04 February 2008

Matius 8:28-34: THE AUTHORITY OF CHRIST OVER SATAN

Ringkasan Khotbah : 06 Maret 2005

The Authority of Christ Over Satan
oleh : Pdt. Sutjipto Subeno, M.Div.

Nats: Mat. 8:28-34



Pada bagian pertama dari sub tema the discipleship of Christ ini Injil Matius mengambil dua contoh golongan murid, yakni: 1) golongan eksternal, yaitu orang Farisi, orang yang dianggap sebagai orang religius, dan 2) golongan internal, yaitu murid Tuhan Yesus sendiri. Melalui kedua contoh ini, Matius ingin membukakan pada kita bahwa Kristus sebagai pemegang kuasa tertinggi berotoritas mutlak atas manusia dan Dia menuntut setiap orang yang mau menjadi pengikut-Nya taat pada semua ketetapan-Nya. Di bagian kedua, Matius juga membukakan bahwa bukan hanya manusia saja yang harus tunduk pada Kristus sebagai pemegang otoritas tertinggi akan tetapi alam semesta pun juga harus tunduk pada-Nya. Tidak ada satu kuasa dari manusia manapun di seluruh alam semesta ini yang dapat meneduhkan angin ribut dalam sekejap dan hanya dengan sekali perintah. Hanya Dia yaitu Yesus, Anak Allah sang Pencipta dan Pemilik alam semesta ini yang mempunyai kedaulatan kuasa itu.
Di bagian ketiga, Matius membukakan bahwa kuasa Kristus bukan hanya sebatas manusia dan alam semesta saja. Tidak! Kristus juga berkuasa atas setan. Manusia paling takut dengan kuasa kegelapan. Masalah pelik mulai timbul, di satu pihak, manusia ingin lepas dari kuasa kegelapan itu namun di pihak lain, manusia tidak ingin lepas. Sebagai pengikut Kristus sejati, kita harus melepaskan diri dari segala bentuk kuasa iblis yang menjerat hidup kita bahkan kita harus mengubah pola berpikir kita yang selama ini telah dibentuk oleh setan. Dibandingkan dengan Injil Markus dan Injil Lukas, Matius yang paling singkat menuliskan bagian dimana Tuhan Yesus mengusir setan dari orang yang kerasukan setan. Matius tidak mencatat siapa nama setannya, berapa jumlahnya, dan lain sebagainya sebab memang bukan disana fokusnya. Fokus utamanya adalah otoritas Kristus atas dosa dan sikap manusia terhadap dosa.
1. Otoritas Kristus melampaui teritorial.
Tuhan Yesus pergi ke seberang, yaitu di daerah Gadara yang terletak di wilayah Timur sungai Yordan dan orang Yahudi menganggap wilayah Gadara sebagai daerah kafir seperti halnya Samaria. Orang Yahudi membatas dirinya sedemikian rupa sampai-sampai mereka rela berjalan memutar demi supaya kakinya tidak menginjak daerah orang kafir. Namun ke daerah yang dianggap kafir inilah Tuhan Yesus pergi. Tuhan Yesus mau menyatakan bahwa otoritas-Nya bukan hanya ada di wilayah Yahudi atau di tengah-tengah orang Yudea saja. Tidak! Otoritas Tuhan Yesus tidak dibatasi oleh wilayah atau teritorial tertentu; Kerajaan yang sedang Kristus genapkan bukanlah sebatas Kerajaan Israel seperti yang dimengerti oleh orang Yahudi. Tidak! Kerajaan Kristus adalah Kerajaan Sorga yang wilayahnya mencakup seluruh alam semesta. Secara konsep hal ini dimengerti oleh manusia namun secara konsep pulalah kita sulit mengimplikasikannya.
Abraham Kuyper, seorang teolog reformed sekaligus filsuf, politikus dan ilmuwan berpendapat kalau setiap orang Kristen sebenarnya tahu bahwa Yesus sebagai pemegang otoritas tertinggi berkuasa mutlak atas hidup manusia namun ketika hal itu diterapkan dalam kehidupan kita sehari-hari maka nyatalah sekarang bahwa Yesus tidak menjadi Raja dan Tuhan atas hidup kita. Seharusnya kita menyadari seperti halnya Abraham Kuyper: “tidak ada satu inci pun di dalam hidupku dimana Tuhan tidak berkuasa atasnya.“ Kristus adalah otoritas tertinggi maka Ia tidak dibatasi oleh suatu wilayah teritorial tertentu dan sebagai pemegang otoritas tertinggi, Ia berhak atas semua aspek hidup kita. Sayangnya, manusia tidak memperkenankan Tuhan menjadi Raja dan Tuhan atas hidupnya, manusia membatasi otoritas Tuhan hanya sampai di wilayah tertentu saja. Apakah kita akan menjadi lebih bahagia dan beruntung ketika kita memutuskan lepas dari tangan Kristus? Yang menjadi pertanyaan sekarang adalah bisakah manusia itu independen murni ketika ia memutuskan untuk lepas dari tangan Kristus? Hal ini merupakan cerminan dari semangat kebebasan manusia yang ingin mengeksistensikan dosa. Orang tidak menyadari lepas dari Kristus justru akan menghilangkan makna terpenting dalam hidup mereka.
Ironisnya, banyak orang berpikir sebaliknya yakni menjadi anak Tuhan membuat hidup susah sebab terlalu banyak larangan. Pikiran seperti ini persis seperti anak kecil, ia akan marah ketika dilarang orang tuanya bermain pisau. Anak kecil tidak pernah berpikir kenapa larangan itu dibuat sebab pemikirannya belum sampai pada pengertian bahwa pisau itu akan membahayakan dirinya. Bukan tanpa alasan kalau Tuhan membatas kita sedemikian rupa dengan larangan-larangan. Otorisasi Allah bukanlah dictatorship yang dengan semena-mena membatas kita tanpa alasan. Tidak! Semua itu Kristus kerjakan demi untuk kebaikan kita, yaitu supaya kita diselamatkan, supaya kita hidup dalam kebajikan dengan demikian “gambar dan rupa Allah“ itu termanifestasi dalam hidup kita. Ironisnya, manusia ingin keluar dari panggilan Tuhan. Coba pikirkan, sampai dimanakah kekuatan tangan, kaki dan otak kita sehingga dengan kemampuan sendiri kita dapat lepasi dari situasi dan jepitan dunia yang rusak ini? Firman Tuhan menegaskan bahwa pada hari-hari terakhir akan datang masa yang sukar; manusia akan mencintai dirinya sendiri dan menjadi hamba uang (1Tim. 3:2).
Celakanya, hari ini, banyak orang Kristen yang hidupnya tidak mencerminkan hidup sebagai anak Tuhan sejati, banyak anak Tuhan yang telah dikuasai iblis. Sesungguhnya, manusia itu menyadari kalau hidupnya sangatlah hina, nilai hidupnya rendah tapi orang mencoba untuk berafiliasi seolah-olah dirinya orang baik di tengah dunia dengan kalimat-kalimat yang sepertinya positif padahal di balik kalimat indah itu ada maksud yang licik. Pertanyaannya sekarang adalah berada di bawah otoritas siapakah kita, apakah kita menyerahkan diri di bawah otoritas iblis ataukah otoritas Tuhan? Ingat, tidak ada satu inci dalam hidup kita dimana Tuhan tidak berkuasa atasnya. Bisakah kita berkata seperti Paulus: “Hidupku bukan aku lagi tetapi Kristus yang hidup dalamku“ (Gal. 2:20). Kalau kita mengaku bahwa kita adalah pengikut Kristus sejati maka biarlah Kristus saja yang berotoritas atas seluruh hidup kita. Memang, banyak tantangan yang mesti kita hadapi sebab iblis pasti tidak akan membiarkan begitu saja namun percayalah Tuhan yang berotoritas akan memberikan kekuatan sehingga kita dapat menghadapi tantangan itu.
2. Otoritas Kristus lebih besar dari otoritas iblis.
Pengakuan pertama bahwa Kristus adalah Anak Allah justru bukan keluar dari mulut murid-murid-Nya melainkan keluar dari mulut iblis. Setibanya Tuhan Yesus di seberang, yaitu di daerah Gadara datanglah dua orang kerasukan setan menemui Yesus. Kalau biasanya ia datang untuk menganggu dan menakuti orang-orang tapi kini ia sendiri yang takut ketika bertemu dengan otoritas sejati: “Apa urusan-Mu dengan kami, hai Anak Allah? Adakah Engkau ke mari untuk menyiksa kami sebelum waktunya?“ Iblis tahu bahwa kekuatan yang ia punyai sekarang hanya bersifat sementara saja maka ketika Kristus datang iblis memohon supaya ia tidak disiksa pada hari itu. Tidak ada satu orang pun yang berani lewat ke daerah itu sebab orang yang kerasukan setan itu sangat garang dan mengerikan. Bukankah kita juga seringkali menunjukkan sikap demikian, yakni kita lebih takut pada setan daripada takut Tuhan. Terhadap Tuhan kita berani berbuat kurang ajar tetapi pada orang yang kerasukan setan kita tidak berani bermain-main padahal setan sangat takut ketika bertemu dengan Tuhan. Jadi, sangatlah tidak logis kalau anak Tuhan takut pada anak setan justru sebaliknya setan seharusnya takut pada Tuhan sebab Tuhan pemegang otoritas tertinggi.
Seringkali, diri kita sendirilah yang menjadikan Allah itu kecil maka tidaklah heran kalau kemudian semua masalah kita menjadi besar karena hidup kita telah terkunci oleh pikiran kita yang telah dikuasai oleh setan. Memang ironis, kita lebih takut pada manusia yang telah dikuasai oleh iblis namun kita tidak takut pada otoritas Tuhan yang lebih besar yang telah membuat iblis takut dan gemetar. Kalau kita mengakui Yesus sebagai Raja dan Tuhan atas hidup kita lalu sudahkah otoritas yang sejati itu menguasai hidup kita? Celakalah, kalau kita salah menempatkan posisi maka pastilah kita tidak akan merasakan ketenangan dalam hidup, kita selalu dicekam ketakutan apalagi ketika kita berhadapan dengan kuasa setan. Injil Markus dan injil Lukas mencatat iblis itu bernama Legion yang berarti banyak, hal ini menunjukkan besarnya kekuatan iblis yang merasuk namun kuasa setan yang besar itu menjadi sangat kecil ketika berhadapaan dengan kuasa Tuhan Yesus. Ada dua sikap yang ditunjukkan oleh orang yang berada di luar Kristus dan keduanya bersifat negatif, yaitu: 1) orang yang secara fisik dibelenggu iblis sehingga ia menjadi sangat berbahaya sampai tidak ada seorang pun yang berani melalui jalan itu, 2) orang yang egois dan mengusir Yesus untuk pergi dari tempat itu. Orang Gadara tidak berani mengusir orang yang dirasuk setan itu sebab mereka sangat takut namun, ironis ketika Tuhan Yesus datang dan mengusir setan itu, mereka justru mengusir Yesus pergi. Mereka tidak dapat melihat otoritas sejati yang ada pada diri Kristus itu bukan karena mata mereka buta, tidak, mereka melihat namun tidak melihat, mereka mendengar namun tidak mendengar dan mereka tidak mengerti. Pertanyaannya adalah siapa mereka sehingga mereka berani mengusir Kristus pemegang otoritas tertinggi? Orang tidak menyadari otoritas Kristus adalah otoritas positif dan tidak perlu ditakuti. Ketakutan manusia pada setan yang berotoritas negatif itu menyebabkan manusia akhirnya berafiliasi dan pro dengan kuasa kejahatan. Manusia mau tunduk dan diikat dengan kuasa kejahatan tapi dengan kuasa kebajikan, manusia tidak mau tunduk. Inilah manusia berdosa. Marilah kita evaluasi diri dan jujur, siapakah yang berotoritas atas hidup kita, Tuhan atau iblis? Tidak ada orang lain yang tahu otoritas siapakah yang ada dalam kita, hanya kita sendiri yang tahu. Segeralah bertobat dan memohon ampunan pada Tuhan dengan demikian kita dapat bersaksi dan menyadarkan manusia betapa bahagia dan indah kalau kita hidup di bawah otoritas Tuhan. Memang benar, secara kasat mata, kita tidak melihat hal-hal yang spektakuler ketika kita berada di bawah otoritas Kristus namun disanalah kita akan merasakan ketentraman seperti Daud yang dapat berkata, “Tuhan adalah gembalaku, takkan kekurangan aku. Ia membaringkan aku di padang yang berumput hijau....“
3. Otoritas Kristus berkaitan dengan pola pikir.
Otoritas Tuhan berkait erat dengan cara berpikir Tuhan. Otoritas Tuhan memberikan pilihan, otoritas itu memberikan nilai, otoritas itu membuat kita harus merekonstruksi cara berpikir kita. Mengikut Tuhan dan mengikut setan merupakan dua hal yang berbeda maka seorang anak Tuhan ketika melihat orang kerasukan setan, ia akan melihat orang tersebut sebagai orang yang harus diselamatkan sebab satu nyawa lebih berharga daripada seluruh harta di dunia. Berbeda dengan anak iblis, mereka lebih menghargai babi daripada nyawa manusia karena itulah mereka mengusir Yesus keluar dari Gadara. Mengikut Kristus membuat kita tahu mana yang lebih bernilai dan mana yang tidak. Tuhan sangat menghargai nyawa manusia tapi sebaliknya, iblis lebih pro pada babi. Andai, satu ekor babi seharga 5 juta rupiah maka itu berarti 2000 ekor babi berharga 10 milyar rupiah dan setan lebih menghargai babi. Kalau ia anak iblis pasti akan langsung kelihatan cara berpikir kita ia langsung menghitung untung dan rugi. Sebagai anak Tuhan yang sejati seharusnya kita meneladani Kristus yang menghargai satu nyawa manusia. Apa gunanya seorang memperoleh seluruh isi dunia tetapi kehilangan nyawanya? Dan apakah yang dapat diberikannya sebagai ganti nyawanya? (Mat. 16:26).
Harga nyawa manusia bukanlah 10 milyar rupiah atau sama dengan 2000 ekor babi, tidak, harga nyawa manusia sangat mahal sehingga demi untuk menebus nyawa manusia, Tuhan Yesus rela mati. Sayang, kita sendirilah yang menyamakan harga kita dengan babi, konsep nilai kita menjadi rusak sebab kita selalu berpola pikir babi, pig thinking. Ketika kita menilai manusia hina maka itu berarti kita menilai diri kita sendiri hina. Kita menilai orang ini cocok seharga beberapa ekor babi tanpa kita sadari sesungguhnya kita bukan berbicara tentang orang lain melainkan kita telah menilai harga diri kita sendiri. Sebab orang lain akan memikirkan lain, konsep pikir orang lain tidak sama dengan konsep berpikir kita. Perhatikan, Tuhan Yesus berpikir nyawa manusia lebih berharga dari 2000 ekor babi tetapi orang Gadara lain, mereka berpikir 2000 ekor babi itulah yang lebih berharga dari nyawa manusia. Hari ini, demi sebuah sepeda motor, orang bisa membunuh orang lain namun demi orang-orang berdosa seperti inilah Tuhan Yesus rela mati dan menjadi tebusan bagi kita. Dunia menghargai hidup manusia sangat murah dan tidak berarti, hanya di hadapan Tuhan saja, hidup kita dihargai sangat mahal.
Tuhan tidak melihat dari fenomena belaka, Ia melihat dari esensi, itulah sebabnya Ia menilai sebuah nyawa dengan sangat mahal. Kita menjadi bernilai bukan karena dunia yang menilai tetapi jadilah manusia yang bernilai di dalam Kerajaan Sorga. Hanya di hadapan Tuhan saja diri kita menjadi sangatlah bernilai, yakni senilai dengan darah Kristus domba Allah yang tercurah. Ia, yang tidak menyayangkan anak-Nya sendiri, tetapi yang menyerahkan-Nya bagi kita semua, bagaimanakah mungkin Ia tidak mengaruniakan segala sesuatu kepada kita bersama-sama dengan Dia? (Rm. 8:32). Kalau demikian pertanyaannya adalah masihkah anda menyerahkan hidupmu di bawah otoritas setan? Amin.

(Ringkasan khotbah ini belum diperiksa oleh pengkhotbah)
Sumber :

Roma 5:12-17: PERBEDAAN ESENSIAL-1: Adam dan Kristus

Seri Eksposisi Surat Roma :
Manusia Lama Vs Manusia Baru-1


Perbedaan Esensial-1 : Adam dan Kristus

oleh : Denny Teguh Sutandio


Nats : Roma 5:12-17.

Setelah kita mempelajari enam prinsip penderitaan penebusan Kristus sebagai teladan dan pengharapan bagi kita yang menderita karena nama Kristus di dalam ayat 6-11, maka ia mulai menjelaskan tentang perbedaan esensial antara Adam sebagai manusia pertama dan Kristus sebagai manusia/Adam kedua. Adam Clarke di dalam Adam Clarke’s Commentary on the Bible menegaskan bahwa Paulus memaparkan bagian ini sampai akhir pasal 5 dengan satu pengajaran bahwa manusia membutuhkan anugerah Allah di dalam Kristus yang menebus dosa semua manusia (baik Yunani maupun Yahudi, bukan “semua” dalam arti harafiah). Di dalam ayat 12-17, Paulus menjelaskan tentang perbedaan manusia pertama dengan kedua secara pokok (ayat 12 dan 15 menjadi kunci), dilanjutkan dengan perinciannya mulai di ayat 18. Untuk itu, mari kita mempelajarinya satu per satu.

Pada ayat 12, Paulus menjelaskan, “Sebab itu, sama seperti dosa telah masuk ke dalam dunia oleh satu orang, dan oleh dosa itu juga maut, demikianlah maut itu telah menjalar kepada semua orang, karena semua orang telah berbuat dosa.” Di sini, Paulus kembali menjelaskan konsep dosa yang sudah dijelaskannya tetapi dengan penekanan pembeda antara manusia lama yaitu di dalam Adam dengan manusia baru yaitu di dalam Kristus. Di ayat ini, Paulus menjelaskan tentang ngerinya dosa dengan tiga bagian penjelasan, yaitu :
Pertama, dosa telah masuk ke dalam dunia oleh satu orang. Kata “oleh” menurut bahasa Yunaninya lebih tepat diterjemahkan through (melalui), sehingga arti aslinya adalah dosa telah masuk ke dalam dunia melalui satu orang. Satu orang yang dimaksud adalah Adam (Kejadian 3:6). Kalau kita melihat kembali Kejadian 3:6, “Perempuan itu melihat, bahwa buah pohon itu baik untuk dimakan dan sedap kelihatannya, lagipula pohon itu menarik hati karena memberi pengertian. Lalu ia mengambil dari buahnya dan dimakannya dan diberikannya juga kepada suaminya yang bersama-sama dengan dia, dan suaminyapun memakannya.”, kita mendapati yang pertama kali berdosa tentu adalah Hawa, tetapi Adam juga ikut bersalah karena taat kepada istrinya, Hawa. Inilah dosa manusia pertama, yaitu ketidaktaatan (akan dijelaskan pada Roma 5:18-21) dan pembalikan posisi/ordo yang seharusnya. Tetapi mengapa Paulus menyebut satu orang yang berdosa itu Adam (baca ayat 14), dan bukan Hawa, padahal Hawa yang dahulu berbuat dosa ? Adam sebagai perwakilan umat manusia yang berdosa, karena dia dahulu yang mendapat mandat dari Allah untuk tidak memakan buah pengetahuan baik dan jahat (Kejadian 2:16-17). Adam yang telah menerima mandat itu seharusnya mengajar Hawa dan menegur tindakannya ketika Hawa berbuat salah/dosa, karena yang menerima mandat dari Allah adalah suami/pria, tetapi realita yang terjadi adalah Adam tidak menegur Hawa malah menyetujui tindakan Hawa. Itulah dosa. Di dalam Kejadian 3:6, ada beberapa dosa yang dilakukan Hawa, yaitu : pertama, melihat dengan bayang-bayang yang tidak beres. Dosa dimulai ketika seseorang mulai melihat apa yang tidak seharusnya dilihat dengan motivasi yang tidak beres. Melihat perempuan yang cantik dan seksi tidak ada larangannya, tetapi melihat perempuan yang cantik dan seksi serta menginginkannya, Tuhan Yesus mengajarkan bahwa hal itu adalah dosa perzinahan (Matius 5:28). Hal yang sama juga dilakukan oleh Hawa, yaitu melihat buah pengetahuan yang baik dan jahat dengan bayangan bahwa buah itu enak/sedap dimakan dan memberikan “pengertian”. Kedua, setelah melihat dengan bayangan yang tidak beres, Hawa memutuskan untuk mengambil buah itu dan memakannya. Kalau di titik pertama, sesuatu dikatakan dosa jika melihat dengan motivasi/bayangan yang tidak beres, maka Hawa lebih kurang ajar lagi, karena ia berani mengambil keputusan yang lebih berdosa, yaitu mengambil buah itu dan memakannya. Permasalahan terjadi bukan ketika makan buah lalu berdosa, tetapi esensi masalah terletak pada ketidaktaatan Hawa (dan tentu Adam). Ketidaktaatan menghasilkan keputusan yang tidak taat/tidak beres. Dan lagi, ketiga, Hawa tidak mau “sendirian” berdosa, ia juga “membagikan” dosanya kepada Adam dengan memberikan buah itu kepada Adam. Itulah dosa manusia. Manusia tidak mau berdosa sendirian, ingin mengajak orang lain juga ikut berdosa. Tidak usah heran, banyak agama dan gereja yang tidak beres selalu menarik pengikut sebenarnya bukan untuk makin mengenal Tuhan dan Firman-Nya (Alkitab), malahan menjerumuskan mereka ke dalam kesesatan demi kesesatan. Dan yang paling parah, kesalahan Hawa diterima/disetujui oleh Adam. Begitu juga dengan dunia kita, ketika setan menawarkan filsafat postmodernisme, atheisme, hedonisme, materialisme, dualisme, dll, banyak manusia bahkan tidak sedikit orang “Kristen” tergiur dan akhirnya menyetujui filsafat-filsafat tersebut. Itu saya sebut sebagai dosa kedua. Dosa pertama adalah ketidaktaatan, dan dosa kedua adalah kelanjutan dari dosa pertama, yaitu mencoba mencari jalan keluar sendiri di luar Allah.
Kedua, dosa menghasilkan maut. Geneva Bible Translation Notes memberikan keterangan bahwa dosa yang telah dilakukan manusia pertama menghasilkan perasaan bersalah (guiltiness) dan perasaan bersalah itu menghasilkan maut (upah dosa ialah maut -> Roma 6:23). Ketika Allah menciptakan manusia, Ia menciptakan dengan amat baik (Kejadian 1:31). Tentu artinya, Ia menciptakan manusia dengan kapasitas kelengkapan (bukan kesempurnaan), berarti manusia tidak dapat mati atau memiliki hidup kekal. Tetapi sayangnya, akibat ketidaktaatan kepada Allah (dosa), manusia akhirnya harus mati, karena ia sendiri yang dengan bodohnya memutuskan hidupnya. Kematian manusia disebabkan karena dosa, sehingga jangan pernah menyalahkan Tuhan ketika kita atau orang yang kita kasihi meninggal. Itu adalah suatu konsekuensi wajar dari dosa (meskipun kematian tetap diizinkan Allah). Kalau kita kembali ke Kejadian 3, maka kita membaca bahwa setelah Adam dan Hawa berdosa, meskipun mereka masih “hidup” tetapi secara rohani mereka sudah mati (terputusnya hubungan antara Allah dengan manusia) dan nantinya, mereka akan mati secara fisik secara perlahan-lahan. Dengan kata lain, kata “maut” atau kematian mempunyai beberapa arti, yaitu pertama, mati secara fisik, yaitu ketika kita meninggal dan dikuburkan ; kedua, mati secara rohani, yaitu terputusnya hubungan antara Allah dengan manusia dan ketiga, mati kekal adalah kematian selama-lamanya di neraka. Dan dosa manusia mengakibatkan ketiga macam kematian itu. Orang-orang yang masih menyangkal dan di luar Kristus pun pasti mengalami tiga jenis kematian ini. Ini membuktikan kengerian efek dari dosa.
Ketiga, maut telah menjalar kepada semua orang karena semua orang telah berbuat dosa. Dosa mengakibatkan maut dan maut itu juga telah menjalar kepada semua orang. Kata “menjalar” sama artinya dengan merambat/meluas (International Standard Version : spread). Ketika manusia pertama harus mati akibat dosa, maka kita yang hidup di zaman postmodern pun harus mati. Dewasa ini, ada banyak cara yang dilakukan setan untuk menipu manusia postmodern agar mereka tidak merasa “pesimis” atau merasa kalah, yaitu dengan mengindoktrinasi mereka bahwa mereka itu baik, hebat, pintar, dll, lalu ada yang menggunakan pengajaran “Alkitab” untuk mendukung doktrin mereka, yaitu dengan mengatakan bahwa Allah menciptakan manusia itu dengan amat baik (tetapi sengaja tidak menekankan manusia yang amat baik itu jatuh ke dalam dosa). Tetapi herannya, semakin pintar, hebat, dll manusia postmodern, toh, lambat laun, pada saatnya mereka harus mati, karena mereka itu fana sifatnya. Inilah yang setan tidak bisa tanggulangi (tidak bisa sungguh-sungguh menghidupkan mereka yang sudah mati), karena ia tak punya hak untuk mengambil hidup mati manusia tanpa izin Allah. Mengapa kita sekarang ini harus mati dan menanggung dosa manusia pertama (disebut dosa asal/original sin) ? Apakah Allah tidak adil ? Banyak orang menanyakan hal ini, lalu disambung dengan pertanyaan lain, “Bukankah tanpa dosa asal, manusia bisa berbuat baik ?” Ini inti/esensi pertanyaan dan penyataan yang hendak ia keluarkan ketika ia bertanya bahwa mengapa kita harus memiliki dosa asal sejak lahir. Andaikata, jikalau, umpama, manusia tidak memiliki dosa asal, apakah dijamin mereka tak berbuat dosa ? TIDAK ! Mengapa ? Karena manusia itu ciptaan Allah dan terbatas serta fana sifatnya, otomatis tak mungkin menyamai Allah. Oleh karena itu, pertanyaan mengapa dosa asal itu harus kita terima harus dijawab dengan satu pengoreksian bahwa semua manusia pada hakekatnya adalah ciptaan dan mengandung bibit dosa, sehingga meskipun andaikata (tidak mugkin terjadi) dosa asal tidak ada, manusia tetap berdosa. Lalu, dari mana dosa aktual yang kita perbuat (dosa yang kita perbuat sehari-hari) ? Dari dosa asal. Jadi, logikanya adalah dosa asal mengakibatkan dosa aktual yang “dikembangkan” oleh masing-masing individu dan sebagai akibat parahnya, jika orang ini tidak bertobat, ia pasti mengalami tiga jenis kematian yang telah disebutkan di atas.

Dari mana kita bisa mengetahui tentang realita dosa ini ? Dari wahyu Allah di dalam Taurat, seperti yang dijelaskan Paulus di dalam ayat 13, “Sebab sebelum hukum Taurat ada, telah ada dosa di dunia. Tetapi dosa itu tidak diperhitungkan kalau tidak ada hukum Taurat.” Dari Taurat lah, kita mengenal dosa. Tetapi, bukankah Paulus di pasal-pasal sebelumnya mengajar bahwa kita diselamatkan bukan karena menjalankan Taurat ? Bukankah dengan kata lain Taurat tidak perlu ? TIDAK ! Taurat tetap perlu dan penting bagi orang-orang Kristen sekalipun. Mengapa ? Karena Taurat sebenarnya menelanjangi dosa manusia. Memang Paulus mengatakan bahwa sebelum Taurat ada, dosa sudah ada di dunia ini, tetapi sayangnya manusia tidak menyadari hal ini. Sehingga Taurat sebagai Hukum Allah diwahyukan sebagai cermin bagi manusia yang sok berbuat baik dan hebat itu agar mereka sadar bahwa diri mereka berdosa dan najis di hadapan-Nya. Ditambah lagi, ketika Rasul Yakobus mengatakan bahwa ketika kita tidak melakukan salah satu dari 10 Hukum Allah berarti kita tidak menaati seluruh hukum Allah (Yakobus 2:10-11) membuktikan bahwa kita itu memang tidak sempurna menjalankan apa yang diperintahkan-Nya. Atau dengan kata lain kita lebih suka memilih untuk taat kepada hukum Allah yang cocok dengan kita dan tidak taat kepada hukum Allah yang tidak cocok (atau dengan alasan “tidak masuk akal” atau “tidak relevan”) dengan kita. Lalu, pertanyaan selanjutnya mengapa Paulus mengatakan bahwa kalau tidak ada Taurat maka tidak ada dosa yang diperhitungkan ? Bukankah lebih “enak” jika tidak ada Taurat, sehingga kita tidak perlu “kerepotan” untuk memperhitungkan dosa ? TIDAK. Itu anggapan konyol. Mengapa harus ada hukum Allah ? Bukankah Allah itu Mahakasih ? Allah memang Mahakasih sekaligus Mahaadil. Atribut-atribut Allah tidak boleh dipisahkan satu sama lain, akibatnya sangat fatal. Allah yang Mahaadil adalah Allah yang membenci dosa manusia, mengapa ? Karena Ia adalah Allah yang Mahakudus yang jijik melihat dosa. Di dalam Perjanjian Lama, kita membaca berkali-kali Allah menegur dosa orang Israel karena kemunafikan mereka, yaitu mereka seolah-olah kelihatan beribadah, mempersembahkan korban, dll, tetapi hati mereka busuk, persis seperti yang Tuhan Yesus katakan, “kuburan yang dilabur putih, yang sebelah luarnya memang bersih tampaknya, tetapi yang sebelah dalamnya penuh tulang belulang dan pelbagai jenis kotoran.” (Matius 23:27) Adanya hukum Allah membuktikan dan menerangi kegelapan dan dosa-dosa kita, dan itu seharusnya membuat kita sadar dan bertobat.

Bukan hanya dosa, maut pun dijelaskan Paulus di ayat 14, “telah berkuasa dari zaman Adam sampai kepada zaman Musa juga atas mereka, yang tidak berbuat dosa dengan cara yang sama seperti yang telah dibuat oleh Adam, yang adalah gambaran Dia yang akan datang.” Kata “berkuasa” dalam bahasa Yunani basileuō identik dengan kerajaan/kekuasaan raja. Dengan kata lain, kematian mau tidak mau harus dialami oleh semua orang, bahkan para nabi Allah sekalipun (kecuali atas perizinan Allah, seperti kasus Henokh—Ibrani 11:5). Inilah universalitas dosa dan universalitas maut. Universalitas maut dijelaskan Paulus tetap menguasai orang-orang yang “tidak berbuat dosa” sekalipun (atau tidak berbuat dosa dengan cara yang sama seperti yang Adam lakukan). Artinya, mereka yang juga tidak berdosa seperti Adam pun harus menanggung akibat Adam, karena yang namanya dosa tetap harus dihukum. Bagaimana dengan kita ? Kita seringkali berargumentasi bahwa kita tidak sejahat Adam, tetapi mengapa kita tetap harus menerima hukuman ? Seperti yang telah dijelaskan di atas, kita sudah mewarisi dosa asal dan dosa itu tetap harus dihukum. Jangan pernah mengukur dosa dari skala kecil atau besarnya, tetapi ukurlah dosa di hadapan Allah yang Mahakudus, maka kita baru akan sadar betapa jijik dan joroknya kita di hadapan-Nya. Jalan keluar dari masalah dosa ini sudah disebutkan sedikit oleh Paulus di ayat 14 yaitu “Dia yang akan datang.” Hal ini dijelaskan lagi secara rinci di ayat 15.

Banyak manusia dunia mencari jalan agar keluar dari jerat dosa misalnya dengan berbuat amal, menuruti syariat-syariat agama, dll, tetapi apa yang Tuhan sendiri ajarkan ? Melalui Paulus, Tuhan mengajarkan, “Tetapi karunia Allah tidaklah sama dengan pelanggaran Adam. Sebab, jika karena pelanggaran satu orang semua orang telah jatuh di dalam kuasa maut, jauh lebih besar lagi kasih karunia Allah dan karunia-Nya, yang dilimpahkan-Nya atas semua orang karena satu orang, yaitu Yesus Kristus.” Di sini, Paulus membandingkan sekaligus memisahkan dua hal yaitu antara karunia Allah dan pelanggaran (bahasa Yunaninya berarti penyelewengan) Adam/manusia. Karunia Allah pada kalimat pertama menggunakan bahasa Yunani charisma yang bisa berarti deliverance (from danger or passion) (=pembebasan/pelepasan dari bahaya atau nafsu {jahat}) Ini berarti karunia Allah (King James Version/KJV : free gift) menunjuk pada dibebaskannya umat pilihan Allah dari belenggu kegelapan dosa dan dibawanya mereka kepada terang-Nya yang ajaib (1 Petrus 2:9). Hal ini jelas berbeda total dari penyelewengan Adam yang membawa manusia yang diwakilinya bukan kepada terang Allah tetapi kepada kegelapan dosa (“jatuh di dalam kuasa maut”). Selain itu, kasih karunia Allah juga dilimpahkan-Nya atas semua orang. Kata semua orang lebih tepat diterjemahkan banyak orang (KJV memakai kata many, dan bukan all). Ini adalah sebuah konsekuensi logis. Kalau dosa manusia pertama membawa malapetaka bagi keturunannya, maka anugerah Allah di dalam Adam Kedua, yaitu Kristus membawa berkat bagi keturunannya (semua umat pilihan-Nya di dalam Kristus). Berkat ini adalah berkat pembenaran melalui iman (ayat 16).

Dampak dari pembedaan kasih karunia Allah vs penyelewengan Adam adalah pembenaran oleh iman vs penghukuman. Hal ini dipaparkan Paulus di ayat 16, “Dan kasih karunia tidak berimbangan dengan dosa satu orang. Sebab penghakiman atas satu pelanggaran itu telah mengakibatkan penghukuman, tetapi penganugerahan karunia atas banyak pelanggaran itu mengakibatkan pembenaran.” Di titik awal pada ayat ini, Paulus sudah menegaskan bahwa karunia Allah tidak dapat diimbangkan/disamakan dengan dosa satu orang. Di mana letak ketidakberimbangan/ketidaksamaan itu ? Dengan arti yang cukup baik, Bahasa Indonesia Sehari-hari menerjemahkan, “...Sebab sesudah satu orang melakukan pelanggaran, keluarlah vonis, "Bersalah". Tetapi sesudah banyak orang berbuat dosa datanglah hadiah dari Allah yang menyatakan, "Tidak bersalah".” Dengan kata lain, penghakiman berlaku atas satu orang yang melakukan dosa/pelanggaran/penyelewengan atau karena satu orang berdosa, maka Allah memvonis mereka “bersalah/berdosa”, tetapi pembenaran oleh iman dari Allah berlaku bagi banyak orang yang sudah berdosa atau meskipun banyak orang berdosa (tidak hanya satu orang saja), Allah dengan kedaulatan, kasih dan keadilan-Nya menyatakan bahwa mereka tidak bersalah lagi atau dinyatakan benar (righteous). Inilah letak keunggulan anugerah Allah yang jauh lebih indah dan berharga daripada apapun juga. Pembenaran oleh iman menunjukkan kasih sekaligus keadilan-Nya kepada manusia pilihan-Nya. Pembenaran melalui iman menunjukkan kasih-Nya, karena Ia mengetahui bahwa dengan usaha sendiri, manusia tak mungkin bisa mencari jalan keluar dari jerat dosa, sehingga Ia mengaruniakan Putra Tunggal-Nya, Tuhan Yesus Kristus untuk mati disalib demi menebus dosa manusia pilihan-Nya, sehingga mereka (umat pilihan-Nya) cukup bertobat dan beriman di dalam Kristus dengan sungguh-sungguh, mereka pasti dibenarkan dan diselamatkan. Pembenaran melalui iman menunjukkan keadilan-Nya, karena hanya umat pilihan-Nya yang menerima pembenaran oleh iman, dan sisanya secara otomatis “dibuang” oleh-Nya. Saya bisa menyimpulkan hal ini karena di ayat ini, pembenaran oleh iman dikatakan berlaku bagi banyak orang (bukan semua orang) ! Kata “banyak orang” tentu menunjuk kepada orang-orang yang telah dipilih-Nya sebelum dunia dijadikan (Efesus 1:4).

Bukan hanya pembenaran melalui iman, orang-orang pilihan-Nya juga menerima hidup sejati dan kuasa karena Kristus (ayat 17). King James Version menerjemahkan, “For if by one man's offence death reigned by one; much more they which receive abundance of grace and of the gift of righteousness shall reign in life by one, Jesus Christ.)” Selain dibenarkan melalui iman, umat pilihan-Nya juga menerima anugerah Allah yang berkelimpahan dan pemberian kebenaran keadilan yang berkuasa di dalam kehidupan kita melalui Satu Orang, Yesus Kristus. Ini menunjukkan adanya hak istimewa (privilege) kita sebagai anak-anak Allah yaitu memiliki hidup yang penuh dengan kelimpahan anugerah Allah sekaligus pemberian kebenaran keadilan. Hal ini juga diajarkan oleh Tuhan Yesus sendiri, “Aku datang, supaya mereka mempunyai hidup, dan mempunyainya dalam segala kelimpahan.” (Yohanes 10:10b). Hidup berkelimpahan jangan diartikan hidup sukses, kaya, penuh uang, dll. Itu bukan yang sedang diajarkan oleh Tuhan Yesus di dalam perikop tersebut. Hidup berkelimpahan adalah hidup yang sungguh-sungguh hidup di dalam anugerah dan pemeliharaan Allah. Orang yang hidup berkelimpahan tidak tentu hidupnya kaya, banyak uang, dll, tetapi orang yang hidup berkelimpahan adalah orang yang sungguh-sungguh mengerti hidup (hidup yang sungguh-sungguh hidup) di dalam kerangka anugerah, pemeliharaan dan kedaulatan Allah. Banyak orang dunia hidup tetapi sebenarnya mereka mati (hidup yang tidak sungguh-sungguh hidup), karena mereka hidup seperti mesin di luar kehendak dan jalan Allah. Tetapi anak-anak Allah mengerti makna hidup, karena mereka benar-benar hidup di dalam kerangka kedaulatan Allah yang memimpin hidupnya sehari-hari. Hidup yang dipimpin oleh Allah Roh Kudus adalah hidup yang berkelimpahan yang tak bisa dibandingkan dengan kekayaan materi, kekuasaan, atau apapun juga.

Sudahkah kita sadar akan dosa kita dan dampaknya ? Sudahkah kita hari ini datang dan kembali kepada Kristus ? Sudahkah kita mengalami hidup berkelimpahan di dalam Kristus ketika kita datang kepada-Nya sekarang ? Biarlah ini menjadi refleksi bagi hidup kita yang mungkin terasa kering dan hampa ketika mengikut Kristus atau mengikuti ilah-ilah di luar Kristus. Amin. Soli Deo Gloria.

Resensi Buku-41: ALKITAB: FIRMAN ALLAH (Rev. W. Gary Crampton, Th.D., Ph.D.)

...Dapatkan segera...
Buku
VERBUM DEI (ALKITAB : FIRMAN ALLAH)

oleh : Rev. W. Gary Crampton, Th.D., Ph.D.

Penerbit : Momentum Christian Literature, 2000

Penerjemah : R. B. G. Steve Hendra, S.T.

Editor :
1. Ev. Dra. Trivina Ambarsari S., S.Th.
2. Pdt. Sutjipto Subeno, M.Div.





Mengerti dan belajar Alkitab tidak bisa terlepas dari pengenalan akan Allah. Di dalam buku ini, menurut theologia Reformed, Dr. Crampton memulai tesisnya dari pengenalan akan Allah melalui penyataan-Nya di dalam wahyu umum dan wahyu khusus. Dari penyataan-Nya terutama secara khusus, Dr. Crampton menjelaskan tentang pembentukan epistemologi Kristen yang berdasarkan iman dengan tiga pengertian : noticia (pengertian/pengetahuan), asensus (persetujuan) dan fiducia (ketaatan kepada kebenaran). Dari analogi iman inilah, beliau memulai pembahasannya tentang doktrin Alkitab yang meliputi kanonisasi Alkitab, inspirasi Alkitab, penafsiran Alkitab, dll, bahkan sampai mengarah kepada pembahasan tentang Theologia Kovenan di dalam pemahaman theologia Reformed. Kiranya buku ini boleh menguatkan kita tentang iman sejati di dalam Kristus melalui Alkitab, sehingga sebagai orang Kristen, kita dituntut untuk menjadikan Alkitab (bukan buku-buku psikologi, manajemen, dll) sebagai fondasi kebenaran hakiki di dalam iman dan kehidupan kita sehari-hari.







Profil Rev. DR. W. GARY CRAMPTON :
Rev. W. Gary Crampton, Th.D., Ph.D. lahir di Washington, D.C., tahun 1943. Beliau adalah seorang lulusan dari Randolph-Macon College dan menerima gelar Master of Biblical Studies (M.B.S.) dari Atlanta School of Biblical Studies. Beliau juga memperoleh gelar Master of Theology (Th.M.) dan Doctor of Theology (Th.D.) dari Whitefield Theological Seminary serta gelar Doctor of Philosophy (Ph.D.) dari Central School of Religion Survey, Inggris. Dr. Crampton adalah seorang pendeta dari the Presbyterian Church di Amerika. Beliau menikah dan dikaruniai dua orang putri.