10 May 2009

Resensi Buku-71: CORNELIUS VAN TIL: Suatu Analisis Terhadap Pemikirannya (Prof. John M. Frame, D.D.)

…Dapatkan segera…




Buku
CORNELIUS VAN TIL:
Suatu Analisis Terhadap Pemikirannya


oleh: Prof. John M. Frame, D.D.

Penerbit: Momentum Christian Literature, 2002

Penerjemah: Irwan Tjulianto





Deskripsi dari Denny Teguh Sutandio:
Rev. Prof. Cornelius Van Til, Ph.D. (3 Mei 1895 – 17 April 1987) adalah seorang theolog sekaligus apologet Reformed terkenal. Beliau sering diidentikkan dengan tokoh presuposisionalis di dalam metode apologetika. Siapa beliau dan apa saja yang beliau ajarkan di dalam theologi dan apologetika? Banyak buku yang ditulis untuk membahas ajaran-ajaran Dr. Van Til, baik buku yang mengapresiasi ajaran beliau secara berlebihan maupun buku yang mengkritik ajaran beliau juga secara berlebihan. Semuanya belum cukup merepresentasikan ajaran Van Til dengan tuntas, karena mereka menafsirkan ajaran Van Til hanya dari buku dan karya tulisnya saja tanpa berhubungan dengan Van Til di dalam kelas, dll. Lalu, bagaimana kita mendalami theologi dan apologetika Van Til? Tidak ada jalan lain, kita harus belajar dari seorang muridnya, yaitu Prof. John M. Frame, D.D. yang belajar langsung di bawah Dr. Van Til. Dr. John M. Frame memaparkan analisa yang mendalam, jelas, mendetail, dan cukup rumit berkenaan dengan Van Til dan ajaran-ajarannya.

Pertama-tama, Dr. Frame yang adalah seorang Van Tillian (pengikut Van Til) memaparkan bahwa analisa yang dilakukannya adalah analisa yang tuntas (bukan sepotong-potong) dan analisa yang fair, yaitu mengapresiasi ajaran Van Til yang memang perlu diapresiasi dan mengkritik ajaran Van Til yang memang perlu dikritik berdasarkan Alkitab dan logika Kristen. Hal ini dilakukannya secara konsisten di dalam setiap babnya. Kemudian, beliau membahas Dr. Van Til dari profil dan karakternya sehari-hari baik di dalam kelas tempat Dr. Van Til mengajar maupun di luar kelas. Setelah itu, Dr. Frame baru menguraikan semua theologi Dr. Van Til di dalam dua aspek, yaitu: Metafisika Pengetahuan (yang meliputi pembahasan: Pribadi Allah, Allah Trinitas, kedaulatan Allah, epistemologi, wahyu—umum dan khusus, presuposisi, dan hal-hal yang berkaitan dengan rasio/logika) dan Etika Pengetahuan (yang meliputi pembahasan: antitesis dan anugerah umum).

Kemudian, Dr. Frame beralih ke apologetika. Di dalam apologetika, Dr. Frame memaparkan kritikan Dr. Van Til terhadap 4 metode apologetika tradisional dari para bapa Gereja (Clement, Justin, Athenagoras, Irenaeus, Tertullian, dan Agustinus), Thomas Aquinas, Joseph Butler, dan Edward J. Carnell. Selain menyajikan kritikan tersebut, Dr. Frame juga menganalisa kelebihan dan kelemahan kritikan Dr. Van Til tersebut disesuaikan dengan maksud asli dari tokoh apologetika tradisional tersebut. Setelah itu, Dr. Frame baru memaparkan metode dan aplikasi apologetika Dr. Van Til melalui pamflet Dr. Van Til, “Mengapa Saya Beriman Kepada Allah.”

Dari apologetika, Dr. Frame beralih kepada kritik Dr. Van Til sebagai kritikus terhadap filsafat dan theologi yang bertentangan dengan Alkitab. Ajaran yang Dr. Van Til kritik adalah ajaran dari: filsafat Yunani, Skolastisisme, Immanuel Kant, Karl Barth, dan Herman Dooyeweerd. Selain memaparkan kritikan Van Til, Dr. Frame juga memaparkan analisanya sendiri terhadap kritikan Van Til yang disesuaikan dengan maksud asli dari ajaran para tokoh yang dikritik Van Til.

Sebagai kesimpulan, Dr. Frame memaparkan para penerus Van Til dan mendorong pembaca Kristen untuk meneladani Van Til (di dalam ajaran-ajaran yang benar) di dalam babnya, “Van Til dan Masa Depan Kita.” Kemudian, Dr. Frame memaparkan bagaimana tanggapan theolog Reformed modern terhadap theologi dan metode apologetika Van Til. Hal ini dipaparkannya melalui Apendiks di mana Dr. Frame memaparkan tafsiran para penulis dari Ligonier Ministries terhadap Van Til dan analisa Dr. Frame. Dan kemudian, sebagai penutup, Dr. Frame memasukkan artikel dan ulasan dari Rev. Prof. Edmund P. Clowney, D.D. yang adalah mantan Presiden dari Westminster Theological Seminary, U.S.A. tentang Dr. Van Til sebagai pengkhotbah Firman Tuhan. Di dalam artikel Dr. Clowney ini, Dr. Clowney memaparkan kaitan theologi dan apologetika Van Til terhadap pelayanan khotbah yang Dr. Van Til lakukan. Dari artikel ini, saya belajar bahwa Van Til bukan hanya sosok theolog yang berkutat dengan buku-buku akademis, namun juga sebagai pemberita Firman di sebuah lapangan terbuka di Wall Street, New York, U.S.A. Ini juga menjadi pelajaran bagi para theolog, profesor theologi, dan pendeta agar mereka bukan hanya gemar berkutat dengan buku-buku theologi akademis, namun juga memiliki api dan semangat pemberitaan Injil dengan kuasa Roh Kudus.

Biarlah melalui buku yang tebal ini, kita boleh dimengertikan tentang theologi, apologetika, dan pelayanan khotbah dari Dr. Van Til dan mengaplikasikannya sesuai dengan Alkitab.






Profil Dr. John M. Frame:
Prof. John M. Frame, M.A., M.Phil., D.D. adalah Profesor Theologi Sistematika dan Filsafat di Reformed Theological Seminary, U.S.A. Beliau meraih gelar Bachelor of Arts (A.B.) dari Princeton University, U.S.A.; Bachelor of Divinity (B.D.) dari Westminster Theological Seminary, U.S.A.; Master of Arts (M.A.) dan Master of Philosophy (M.Phil.) dari Yale University, U.S.A.; dan gelar Doctor of Divinity (D.D.) dari Belhaven College. Beliau menulis beberapa buku, di antaranya:
· Van Til, the Theologian (1976)
· The Doctrine of the Knowledge of God (1987) (sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia: Doktrin Pengetahuan tentang Allah oleh Literatur SAAT Malang)
· Medical Ethics (1988)
· Perspectives on the Word of God (1990)
· Evangelical Reunion (1991)
· Apologetics to the Glory of God (1994) (sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia: Apologetika bagi Kemuliaan Allah oleh Penerbit Momentum)
· Cornelius Van Til: An Analysis of his Thought (1995) (sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia: Cornelius Van Til: Suatu Analisis Terhadap Pemikirannya oleh Penerbit Momentum)
· Worship in Spirit and Truth (1996)
· Contemporary Music: a Biblical Defense (1997)

Roma 15:4-7: KESATUAN JEMAAT-1: Dasar

Seri Eksposisi Surat Roma:
Menjadi Berkat Bagi Sesama-3


KESATUAN JEMAAT-1: Dasar

oleh: Denny Teguh Sutandio



Nats: Roma 15:4-7



Setelah menjelaskan bahwa sesama jemaat harus saling menguatkan, maka Paulus menjabarkan ide dasarnya yaitu kerukunan antar jemaat. Jemaat yang saling menguatkan harus dilatarbelakangi dengan kerukunan antar jemaat. Jemaat yang tidak rukun satu sama lain tidak mungkin menghasilkan sikap saling menguatkan, karena jemaat tersebut tidak saling mengenal satu sama lain. Di zaman postmodern, ide kerukunan juga ditekankan, tetapi apakah ide kerukunan ala Alkitab sama dengan ide kerukunan ala postmodern? MUTLAK BERBEDA! Di mana letak perbedaannya? Dalam keempat ayat yang akan kita bahas ini, kita akan mendapatkan gambaran menyeluruh tentang kerukunan antar sesama jemaat yang Alkitab ajarkan.


Kerukunan antar jemaat dimulai dengan presuposisi bahwa kita bersama berpegang pada pengharapan yang sama di dalam Kristus. Hal ini diajarkan Paulus di ayat 4, “Sebab segala sesuatu yang ditulis dahulu, telah ditulis untuk menjadi pelajaran bagi kita, supaya kita teguh berpegang pada pengharapan oleh ketekunan dan penghiburan dari Kitab Suci.” Pernyataan “segala sesuatu yang ditulis dahulu” di dalam New International Version (NIV) Spirit of the Reformation Study Bible ditafsirkan sebagai kitab Perjanjian Lama yang dituliskan di bawah providensia/pemeliharaan Allah bermanfaat bagi orang Kristen sebagai dasar pendirian Perjanjian Baru (hlm. 1836). Kemudian, NIV Spirit of the Reformation Study Bible memberikan ayat referensi Roma 4:23, 24 sebagai dasar mengerti Roma 15:4 ini. Roma 4:23, 24, “Kata-kata ini, yaitu "hal ini diperhitungkan kepadanya," tidak ditulis untuk Abraham saja, tetapi ditulis juga untuk kita; sebab kepada kitapun Allah memperhitungkannya, karena kita percaya kepada Dia, yang telah membangkitkan Yesus, Tuhan kita, dari antara orang mati,” Secara konteks, Roma 4 berbicara mengenai iman Abraham. Karena Abraham dibenarkan karena imannya, maka itu juga berlaku bagi kita sebagai umat pilihan yang percaya kepada Allah yang telah membenarkan kita melalui penebusan Putra Tunggal-Nya, Tuhan Yesus Kristus. Hal inilah yang dimaksudkan Paulus di ayat 4 bahwa apa yang telah dituliskan dahulu (PL) bermanfaat untuk mengajar kita sekaligus mengarahkan kita kepada penggenapannya di dalam Perjanjian Baru. Tidak hanya berhenti di sini saja, Paulus juga mengajar bahwa dari situ, kita teguh berpegang pada pengharapan oleh ketekunan dan penghiburan dari Kitab Suci. Teks Yunani dan NIV menerjemahkan bahwa melalui ketekunan/ketabahan dan penghiburan (NIV: encouragement/dorongan), kita mempunyai pengharapan. Dengan kata lain, ketekunan dan penghiburan/dorongan dari PL membawa kita terus menuju kepada pengharapan yang kita miliki. Pengharapan inilah yang membawa kita kepada Kristus sebagai satu-satunya sumber pengharapan yang sejati. Satu pengharapan di dalam Kristus mengakibatkan sesama umat Tuhan memiliki kerukunan sejati. Bagaimana dengan kita? Sudahkah kita memiliki satu pengharapan sejati yaitu di dalam Kristus di dalam gereja Tuhan?
Ketekunan dan penghiburan bukan hanya dari Kitab Suci, Paulus menjelaskan di ayat 5, “Semoga Allah, yang adalah sumber ketekunan dan penghiburan, mengaruniakan kerukunan kepada kamu, sesuai dengan kehendak Kristus Yesus,” Di ayat ini, Paulus tidak hanya mengajar bahwa Kitab Suci memberi ketekunan dan penghiburan kepada kita, tetapi Allah sendirilah yang sebenarnya memberi kita ketekunan dan penghiburan (NIV menerjemahkan, “May the God who gives endurance and encouragement...”) King James Version (KJV) menerjemahkannya dengan mengaitkan Allah sebagai Ketekunan dan Penghiburan (“Now the God of patience and consolation”) Terjemahan teks Yunani sama dengan terjemahan KJV di atas. Meskipun terdapat sedikit perbedaan pernyataan di ayat 5a, maksud utama Paulus tentu tidak berbeda, yaitu hanya Allah saja yang mampu memberikan ketekunan/ketabahan dan penghiburan/dorongan kepada umat-Nya. Di kala umat-Nya mengalami masalah, Allah adalah Allah yang setia yang tekun dan mendorong (memberi kekuatan kepada) umat-Nya, sehingga mereka mengalami kemenangan demi kemenangan di dalam Kristus. Ketika Allah memberi kemenangan kepada kita di dalam setiap masalah, itu bukan karena kehebatan kita, tetapi karena anugerah Allah. Meskipun Allah tidak memberikan kemenangan kepada kita salah satunya berupa jalan keluar, Ia pasti memberikan kemenangan kepada kita melalui cara lain yang tidak pernah kita pikirkan. Lalu, apakah berarti Allah yang adalah Ketekunan dan Penghiburan itu hanya dimiliki oleh orang Kristen secara individual? TIDAK. Paulus menambahkan penjelasannya yaitu bahwa Allah yang adalah Ketekunan dan Penghiburan itulah yang juga mengaruniakan kerukunan kepada kita, sesuai kehendak Kristus Yesus. NIV menerjemahkan, “...give you a spirit of unity among yourselves as you follow Christ Jesus.” (=...memberikan kepada kita roh kesatuan di antara kamu karena/sambil kamu mengikut Kristus Yesus.) KJV menerjemahkan, “...grant you to be likeminded one toward another according to Christ Jesus:” (=...memberikan kepada kita pikiran yang sama satu sama lain menurut Kristus Yesus:) Teks Yunani menerjemahkannya, “...semoga memberikan kepadamu yang sama untuk mempunyai pikiran (satu dengan yang lain) menurut Kristus Yesus,” (Hasan Sutanto, 2003, hlm. 873) Dengan kata lain, Allah yang adalah Ketekunan dan Penghiburan bukan menjadi jaminan bagi keegoisan orang Kristen di dalam memecahkan masalahnya sendiri, tetapi sebagai jaminan agar sesama umat Tuhan hidup rukun. Hidup rukun dalam terjemahan LAI ini diterjemahkan sebagai hidup bersatu/roh persatuan (NIV), sehati sepikir (KJV), pikiran yang sama (terjemahan dari teks Yunani). Dengan kata lain, kerukunan antar jemaat ditandai dengan semangat persatuan di dalam tubuh Kristus yang ditandai dengan sehati sepikir dan semuanya itu harus menurut Kristus Yesus. Jadi, ada dasar dari persatuan yaitu ketekunan dan pengharapan/dorongan dari Allah ditambah tujuan dan fokus dari persatuan yaitu Tuhan Yesus Kristus. Persatuan yang tidak memenuhi kedua unsur ini bukanlah persatuan yang Alkitab inginkan. Dengan kata lain, semangat oikumene ala postmodern di tengah-tengah Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI) bukan semangat persatuan yang Alkitab inginkan, karena semangat ini tidak berfokus kepada Kristus. Gereja-gereja yang mengakui finalitas Kristus sebagai satu-satunya Juruselamat bisa disamakan dengan gereja-gereja yang mengakui relativitas karya Kristus sebagai satu-satunya Juruselamat, lalu katanya ini persatuan? TIDAK! Ini persatuan fenomenal yang tidak pernah dikehendaki Tuhan. Ingatlah, gelap dan terang MUTLAK TIDAK bisa bersatu! Jangan pernah mempersatukan gereja yang beres dengan gereja yang tidak beres! Itu jelas menyalahi unsur fokus dari persatuan yaitu Kristus Yesus. Yang benar adalah sesama umat pilihan Tuhan bersatu padu di dalam iman yang beres kepada dan di dalam Kristus saling bersatu dan menguatkan. Di situlah kerukunan dan kesatuan sejati dibangun di atas dasar dan fokus yang benar. Sudahkah kita membangun kesatuan di atas dasar dan fokus yang benar?


Lalu, apa wujud dari persatuan di dalam Kristus itu? Paulus menjabarkannya di dalam dua ayat, yaitu ayat 6 dan aplikasi praktisnya di ayat 7. Di ayat 6, Paulus mengajarkan, “sehingga dengan satu hati dan satu suara kamu memuliakan Allah dan Bapa Tuhan kita, Yesus Kristus.” Dengan lebih tajam lagi, Paulus mengajar bahwa inti persatuan bukan kompromiisme tetapi kemuliaan Allah. Di poin ini, ia membedakan persatuan dari perspektif Alkitab dengan perspektif dunia. Alkitab mengajarkan bahwa persatuan dibangun dan sangat memperhatikan unsur kebenaran hakiki (Truth) di dalam dan di atasnya, yaitu Allah dan kemuliaan-Nya. Allah dimuliakan ketika umat pilihan-Nya bersatu bersama-sama di dalam iman yang beres di dalam dan kepada Kristus menggenapkan tugas panggilan-Nya, yaitu memperluas dan memberitakan Kerajaan-Nya di muka bumi ini. Umat pilihan-Nya berasal dari semua denominasi gereja, yang terpenting adalah sungguh-sungguh beriman kepada Kristus. Sedangkan dunia mengajarkan persatuan dengan menitikberatkan pada dosa dan kehendak manusia. Matthew Henry di dalam Matthew Henry’s Commmentary on the Whole Bible menjelaskan persatuan versi dunia ini sama seperti persatuan yang dibangun manusia berdosa ketika membangun Menara Babel (Kej. 11:6) dan persatuan ini disebut oleh Matthew Henry sebagai persatuan yang melawan Kristus. Apa semboyan utama persatuan ala duniawi (meskipun di“baptis” dalam nama “yesus”)? Matthew Henry menuturkannya, “Let Christ Jesus be the centre of your unity. Agree in the truth, not in any error.” (=Biarlah Kristus Yesus menjadi pusat dari kesatuan kita. Setuju di dalam kebenaran, tidak setuju di dalam segala kesalahan.) Di balik semboyan ini, meskipun setuju kepada/di dalam kebenaran, sebenarnya bukan kebenaran hakiki yang dimaksud, tetapi kebenaran yang cocok dengan dirinya. Dari mana saya tahu? Karena kalimat selanjutnya berbunyi, “not in any error.” Berarti yang penting berpusat kepada Kristus, ajaran apa pun yang sama (berpusat kepada Kristus) marilah kita setujui, sedangkan yang tidak sama tidak perlu kita setujui bahkan tidak perlu kita pedulikan. Hal ini ada sedikit unsur yang benar, yaitu hal-hal sekunder tidak perlu kita perdebatkan (bdk. Rm. 14), tetapi di sisi lain, hal ini bisa berbahaya. Logika ini sangat tidak masuk akal. Sebuah iman yang sungguh-sungguh berpusat kepada Kristus, doktrin-doktrin yang dibangunnya pasti berasal dari Kristus, oleh Kristus, dan bagi Kristus (Rm. 11:36). Dengan kata lain, dari awal sampai akhir sebuah doktrin dari iman ini pasti bersumber kepada Kristus. Sehingga, adalah hal yang mustahil jika ada suatu iman yang katanya mengaku berpusat kepada Kristus, tetapi doktrin keselamatannya sangat antroposentris (berpusat pada manusia). Dengan demikian, bisakah gereja-gereja yang orthodoks yang mengakui finalitas karya Kristus sebagai satu-satunya Juruselamat bisa bersatu dengan gereja-gereja “liberal” yang secara implisit menolak finalitas Kristus? Jika bisa, persatuan ini di titik pertama telah menyalahi hakikat persatuan yang utama yaitu kemuliaan Allah, karena persatuan ini telah merusak kemuliaan Allah.

Bukan hanya berfokus kepada kemuliaan Allah saja, persatuan juga ditandai dengan kesehatian umat Tuhan. Hal ini ditandai dengan penggunaan pernyataan, “dengan satu hati dan satu suara...” di ayat 6 ini. Ketika umat Tuhan sehati sepikir bersatu memuliakan Allah, di saat itulah terjadi persatuan sejati. Sayang, umat Tuhan dewasa ini sangat terpecah. Mereka lebih mementingkan golongan gereja dan doktrin sendiri lalu menghina doktrin lain sebagai “tidak ada ‘roh kudus’.” Mereka tidak lagi berpusat kepada Kristus dan Kebenaran-Nya, tetapi pada denominasi. Akibatnya, tidak usah heran, beberapa golongan Kristen termasuk gereja dan lembaga pendidikan “Kristen” telah memblacklist kegiatan penginjilan yang diselenggarakan oleh lembaga tertentu yang beres dengan alasan takut, gerejanya dicuri oleh lembaga ini. Memang terdengar aneh, sebuah sekolah “Kristen” menolak kegiatan penginjilan, sedangkan banyak sekolah negeri mendukung kegiatan penginjilan. Berarti, yang lebih beres itu sekolah “Kristen” atau sekolah negeri? Bertobatlah hai sekolah-sekolah “Kristen” yang berani melarang penginjilan! Sudah saatnya orang Kristen bangun dari tidur. Bangun dari keberpihakan pada lembaga atau denominasi gerejanya masing-masing. Bangun dari ketiduran akan filsafat-filsafat dunia yang berdosa yang mengarahkan orang-orang Kristen kepada humanisme atheis! Bangun dan berdirilah tegak, bersatu padu, sehati sepikir, dan bersama-sama memuliakan Allah dengan menggenapkan kehendak-Nya! Bangun untuk mempersiapkan diri dengan belajar Alkitab baik-baik dan memberitakan Injil demi memperluas Kerajaan-Nya! Jangan ditipu oleh setan yang memakai beberapa sekolah “Kristen” menolak penginjilan! Lawanlah iblis dan matikan siasatnya! Berjuang dan bersatulah menegakkan dan menggenapkan kehendak-Nya sesuai dengan firman-Nya.


Lalu, bagaimana aplikasi praktis ayat 6? Di ayat 7, ia menjelaskan, “Sebab itu terimalah satu akan yang lain, sama seperti Kristus juga telah menerima kita, untuk kemuliaan Allah.” Wujud dari kita sehati sepikir memuliakan Allah adalah dengan kita menerima satu sama lain demi kemuliaan-Nya. Kita menerima satu sama lain itu seperti Kristus telah menerima kita. Berarti, sebagaimana Kristus telah menerima kita saat kita masih berdosa, maka kita pun harus berlaku hal yang sama, menerima umat Tuhan yang lain untuk bersama-sama bertumbuh di dalam pengenalan akan Allah dan memuliakan-Nya. Kadang kala kita terlalu egois. Ketika kita mengetahui bahwa ada orang Kristen dari gereja lain yang ekstrem, kita langsung masa bodoh dan menghina mereka. Seharusnya kita tidak perlu demikian. Kita harus membimbing mereka yang dari gereja yang kurang bertanggungjawab agar mereka bisa bertumbuh di dalam pengenalan akan Allah dengan bertanggungjawab sesuai firman-Nya. Kita bisa mengajak mereka bersama-sama bertumbuh di dalam firman Tuhan, lalu kita bersama-sama pula memuliakan Allah. Lagi-lagi, Paulus menekankan fokus dari tindakan ini adalah kemuliaan Allah. Allah dimuliakan ketika kita memiliki satu hati, visi, pikiran, misi, tujuan, dan gerak dengan umat Tuhan lain. Sudahkah kita memiliki satu hati, visi, pikiran, misi, tujuan, dan gerak yang hanya berpusat kepada Allah dan demi kemuliaan-Nya?


Setelah kita merenungkan empat ayat di atas, apa yang menjadi respons kita? Apakah kita masih egois mementingkan organisasi/denominasi/lembaga kita sendiri? Biarlah kita tidak lagi bersikap dan berpikir demikian. Biarlah Roh Kudus membakar hati kita agar kita memiliki semangat yang berkobar-kobar memuliakan Kristus bersama-sama umat Tuhan dari gereja lain. Amin. Soli Deo Gloria...

Matius 14:34-36: THE PEAK OF THE POWER OF CHRIST (Pdt. Sutjipto Subeno, M.Div.)

Ringkasan Khotbah : 5 Agustus 2007

The Peak of the Power of Christ
oleh: Pdt. Sutjipto Subeno, M.Div.

Nats: Mat. 14:34-36


Injil Matius 14:34-36 merupakan ayat jembatan yang menghubungkan perikop sebelum dengan sesudahnya. Lembaga Alkitab Indonesia (LAI) meletakkan ketiga ayat ini dalam perikop tersendiri dan memberinya judul seringkali menjadi salah satu faktor penyebab kesalahan dalam penafsiran. Beberapa kesalahan penafsiran yang muncul, antara lain:
1) Tuhan Yesus datang membawa kesembuhan dan sampai detik ini, orang pun masih mempunyai pemikiran yang sama, 2) Tuhan Yesus datang ke dunia untuk memenuhi kebutuhan manusia. Penafsiran salah ini muncul karena Injil Matius tidak menuliskan misi Tuhan Yesus datang ke Genesaret. Inilah citra manusia berdosa yang selalu berpikir antroposentris, yakni segala sesuatu harus dilihat dari kepentingan manusia. Pemikiran yang sama juga dicetuskan oleh Abraham Maslow bahwa manusia mempunyai kebutuhan dasar yang harus dipenuhi, yakni kebutuhan fisik, kebutuhan keamanan, kebutuhan kasih, kebutuhan estetika, dan kebutuhan aktualisasi diri. Perhatikan, Kritus datang bukan untuk kepentingan manusia tetapi karena Ia mengasihi manusia berdosa, 3) ayat ini ditafsir mistik – dengan menyentuh ujung jubah jumbai-Nya saja maka orang menjadi sembuh akibatnya, hari ini, orang memistikkan segala macam benda. Kalau 50 atau 60 tahun yang lalu, dunia barat dikuasai oleh modernitas yang anti dengan segala bentuk metafisika, semua hal yang tidak rasional langsung dikatakan sebagai tahayul. Namun sejak tahun 1800-an, pengaruh gerakan zaman baru, new age menjadikan orang berkiblat ke timur – dunia mulai memistikkan segala sesuatu maka tidaklah heran, berita-berita hari ini bernuansa supranatural dan salah satu buku terlaris di dunia adalah buku yang bersifat mistik, seperti Harry Potter, the Lord of the Rings, dan masih banyak lagi.
Kristen sejati harus kembali pada Allah sejati dengan cara pandang yang tepat seperti yang Tuhan inginkan dengan demikian kita tidak salah dalam mengintepretasi ayat. Sesungguhnya, firman Tuhan telah memberikan pada kita prinsip-prinsip yang cukup untuk tidak menjadi sesat. Karena itu, janganlah menafsirkan Alkitab hanya dengan melihat sebagian ayat saja tetapi kita harus melihatnya secara kontekstual. Injil Matius 14:34-36 membukakan beberapa aspek:
1. Kedaulatan Kristus bersifat universal
Kuasa Kristus yang dahsyat ini membuat seorang raja besar Herodes takut dan kuasa Kristus ini memuncak ketika Tuhan Yesus memberi makan lebih dari 5000 orang laki-laki dengan 5 roti 2 ikan. Setelah mujizat dahsyat itu, orang ingin menjadikan Kristus sebagai Raja; Tuhan Yesus tahu akan hal ini bukan karena mereka mengerti tanda tetapi karena mereka kenyang. Ironis, mujizat dahsyat itu tidak menjadikan mereka takjub dan menyembah Allah. Sebaliknya, manusia berdosa hanya mementingkan diri sendiri. Menyembah berasal dari bahasa Yunani, proskuneo atau abodah dalam bahasa Ibrani, atau to bow down dalam bahasa Inggris. Menyembah merupakan suatu sikap hormat, reverence pada Allah yang berdaulat. Kalau seorang Kaisar Cina saja mempunyai aturan bagaimana menghormat dia – berlutut, menyembah dengan kepala sampai membentur ke tanah dan berjalan beberapa langkah, berlutut lagi demikian seterusnya sampai tiba di hadapan sang kaisar maka sikap kita pada Raja pemilik alam semesta yang berdaulat mutlak harusnya lebih dari itu. Bagaimana sikap kita selama ini ketika datang menyembah pada Raja yang Berdaulat?
Genesaret berada di tepi timur yakni tepi yang berseberangan dengan wilayah bangsa Yahudi. Tuhan Yesus ingin menunjukkan bahwa Dia adalah Allah yang berkuasa dan kuasa-Nya tidak dibatasi oleh ruang dan waktu. Sebab, hari itu ada pemikiran tentang allah yang terbatas dimana setiap daerah punya ”allah” sendiri dan kuasa ”allah” itu hanya terbatas, ia tidak berkuasa kalau ia berada di luar daerahnya. Itulah sebabnya, mereka menjajah ke negara-negara lain untuk menunjukkan kedahsyatan ”allah” mereka. Injil Matius membukakan pada kita bahwa Kristus adalah Allah yang tidak terbatas, kuasa-Nya tidak terbatas hanya di wilayah Israel saja dan hal ini dibuktikan kuasa-Nya tetap dahsyat ketika Tuhan Yesus berada di seberang. Kalau sebelumnya, muncul pengakuan dari para murid bahwa Kristus adalah Anak Allah (Mat. 14:33) - kuasa dan kedaulatan-Nya bersifat universal. Allah kita adalah Allah yang tidak terbatas, Ia tidak dapat dibatasi oleh ruang dan waktu. Dia berdaulat penuh. Siapapun dia, setinggi apapun jabatannya, ia harus tunduk dan taat mutlak pada Allah yang berdaulat. Celakanya, hari ini Kekristenan sangat jarang bahkan dapat dikatakan tidak menekankan tentang ketaatan mutlak pada Allah sejati dan hidup setia dalam Tuhan. Hanya kepada Allah sejati saja kita harus menyembah dan mengabdikan seluruh hidup kita. Betapa indah hidup kita kalau kita berada dalam pimpinan Allah yang berdaulat.
2. Kuasa penyelamatan dan Umat pilihan
Orang-orang yang berada di Genesaret itu merasa takjub ketika Tuhan Yesus ada di tengah-tengah mereka sebab selama ini, mereka pikir Tuhan Yesus hanya datang untuk orang-orang Israel saja. Sebab di lain pihak, Tuhan Yesus menegaskan bahwa Ia datang untuk orang Israel sedang orang di luar Israel tidak lebih hanyalah anjing yang hanya berhak mendapat remah-remah belaka. Maka tidaklah heran kalau mereka beranggapan bahwa kedatangan Tuhan Yesus semata-mata hanya untuk orang Israel saja dan kalaupun ada yang mendapatkan tempat maka itu merupakan suatu anugerah. Sepertinya, bangsa Israel begitu istimewa di dunia apalagi ketika kekristenan dikuasai oleh kaum zionis, gerakan orang Yahudi di Amerika yang menguasai berbagai bidang, mereka berusaha untuk mempengaruhi orang Kristen di seluruh dunia. Seluruh orang Kristen harus memperhatikan dan mendukung perjuangan orang Israel untuk menegakkan kerajaan Daud kembali karena dialah umat pilihan Tuhan bahkan mereka berani mengklaim bahwa dunia akan hancur kalau mereka hancur. Orang Kristen sepertinya sangat bergantung pada mereka. atau dunia ini akan hancur. Pandangan yang salah! Hal ini karena pengaruh dari third wave movement dimana Dallas Seminary sebagai penggerak utamanya dan membawa dunia masuk ke dalam pemikiran dispensasialisme, seolah-olah kita memang harus mendukung orang Israel dan kita menjadi orang-orang golongan kedua yang bergantung pada mereka. Perhatikan, Alkitab menegaskan: Kamulah bangsa yang terpilih, imamat rajani, bangsa yang kudus, umat kepunyaan Allah. Kalimat ini muncul karena perjanjian Allah pada bangsa Israel sudah digagalkan. Prinsip kontinu dan diskontinu menjadi point penting dalam reformed theology.
Kebenaran sejati, truth tidak dikunci oleh ruang dan waktu. Berbeda halnya dengan kebenaran yang temporer maka ia hanya dapat dipakai di ruang dan waktu tertentu saja. Adalah tugas setiap orang Kristen untuk memberitakan kebenaran sejati ke seluruh dunia. Masih banyak orang yang belum pernah mendengar tentang kebenaran sejati. Sangatlah mengenaskan, hari ini bukan kebenaran sejati yang diberitakan tetapi orang memanipulasi firman untuk kepentingan diri untuk mendapatkan keuntungan pribadi. Tuhan Yesus datang ke tengah dunia yang kotor dan hina dengan segala kemiskinan – Ia menyatakan kedaulatan-Nya. Namun kalau kita membaca ayat yang dibawanya maka kita melihat orang Farisi tidak dapat menerima apa yang Tuhan Yesus lakukan karena menurut mereka, cara Tuhan Yesus tidak sesuai dengan apa yang mereka pikirkan.
Disini kita melihat pentingnya tiga ayat ini yang menjadi ayat jembatan untuk kita memahami perdebatan sengit yang terjadi antara Tuhan Yesus dan orang Farisi. Kalau pemikiran kita sudah salah maka masuk di pasal 15, kita akan pro orang Farisi, kita akan memiliki cara berpikir sama seperti orang Farisi yang duniawi. Hal inilah yang sekarang banyak dilakukan oleh gereja, gereja mulai berkompromi dengan cara dunia dan memanipulasi firman untuk kepentingan diri. Berita kebenaran sejati tidak lagi diberitakan. Orang mengaku Kristen tetapi mereka tidak mau firman, mereka mau Kristus tetapi menolak berita Kristus, mereka ingin mendapat berkat tetapi menolak Tuhan. Perhatikan, Allah adalah Allah yang berdaulat, manusia harus tunduk pada-Nya, kita harus mengikut cara Tuhan bukan sebaliknya.
Kita harus mengerti bagaimana mengerti prinsip Allah dan memakai konsep berpikir Allah – segala pikiran kita harus ditundukkan ke bawah pikiran Allah dengan demikian kita tidak menjadi salah dan sesat dalam memahami Firman. Manusia berdosa seringkali berpikir dualisme dan cenderung tidak mau berubah dan merasa nyaman di suatu kondisi atau situasi, status quo tapi orang selalu menuntut orang lain untuk berubah. Perhatikan, karena kita hidup maka semua yang hidup di dalamnya pasti mengandung proses dan itu berarti ada perubahan. Prinsip kebenaran tidak pernah berubah tetapi perilaku dan sikap relativitas bisa berubah sewaktu-waktu. Inilah yang dimaksud dengan prinsip kontinu dan diskontinu yang ditegaskan dalam firman.
Manusia berdosa terjebak dalam salah satu prinsip sehingga ketika orang memegang prinsip kontinu maka dia akan anti diskontinu, sebaliknya ketika orang sudah memegang prinsip diskontinu maka dia akan anti kontinu. Orang-orang dispensasi memegang prinsip kontinu; mereka memegang prinsip PL sedemikian rupa hingga sikap dan perilaku pun juga harus konsisten sama seperti PL. Sebaliknya, orang dari golongan new age yang memegang prinsip diskontinu berpendapat bahwa semua harus berubah mulai dari wahyu harus baru, pujian harus baru, ibadah juga baru, pengkhotbah harus selalu baru dan masih banyak hal lain yang baru. Inilah yang terjadi hari ini, sebagian besar orang tidak memahami prinsip kontinu dan diskontinu dan sampai sebatas manakah kontinu dan sampai sebatas manakah diskontinu? Alkitab menyatakan bahwa prinsip kebenaran tidak boleh berubah akan tetapi implikasi sejarah selalu berubah. Kalau pada jaman PL, kebaktian selalu hari Sabat, setelah 6 hari bekerja maka orang harus beribadah namun setelah Tuhan Yesus bangkit pada hari pertama minggu itu, pertama kali kebaktian Kristen pada hari Pentakosta dimana khotbah Petrus hari itu adalah tentang Tuhan Yesus Kristus juruselamat dunia maka sekarang kita beribadah pada hari Minggu, hari pertama barulah kemudian kita bekerja hidup dipimpin oleh kebenaran firman. Inilah yang disebut dengan prinsip kontinu dimana prinsip sabat itu masih dipakai tetapi pelaksanaannya diskontinu. Orang yang memegang prinsip kontinu dan konsisten berarti ia harus memotong domba setiap hari pagi dan malam sebagai korban tebusan. Prinsip penebusan darah itu merupakan suatu konsep kontinu – orang berdosa harus dihukum mati maka sebagai tebusan harus diganti dengan nyawa; penebusan dosa harus melalui darah domba dan prinsip ini tidak pernah berubah. Namun hari ini kita tidak lagi menyembelih domba sebagai korban tebusan karena Kristus telah mati di atas kayu salib, menggenapkan seluruh korban domba sembelihan dan kematian itu satu kali untuk selamanya. Prakteknya menjadi diskontinu.
Kalau kita telah memahami prinsip kontinu dan diskontinu maka konsep kita harusnya berubah – Israel bukan lagi umat pilihan dimana keselamatan hanya ada pada bangsa itu dan setiap orang yang mau diselamatkan harus menjadi Israel terlebih dahulu. Tidak! Israel tidak lagi menjalankan misi yang bersifat menglobal. Allah ingin supaya orang Israel pergi ke seluruh bangsa dan mengenalkan Allah Yehovah pada bangsa lain namun yang terjadi orang Israel telah menafsirkan salah akan hal ini sehingga mereka menajdi egois dan sombong. Allah menghentikan perjanjian-Nya dengan Israel – carang yang asli itu telah dipotong dan sebagai gantinya carang liar dicangkokkan ke dalamnya. Carang liar ini adalah seluruh umat yang percaya kepada Allah. Hal ini menjadikan kita bangsa yang baru, umat pilihan Allah, imamat yang rajani. Prinsip umat pilihan itu masih berjalan namun siapa yang menjadi umat pilihan menjadi diskontinu; orang Israel tidak lagi menjadi umat pilihan tetapi umat pilihan adalah semua orang percaya. Konsep inilah yang ingin dibongkar oleh Tuhan Yesus dengan menyeberang-Nya Ia ke Genesaret yang dipandang sebagai bangsa kafir. Injil adalah untuk semua manusia.
3. Kuasa Kristus melampaui sistem
Allah mempunyai kekuatan kuasa yang tidak diatur dengan cara manusia. Ketika Tuhan menetapkan cara-Nya, manusia tidak berhak mengatur-Nya. Ketika mereka memegang ujung jumbai jubah Kristus maka mereka pun menjadi sembuh. Yang menjadi pertanyaan adalah kuasa kesembuhan itu ada pada jumbai jubah ataukah pada firman Kristus? Disinilah letak permasalahannya, orang mistik pasti berpendapat bahwa ujung jumbai itulah yang membawa kuasa kesembuhan. Tidak! Kuasa Firman itulah yang berkuasa dan maksud kedatangan Kristus bukan untuk menyembuhkan tetapi Ia ingin menunjukkan kuasa kedaulatan-Nya dan cara-Nya pun haruslah sesuai dengan cara Allah. Hal ini penting karena dalam perjalanan sejarah, orang Kristen terlalu dikuasai oleh sistem.
Allah kita adalah Allah yang teratur dan Ia ingin kita juga teratur tetapi letak persoalannya bukan kita yang mengatur tetapi Allah yang mengatur, how to submit the system back to God? Disinilah kita harus taat dan tunduk mutlak. Ketaatan adalah menundukkan segala pemikiran dan cara kita menuju kepada pikiran dan cara Allah. Sistem manajemen berarti kembalinya pada kehendak Allah dan kita tidak terkunci di dalamnya. Perhatikan, sistem hanyalah bersifat mati dan kita adalah hidup maka hidup yang dikunci oleh sesuatu yang mati berarti ia sudah mati sebelum ia mati. Tuhan ingin kita yang hidup ini memakai sesuatu yang sifatnya mati tersebut untuk menjalankan hidup. Itulah sebabnya, Tuhan memakai cara yang tidak lazim, yakni hanya dengan memegang jumbai jubah menjadi sembuh – Tuhan ingin menerobos cara ini dan hal ini tidak disukai oleh orang Farisi. Mereka mempunyai ratusan tatanan cara dan barang siapa yang melanggar akan dihukum; sistem begitu ketat. Tuhan Yesus ingin membongkar segala sistem ini dan menyadarkan mereka untuk kembali pada hukum sejati.
Hidup kristen janganlah dikunci oleh sistem namun tetapi bukan berarti kita mengabaikan sistem. Tidak! Sistem atau keteraturan itu tetap diperlukan namun janganlah kita dikunci oleh sistem; kita harus hidup dinamis. Janganlah religiusitas dikunci oleh sesuatu yang material. Tuhan telah memberikan contoh terbaik bagaimana hidup yang dinamis, yakni sistem yang ada di tubuh kita. Perhatikan, semua bergerak dengan dinamis dan sinkron. Kuasa Tuhan tidak dikunci oleh sistem tetapi bukan berarti kita liar. Artinya janganlah kemudian kita memistikkan benda, seperti jumbai yang membawa kesembuhan, saputangan, dan lain-lain. Kuasa bukan terletak pada bendanya tetapi Firman yang memungkinkan itu terjadi.
Betapa indah hidup iman kita kalau kita kembali pada pimpinan Tuhan dan sesuai dengan cara Tuhan. Hendaklah firman Tuhan mengubahkan hidup kita, tidak lagi berpikir humanis. Kuasa Tuhan sejati bukanlah kuasa yang hanya bersifat materi, miskin jadi kaya, sakit disembuhkan. Tidak! Tuhan telah memberikan pada kita kuasa-Nya untuk pergi memberitakan dan menegakkan kebenaran sejati di tengah dunia berdosa ini. Kuasa Tuhan itu akan beserta dengan kita kalau kita hidup dalam kebenaran dan melawan dosa. Kuasa Tuhan akan beserta ketika kita memberitakan Injil-Nya; kuasa untuk mentaati firman; kuasa melawan kelaliman. Inilah kuasa Tuhan sejati dan disitulah mujizat Tuhan itu nyata.

Tetapi semua orang yang menerima-Nya diberi-Nya kuasa supaya menjadi anak-anak Allah, yaitu mereka yang percaya dalam nama-Nya (Yoh. 1:12). Amin.

(Ringkasan khotbah ini belum diperiksa oleh pengkhotbah)
Sumber: