24 May 2009

Matius 15:1-11: CHRIST AND RELIGION (Pdt. Sutjipto Subeno, M.Div.)

Ringkasan Khotbah : 19 Agustus 2007


CHRIST AND RELIGION

oleh: Pdt. Sutjipto Subeno, M.Div.



Nats: Matius 15:1-11


 



Sebelumnya kita telah memahami bahwa Kristus adalah dasar atau obyek iman yang mempengaruhi budaya, membentuk budaya, mengajar dan menjadi arah dari seluruh budaya. Merupakan suatu kesalahan fatal kalau orang mensejajarkan Kristus dengan kebudayaan dan meletakkan agama sebagai salah satu sub budaya sama. Disini kita melihat kegagalan manusia memahami iman sejati. Iman atau agama merupakan suatu kepercayaan yang bersifat mutlak dan menjadi dasar tertinggi dari seluruh aspek hidup dan konsep berpikir kita. I do what I think and I think what I believe. Celakanya, banyak orang yang tidak memahami hal ini akibatnya orang menaruh budaya di tempat paling atas dan mempermainkan iman kepercayaan. Hal inilah yang terjadi pada orang Yahudi, mereka lebih mengutamakan adat istiadat daripada perintah Allah padahal adat istiadat dibuat manusia. Tuhan Yesus dengan keras menegur orang Yahudi yang tidak ubahnya seperti kuburan, tampak bagus di depan tetapi busuk di dalamnya. Mereka beribadah dan memuliakan Tuhan namun apa yang mereka lakukan tidak lebih hanyalah kemunafikan religiusitas belaka – apa yang tampak luar berlawanan dengan apa yang mereka pikir. Dengan bibirnya, mereka seolah-olah memuliakan Allah padahal hatinya jauh dari Allah, mereka juga sepertinya beribadah kepada Allah namun apa yang menjadi ajaran mereka tidak lebih adalah perintah manusia.

Kemunafikan ini telah menjadi pola hidup keagamaan manusia pada umumnya dan tak terkecuali Kekristenan. Ada empat macam gejala yang timbul dalam keagamaan, yakni:

1. Social Religion

Orang beragama karena ia berada dalam tekanan sosial masyarakat atau demi kepentingan sosial. Orang yang hidup di suatu tempat dimana mayoritas penduduknya beragama tertentu maka demi supaya orang tidak “menghakimi”  orang beribadah dan melakukan semua bentuk aktivitas keagamaan. Sangatlah mengenaskan, hal yang sama terjadi di tengah-tengah Kekristenan, orang beribadah ke gereja untuk menghindari tekanan atau “penghakiman” dari orang-orang di sekitar atau tekanan dari jemaat, pengurus atau majelis. Orang ke gereja bukan demi Tuhan, hatinya jauh dari Tuhan. Ibadah tidak lebih hanya sebuah kegiatan sosial yang kita lakukan demi memuaskan kepentingan sosial. Inilah orang munafik. Kemunafikan ini justru menjadi bukti i think what i do and i do what i believe. Kemunafikan ini justru bukti dari konsistensi kepercayaan kita, yaitu diri sendirilah yang menjadi pusat, yakni demi kenyamanan diri. Inilah agama humanistik yang munafik.

2. Psychological Religion

Pasca perang dunia kedua manusia menjadi atheis maka ketika orang tidak lagi percaya Tuhan, logika itulah  segala-galanya dan kehidupan rohani pun menjadi sangat kering. Namun setelah perang dunia, manusia mulai bergeser dari unsur rasional ke unsur emosional. Penderitaan dan kesulitan akibat perang itu menjadikan emosi orang meledak dan meluap-luap. Demikian pula halnya dengan Kekristenan, Friedrich Schleiermacher, bapak theologi modern menggeser konsep agama – agama itu tidak lebih hanyalah sebuah perasaan ingin bergantung mutlak pada sesuatu obyek dan tidak peduli apa atau siapa yang menjadi obyek iman, religion is the willing of absolute dependence. Perasaan bergantung itulah yang disebut sebagai agama. Maka janganlah heran kalau kita mendengar ada orang yang berkata bahwa ia merasa tidak mendapat apa-apa ketika membaca Firman Tuhan dan merasa Tuhan begitu jauh namun keesokan harinya, dengan sukacita, ia berkata bahwa ia merasa Tuhan begitu dekat dan tersentuh oleh Firman Tuhan. Yang menjadi pertanyaan adalah apakah Alkitab itu dikatakan sebagai firman ketika kita merasa tersentuh? Sangatlah mengenaskan, gereja menjadi tempat dimana emosi dipermainkan. Orang tidak lagi mempedulikan firman tetapi agama tidak lebih sebagai pelampiasan dan pemuasan emosi untuk memenuhi kebutuhan manusia akan kekosongan rohani. Agama menjadi subyektif. Hari ini kita masuk dalam abad 21 dan gerakan ini semakin besar,  gereja mencoba mengisi perasaan emosional orang dan pada saat itu, barulah orang merasa dekat dengan Tuhan. Semua itu tidak lebih hanya untuk memenuhi kepuasan diri, diri menjadi yang utama dan Tuhan dilupakan.Bagaimana dengan kehidupan beragama kita? Apakah kita mengutamakan Tuhan? Apakah hati dan pikiran kita melekat pada Tuhan?

3. Status Religion

Orang beragama hanya untuk mencari posisi atau status di tengah masyarakat supaya ia dihormati.

Di dunia modern sekarang ini, banyak tempat yang mempunyai citra buruk di tengah masyarakat melakukan hal yang sama, yakni melakukan berbagai kegiatan rohani seolah-olah tempat itu menjadi tempat yang spiritual demi mendapatkan posisi dan citra yang baik apalagi Kekristenan diakui di tengah-tengah masyarakat. Orang datang ke gereja untuk mendapatkan status sosial, status kesalehan atau status kerohanian. Maka tidaklah heran kalau hari ini banyak orang memakai segala cara dan usaha ingin berada dan menjadi bagian dalam kepengurusan atau kemajelisan dalam gereja namun kehidupan moralnya rusak. Agama tidak lebih hanya menjadi tempat dimana orang mencari status sosial, orang mencari kekuasaan dan orang ingin mencapai harkat tertentu demi mendapat kehormatan. Namun orang lupa kalau ada Allah yang Maha Tahu, Allah tahu apa yang menjadi motivasi kita beribadah, Allah tahu kalau sesungguhnya hati kita jauh dari-Nya, orang hanya sekedar melakukan apa yang menjadi perintah manusia. Orang Farisi begitu sombong karena status sosial keagamaan di tengah masyarakat. Tuhan Yesus mengecam keras orang Yahudi, mereka tidak ubahnya seperti kuburan yang nampak indah di luar tetapi di dalamnya penuh kebusukan. Hari ini, demi status sosial, orang melakukan segala cara dengan melakukan perjalanan spiritual dan pergi ke tempat rohani. Inilah kemunafikan dalam ibadah.

4. Egoistic Religion

Semangat humanisme ini semakin hari semakin meningkat. Dimulai dari jaman renaissance, abad 13 dengan slogannya yang berbunyi: kami bangkit, kami bangun kemudian berkembang pada masa pencerahan atau aufklarung, abad 17 yang mencetuskan bahwa manusia telah cukup dewasa untuk memutuskan segala sesuatu sendiri. Hingga abad 20 dimana new age movement dengan lambang piramidnya mencetuskan: we are on the top – orang humanis dengan tegas menyatakan bahwa dirinya tidak lagi memerlukan orang lain apalagi Tuhan; orang new age percaya bahwa Tuhan itu ada di dalam diri dengan kata lain kitalah “allah“ maka janganlah kita berpikir tentang keterbatasan atau dosa sebab hal itu tidak membuat kita tidak menjadi “allah.“ Dalam hal ini, orang beragama karena ingin menjadi “allah“ yang bisa melakukan apa saja maka muncullah suatu slogan baru, yakni: what you think is what you get. Manusia memuncakkan diri sendiri dan beriman pada diri sendiri, iman pada keyakinan dan nafsu diri sendiri. Inilah kemunafikan orang beragama. Orang tidak pernah memikirkan apa yang menjadi kehendak Tuhan, apa yang menyenangkan hati Tuhan. Iman Kristen mengajarkan sebelum kita mengikut Kristus maka ia harus menyangkal diri berarti berkata  “tidak“ pada apa yang menjadi keinginan nafsu kita, memikul salib dan mengikut Aku. Seorang Kristen sejati haruslah mengikut teladan Kristus yang berkata, “Bapa, bukan kehendak-Ku yang jadi melainkan kehendak-Mulah yang jadi.“ Hari ini, kita melihat orang begitu rajin beribadah dan berdoa tetapi semua ibadah dan doa itu tidak lebih hanyalah pemuasan egoisme manusia. Orang pikir dengan doa panjang bahkan semalam suntuk akan membuat doa mereka dikabulkan. Tidak! Ini bukan agama yang Tuhan inginkan. Tuhan Yesus menegur keras orang Yahudi akan hal ini, bukan doa yang bertele-tele yang membuat doa mereka dikabulkan. Tidak! Semua itu semata-mata karena anugerah Tuhan. Hati mereka jauh dari Tuhan, sesungguhnya mereka tidak mengerti Firman, orang hanya melakukan apa yang menjadi ajaran manusia.

Beberapa aspek di bawah ini menjadi evaluasi bagi kita apakah kita seorang Kristen sejati?

1. Otoritas Allah vs otoritas diri

Iman Kristen sejati dimulai dengan pengakuan akan kedaulatan Allah. Otoritas tertinggi berada di tangan Allah dan kita harus taat mutlak pada-Nya bukan memaksakan apa yang menjadi kehendak kita. Konsep keagamaan yang paling berat adalah pertikaian atau persaingan antara otoritas Allah dengan otoritas diri. Orang selalu ingin otoritas diri itulah yang berada di atas; orang ingin diri inilah yang menjadi “allah“ dan berotoritas penuh. Tidak! Otoritas Allah itulah yang harus berada di posisi atas sedangkan adat istiadat harus diletakkan di bawah-Nya. Kristus haruslah menjadi yang terutama dalam segala aspek hidup kita bukan budaya atau adat istiadat yang dibuat oleh manusia. Celakalah hidup kita kalau kita lebih mengutamakan budaya daripada Kristus yang adalah Allah sejati yang hidup dan berotoritas mutlak atas segala budaya yang ada dan segala ilah-ilah palsu yang ada di dunia. Biarlah kita mengevaluasi diri, hari ini kita mengaku Kristen sudahkah kita taat pada kebenaran sejati dan tunduk mutlak di bawah otoritas Allah? Ingat, jangan permainkan iman dengan segala hal yang sifatnya relatif yang ada di dunia.

2. Perintah Allah vs perintah manusia

Dalam tatanan urutan perintah, perintah siapakah yang paling tertinggi? Apakah urutan itu berada dalam satu garis perintah, one line order? Allah haruslah berada di urutan teratas di antara semua perintah yang ada di dunia. Hal ini menjadi prinsip dalam kehidupan ketaatan kita namun di satu sisi bukan berarti kita harus melawan semua perintah yang ada di dunia dan menjadi anti nomian. Tidak! Ibadah sejati adalah ketika kita beribadah dalam kebenaran pada Tuhan. Ibadah dari kata to bow down berarti menyembah Allah dan taat mutlak pada perintah Allah. Alangkah indah hidup kita kalau kita berjalan dalam pimpinan Tuhan, kita akan dibuat takjub oleh-Nya. Jangan takut dengan segala rintangan dan tantangan yang menghadang sebab kalau Tuhan yang memimpin dan kita taat mutlak pada-Nya maka semua tantangan dan rintangan akan hancur. Lihatlah bagaimana Allah memimpin Musa keluar dari Mesir hingga sampailah ia dan bangsa Israel di tepi laut Merah. Musa dihadapkan pada tantangan yang sulit, di depan laut merah dan maju berarti resiko kematian sedangkan di belakangnya, prajurit Mesir kalaupun ia harus berbalik berarti ia dan bangsa Israel harus melawan banyaknya prajurit Mesir dan itu berarti resiko kematian. Allah memerintahkan Musa untuk maju. Secara logika, sangatlah mustahil beribu-ribu orang Israel termasuk perempuan dan anak-anak untuk menyeberangi laut Merah yang sangat luas dan selamat sampai di seberang. Saat itu, Musa tidak ada pengalaman apapun yang menunjukkan laut Merah itu akan terbelah. Hari itu, kalau kita dihadapkan dengan tantangan seperti Musa, apa yang akan kita lakukan? Taat pimpinan Tuhan ataukah menuruti kehendak kita? Puji Tuhan, Musa adalah seorang yang taat mutlak pada pimpinan Tuhan maka lihatlah bagaimana Tuhan bekerja dengan sangat luar biasa – laut Merah terbelah menjadi dua dan seluruh umat Israel selamat sampai di seberang. Pimpinan Tuhan sungguh sangatlah menakjubkan. Ironisnya, manusia berdosa berusaha menganulir peristiwa dahsyat ini dengan menyatakan bahwa kejadian itu tidak lebih hanya peristiwa alam. Mustahil! Bagaimana mungkin peristiwa alam bisa terjadi persis di detik Musa dalam keadaan terjepit dan persis setelah seluruh umat Israel menyeberang laut bisa tertutup kembali? Maka kalaupun hal itu terjadi lihatlah betapa dahsyat-Nya cara Tuhan bekerja. Sesungguhnya, peristiwa Musa ini membuktikan satu hal pada kita, yakni betapa indah hidup kita berada dalam pimpinan Tuhan dan taat mutlak pada-Nya. Celakanya, manusia berdosa merasa diri hebat merasa diri lebih pandai memakai rasio untuk melawan Allah yang adalah sumber bijaksana dan kepandaian. Maka tidaklah heran kalau hari ini banyak orang Kristen yang tidak pernah mengalami pimpinan Tuhan yang menakjubkan. Allah kita adalah Allah yang hidup, Allah menunjukkan cara-Nya dan Allah adalah Allah yang Maha bijaksana. Pertanyaannya adalah Allah seperti apakah yang kita percaya?

3. Altruistik vs egoistik

Kalau kita hidup untuk diri kita sendiri maka hidup kita menjadi najis. Agama menjadi tempat kita untuk mengeruk kepentingan pribadi maka ketika kita berelasi dalam kehidupan beragama pun adalah demi mendapatkan keuntungan pribadi. Tuhan Yesus menegaskan bukan yang masuk mulut yang menajiskan tetapi apa yang keluar dari mulut itulah yang menajiskan. Tuhan ingin kita hidup menjadi berkat bagi orang lain, hidup untuk melayani. Kristus telah memberikan teladan sempurna bagi kita, Dia datang ke tengah dunia, rela menderita dan mati disalibkan demi menebus manusia berdosa. Sebagai anak Tuhan sejati hendaklah kita meneladani hidup Kristus, hidup menjadi berkat bagi orang lain. Bagaimana dengan kehidupan beragama kita? Kalau kita beribadah dan mendapat berkat dari Firman namun hanya untuk kepentingan diri dan tidak mau melayani Tuhan, tidak peduli pada apa yang menjadi kehendak Tuhan masih layakkah kita disebut Kristen atau Kristus kecil? Tuhan memberikan amanat Agung pada setiap anak-Nya; bukan kamu yang memilih Aku tetapi Akulah yang memilih kamu untuk pergi dan menghasilkan buah dan buahmu itu tetap. Percayalah, kalau kita taat mutlak pada pimpinan-Nya dan mengutamakan Tuhan dalam hidup kita dan hidup menjadi berkat bagi orang lain maka Tuhan pasti akan menyertai dan memelihara hidup kita. Seorang Kristen sejati bukanlah seorang yang egois tetapi hendaklah kita mempunyai hati altruis yang selalu memikirkan dan menjadi berkat bagi orang lain, selalu memikirkan apa yang menjadi kehendak Tuhan dan kita berbagian di dalamnya. Maukah kita dipakai Tuhan menjadi berkat?

4. Batiniah vs Lahiriah

Tuhan ingin seluruh hidup kita dimurnikan dari dalam. Kemunafikan terjadi karena apa yang ada di dalam dan di luar tidak sama. Agama seringkali hanya ribut dengan penampilan luar bukan apa yang ada di dalam batiniah kita. Perubahan Kristen adalah perubahan internal, suatu kesadaran diri sebagai manusia berdosa dan bertobat, memohon pengampunan dan mau hidup taat Tuhan. Inilah iman Kristen sejati. Kristen bukanlah segala aktivitas yang kita tunjukkan. Tuhan mengubah inner being, dilahirbarukan dan pada saat itu maka apa yang keluar dari dalam diri, yakni hati, motivasi dan jiwa kita itupun menjadi bersih. Kekristenan sejati bukan memoles perilaku luar tetapi merubah dari dalam dengan demikian kita tidak menjadi orang yang munafik dan apa yang keluar dari dalam kita itu tidak menajiskan. Marilah kita mengevaluasi kehidupan ibadah kita? Sudahkah kita percaya mutlak pada Kristus dan mengandalkan Dia dalam segala aspek hidup kita?  Amin.  ?

 

(Ringkasan khotbah ini belum diperiksa oleh pengkhotbah)




Sumber:

http://www.grii-andhika.org/ringkasan_kotbah/2007/20070819.htm

Roma 15:14-16: KONSEP PELAYANAN SEJATI-1: Belajar dari Teladan Jemaat Roma dan Pelayanan Paulus

Seri Eksposisi Surat Roma:

Penutup-1

 

 

KONSEP PELAYANAN SEJATI-1: 

Belajar dari Teladan Jemaat Roma dan Pelayanan Paulus

 

oleh: Denny Teguh Sutandio

 

 

 

Nats: Roma 15:14-16

 

 

 

Setelah menjelaskan Kristus adalah teladan bagi kesatuan jemaat di ayat 8 s/d 13, Paulus menutup suratnya mulai pasal 15 ayat 14 dengan maksud agar jemaat Roma mengerti dasar tulisannya yang berisi dasar pelayanannya. Hal ini juga mencerahkan hati dan pikiran kita tentang konsep pelayanan yang beres yang berpusat kepada Kristus.

 

 

Di ayat 14, ia memulai penjelasan yang baru dengan mengatakan, “Saudara-saudaraku, aku sendiri memang yakin tentang kamu, bahwa kamu juga telah penuh dengan kebaikan dan dengan segala pengetahuan dan sanggup untuk saling menasihati.” Di ayat ini, Paulus memuji jemaat Roma. Pujian ini bukan sebagai pujian yang dibuat-buat, tetapi pujian yang keluar dari hati Paulus. Apa yang mengakibatkan Paulus memuji jemaat Roma? Di ayat ini, ia menjelaskan alasannya, yaitu ia yakin akan jemaat Roma (NIV: I myself am convinced {=Aku sendiri diyakinkan}; English Standard Version/ESV: I myself am satisfied about you {=Aku sendiri dipuaskan tentang kamu}). Ia diyakinkan oleh jemaat Roma bahwa jemaat Roma adalah jemaat yang: penuh dengan kebaikan, segala pengetahuan, dan sanggup untuk saling menasihati. Di sini, Paulus menjelaskan 3 kondisi jemaat Roma, yaitu:

Pertama, penuh dengan kebaikan. Kata “kebaikan” di sini di dalam terjemahan Yunaninya agathōsunē bisa diterjemahkan virtue (kebajikan). Bukan hanya sekadar baik, Paulus mengatakan jemaat Roma menunjukkan kepenuhan kebaikan/kebajikan mereka. Di sini, berarti, Paulus menilai jemaat Roma sudah berbuat baik dengan sungguh-sungguh dan penuh. Apa yang Paulus telah ajarkan melalui pemberitaan Injil telah membuahkan hasil bagi jemaat Roma yaitu mereka sudah berbuat segala kebaikan. Bagaimana dengan pelayanan yang kita lakukan? Apakah kita lebih mementingkan betapa sibuknya kita melayani tetapi kita melupakan unsur sosial? Tidak ada salahnya kita memerhatikan unsur sosial, tetapi kita tidak boleh terlalu mementingkan unsur sosial sebagai satu-satunya hal terpenting di dalam iman Kristen atau program gerejawi!

 

Kedua, dipenuhi dengan segala pengetahuan. KJV dan ESV menerjemahkan, “filled with all knowledge” (dipenuhi dengan segala pengetahuan), NIV menerjemahkan, “complete in knowledge” (=lengkap dalam pengetahuan). Bukan hanya berbuat baik, jemaat Roma pun telah dipenuhi dengan segala pengetahuan. Berarti secara kognitif, mereka telah menyerap banyak pengetahuan. Pengetahuan apa yang Paulus maksudkan di sini? Apakah pengetahuan sekuler? Tidak. Beberapa penafsir mengatakan bahwa pengetahuan yang dimaksud di sini adalah pengetahuan tentang Injil dan hubungannya dengan Allah. Dengan kata lain, pengetahuan rohani yang Paulus maksudkan. Mereka mendapatkan pengetahuan rohani tersebut setelah Paulus menjabarkan Injil kepada mereka. Pelayanan yang beres bukan hanya memperhatikan sisi sosial dan kuantitas jam kita melayani, tetapi yang terpenting adalah kita harus memerhatikan dan mementingkan konsep dan dasar pelayanan kita dengan pengertian firman Tuhan yang bertanggung jawab. Pelayanan tanpa mengerti siapa yang kita layani dan bagaimana seharusnya kita melayani akan mengakibatkan pelayanan itu sia-sia, karena pelayanan itu tidak didasari oleh pengertian yang beres. Bagaimana dengan kita? Sebagaimana Paulus telah mengajar Injil kepada jemaat Roma dan mereka sudah menyerap banyak pengetahuan darinya demi pelayanan mereka, sudah seharusnya kita yang mau melayani memperlengkapi diri dengan pengertian firman Tuhan yang bertanggung jawab, sehingga kita tahu siapa yang kita layani (yaitu Tuhan Allah sebagai Pencipta, Penebus, Pemelihara, dan Penyempurna hidup kita) dan bagaimana seharusnya kita melayani-Nya.

 

Ketiga, sanggup untuk saling menasihati. Bukan hanya penuh dengan kebajikan dan pengetahuan, Paulus menyebut jemaat Roma sebagai jemaat yang mampu untuk saling menasihati/menegur. Berarti jemaat Roma BUKAN orang yang egois yang merasa bahwa mereka telah mendapat semua pengetahuan rohani lalu menyimpannya untuk diri sendiri. Jemaat Roma mau membagikan apa yang mereka dapatkan untuk saling menasihati. Uniknya, Paulus mengatakan bahwa jemaat Roma sanggup/mampu saling menasihati. Kata “saling” berarti ada hubungan timbal balik. Berarti jemaat Roma yang sudah banyak belajar firman Tuhan adalah jemaat yang saling menasihati satu sama lain. Mereka melakukannya demi pertumbuhan kerohanian mereka. Teladan jemaat Roma adalah pelajaran yang perlu kita teladani di dalam konsep pelayanan kita di zaman sekarang. Sering kali semakin menguasai banyak theologi, kita semakin sombong dan egois, hanya mau mengkritik orang lain, tetapi tidak pernah mau mengkritik diri sendiri yang berdosa. Saya pribadi menjumpai ada orang Kristen yang sudah membaca banyak buku theologi bahkan menjadi editor buku theologi, lalu suka menjadi pengkritik tindakan orang lain di dalam lingkungan tempat ia bekerja, tetapi herannya (sekaligus aneh) teguran yang ia lontarkan TIDAK pernah berlaku untuk dirinya sendiri dan orang terdekatnya! Secara implisit, ia menerapkan konsep infallibility and inerrancy of the boss and me (ketidakbersalahan bos dan dirinya)! Inilah kengerian banyak orang yang belajar theologi, lalu kepalanya menjadi besar, namun hati dan karakternya NOL! Melalui teladan jemaat Roma, marilah kita belajar bahwa semakin belajar banyak theologi, semakin kita mau pertama-tama dikoreksi oleh firman Tuhan, lalu kita juga berbagi dengan saudara seiman kita dengan menegur, mendorong, dan menghibur mereka demi pertumbuhan kerohanian kita bersama.

 

 

Tetapi, apakah ketiga kondisi jemaat Roma sudah cukup? Paulus berkata, BELUM. Ia perlu mengingatkan tentang pelayanan Paulus kepada bangsa-bangsa non-Yahudi. Di ayat 15-16, ia mengatakan, “Namun, karena kasih karunia yang telah dianugerahkan Allah kepadaku, aku di sana sini dengan agak berani telah menulis kepadamu untuk mengingatkan kamu, yaitu bahwa aku boleh menjadi pelayan Kristus Yesus bagi bangsa-bangsa bukan Yahudi dalam pelayanan pemberitaan Injil Allah, supaya bangsa-bangsa bukan Yahudi dapat diterima oleh Allah sebagai persembahan yang berkenan kepada-Nya, yang disucikan oleh Roh Kudus.” Ada dua hal yang mau ditekankan Paulus tentang konsep pelayanan di dalam dua ayat ini, yaitu:

Pertama, pelayanan adalah respons terhadap anugerah Allah dan anugerah Allah itu sendiri. Di awal ayat 15, Paulus mengatakan bahwa karena kasih karunia yang telah dianugerahkan Allah, maka ... Berarti pelayanan dimulai dari anugerah Allah. Kita boleh melayani Allah karena kita telah mendapatkan anugerah Allah terlebih dahulu melalui keselamatan di dalam Kristus. Setelah kita diselamatkan di dalam Kristus, barulah kita bisa melayani Tuhan dengan bertanggung jawab karena kita mengetahui sapa yang kita layani. Pelayanan yang TIDAK pernah dikaitkan dengan anugerah Allah akan menjadi pelayanan yang egosentris dan antroposentris (berpusat kepada manusia). Pelayanan itu akan terus mempertimbangkan keuntungan dan kerugian bagi si pelayan. Dan yang lebih parah lagi pelayanan itu akan bertujuan memuliakan si pelayan ketimbang Allah yang dilayani. Terlalu banyak konsep pelayanan yang antroposentris yang orang Kristen lakukan, tetapi tak pernah disadari. Mereka giat melayani “Tuhan” di gereja pada hari Minggu, tetapi 6 hari berikutnya, hidupnya tidak pernah berkait dengan Allah dan kehendak-Nya, melainkan lebih mengikuti setan dan kroni-kroninya. Lalu, untuk apa mereka melayani “Tuhan”? Ada banyak argumentasi yang mereka katakan. Ada yang mengatakan bahwa di gereja itu, siapa yang sudah dibaptis harus melayani. Yang lain mengatakan bahwa dia melayani karena alasan gengsi, soalnya teman-temannya satu gereja banyak yang sudah melayani di gereja. Semua argumentasi mereka didasarkan pada asumsi manusia berdosa yang berpusat pada diri dan kehebatan diri. Hari ini, biarlah pernyataan Paulus menyadarkan kita bahwa kita baru bisa melayani Tuhan dengan pengertian dan cara yang bertanggung jawab setelah kita mendapatkan anugerah Allah. Selain sebagai respons terhadap anugerah Allah, kita juga harus mengerti bahwa pelayanan kepada Allah itu pun adalah anugerah Allah, karena tidak setiap orang dilayakkan Allah untuk menjadi pelayan-Nya bagi Kerajaan-Nya. Ketika kita sebagai anak-anak-Nya dilayakkan untuk menjadi budak-Nya yang melayani-Nya, JANGAN pernah mengomel, tetapi bersyukur, karena kita dilayakkan untuk menjadi budak dari Pencipta dan Penebus kita, Raja alam semesta, dan Tuhan yang berdaulat. Bukankah suatu hak istimewa (privilege) dan anugerah yang sangat besar bagi kita yang dulu berdosa namun telah dilayakkan melalui penebusan di dalam Kristus menjadi anak-anak-Nya yang melayani Raja segala raja?

 

Kedua, pelayanan adalah pelayanan yang berjiwa murni dan universal. Di ayat 16, Paulus mengingatkan pelayanan pemberitaan Injil dilakukannya juga untuk bangsa-bangsa non-Yahudi. Apa tujuannya? Supaya mereka dapat diterima oleh Allah sebagai persembahan yang berkenan kepada-Nya, setelah disucikan oleh Roh Kudus (teks Yunani menggunakan perfect tense untuk frasa, “yang disucikan oleh Roh Kudus”). Di sini, Paulus menjelaskan konsep pelayanan yang berjiwa murni dan universal. Ketika melayani dan memberitakan Injil, Paulus TIDAK memerhatikan diri sendiri, tetapi orang-orang yang ia layani agar mereka bertobat, percaya, dan mengikut Kristus (bukan mengikut Paulus). Hal ini ditandai dengan motivasi dan ruang lingkupnya melayani. Motivasinya melayani bukan untuk kehebatan diri, tetapi untuk orang-orang khususnya dari bangsa non-Yahudi agar mereka dapat diterima oleh Allah sebagai suatu persembahan yang berkenan kepada-Nya setelah disucikan oleh Roh Kudus. Ia mengaitkan objek pelayanannya dengan sumber/dasar pelayanannya yaitu ibadah sejati yang menyenangkan hati Allah (Rm. 12:1). Berarti, di dalam pelayanan, orang-orang yang ia layani lah yang menjadi perhatian Paulus. Ini menyadarkan banyak konsep pelayanan kita. Kita sering kali melayani tidak memerhatikan orang yang kita layani, tetapi diri kita, yaitu apakah diri kita merasa nyaman atau tidak melayani di bidang tertentu. Jika kita tidak nyaman, misalnya karena kita berselisih paham dengan orang Kristen lain, kita tidak mau lagi melayani di bidang itu, meskipun itu panggilan dan beban yang Allah berikan kepada kita. Kita lebih suka melayani di tempat-tempat yang nyaman yang cocok dengan keinginan kita daripada harus menuruti keinginan Allah. Di dalam kehidupan sehari-hari pun, kita juga lebih suka mengatur dan menjalani hidup TANPA melibatkan Allah dan kehendak-Nya, sehingga meskipun kita secara teori mengaku diri “Kristen” bahkan “Injili” yang memegang teguh otoritas Alkitab, secara praktik, kita tidak ada bedanya seperti seorang atheis praktis yang membuang Allah di dalam hidup kita! Biarlah Roh Kudus mengubah konsep pelayanan kita yang tidak beres ini dan memimpin kita kepada konsep pelayanan yang beres yang mementingkan objek yang kita layani bukan diri kita sendiri. Tetapi apakah cukup mementingkan objek yang kita layani di dalam pelayanan kita? TIDAK! Paulus melanjutkan bahwa objek yang dia layani itu sebagai hal yang menyenangkan-Nya, namun sebelumnya Roh Kudus telah menyucikan bangsa-bangsa non-Yahudi itu agar mereka diterima oleh Allah. Berarti, ia lebih mementingkan peran Kebenaran (Truth) yang Roh Kudus kerjakan di dalam hati umat pilihan dari bangsa-bangsa non-Yahudi. Beberapa “gereja” atau orang/pemimpin “Kristen” di zaman postmodern ini mempunyai konsep yang bertolak belakang dari konsep Paulus ini. Mereka mengajar bahwa pelayanan “Kristen” adalah pelayanan yang berorientasi pada orang lain. Mereka membuang konsep penginjilan verbal dan menggantinya dengan “penginjilan” melalui perbuatan/aksi sosial. Di dalam khotbah dari gereja yang menganut paham ini, banyak pemimpin mereka mengajar bahwa kita harus memerhatikan orang miskin, karena Tuhan Yesus juga melayani orang miskin. Apakah itu salah? TIDAK! Meskipun tidak salah, ada dua kelemahan dari konsep ini yang jarang mereka pikirkan: Pertama, Alkitab memang mengajar bahwa kita harus memerhatikan orang miskin, tetapi di sisi lain, Alkitab yang sama (Im. 19:15) mengajar agar kita TIDAK membela orang miskin/kecil. Kedua, jika pelayanan Kristen terus memperhatikan orang lain (dalam hal ini: orang miskin), maka pelayanan “Kristen” tidak ada bedanya dengan pelayanan duniawi yang antroposentris. Alkitab mengajar bahwa pelayanan Kristen yang beres BUKAN pelayanan yang terus berorientasi pada orang lain saja, tetapi pelayanan yang beres adalah pelayanan yang memerhatikan objek yang kita layani dengan prinsip-prinsip Kebenaran agar mereka yang kita layani kembali kepada Kebenaran. Inti dari pelayanan Kristen yang beres adalah Kebenaran, bukan objek atau orang lain.

Bukan hanya motivasi pelayanan Paulus itu murni, ruang lingkup pelayanannya pun luas. Ia memberitakan Injil bukan hanya bagi orang Yahudi, tetapi juga untuk orang-orang non-Yahudi yang dianggap oleh orang Yahudi sebagai bangsa kafir (Gentiles). Paulus tidak memedulikan anggapan negatif orang Yahudi ketika ia memberitakan Injil kepada orang-orang non-Yahudi. Ia melakukan hal ini sesuai dengan teladan Tuhan Yesus Kristus yang melayani bukan hanya untuk orang Yahudi, tetapi juga untuk orang-orang non-Yahudi. Pelayanan Kristen yang beres adalah pelayanan yang universal yang tidak hanya menjangkau suku-suku tertentu, tetapi untuk semua suku dan bangsa. Apa dasarnya kita bisa melayani semua orang? Dasarnya adalah Pertama, Allah adalah Pencipta manusia dari berbagai bangsa. Kedua, di dalam Kristus, orang-orang yang tergabung di dalam umat pilihan-Nya yang telah ditebus adalah orang-orang yang terdiri dari berbagai bangsa dan bahasa (Gal. 3:28). Ketiga, kita semua dari berbagai bangsa yang telah ditebus Kristus, pada saat yang sama, dibaptis oleh Tuhan Yesus di dalam satu Roh (1Kor. 12:13). Sebagaimana Paulus melayani dengan prinsip universalitas di dalam pelayanan, sudahkah kita siap melayani Tuhan dengan jiwa universal tersebut? Allah yang menciptakan manusia, menebus beberapa manusia untuk menjadi umat-Nya, dan menyempurnakan mereka melalui karya Roh Kudus adalah Allah yang tidak membeda-bedakan manusia, bukankah kita juga seharusnya tidak perlu membeda-bedakan manusia? Manusia membutuhkan Injil, tidak peduli apakah itu orang Indonesia, Inggris, India, Amerika, RRT, Jepang, dll. Siapkah kita menyaksikan kasih dan kebenaran Kristus kepada mereka tanpa pandang bulu?

 

 

Bagaimana dengan kita? Sudahkah kita melayani Tuhan dengan konsep dan cara yang bertanggung jawab sesuai dengan firman Tuhan? Jika belum, biarlah Roh Kudus mencerahkan hati dan pikiran kita, lalu memimpin kita untuk terus melayani-Nya dengan hati yang tulus dan konsep yang benar. Kiranya Tuhan memberkati. Amin. Soli Deo Gloria.