23 June 2008

Bagian 3

Manusia: Peta Teladan Allah-3


Sekali manusia lahir, ia tidak bisa musnah. Ia akan tetap ada, entah akan mati kekal atau hidup kekal. Hal ini menjadikan manusia unik dan sekaligus sangat berharga. Manusia tidak boleh sembarangan hidup. Ia tidak boleh mempermainkan kesempatan yang ada.


Imago Dei (peta dan teladan Allah) merupakan tema yang banyak dibahas di Abad Pertengahan. Bonaventura (1221-1274), Thomas Aquinas (1225-1274), Alexander of Hales (1170-1245), Peter Abelard (1079-1142), dan Bernard of Clairvaux (1090-1153) di abad ke-12 dan ke-13 banyak membicarakan tema ini. Baru kira-kira 250 tahun kemudian, John Calvin (1509-1564), Martin Luther (1483-1546), Theodore Beza (1519-1605), Johann Heinrich Bullinger (1504-1575), dan Philipp Melanchthon (1497-1560) di masa Reformasi mengulas kembali tema yang sangat penting ini.

Siapakah manusia? Manusia adalah makhluk yang dicipta menurut peta dan teladan Allah. Ia menjadi wakil Tuhan di mana kemuliaan, keagungan, dan kebijaksanaan Tuhan dinyatakan. Mulai dari pernyataan penciptaan manusia, ketritunggalan Allah telah dibukakan. Manusia terdiri dari tubuh materi dan Tuhan menghembuskan nafas rohani ke dalam diri manusia, sehingga manusia terdiri dari dua unsur, yaitu tubuh dan jiwa (roh). Allah adalah Roh, dan manusia memiliki unsur rohani, sehingga manusia bisa memiliki pengertian rohani. Di sini roh manusia berbeda sifat dari roh binatang. Di dalam Pengkhotbah 3:21 dikatakan: “Siapakah yang mengetahui, apakah nafas (roh) manusia naik ke atas dan nafas (roh) binatang turun ke bawah bumi.” Di sini kita melihat perbedaan roh manusia dan roh binatang. Konsep Alkitab ini banyak tidak dimengerti dan banyak orang Kristen mengatakan bahwa manusia punya roh, sedangkan binatang tidak mempunyai roh. Ini pandangan yang salah.

Dan kini kita masuk ke dalam esensi tema kita, yaitu apa sebenarnya yang dimaksud dengan “Manusia dicipta menurut peta dan teladan Allah”?
Pertama, Allah berpribadi, maka manusia berpribadi. Karena memiliki roh, maka dia merupakan satu person. Persone (Yun.), pribadi (Ind.) berarti satu oknum. “Oknum” itu mempunyai keunikan tersendiri, yaitu (1) mempunyai sifat kekekalan, (2) mempunyai eksistensi yang tidak berhenti keberadaannya, dan (3) mempunyai kesadaran tentang keberadaan diri sendiri. Manusia sebagai manusia sadar bahwa dia ada. Tetapi anjing hanya sadar diri dalam kaitan kebutuhan hidupnya saja. Anjing memiliki pengetahuan anjing, memiliki perasaan anjing, dan memiliki kemauan anjing. Tapi semua itu hanya berkaitan dengan kebutuhan jasmaniahnya saja. Manusia tidak demikian. Manusia akan memikirkan, merasakan, dan menginginkan hal-hal hingga kekekalan. Manusia bisa menghitung jarak bumi ke matahari sejauh 150 juta km, atau kecepatan cahaya yang 300 ribu km per detik. Tidak ada binatang yang bisa mengukur seperti ini. Emosi manusia jauh lebih mendalam dan penuh pengertian. Ini tidak dimiliki oleh binatang. Binatang tidak bisa mendefinisikan kasih. Manusia itu begitu rumit dan kebenaran itu begitu mendalam (man is so complicated and truth is so profound). Kebenaran begitu mendalam sampai kemampuan paradoks.

Kedua, Allah itu kekal, maka manusia berunsur kekekalan. Allah itu kekal adanya. Itu sebab Pengkhotbah 3:11 mengatakan, “Ia membuat segala sesuatu indah pada waktunya, bahkan Ia memberikan kekekalan dalam hati mereka. Tetapi manusia tidak dapat menyelami pekerjaan yang dilakukan Allah dari awal sampai akhir.” Saya sangat senang dengan ayat ini. Allah itu sempurna, baik, dan pada waktunya. Dia dengan teliti dan lengkap menciptakan segala sesuatu pada waktu yang ditetapkan-Nya, sehingga setiap urutan itu memiliki arti tersendiri. Orang yang tidak mengerti urutan dan signifikansinya selalu membanggakan siapa yang terlebih dahulu. Yang lebih dahulu selalu merasa harus lebih dihormati. Tetapi kucing ada lebih dahulu dari manusia, apakah itu berarti manusia harus hormat pada kucing? Sering orang yang masuk sekolah lebih dahulu merasa lebih penting. Di gereja juga demikian, yang menjadi majelis lebih dahulu, menghina orang yang baru menjadi majelis. Yang senior menghina yang junior. Kalau diurutkan secara penciptaan, maka manusia yang paling junior, karena dicipta terakhir. Jika diukur dari teori evolusi, menurut konsep survival of the fittest (yang kuat yang menang), maka kecoa adalah binatang yang konon diduga paling kuat dan tidak bisa dipunahkan. Manusia adalah “binatang yang paling lemah”. Kecoa memiliki daya tahan hidup yang luar biasa, sementara manusia tidak. Jerapah mempunyai tubuh yang tinggi dan kuat. Bayi jerapah dilahirkan oleh ibunya sambil berdiri. Maka bayi itu jatuh sebentar ke tanah, lalu sepuluh menit kemudian sudah bangun dan mulai berlari. Bayi manusia, jika dilahirkan ibunya sambil berdiri, pasti mati. Lalu bayi manusia membutuhkan hampir 12 bulan untuk bisa berlari. Sungguh, manusia adalah makhluk yang paling lambat berdikari. Aesop mengatakan, lambat tidak apa-apa seperti kura-kura, asalkan jangan tertidur seperti kelinci. Manusia dicipta terakhir, tetapi manusia memiliki unsur kekekalan, karena ia dicipta menurut peta dan teladan Allah. Allah menciptakan segala sesuatu dengan indah, dan sempurna pada waktunya.

Ada dua jenis urutan di dalam Alkitab yang harus kita pelajari. Ada urutan di mana hal yang paling penting diletakkan di depan dan yang paling tidak penting di belakang. Misalnya karunia Roh Kudus. Ada karunia hikmat, pengetahuan, juga karunia mengatur dan memerintah, lalu yang terakhir sekali, karunia lidah atau menafsir bahasa lidah. Orang yang penting itu misalnya rasul, nabi, pengabar injil, gembala, pengajar, lalu sesudah itu yang bisa menyembuhkan orang sakit, dan seterusnya. Makin lama makin tidak penting dan yang paling tidak penting adalah karunia lidah. Ini urutan signifikansi yang menurun. Pertama rasul, kedua nabi, ketiga guru, sesudah itu yang bisa menyembuhkan, dan akhirnya memerintah. Itu sebabnya, majelis bukan yang paling penting, majelis tempatnya di bawah yang memerintah. Rasul lebih penting, penginjil lebih penting, gembala lebih penting. Anda yang menjadi tua-tua atau majelis, jangan sombong karena di dalam urutan karunia Anda di posisi yang rendah. Itu alasannya mengapa GRII mementingkan doktrin dulu, tidak mementingkan organisasi. Ini semua prinsip Alkitab.

Allah menciptakan Adam dan Hawa dengan peta teladan, dicipta urutannya terakhir tetapi berbeda dengan urutan di atas. Di sini justru yang terakhir yang terpenting. Tuhan menciptakan tikus, ikan, beruang, gajah, sapi, anjing, babi semua terlebih dahulu, baru terakhir Tuhan menciptakan manusia. Manusia dicipta terakhir, tetapi manusia paling penting. Inilah yang dinyatakan: “Tuhan menciptakan segala sesuatu indah pada waktunya.” Ini adalah theology of time. Banyak orang tidak melihat ini. Pengkhotbah 3:11 dalam versi KJV ada satu pengertian yang sama sekali lain. Di situ dikatakan: “He put the world into human heart.” Ia meletakkan dunia di dalam hati manusia. Allah tidak menciptakan dunia di dalam hati manusia, tetapi Allah menciptakan kekekalan yang ke dalam hati manusia. Ini aspek kedua dari peta dan teladan Allah.

Kekekalan menjadikan manusia tidak habis walaupun sudah mati. Sekali manusia lahir, ia tidak bisa musnah. Ia akan tetap ada, entah akan mati kekal atau hidup kekal. Hal ini menjadikan manusia unik dan sekaligus sangat berharga. Manusia tidak boleh sembarangan hidup. Ia tidak boleh mempermainkan kesempatan yang ada. Manusia satu waktu kelak harus berhadapan dengan Allah dan bertanggung jawab di hadapan-Nya. Waktu akan menjadi penguji yang paling kejam, tetapi sekaligus saksi yang paling setia.

Kekekalan menjadikan manusia harus melihat ke masa kini, masa lampau, dan masa depan. Kekekalan menjadikan manusia menyadari adanya proses menggeser hidupnya. Di sini manusia memiliki kesadaran sejarah dan bisa mempelajari sejarah. Sejarah memungkinkan kita menengok ke belakang dan belajar apa yang telah dikerjakan oleh orang-orang lain maupun diri kita sendiri di masa lampau. Lalu dari situ kita menatap ke depan dengan penuh pengharapan.

Dalam kaitan dengan waktu dan sejarah, manusia hanya bisa dibagi tiga macam: pewaris sejarah, pembelajar sejarah, dan pencipta sejarah.
1. Orang yang mewarisi sejarah. Orang seperti ini adalah orang yang hanya mengikuti apa yang sudah diturunkan dari nenek moyang. Di Palestina ada orang Biduin, yang setiap generasi tidak pernah berubah karena hanya mengikuti tradisi nenek moyang. Lebih dari 3.000 tahun lamanya mereka tidak berubah, hidup berpindah-pindah, tidak memiliki kakus, hidup primitif sekali. Di Eropa ada sejenis orang seperti ini, yang disebut Gipsy. Mereka tidak mau sekolah, juga hidup berpindah-pindah, bersenang-senang, tidak mau belajar dan bekerja keras. Akhirnya mereka turun-temurun menjadi bodoh. Mereka tertinggal dari perkembangan pengetahuan dan budaya. Ketika mereka diberi kesempatan sekolah, mereka tidak bersyukur, tetapi menolak dan merasa nyaman hidup seperti itu. Ini adalah orang-orang yang hanya hidup mewarisi sejarah.

2. Orang yang mempelajari sejarah. Tipe kedua ini adalah orang yang belajar dari sejarah. Ia mempelajari apa yang terjadi di dalam sejarah. Georg Wilhelm Hegel, guru dari Karl Marx, mengatakan, “Pelajaran terbesar bagi manusia adalah manusia tidak mau belajar dari sejarah.” Manusia tidak bisa maju jika tidak mau belajar dari sejarah. Tumpukan sejarah memberi pengertian bagi kita untuk dapat mengoreksi diri melalui menghisap pengalaman orang lain. Barangsiapa yang mau belajar dari sejarah, ia akan menjadi orang yang sangat pandai.

3. Orang yang mengubah sejarah. Orang semacam ini adalah orang yang melakukan transformasi sejarah. Mereka menggugurkan sejarah lama dan membangun sejarah yang baru. Orang yang demikian sudah ditentukan menjadi orang-orang yang paling tersendiri, seperti Socrates, Beethoven, atau Johann Sebastian Bach. Orang macam ini adalah orang yang menerima sejarah dan akhirnya melampaui sejarah. Dia menggugurkan sejarah dan sejarah selanjutnya mengikuti dia. Mengapa bisa demikian? Karena manusia memiliki kekekalan. Engkau dicipta menurut peta teladan Allah. Memiliki sifat peta dan teladan Allah adalah hal yang sangat besar, sehingga kita harus berhati-hati di dalamnya. Amin.

Roma 8:35-39: PENGHARAPAN ANAK-ANAK ALLAH-5: Lebih dari Pemenang Melalui Iman-2

Seri Eksposisi Surat Roma:
Menjadi Manusia Baru-5


Pengharapan Anak-anak Allah-5:
Lebih dari Pemenang Melalui Iman-2


oleh: Denny Teguh Sutandio


Nats: Roma 8:35-39.

Setelah mempelajari tentang pengajaran Paulus tentang bentuk pertama dari segala sesuatu yang dikaruniakan Allah bagi kita bersama-sama dengan Kristus, yaitu pembenaran (ayat 33), maka sekarang kita akan merenungkan bagian kedua, yaitu menjadi warga Kerajaan Surga bersama-sama dengan Kristus di ayat 35 s/d 39.

Setelah dibenarkan melalui anugerah Allah di dalam Kristus, kita dijadikannya warga Kerajaan Surga bersama-sama dengan Kristus, sehingga “Siapakah yang akan memisahkan kita dari kasih Kristus? Penindasan atau kesesakan atau penganiayaan, atau kelaparan atau ketelanjangan, atau bahaya, atau pedang?” (ayat 35) Dengan menjadi warga Kerajaan Surga bersama-sama dengan Kristus, kita tidak akan dipisahkan dari kasih Kristus. Pertanyaan di ayat 35 sebenarnya merupakan pertanyaan retoris yang tidak memerlukan jawaban, karena pembaca diharapkan dapat memberikan jawaban atas pertanyaan di ayat 35 melalui pengertian yang didapatkan dari ayat 34 dan ayat-ayat sebelumnya. “Siapakah yang akan memisahkan” menggunakan keterangan masa depan (future) yang berarti pada saat kita dibenarkan melalui iman di dalam karya Kristus yang menjadi Perantara (ayat 34 LAI menerjemahkan : “Pembela”, arti bahasa Yunani : memohonkan―memakai bentuk present), pada saat yang sama dan berlanjut untuk selama-lamanya, kita tidak akan lagi dipisahkan dari kasih Kristus. Ini adalah bentuk pemeliharaan Allah di dalam hidup dan keselamatan kita. Berbeda dari Arminian yang menekankan keselamatan yang merupakan joint venture antara Allah dan manusia, sehingga keselamatan seorang percaya sungguh-sungguh bisa hilang karena orang tersebut murtad, maka theologia Reformed yang ketat berdasarkan ayat ini dengan jelas mengajarkan bahwa keselamatan umat pilihan-Nya TIDAK mungkin bisa hilang, mengapa ? Jelas, Paulus mengemukakan alasannya yaitu karena Allah telah memilih, menentukan, memanggil, membenarkan dan memuliakan kita pada waktunya dengan kasih dan kedaulatan-Nya (ayat 29-30). Kedua, Allah yang sama juga telah membenarkan kita melalui Putra Tunggal-Nya, Tuhan Yesus Kristus, sehingga tidak ada yang bisa memisahkan kita dari kasih Kristus. Kalau Arminian “benar”, maka ayat ini seharusnya berbunyi, “Ada yang akan memisahkan kita dari kasih Kristus.” Tetapi puji Tuhan, Arminian dalam hal ini salah total, dan Alkitab lah yang benar. Lalu, apa yang mungkin akan memisahkan kita dari kasih Kristus (tetapi itu tidak mungkin) ?
Pertama, penindasan. Dalam bahasa Yunani, kata ini adalah thlipsis berarti pressure (tekanan). Hampir semua Alkitab terjemahan Inggris (King James Version/KJV, New King James Version/NKJV, American Standard Version/ASV, Geneva Bible, English Standard Version/ESV) menerjemahkannya tribulation yang berarti kesengsaraan atau penderitaan, tetapi Alkitab versi International Standard Version (ISV) menerjemahkannya trouble atau masalah. Kalau kita melihat konteksnya, kita dapat merasakan bahwa Paulus sangat mengerti kondisi jemaat Roma yang mengalami penindasan, khususnya dari pihak Kaisar yang mewajibkan warganya untuk menyembah Kaisar sebagai “Tuhan”. Dari konteks inilah, maka Paulus mengajar jemaat Roma bahwa ketika kita dibenarkan melalui iman di dalam Kristus, pada saat yang sama dan selama-lamanya, kita tidak akan dipisahkan dari kasih Kristus meskipun harus menghadapi penindasan atau kesengsaraan. Di kala penindasan atau kesengsaraan, Paulus mengajar jemaat Roma untuk mengarahkan mata hatinya kepada Kristus sebagai satu-satunya Sumber Pengharapan, sehingga mereka mampu menghadapi penindasan itu dengan penuh iman, pengharapan dan kasih yang tertuju kepada Kristus. Bagaimana dengan kita ? Ketika menghadapi penderitaan sedikit saja, kita sudah bersungut-sungut terhadap Tuhan, “mengapa ini terjadi ?”, dll. Ini membuktikan kita masih memiliki iman yang kanak-kanak (childish faith). Tetapi melalui bagian ini, Paulus mengingatkan kita bahwa meskipun kita harus menanggung aniaya/penderitaan (memang yang seharusnya kita tanggung karena mengikut Kristus : Matius 16:24), maka kita harus menanggungnya dengan pengharapan dan iman yang pasti bahwa penderitaan ini tidak akan sebanding dengan kemuliaan yang akan kita peroleh (Roma 8:18). Inilah iman Kristen yang dewasa yang tahu resiko akan harusnya menderita bagi Kristus, tetapi di sisi lain tetap beriman dan berharap penuh pada janji-Nya yang selalu menyertai dan menguatkan kita.
Kedua, kesesakan. Dalam bahasa Yunani, kata ini adalah stenochōria berarti kesengsaraan atau kesedihan atau bencana atau kesusahan. New International Version (NIV) menerjemahkannya hardship (penderitaan/kesengsaraan). Seringkali bukan hanya penderitaan yang harus ditanggung, jemaat Roma pun juga menanggung kesusahan yang mendalam, entah itu diejek oleh orang-orang Roma yang atheis, pemerintah Roma, dll karena mereka menjadi Kristen. Mereka dihimpit begitu rupa sehingga mungkin beberapa di antara mereka (tentu bukan umat pilihan-Nya) yang tidak tahan akan menyangkal imannya. Di dalam kondisi ini, Paulus kembali mengingatkan bahwa kasih Kristus tidak akan melepaskan dan meninggalkan kita begitu saja, tetapi kasih-Nya memampukan kita meskipun kita harus mengalami kesusahan dan tekanan hidup yang sangat berat. Dialah satu-satunya Sumber Hidup yang patut disembah, dipuji, diagungkan dan dijadikan pedoman dan standar hidup.
Ketiga, penganiayaan. Ini adalah tahap yang lebih parah dari dua tahap sebelumnya, karena setelah menerima penderitaan dan kesesakan, jemaat Roma juga mengalami penganiayaan, ada yang dibunuh, dibakar hidup-hidup, dll. Penganiayaan ini lebih bersifat fisik. Di dalam kondisi yang lebih tertekan lagi, Paulus kembali mengingatkan bahwa meskipun harus mati sekalipun demi Kristus, percayalah, kita akan dibangkitkan dan dimuliakan bersama-sama dengan-Nya. Hal ini sesuai dengan sabda Tuhan Yesus sendiri di dalam Matius 5:10, “Berbahagialah orang yang dianiaya oleh sebab kebenaran, karena merekalah yang empunya Kerajaan Sorga.” Mungkin di dunia, mereka ditolak dan harus menderita karena kebenaran, tetapi di Surga, mereka TIDAK akan mungkin ditolak, karena di Surga, Allah menerima mereka dan mereka dimuliakan bersama-sama dengan Kristus. Penderitaan, kesesakan hidup dan yang lebih parah, penganiayaan tidak seharusnya membuat kita terlena, tetapi bangkit dan beriman di dalam Kristus.
Keempat, kelaparan dan ketelanjangan. Bukan hanya masalah fisik yang disiksa, mungkin kita juga mengalami kelaparan atau perut kita kosong atau kekurangan makanan dan kekurangan pakaian. Paulus kembali mengingatkan kita bahwa Kristus lah Roti Hidup yang sanggup mengeyangkan kita dengan berkat-berkat rohani yang bernilai kekekalan ketimbang roti jasmani yang sesaat sifatnya. Kasih Kristus membuat kita yang mungkin kelihatan miskin dan tak berdaya di mata manusia, tetapi di mata Allah, kita begitu berharga. Tetapi hal ini tidak berarti kita harus melarat, miskin, dll. TIDAK. Itu semua tergantung pada kedaulatan Allah atas hidup kita yang berdaulat memberikan kekayaan dan sanggup juga membiarkan kita miskin.
Kelima, bahaya dan pedang. Kata “pedang” di sini secara figuratif dapat diterjemahkan sebagai perang. Bahaya bisa meliputi bahaya yang mengancam hidup, misalnya kapal kandas, tenggelam, dll. Melalui semuanya itu, kita seringkali takut, gentar, dan putus asa. Tetapi, sekali lagi, Paulus mengingatkan kita bahwa tidak ada yang bisa memisahkan kita dari kasih Kristus meskipun ada marabahaya dan perang sekalipun. Bagaimana dengan kita ? Konflik Israel dan Palestina, Irak dan Iran, bahaya yang mengancam hidup kita terus mencengkeram dan menghimpit hidup kita, seakan-akan tidak ada damai sejahtera, tetapi percayalah, Allah yang Berdaulat akan memberikan damai sejahtera bagi umat-Nya ketika tidak ada damai sejahtera, supaya kita yang telah merasakan damai sejahtera Allah dapat menyalurkannya kepada mereka yang membutuhkan damai sejahtera dengan memberitakan Injil Kristus. Meskipun tetap harus melewati bayang-bayang maut, Tuhan akan Kekuatan kita dan Sumber Damai Sejahtera kita, sehingga kita tidak akan goyah dan juga kita harus mewujudnyatakan damai sejahtera itu kepada mereka yang membutuhkan.

Uniknya, meskipun tidak ada yang bisa memisahkan kita dari kasih Kristus (penderitaan, kesesakan, penganiayaan, dll), tetapi kita tidak berarti lepas dari segala kesulitan, melainkan harus melewatinya. Hal ini lah yang diajarkan di dalam ayat 36 yang mengutip Mazmur 44:23, “Oleh karena Engkau kami ada dalam bahaya maut sepanjang hari, kami telah dianggap sebagai domba-domba sembelihan.” Pemazmur menyanyikan hal ini dengan suatu iman dan pengharapan bahwa hanya karena Allah saja, umat-Nya ada dalam bahaya maut. Mazmur 44 secara unik menjelaskan hal ini. Pasal ini dapat saya bagi menjadi 2 poin, yaitu, pertama, ayat 1 s/d 9 yang mengisahkan kebesaran, keagungan dan kedaulatan Allah yang memimpin bangsa Israel serta pujian ini berakhir di ayat 9, dan kedua, ayat 10 s/d 27, Allah yang juga mendisiplin umat-Nya dengan berbagai penderitaan, kesesakan, dll, meskipun demikian umat-Nya tetap beriman di dalam Allah (ayat 18 s/d 22). Inilah pengharapan iman umat Israel dan juga kita sebagai umat pilihan-Nya. Di sini jelas dikatakan bahwa meskipun kasih Kristus tidak pernah meninggalkan kita, tidak berarti kita dibiarkannya menjadi anak Allah yang manja, hidup serba instan, hidup sukses, lancar, tanpa sakit penyakit, dll, tetapi Allah mengizinkan berbagai penderitaan, kesesakan, bahaya, dll mengancam hidup umat-Nya, supaya melalui itu semua, iman mereka dimurnikan. Yang lebih unik lagi, penderitaan, kesesakan, bahaya maut, dll langsung dikaitkan dengan pernyataan, “Oleh karena Engkau”. Hal ini menunjukkan bahwa Allahlah yang mengizinkan semuanya terjadi. Tuhan Yesus sendiri mengajar kita bahwa barangsiapa yang mengikut-Nya harus menyangkal dirinya, memikul salibnya dan mengikut-Nya (Matius 16:24) serta barangsiapa yang tidak mau menyangkal diri dan memikul salib, orang itu tidak layak bagi-Nya (Matius 10:38). Rasul Petrus mengajarkan hal serupa, “Sebab adalah kasih karunia, jika seorang karena sadar akan kehendak Allah menanggung penderitaan yang tidak harus ia tanggung.” (1 Petrus 2:19) Bagi Petrus, penderitaan sejati adalah penderitaan yang ditanggung dengan kesadaran bahwa itu terjadi atas kehendak Allah. Kembali, kata “kehendak Allah” disebutkan. Hal ini berarti kalau kita menderita bukan atas kehendak Allah, misalnya karena kesalahan kita sendiri yang teledor, maka jangan bersukacita atas penderitaan itu, tetapi bertobatlah. Yakobus juga menjelaskan hal serupa, “Saudara-saudaraku, anggaplah sebagai suatu kebahagiaan, apabila kamu jatuh ke dalam berbagai-bagai pencobaan, sebab kamu tahu, bahwa ujian terhadap imanmu itu menghasilkan ketekunan. Dan biarkanlah ketekunan itu memperoleh buah yang matang, supaya kamu menjadi sempurna dan utuh dan tak kekurangan suatu apapun. Tetapi apabila di antara kamu ada yang kekurangan hikmat, hendaklah ia memintakannya kepada Allah,…” (Yakobus 1:2-5a) Yakobus mengajarkan bahwa jika kita jatuh ke dalam berbagai pencobaan, anggaplah sebagai suatu kebahagiaan (arti bahasa Yunani : sukacita). Mengapa ? Karena pencobaan (atau bisa diterjemahkan godaan) yang diizinkan Tuhan itu menghasilkan ketekunan (arti Yunaninya : ketahanan) dan ketekunan/ketahanan itu menghasilkan buah yang matang (arti Yunaninya : perwujudan yang sempurna ; ASV, Geneva Bible, KJV dan NKJV menerjemahkannya perfect work/karya yang sempurna), supaya kita menjadi sempurna dan utuh serta tidak ada sesuatupun yang kurang/tertinggal. Di dalam pengujian dari Tuhan (bisa melalui iblis yang menggoda), kita bukan hanya diperintahkan untuk menganggapnya sebagai suatu sukacita, tetapi juga kita harus membutuhkan hikmat Allah untuk menanganinya. Inilah uniknya Yakobus 1:5a yang langsung terkait erat dengan ayat 2 s/d 4. Dengan kata lain, Allah yang mengizinkan kita melewati bayang-bayang maut, Ia pulalah yang akan memimpin dan menuntun kita di dalam bayang-bayang maut melalui hikmat-Nya untuk memuliakan-Nya. Bagaimana dengan kita ? Banyak orang Kristen gemar mengeluh ketika harus menderita, melarat, dll, mereka menganggapnya itu kutukan dari iblis yang harus di“tengking” dan dilepaskan (pemulihan atas resesi ekonomi). Benarkah itu ? Apakah setiap penderitaan pasti dari iblis ? BELUM TENTU ! Penderitaan bisa dipakai Allah untuk menguji umat-Nya. Ketika kita mungkin melarat, gagal dalam usaha kita, introspeksi diri kita apakah kita memang yang salah, teledor, dll, atau sebenarnya ada ujian Allah bagi kita supaya kita HANYA menTuhankan Kristus, bukan harta kita. Ingatlah ! Setiap hidup kita harus berserah total kepada-Nya dan menTuhankan Kristus, sehingga meskipun harus menghadapi marabahaya, kita tetap kuat dan tidak goyah, bukan karena kehebatan kita, tetapi karena kuasa dan anugerah Allah.

Lalu, apakah kita yang harus menghadapi segala marabahaya, nantinya akan kalah dan tidak berpengharapan ? TIDAK ! Ayat 37 menjelaskannya bagi kita, “Tetapi dalam semuanya itu kita lebih dari pada orang-orang yang menang, oleh Dia yang telah mengasihi kita.” Meskipun harus menghadapi marabahaya, kita tidak ditentukan untuk kalah, tetapi MENANG ! Bahkan Alkitab kita menyatakan bahwa kita lebih dari orang-orang yang menang atau terjemahan Yunaninya berarti kita beroleh kemenangan mutlak atau kita mampu menaklukkan semuanya itu. Inilah janji Allah bagi umat-Nya. Kita bukan lemah, kalah, dll oleh karena pencobaan dan ujian, tetapi kita mampu menaklukkan semuanya itu dan menjadi lebih dari pemenang oleh iman. Mengapa ? Karena iman kita ditujukan bukan pada penderitaan, tetapi kepada Kristus yang telah menang. Karena Kristus telah menang atas kuasa dosa, iblis dan maut melalui kebangkitan-Nya, maka Ia menjamin kemenangan umat pilihan-Nya untuk menaklukkan segala penderitaan untuk memuliakan-Nya. Karena Kristus yang telah bangkit dan menang mengalahkan kuasa dosa, iblis, dan maut serta memberikan kemenangan itu bagi umat-Nya, kita tidak perlu sombong, tetapi kita harus terus-menerus bersyukur atas anugerah dan kasih-Nya. Inilah yang ditegaskan Paulus di dalam pernyataannya kemudian, “oleh Dia yang telah mengasihi kita.” Dengan kata lain, tanpa kasih Kristus, kita tak mungkin bisa menang mengalahkan iblis, dosa, maut, dll. Tanpa Kristus, kita pasti terus-menerus menjadi budak dosa yang mengilahkan dosa. Tetapi puji Tuhan, melalui dan di dalam Kristus, kita menjadi lebih dari pemenang atau memperoleh kemenangan mutlak melawan kuasa dosa, iblis dan maut. Perlu diingat, kemenangan kita bukan kemenangan yang tidak mau melihat masalah/penderitaan, tetapi kemenangan yang TELAH MELEWATI masalah/penderitaan melalui kasih dan anugerah-Nya di dalam Kristus. Kemenangan yang tidak mau menghadapi penderitaan adalah kemenangan palsu yang merupakan tipuan iblis, tetapi kemenangan yang mau menghadapi dan berhasil menaklukkan penderitaan, itulah kemenangan yang Kristus kerjakan di dalam kita, karena Kristus bangkit BUKAN tanpa melalui kematian, tetapi melalui kematian, Ia telah menaklukkan kematian itu di dalam kebangkitan-Nya. Sehingga, tidak heran, Rasul Paulus di dalam suratnya yang pertama kepada jemaat di Korintus berani mengatakan, “Hai maut di manakah kemenanganmu? Hai maut, di manakah sengatmu?" Sengat maut ialah dosa dan kuasa dosa ialah hukum Taurat. Tetapi syukur kepada Allah, yang telah memberikan kepada kita kemenangan oleh Yesus Kristus, Tuhan kita.” (1 Korintus 15:55-57) Kemenangan Kristus mengakibatkan dosa, iblis dan maut tidak memiliki kuasa yang membelenggu kita dan kita dilepaskan dari ketiga kuasa tersebut. Meskipun demikian, kita masih bisa berdosa, oleh karena itu, kita harus terus-menerus mengalahkan dosa dan godaan iblis dengan mata hati tertuju HANYA kepada Kristus.

Bagaimana mengarahkan mata hati kita tertuju HANYA kepada Kristus ? Inilah yang disimpulkan Paulus di dalam pembahasannya di ayat 38-39, “Sebab aku yakin, bahwa baik maut, maupun hidup, baik malaikat-malaikat, maupun pemerintah-pemerintah, baik yang ada sekarang, maupun yang akan datang, atau kuasa-kuasa, baik yang di atas, maupun yang di bawah, ataupun sesuatu makhluk lain, tidak akan dapat memisahkan kita dari kasih Allah, yang ada dalam Kristus Yesus, Tuhan kita.” Bahasa Yunani menerjemahkan “aku yakin” dengan “aku diyakinkan”. Ini artinya Paulus diyakinkan melalui kebangkitan Kristus bahwa baik maut maupun hidup (aspek fisik), malaikat maupun pemerintah baik yang ada sekarang maupun yang akan datang (aspek penguasa), kuasa-kuasa baik yang ada di atas maupun yang di bawah atau sesuatu makhluk lain (aspek supranatural) tidak mampu memisahkan umat-Nya dari kasih Allah di dalam Kristus Yesus, Tuhan. Hal ini berarti baik kematian mencengkeram hidup kita, pemerintah yang mungkin melarang kita menyembah Allah di dalam Kristus atau iblis (dan para kroninya) yang gemar menggoda umat Allah, itu semua tidak mampu memisahkan umat-Nya dari kasih Allah. Dengan kata lain, umat pilihan-Nya tidak mungkin akan berkompromi dengan segala macam tipu daya setan. Alkitab dan sejarah gereja menjadi teladan bagi kehidupan Kristen kita tentang hal ini. Rasul Paulus tidak takut ketika ia harus dianiaya, dicambuk, dll, mengapa ? Karena ia tahu bahwa mengikut Kristus harus menderita dan penderitaan itu bernilai kekekalan, karena melalui penderitaan itu, mata hati kita terus menuju HANYA kepada Kristus. Polycarphus, murid Rasul Yohanes siap mati karena dia tidak mau mengkompromikan iman Kristennya kepada Raja/Kaisar waktu itu. Mengapa Polycarphus melakukan hal ini ? Dunia akan menghina dia sebagai orang “bodoh”, karena dia tak mau berkompromi. Tetapi di mata Allah, apa yang dianggap bodoh bagi dunia, itulah hikmat dan hal yang tertinggi. Di mata Allah, penderitaan yang diizinkan-Nya membuat umat-Nya tidak berfokus kepada kesenangan dunia (lalu terlena karenanya), tetapi berfokus hanya kepada Kristus. Bagaimana dengan kita ? Jangankan disuruh mati, banyak orang “Kristen” postmodern disodori hal-hal dari iblis (seperti MLM, training motivasi sukses-nya Andrie Wongso, membaca buku-buku Robert T. Kiyosaki, dll) saja sudah tergiur, bagaimana mau mati bagi Kristus ? Kita harus menyadari hal ini. Iman Kristen kita khususnya di zaman postmodern hampir luntur. Sudah seharusnya, sebagai umat pilihan-Nya yang sungguh-sungguh, kita TIDAK lagi akan tergiur oleh bujuk rayu iblis, tetapi hidup kita harus menTuhankan Kristus dengan tidak mempedulikan untung rugi, hidup mati, senang susah, dan sehat sakit. Biarlah teladan Polycarphus ini menyadarkan kita agar kita sebagai orang Kristen menTuhankan Kristus di dalam hidup kita dan siap mati bagi-Nya jika diperlukan.

Banyak pemimpin “gereja” mengajarkan bahwa kita sebagai anak-anak Raja tidak akan mengalami kesusahan, penderitaan, bahkan tidak pernah digigit nyamuk, tetapi melalui perenungan kita akan 5 ayat ini mengajarkan bahwa penderitaan, kesesakan, dll harus kita alami sebagai pengikut-Nya, dan percayalah dengan iman, semua penderitaan itu pasti dapat kita taklukkan dan menang oleh karena kasih dan kuasa Allah di dalam kebangkitan Kristus Yesus yang menjamin dan menjadikan kita lebih dari pemenang dalam hidup yang gelap di dunia ini. Orang-orang dunia pasti meraba-raba di dalam dunia postmodern yang gelap ini, tetapi puji Tuhan, umat pilihan-Nya di dalam Kristus TIDAK pernah meraba-raba atau kuatir, karena Kristus menjamin hidup dan keselamatan mereka sampai akhir. Amin. Soli Deo Gloria.

Matius 10:16-22: WASPADALAH!

Ringkasan Khotbah: 13 Nopember 2005

Waspadalah !
oleh: Pdt. Sutjipto Subeno, M.Div.
Nats: Mat. 10:16-22


Latar Belakang
Tuhan Yesus menyatakan bahwa posisi orang Kristen di tengah dunia ini adalah seperti domba di tengah serigala. Secara logika, sangatlah mustahil seekor domba, binatang yang lemah dapat hidup ketika ia berada di tengah-tengah serigala namun ternyata tidaklah demikian. Tuhan mengajarkan meski kita berada di tengah-tengah serigala, kita harus cerdik seperti ular dan tulus seperti merpati dan justru inilah yang menjadi kekuatan kita. Memang, secara sepintas kekuatan ini tidak terlihat namun fakta membuktikan bahwa si domba itu tidak mati. Perhatikan, cerdik dan tulus ini tidak boleh dipisahkan. Cerdik tanpa disertai dengan ketulusan akan menjadikannya seorang yang licik yang pandai menipu. Namun ingat, sepandai-pandainya orang menipu, suatu hari nanti ia pasti akan kena tipu juga. Sebaliknya ketulusan tanpa disertai dengan kecerdikan maka orang itu dapatlah dikatakan seorang yang bodoh karena ia akan menjadi korban orang lain. Di tengah dunia ini kita akan berhadapan dengan banyak lawan yang siap menerkam karena itu, kita perlu perhatikan beberapa aspek:
Pertama, orang Kristen harus memandang dunia secara realistis, utuh dan menyeluruh. Cara Tuhan mengutus para murid ini sangatlah unik – para murid tidak diperkenankan membawa bekal berupa apapun juga namun itu bukan berarti Tuhan tidak peduli. Tidak! Tuhan memberikan kuasa kepada mereka untuk mengusir roh-roh jahat dan untuk melenyapkan segala penyakit dan kelemahan (Mat. 10:1). Para murid juga diberikan kuasa lain, yaitu apabila orang yang kepadanya kamu datangi tidak mendengarkan perkataanmu maka rumah itu mendapat kutuk sebaliknya apabila ia menerima kabar Injil maka rumah itu akan mendapatkan berkat. Kuasa yang diberikan Tuhan ini sangatlah luar biasa tapi ingat, janganlah lupa diri karena di dunia ini, musuh kita sangatlah banyak. Dunia akan membenci setiap orang yang menjadi pengikut Tuhan. Ingat, Tuhan tidak pernah berjanji bahwa anak Tuhan tidak akan pernah menderita. Tidak! Orang Kristen akan dianiaya, disesah dan hidup menderita, kita seperti domba di tengah-tengah serigala. Inilah kondisi dunia kita, itulah sebabnya Tuhan ingin supaya kita melihat dunia ini secara realistis, utuh dan menyeluruh. Sangatlah disayangkan, hari ini banyak orang Kristen hanya melihat satu sisi realita dunia yang positif saja dan menutup-nutupi bagian lain yang negatif. Maka tidaklah heran ketika orang mengalami penderitaan, sakit penyakit, dan lain-lain, orang mulai marah dan menyalahkan Tuhan. Ingat, Tuhan tidak pernah janji orang yang hidup dan berjalan bersama Dia hidupnya akan selalu nikmat. Tidak! Tuhan janjikan hidup kuat, jalan dipimpin Dia dan disitulah justru kita akan mendapatkan kebahagiaan yang sejati.
Kedua, orang Kristen ketika melakukan segala sesuatu haruslah dilakukan dengan motivasi murni. Sejak awal Tuhan Yesus telah membukakan pada dunia tentang hal yang positif dan negatif ketika kita menjadi murid-Nya. Tuhan tidak pernah mengiming-imingi kita dengan segala tawaran yang manis dan palsu. Hendaklah kita peka dan cermat akan segala macam tipu muslihat iblis yang mencoba menipu dan mengiming-imingi kita dengan segala tawaran manis tapi justru berakhir dengan kebinasaan. Kita harus berhati-hati terhadap orang yang menawarkan sesuatu pada kita tetapi hanya menunjukkan hal yang positif saja, ia hanya seorang penipu. Betapa bodohnya kita kalau kita bisa kena tipu, padahal sudah jelas-jelas kalau ia sedang menipu kita. Itu disebabkan karena kita tidak cerdik dan tulus. Berbeda halnya kalau kita cerdik dan tulus maka kita tidak akan mudah kena tipu. Seorang penipu tidak akan peka ketika ada orang lain yang menipu dirinya karena ia terbiasa menipu. Hendaklah kita meneladani Tuhan Yesus yang telah mengimplikasikan kecerdikan dan ketulusan secara bersamaan. Jadi, barangsiapa mau kembali kepada kebenaran Firman dan hidup dalam kebenaran maka ia akan peka sebab Firman itu menjadi dasar baginya untuk melakukan verifikasi atau pengujian ketika melakukan segala sesuatu. Hal inilah yang Tuhan inginkan ada dalam diri setiap anak Tuhan, meski kita domba yang lemah tapi kita cerdik dan tulus dengan demikian kita tidak mudah masuk dalam jebakan dan tipuan.
Setelah kita memahami aspek tersebut di atas maka kita juga Tuhan ingin kita lebih tajam menggumulkan beberapa hal:
I. Dunia yang Berdosa
Dunia sudah jatuh dalam dosa maka semua tindakan dan pemikiran yang dilakukan manusia mengandung unsur dosa. Dahulu, kita juga berasal dari dunia berdosa, kita adalah manusia berdosa tetapi Tuhan telah memanggil kita dari dunia berdosa dan menjadikan diri kita sebagai ciptaan yang baru. Dan kini, Tuhan mengutus kita untuk kembali di tengah-tengah dunia berdosa maka disini kita mendapati ada suatu kesenjangan. Dunia adalah dunia berdosa namun ironisnya, dunia tidak mau mengakui kalau dunia adalah dunia berdosa. Dunia selalu menggunakan standar ganda dan standar yang digunakan ini tidaklah sah. Dunia mengatakan bahwa dirinya tidaklah jahat tetapi orang lainlah yang jahat. Adalah sifat manusia berdosa yang selalu ingin menghancurkan orang lain, orang tidak peduli kalau dirinya telah membuat orang lain susah; manusia selalu berpikir licik dan egois.
Di dunia berdosa yang licik dan penuh dengan kejahatan ini, tidak ada satu pun tempat yang dapat membuat kita merasa aman dan nyaman – setiap saat ancaman bahaya itu selalu muncul. Kemana pun kita pergi maka kita akan bertemu serigala-serigala yang selalu siap menerkam. Realita dunia berdosa yang rusak ini justru tidak diakui oleh dunia. Dunia selalu mengatakan bahwa dunia ini adalah dunia yang indah dan nyaman namun semua keindahan dan kenyamanan tersebut tidak lebih hanya sebuah fatamorgana yang semu. Pada akhirnya, manusia menyadari realita dunia yang tidak pernah memberikan kebahagiaan sejati maka muncullah satu pertanyaan yang menjadi problem of evil, yakni: kalau memang benar Tuhan itu ada lalu kenapa ada sakit dan penderitaan? Pertanyaan ini muncul sebab manusia sudah jatuh dalam dosa. Problem of evil ini menjadi pergunjingan sengit di kalangan dunia filsafat metafisika sehingga menimbulkan theodecy.
Manusia tidak menyadari kalau sesungguhnya, sengsara, sakit penyakit dan penderitaan yang ada di dunia ini adalah akibat dari ulah manusia itu sendiri. Manusialah yang merusak alam maka jangan salahkan Tuhan kalau akhir-akhir ini timbul berbagai bencana alam yang menelan banyak korban jiwa, dan masih banyak lagi ulah manusia berdosa. Orang sulit menerima fakta dunia berdosa yang penuh dengan penderitaan ini. Pertanyaannya sekarang adalah kalau Tuhan tidak ada apakah dunia akan menjadi lebih baik? Kalau semua manusia di dunia ini hidup benar dan suci maka problem of evil itu pasti tidak akan ada. Ingat, Tuhan tidak dapat dipermainkan sebab suatu hari kelak Tuhan akan menyatakan keadilan-Nya dan hal itu membuktikan kalau Tuhan itu ada. Tuhan telah memanggil kita untuk kembali pada kebenaran Tuhan dan Dia mengutus kita kembali ke dunia berdosa. Karena itu, waspadalah akan segala macam tipu muslihat iblis. Kita harus cerdik seperti ular dan tulus seperti merpati dengan demikian kita dapat dipakai menjadi saksi bagi Tuhan.
II. Kekuatan Pembeda (Discerning Power)
Anak Tuhan yang sejati harus selalu waspada sebab orang yang mempunyai kewaspadaan tinggi maka ia mempunyai kemampuan membedakan antara kebenaran dan kepalsuan. Perhatikan, orang yang waspada berbeda dengan orang yang paranoid. Ciri-ciri orang yang paranoid selalu melihat orang lain sebagai musuh yang membahayakan dan merugikan hidupnya maka orang yang paranoid akan selalu merasa ketakutan. Tuhan tidak mengajar anak-anak-Nya menjadi orang yang paranoid tetapi orang yang selalu waspada. Seorang yang waspada bukan seorang yang pasif. Tidak! Sebaliknya orang yang waspada adalah orang yang aktif mengerjakan berbagai hal yang positif namun meski demikian ia tidak kehilangan kepekaan, ia akan langsung peka ketika ada hal-hal yang tidak benar. Kekuatan dan kepekaan membedakan inilah yang harus dimiliki oleh setiap anak Tuhan yang sejati dengan demikian kita tidak mudah diombang-ambingkan dunia dan dibawa ke dalam situasi yang bias.
Di dunia modern ini ada empat hal yang perlu untuk kita waspadai: 1) benar-benar benar; 2) benar-benar tidak benar; 3) tidak benar-benar benar; 4) tidak benar-benar tidak benar. Setiap manusia di dunia harus kembali pada kebenaran yang sejati, yaitu yang benar-benar benar. Alangkah bodohnya manusia sudah tahu sesuatu itu benar-benar tidak benar tapi masih kejeblos di dalamnya. Ini menunjukkan alert system yang dimilikinya sudah mati dan yang mematikan alert system atau sistem kewaspadaan ini sesungguhnya adalah diri sendiri, yakni: pertama, ketika pertama kali kita memberikan peluang pada dosa itu masuk dan menganggap dosa sebagai hal yang biasa. Kewaspadaan kita sedikit demi sedikit akan hilang dan pelan namun pasti hati nurani kita pun akan mati. Seorang anak Tuhan sejati harus berani mengatakan kebenaran adalah kebenaran dan dosa adalah dosa. Hati-hati sekali saja kita berkompromi dengan dosa maka itulah titik kehancuran kita, kedua, manusia adalah manusia yang serakah, ketika manusia sudah mempunyai nafsu yang didorong dengan semangat ingin mencari keuntungan diri sendiri maka saat itulah ia lupa segalanya sehingga tanpa berpikir panjang lagi segala hal yang ditawarkan padanya akan diterimanya. Itulah saat kehancurannya. Gambaran manusia yang serakah ini adalah seperti seekor monyet yang tangannya terjebak dalam tempurung kelapa karena serakah ingin mendapatkan buah kelapa. Hati-hati iblis tahu sifat manusia yang serakah ini karena itu hendaklah kita selalu waspada jangan masuk dalam jebakannya.
Untuk hal yang tidak benar-benar benar kita juga perlu waspada karena sepintas sepertinya benar tapi sesungguhnya tidak benar. Kepekaan ini tidak dapat terjadi secara otomatis tetapi kepekaan ini akan kita peroleh kalau kita berpaut dengan Tuhan, yaitu dengan membaca Firman Tuhan. Sangatlah disayangkan, hari ini banyak orang Kristen tidak dapat lagi membedakan mana yang benar dan mana yang salah hal ini disebabkan karena di satu sisi orang mau mengikut Tuhan tapi masih mempunyai konsep dunia dan gereja Tuhan tidak lagi mewartakan berita Kebenaran sejati. Sebagai anak Tuhan sejati, hendaklah kita bertekad belajar Firman dengan demikian kita tidak mudah dibodohi oleh dunia.
Di antara keempat hal tersebut yang paling membahayakan adalah tidak benar-benar tidak benar. Prinsip perhitungan: – x – = + tidak dapat dikenakan pada prinsip: tidak benar x tidak benar = benar. Salah! Orang berpendapat bahwa segala sesuatu yang belum terbukti salah, janganlah dipandang sebagai suatu kesalahan. Setuju! Tetapi ketika kita menganggap sesuatu yang belum terbukti salah tersebut sebagai kebenaran maka itupun merupakan suatu kesalahan fatal. Perhatikan, tidak benar-benar tidak benar bukan berarti sudah benar; dan tidak terbukti salah itupun bukan berarti sudah benar. Kita harus waspada akan konsep ini sebab dunia akan membawa kita masuk dalam konsep tidak benar-benar tidak benar. Karena itu, kita harus kembali kepada kebenaran sejati, yaitu yang benar-benar benar dengan demikian kita tidak mudah dipermainkan dunia dan orang dapat hidup suci.
III. Bahaya Posisi Pengkhianat
Dalam terjemahan bahasa Indonesia, Mat. 10:18 ini kurang jelas untuk dipahami. Terjemahan yang tepat adalah kamu akan digiring ke muka penguasa-penguasa (penguasa kota atau penguasa wilayah) dan raja-raja (penguasa yang lebih tinggi) supaya kamu membawa kesaksian untuk melawan Aku. Perhatikan, sejak awal Tuhan Yesus telah memperingatkan bahwa orang Kristen akan dibawa ke depan penguasa tetapi bukan sebagai orang yang berposisi di dalam Kristus. Tidak! Orang Kristen akan ditaruh dalam posisi sebagai saksi bagi orang kafir dan melawan Kristus. Posisi ini disebut sebagai posisi betraying. Di tengah dunia yang semakin kacau ini, posisi betraying, yakni suatu posisi yang memungkinkan kita menjadi seorang pengkhianat ini sangat terbuka lebar. Pada saat Tuhan Yesus mengatakan hal demikian ini, dua orang murid yang nantinya akan mengkhianati-Nya, yakni Yudas dan Petrus ada bersama-sama dengan Dia. Tuhan Yesus tahu bahwa suatu hari kelak mereka akan berada di posisi betraying ini dan mereka akan mengkhianati Dia.
Berbeda halnya kalau kita diadili karena tuduhan menjadi pengikut Kristus maka hal itu justru menjadi sukacita bagi kita. Celakanya, hari ini banyak orang Kristen karena alasan takut dimusuhi dan dibinasakan oleh dunia sehingga orang lebih memilih berada di posisi betraying dengan memilih menjadi pengkhianat dan melawan Kristus. Ironis, orang justru lebih takut berhadapan dengan dunia daripada berhadapan dengan murka Tuhan. Jangan pikir kalau kita ikut dunia maka kita akan aman. Tidak! Kita akan binasa sebab segala kenikmatan yang ditawarkan hanya bersifat semu belaka. Tuhan telah membukakan pada kita positif – negatifnya menjadi pengikut Kristus dan kini, keputusan ada di tangan kita mau mengikut Tuhan dengan resiko dibenci oleh dunia namun berakhir dengan hidup kekal ataukah mengikut dunia – mendapatkan kebahagiaan semu dan berakhir dengan kebinasaan kekal? Jangan takut pada segala sesuatu yang dapat membunuh tubuh tetapi tidak berkuasa membunuh jiwa; takutlah terutama kepada Dia yang berkuasa membinasakan baik jiwa maupun tubuh di dalam neraka (Mat. 10:28). Amin.

(Ringkasan khotbah ini belum diperiksa oleh pengkhotbah)
Sumber: