05 April 2012

Renungan Jumat Agung 2012: KEMATIAN SANG ANAK ALLAH (Denny Teguh Sutandio)

Renungan Jumat Agung 2012

KEMATIAN SANG ANAK ALLAH

oleh: Denny Teguh Sutandio

KEMATIAN MANUSIA

Setiap orang tanpa memandang jenis kelamin, status sosial, bangsa, warna kulit, agama, dll pasti mengalami kematian. Meskipun terdapat variasi definisi kematian, namun fakta mengatakan bahwa semua manusia pasti meninggal. Manusia meninggal bisa karena faktor usia, di mana orang tersebut sudah mencapai usia 70 tahun ke atas, atau mungkin karena orang tersebut mengalami kecelakaan (misalnya tabrakan mobil, dll) atau bencana alam (seperti tsunami, dll). Alasan lain mengapa manusia meninggal karena mungkin orang tersebut melakukan kesalahannya sendiri, misalnya mencuri atau memperkosa, kemudian dia melawan polisi yang mengejarnya, kemudian dia mendengkam di penjara dan di penjara, ia disiksa oleh sesama narapidana hingga tewas atau mungkin juga karena putus cinta, ia mengakhiri hidupnya dengan meneguk segelas Baygon (alias bunuh diri). Mungkin juga orang meninggal karena ia mau berkorban bagi orang lain, misalnya seorang tentara yang wafat di medan pertempuran karena membela bangsa yang dicintai yang sedang diserang musuh. Apa pun alasan kematian manusia, faktanya manusia cepat atau lambat pasti meninggal. Kematian manusia tersebut membuktikan bahwa manusia itu:

1) ciptaan

Sebagai makhluk ciptaan Tuhan, maka otomatis kita pasti suatu saat meninggal, karena kita diciptakan dalam daging yang fana. Hal ini tentu berbeda jika kita adalah Pencipta yang kekal yang tentu saja kita tidak mungkin bisa meninggal.

2) berdosa

Selain kita termasuk ciptaan Tuhan, fakta berkata bahwa kita telah berdosa. Berdosa bukan sekadar membunuh, mencuri, berzinah, dll, tetapi berdosa berarti suatu tindakan yang tidak taat kepada perintah Tuhan. Sebagai akibat dari dosa kita, maka maut atau kematian harus kita hadapi (Rm. 6:23). Seberapa kita berusaha berbuat baik untuk “menutupi” dosa, mau tidak mau, kita harus meninggal. Seberapa kita berusaha mencari alat-alat kosmetik yang mahal untuk mencegah penuaan, usia tidak bisa membohongi dan kita suatu saat pasti meninggal.

3) terbatas di dunia (bukan Mahakuasa)

Terakhir, karena kita termasuk ciptaan dan telah berdosa, maka fakta terakhir yang harus kita hadapi adalah kita adalah makhluk terbatas di dunia. Meskipun kita bisa mengetahui cukup banyak hal melalui internet melalui Google, namun fakta tetap berkata, kita tidak mungkin dapat mengetahui segala hal, termasuk Tuhan, kematian, makna hidup, dll. Carilah di Google tentang kapan kita akan meninggal dan Anda pasti kecewa tak menemukannya. Kita hanya mengetahui hal-hal yang terjadi di masa lampau, masa kini, dan masa depan dalam jangka pendek, sedangkan masa depan untuk jangka panjang apalagi kekekalan, kita tak akan mungkin bisa mengetahui secara pasti! Dari fakta ini, maka hendaklah kita sebagai manusia tidak menyombongkan diri seolah-olah ia bisa segala sesuatu melalui berbagai macam trik pengembangan diri yang beridekan Gerakan Zaman Baru, seperti: “Di dalam diri kita, ada kekuatan besar yang sedang tidur.” Jika memang ada kekuatan besar yang sedang tidur di dalam diri kita, tolong tanya ke motivator tersebut, bisakah dengan kekuatan besar tersebut, kita mengetahui apakah kita akan sukses selamanya, kapan kita sukses, dan terakhir kapan kita meninggal? Jika tidak, apa gunanya kekuatan besar tersebut? Makin seorang manusia membanggakan diri memiliki kekuatan besar yang seolah-olah “Maha”, makin ia tidak berarti apa-apa di hadapan Tuhan.

Fakta ciptaan, keberdosaan, dan keterbatasan diri manusia mengarahkan kita untuk memikirkan 4 sifat dari kematian manusia:

1. Kematian manusia tidak bisa diprediksi sendiri[1]

Fakta kematian seorang manusia pertama adalah seberapa hebat manusia tersebut, ia tidak mampu memprediksi kapan ia akan meninggal. Tanyalah kepada Mama Loren, Mama Lemon, Mama lainnya yang suka meramal “nasib” orang lain, kapankah ia meninggal? Pasti mereka tidak akan mampu menjawab salah satu pertanyaan sulit tersebut. Mengapa? Karena memang manusia adalah makhluk terbatas yang tidak mampu mengetahui segala sesuatu.

2. Kematian manusia tidak bisa dilakukan atas inisiatif sendiri

Kedua, manusia sesakti apa pun tak mungkin bisa mematikan dirinya sendiri. Bukankah manusia bisa membunuh dirinya sendiri? Ya, mungkin saja, tetapi tidak berarti orang yang membunuh diri pasti meninggal pada saat itu juga. Ada kasus di mana orang yang membunuh dirinya sendiri, tetapi tidak meninggal, malahan selamat karena sempat ditolong oleh warga sekitar. Meskipun mereka ingin mengakhiri hidup mereka sendiri, namun bagaimana pun juga, mereka tetap tidak bisa, karena hidup mereka ada di tangan Allah yang berdaulat.

3. Kematian manusia berorientasi pada diri sendiri

Meskipun ada manusia meninggal karena membela negaranya, namun tetap saja kematian manusia tersebut tetap berorientasi pada diri sendiri. Mengapa? Mari kita berpikir. Jika ada Mr. X yang termasuk salah seorang tentara yang berjuang membela negaranya yang sedang diserang oleh negara lain dan kemudian si Mr. X meninggal, seolah-olah Mr. X memang meninggal demi orang lain yaitu negaranya, sehingga jasa Mr. X dikenang. Bahkan mungkin sekali keluarga Mr. X merasa bangga karena Mr. X berjasa besar, lalu berpikir jika tidak ada Mr. X, negaranya bisa hancur diserang negara lain. Bukankah ujung-ujungnya tetap sama yaitu ketika manusia meninggal, kematian tersebut tetap berorientasi pada diri sendiri, meskipun berkedok untuk kepentingan orang lain?

4. Kematian manusia membayar konsekuensi dosa sendiri

Terakhir, karena upah dosa adalah maut, maka ketika manusia meninggal, ia hanya membayar konsekuensi dari dosa yang telah dilakukannya. Tidak ada manusia yang dapat luput dari hal ini. Tidak mungkin ada manusia yang meninggal, lalu membanggakan diri karena ia telah membayar konsekuensi dosa orang lain.

SATU-SATUNYA KEMATIAN YANG UNIK: KEMATIAN PUTRA ALLAH YANG MENJADI MANUSIA

Semua manusia meninggal dan kematiannya tetap merupakan kematian biasa, meskipun yang meninggal adalah pendiri agama besar atau filsuf besar sekalipun. Semua manusia itu sama pasti meninggal cepat atau lambat. Namun, di antara manusia yang pernah hidup di dunia, ada satu kematian yang unik yang tak mungkin bisa ditiru oleh manusia siapa pun di dalam sejarah, yaitu kematian Pribadi Tuhan Yesus Kristus, Sang Anak Allah. Siapakah Kristus? Mengapa kematian-Nya unik? Apa signifikansinya?

Siapakah Kristus? Agama non-Kristen menyebut Kristus sebagai salah satu pendiri agama Kristen, nabi besar (tetapi bukan nabi terbesar), tokoh sosial, dll. Meskipun semua hal tersebut ada benarnya, namun Kristus jauh melebihi sebutan-sebutan tersebut. Tuhan Yesus Kristus adalah Anak Allah yang menjelma menjadi manusia. Apa arti “Anak Allah”? Ada pendeta yang berkata bahwa Yesus itu Anak Allah dan bukan Allah Anak? Pembedaan ini sebenarnya merupakan pembedaan yang sengaja dibuat untuk mencari sensasi, karena kedua istilah tersebut (yaitu: “Anak Allah” dan “Allah Anak”) itu sama saja.

Di dalam Perjanjian Lama, istilah “anak Allah” mengacu kepada hubungan yang dekat dengan Allah. Istilah “anak-anak Allah” pertama kali muncul di Kejadian 6:2, “maka anak-anak Allah melihat, bahwa anak-anak perempuan manusia itu cantik-cantik, lalu mereka mengambil isteri dari antara perempuan-perempuan itu, siapa saja yang disukai mereka.” Siapa yang dimaksud “anak-anak Allah” di ayat ini? Ada yang menafsirkannya sebagai malaikat. Namun tafsiran ini tidak sesuai dengan konteks, karena di pasal 5, Musa membahas tentang keturunan, bukan tentang dunia roh. Jadi, tafsiran yang memungkinkan adalah “anak-anak Allah” mengacu kepada keturunan-keturunan saleh dari Set dan “anak-anak perempuan manusia” mengacu kepada keturunan-keturunan Kain yang telah jatuh ke dalam dosa.[2] Kemudian, di Hosea 11:1, bangsa Israel disebut sebagai “anak Allah.”[3]

Bagi orang Yunani, kata “Anak Allah” ditujukan kepada seorang pahlawan. Tidak heran, setelah melihat Kristus yang telah mati, kepala pasukan Romawi berkata, “Sungguh, Ia ini adalah Anak Allah.” (Mat. 27:34; bdk. Mrk. 15:39)[4]

Di dalam Injil, kita menemukan bahwa “Anak Allah” berkaitan dengan Kristus sendiri sebagai Mesias. Ketika Yesus berada di Gadara, ada dua orang yang kerasukan setan menemui-Nya dan setan yang merasuk mereka berteriak, “Apa urusan-Mu dengan kami, hai Anak Allah? Adakah Engkau ke mari untuk menyiksa kami sebelum waktunya?” (Mat. 8:29) Setan sendiri mengaku bahwa Yesus adalah Anak Allah. Setelah melihat sendiri bahwa Yesus berjalan di atas air, para murid-Nya di dalam perahu menyembah Dia sambil berkata, “Sesungguhnya Engkau Anak Allah.” (Mat. 14:33) Ketika Kristus bertanya kepada para murid-Nya tentang siapakah Dia, Petrus menjawab, “Engkau adalah Mesias, Anak Allah yang hidup!” (Mat. 16:16), lalu perhatikan jawab Yesus selanjutnya, “Berbahagialah engkau Simon bin Yunus sebab bukan manusia yang menyatakan itu kepadamu, melainkan Bapa-Ku yang di sorga.” (ay. 17). Perhatikan ayat 16 tadi, Petrus mengaitkan Mesias dengan Anak Allah yang hidup. Kata “Mesias” dalam ayat ini dalam teks Yunaninya Χριστς (Christos) berarti Yang Diurapi. Hanya di Injil Matius, muncul istilah “Anak Allah” sesudah kata “Mesias” di Matius 16:16, ini dikarenakan Matius menulis Injil ini diperuntukkan bagi orang-orang Yahudi yang sudah mengerti bahwa Anak Allah identik dengan Mesias yang mereka harapkan akan membebaskan mereka dari perbudakan. Di dalam Injil Markus yang merupakan Injil pertama yang ditulis, Markus 1:1, Markus mencatat, “Inilah permulaan Injil tentang Yesus Kristus, Anak Allah.” Di dalam Markus 3:11, kembali Markus mencatat, “Bilamana roh-roh jahat melihat Dia, mereka jatuh tersungkur di hadapan-Nya dan berteriak: "Engkaulah Anak Allah.” Lebih menarik lagi, malaikat Allah memberi tahu Maria ketika Kristus hendak lahir di dalam Lukas 1:31-33,

31Sesungguhnya engkau akan mengandung dan akan melahirkan seorang anak laki-laki dan hendaklah engkau menamai Dia Yesus.

32Ia akan menjadi besar dan akan disebut Anak Allah Yang Mahatinggi. Dan Tuhan Allah akan mengaruniakan kepada-Nya takhta Daud, bapa leluhur-Nya,

33dan Ia akan menjadi raja atas kaum keturunan Yakub sampai selama-lamanya dan Kerajaan-Nya tidak akan berkesudahan.

Di Lukas 1:35, kembali, malaikat Tuhan menjawab pertanyaan Maria (ay. 34), “Roh Kudus akan turun atasmu dan kuasa Allah Yang Mahatinggi akan menaungi engkau; sebab itu anak yang akan kaulahirkan itu akan disebut kudus, Anak Allah.” Di Lukas 22:66-70, dr. Lukas mencatat pembicaraan Tuhan Yesus dengan para pemimpin agama Yahudi,

66Dan setelah hari siang berkumpullah sidang para tua-tua bangsa Yahudi dan imam-imam kepala dan ahli-ahli Taurat, lalu mereka menghadapkan Dia ke Mahkamah Agama mereka,

67katanya: "Jikalau Engkau adalah Mesias, katakanlah kepada kami." Jawab Yesus: "Sekalipun Aku mengatakannya kepada kamu, namun kamu tidak akan percaya;

68dan sekalipun Aku bertanya sesuatu kepada kamu, namun kamu tidak akan menjawab.

69Mulai sekarang Anak Manusia sudah duduk di sebelah kanan Allah Yang Mahakuasa."

70 Kata mereka semua: "Kalau begitu, Engkau ini Anak Allah?" Jawab Yesus: "Kamu sendiri mengatakan, bahwa Akulah Anak Allah."

Perhatikan kelima ayat di atas, Tuhan Yesus bahkan menegaskan pertanyaan para pemimpin agama Yahudi bahwa Dia adalah Anak Allah.

Penjelasan paling gamblang mengenai Anak Allah ada di dalam Injil Yohanes. Hubungan dekat antara Anak Allah dengan Allah Bapa dijelaskan di Yohanes 1:18, “Tidak seorangpun yang pernah melihat Allah; tetapi Anak Tunggal Allah, yang ada di pangkuan Bapa, Dialah yang menyatakan-Nya.” Di sini, Anak Tunggal Allah yaitu Tuhan Yesus yang diutus Bapa menyatakan Allah kepada manusia. Yohanes Pembaptis juga mengatakan bahwa Kristus adalah Anak Allah (Yoh. 1:34). Karena Ia telah mengenal Natanael sebelum bertemu muka dengan muka, maka Natanael berkata, “Rabi, Engkau Anak Allah, Engkau Raja orang Israel!” (Yoh. 1:49) Ada kira-kira 10 ayat di dalam Injil Yohanes yang mengidentikkan Yesus sebagai Anak Allah.

Karena Yesus tidak menolak menyebut diri-Nya sebagai Anak Allah, maka para pemimpin agama Yahudi ingin membunuhnya. Mengapa? Karena mereka mengerti bahwa “Anak Allah” jelas merujuk pada Allah itu sendiri, sehingga mereka berkata, “Ia menghujat Allah. Untuk apa kita perlu saksi lagi? Sekarang telah kamu dengar hujat-Nya.” (Mat. 26:65)

Dari studi singkat di atas, kita mengerti bahwa “Anak Allah” merujuk pada Allah sendiri.

Pertanyaan selanjutnya, mengapa Kristus mati? Apa yang menyebabkan Ia mati? Banyak orang salah mengerti, lalu mengatakan bahwa Yudas Iskariot berjasa menjual Yesus, sehingga Ia dapat mati disalib demi menebus dosa manusia. Apakah itu berarti kita lebih memuji Yudas Iskariot? TIDAK! Yesus mati disalib bukan karena jasa Yudas Iskariot, juga bukan karena para pemimpin agama Yahudi yang bersekongkol dengan para pembesar Romawi, tetapi karena kehendak Allah Bapa (Kis. 2:23). Apakah kehendak Allah yang mengutus Kristus mati disalib? Allah yang Mahakasih sekaligus Mahaadil merencanakan keselamatan bagi manusia yang berdosa dengan mengutus Putra Tunggal-Nya yaitu Tuhan Yesus untuk menebus dosa manusia (Yoh. 3:16).

Karena Kristus mati demi menggenapkan kehendak Bapa, maka kematian-Nya membuktikan Dia adalah:

1. Allah dan Manusia

Demi menggenapkan kehendak Bapa di Sorga, maka Kristus yang diutus Bapa menggenapkan rencana keselamatan yang telah Bapa persiapkan yaitu menebus dosa umat pilihan-Nya. Pertanyaannya, siapakah Kristus? Benarkah Dia hanya Allah? Bagaimana Allah bisa mati disalib? Mari kita merenungkan hal ini.

Prinsip pertama adalah di dalam PL, kita belajar bahwa Allah saja yang dapat mengampuni dosa manusia karena Dia sendiri yang tidak berdosa (Kel. 34:6-7; Bil. 14:18; 1Raj. 8:34, 36, 39, 50; Neh. 9:17; Mzm. 32:5; 78:38; 85:3; 86:5; 103:3, dst).

Karena Allah saja yang dapat mengampuni dosa manusia, maka di dalam PL, Ia mengampuni dosa manusia dengan 2 cara:

a) Memberi perintah-perintah-Nya (Kel. 20:1-31:18)

Setelah Adam dan Hawa jatuh ke dalam dosa, Ia telah memberi solusi terhadap dosa mereka, yaitu memberi mereka pakaian untuk menutupi kemaluan akibat dosa mereka (Kej. 3:21). Namun, pakaian tersebut bukan solusi final Allah bagi dosa manusia. Oleh karena itu, Ia menetapkan serangkaian perintah yang mengajar orang Israel tentang apa yang dikehendaki-Nya dan segala macam korban persembahan yang diatur-Nya agar Israel mengetahui bahwa dosa manusia bukan hal yang ringan sambil menyadari bahwa melalui korban persembahan itulah, dosa mereka dapat diampuni. Namun, apa reaksi Israel? Baru saja, Allah memberikan serangkaian perintah kepada mereka melalui Musa (Ke. 20:1-31:18), mereka yang terlalu lama menunggu Musa menyuruh Harun membuatkan ilah lain, maka Harun membuatkan patung anak lembu tuangan bagi mereka, kemudian mereka menyembah patung tersebut (Kel. 32:1-35). Akibatnya Allah marah kepada mereka dan berulang kali menyebut mereka sebagai bangsa yang tegar tengkuk (Kel. 32:9; 33:3, 5; Ul. 9:13; Yes. 48:4).

b) Mengutus nabi-nabi-Nya untuk mengajar Israel

Selain memberi perintah-perintah-Nya, Allah juga mengutus para nabi-Nya untuk menegur, mengajar, dan menghibur Israel agar mereka kembali kepada-Nya. Namun, apa reaksi mereka? Meskipun mereka akhirnya “bertobat” dan terlihat beribadah kepada Allah, namun mereka sebenarnya hanya beribadah secara rutinitas, tanpa mengerti esensi ibadah, sehingga meskipun mereka beribadah, sikap mereka tidak ada bedanya dengan sikap orang-orang di luar Allah. Itulah titik kemunafikan mereka yang dikatakan Allah sendiri (Yes. 29:13; Am. 5:21-26; bdk. Mat. 15:8-9) Selain munafik, mereka tidak segan-segan membunuh para nabi utusan Allah (Mat. 23:37-38).

Sudah dua cara yang telah Allah pergunakan untuk mengajar dan mengajak orang Israel untuk kembali kepada-Nya dan diampuni dosanya, namun dua cara tersebut “gagal.” Adakah solusi bagi pengampunan dosa manusia? Akhirnya, pada waktu-Nya, Allah mengutus Tuhan Yesus Kristus yang adalah Allah sekaligus manusia untuk mengampuni dosa manusia. Di sinilah keunikan Tuhan Yesus Kristus sebagai Allah dan manusia yang sanggup mengampuni dosa manusia dengan cara menebus dosa-dosa mereka. Mari kita renungkan pemikiran ini.

Seperti telah dijelaskan di atas, kita telah belajar bahwa hanya Allah yang mampu mengampuni dosa manusia, namun faktanya adalah Allah tidak mungkin bisa mati, sehingga agar Ia bisa mati, Ia harus menjelma menjadi manusia, namun tanpa meninggalkan natur-Nya sebagai Allah. Tanpa manusia, Allah tak mungkin bisa mati demi menebus dosa manusia, namun tanpa Allah, manusia sendiri meskipun bisa mati, tak akan mungkin bisa mengampuni dosa manusia. Jadi, Tuhan Yesus Kristus harus bernatur Ilahi dan manusia sekaligus tanpa tercampur, terbagi, dan terpecah demi menebus dan mengampuni dosa manusia yang telah melawan-Nya.

Dari pola pikir inilah, kita tidak perlu kaget ketika membaca Injil bahwa Tuhan Yesus berkuasa mengampuni dosa manusia ketika Ia inkarnasi (menjelma menjadi manusia). Ketika Ia bertemu dengan orang yang lumpuh, Ia berkata, “Percayalah, hai anak-Ku, dosamu sudah diampuni.” (Mat. 9:2; bdk. Mrk. 2:5; Luk. 5:20) Mendengar perkataan-Nya, maka para ahli Taurat menuduh Yesus sedang menghujat Allah, sambil berkata, “Siapakah orang yang menghujat Allah ini? Siapa yang dapat mengampuni dosa selain dari pada Allah sendiri?” (Luk. 5:21; Mrk. 2:7) Perhatikan apa jawab Tuhan Yesus, “supaya kamu tahu, bahwa di dunia ini Anak Manusia berkuasa mengampuni dosa” (Luk. 5:24; bdk. Mat. 9:6; Mrk. 2:10). Karena hanya Allah saja yang dapat mengampuni dosa, sehingga ketika Tuhan Yesus berani menyatakan diri bahwa Ia berkuasa mengampuni dosa, maka otomatis Tuhan Yesus adalah Allah. Dan menariknya, ketiga Injil yaitu Matius, Markus, dan Lukas (atau disebut: Injil Sinoptik) ini mencatat jawaban Yesus bahwa Anak Manusia berkuasa mengampuni dosa. “Anak Manusia” merupakan istilah yang Ia pakai untuk merendahkan diri-Nya setara dengan manusia, namun tentu saja Ia bukan hanya manusia biasa. Di sini, kita mendapatkan penjelasan Alkitab bahwa Tuhan Yesus selain sebagai Allah, Ia juga bernatur manusia, sehingga Ia dapat mengampuni dosa manusia. Jika Ia tidak mengambil rupa sebagai manusia, maka setiap orang yang ditemui-Nya pasti meninggal, karena mereka tidak akan tahan berhadapan muka dengan Allah yang Mahakudus. Tetapi puji Tuhan, Kristus bernatur Ilahi sekaligus manusia, sehingga kita boleh mengenal Allah yang sejati dan diselamatkan oleh karya-Nya di kayu salib.

2. Allah yang Mahakuasa membatas diri-Nya

Karena Ia adalah Allah sekaligus manusia, kita mengetahui bahwa Kristus adalah Allah yang Mahakuasa yang rela membatas diri-Nya serupa dengan manusia, agar Ia dapat mengampuni dan menebus dosa manusia. Di sini, kita melihat keagungan Kristus yang Mahakuasa yang bisa melakukan apa saja yang tidak melawan natur-Nya yang Mahakudus, namun membatas diri dalam beberapa hal yang berkaitan dengan karya penebusan yang Ia kerjakan.

a) IA berkuasa menyembuhkan orang sakit, membangkitkan orang mati, meredakan angin ribut, dll dengan kuasa-Nya sendiri

Di dalam catatan Injil sinoptis dan Injil Yohanes, kita berulang kali membaca karya supranatural yang Tuhan Yesus kerjakan selama Dia di dunia, mulai dari menyembuhkan orang sakit, membangkitkan orang mati, mengusir setan, meredakan angin ribut, dll dan semuanya itu dilakukan dengan kuasa-Nya sendiri. Apa signifikansinya?

Perhatikan, di dalam Perjanjian Lama, ketika nabi Allah melakukan mukjizat, tidak pernah satu kali pun mereka melakukannya atas inisiatif sendiri, melainkan karena diperintahkan oleh Allah. Perhatikan kasus nabi Musa yang “memberikan” tulah-tulah kepada Mesir, semua tulah itu diperintahkan Allah sendiri (Kel. 7:14-11:10). Begitu halnya, ketika Musa membelah laut Teberau, itupun terjadi karena Allah telah memerintahkannya (Kel. 14:15-31). Ketika sampai di Mara, bangsa Israel bersungut-sungut, karena air di sana pahit, kemudian Allah menyuruh Musa melemparkan kayu ke dalam air, sehingga air menjadi manis (Kel. 15:22-25). Begitu juga halnya dengan Yosua yang memerintahkan umat Israel untuk mengelilingi tembok Yerikho 7x, itupun terjadi karena Allah yang memerintahkan Yosua (Yos. 6:1-27). Pertanyaan selanjutnya, bagaimana dengan kasus Naaman yang disembuhkan melalui nabi Elisa, bukankah Elisa tidak menyebut satu kali pun nama Allah? Meskipun Elisa tidak menyebut nama Allah ketika menyembuhkan Naaman, sebenarnya Elisa bukan menyembuhkan, namun hanya menyuruh Naaman untuk pergi mandi 7x di sungai Yordan, “maka tubuhmu akan pulih kembali, sehingga engkau menjadi tahir.” (2Raj. 5:10) Dengan kata lain, Elisa bukan menyembuhkan langsung, tetapi Allah lah yang menyembuhkan Naaman melalui perkataan Elisa yang menyuruh Naaman.

Jika para nabi di dalam Perjanjian Lama melakukan hal-hal supranatural karena diperintahkan oleh Allah sebelumnya, maka Tuhan Yesus berbeda dari para nabi tersebut, karena Kristus melakukan mukjizat tidak pernah mengatakan, “Dalam nama Bapa, …”, tetapi IA sendiri berkuasa menyembuhkan dan melakukan hal-hal supranatural lainnya dengan kuasa-Nya. Timbul pertanyaan lain, bagaimana dengan kasus Yesus yang membangkitkan Lazarus di Yohanes 11:1-44, di mana Yesus berdoa terlebih dahulu kepada Bapa (ay. 41-42)? Perhatikan doa Tuhan Yesus, di situ Ia tidak sedang berdoa memohon agar Bapa membangkitkan Lazarus. Isi Doa Tuhan Yesus di ayat 41-42 adalah Ia bercakap-cakap dengan Bapa agar melalui mukjizat yang Ia akan kerjakan, orang banyak di sekitar-Nya menjadi percaya. Jika doa Tuhan Yesus ini ditafsirkan sebagai doa permohonan agar Bapa membangkitkan Lazarus, buat apa Dia berani menjamin bahwa Lazarus tidak mati (hanya tertidur) dan akan bangkit (Yoh. 11:11, 23, 39-40)?

Kesemuanya ini hanya merupakan salah satu bukti bahwa Yesus adalah Allah yang berdaulat atas alam semesta dan hidup-mati seseorang. Saya menantang Anda, nabi atau pendiri agama atau filsuf mana yang sanggup membangkitkan orang mati selain Tuhan Yesus Kristus, Sang Putra Allah itu? Mungkin kalau menyembuhkan penyakit, ada beberapa orang juga mampu melakukannya, namun tidak ada satu orang pun yang sanggup membangkitkan orang mati!

b) Meskipun IA berkuasa turun dari salib (tidak mati), namun IA membatas diri untuk menggenapkan kehendak Bapa.

Karena IA adalah Allah yang Mahakuasa yang sanggup berbuat apa pun yang tidak melawan natur-Nya, IA sebenarnya juga sanggup untuk turun dari salib, lalu menghardik mereka yang mengolok-olok-Nya. Namun puji Tuhan, IA tidak melakukannya, mengapa? Karena IA membatas diri-Nya untuk taat pada kehendak Bapa untuk menebus dosa manusia. Hal ini terungkap melalui kata-kata Tuhan Yesus ketika IA berdoa di Taman Getsemani, “Ya Bapa-Ku, jikalau sekiranya mungkin, biarlah cawan ini lalu dari pada-Ku, tetapi janganlah seperti yang Kukehendaki, melainkan seperti yang Engkau kehendaki.” (Mat. 26:39) Karena IA taat pada kehendak Bapa sampai mati disalib, “semua orang menjadi orang benar.” (Rm. 5:19). “Semua orang” di sini tentu saja bukan semua orang tanpa kecuali, tetapi semua orang yang percaya kepada Kristus, yaitu umat pilihan Allah. Kematian-Nya di kayu salib bukan tanda bahwa IA tidak berkuasa, tetapi justru itu merupakan salah satu bukti kuasa-Nya yang dahsyat dan ampuh yaitu menguasai diri untuk tidak berkuasa dengan menaati kehendak Bapa demi menebus dosa manusia. Jika IA kemudian turun dari salib dan tidak mati disalib, maka semua umat pilihan-Nya tetap binasa karena dosa-dosa mereka. Tetapi puji Tuhan, karena Kristus taat sampai mati, kita yang termasuk umat pilihan-Nya diselamatkan, diampuni dosa-dosanya, dan dibenarkan di hadapan Allah yang Mahakudus.

Karena IA adalah Allah sekaligus manusia, Allah yang Mahakuasa sekaligus membatas diri-Nya, maka kita akan merenungkan kembali sifat-sifat kematian-Nya yang mencerminkan dua hal tersebut:

1. IA mampu memprediksi kematian-Nya bahkan siapa yang akan menjual-Nya (Mrk. 8:31; 9:12, 31; 10:33-34; 14:18, 20-21; 27, 34-36)

Jikalau manusia siapa pun TIDAK mampu memprediksi kapan mereka akan meninggal, maka Sang Anak Allah dapat memprediksi kapan IA akan meninggal. Di dalam Inil sinoptik, kita berulang kali membaca setidaknya ada 3 judul perikop yang menjelaskan pemberitahuan Yesus tentang penderitaan-Nya dan ayat-ayat lain yang menunjukkan bahwa IA berkuasa dan mengetahui kapan IA akan menderita dan mati disalib.

Khusus tentang ketiga pemberitahuan tentang penderitaan Tuhan Yesus, uniknya, Injil sinoptik mencatat hal ini. Pada pemberitahuan pertama, Tuhan Yesus berkata, “Kemudian mulailah Yesus mengajarkan kepada mereka, bahwa Anak Manusia harus menanggung banyak penderitaan dan ditolak oleh tua-tua, imam-imam kepala dan ahli-ahli Taurat, lalu dibunuh dan bangkit sesudah tiga hari.” (Mrk. 8:31; bdk. Mat. 16:21; Luk. 9:22). IA bahkan menjelaskan secara mendetail siapa saja yang akan membenci dan akan membunuh-Nya. Setelah Petrus, Yakobus, dan Yohanes melihat Yesus dimuliakan di atas gunung, IA menjawab pertanyaan mereka tentang Elia, “Memang Elia akan datang dahulu dan memulihkan segala sesuatu. Hanya, bagaimanakah dengan yang ada tertulis mengenai Anak Manusia, bahwa Ia akan banyak menderita dan akan dihinakan?” (Mrk. 9:12; bdk. Mat. 17:12)

Pada pemberitahuan kedua, kembali IA berfirman, “Anak Manusia akan diserahkan ke dalam tangan manusia, dan mereka akan membunuh Dia, dan tiga hari sesudah Ia dibunuh Ia akan bangkit.” (Mrk. 9:31; bdk. Mat. 17:22-23; Luk. 9:44) Bahkan pada saat pemberitahuan kedua ini pun, Markus dan Lukas mencatat bahwa para murid-Nya tetap tidak mengerti apa yang IA katakan, namun mereka segan menanyakannya (Mrk. 9:22; bdk. Luk. 9:45).

Pada pemberitahuan ketiga, IA kembali berfirman bahkan lebih mendetail,

33Sekarang kita pergi ke Yerusalem dan Anak Manusia akan diserahkan kepada imam-imam kepala dan ahli-ahli Taurat, dan mereka akan menjatuhi Dia hukuman mati. Dan mereka akan menyerahkan Dia kepada bangsa-bangsa yang tidak mengenal Allah,

34dan Ia akan diolok-olokkan, diludahi, disesah dan dibunuh, dan sesudah tiga hari Ia akan bangkit. (Mrk. 10:33-34; bdk. Mat. 20:18-19; Luk. 18:31-33)

Menariknya, dr. Lukas mencatat reaksi para murid di Lukas 18:34, “Akan tetapi mereka sama sekali tidak mengerti semuanya itu; arti perkataan itu tersembunyi bagi mereka dan mereka tidak tahu apa yang dimaksudkan.

Pada waktu Perjamuan Malam sebelum IA ditangkap, IA bahkan sudah mengetahui siapa yang akan menjual-Nya, “Ketika mereka duduk di situ dan sedang makan, Yesus berkata: "Aku berkata kepadamu, sesungguhnya seorang di antara kamu akan menyerahkan Aku, yaitu dia yang makan dengan Aku."” (Mrk. 14:18; bdk. Mat. 26:21; Luk. 22:21; Yoh. 13:21) Tolong carikan “orang suci” siapa yang bisa memprediksi siapa yang akan membunuhnya kelak, jawabannya: TIDAK MUNGKIN ADA! Hanya Tuhan Yesus yang sanggup mengetahui apa yang belum terjadi. Siapa orang yang IA maksudkan? Di ayat 20, Ia berkata, “Orang itu ialah salah seorang dari kamu yang dua belas ini, dia yang mencelupkan roti ke dalam satu pinggan dengan Aku.” Lebih jelas, di Matius 26:25, Matius mencatat, “Yudas, yang hendak menyerahkan Dia itu menjawab, katanya: "Bukan aku, ya Rabi?" Kata Yesus kepadanya: "Engkau telah mengatakannya."” (bdk. Yoh. 13:26)

Setelah itu, IA bersama para murid-Nya pergi ke Bukit Zaitun, kembali IA mengingatkan para murid-Nya, “Kamu semua akan tergoncang imanmu. Sebab ada tertulis: Aku akan memukul gembala dan domba-domba itu akan tercerai-berai.” (Mrk. 14:27; Mat. 26:31) Bahkan di Taman Getsemani pun, ketika kematian-Nya akan IA hadapi, IA bergumul berat (Mrk. 14:34-36; Mat. 26:38-39; Luk. 22:42).

Dari penyelidikan singkat di atas, kita menemukan data-data Alkitab yang akurat bahwa Tuhan Yesus sudah dapat memprediksi kematian-Nya, siapa yang akan menyalibkan-Nya, dan siapa yang akan menjual-Nya. Bukankah ini semua membuktikan bahwa IA adalah Allah? Jika IA bukan Allah, lalu siapakah IA yang sanggup mengetahui segala sesuatu yang belum terjadi?

2. IA menyerahkan diri-Nya sendiri kepada Bapa (Luk. 23:46)

Hal kedua yang tak mungkin manusia lakukan yaitu Tuhan Yesus mati bukan karena IA didera bahkan disalib, tetapi karena IA sendiri menyerahkan diri-Nya kepada Bapa. Dokter Lukas mencatat hal ini di dalam Lukas 23:46, “Lalu Yesus berseru dengan suara nyaring: "Ya Bapa, ke dalam tangan-Mu Kuserahkan nyawa-Ku." Dan sesudah berkata demikian Ia menyerahkan nyawa-Nya.” Bukti bahwa IA menyerahkan diri-Nya sendiri adalah ketika di kayu salib, IA lebih cepat meninggal daripada orang-orang lain. Menurut catatan sejarah, salib merupakan hukuman yang bukan bersifat langsung mematikan, tetapi pelan-pelan menyiksa orang yang disalib, sehingga nantinya beberapa hari kemudian, orang tersebut mati. Orang-orang yang disalib bertahan selama 5-7 hari, tergantung apakah orang tersebut memiliki daya tahan yang kuat atau tidak. Namun ketika Tuhan Yesus mati disalib, data Injil mencatat bahwa tidak sampai 1 hari, IA sudah dinyatakan mati. Bahkan Injil mencatat bahwa hanya dalam waktu 3 jam, IA sudah dinyatakan mati. Perhatikan. Di Injil Matius 27:45-46, 50 (bdk. Mrk. 15:33-39), Matius mencatat,

45Mulai dari jam dua belas kegelapan meliputi seluruh daerah itu sampai jam tiga.

46Kira-kira jam tiga berserulah Yesus dengan suara nyaring: "Eli, Eli, lama sabakhtani?" Artinya: Allah-Ku, Allah-Ku, mengapa Engkau meninggalkan Aku?

50Yesus berseru pula dengan suara nyaring lalu menyerahkan nyawa-Nya.

Mungkin data di atas kurang jelas, mari kita perhatikan catatan seorang sejarawan yang bernama dr. Lukas di bawah ini,

44Ketika itu hari sudah kira-kira jam dua belas, lalu kegelapan meliputi seluruh daerah itu sampai jam tiga,

45sebab matahari tidak bersinar. Dan tabir Bait Suci terbelah dua.

46Lalu Yesus berseru dengan suara nyaring: "Ya Bapa, ke dalam tangan-Mu Kuserahkan nyawa-Ku." Dan sesudah berkata demikian Ia menyerahkan nyawa-Nya.

(Luk. 23:44-46)

Karena Yesus cepat mati dalam waktu 3 jam, hal ini mengakibatkan prajurit-prajurit yang ditugaskan mematahkan kaki orang-orang yang disalib tidak jadi mematahkan kaki Yesus, karena IA telah mati. Bagaimana cara mereka mengetahui bahwa Yesus telah mati? Injil Yohanes 19:34 mencatat, “tetapi seorang dari antara prajurit itu menikam lambung-Nya dengan tombak, dan segera mengalir keluar darah dan air.” Prajurit Romawi yang sudah terbiasa menyalibkan orang tentu mengetahui kapankah orang yang disalibkan itu telah mati atau belum. Jadi, jikalau menurut beberapa orang skeptis hari ini, Yesus tidak mati waktu itu, maka prajurit Romawi mengetahui hal itu dan ia segera mematahkan kaki-Nya, namun data sejarah menyatakan bahwa IA telah mati dan buktinya sudah terlalu jelas yaitu dari lambung-Nya keluar DARAH dan AIR. Prajurit Romawi jauh lebih pandai dan mengetahui perihal kematian orang yang disalib ketimbang orang-orang skeptis zaman ini yang pura-pura tahu, tetapi sebenarnya sok tahu!

3. IA mati demi orang banyak supaya mereka beroleh hidup yang kekal (Mat. 20:28; Mrk. 10:45; Yoh. 3:16)

Setelah kita merenungkan 2 poin di atas tentang fakta historis kematian Yesus yang tidak mungkin ditiru oleh orang bahkan pemimpin agama siapa pun di muka bumi ini, sekarang kita akan merenungkan dua poin berikutnya tentang sifat kematian Kristus bagi umat pilihan-Nya.

Signifikansi pertama yaitu IA mati demi orang banyak, supaya mereka beroleh hidup yang kekal. Berulang kali, Tuhan Yesus sendiri berkata, “sama seperti Anak Manusia datang bukan untuk dilayani, melainkan untuk melayani dan untuk memberikan nyawa-Nya menjadi tebusan bagi banyak orang.” (Mat. 20:28; Mrk. 10:45) Lebih jelas lagi, IA berfirman, “Karena begitu besar kasih Allah akan dunia ini, sehingga Ia telah mengaruniakan Anak-Nya yang tunggal, supaya setiap orang yang percaya kepada-Nya tidak binasa, melainkan beroleh hidup yang kekal.” (Yoh. 3:16) IA mati disalib bagi banyak orang, supaya mereka yang telah ditebus-Nya itu beroleh hidup yang kekal. Inilah satu-satunya kematian yang benar-benar bagi orang lain. Tidak seperti beberapa orang yang mati demi membela negaranya, namun orang lain tidak terlalu merasakan kematian orang tersebut, Tuhan Yesus mati benar-benar demi orang banyak dan kematian-Nya itu benar-benar memiliki signifikansi sangat penting yaitu mereka yang percaya dan menerima-Nya beroleh hidup yang kekal walaupun mereka nantinya meninggal.

4. IA membayar lunas hutang dosa

Signifikansi kedua dari kematian Kristus adalah IA mati demi membayar lunas hutang dosa manusia. Seperti sudah dijelaskan di atas bahwa upah dosa ialah maut, maka tidak ada seorang pun yang sanggup melepaskan diri dari ikatan kematian, sehingga makin seseorang berbuat baik, ia tetap pada akhirnya akan mati. Kematian hanyalah akibat dari dosa, bukan solusinya. Oleh karena itu, dosa tetaplah dosa. Kita sebagai manusia yang diciptakan Allah yang seharusnya menaati firman-Nya, namun memberontak dan pemberontakan kita tersebut merupakan hutang kita kepada-Nya, hutang yang tak akan bisa kita lunasi sendiri meskipun dengan beribu perbuatan baik. Hutang dosa manusia harus dibayar dengan harga yang sangat mahal, karena Allah harus dipuaskan karenanya. Bagaimana cara Allah dipuaskan? Bisakah dengan perbuatan baik? Tidak akan pernah! Perbuatan baik dan syariat keagamaan justru hanya menambah dosa, karena manusia selalu berpikir bahwa dengan kedua hal ini, mereka dapat “menyuap” Tuhan. Allah dipuaskan bukan dengan cara manusia, namun dengan cara Allah sendiri, yaitu dengan melunasi hutang dosa manusia. Bagi Allah, tidak ada sistem pembayaran kredit atau uang muka demi melunasi hutang dosa manusia. Allah melunasi penuh hutang dosa manusia (bdk. 1Kor. 6:20) yang seharusnya kita tanggung dengan cara:

a) Menebus mereka (Mat. 20:28; Mrk. 10:45; 1Tim. 2:6; 1Ptr. 1:18-19)

Allah membayar lunas hutang dosa kita dengan mengutus Kristus untuk menebus mereka. Kata “menebus” atau “tebusan” di dalam Matius 20:28 dan Markus 10:45, teks Yunaninya adalah λτρον (lytron), sedangkan untuk 1 Timotius 2:6, teks Yunaninya: ντλυτρον (antilytron). Kata ini berasal dari akar kata λύω (luō) yang merujuk kepada release (pembebasan), yaitu ransom (uang tebusan untuk pembebasan seorang tahanan atau sandera). Di dalam Septuaginta (Perjanjian Lama dalam bahasa Yunani), tulisan-tulisan Philo dan Josephus, kata Yunani ini berhubungan dengan tawanan perang, budak, dan orang-orang yang berhutang. Di dalam Perjanjian Lama dan teks-teks Rabinik (Kel. 21:30; 30:12; Bil. 35:31; Talmud Babilonia: B. Qam. 40a, 41b; Mak. 2b), kata “ransom” ini dikaitkan dengan penebusan (atonement). Nah, ransom ini dibayar sebagai penebusan bagi orang-orang yang berhutang dan ini tentu dilakukan oleh orang yang dihutangi.[5] Misalnya, X berhutang kepada Y, kemudian atas inisiatif Y sebagai orang yang dihutangi, akhirnya Y membebaskan X dengan cara melunasi semua hutang X kepada Y. Itulah makna penebusan yang Kristus kerjakan di kayu salib. Seharusnya kita yang harus membayar hutang dosa kita kepada Allah, karena kita telah berdosa dengan melawan-Nya, namun Allah mengetahui dari semula bahwa manusia TIDAK akan pernah mungkin mampu melunasi hutang dosanya sendiri, sehingga IA mengutus Putra Tunggal-Nya untuk melunasi hutang dosa manusia tersebut.

Darah yang Kristus curahkan bagi penebusan dosa tersebut sangat mahal, bahkan Rasul Petrus mengungkapkan hal ini dengan begitu jelas,

18Sebab kamu tahu, bahwa kamu telah ditebus dari cara hidupmu yang sia-sia yang kamu warisi dari nenek moyangmu itu bukan dengan barang yang fana, bukan pula dengan perak atau emas,

19melainkan dengan darah yang mahal, yaitu darah Kristus yang sama seperti darah anak domba yang tak bernoda dan tak bercacat.

(1Ptr. 1:18-19)

Di sini, kita membaca bahwa Allah menebus manusia melalui Kristus bukan dengan harta-harta yang fana sebagaimana seperti contoh di atas, si Y melunasi hutang si X, namun dengan darah Anak Domba yang tak bernoda dan bercacat sekalipun. Karena Kristus yang bernatur Ilahi dan manusia itu TIDAK berdosa sekalipun, maka IA sanggup dan PANTAS menebus dosa manusia. Karena kita berhutang dosa kepada Allah Bapa, maka Kristus sebagai Anak Allah menebus dosa-dosa kita tersebut dan membayarkannya kepada Allah Bapa. Dengan kata lain, adalah salah jika ada orang yang mengajarkan bahwa Yesus menebus dosa kita dan membayarkannya kepada setan, karena setan tidak berperan apa-apa dalam penebusan yang telah Bapa rencanakan!

b) Menjadikan kita benar di hadapan Bapa (Rm. 5:18-19)

Setelah Allah menebus kita dari dosa melalui pengorbanan Kristus, ketaatan dan karya Kristus di salib juga membenarkan kita di hadapan Bapa. Kata “membenarkan” berarti menjadikan benar. Dengan kata lain, kematian Kristus di salib menjadikan/membuat kita benar di hadapan Bapa. Dahulu kita berdosa dan tidak taat kepada Allah, namun karena Kristus telah taat menggantikan kita yang dahulu tidak taat, maka karya Kristus ini menjadikan kita benar (yang sebenarnya tidak benar) di hadapan Bapa. Paulus menjabarkan hal ini,

18Sebab itu, sama seperti oleh satu pelanggaran semua orang beroleh penghukuman, demikian pula oleh satu perbuatan kebenaran semua orang beroleh pembenaran untuk hidup.

19Jadi sama seperti oleh ketidaktaatan satu orang semua orang telah menjadi orang berdosa, demikian pula oleh ketaatan satu orang semua orang menjadi orang benar.

(Rm. 5:18-19)

c) Mendamaikan manusia dengan Bapa (Rm. 3:25)

Ketiga, selain menjadikan kita benar di hadapan Bapa, Allah mengutus Kristus untuk mendamaikan kita yang telah berdosa ini dengan Allah yang Mahakudus itu. Bagaimana cara mendamaikan kita dengan Allah? Kristus mendamaikan kita dengan Allah dengan cara meredakan murka Allah kepada kita. Itulah makna propisiasi di dalam karya penebusan Kristus. Mari kita membaca pengajaran Paulus di Roma 5:9, “Lebih-lebih, karena kita sekarang telah dibenarkan oleh darah-Nya, kita pasti akan diselamatkan dari murka Allah.” Karena Kristus telah membenarkan kita di hadapan Bapa, maka kita pasti diselamatkan dari murka-Nya atas kita yang berdosa, sehingga kita sebagai umat-Nya dapat berseru, “Demikianlah sekarang tidak ada penghukuman bagi mereka yang ada di dalam Kristus Yesus.” (Rm. 8:1)

RESPONS KITA…

Setelah kita merenungkan kematian manusia dan keunikan satu-satunya kematian Sang Anak Allah, apa yang menjadi respons kita? Masihkah kita meragukan bahwa Kristus sudah mati bagi kita? Masihkah kita diracuni oleh ajaran yang tidak bertanggung jawab yang mengatakan bahwa bukan Yesus yang mati, tetapi Yudas Iskariot? Pendapat-pendapat tidak bertanggung jawab TIDAK memiliki dukungan sejarah, sehingga tidak pantas dipercaya. Satu-satunya fakta yang pasti benar adalah Tuhan Yesus Kristus yang adalah Anak Allah sekaligus Anak Manusia itu sudah mati disalib demi menebus dosa umat manusia pilihan-Nya yang telah melawan Allah.

Hari ini juga, menjelang peringatan hari kematian Kristus di salib, izinkan saya, dalam nama Allah Tritunggal, saya menantang Anda, maukah Anda kembali kepada Tuhan Yesus Kristus? Maukah Anda percaya kepada Kristus yang telah menebus dosa-dosa Anda? Sekarang waktunya, biarlah Roh Kudus melembutkan hati Anda agar Anda dapat menerima Kristus. Amin. Selamat memperingati Jumat Agung. Soli Deo Gloria.



[1] Ide ini saya kutip dari Pdt. Sutjipto Subeno, M.Div.

[2] Abraham Park, Silsilah Di Kitab Kejadian: Dilihat dari Sudut Pandang Penyelenggaraan Sejarah Penebusan, terj. Youn Doo Hee (Jakarta: PT Grasindo dan Yayasan Damai Sejahtera Utama, 2010), 145.

[3] John Drane, Memahami Perjanjian Baru: Pengantar Historis-Teologis, cetakan ke-11, terj. P. G. Katoppo (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2011), 81.

[4] Ibid., 80.

[5] Horst Balz dan Gerhard Schneider, ed., Exegetical Dictionary of the New Testament (Grand Rapids, Michigan: Eerdmans, 1990), 2:365.