07 July 2010

Eksposisi 1 Korintus 7:12-14 (Ev. Yakub Tri Handoko, Th.M.)

EKSPOSISI 1 KORINTUS 7:12-14

oleh: Ev. Yakub Tri Handoko, Th.M.



Nats: 1 Korintus 7:12-14



Target Nasehat: tois loipois
Bagian ini masih membahas tentang perkawinan, hanya saja kali ini Paulus memberikan nasehat kepada kelompok jemaat yang sebelumnya belum ia singgung. Ia menujukan nasehat di ayat 12-16 kepada “orang-orang lain” (LAI:TB, ayat 12a). Dalam bahasa Yunani dipakai kata tois loipois yang secara hurufiah berarti “kepada sisanya” (KJV/RSV/NASB/NIV “to the rest”).

Siapa yang dimaksud hoi loipoi dalam konteks ini? Ada petunjuk yang kuat untuk menafsirkan sebagai jemaat Korintus yang pasangannya tidak seiman. Ayat 12-16 membicarakan tentang seorang saudara atau saudari yang istri atau suaminya belum mengenal Tuhan. Hal ini juga didukung oleh konteks sebelumnya: ayat 8-9 tentang duda dan janda, ayat 10-11 tentang suami-istri yang sama-sama Kristen. Sekarang tinggal sisanya (hoi loipoi). “Sisanya” tidak mungkin suami-istri yang non-Kristen (tidak ada kena mengena antara Paulus dan mereka, bdk. 5:12-13) maupun mereka yang belum menikah (kelompok ini akan dibahas tersendiri di ayat 25-28). Jadi, eoi loipoi di ayat 12a harus dipahami sebagai jemaat Korintus yang pasangan hidupnya bukan orang percaya.

Kawin campur seperti di atas merupakan situasi yang tidak terelakkan ketika injil masuk ke budaya kafir. Situasi yang hampir sama juga dialami oleh orang-orang Kristen di perantauan (1Ptr. 3:1). Tidak semua orang seperti Stefanus yang diberi anugerah keselamatan untuk seisi rumahnya (1:16; 16:15). Dalam kasus-kasus lain, hanya suami atau istri yang menerima injil, sedangkan pasangannya masih menolak.

Mengapa kelompok ini perlu diberi nasehat secara khusus? Inti masalah yang sama dengan di ayat 1b. Jemaat Korintus menganggap bahwa orang yang rohani harus menjauhkan diri dari hubungan seks, karena bisa mempengaruhi kerohanian. Jika berhubungan seks dengan pasangan yang sama-sama seiman saja dipandang sebagai hal yang harus diajuhi (bdk. ay. 2-5), apalagi dengan pasangan yang tidak seiman. Mereka kuatir hubungan tersebut akan menajiskan mereka, karena itu mereka memandang perceraian sebagai tindakan yang tepat.

Sebagian penafsir lain mencoba menghubungkan nasehat ini dengan tindakan jemaat secara umum yang menjauhi orang-orang cabul dari dunia ini (5:9-10). Mereka menduga bahwa tindakan menjauhi orang dunia ini juga diterapkan oleh jemaat yang pasangannya non-Kristen. Menurut mereka, jemaat Korintus tidak mau melakukan hubungan seks dengan pasangan karena pasangan mereka telah melakukan percabulan.

Dugaan terakhir ini tampaknya tidak terlalu berkaitan. Selain karena letak pembahasan yang cukup jauh (disisipi perikop tentang kasus pengadilan di 6:1-11), 7:12-16 sama sekali tidak menyinggung tentang dosa percabulan. Di samping itu, semua problem di pasal 7 bermula dari konsep theologis yang salah tentang kerohanian dalam hubungannya dengan seksualitas.


Isi Nasehat (ay. 12b-13)
Di ayat ini Paulus memulai nasehatnya dengan ungkapan “aku, bukan Tuhan” (ay. 12a). Ungkapan ini berbeda dengan ayat 10, tetapi bukan berarti keduanya kontradiktif. Seperti sudah disinggung dalam khotbah sebelumnya, tidak ada perbedaan otoritas antara ayat 10-11 dan 12-16. Perbedaan hanya terletak pada sumber nasehat. Ayat 10 memang langsung berasal dari ajaran Yesus sendiri (Mat. 19:9//Mrk. 10:11-12//Luk. 16:18), sedangkan ayat 12-16 merupakan pendapat Paulus sendiri, karena pada jaman Yesus perkawinan campur memang belum menjadi isu yang penting. Yesus tidak pernah menyinggung tentang perkawinan campur.

Walaupun nasehat di ayat 12-16 tidak langsung berasa dari Yesus dan tidak terlalu ditekankan (“aku katakan”) seperti di ayat 10 (“aku perintahkan”), tetapi otoritas pernyataan ini tetap sama. Segala tulisan dalam Alkitab adalah hasil pengilhaman Roh Kudus (2Tim. 3:16). Lebih jauh, Paulus di 1 Korintus 7 menegaskan bahwa semua nasehatnya adalah nasehat “orang yang dapat dipercaya karena rahmat yang diterimanya dari Allah” (ay. 25) dan “memiliki Roh Allah” (ay. 40).

Isi nasehat Paulus di ayat 12b-13 adalah jangan bercerai. Perintah ini didasarkan pada kondisi bahwa pasangan yang tidak seiman mau hidup bersama. Ungkapan “mau hidup bersama” secara hurufiah berarti “setuju untuk tinggal bersama”. Kata spsneudokeĊ (LAI:TB “mau”) muncul 5 kali dalam PB (Luk. 11:48, orang-orang Yahudi menyetujui pembunuhan terhadap para nabi ; Kis 8:1//22:20, Paulus menyetujui pembunuhan atas Stefanus; Rm. 1:32, orang-orang tertentu setuju dengan dosa orang lain). Dari penggunaan di atas terlihat bahwa kata ini sebenarnya lebih berkaitan dengan aspek intelek (persetujuan) daripada emosi (kemauan). Dengan demikian Paulus di 1 Korintus 7:12-13 bukan hanya membicarakan tentang kemauan yang terpaksa, tetapi persetujuan intelek.

Selama pasangan yang non-Kristen setuju untuk tinggal bersama, maka jemaat Korintus tidak boleh mengupayakan perceraian. LAI:TB menerjemahkan larangan ini dengan “janganlah ia menceraikan”. Dalam beberapa versi bahasa Inggris larangan ini kurang mendapat penekanan (RSV/NRSV “should not”). NIV dengan tepat menangkap ketegasan dalam larangan ini dan menerjemahkan mh afietw dengan “must not divorce” (tidak boleh). Larangan ini memang bukan sekadar alternatif: selama pihak non-Kristen mau hidup bersama, maka pihak yang Kristen sama sekali tidak boleh mengusahakan perceraian.

Larangan untuk bercerai di ayat 12-13 tidak berarti bahwa Paulus menyetujui perkawinan beda iman. Kita perlu mengingat bahwa situasi di ayat 12-16 adalah pasangan yang dulu sama-sama tidak Kristen tetapi kemudian salah satu di antara mereka bertobat. Dengan kata lain, perkawinan ini “sudah terlanjur” terjadi, bahkan memiliki anak-anak (7:14b). Ketika Paulus menasehatkan beberapa jemaat untuk kawin, ia memberi batasan “asal orang itu adalah orang yang percaya” (7:39). Di suratnya yang lain kepada jemaat Korintus dia melarang orang Kristen menjadi pasangan yang tidak seimbang dengan orang yang tidak percaya (2Kor. 6:14-15). Sebagai seorang Farisi Paulus pasti sudah memahami berbagai larangan untuk kawin campur yang ada dalam PL (Ul. 7:3; Neh. 13:25).

Pandangan Paulus di 1 Korintus 7:12-13 sekilas berkontradiksi dengan perintah Ezra kepada bangsa Yehuda supaya mereka mengusir isteri-isteri mereka yang kafir (Ez. 10:3, 19). Bagaimanapun, penyelidikan yang teliti membuat kesan itu sirna. Walaupun dalam Ezra 10 tidak dijelaskan situasi perkawinan yang sebenarnya, namun kita dapat merekonstruksi situasi tersebut berdasarkan tulisan Maleakhi yang sama-sama melayani setelah pembuangan Babel. Dalam konteks Maleakhi 2:10-16 terlihat jelas bahwa bangsa Yehuda telah mengkhianati perjanjian dengan berbagai macam cara: menikahi perempuan kafir dan mengikuti ibadah mereka (10-11), menceraikan isteri masa muda yang adalah teman seperjanjian (ay. 14-15). Dalam situasi seperti ini mereka diperintahkan untuk menceraikan isteri-isteri mereka yang kafir supaya mereka kembali pada isteri muda masing-masing.


Alasan (ay. 14)
Setelah memberikan larangan yang tegas di ayat 12b-13 Paulus selanjutnya menjelaskan alasan di balik larangan tersebut. Alasannya adalah karena pasangan yang tidak seiman dikuduskan oleh pasangannya yang beriman. Kata “dikuduskan” memakai tense perfect yang menyiratkan tindakan di masa lampau yang memiliki akibat sampai sekarang. Beberapa orang menafsirkan tense perfect ini sebagai rujukan pada saat perkawinan, tetapi dugaan ini sebaiknya kita tolak karena sulit dibayangkan bahwa pasangan yang dulu sama-sama tidak beriman bisa menguduskan. Lebih bijaksana jika kita memandang pertobatan salah satu pasangan sebagai titik tolak di masa lalu yang membawa pengudusan bagi keluarganya.

Untuk memahami pernyataan Paulus di ayat ini kita perlu memperhatikan kata depan yang dipakai. Orang yang tidak seiman dikuduskan “dalam” (en) pasangan yang beriman. Walaupun pada masa Yunani Koine penggunaan kata depan agak tumpang tindih, tetapi dalam konteks ini kata depan en kemungkinan besar membawa arti yang umum, yaitu “di dalam”. Paulus tidak memakai kata depan dia (“melalui”, NASB/RSV/NIV) atau hupo (“oleh”, KJV/LAI:TB). Jika pembedaan kata depan ini diterima, maka Paulus tidak sedang memikirkan orang Kristen sebagai pelaku (“oleh”) atau instrumen (“melalui”) kekudusan.

Kekudusan tersebut diterima orang non-Kristen karena ia berada bersama di dalam orang Kristen. Maksudnya, karena perkawinan adalah “satu tubuh” (7:4; bdk. 6:15-16), maka keduanya dapat dianggap sebagai satu kesatuan. Jika yang Kristen dikuduskan oleh Allah, maka pasangannya yang non-Kristen juga dikuduskan.

Sekarang kita perlu membahas tentang makna kekudusan dalam konteks ini. Kekudusan di sini tidak berarti kekudusan theologis yang menyelamatkan, karena pasangan yang tidak seiman tetap sebagai orang yang tidak/belum percaya (7:16). Kekudusan theologis hanyalah bagi mereka yang ada di dalam Kristus dan memanggil nama-Nya (1:2) serta dibenarkan dalam Yesus melalui karya Roh Kudus (6:11). Pasangan yang tidak seiman dikuduskan dalam pasangannya yang beriman, bukan dalam Kristus. Kekudusan ini juga tidak berarti kekudusan secara moral, karena Paulus tidak mungkin ada kekudusan moral tanpa didahului oleh kekudusan theologis.

Kekudusan di sini lebih baik dipahami sebagai pengkhususan. Jika dalam satu keluarga ada anggota yang sudah percaya kepada Tuhan, maka Tuhan pasti akan memperlakukan keluarga itu secara khusus (dikuduskan). Jangankan hubungan suami-isteri, keberadaan Yusuf di rumah Potifar pun membuat Potifar turut merasakan berkat Tuhan (Kej. 39:1-5). Jika orang Kristen mau bertahan dengan perkawinan campur yang sudah terlanjur dia masuki, maka keberadaannya akan membuat pasangannya dikuduskan Tuhan di dalam dia. Dalam konteks 1 Korintus 7:12-16 Paulus memikirkan kekhususan ini dalam bentuk kesempatan mendengarkan injil yang lebih banyak (ay. 16; bdk. 1Ptr. 3:1). Dia mungkin memikirkan kekhususan-kekhususan yang lain, namun ia hanya menyebutkan salah satu di antaranya.

Penjelasan Paulus di atas sekaligus berfungsi sebagai koreksi terhadap kesalahan jemaat Korintus. Mereka beranggapan bahwa hubungan dengan orang yang tidak percaya akan menajiskan mereka, tetapi Paulus menyatakan sebaliknya. Orang percaya justru membawa pengudusan bagi pasangannya. Selama orang Kristen tetap hidup daam kebenaran dan tidak terpengaruh (bdk. 5:9-11) serta bertahan dalam pernikahan, maka keberadaannya akan membawa akibat positif bagi pasangan. Sama seperti roti sulung yang kudus membuat semau roti lain kudus atau akar yang kudus membuat seluruh pohon kudus (Rm. 11:16), demikian pula keberadaan orang percaya akan membawa kekudusan bagi keluarganya.

Untuk mempertegas alasan yang diberikan, Paulus mengaitkannya dengan keberadaan anakanak (ay. 14b). Dalam konteks berpikir orang percaya, anak-anak termasuk dalam lingkup umat perjanjian. Mereka disunat (PL) atau dibaptis (PB) sejak kecil sebagai tanda bahwa mereka bagian dari umat perjanjian yang pasti akan diperlakukan Tuhan secara khusus. Sunat atau baptisan itu memang tidak menjamin keselamatan mereka (mereka perlu menyatakan iman secara pribadi), tetapi hal itu sudah cukup untuk memposisikan mereka secara khusus di hadapan Allah.

Jika anak-anak dipercaya adalah anak-anak kudus, bagaimana bisa ayah atau ibu mereka yang tidak percaya dianggap najis? Jika anak-anak sebagai hasil perkawinan adalah kudus, bukankah perkawinan itu sendiri seharusnya juga kudus? Kalau jemaat Korintus bersikeras bahwa hubungan dengan pasangan yang non-Kristen akan menjaniskan mereka, maka mereka harus konsisten untuk menganggap anak-anak mereka sebagai anak-anak cemar. Dari alasan yang diberikan Paulus terlihat bahwa ia sedang mengajarkan jemaat untuk tidak egois dengan kepentingan mereka sendiri (mengejar “kerohanian”) dan mengorbankan orang lain. Jika mereka mengupayakan perceraian, maka pasangannya yang non-Kristen tidak akan mendapat manfaat positif apapun dari keberadaannya. Sebaliknya, jika ia bertahan – walaupun hal itu sulit dan tidak nyaman bagi dirinya sendiri – maka ia telah memberikan hal positif bagi seluruh keluarga. #





Sumber:
Mimbar GKRI Exodus, 10 Mei 2009
http://www.gkri-exodus.org/image-upload/1Korintus%2007%20ayat%2012-14.pdf

Ujilah Segala Sesuatu!-3: MENGUJI SEGALA SESUATU DAN MEMEGANG TEGUH YANG BAIK

UJILAH SEGALA SESUATU!-3:
MENGUJI SEGALA SESUATU dan MEMEGANG TEGUH YANG BAIK


oleh: Denny Teguh Sutandio



“Ujilah segala sesuatu dan peganglah yang baik.”
(1Tes. 5:21)

“Saudara-saudaraku yang kekasih, janganlah percaya akan setiap roh, tetapi ujilah roh-roh itu, apakah mereka berasal dari Allah; sebab banyak nabi-nabi palsu yang telah muncul dan pergi ke seluruh dunia. Demikianlah kita mengenal Roh Allah: setiap roh yang mengaku, bahwa Yesus Kristus telah datang sebagai manusia, berasal dari Allah, dan setiap roh, yang tidak mengaku Yesus, tidak berasal dari Allah. Roh itu adalah roh antikristus dan tentang dia telah kamu dengar, bahwa ia akan datang dan sekarang ini ia sudah ada di dalam dunia. Kamu berasal dari Allah, anak-anakku, dan kamu telah mengalahkan nabi-nabi palsu itu; sebab Roh yang ada di dalam kamu, lebih besar dari pada roh yang ada di dalam dunia. Mereka berasal dari dunia; sebab itu mereka berbicara tentang hal-hal duniawi dan dunia mendengarkan mereka. Kami berasal dari Allah: barangsiapa mengenal Allah, ia mendengarkan kami; barangsiapa tidak berasal dari Allah, ia tidak mendengarkan kami. Itulah tandanya Roh kebenaran dan roh yang menyesatkan.”
(1Yoh. 4:1-6)




Pada bagian ketiga dari tema menguji, saya akan membahas tentang langkah selanjutnya yang pertama setelah kita menguji, yaitu memegang teguh yang baik. Mari kita menyimak perkataan Paulus di dalam 1 Tesalonika 5:21, “Ujilah segala sesuatu dan peganglah yang baik.” Setelah menguji segala sesuatu, Tuhan melalui Paulus memerintahkan kita untuk memegang yang baik. Kata memegang dalam teks Yunaninya katekhete yang berasal dari akar kata katekho yang bisa berarti hold back (menahan) atau possess (memiliki). King James Version (KJV), New King James Version (NKJV), dan Young Literal Translation (YLT) menerjemahkannya hold fast (memegang erat). New International Version (NIV) dan International Standard Version (ISV) menerjemahkannya hold on to (berpegang pada). Pdt. Hasan Sutanto, D.Th. dalam Perjanjian Baru Interlinear Yunani-Indonesia (2006) menerjemahkannya peganglah teguh (hlm. 1096) Dalam struktur Yunani, kata ini berbentuk imperatif dan aktif. Dengan kata lain, setelah menguji segala sesuatu, kita dituntut untuk memegang teguh/erat-erat yang baik. Kata baik dalam teks Yunaninya adalah kalon yang berasal dari akar kata kalos yang dapat diterjemahkan baik, berguna, dll. Mengapa setelah menguji, kita perlu memegang teguh/erat-erat apa yang baik? Karena Tuhan ingin kita bukan hanya teliti menguji ajaran, namun kemudian tidak bertindak apa-apa, namun Ia ingin setelah kita teliti menguji, kita kembali memegang apa yang baik sesuai dengan wahyu khusus Allah. Pengujian atas segala sesuatu harus dilanjutkan dengan langkah selanjutnya yaitu berpegang teguh pada apa yang baik. Berpegang teguh pada apa yang baik mengandung beberapa arti, yaitu:
Pertama, ada suatu pendirian teguh. Melalui ayat 21 ini, Paulus memperingatkan jemaat Tesalonika untuk memiliki pendirian teguh. Artinya, di tengah maraknya filsafat Yunani yang beredar di Tesalonika waktu itu, para jemaat Tesalonika ditegur Paulus untuk tidak ikut filsafat tersebut dengan menguji kebenarannya dan juga berpegang teguh pada ajaran firman Tuhan yang jelas. Berarti, Kebenaran membuat kita berdiri teguh di tengah tantangan zaman di sekitar kita. Bagaimana dengan kita? Kita yang hidup di zaman postmodern pun memiliki tantangan serupa. Zaman postmodern dengan segudang racun filsafat dari materialisme, pragmatisme, empirisisme, atheisme (atheisme praktis), dll mencoba meracuni Kekristenan dan tidak menutup kemungkinan kita sebagai orang Kristen di dalamnya. Mampukah kita berdiri teguh dengan keyakinan yang tak tergoyahkan di tengah pluralitas dan relativitas dunia ini? Mampukah kita meneriakkan Kebenaran di dalam zaman yang rusak ini? Biarlah Roh Kudus memakai kita untuk berdiri teguh di dalam Kebenaran Firman (Alkitab) di tengah arus zaman yang melanda dunia kita.

Kedua, harga yang harus dibayar. Menarik, Matthew Henry di dalam tafsirannya Matthew Henry’s Commentary on the Whole Bible menafsirkan ayat ini dengan mengatakan bahwa kita harus berdiri teguh dan jangan melepaskan kebenaran yang kita percayai meskipun ada perlawanan dan penganiayaan mengancam kita. Dengan kata lain, kebenaran di dalam Kristus bukan hanya perlu kita pegang teguh di tengah zaman ini, kita pun harus rela dilawan dan dianiaya oleh orang-orang dunia demi kebenaran sejati yang kita pegang ini. Ingatlah bahwa Tuhan Yesus berfirman bahwa barangsiapa yang mengikut-Nya harus menyangkal dirinya dan memikul salib-Nya (Mat. 10:38; 16:24). Tidak ada jalan mulus tatkala kita mengikut Kristus, karena yang sedang kita ikuti, yaitu Kristus, di mana Ia bukanlah Pribadi yang berasal dari dunia dan ajaran-ajaran-Nya pun tidak cocok dengan filsafat dunia. Di dalam sejarah gereja, kita membaca bahwa Kekristenan terus-menerus dianiaya dan banyak dari mereka TIDAK melawan. Tetapi Tuhan bekerja dengan luar biasa. Di dalam penganiayaan karena nama-Nya, kita melihat Injil makin tersebar luas. Istilahnya, “makin dibabat, makin merambat.” Jika ada agama lain yang berkembang melalui perang, maka Kekristenan berkembang dengan begitu pesat justru melalui penganiayaan. Inilah paradoksikal iman Kristen yang tidak mungkin bisa dimengerti oleh orang dunia. Bagaimana dengan kita? Siapkah kita difitnah, dihina, dianiaya tatkala kita harus berdiri teguh di atas Kebenaran dan memberitakan Kebenaran kepada seseorang di dalam zaman ini? Biarlah Tuhan menguatkan komitmen kesetiaan kita kepada-Nya di tengah arus zaman yang kacau ini.

Tuhan yang telah menguatkan komitmen kesetiaan para hamba-Nya di dalam berdiri teguh di atas Kebenaran dan memberitakan Kebenaran (Paulus, Petrus, Yohanes, dan para rasul Kristus lainnya, Augustinus, Dr. Martin Luther, Dr. John Calvin, Dr. J. Gresham Machen, Dr. Francis A. Schaeffer, Dr. Carl F. H. Henry, dll) biarlah menguatkan komitmen kesetiaan iman kita juga kepada-Nya di dalam dunia yang kacau ini. Amin. Soli Deo Gloria.

Ujilah Segala Sesuatu!-2: WAHYU KHUSUS ALLAH SEBAGAI STANDAR PENGUJI (Denny Teguh Sutandio)

UJILAH SEGALA SESUATU!-2:
WAHYU KHUSUS ALLAH SEBAGAI STANDAR PENGUJI


oleh: Denny Teguh Sutandio



“Ujilah segala sesuatu dan peganglah yang baik.”
(1Tes. 5:21)

“Saudara-saudaraku yang kekasih, janganlah percaya akan setiap roh, tetapi ujilah roh-roh itu, apakah mereka berasal dari Allah; sebab banyak nabi-nabi palsu yang telah muncul dan pergi ke seluruh dunia. Demikianlah kita mengenal Roh Allah: setiap roh yang mengaku, bahwa Yesus Kristus telah datang sebagai manusia, berasal dari Allah, dan setiap roh, yang tidak mengaku Yesus, tidak berasal dari Allah. Roh itu adalah roh antikristus dan tentang dia telah kamu dengar, bahwa ia akan datang dan sekarang ini ia sudah ada di dalam dunia. Kamu berasal dari Allah, anak-anakku, dan kamu telah mengalahkan nabi-nabi palsu itu; sebab Roh yang ada di dalam kamu, lebih besar dari pada roh yang ada di dalam dunia. Mereka berasal dari dunia; sebab itu mereka berbicara tentang hal-hal duniawi dan dunia mendengarkan mereka. Kami berasal dari Allah: barangsiapa mengenal Allah, ia mendengarkan kami; barangsiapa tidak berasal dari Allah, ia tidak mendengarkan kami. Itulah tandanya Roh kebenaran dan roh yang menyesatkan.”
(1Yoh. 4:1-6)



Pada bagian kedua tema menguji, saya akan membahas pentingnya menjadikan wahyu khusus Allah (Kristus dan Alkitab) sebagai dasar penguji. Pada bagian ini, kita akan mengerti secara bertahap beberapa prinsip: obyek yang akan kita uji, alasan menjadikan wahyu khusus Allah sebagai dasar penguji dan kriteria-kriteria wahyu khusus Allah sebagai dasar penguji.


Pertanyaan dasar yang perlu kita ajukan adalah apa yang perlu kita uji? Ketika menguji segala sesuatu, kita sebenarnya hendak menguji kebenaran dari segala sesuatu yang kita uji. Apakah agama, doktrin/ajaran, filsafat, tradisi, kebudayaan, sains, dll yang diajarkan itu benar-benar benar atau separuh benar atau benar-benar tidak benar? Seperti yang telah saya uraikan di bagian 1 yang saya kutip dari Pdt. Sutjipto Subeno, kebenaran mencakup: universal, kekal, integral, dan moral, maka kebenaran sejati adalah kebenaran yang menyeluruh/holistik yang pasti mencakup keindahan/estetika, etika, keagungan/dignitas, konsistensi, dll, sehingga kebenaran baik dalam agama, ajaran, filsafat, kebudayaan, tradisi, dll yang tidak memenuhi salah satu dari kriteria tersebut, maka tidak layak disebut kebenaran, meskipun para pengikut dari ketidakbenaran itu mungkin banyak sekali (bdk. Mat. 7:22-23).


Jika yang hendak kita uji adalah kebenaran dari sesuatu: apakah sesuatu (agama, ajaran, filsafat, tradisi, kebudayaan, sains, dll) itu benar atau separuh benar atau sama sekali salah, maka tentunya kita memerlukan satu-satunya standar kebenaran yang mutlak yang bisa kita jadikan patokan untuk mengujinya. Tetapi, apakah ada kebenaran mutlak? Di zaman yang ngaco seperti zaman sekarang ini, banyak manusia berseru dengan “mutlak” bahwa tidak ada yang mutlak di dunia ini. Sambil mengatakan bahwa tidak ada yang mutlak, dia meneriakkan perkataan ini dengan semangat “kemutlakan”. Pdt. Dr. Stephen Tong menyebutnya sebagai self-defeating factor (faktor yang melawan dirinya sendiri). Jika tidak ada kebenaran mutlak, maka logikanya, perkataan ini pun seharusnya TIDAK perlu dihiraukan, karena perkataan orang ini pun sendiri TIDAK MUTLAK (pendengarnya boleh percaya dan boleh tidak percaya). Namun anehnya, sambil meneriakkan bahwa TIDAK ada yang mutlak, orang ini akan marah jika perkataannya ini tidak didengarkan dan diterima oleh para pengikutnya. Logika yang benar-benar aneh! Kembali, apakah ada kebenaran mutlak? Saya menjawab YA dan TIDAK. TIDAK, karena kebenaran mutlak memang TIDAK pernah akan dijumpai di dalam diri manusia, karena semua manusia telah berdosa dan merusak kemuliaan Allah (Rm. 3:23). YA, karena kebenaran mutlak hanya milik Sang Mutlak itu sendiri, yaitu Allah sendiri. Hanya Allah sajalah yang adalah Mutlak yang wajib sebagai standar kebenaran mutlak. Namun, Allah mana yang adalah Mutlak? Bukankah semua agama mengklaim menyembah Allah? Mari kita analisa. Kebenaran mutlak berasal dari Yang Mutlak (The Absolute One) dan tentunya Yang Mutlak itu haruslah berpribadi, karena jika tak berpribadi, bagaimana bisa dideskripsikan sebagai Yang Mutlak? Misalnya, penganut Pantheisme (yang nantinya memengaruhi Gerakan Zaman Baru) mengajar bahwa segala sesuatu adalah ilah, maka: air, batu, tumbuhan, hewan, manusia dll adalah ilah (atau lebih tepatnya: bersifat/mengandung unsur ilahi atau mikro kosmos). Jika segala sesuatu adalah ilah, maka tentunya tidak ada standar kemutlakan, karena ilah yang dipercayainya juga adalah yang tidak mutlak. Jika ilah yang tidak berpribadi tidak bisa disebut Yang Mutlak dan tentunya tidak mungkin menghasilkan kebenaran mutlak, maka satu-satunya Yang Mutlak adalah Allah yang berpribadi. Berkenaan dengan kepercayaan tentang Allah yang berpribadi, ada agama lain yang mengklaim bahwa mereka juga menyembah “Allah” yang berpribadi, yang tunggal, yang katanya diturunkan dari Abraham, namun telah “diselewengkan” oleh Musa dan Yesus. Benarkah “Allah” seperti itu adalah Allah yang Mutlak? Sungguh suatu ironis yang lucu, “Allah” yang diklaim “berpribadi” oleh agama ini ternyata hanya mampu menguasai satu bahasa saja (untuk “kitab suci”nya), namun “Allah” yang “berpribadi” tersebut mengklaim bahwa bahasa tersebut adalah bahasa “suci” yang haram untuk diterjemahkan.


Lalu, di manakah Kebenaran Mutlak dari Yang Mutlak itu? Tidak ada jalan lain kita mengerti Yang Mutlak dan Kebenaran Mutlak tersebut kecuali dari Allah sejati yang menyatakan diri-Nya. Banyak agama dan filsafat hanya menuntun manusia kepada sosok Allah secara umum, namun Allah sejati menyatakan diri-Nya secara khusus hanya kepada sekelompok orang yang telah dipilih-Nya. Allah sejati tersebut adalah Allah Tritunggal yang merupakan 3 pribadi Allah secara terpisah (yang memiliki kesamaan natur Allah) di dalam 1 esensi Allah (Dr. Cornelius Van Til mempertanyakan penggunaan “esensi” dan menggantinya dengan “pribadi). Allah sejati tersebut menyatakan diri-Nya kepada umat-Nya melalui wahyu khusus yaitu Tuhan Yesus Kristus (wahyu tak tertulis) dan Alkitab (wahyu tertulis). Melalui wahyu khusus-Nya yang tak mungkin berubah, kita dituntun dan dituntut untuk menguji kebenaran dari segala sesuatu baik agama, ajaran, filsafat, tradisi, kebudayaan, sains, dll yang bersifat sementara dan bisa berubah-ubah.


Jika wahyu khusus Allah menjadi standar penguji, maka prinsip-prinsip apa saja yang harus kita pelajari dari wahyu khusus Allah untuk menguji kebenaran dari segala sesuatu? Prinsip dasarnya diambil dari Roma 11:36 yaitu dari Allah, oleh Allah, dan untuk Allah. Prinsip ini akan dibagi menjadi tiga poin:
Pertama, dari Allah. Segala sesuatu yang benar harus bersumber dari Allah. Hati, akal budi, perkataan, tindakan, dll semuanya berasal dari Allah. Keberadaan ciptaan juga berasal dari Allah. Keselamatan yang diperoleh umat-Nya di dalam Kristus pun juga berasal dari Allah saja (hanya melalui anugerah Allah—Sola Gratia). Makin seseorang menyadari bahwa segala sesuatu adalah dari Allah, makin ia menyadari dan mensyukuri atas anugerah-Nya dalam hidup dan keselamatannya.

Kedua, oleh Allah. Artinya, segala sesuatu yang benar adalah sesuatu yang mengakui keterlibatan Allah di dalam setiap inci kehidupan manusia. Ajaran ini menekankan bahwa Allah memelihara manusia khususnya umat-Nya di dalam setiap inci kehidupan manusia bahkan keselamatan umat-Nya di dalam Kristus, sehingga umat-Nya tidak akan mungkin bisa binasa (kehilangan keselamatan).

Ketiga, untuk Allah. Apa yang Allah telah ciptakan dan peliharakan, Ia tentu akan menyelesaikannya sampai akhir dan seluruh tindakan-Nya hanya membawa kemuliaan bagi nama-Nya saja (Soli Deo Gloria). Makin seseorang menyadari bahwa kemuliaan hanya bagi-Nya, makin ia menyadari bahwa tidak ada satu inci pun jasa baik manusia yang layak diagungkan, karena segala sesuatu dikerjakan dengan begitu sempurna oleh Allah saja, khususnya di dalam keselamatan di dalam Kristus.


Setelah memperhatikan tiga poin di atas, maka bagaimana reaksi kita? Kebenaran macam apakah yang selama ini kita pegang? Jika kebenaran itu bukan kebenaran sejati, maukah Anda dengan pimpinan Roh Kudus menghancurkan kebenaran Anda selama ini yang salah dan kembali kepada kebenaran di dalam Kristus dan Alkitab? Biarlah Roh Kudus mencerahkan hati dan pikiran kita. Amin. Soli Deo Gloria.