20 October 2008

Ketika Homoseksualitas Menjadi Pembenaran Diri Seorang Pendeta

Ketika Homoseksualitas Menjadi Pembenaran Diri Seorang Pendeta

SUNDAY, 19 OCTOBER 2008




“Perkenalkan nama saya adalah Mel White, saya seorang pastor, penulis best-seller dan pengajar di Fuller Theological Seminary. Saya seorang gay dan bangga dengan itu karena Tuhan mengasihi dan menerima saya apa adanya!” barangkali inilah perkenalan pertama yang akan kita dengar dari Mel White. Konon selama 35 tahun melakukan berbagai cara seperti doa puasa, pelepasan, psikotherapi dan electric shock yang berujung pada rasa frustasi karena tidak ada yang berhasil mengubah hasrat homoseksualnya. Di akhir pencariannya, ia kemudian berpendapat bahwa homoseks bukanlah dosa melainkan karunia dari Tuhan yang harus diterima apa adanya. Pengakuannya ini di terima baik oleh istri yang telah dinikanhinya selama 20 tahun, mereka kemudian bercerai. Mel White akhirnya menemukan partner hidupnya, Gary Nixon yang sampai sekarang telah hidup bersamanya selama 26 tahun. Mereka bedua mendirikan yayasan soulforce dan aktif memberikan ceramah bagi kaum LGBT (lesbian, gay, biseksual and transgender).

Walau di dunia Timur praktik homoseks masih dianggap tabu dan dosa berhadapan dengan agama manapun, tapi di dunia barat semakin menerimanya sebagai bagian dari kehidupan yang normal. APA (American Psycological Association) bahkan telah mengeluarkan homoseks dari daftar mental disorder (DSM IV TR) dan menganggap bahwa gay dan lebian adalah bagian dari pilihan seseorang yang normal (walau tetap menganggap tansgender sebagai suatu kelainan jiwa).

Jika APA dan dunia sekuler menganggap demikian biarlah seperti itu karena "semua orang berdosa dan telah kehilangan kemuliaan Allah" (Rm. 3:23), kecenderungan hati mereka adalah berbuat dosa dan kejahatan. Namun yang tidak habis dipikir adalah mereka yang mengatas namakan Tuhan untuk membenarkan perbuatan dosanya. Menerjemahkan Alkitab sesuai dengan kebutuhan kedagingannya.

Saya tidak heran kepada orang-orang semacam ini ada keyakinan dalam hati bahwa apa yang mereka lakukan disetujui Tuhan. Dalam hati mereka tidak ada lagi rasa bersalah. Sebenarnya bukan Tuhan menyetujuinya, tapi Tuhan telah menyerahkan mereka pada keinginan itu supaya mereka binasa oleh karenanya. (Roma 1:24-32)
“Karena itu Allah menyerahkan mereka kepada keinginan hati mereka akan kecemaran, sehingga mereka saling mencemarkan tubuh mereka...sebab walaupun mereka mengetahui tuntutan hukum Allah, yaitu bahwa setiap orang yang melakukan hal-hal demikian, patut dihukum mati, mereka bukan saja melakukan sendiri, tetapi setuju dengan mereka yang melakukannya”

Sangat jelas bahwa baik mereka yang melakukan maupun yang setuju dengannya akan menerima hukuman Tuhan. Saya rasa kaum LGBT harus menerima apa yang dikatakan Firman Tuhan, jangan dimanjakan oleh pergeseran norma masyarakat modern, media cetak dan visual yang aktif mempromosikan mereka.

Mel White, salah! Ia mengatasnamakan Tuhan dan Alkitab untuk membenarkan dosanya sendiri. Jika ia memiliki orientasi seksual yang salah sejak lahir tidak berarti bahwa ia harus mempraktikkannya. Saya memiliki keinginan untuk berbohong sejak kecil, setiap orang punya keinginan itu, tapi bukan berarti saya harus menerimanya dan hidup di dalamnya. Setiap orang berjuang untuk melawan keinginan berbuat dosa yang secara natural ada di hati setiap manusia.

Jika Anda LGBT dan membaca tulisan ini, jangan tertipu! Anda berdosa sama dengan saya yang juga berdosa, namun untuk itulah Yesus mati di kayu salib. Jika ada orang yang mengaku Kristen bahkan hamba Tuhan yang membenarkan bahkan mengendorse LGBT, jangan percaya, mereka sedang meyesatkan Anda. Anda pasti tidak akan percaya jika saya mengatakan “berzinah bukan perbuatan yang salah, jika ada keinginan untuk itu jangan ditahan, lakukan tanpa rasa bersalah,” meskipun saya seorang pastor dan lulusan sekolah theologi.

Sumber: Nancydinar.com/VM




Disarikan dari:
http://www.jawaban.com/news/news/detail.php?id_news=081016170552

Roma 11:11-12: "ISRAEL" SEJATI ATAU PALSU-16: Kedahsyatan Pikiran Allah-1 dan Pemberitaan Injil

Seri Eksposisi Surat Roma:
Doktrin Predestinasi-15


“Israel” Sejati atau Palsu-16 (Penutup):
Kedahsyatan Pikiran Allah-1 dan Pemberitaan Injil


oleh: Denny Teguh Sutandio


Nats: Roma 11:11-12


Setelah Paulus menjelaskan hukuman Allah bagi umat Israel yang merasa diri umat pilihan-Nya di ayat 6 s/d 10, maka kita mungkin bertanya berarti Allah benar-benar bermaksud agar umat pilihan-Nya sendiri binasa? Tidak. Hal ini ditentang Paulus dan dijelaskan di ayat 11 s/d 12 sebagai pembukaan penjelasannya.

Di ayat 11, Paulus menyatakan, “Maka aku bertanya: Adakah mereka tersandung dan harus jatuh? Sekali-kali tidak! Tetapi oleh pelanggaran mereka, keselamatan telah sampai kepada bangsa-bangsa lain, supaya membuat mereka cemburu.” Kata “tersandung” dalam bahasa Yunani bisa berarti berdosa (sin). Pdt. Hasan Sutanto, D.Th. di dalam Perjanjian Baru Interlinear (2003) menerjemahkan tersandung sebagai tersesat atau berdosa (hlm. 857). Di sini, kita belajar bahwa Paulus menolak bahwa hukuman Allah bagi banyak orang Israel (bukan umat pilihan-Nya) dalam suatu bangsa bukan untuk membuat mereka terjatuh dan hancur, tetapi membuat mereka sadar (tetapi TIDAK bertobat karena mereka bukan umat pilihan-Nya). Lalu, untuk apa Allah menjatuhkan murka kepada mereka? Di sini, Paulus baru membuka kedok yang selama ini ditutupi, dia menjelaskan bahwa Allah menghukum mereka supaya melalui pelanggaran mereka, justru keselamatan telah sampai kepada bangsa-bangsa lain. Apa arti pelanggaran (bisa diterjemahkan: kesalahan/dosa) mereka? Albert Barnes dalam Albert Barnes’ Notes on the Bible menafsirkan pelanggaran bangsa Israel berkaitan dengan sikap mereka terhadap Kristus ketika Ia inkarnasi. Kita bisa membuka kembali Kitab-kitab Injil bahwa tidak sedikit para pemuka agama Yahudi tidak menyenangi Tuhan Yesus bahkan ingin membinasakan-Nya, padahal mereka setiap hari menantikan turunnya Mesias. Mengapa akhirnya mereka membinasakan-Nya? Bukankah mereka lama menantikan Mesias? Jawabannya sederhana namun kompleks, yaitu karena mereka menginginkan Mesias yang bersifat daging, yaitu membebaskan mereka dari penjajahan Romawi/bangsa lain, sedangkan Tuhan Yesus mengajar bahwa Ia datang bukan untuk itu tetapi untuk membebaskan manusia dari ikatan dosa (arti rohani). Ketidaksinkronan ini mengakibatkan mereka harus melenyapkan Tuhan Yesus. Pelanggaran mereka ini sejujurnya bisa menjadi pelanggaran kita bahkan kita yang mengaku diri “Kristen” bahkan aktif “melayani ‘tuhan’”. Secara tidak sadar, kita sebagai orang “Kristen” maunya Tuhan cocok dengan pikiran dan keinginan hati kita, bahkan bukan hanya cocok, kita mau Tuhan memenuhi seluruh permintaan kita dengan berbagai dalih “rohani”: “Sebut dan Tuntutlah!” (klaim janji Tuhan à pernyataan yang aneh) Kalau permintaan kita tidak dikabulkan, kita marah dan ngambek, lalu memutuskan untuk tidak mau lagi “melayani” dan lebih parahnya, berhenti menjadi orang “Kristen”. Sifat kekanak-kanakan ini bukan hanya ditemui pada sebagian besar orang “Kristen” di banyak gereja Karismatik/Pentakosta, tetapi juga para pemimpin gereja mereka sendiri dan non-Karismatik. Kita mungkin tidak seekstrim mereka, tetapi sama saja, ketika kita mengharapkan situasi dan tempat kita melayani aman tenteram, damai sentosa, dll, tanpa marabahaya. Tidak. Pemikiran ini ditolak Tuhan. Justru kepada bangsa Israel, Allah Bapa bukan hanya mengutus Tuhan Yesus untuk TIDAK memenuhi keinginan jasmani Israel untuk terlepas dari penjajahan, malahan juga Ia banyak menegur keras para pemuka agama yang munafik yang mau enaknya sendiri. Bukan hanya tidak mau memenuhi kebutuhan kita, Tuhan juga sering kali membuat kita “tidak nyaman” dan sedikit diganggu tetapi bukan dengan motivasi menjatuhkan kita, melainkan untuk menyadarkan kita dan membuat kita bertobat. Teguran Tuhan Yesus kepada para pemuka Yahudi di dalam Matius 23 biarlah menjadi teguran Tuhan juga bagi kita sekarang. Sudahkah kita benar-benar hidup bagi Kristus dan melayani-Nya dengan motivasi yang beres? Ataukah kita masih menyimpan motivasi yang tidak beres, lalu kita suruh Tuhan memenuhinya?

Melalui pelanggaran yang dilakukan oleh orang-orang Israel inilah, keselamatan telah sampai kepada bangsa-bangsa lain. Mengenai kata “telah sampai”, banyak Alkitab terjemahan Inggris memberikan bentuk kata kerja yang berlainan. King James Version (KJV), American Standard Version (ASV), Bishops’ Bible 1568, Revised Version (RV), 1833 Webster Bible menerjemahkannya, “is come” (5); Modern King James Version (MKJV), Literal Translation of the Holy Bible (LITV), Analytical-Literal Translation (ALT) menerjemahkan, “came” (3); International Standard Version (ISV), God’s Word (GW), 1965 Bible in Basic English (BBE), English Majority Text Version (EMTV), English Standard Version (ESV), Good News Bible (GNB), New King James Version (NKJV), 1912 Weymouth New Testament (WNT) menerjemahkan, “has come” (8). Sedangkan dalam teks Yunani, tidak ada penggunaan kata kerja di dalam hal ini, melainkan yang dipergunakan justru artikel (article) dan kata benda (noun) (Sutanto, 2003, hlm. 858). Justru melalui pelanggaran mereka, keselamatan tiba pada bangsa-bangsa lain atau dengan kata lain, bangsa-bangsa lain diselamatkan. Terjemahan Indonesia tidak memberi pengertian siapa bangsa-bangsa lain, tetapi terjemahan Inggris menggunakan the Gentiles (orang-orang kafir). Sungguh menarik. Tuhan melalui Paulus membukakan kepada kita bahwa Tuhan justru menyelamatkan banyak orang yang non-Yahudi yang oleh orang-orang Yahudi dianggap kafir. Kata “keselamatan” di sini menurut Dr. John Gill di dalam John Gill’s Exposition of the Entire Bible merujuk kepada Injil (Gospel). Berarti, Tuhan membukakan kepada kita bahwa Injil bukan hanya untuk orang-orang Yahudi saja, tetapi juga kepada semua orang pilihan-Nya dari berbagai bangsa, suku, status sosial/ekonomi, dan kaum. Kita melihat contoh sederhana dari penulis Surat Roma, yaitu Paulus. Dia sendiri memberitakan Injil kepada banyak orang non-Yahudi. Tuhan mengutusnya bukan untuk orang Yahudi, tetapi untuk orang-orang non-Yahudi, meskipun demikian ia tetap memiliki hati untuk mempertobatkan orang-orang Yahudi (Roma 11:13). Tuhan mengutus Paulus ke kota Roma, Efesus, Galatia, dll, bangsa-bangsa yang oleh orang Yahudi disebut sebagai “kafir”. Justru, kepada merekalah, Tuhan melawat mereka melalui Injil. Pemberitaan Injil oleh Paulus tidak hanya berhenti sampai di situ saja, ini terus berlanjut sampai sekarang. Tuhan memerintahkan kita untuk memuridkan segala bangsa bagi Dia (Matius 28:19). Ada pekerjaan/mandat pemberitaan Injil yang harus kita tunaikan. Mari kita menjangkau orang-orang yang bukan Kristen demi Injil Kristus. Mari kita tidak memiliki hati yang membenci ketika memberitakan Injil. Tunjukkan belas kasihan dan bukan kebencian. Di sisi lain, bagian ini mengajar kita satu prinsip yaitu sadar diri. Banyak orang “Kristen” tidak sadar diri. Artinya, mereka tidak menyadari seberapa jahatnya mereka di hadapan Tuhan bahkan ketika melakukan aktivitas-aktivitas yang kelihatannya “melayani ‘tuhan’”, persis seperti yang dilakukan oleh orang-orang Yahudi di zaman Tuhan Yesus. Mereka aktif beribadah, tidak lupa berpuasa, dll, tetapi ketika Kristus hadir, mereka tidak mengenali-Nya (lebih tepatnya, tidak mau mengenali-Nya), bahkan menyalibkan-Nya. Jangan-jangan, melalui pelayanan kita yang katanya kepada “Tuhan”, justru Tuhan dipermalukan dan merasa sedih. Biarlah kita mengintrospeksi diri. Ujilah motivasi dan hati kita, sungguhkah murni di hadapan Tuhan ketika melayani Tuhan? Ingat, jangan pikir, karena kita “Kristen” berarti kita masuk Surga. Tuhan bisa menyelamatkan orang-orang yang non-Kristen pada saat ini untuk nantinya dibawa kepada Kristus dan menjadi anak-anak-Nya. Ini berarti Tuhan berdaulat dan bagi kita, jangan pernah sombong akan status kita. Tidak menjamin seorang yang mengaku di bibir mulutnya “Kristen” pasti sungguh-sungguh Kristen, karena (mengutip perkataan Pdt. Dr. Stephen Tong) banyak orang “Kristen” yang sebenarnya anak-anak setan, sedangkan banyak anak Tuhan sementara ini masih indekos di luar Kristen (pada suatu saat mereka ditarik dan kembali kepada Kristus). Mari kita berhati-hati dan menguji hati dan kedewasaan rohani kita.

Bukan hanya keselamatan itu sampai kepada bangsa-bangsa non-Yahudi, keselamatan/Injil itu justru mempermalukan mereka yang Yahudi. Justru, melalui apa yang orang Yahudi lakukan, justru menentang Kristus dan Injil, orang-orang yang menurut mereka “kafir” justru mendapat berkat besar, yaitu Kristus dan Injil. Bahkan, orang-orang “kafir” tersebut bisa mempermalukan mereka yang Yahudi atau membuat orang Yahudi menjadi cemburu/iri hati. Bagaimana dengan kita? Kita yang katanya mengaku diri “melayani ‘tuhan’” lalu merasa sombong dan menghina orang lain sebagai “kafir”. Benarkah diri kita sudah beres? Atau jangan-jangan karena diri kita tidak beres, makanya kita menghina orang lain? Tuhan membukakan kita pada bagian ini yaitu Tuhan bisa menyelamatkan orang-orang yang sementara ini belum Kristen (untuk nantinya dibawa kepada Kristus) justru untuk mempermalukan orang-orang yang katanya “Kristen”. Jika Tuhan sampai melakukan hal itu, berhati-hatilah dan ujilah apa yang telah kita lakukan selama ini sebagai orang yang katanya “Kristen”. Benarkah kita Kristen sejati? Benarkah kita telah memberitakan Injil? Benarkah kita sungguh-sungguh melayani dan hidup bagi Kristus? Atau sebaliknya, kita justru hidup melayani diri sendiri tetapi menggunakan dalih “melayani ‘tuhan’”? Alangkah mengerikannya, jika etika dan dignitas orang-orang non-Kristen bisa lebih tinggi daripada orang-orang Kristen, lalu kita dihina dan nama Kristus dilecehkan hanya gara-gara segelintir orang yang mengaku “Kristen” bahkan “pemimpin gereja” berselingkuh atau melakukan tindakan asusila lainnya. Berdoalah agar Tuhan masih mengasihani kita yang rapuh dan lemah ini dengan menguatkan kita.


Di ayat 12, Paulus melanjutkan tentang keselamatan bangsa lain/“kafir” melalui pelanggaran orang-orang Israel, “Sebab jika pelanggaran mereka berarti kekayaan bagi dunia, dan kekurangan mereka kekayaan bagi bangsa-bangsa lain, terlebih-lebih lagi kesempurnaan mereka.” Bahasa Indonesia Sehari-hari (BIS) menerjemahkan, “Karena bangsa Yahudi bersalah dan tidak menuruti kemauan Allah, maka bangsa-bangsa lain diberkati oleh Allah. Apalagi kalau hubungan bangsa Yahudi dengan Allah menjadi baik kembali; tentu lebih besar lagi berkat yang akan diberikan oleh Allah!” TB-LAI memberikan dua pemisahan kalimat, yaitu pelanggaran mereka berarti kekayaan bagi dunia, dan kekurangan mereka merupakan kekayaan bagi bangsa-bangsa lain. Sedangkan BIS menggabungkan keduanya. Teks bahasa Yunani memisahkan dua bagian ini, seperti yang dilakukan oleh TB-LAI. Mari kita menyelidikinya dengan teliti.

Pertama, pelanggaran mereka berarti kekayaan bagi dunia. Kata “pelanggaran” dalam ayat ini sama dengan pelanggaran di ayat 11 (Yunani: paraptōma), bisa diterjemahkan kesalahan atau dosa. Lalu, kata “dunia” dalam bagian ini diterjemahkan oleh Pdt. Hasan Sutanto, D.Th. dalam Perjanjian Baru Interlinear (2003) sebagai (orang bukan Yahudi) di dunia (hlm. 858). Dan uniknya, struktur bahasa Yunani dari kata ini adalah menggunakan bentuk tunggal (singular). Di sini, kita melihat signifikansinya, yaitu melalui pelanggaran/kesalahan/dosa orang-orang Yahudi, orang non-Yahudi di luar Israel (di dunia) justru mendapat kekayaan (bisa diterjemahkan kepenuhan/fulness). Artinya, orang non-Yahudi di dunia secara personal bisa mendapatkan berkat lebih besar dan banyak melalui Injil yang didengarnya, ketimbang orang Israel yang mengaku hafal Taurat dan beribadah, tetapi mereka kehilangan fokus Allah dan janji-Nya. Hal ini telah kita rasakan pada saat ini. Kita sebagai orang Kristen tentu bukan orang Yahudi, karena kita adalah orang Indonesia. Tetapi berkat-berkat keselamatan dan Injil Kristus telah kita rasakan pengaruhnya dan alami jauh melebihi apa yang dirasakan dan dialami oleh orang-orang Israel dulu. Kita sudah mengetahui dan mempelajari makna-makna sebenarnya di dalam Perjanjian Lama dari sudut pandang Perjanjian Baru yang berfokus kepada Kristus, sehingga kita makin mencintai Tuhan dan firman-Nya (PL dan PB), serta taat pada Taurat. Di sisi lain, kita harus tetap waspada. Jangan-jangan, karena kita telah lama menjadi Kristen, kita telah kehilangan fokus Injil dan Kristus serta kita lupa (atau malas?) memberitakan Injil. Justru sebaliknya, orang-orang yang sementara ini belum Kristen ketika diinjili, atas pencerahan Roh Kudus, mereka langsung bertobat dan kembali kepada Kristus, serta berapi-api memberitakan Injil kepada rekan-rekan mereka yang dulu sama agamanya. Jangan heran, kalau di Surga, kita akan menjumpai banyak umat pilihan-Nya sejati bukan terdiri dari orang “Kristen” berpuluh-puluh tahun (“Kristen” turunan) apalagi banyak “pemimpin gereja” top di dunia yang sudah tidak lagi (atau malas?) memberitakan Injil, tetapi orang-orang Kristen yang mungkin hanya beberapa tahun namun hidupnya murni untuk melayani Tuhan. Biarlah ini menjadi koreksi dan introspeksi bagi hidup dan kerohanian kita.

Kedua, kekurangan mereka kekayaan bagi bangsa-bangsa lain. Kata “kekurangan” dalam bagian ini diterjemahkan dari bahasa Yunani hēttēma yang bisa diartikan secara objektif: kegagalan (failure). Dan kata “bangsa-bangsa lain” diterjemahkan oleh Pdt. Hasan Sutanto, D.Th. (2003) sebagai bangsa-bangsa bukan Yahudi (hlm. 858). Uniknya lagi, “bangsa-bangsa lain” menggunakan struktur bahasa Yunani: jamak (plural). Dengan kata lain, kegagalan mereka menangkap berita Injil dan Kristus justru sebenarnya membuat bangsa-bangsa non-Yahudi (atau bangsa kafir menurut arti dari Alkitab terjemahan Inggris) memperoleh kekayaan/kepenuhan berkat rohani. Kalau di poin pertama, berkat hanya diterima oleh umat pilihan-Nya yang non-Yahudi secara personal, maka di poin kedua, Paulus membesarkan ruang lingkupnya, yaitu berkat itu diterima dan dirasakan lebih besar oleh umat-Nya secara bersama-sama. Secara konteks dan latar belakang, apa yang Paulus ungkapkan ini membukakan kedok Israel di mata orang-orang non-Israel di Roma, mengingat di Roma, orang-orang Yahudi dan non-Yahudi yang sudah menjadi Kristen, dua-duanya hidup bersama dan menjadi jemaat. Kita yang hidup di saat ini telah mengalami dan merasakan apa yang diberitakan Paulus tentang berkat itu. Sebagai orang Kristen, kita bukan hanya menikmati berkat Injil secara pribadi lebih besar dan banyak dari orang-orang Israel, tetapi kita juga mampu menikmati berkat ini bersama-sama dengan rekan Kristen sejati lainnya dengan cara saling berbagi (sharing) Injil dan pendalaman Alkitab. Sejujurnya, sebagai orang Kristen, kita bisa mendapat banyak berkat lagi jika kita sama-sama saling berbagi Injil dan pengertian kita akan Alkitab dengan bertanggungjawab (tidak asal comot). Dengan melakukan sharing itu, kerohanian dan iman kita dibangun, dan hidup kita makin diarahkan pada Kristus sebagai Pusat. Itulah berkat “komunal” yang kita rasakan justru melalui kegagalan orang Israel meresponi Injil dan Kristus. Tuhan memakai hal-hal negatif untuk mendatangkan hasil positif bagi umat pilihan-Nya sejati. Puji Tuhan!

Ketiga, terlebih-lebih lagi kesempurnaan mereka. Kalau mereka sudah melanggar saja, orang-orang non-Yahudi sudah mendapatkan berkat besar (sampai dibilang: kaya), bagaimana jadinya jika mereka yang Yahudi meresponi Injil Kristus, pasti orang-orang non-Yahudi mendapatkan berkat yang bukan hanya kaya, tetapi sangat kaya. Kata “kesempurnaan mereka” diterjemahkan oleh Pdt. Hasan Sutanto, D.Th. (2003) sebagai “jumlah yang lengkap/pemenuhan (tuntutan Taurat) dari mereka.” (hlm. 858) Bagian ini sebenarnya berupa kata tanya (sesuai dengan struktur bahasa Yunaninya yang menggunakan interrogative/kata tanya). KJV menerjemahkan, “how much more their fulness?” Artinya, jika mereka lebih “sempurna”/lengkap lagi memenuhi tuntutan Taurat, maka mereka menjadi teladan banyak bangsa, seperti yang Tuhan perintahkan di PL, tetapi sayang, mereka tidak menaatinya. Hal ini juga menjadi pelajaran berharga bagi kita tentang apa arti ketaatan. Ketaatan bukan ditunjukkan secara fenomenal, tetapi secara esensial. Tuhan menuntut kita taat mutlak dari hati kita. Jika kita tidak taat, kita mengulangi pelajaran sejarah dari Israel yang kelihatan beribadah, tetapi sikap itu tidak keluar dari hati mereka. Mereka menjalani rutinitas agamawi. Jangan sampai Kristen menjadi “Kristen” rutinitas! Ketaatan kita biarlah keluar dari hati dan motivasi yang murni di hadapan Tuhan, sehingga ketaatan kita menjadi berkat dan teladan bagi orang lain demi kemuliaan nama-Nya.


Biarlah melalui perenungan dua ayat ini membukakan pikiran kita tentang arti umat pilihan Allah yang dikaitkan dengan ketaatan dan menjadi saksi Kristus di dalam pemberitaan Injil Kristus. Sudahkah kita menjadi saksi-Nya sebagai wujud kita telah ditebus oleh Kristus? Sudahkah kita memberitakan Injil? Amin. Soli Deo Gloria.

Matius 11:27: KRISTUS SEBAGAI PUSAT HIDUP-8

Ringkasan Khotbah : 16 Juli 2006
Kristus sebagai Pusat Hidup (8)
oleh: Pdt. Sutjipto Subeno, M.Div.
Nats: Mat. 11:27


Pendahuluan
Empat pernyataan Tuhan Yesus yg terdapat di Injil Mat. 11:27 yg dipenggal dengan kata “dan“ ini sangat penting untuk kita pahami sebab pernyataan Kristus tersebut merupakan pernyataan final, the final statement of Christ yg juga menjadi konsep dasar iman Kristen. Manusia berdosa tidak suka dengan pernyataan Kristus sebab mengandung unsur kemutlakan dan bertentangan dengan nafsu duniawi. Hampir semua pernyataan Kristus yg tertulis dalam Alkitab ditentang oleh manusia seperti Yoh. 14:6 yg menyatakan bahwa Yesus satu-satunya salah satunya jalan, dan kebenaran, dan hidup, dan tidak ada seorang pun yg datang kepada Bapa kalau tidak melalui Kristus. Kekristenan dianggap sombong dan egois menghina agama lain. Sesungguhnya semua itu hanyalah alasan manusia untuk menolak Kristus. Manusia mulai menciptakan “allah“ yg sesuai dengan keinginannya,“allah“ yg dapat memenuhi semua nafsu dosa (Rm. 1:18-32). Setiap orang mempunyai “allah“ sendiri dan celakanya, setiap orang merasa dirinya adalah “allah.“ Ludwig Feuerbach, filsuf Jerman menyatakan God is created by man according to the image by man sehingga manusia tidak perlu percaya lagi pada Allah. Dapatlah dibayangkan apa jadinya dunia semakin rusak dan hancur, manusia menjadi anarkis.

Hari ini kita akan merenungkan 4 pernyataan final Kristus di Mat.11:27, yaitu:
I. "Semua telah diserahkan kepada-Ku oleh Bapa-Ku...."
Pernyataan ini merupakan bagian paling esensial, the final of the final authority. Kebenaran haruslah dikerucutkan sampai di titik paling atas maka disitulah terdapat finalitas kebenaran, yaitu di dalam diri Allah sendiri. God is the final of the final authority maka kita harus taat kepada-Nya. Ini menjadi dasar bagi kita membangun epistomologi. Pasca Perang Dunia II mulai menekankan filsafat posmodern dimana filsafat ini sangat mempengaruhi cara dan konsep berpikir manusia. Orang lebih percaya pada kebenaran pluralitas – apa yg ada dalam pikiran maka itulah yg dianggap sebagai kebenaran. Dunia tidak menyadari ketika menolak absoluditas dan beralih pada pluralitas modern maka itu sama halnya seperti kita menanam bom dan suatu saat pasti akan meledak dan menghancurkan dirinya sendiri.
Manusia bukanlah pemegang otoritas final karena secara natur, manusia bersifat relatif; keberadaan manusia itu sendiri bukan tunggal sehingga kalau orang menyatakan diri absolut berarti ia mengabaikan orang lain dan menganggap orang lain itu bukan manusia karena itu orang harus kembali membangun struktur konsep yg benar. Orang harusnya mempertanyakan keabsahan ketika ia membangun konsep khususnya yg menyangkut kehidupan dan iman kita namun hari ini orang berlaku sebaliknya untuk urusan duniawi dan bisnis orang akan bertanya dan melakukan penelitian sedemikian rupa karena takut merugi. Sadarlah, iblis ingin merusak hal yg sifatnya esensi di dalam kehidupan manusia. Iblis tahu pasti kalau hal yg esensi itu memegang peranan penting dan sangat mempengaruhi hal lain yg sifatnya eksistensial. Karena itu, hendaklah kita berhati-hati dan waspada dengan segala tipu muslihat iblis. Kekristenan mengajak kita kembali pada the final authority.
Salah satu penyebab yg membuat manusia gagal kembali pada the final authority adalah rusaknya pendidikan dunia modern yg mengajarkan relativitas, tidak ada pertanggung jawaban absoluditas. Bayangkan, apa jadinya anak-anak kita dan masa depan bangsa kalau sejak kecil anak diajarkan pluralisme? Kekristenan sejati harus kembali pada Allah sebagai otoritas final. Final otoritas ini bukan hanya ada dalam diri Allah tetapi didelegasikan kepada Kristus (Mat. 11:28). Kebenaran asasi yg ada dalam diri Allah barulah mempunyai kekuatan otoritas dalam kebenaran-Nya ketika hal itu diturunkan dari Allah Bapa kepada finalitas turunannya, yaitu Kristus. Dari sini barulah kita memahami the order of the Trinity yg paradoks. Ordo Allah Tritunggal itu sejajar dan bertingkat. Konsep ini sulit dimengerti oleh manusia sebab pikiran manusia telah dikuasai oleh cara pikir Aristotle yg mengajarkan sejajar tidak mungkin bertingkat begitu juga sebaliknya.
Allah Bapa adalah Allah, Allah Anak adalah Allah, Allah Roh Kudus adalah Allah. Ketiga-Nya secara esensial adalah Allah, Ketiga-Nya secara natur setara, tidak ada yg lebih tinggi. Dalam kesetaraan Allah itu terdapat suatu urutan atau tingkatan, yaitu: Bapa sebagai otoritas final maka Bapa tidak tunduk pada Anak maupun Roh Kudus – Allah Anak harus taat kepada Bapa – Roh Kudus yg harus taat kepada Bapa dan Anak. Anak tidak akan melakukan apapun dari diri-Nya sendiri kecuali yg Bapa perintahkan demikian juga dengan Roh Kudus, Ia tidak melakukan apapun dari diri-Nya sendiri, Roh Kudus hanya melakukan apa yg menjadi perintah Bapa dan perintah Anak. Urutan ini tidak boleh dibalik: Bapa – Anak – Roh Kudus maka di dalam Tritunggal ini tidak akan terjadi penyimpangan dalam kebenaran. Ketika di Getsemani, Tuhan Yesus berkata, “Bapa, jikalau mungkin cawan ini lalu daripada-Ku tapi bukan kehendak-Ku tapi kehendak-Mu yg jadi“ disini ada perbedaan keinginan tapi keputusan finalnya ada di tangan Bapa dan Anak harus tunduk pada apa yg menjadi kehendak Bapa.
Final authority ini kemudian diturunkan kepada Kristus. Jadi, bukan tanpa alasan kalau Kristus ingin supaya kita hidup berpusat pada-Nya dan Kristus menyadari benar akan hal ini seperti yg Ia ungkapkan: “Semua telah diserahkan kepada-Ku oleh Bapa-Ku.“ Hari ini manusia tidak suka konsep otoritas turunan karena ia masih harus mempertanggung jawabkan otoritasnya; manusia lebih suka menegakkan otoritas dirinya sendiri, otoritas manusia berdosa. Hendaklah kita mencontoh teladan Kristus, kalau Kristus yg adalah Allah mau memegang otoritas turunan dari Bapa, Kristus tidak pernah memaksakan diri untuk mengambil alih otoritas lalu kenapa manusia begitu sombong ingin menjadi sebagai pemegang otoritas final? Ingat, pada hakekatnya, manusia bukanlah pemegang kebenaran mutlak.
Sadarlah, otoritas yg ada pada manusia hanyalah otoritas derivasi/turunan yg diberikan oleh Tuhan. Pertanyaannya adalah sampai sebatas manakah otoritas itu diberikan dan boleh kita gunakan? Implikasi dari otoritas derivasi, yaitu: 1) orang dapat mengetahui dan memahami sampai dimana batas kekuatan kita dalam melangkah, kita mengerti batas antara hak dan kewajiban, 2) orang tahu kepada siapa kita harus tunduk dan sampai batas mana boleh tunduk. Adalah wajib anak tunduk pada orang tua tapi ketika orang tua berbuat jahat dan menyeleweng dari kebenaran maka kita tidak boleh tunduk padanya melainkan kita harus tunduk pada otoritas derivasi yg berada di atas orang tua, yaitu Kristus. Selama orang tua berada dalam satu garis dg Kristus maka kita taat, tapi kalau menyeleweng dan keluar dari garis derivasi otoritas maka Kristuslah yg harus kita taati. Gambaran otoritas derivasi ini seperti layaknya sebuah garis lurus vertikal dimana tempat tertinggi ditempati oleh Allah sebagai otoritas final dan Kristus sebagai pemegang otoritas turunan dan dibawahnya adalah orang-orang yg menjadi atasan kita. Jadi, misalnya si A yg berada persis di atas kita dan menjadi atasan kita itu menyeleweng maka kita harus taat pada si B yg merupakan atasan si A begitu seterusnya. Garis otoritas kebenaran ini tidak membuat kita kehilangan arah; 3) orang dapat menata seluruh hidupnya dalam relasi masyarakat dan hidup kita menjadi berintegritas. Orang yg tidak memahami dan berada dalam garis otoritas maka hidupnya selalu berada dalam ketakutan. Ironis orang justru takut pada otoritas palsu, yaitu iblis daripada otoritas sejati, yaitu Kristus.

II. "Tidak ada seorang pun yang mengenal Anak selain Bapa...."
Pengenalan epistomologi, yakni pengetahuan sejati tentang Kristus dimulai dari pengenalan Bapa kepada Kristus. Seluruh pengetahuan haruslah disumberkan pada pengetahuan yg asasi karena di dunia banyak kebenaran palsu. Di tengah dunia ini kita harus mengejar sesuatu yg benar-benar benar sebab itulah pengetahuan yg paling asasi. Apa yg dikatakan manusia sepertinya benar namun sesungguhnya perkataannya mengandung suatu tipuan, sepertinya benar tapi ternyata masuk dalam 3 kondisi lain, yaitu: 1) benar-benar tidak benar, 2) tidak benar-benar benar, 3) tidak benar-benar tidak benar. Orang tidak suka kebenaran asasi; orang lebih suka melawan kebenaran. Adalah natur manusia berdosa hanya suka pada apa yg menjadi kesukaannya saja. Untuk dapat kembali pada kebenaran asasi, pertama-tama orang harus menyadari bahwa dirinya adalah manusia bodoh dan berdosa. Namun, orang tidak suka kalau ada orang lain yg menyadarkan dirinya kalau ia bodoh dan biasanya orang langsung akan marah dan menganggapnya sebagai penghinaan. Kemarahan itu justru menunjukkan kebodohannya. Orang yg tidak sadar kalau dirinya bodoh dan ia merasa diri pintar maka tidak ada harapan lagi bagi orang tersebut sebab ia akan menuju kehancuran. Fakta menyatakan kalau manusia adalah manusia bodoh. Hanya anak-anak Tuhan yg takut akan Tuhan barulah ia mempunyai pengetahuan yg benar sebab takut akan Tuhan menjadi awal dari permulaan pengetahuan tetapi orang bodoh menghina hikmat dan didikan. Sayangnya, pendidikan dunia modern tidak menyadari pentingnya takut akan Tuhan; orang tidak memahami relasi antara pengetahuan dan takut akan Tuhan karena itulah, orang tidak mengajarkan takut akan Tuhan pada anak-anak. Basis epistemologi, basis pengetahuan dasar terjadi jika kita pertama-tama kembali kepada Kristus. Pertanyaannya kenapa harus kembali pada Kristus? Sebab kebenaran asasi haruslah dinyatakan dari sumbernya lalu diakui secara valid.
Epistemologi atau pengertian pengetahuan akan kebenaran sejati terjadi dimulai dg validitas, keabsahan dari pengetahuan. Kalau kita tidak mempunyai basis pengetahuan yg benar maka sepertinya, kita merasa tahu namun makin kita merasa kita tahu sesungguhnya banyak hal yg kita tidak tahu. Inilah permainan pengetahuan manusia. Apalah gunanya seluruh pengetahuan yg kita dapatkan kalau seluruh pengetahuan kita itu dilepaskan dari Tuhan sebagai sumber pengetahuan maka semua pengetahuan itu tidak lebih hanya sekedar data belaka. Pengetahuan bukan realita/data/statistik. Pengetahuan adalah interpretasi terhadap realita. Orang pertama dan orang kedua tahu tapi belum tentu mereka mempunyai interpretasi yg sama. Hal ini sangat disadari oleh Francis Schaeffer yg menyatakan I do what I think and I think what I believe. Pengetahuan tidak dimulai dari berpikir karena apa yg kita lakukan itu adalah hasil dari apa yg kita pikir dan apa yg kita pikir justru itulah yg menjadi iman/kepercayaan kita. Seorang atheis pasti akan berpikir atheistik dan hasil perilakunya pasti menunjukkan ia atheis. Membangun epistemologi sejati harus kembali kepada Kristus sebab tidak seorang pun yg mengenal Anak selain Bapa. Bapa adalah sumber sehingga itu menjadikan Anak mempunyai basis epistemologi valid karena Bapa sendiri yg memberikan pengakuan itu sendiri. Kalau kita mau mengenal Kristus maka kita harus kembali pada Allah Bapa sebagai sumber kebenaran, the source of truth. Bapa dapat mengenal Anak karena Bapa dan Anak adalah Allah Tritunggal yg merupakan suatu keutuhan.

III. "Tidak ada seorangpun mengenal Bapa selain Anak...."
Bagian ketiga ini menyangkut dua aspek, yakni Anak mengenal Bapa dan orang mengenal Bapa. Anak mengenal Bapa secara sah membuat orang mengenal Bapa dg tepat. Kekuatan Anak mengenal sesuatu bukan dari diri-Nya tapi dari Bapa yg memverifikasi hal tersebut. Sesuatu opini atau pendapat yang dilontarkan seseorang tidak dapat dikatakan sah sebab manusia tidak mempunyai otoritas kebenaran dan siapa manusia yg kepadanya ia dapat menyatakan kebenaran. Akibatnya orang memaksakan segala otoritas yg ada pada dirinya, seperti uang, pengaruh bahkan kekuatan fisik. Manusia pada hakekatnya tidak mempunyai validitas maka setiap opini yg dilontarkan itu perlu dipertanyakan darimana validitasnya? Apakah segala sesuatu yg ada dalam pikiran manusia itu selalu benar? Apakah manusia tidak pernah salah? Tidak! Setiap orang pasti pernah melakukan kesalahan. Validitas itu barulah kita dapatkan kalau diverifikasi oleh sumber kebenaran akan tetapi verifikasi ini perlu diuji sebab jika tidak, darimana kita tahu verifikasi itu benar. Verifikasi kebenaran harus teruji secara obyektif. Hari ini banyak orang yg ingin mendapat pengakuan atau verifikasi ini salah satunya dg mengatakan kalau ia mendapat wahyu dari Tuhan. Dalam dunia epistemologi disebut dg otorianisme, yakni orang memakai otoritas final untuk memverifikasi omongan/pikiran kita sebagai kebenaran yg sah.
Berbeda dg manusia yg seringkali melakukan kesalahan maka setiap pernyataan Kristus ini dapatlah dipertanggung jawabkan dan telah terbukti dalam sejarah. Bapa mengenal Kristus dan Kristus mengenal Bapa maka setiap pernyataan-Nya tentang Bapa adalah sah dan merupakan kebenaran maka itu sekaligus menjadi jawaban dari pertanyaan kenapa manusia harus kembali pada Kristus ketika ia mencari Allah? Dari sini jelaslah bahwa pernyataan: Yesus Kristus adalah satu-satunya Juruselamat dunia bukan menunjukkan suatu kesombongan atau ide untuk melecehkan agama lain. Tidak! Pernyataan Tuhan Yesus di Yoh. 14:6 adalah sah sebab diverifikasi oleh Kristus dan disahkan oleh Bapa sebagai standar kebenaran. Jadi, ketika pernyataan itu diungkapkan maka kita bukan membicarakan siapapun tapi bagaimana kita dapat mengenal Allah sebagai Sumber kebenaran? Satu hal yg pasti kalau kita tidak kembali pada Kebenaran itu maka kita akan dibuang ke dalam kebinasaan kekal. Dosa membuat kita jauh dari Tuhan maka satu-satunya supaya kita dapat mengenal Allah adalah melalui Kristus Yesus. Sayang, hal ini malah dianggap sebagai suatu kesombongan sebab orang tidak suka akan Kebenaran absolut.
Perhatikan, seseorang yg mengatai orang lain “sombong“ itu merupakan ekspresi dari kesombongan yg ada dalam dirinya sendiri. Hal ini menjadi gambaran dari orang yg mau mengatakan kejelekan dirinya sendiri dg menjelekkan orang lain. Tidak ada cara lain satu-satunya jalan harus melalui Yesus Kristus sebab yg kenal Bapa hanya Anak; tidak kenal Anak maka tidak kenal Bapa. Sebagai contoh, suatu hari oksigen berbicara kepada manusia: “Kalau manusia tidak menghirup saya (oksigen) maka ia akan mati.“ Apakah pernyataan oksigen itu dianggap sombong? Itu realita bukan sombong. Betapa bodohnya manusia kalau ia berpendapat demikian sebab ia justru akan mati sendiri. Sombong itu kalau pernyataan yg diutarakan tidak sesuai/berada di atas realita. Sombong adalah meletakkan standar di atas posisi atau mencoba menipu dg cara merendahkan diri untuk kemudian ia menaikkan diri. Orang yg sudah berada pada titik absolut berarti setiap pernyataan yg ia keluarkan itu sifatnya absolut. Orang yg berkata bahwa 2+2=4 bukanlah orang sombong karena itu merupakan pernyataan absolut. Pertanyaannya adalah apakah Kekristenan tidak mau kembali kepada Kebenaran absolut? Kekristenan bukan fanatisme yg ngawur. Tidak! Kekristenan menyatakan suatu kebenaran final supaya manusia dapat melihat kebenaran asasi. Hal inilah yg hendak Kristus nyatakan dan menjadi tugas setiap anak Tuhan untuk memberitakan Injil menyatakan kebenaran absolut itu. Celakanya, banyak orang Kristen yg tidak mengerti dasar kebenaran iman Kristen, orang tidak mengerti mengapa hanya melalui Kristus saja orang baru dapat kembali pada Bapa akibatnya iman mereka mulai goyah.

IV. "Orang yang kepadanya Anak itu berkenan menyatakannya."
Pernyataan ini hendak menyatakan tentang konsep anugerah. Kalau kita dapat mengenal Kristus, kita diberikan suatu kemungkinan untuk kita mengerti Kristus maka itu merupakan suatu anugerah. Ingatlah, bukan karena kepandaian atau kekayaan atau kecakapan kita sehingga kita dapat menerima anugerah Kristus. Pergumulan tentang anugerah ini bukan terjadi di abad ini saja tapi sejak belasan abad yg lalu sampai muncul suatu pernyataan tentang irresistable grace, yakni anugerah yg tidak dapat ditolak oleh manusia. Orang salah mengerti dg konsep irresistable grace karena sepertinya orang seakan-akan dipaksa untuk masuk sorga. Tidak! Alkitab menyatakan ketika Kristus hendak menyatakan kebenaran pada seseorang maka anugerah itu tak bisa disangkal; manusia tidak berdaya untuk menolak kebenaran sejati, the truth itu. Ketika orang mengerti suatu hal yg salah pasti orang akan langsung menolaknya akan tetapi kalau orang sampai menerimanya maka itu karena kejeblos masuk dalam jebakan. Kita masuk dalam suatu penipuan karena kita tidak mengerti berbeda halnya kalau sebelumnya kita tahu, kita pasti akan langsung menolaknya. Kalau kita menolak hal yg salah maka pertanyaannya setelah kita mengerti kebenaran apakah kita masih mau menolaknya?
Kita tidak dapat menolak, menygkal atau melawan kebenaran ketika kebenaran itu dibukakan di depan kita. Perhatikan, orang yg melawan kebenaran itu disebabkan karena ia tidak mengerti kebenaran sebab kebenaran itu tidak dibukakan kepadanya. Dunia pikir kalau manusialah yg mencari kebenaran. Tidak! Allahlah yg membukakan kebenaran itu pada kita dan kita tidak dapat menolaknya karena Kebenaran sejati inilah yg selama ini dicari oleh manusia. Biarlah hari ini kalau kita dapat mengerti kebenaran sejati itu menjadikan kita rendah hati sebab semua itu semata-mata karena anugerah dan kita semakin taat dan takluk kepada Tuhan dengan demikian kita semakin mengenal Allah yg sejati melalui Kristus. Amin

(Ringkasan khotbah ini belum diperiksa oleh pengkhotbah)
Sumber:

KKR Siswa Regional 2008 (Surabaya dan Sidoarjo)

…Dukung, Doakan, dan Hadirilah…




KKR Siswa Regional 2008
Surabaya dan Sidoarjo





13 Desember 2008 di Gedung DBL Arena, Jln. A. Yani, Sby:
SD: Pkl. 09.00-10.30 WIB
SMP: Pkl. 11.00-12.30 WIB
SMA/SMK: Pkl. 13.00-15.00 WIB




Pokok Doa:
· Pembicara
· Acara
· Publikasi
· Dana
· Transportasi
· Panitia
· Gedung dan Perlengkapan
· Gereja-gereja dan Sekolah-sekolah
· Para Siswa yang Hadir
· Keamanan, Cuaca
· Follow Up





Sekretariat:
Andhika Plaza C/5-7, Jln. Simpang Dukuh 38-40, Surabaya
Telp.: (031) 5472422; Faks.: (031) 5353626
E-mail: kkr_siswa_sby@yahoo.com
Contact Person: Nanie (031-7035-4442)
Acc. Bank: BCA No. 003-315-7000 a/n STEMI KKR Regional Sby




Penyelenggara:
Stephen Tong Evangelistic Ministries International (STEMI)