20 October 2008

Roma 11:11-12: "ISRAEL" SEJATI ATAU PALSU-16: Kedahsyatan Pikiran Allah-1 dan Pemberitaan Injil

Seri Eksposisi Surat Roma:
Doktrin Predestinasi-15


“Israel” Sejati atau Palsu-16 (Penutup):
Kedahsyatan Pikiran Allah-1 dan Pemberitaan Injil


oleh: Denny Teguh Sutandio


Nats: Roma 11:11-12


Setelah Paulus menjelaskan hukuman Allah bagi umat Israel yang merasa diri umat pilihan-Nya di ayat 6 s/d 10, maka kita mungkin bertanya berarti Allah benar-benar bermaksud agar umat pilihan-Nya sendiri binasa? Tidak. Hal ini ditentang Paulus dan dijelaskan di ayat 11 s/d 12 sebagai pembukaan penjelasannya.

Di ayat 11, Paulus menyatakan, “Maka aku bertanya: Adakah mereka tersandung dan harus jatuh? Sekali-kali tidak! Tetapi oleh pelanggaran mereka, keselamatan telah sampai kepada bangsa-bangsa lain, supaya membuat mereka cemburu.” Kata “tersandung” dalam bahasa Yunani bisa berarti berdosa (sin). Pdt. Hasan Sutanto, D.Th. di dalam Perjanjian Baru Interlinear (2003) menerjemahkan tersandung sebagai tersesat atau berdosa (hlm. 857). Di sini, kita belajar bahwa Paulus menolak bahwa hukuman Allah bagi banyak orang Israel (bukan umat pilihan-Nya) dalam suatu bangsa bukan untuk membuat mereka terjatuh dan hancur, tetapi membuat mereka sadar (tetapi TIDAK bertobat karena mereka bukan umat pilihan-Nya). Lalu, untuk apa Allah menjatuhkan murka kepada mereka? Di sini, Paulus baru membuka kedok yang selama ini ditutupi, dia menjelaskan bahwa Allah menghukum mereka supaya melalui pelanggaran mereka, justru keselamatan telah sampai kepada bangsa-bangsa lain. Apa arti pelanggaran (bisa diterjemahkan: kesalahan/dosa) mereka? Albert Barnes dalam Albert Barnes’ Notes on the Bible menafsirkan pelanggaran bangsa Israel berkaitan dengan sikap mereka terhadap Kristus ketika Ia inkarnasi. Kita bisa membuka kembali Kitab-kitab Injil bahwa tidak sedikit para pemuka agama Yahudi tidak menyenangi Tuhan Yesus bahkan ingin membinasakan-Nya, padahal mereka setiap hari menantikan turunnya Mesias. Mengapa akhirnya mereka membinasakan-Nya? Bukankah mereka lama menantikan Mesias? Jawabannya sederhana namun kompleks, yaitu karena mereka menginginkan Mesias yang bersifat daging, yaitu membebaskan mereka dari penjajahan Romawi/bangsa lain, sedangkan Tuhan Yesus mengajar bahwa Ia datang bukan untuk itu tetapi untuk membebaskan manusia dari ikatan dosa (arti rohani). Ketidaksinkronan ini mengakibatkan mereka harus melenyapkan Tuhan Yesus. Pelanggaran mereka ini sejujurnya bisa menjadi pelanggaran kita bahkan kita yang mengaku diri “Kristen” bahkan aktif “melayani ‘tuhan’”. Secara tidak sadar, kita sebagai orang “Kristen” maunya Tuhan cocok dengan pikiran dan keinginan hati kita, bahkan bukan hanya cocok, kita mau Tuhan memenuhi seluruh permintaan kita dengan berbagai dalih “rohani”: “Sebut dan Tuntutlah!” (klaim janji Tuhan à pernyataan yang aneh) Kalau permintaan kita tidak dikabulkan, kita marah dan ngambek, lalu memutuskan untuk tidak mau lagi “melayani” dan lebih parahnya, berhenti menjadi orang “Kristen”. Sifat kekanak-kanakan ini bukan hanya ditemui pada sebagian besar orang “Kristen” di banyak gereja Karismatik/Pentakosta, tetapi juga para pemimpin gereja mereka sendiri dan non-Karismatik. Kita mungkin tidak seekstrim mereka, tetapi sama saja, ketika kita mengharapkan situasi dan tempat kita melayani aman tenteram, damai sentosa, dll, tanpa marabahaya. Tidak. Pemikiran ini ditolak Tuhan. Justru kepada bangsa Israel, Allah Bapa bukan hanya mengutus Tuhan Yesus untuk TIDAK memenuhi keinginan jasmani Israel untuk terlepas dari penjajahan, malahan juga Ia banyak menegur keras para pemuka agama yang munafik yang mau enaknya sendiri. Bukan hanya tidak mau memenuhi kebutuhan kita, Tuhan juga sering kali membuat kita “tidak nyaman” dan sedikit diganggu tetapi bukan dengan motivasi menjatuhkan kita, melainkan untuk menyadarkan kita dan membuat kita bertobat. Teguran Tuhan Yesus kepada para pemuka Yahudi di dalam Matius 23 biarlah menjadi teguran Tuhan juga bagi kita sekarang. Sudahkah kita benar-benar hidup bagi Kristus dan melayani-Nya dengan motivasi yang beres? Ataukah kita masih menyimpan motivasi yang tidak beres, lalu kita suruh Tuhan memenuhinya?

Melalui pelanggaran yang dilakukan oleh orang-orang Israel inilah, keselamatan telah sampai kepada bangsa-bangsa lain. Mengenai kata “telah sampai”, banyak Alkitab terjemahan Inggris memberikan bentuk kata kerja yang berlainan. King James Version (KJV), American Standard Version (ASV), Bishops’ Bible 1568, Revised Version (RV), 1833 Webster Bible menerjemahkannya, “is come” (5); Modern King James Version (MKJV), Literal Translation of the Holy Bible (LITV), Analytical-Literal Translation (ALT) menerjemahkan, “came” (3); International Standard Version (ISV), God’s Word (GW), 1965 Bible in Basic English (BBE), English Majority Text Version (EMTV), English Standard Version (ESV), Good News Bible (GNB), New King James Version (NKJV), 1912 Weymouth New Testament (WNT) menerjemahkan, “has come” (8). Sedangkan dalam teks Yunani, tidak ada penggunaan kata kerja di dalam hal ini, melainkan yang dipergunakan justru artikel (article) dan kata benda (noun) (Sutanto, 2003, hlm. 858). Justru melalui pelanggaran mereka, keselamatan tiba pada bangsa-bangsa lain atau dengan kata lain, bangsa-bangsa lain diselamatkan. Terjemahan Indonesia tidak memberi pengertian siapa bangsa-bangsa lain, tetapi terjemahan Inggris menggunakan the Gentiles (orang-orang kafir). Sungguh menarik. Tuhan melalui Paulus membukakan kepada kita bahwa Tuhan justru menyelamatkan banyak orang yang non-Yahudi yang oleh orang-orang Yahudi dianggap kafir. Kata “keselamatan” di sini menurut Dr. John Gill di dalam John Gill’s Exposition of the Entire Bible merujuk kepada Injil (Gospel). Berarti, Tuhan membukakan kepada kita bahwa Injil bukan hanya untuk orang-orang Yahudi saja, tetapi juga kepada semua orang pilihan-Nya dari berbagai bangsa, suku, status sosial/ekonomi, dan kaum. Kita melihat contoh sederhana dari penulis Surat Roma, yaitu Paulus. Dia sendiri memberitakan Injil kepada banyak orang non-Yahudi. Tuhan mengutusnya bukan untuk orang Yahudi, tetapi untuk orang-orang non-Yahudi, meskipun demikian ia tetap memiliki hati untuk mempertobatkan orang-orang Yahudi (Roma 11:13). Tuhan mengutus Paulus ke kota Roma, Efesus, Galatia, dll, bangsa-bangsa yang oleh orang Yahudi disebut sebagai “kafir”. Justru, kepada merekalah, Tuhan melawat mereka melalui Injil. Pemberitaan Injil oleh Paulus tidak hanya berhenti sampai di situ saja, ini terus berlanjut sampai sekarang. Tuhan memerintahkan kita untuk memuridkan segala bangsa bagi Dia (Matius 28:19). Ada pekerjaan/mandat pemberitaan Injil yang harus kita tunaikan. Mari kita menjangkau orang-orang yang bukan Kristen demi Injil Kristus. Mari kita tidak memiliki hati yang membenci ketika memberitakan Injil. Tunjukkan belas kasihan dan bukan kebencian. Di sisi lain, bagian ini mengajar kita satu prinsip yaitu sadar diri. Banyak orang “Kristen” tidak sadar diri. Artinya, mereka tidak menyadari seberapa jahatnya mereka di hadapan Tuhan bahkan ketika melakukan aktivitas-aktivitas yang kelihatannya “melayani ‘tuhan’”, persis seperti yang dilakukan oleh orang-orang Yahudi di zaman Tuhan Yesus. Mereka aktif beribadah, tidak lupa berpuasa, dll, tetapi ketika Kristus hadir, mereka tidak mengenali-Nya (lebih tepatnya, tidak mau mengenali-Nya), bahkan menyalibkan-Nya. Jangan-jangan, melalui pelayanan kita yang katanya kepada “Tuhan”, justru Tuhan dipermalukan dan merasa sedih. Biarlah kita mengintrospeksi diri. Ujilah motivasi dan hati kita, sungguhkah murni di hadapan Tuhan ketika melayani Tuhan? Ingat, jangan pikir, karena kita “Kristen” berarti kita masuk Surga. Tuhan bisa menyelamatkan orang-orang yang non-Kristen pada saat ini untuk nantinya dibawa kepada Kristus dan menjadi anak-anak-Nya. Ini berarti Tuhan berdaulat dan bagi kita, jangan pernah sombong akan status kita. Tidak menjamin seorang yang mengaku di bibir mulutnya “Kristen” pasti sungguh-sungguh Kristen, karena (mengutip perkataan Pdt. Dr. Stephen Tong) banyak orang “Kristen” yang sebenarnya anak-anak setan, sedangkan banyak anak Tuhan sementara ini masih indekos di luar Kristen (pada suatu saat mereka ditarik dan kembali kepada Kristus). Mari kita berhati-hati dan menguji hati dan kedewasaan rohani kita.

Bukan hanya keselamatan itu sampai kepada bangsa-bangsa non-Yahudi, keselamatan/Injil itu justru mempermalukan mereka yang Yahudi. Justru, melalui apa yang orang Yahudi lakukan, justru menentang Kristus dan Injil, orang-orang yang menurut mereka “kafir” justru mendapat berkat besar, yaitu Kristus dan Injil. Bahkan, orang-orang “kafir” tersebut bisa mempermalukan mereka yang Yahudi atau membuat orang Yahudi menjadi cemburu/iri hati. Bagaimana dengan kita? Kita yang katanya mengaku diri “melayani ‘tuhan’” lalu merasa sombong dan menghina orang lain sebagai “kafir”. Benarkah diri kita sudah beres? Atau jangan-jangan karena diri kita tidak beres, makanya kita menghina orang lain? Tuhan membukakan kita pada bagian ini yaitu Tuhan bisa menyelamatkan orang-orang yang sementara ini belum Kristen (untuk nantinya dibawa kepada Kristus) justru untuk mempermalukan orang-orang yang katanya “Kristen”. Jika Tuhan sampai melakukan hal itu, berhati-hatilah dan ujilah apa yang telah kita lakukan selama ini sebagai orang yang katanya “Kristen”. Benarkah kita Kristen sejati? Benarkah kita telah memberitakan Injil? Benarkah kita sungguh-sungguh melayani dan hidup bagi Kristus? Atau sebaliknya, kita justru hidup melayani diri sendiri tetapi menggunakan dalih “melayani ‘tuhan’”? Alangkah mengerikannya, jika etika dan dignitas orang-orang non-Kristen bisa lebih tinggi daripada orang-orang Kristen, lalu kita dihina dan nama Kristus dilecehkan hanya gara-gara segelintir orang yang mengaku “Kristen” bahkan “pemimpin gereja” berselingkuh atau melakukan tindakan asusila lainnya. Berdoalah agar Tuhan masih mengasihani kita yang rapuh dan lemah ini dengan menguatkan kita.


Di ayat 12, Paulus melanjutkan tentang keselamatan bangsa lain/“kafir” melalui pelanggaran orang-orang Israel, “Sebab jika pelanggaran mereka berarti kekayaan bagi dunia, dan kekurangan mereka kekayaan bagi bangsa-bangsa lain, terlebih-lebih lagi kesempurnaan mereka.” Bahasa Indonesia Sehari-hari (BIS) menerjemahkan, “Karena bangsa Yahudi bersalah dan tidak menuruti kemauan Allah, maka bangsa-bangsa lain diberkati oleh Allah. Apalagi kalau hubungan bangsa Yahudi dengan Allah menjadi baik kembali; tentu lebih besar lagi berkat yang akan diberikan oleh Allah!” TB-LAI memberikan dua pemisahan kalimat, yaitu pelanggaran mereka berarti kekayaan bagi dunia, dan kekurangan mereka merupakan kekayaan bagi bangsa-bangsa lain. Sedangkan BIS menggabungkan keduanya. Teks bahasa Yunani memisahkan dua bagian ini, seperti yang dilakukan oleh TB-LAI. Mari kita menyelidikinya dengan teliti.

Pertama, pelanggaran mereka berarti kekayaan bagi dunia. Kata “pelanggaran” dalam ayat ini sama dengan pelanggaran di ayat 11 (Yunani: paraptōma), bisa diterjemahkan kesalahan atau dosa. Lalu, kata “dunia” dalam bagian ini diterjemahkan oleh Pdt. Hasan Sutanto, D.Th. dalam Perjanjian Baru Interlinear (2003) sebagai (orang bukan Yahudi) di dunia (hlm. 858). Dan uniknya, struktur bahasa Yunani dari kata ini adalah menggunakan bentuk tunggal (singular). Di sini, kita melihat signifikansinya, yaitu melalui pelanggaran/kesalahan/dosa orang-orang Yahudi, orang non-Yahudi di luar Israel (di dunia) justru mendapat kekayaan (bisa diterjemahkan kepenuhan/fulness). Artinya, orang non-Yahudi di dunia secara personal bisa mendapatkan berkat lebih besar dan banyak melalui Injil yang didengarnya, ketimbang orang Israel yang mengaku hafal Taurat dan beribadah, tetapi mereka kehilangan fokus Allah dan janji-Nya. Hal ini telah kita rasakan pada saat ini. Kita sebagai orang Kristen tentu bukan orang Yahudi, karena kita adalah orang Indonesia. Tetapi berkat-berkat keselamatan dan Injil Kristus telah kita rasakan pengaruhnya dan alami jauh melebihi apa yang dirasakan dan dialami oleh orang-orang Israel dulu. Kita sudah mengetahui dan mempelajari makna-makna sebenarnya di dalam Perjanjian Lama dari sudut pandang Perjanjian Baru yang berfokus kepada Kristus, sehingga kita makin mencintai Tuhan dan firman-Nya (PL dan PB), serta taat pada Taurat. Di sisi lain, kita harus tetap waspada. Jangan-jangan, karena kita telah lama menjadi Kristen, kita telah kehilangan fokus Injil dan Kristus serta kita lupa (atau malas?) memberitakan Injil. Justru sebaliknya, orang-orang yang sementara ini belum Kristen ketika diinjili, atas pencerahan Roh Kudus, mereka langsung bertobat dan kembali kepada Kristus, serta berapi-api memberitakan Injil kepada rekan-rekan mereka yang dulu sama agamanya. Jangan heran, kalau di Surga, kita akan menjumpai banyak umat pilihan-Nya sejati bukan terdiri dari orang “Kristen” berpuluh-puluh tahun (“Kristen” turunan) apalagi banyak “pemimpin gereja” top di dunia yang sudah tidak lagi (atau malas?) memberitakan Injil, tetapi orang-orang Kristen yang mungkin hanya beberapa tahun namun hidupnya murni untuk melayani Tuhan. Biarlah ini menjadi koreksi dan introspeksi bagi hidup dan kerohanian kita.

Kedua, kekurangan mereka kekayaan bagi bangsa-bangsa lain. Kata “kekurangan” dalam bagian ini diterjemahkan dari bahasa Yunani hēttēma yang bisa diartikan secara objektif: kegagalan (failure). Dan kata “bangsa-bangsa lain” diterjemahkan oleh Pdt. Hasan Sutanto, D.Th. (2003) sebagai bangsa-bangsa bukan Yahudi (hlm. 858). Uniknya lagi, “bangsa-bangsa lain” menggunakan struktur bahasa Yunani: jamak (plural). Dengan kata lain, kegagalan mereka menangkap berita Injil dan Kristus justru sebenarnya membuat bangsa-bangsa non-Yahudi (atau bangsa kafir menurut arti dari Alkitab terjemahan Inggris) memperoleh kekayaan/kepenuhan berkat rohani. Kalau di poin pertama, berkat hanya diterima oleh umat pilihan-Nya yang non-Yahudi secara personal, maka di poin kedua, Paulus membesarkan ruang lingkupnya, yaitu berkat itu diterima dan dirasakan lebih besar oleh umat-Nya secara bersama-sama. Secara konteks dan latar belakang, apa yang Paulus ungkapkan ini membukakan kedok Israel di mata orang-orang non-Israel di Roma, mengingat di Roma, orang-orang Yahudi dan non-Yahudi yang sudah menjadi Kristen, dua-duanya hidup bersama dan menjadi jemaat. Kita yang hidup di saat ini telah mengalami dan merasakan apa yang diberitakan Paulus tentang berkat itu. Sebagai orang Kristen, kita bukan hanya menikmati berkat Injil secara pribadi lebih besar dan banyak dari orang-orang Israel, tetapi kita juga mampu menikmati berkat ini bersama-sama dengan rekan Kristen sejati lainnya dengan cara saling berbagi (sharing) Injil dan pendalaman Alkitab. Sejujurnya, sebagai orang Kristen, kita bisa mendapat banyak berkat lagi jika kita sama-sama saling berbagi Injil dan pengertian kita akan Alkitab dengan bertanggungjawab (tidak asal comot). Dengan melakukan sharing itu, kerohanian dan iman kita dibangun, dan hidup kita makin diarahkan pada Kristus sebagai Pusat. Itulah berkat “komunal” yang kita rasakan justru melalui kegagalan orang Israel meresponi Injil dan Kristus. Tuhan memakai hal-hal negatif untuk mendatangkan hasil positif bagi umat pilihan-Nya sejati. Puji Tuhan!

Ketiga, terlebih-lebih lagi kesempurnaan mereka. Kalau mereka sudah melanggar saja, orang-orang non-Yahudi sudah mendapatkan berkat besar (sampai dibilang: kaya), bagaimana jadinya jika mereka yang Yahudi meresponi Injil Kristus, pasti orang-orang non-Yahudi mendapatkan berkat yang bukan hanya kaya, tetapi sangat kaya. Kata “kesempurnaan mereka” diterjemahkan oleh Pdt. Hasan Sutanto, D.Th. (2003) sebagai “jumlah yang lengkap/pemenuhan (tuntutan Taurat) dari mereka.” (hlm. 858) Bagian ini sebenarnya berupa kata tanya (sesuai dengan struktur bahasa Yunaninya yang menggunakan interrogative/kata tanya). KJV menerjemahkan, “how much more their fulness?” Artinya, jika mereka lebih “sempurna”/lengkap lagi memenuhi tuntutan Taurat, maka mereka menjadi teladan banyak bangsa, seperti yang Tuhan perintahkan di PL, tetapi sayang, mereka tidak menaatinya. Hal ini juga menjadi pelajaran berharga bagi kita tentang apa arti ketaatan. Ketaatan bukan ditunjukkan secara fenomenal, tetapi secara esensial. Tuhan menuntut kita taat mutlak dari hati kita. Jika kita tidak taat, kita mengulangi pelajaran sejarah dari Israel yang kelihatan beribadah, tetapi sikap itu tidak keluar dari hati mereka. Mereka menjalani rutinitas agamawi. Jangan sampai Kristen menjadi “Kristen” rutinitas! Ketaatan kita biarlah keluar dari hati dan motivasi yang murni di hadapan Tuhan, sehingga ketaatan kita menjadi berkat dan teladan bagi orang lain demi kemuliaan nama-Nya.


Biarlah melalui perenungan dua ayat ini membukakan pikiran kita tentang arti umat pilihan Allah yang dikaitkan dengan ketaatan dan menjadi saksi Kristus di dalam pemberitaan Injil Kristus. Sudahkah kita menjadi saksi-Nya sebagai wujud kita telah ditebus oleh Kristus? Sudahkah kita memberitakan Injil? Amin. Soli Deo Gloria.

No comments: