh, bukan kesetiaan paruh waktu.” Hal ini benar, seorang pelayan Tuhan adalah seorang yang mengabdi hanya kepada Allah saja, bukan kepada yang lain. Oleh karena itu, alasan di dalam gereja-gereja Protestan dengan tegas melarang para pemimpin gereja berdagang atau mengerjakan pekerjaan-pekerjaan yang tidak ada hubungannya dengan gereja/pemberitaan Firman/pengajaran Alkitab/dll. Gereja-gereja Protestan sadar bahwa seorang pelayan Tuhan sejati bukanlah seorang yang hanya mengharapkan gaji, tetapi sungguh-sungguh melayani Tuhan secara penuh waktu dan untuk itu, Allah pasti mencukupi kebutuhan mereka sesuai kehendak-Nya. Hal ini jelas sangat bertentangan dengan banyak gereja-gereja Karismatik/Pentakosta, di mana banyak “pendeta” mereka bukan saja bekerja sambilan, tetapi menjadi direktur atau manager salah satu perusahaan, lalu kalau setiap kali kebaktian di salah satu gereja, setiap jemaat dimasakkan makanan dari perusahaannya. Saya mendengar ini dari cerita papa saya yang mengatakan hal ini terjadi di sebuah gereja Pentakosta di Banyuwangi.

Keempat, seorang pelayan Tuhan pun harus berhati-hati terhadap uang, karena, menurut Warren, “uang memiliki potensi terbesar untuk menggantikan Allah di dalam kehidupan Anda.” Hal ini benar, berhati-hatilah terhadap uang, karena uang bisa menggantikan posisi Allah di dalam hidup kita. Ini sudah terbukti. Hanya demi uang dan kekayaan, artis Lulu Tobing rela menukarkan iman Kristennya dengan “iman” palsu dari suaminya. Begitu pula, karena alasan uang, “hamba Tuhan” rela menipu jemaatnya dengan mengundang para pengkhotbah “top” di dalam gerejanya agar dapat menghasilkan uang melalui persembahan jemaat. Para pelayan Tuhan, jangan ditipu oleh uang, layanilah Tuhan dan jangan mengharapkan balasannya bahkan uang sekalipun. Kalau kita sebagai pelayan Tuhan diberi uang, marilah kita mempergunakannya bukan untuk kepentingan pribadi, tetapi untuk menggarap dan memperluas Kerajaan Allah. Teladanilah jiwa dari Pdt. Dr. Stephen Tong dan rekan-rekan dalam Stephen Tong Evangelistic Ministries International (STEMI) yang mempergunakan persembahan jemaat dengan sebaik-baiknya untuk mendukung pelayanan bukan hanya dari STEMI atau sejenisnya, tetapi juga pelayanan lainnya baik LAI (Lembaga Alkitab Indonesia), Voice of the Martirs (Kasih Dalam Perbuatan), dll.

Terakhir, saya agak kurang setuju dengan pendapat Warren, “Cara Anda mengelola uang Anda mempengaruhi seberapa banyak Allah bisa memberkati kehidupan Anda.” Di satu sisi, agak benar, karena Allah akan memberikan tanggung jawab yang besar kepada kita yang sudah setia dalam pekerjaan yang kecil, dan Ia juga lah yang akan memberkati kita karena kita telah mempertanggungjawabkan segala yang telah dipercayakan kepada kita. Tetapi di sisi lain, Allah yang memberkati kehidupan kita tidak pernah berdasarkan cara kita dalam mengelola uang. Allah memberkati kehidupan kita berdasarkan kerelaan kehendak-Nya yang berdaulat. Kalaupun kita sudah bertanggungjawab mengelola uang demi kemuliaan-Nya, tidak berarti Allah harus dan pasti memberkati kehidupan kita. Ada banyak cerita, di mana banyak pelayan Tuhan sudah benar-benar mengelola uang, tetapi Tuhan tetap tidak memberkatinya dengan berlimpah, tetapi berkecukupan, karena itu semua adalah kehendak-Nya. Kalau Ia memberkati, puji Tuhan, jika tidak, pun harus puji Tuhan !

Kemudian, ia menjelaskan tentang sikap dan cara berpikir seorang pelayan sejati yang melayani Allah yang ketiga dan keempat,

Para pelayan berpikir tentang pekerjaan mereka, bukan apa yang dikerjakan orang lain. Mereka tidak membandingkan, mengkritik, atau bersaing dengan pelayan atau pekerja pelayanan lainnya. Mereka terlalu sibuk melakukan pekerjaan yang telah Allah berikan kepada mereka.

Persaingan di antara pelayan-pelayan Allah tidaklah masuk akal karena banyak alasan : Kita semua berada di dalam tim yang sama ; sasaran kita membuat Allah terlihat baik, bukan diri kita sendiri ; kita telah diberi tugas-tugas yang berbeda ; dan kita semua dibentuk secara unik...

Tidak ada tempat bagi rasa iri hati yang picik di antara para pelayan. Ketika Anda sedang sibuk melayani, Anda tidak memiliki waktu untuk mengkritik. Setiap waktu yang dihabiskan untuk mengkritik orang lain merupakan waktu yang bisa digunakan untuk melayani...

Tugas kita bukanlah menilai pelayan-pelayan Tuhan lainnya. Alkitab mengatakan, “Siapakah kamu, sehingga kamu menghakimi hamba orang lain? Entahkah ia berdiri, entahkah ia jatuh, itu adalah urusan tuannya sendiri.” (Roma 14:4 ; AITB). Juga bukan tugas kita membela diri kita sendiri terhadap kritikan. Biarkanlah Tuhan Allah menanganinya...

...

Para pelayan mendasarkan identitas mereka di dalam Kristus. Karena mereka ingat bahwa mereka dikasihi dan diterima karena kasih karunia, para pelayan tidak harus membuktikan kelayakan mereka. Mereka dengan rela menerima pekerjaan-pekerjaan yang oleh orang-orang yang kurang percaya dianggap “tidak pantas” untuk mereka kerjakan. Salah satu teladan yang paling hebat tentang melayani dari satu citra diri yang kokoh ialah tindakan Yesus membasuh kaki para murid...

Jika Anda hendak menjadi seorang pelayan, Anda harus menaruh identitas Anda di dalam Kristus. Hanya orang-orang yang percaya diri yang bisa melayani... Semakin Anda tidak percaya diri, semakin Anda ingin agar orang lain melayani Anda, dan semakin Anda butuh penghargaan mereka.

... Ketika Anda mendasarkan nilai dan identitas Anda pada hubungan Anda dengan Kristus, Anda akan dibebaskan dari harapan-harapan orang lain, dan itu memungkinkan Anda untuk benar-benar melayani mereka dengan yang terbaik.

Para pelayan tidak perlu menutupi dinding-dinding mereka dengan piagam dan penghargaan untuk membuktikan pelayanan mereka...

... Semakin dekat Anda kepada Yesus, semakin sedikit Anda perlu untuk mempromosikan diri Anda sendiri. (Warren, 2005, pp. 294-296).

Komentar saya :

Saya mengamati ada dua kesalahan di dalam pandangan Warren ini khususnya pada sikap ketiga yaitu para pelayan Tuhan tidak boleh mengkritik para pelayan Tuhan lainnya.

Pertama, Warren mengajarkan, “Mereka tidak membandingkan, mengkritik, atau bersaing dengan pelayan atau pekerja pelayanan lainnya. Mereka terlalu sibuk melakukan pekerjaan yang telah Allah berikan kepada mereka.” Di satu sisi, perkataan ini memang benar, kita tidak boleh langsung menghakimi atau memfitnah para pelayan Tuhan lainnya secara membabibuta (hanya secara fenomena) tanpa melihat langsung esensinya. Tetapi, di sisi lain, kita tetap harus menegur (bukan menghakimi/memfitnah) pelayan Tuhan lainnya yang cara pikirnya tidak beres (doktrinnya tidak bertanggungjawab), dan perilakunya juga tidak beres. Apakah ini menghakimi ? TIDAK ! Itu yang Paulus lakukan kepada Petrus ketika Petrus bersikap munafik. Galatia 2:11-12 memberi tahu kita peristiwa ini, “Tetapi waktu Kefas datang ke Antiokhia, aku berterang-terang menentangnya, sebab ia salah. Karena sebelum beberapa orang dari kalangan Yakobus datang, ia makan sehidangan dengan saudara-saudara yang tidak bersunat, tetapi setelah mereka datang, ia mengundurkan diri dan menjauhi mereka karena takut akan saudara-saudara yang bersunat.” (Bahasa Indonesia Sehari-hari menerjemahkan ayat 11 ini, “Ketika Petrus datang ke Antiokhia, saya menentang dia terang-terangan, sebab tindakannya salah.”) Paulus dan Petrus adalah para rasul dan pelayan Tuhan, tetapi ketika melihat Petrus bersikap munafik, Paulus tidak segan-segan menentang atau menegurnya secara terang-terangan. Teguran terhadap dosa TIDAK menunjukkan adanya persaingan, tetapi sebagai wujud cinta kasih ketika teguran itu dilakukan dengan motivasi yang murni sesuai Firman Tuhan (bukan untuk menyombongkan diri).

Kedua, ketika Warren mengungkapkan sambil mengutip Alkitab, “Tugas kita bukanlah menilai pelayan-pelayan Tuhan lainnya. Alkitab mengatakan, “Siapakah kamu, sehingga kamu menghakimi hamba orang lain? Entahkah ia berdiri, entahkah ia jatuh, itu adalah urusan tuannya sendiri.” (Roma 14:4 ; AITB).”, saya agak kurang setuju dengan pendapatnya. Roma 14:4 berada di dalam suatu perikop pembahasan mengenai bagaimana kita tidak boleh menjadi batu sandungan bagi orang lain di dalam hal makan dan minum yang berintikan pada ayat 8 dan 17, di mana yang penting mereka hidup untuk Tuhan dan menggenapkan Kerajaan Allah. Soal makan dan minum itu hal yang tidak terlalu penting. Tetapi, apakah dalam hal ini, ketika kita melihat ada seorang pelayan Tuhan berdosa, lalu kita tidak perlu menegurnya, karena itu tidak penting ? TIDAK ! Itu penting, karena Salomo sendiri mengajarkan, “Orang yang memberi teguran akhirnya lebih dihargai daripada orang yang memberi sanjungan.” (Amsal 28:23 ; Bahasa Indonesia Sehari-hari). Kalau kita tidak menegur pelayan Tuhan yang berdosa agar dirinya bertobat, kita sedang menjatuhkan pelayan Tuhan tersebut secara tidak sengaja, karena kita telah membiarkan dosa melekat di dalam dirinya. Sikap diam terhadap dosa tidak berarti kita pasif tetapi justru kita sedang aktif menyetujui adanya dosa meskipun secara diam-diam (implisit), atau dengan kata lain, seperti pengajaran Salomo, kita sebenarnya sedang memberi sanjungan yang tidak perlu kita lakukan. Orang Kristen, jangan munafik ! Ingatlah perkataan Tuhan Yesus, “Jika ya, hendaklah kamu katakan: ya, jika tidak, hendaklah kamu katakan: tidak. Apa yang lebih dari pada itu berasal dari si jahat.” (Matius 5:37)

Terakhir, ia menjelaskan tentang sikap dan cara berpikir seorang pelayan sejati yang melayani Allah yang kelima,

Para pelayan memikirkan pelayanan sebagai sebuah kesempatan, bukan sebuah kewajiban. Mereka senang menolong orang, memenuhi kebutuhan-kebutuhan, dan mengerjakan pelayanan. Mereka “melayani TUHAN dengan sukacita.” (Mazmur 100:2 ; King James Version) Mengapa mereka melayani dengan sukacita ? Karena mereka mengasihi Tuhan, mereka bersyukur atas kasih karunia-Nya, mereka tahu bahwa melayani merupakan pemanfaatan tertinggi dari kehidupan, dan mereka tahu bahwa Allah telah menjanjikan satu pahala... (Warren, 2005, p. 296).

Komentar saya :

Benarkah melayani Tuhan itu sebuah kesempatan ? Bagi saya, tidak. Sebaliknya, apakah melayani Tuhan itu sebuah kewajiban, jika tidak, akan dihukum dan dikutuk Tuhan ? Itu juga TIDAK. Melayani Tuhan itu sebuah kewajiban yang tidak mengikat. Sama halnya dengan kita tidak boleh membunuh, kita melakukannya bukan dengan sikap terpaksa, tetapi dengan rela hati, karena kita mengerti esensi hukum yaitu cinta kasih (Matius 22:37-40). Demikian pula, ketika kita melayani Tuhan, meskipun itu suatu kewajiban, kita melakukannya dengan suatu sikap sukacita dan rela hati karena kita mengerti esensinya yaitu respon terhadap cinta kasih Allah. Ketika kita tidak melayani-Nya, maka Tuhan akan menuntut pertanggungjawaban kita, tetapi Ia tidak akan melemparkan kita ke dalam neraka karenanya (karena itu adalah buah dari iman kita).

Sudahkah kita melayani-Nya dengan sukacita dan rela hati serta bertanggungjawab untuk hasil akhir memuliakan-Nya ? Jika belum, marilah kita belajar melayani-Nya dengan menyangkal diri, memikul salib dan mengikut-Nya (Matius 16:24), karena itulah satu-satunya cara kita dapat melayani-Nya dengan pengertian yang beres ! Amin.

No comments: