02 April 2008

Roma 7:1-6: HUKUM TAURAT DALAM PERSPEKTIF KRISTEN-1: Penebusan Kristus & Mati bagi Hukum Taurat

Seri Eksposisi Surat Roma :
Manusia Lama Vs Manusia Baru-9


Hukum Taurat Dalam Perspektif Kristen-1 :
Penebusan Kristus dan Mati bagi Hukum Taurat


oleh: Denny Teguh Sutandio


Nats: Roma 7:1-6.

Setelah mempelajari tentang akibat dari status dan kondisi yang diubahkan tersebut di empat ayat terakhir di pasal 6 ini, maka Paulus melanjutkan pembahasannya tentang arti lebih dalam bahwa kita telah mati bagi Taurat di pasal 7 ayat 1-6.

Pada pasal 7 ayat 1, Paulus mengajarkan “Apakah kamu tidak tahu, saudara-saudara, --sebab aku berbicara kepada mereka yang mengetahui hukum--bahwa hukum berkuasa atas seseorang selama orang itu hidup?” Atau dalam terjemahan lain bahwa tidak tahukah kamu, saudara-saudaraku seiman, sebab aku berbicara kepada mereka yang mengetahui hukum, bahwa hukum menjadi tuan atas seseorang selama jangka waktu (Yunani: chronos) di mana ia hidup. Dalam bagian ini, Paulus mengungkapkan bahwa hukum itu menguasai hidup manusia. Dengan kata lain, itulah kuasa dari hukum.

Pada pasal 7 ayat 2-3, Paulus memberikan ilustrasi singkat mengenai hukum dan kuasa hukum pada diri manusia. Mari kita mempelajari masing-masing ilustrasi singkat tersebut.

Di ayat 2, Paulus mulai menjelaskan kuasa dari hukum tersebut dengan ilustrasi, “Sebab seorang isteri terikat oleh hukum kepada suaminya selama suaminya itu hidup. Akan tetapi apabila suaminya itu mati, bebaslah ia dari hukum yang mengikatnya kepada suaminya itu.” King James Version menerjemahkannya, “For the woman which hath an husband is bound by the law to her husband so long as he liveth; but if the husband be dead, she is loosed from the law of her husband.” (=“Karena wanita/istri yang memiliki suami ditundukkan oleh hukum bagi suaminya selama dia/suaminya itu hidup ; tetapi jika suaminya meninggal, istri/wanita ini dibebaskan dari hukum kepada suaminya.”) Kata “woman” dalam KJV diterjemahkan a married woman (=wanita yang menikah) baik di dalam International Standard Version (ISV) maupun English Standard Version (ESV). Dari pernyataan ini, kita dapat menangkap pengajaran Paulus bahwa suami sangat berperan di dalam keluarga, sehingga istri terikat oleh hukum kepada suaminya. Atau dengan kata lain, suami memiliki kuasa atas istri sebagai kepala keluarga. Tetapi ketika suaminya itu meninggal, maka secara otomatis si suami tak bisa memiliki kuasa apapun terhadap si istri (karena suami telah meninggal), sehingga si istri dibebaskan dari hukum yang mengikat tersebut. Dengan kata lain, kemeninggalan si suami melepaskan ikatan kuasa hukum si istri. Bagi si istri, kemeninggalan sang suami adalah suatu sukacita tersendiri karena si istri bisa lepas dari cengkeraman si suami (pandangan dunia : mungkin sekali si istri bosan dengan si suami yang kasar, dll). Tetapi kemungkinan ini tidak diajarkan oleh Alkitab, karena Alkitab mengajarkan bahwa suami tetap harus mencintai istrinya, sebagaimana istri tunduk kepada suaminya.

Ilustrasi kedua, di ayat 3, Paulus mengungkapkan, “Jadi selama suaminya hidup ia dianggap berzinah, kalau ia menjadi isteri laki-laki lain; tetapi jika suaminya telah mati, ia bebas dari hukum, sehingga ia bukanlah berzinah, kalau ia menjadi isteri laki-laki lain.” Ini seharusnya merupakan kelanjutan dari ayat 2, tetapi saya sengaja memisahkannya supaya kita bisa belajar sendiri dari ilustrasi ini. Kembali, di ayat ini, Paulus membalik posisi dari ayat 2, yaitu ketika si suami masih hidup, tetapi si istri tidak boleh tunduk kepada hukum bagi suaminya, melainkan main gila dengan pria lain (atau menjadi istri pria lain), maka Paulus mengatakan bahwa itu berzinah. Mengapa berzinah ? Karena si istri dianggap tidak setia dengan suaminya dan tidak mau taat kepada hukum suaminya. Di sini, kesetiaan mengambil peran penting di dalam aspek hukum Allah.

Kedua ilustrasi di atas langsung diimplikasikan oleh Paulus mulai ayat 4 s/d 7. Di ayat 4, Paulus mengajarkan, “Sebab itu, saudara-saudaraku, kamu juga telah mati bagi hukum Taurat oleh tubuh Kristus, supaya kamu menjadi milik orang lain, yaitu milik Dia, yang telah dibangkitkan dari antara orang mati, agar kita berbuah bagi Allah.” Seperti istri yang terbebas dari suami yang meninggal, demikian juga jemaat Roma dan kita sebagai orang Kristen sudah mati bagi hukum (Taurat) oleh tubuh Kristus. Dengan kata lain, status kita sudah berubah, yaitu : pertama, mati bagi hukum (Taurat). Kedua, bukan hanya kita mati bagi hukum (Taurat), kita juga menjadi milik (atau dinikahkan dengan) orang lain. Pernyataan “kamu menjadi milik orang lain,...” di dalam ayat ini diterjemahkan oleh KJV, “should be married to another,” (=dinikahkan dengan orang lain,) Dengan kata lain, kita bukan hanya dibebaskan dari Taurat oleh penebusan Kristus, kita yang sudah dibebaskan ini menjadi hamba dan dinikahkan dengan Kristus (atau kita menjadi mempelai wanita Kristus dan Kristus sebagai mempelai prianya). Sehingga sangat tepat ketika Paulus di ayat 2 dan 3 memberikan ilustrasi mengenai suami dan istri, karena itu menggambarkan antara kita sebagai umat pilihan-Nya dan mempelai wanita Kristus dinikahkan seecara spiritual (rohani) dengan Kristus sendiri sebagai Tuhan, Raja dan mempelai pria. Yohanes Pembaptis berseru, “Yang empunya mempelai perempuan, ialah mempelai laki-laki; tetapi sahabat mempelai laki-laki, yang berdiri dekat dia dan yang mendengarkannya, sangat bersukacita mendengar suara mempelai laki-laki itu. Itulah sukacitaku, dan sekarang sukacitaku itu penuh.” (Yohanes 3:29) Dengan kata lain, mempelai laki-laki (=Kristus) berkuasa atas mempelai wanita, sehingga ketika sahabat dari mempelai pria ini pun ikut bersukacita ketika mendengar suara dari mempelai pria tersebut. Dan disambung dengan pernyataan Yohanes bahwa itu adalah sukacitanya yaitu bisa melayani dan menjadi mempelai wanita dari Kristus (dalam konteks ini, Yohanes tahu bahwa Tuhan Yesus juga membaptis—baca Yohanes 3:1-22). Lalu, apa tujuan kita dinikahkan secara rohani dengan Kristus (atau menjadi milik Kristus) ? Tujuannya agar kita berbuah (atau tumbuh subur) bagi Allah. Paulus memakai kata “berbuah” bagi Allah menunjukkan bahwa kita sebagai umat-Nya harus terus-menerus (di dalam proses) menghasilkan buah yang memuliakan Allah. Kata “berbuah” identik dengan proses. Sebuah pohon kalau mau berbuah harus mau menunggu waktu yang matang, sehingga buahnya pun juga matang dan dapat dipetik oleh manusia. Begitu juga, pemetik buah itu adalah Allah dan Ia akan memetik buah (=kita) kalau buah itu sudah matang. Berbuah bukan hanya sekedar berbicara mengenai kuantitas (jumlah), tetapi juga kualitas. Berbuah banyak tetapi isi buahnya tak berkualitas juga suatu kesia-siaan. Sudahkah kita sebagai orang Kristen berbuah baik dalam memberitakan Injil maupun mengajar orang lain yang diinjili supaya mereka juga dapat berbuah lebat ? Itulah wujud kita berbuah bagi Allah.

Ayat 4 ini dijelaskan Paulus secara lebih mendalam di ayat 5 dan 6. Di ayat 5, Paulus menjelaskan, “Sebab waktu kita masih hidup di dalam daging, hawa nafsu dosa, yang dirangsang oleh hukum Taurat, bekerja dalam anggota-anggota tubuh kita, agar kita berbuah bagi maut.” Ini adalah kondisi awal kita yaitu dalam status berdosa. Hal ini digambarkan Paulus dalam beberapa hal, yaitu :
Pertama, hidup di dalam daging. Orang yang dikuasai dosa pasti hidup di dalam kedagingan. Artinya, orang itu lebih memikirkan hal-hal kedagingan ketimbang hal-hal rohani/spiritual, lebih memuliakan diri dan kepuasan diri ketimbang memuliakan Allah, dll. Hidup di dalam kedagingan diuraikan oleh Paulus di dalam Surat Galatia 5:19-21, “percabulan, kecemaran, hawa nafsu, penyembahan berhala, sihir, perseteruan, perselisihan, iri hati, amarah, kepentingan diri sendiri, percideraan, roh pemecah, kedengkian, kemabukan, pesta pora dan sebagainya. Terhadap semuanya itu kuperingatkan kamu--seperti yang telah kubuat dahulu--bahwa barangsiapa melakukan hal-hal yang demikian, ia tidak akan mendapat bagian dalam Kerajaan Allah.” Kelimabelas hal kedagingan ini dikontraskan dan dibedakan total dari hidup menurut Roh di dalam Galatia 5:22-23, “Tetapi buah Roh ialah: kasih, sukacita, damai sejahtera, kesabaran, kemurahan, kebaikan, kesetiaan, kelemahlembutan, penguasaan diri. Tidak ada hukum yang menentang hal-hal itu.”
Kedua, hawa nafsu kedagingan ditimbulkan oleh hukum (Taurat). Orang bisa hidup di dalam daging karena ia dikuasai oleh hawa nafsu yang menyesatkan dan uniknya, Paulus langsung “menuduh” bahwa hukum (Taurat) atau terjemahan Bahasa Indonesia Sehari-hari (BIS) menerjemahkannya “hukum agama” adalah hal yang menimbulkan timbulnya hawa nafsu kedagingan. Apakah ia menyalahkan dan membuang Taurat ? TIDAK ! (lihat ayat selanjutnya, mulai ayat 7 s/d 25) Maksud Paulus di dalam bagian ini adalah orang yang dikuasai oleh hawa nafsu dosa adalah orang yang tidak pernah taat kepada Taurat dan esensinya yaitu kasih, tetapi hanya taat pada tradisi Taurat. Di dalam postmodern, kita sering mendengar ajaran bahwa dengan melakukan hukum agama, manusia bisa selamat dan masuk “surga”. Di dalam bagian ini, Paulus memutarbalikkan semua presuposisi manusia postmodern dengan mengatakan bahwa justru melalui hukum agama, manusia semakin berdosa. Mengapa ? Karena manusia menciptakan hukum agama dan tidak mau kembali kepada Sumber Hukum sejati. Dengan kata lain, manusia menciptakan syariat sendiri untuk melawan Sumber Hukum, Tuhan Allah sendiri. Tradisi Yudaisme yang mengklaim berasal dari Taurat mewajibkan orang tidak boleh bekerja berat (bahkan berjalan jauh pun tidak boleh) di hari Sabat, dll. Semua tradisi ini membuat jemaat Yahudi bukan semakin bersukacita, tetapi semakin tertekan, karena aturan itu membelenggu dan “memaksa”. Padahal, maksud Tuhan mewahyukan Taurat agar umat-Nya boleh bersukacita dan menikmati-Nya. Sehingga dari sini, kita belajar aturan tradisi Yudaisme yang ekstrim mengakibatkan munculnya hawa nafsu kedagingan, misalnya “penghakiman dan penghukuman” dari pihak orang-orang Farisi/pemuka agama Yahudi bagi mereka yang melanggar, pelanggaran sendiri dari pihak orang-orang Farisi/ahli-ahli Taurat, dll. Tuhan Yesus pernah mengkritik kemunafikan orang-orang Farisi yang sok perhatian terhadap Taurat tetapi intinya mereka pun juga melanggar Taurat, “Tetapi jawab Yesus kepada mereka: "Mengapa kamupun melanggar perintah Allah demi adat istiadat nenek moyangmu? Sebab Allah berfirman: Hormatilah ayahmu dan ibumu; dan lagi: Siapa yang mengutuki ayahnya atau ibunya pasti dihukum mati. Tetapi kamu berkata: Barangsiapa berkata kepada bapanya atau kepada ibunya: Apa yang ada padaku yang dapat digunakan untuk pemeliharaanmu, sudah digunakan untuk persembahan kepada Allah, orang itu tidak wajib lagi menghormati bapanya atau ibunya. Dengan demikian firman Allah kamu nyatakan tidak berlaku demi adat istiadatmu sendiri.” (Matius 15:3-6)
Ketiga, hasilnya adalah maut. Setelah Taurat yang diputarbalikkan oleh manusia membuat manusia semakin berdosa, maka hasil akhirnya adalah kematian/maut. Memang unik, ketika manusia postmodern menggembar-gemborkan tentang pentingnya beramal supaya masuk “surga”, di sisi lain, Paulus mengkritik dan mengajarkan bahwa justru amal membuat manusia masuk neraka ! Mengapa ? Karena amal tersebut tidak dilakukan di dalam iman kepada Allah Trinitas, tetapi demi pemuasan diri (dipuji orang), dll. Lalu, bagaimana penyelesaiannya ?

Di ayat 6, Paulus mengemukakan status kita yang diubahkan, “Tetapi sekarang kita telah dibebaskan dari hukum Taurat, sebab kita telah mati bagi dia, yang mengurung kita, sehingga kita sekarang melayani dalam keadaan baru menurut Roh dan bukan dalam keadaan lama menurut huruf hukum Taurat.” Status kita dulu yang berdosa, sekarang diubahkan. Melalui penebusan Kristus, Ia telah mengalahkan kutuk Hukum Taurat “dengan jalan menjadi kutuk karena kita, sebab ada tertulis: "Terkutuklah orang yang digantung pada kayu salib!"” (Galatia 3:13) Kematian Kristus ini diefektifkan oleh Roh Kudus sehingga kita pun juga dimampukan untuk mati bagi Taurat yang menguasai kita. Bukan hanya itu saja, menurut ayat 4, di ayat ini, Paulus kembali menegaskan bahwa sekarang setelah kita dibebaskan dan mati bagi Taurat, maka kita dituntut untuk melayani-Nya dalam keadaan baru menurut Roh. Kata “baru” di dalam bagian ini dalam bahasa Yunaninya kainotēs berarti secara figuratif/kiasan : renewal (=pembaharuan). Artinya, kita dilahirbarukan oleh Roh Kudus untuk melayani-Nya dan bukan menurut huruf hukum Taurat. Pernyataan “dan bukan dalam keadaan lama menurut huruf hukum Taurat.” di dalam terjemahan KJV, “not in the oldness of the letter.” (=bukan di dalam kekunoan/kelamaan huruf.) Dengan kata lain, setelah kita ditebus oleh Kristus, kita tidak lagi hidup di bawah aturan di luar Kristus yang mengikat (aturan/keadaan lama), tetapi kita hidup taat kepada Kristus yang memerintah di dalam hidup kita (aturan/keadaan baru). Keadaan baru ini timbul dari kasih. Sehingga orang Kristen sejati bukan anti aturan, tetapi taat kepada aturan yang berprinsipkan Firman Allah (Alkitab) dan bersumber pada Allah Trinitas. Sudahkah kita mengalami pembaharuan oleh Roh Kudus ? Tandanya ? Tanda kita dipenuhi dan telah dilahirbarukan oleh Roh Kudus adalah kita semakin taat pada Firman, menTuhankan Kristus, rajin belajar Alkitab, bersekutu, melayani Tuhan dengan bertanggungjawab dan rendah hati. Selain itu, ada 9 buah Roh yang Paulus ungkapkan di dalam Galatia 5:22-23. Jika kita sudah menjalankan hal-hal tersebut, itu tandanya kita sudah dan mau terus-menerus dilahirbarukan oleh Roh Kudus.

Sudahkah kita menyerahkan hidup kita bagi kemuliaan-Nya? Ingatlah, penebusan Kristus tidak pernah sia-sia, tetapi ia pasti mengerjakan sesuatu yang dahsyat yang membuat kita semakin lama semakin mematikan Taurat dan dosa serta kembali kepada-Nya dan hidup menjalankan Firman-Nya. Amin. Soli Deo Gloria.


Matius 9:18-26: LIVE BY FAITH

Ringkasan Khotbah : 26 Juni 2005

Live by Faith
oleh: Pdt. Sutjipto Subeno, M.Div.

Nats: Mat. 9:18-26

Pendahuluan
Kita telah memahami kalau Injil Matius bukan ditulis secara kronologis melainkan secara topikal, yakni Kerajaan Sorga, the Kingdom of God maka Matius menyusunnya sedemikian rupa mulai dari kedatangan Sang Raja, Sang Raja membentuk Kerajaan-Nya dengan memaparkan hukum Kerajaan Sorga (Mat. 5-7) dan Kristus Sang Raja itu mengimplikasikan hukum-Nya (Mat. 8-9) dengan demikian hukum tersebut tidak sekedar menjadi teori. Implikasi hukum Kerajaan Sorga dibagi dalam empat sub tema dimana di setiap sub tema terdiri dari 17 ayat, yaitu: 1) the Lordship of Christ (Mat. 8:1-17), Kristus adalah Tuhan, Tuan dari segala tuan maka kita adalah budak yang harus taat pada Tuan, 2) the discipleship of Christ (Mat. 8:18-34), kita bukan sekedar menjadi pengikut yang sifatnya sementara tetapi mengikut Kristus berarti mengikut selama-lamanya, yakni sepanjang hidup kita dan ini menjadi komitmen hidup kita, 3) separation (Mat. 9:1-17), di tengah jaman yang bengkok ini, kita dipanggil untuk suatu tugas khusus, yaitu mencerminkan kesucian yang merupakan satu-satunya sifat Ilahi yang membedakan antara pengikut Kristus dengan pengikut iblis, dan 4) Live by Faith (Mat. 9:18-34), tema terakhir yang akan kita pahami ini sangat penting sebab menjadi dasar dan kekuatan kita dalam menjalankan separasi.
I. True Comitment
Bukanlah hal yang mudah bagi seorang anak Tuhan sejati hidup terpisah dari maka janganlah kaget, orang Kristen yang berani memisahkan diri akan menjadi minoritas di antara minoritas. Kekristenan tidak akan pernah menjadi mayoritas sebab kalaupun Kekristenan itu menjadi mayoritas seperti pada jaman Konstantine Agung maka orang Kristen sejati itupun sangatlah minoritas. Kerajaan Sorga itu seumpama jalan kecil yang sukar untuk dilewati namun ujungnya berakhir dengan kebahagiaan sementara kerajaan dunia itu jalannya lebar sehingga mudah dilewati namun berakhir dengan kehancuran. Sebagai pengikut Kristus yang telah berkomitmen untuk memisahkan diri maka pertanyaannya sekarang adalah bagaimana memproses hidup kita di dalam iman? Orang harus mulai dari iman menuju pada iman dan orang benar hidup oleh iman (Rm. 1:16-17), jadi, yang menjadi landasan hidup manusia adalah iman. Hal ini sangat disadari oleh manusia tapi sekaligus dilanggar oleh manusia itu sendiri; orang lebih suka kalau sesuatu yang sesuai dengan logika atau rasio namun pengaruh “penipuan“ iman telah mencengkeram hidup manusia. Sebagai contoh, ketika sekolah bukankah kita lebih banyak menggunakan iman daripada rasio sebab hampir sebagian besar materi yang diajarkan itu tidak pernah kita buktikan sendiri, bukan?
Tuhan mengajarkan segala sesuatu justru harus dimulai dari iman. Sayangnya, hari ini orang baru mau percaya kalau ia sudah membuktikannya, orang mau percaya kalau ia sudah mengalaminya sendiri, orang baru mau percaya kalau apa yang ia percayai sesuai dengan logikanya. Salah! Separasi bukanlah sekedar pemisahan kehidupan namun pemisahan itu haruslah sampai pada akar yang menyangkut pola pikir dan iman sebab jika tidak demikian maka kita akan mudah digoncangkan. Orang harus percaya dulu barulah kemudian ia bisa membuktikan, kita harus percaya dulu barulah logika kita akan cocok. Hal ini sangat dibenci oleh manusia karena orang masuk dalam pertanyaan siapakah yang layak menjadi sandaran iman? Sebab meletakkan obyek kepercayaan sangatlah beresiko di dalam kehidupan kita sebab kalau sekali kita salah maka hal itu akan berefek dalam seluruh kehidupan kita.
Bukan hal yang biasa, seorang kepala rumah ibadat datang menyembah, bow down pada Tuhan Yesus apalagi di hadapan banyak orang. Pertama, orang Yahudi sangat membenci bahkan selalu menentang ajaran Tuhan Yesus karena dianggap sebagai orang yang menganggu keberadaan agama Yudaisme maka dapatlah dibayangkan kalau seorang Yahudi apalagi berstatus kepala rumah ibadat datang kepada Tuhan Yesus maka resikonya adalah kehilangan status sekaligus kariernya.
Kedua, orang Yahudi sangat ketat menjalankan semua peraturan agama Yudais maka seorang yang menyembah, proskuneo (bahasa Yunani) pada orang lain dan menganggapnya sebagai Tuan maka itu berarti penghujatan terhadap Allah dan taruhannya adalah nyawa, Ketiga, konsep pemikiran Yairus yang percaya kalau Yesus datang dan meletakkan tangan-Nya ke atas anak perempuannya maka ia akan hidup merupakan suatu terobosan yang sangat besar. Hati-hati, kesembuhan bisa dari Tuhan namun bisa juga dari iblis akan tetapi Yairus, kepala rumah ibadat ini menyadari bahwa tidak ada kuasa manapun yang dapat membangkitkan anaknya dari kematian selain Kristus Yesus; iblis tidak mempunyai kuasa untuk membangkitkan orang dari kematian sebab dirinya adalah bapa dari kematian.
Yairus sebelum ia memutuskan untuk menemui Tuhan Yesus, segala cara dan usaha kemungkinan sudah ia tempuh demi untuk menyembuhkan anak perempuannya yang sakit keras itu tapi toh semua itu gagal dan dalam keadaan yang putus asa, desperate mendengar kabar kalau anaknya sudah meninggal, ia toh tetap tidak bergeming, ia tetap pada pendiriannya, yakni supaya Tuhan Yesus datang dan meletakkan tangannya maka anaknya itu akan hidup. Dalam hal ini Yairus telah melakukan komparasi atau perbandingan iman dengan iman yang ia pegang sebelumnya. Iman kalau belum kita uji, iman yang belum kita refleksikan dalam diri kita maka iman itu belumlah matang. Kita akan merasakan dan menyadari besarnya kekuatan iman ketika iman berada pada suatu titik kritis, yakni suatu titik dimana kita menghadapi kesulitan yang paling besar dalam hidup, suatu titik dimana kita harus mempertanyakan kembali kepercayaan kita. Hari ini, orang dengan mudah mengajak orang lain untuk percaya kepada Yesus karena orang mengajak percaya Tuhan Yesus di dalam kenikmatannya tetapi bukan diajak percaya Yesus di dalam menghadapi titik kritis. Pertanyaannya beranikah kita meresikokan hidup kita untuk memilih satu iman diantara banyaknya pilihan iman yang ada di dunia dimana didalamnya kita beresiko mati? Maka janganlah heran kalau hari ini kita menjumpai banyak orang “Kristen“ meninggalkan Tuhan ketika hidupnya susah dan tergoncang. Itulah sebabnya, Tuhan suka pada orang yang hancur hatinya, orang yang remuk hatinya karena disitulah iman mencapai pada suatu titik dimana kita mempertanyakan kembali apa yang menjadi iman kepercayaanku? Dimanakah obyek iman kepercayaan kita?

II. Total Surrender
Iman Kristen bukanlah iman yang tidak dapat dipertanggung jawabkan; iman Kristen bukanlah iman yang fanatik dan membabi buta. Tidak! Iman Kristen harus dimulai dari iman maka iman itu membawa kita pada suatu pengertian yang benar, iman akan membawa kita pada suatu ketajaman pemikiran. Sebaliknya, pengertian tidak akan menjadikan kita beriman. Melalui kisah ini, Matius ingin menyadarkan orang Yahudi, dimanakah sebenarnya iman mereka? Kenapa mereka menolak Kristus sebagai obyek iman? Kalau seorang kepala rumah ibadat dapat melihat Kristus sebagai Tuhannya, ia dapat bersimpuh dan menyembah pada Kristus, pertanyaannya kenapa orang Yahudi yang lain menolak Kristus sebagai Tuhan? Biarlah kita juga mengevaluasi diri, kalau kita mengaku beriman pada Kristus lalu iman seperti apakah yang kita miliki? Apakah kita hanya beriman ketika kita berada dalam kenikmatan? Apakah kita tetap beriman ketika semua keadaan lancar ataukah masihkah kita akan tetap beriman ketika kita dalam kesusahan ketika kita merasa putus asa dan tiada pengharapan? Yairus bukan beriman fanatik, ia tahu pasti bahwa semua iman yang ditawarkan oleh agama-agama di dunia tidak tuntas, tidak dapat menyelesaikan semua kegalauan hatinya.
Adalah anugerah kalau kita dapat melihat Kristus sebagai obyek iman seperti halnya Yairus maka ketika anugerah itu datang, janganlah sia-siakan kesempatan itu. Ingat, kesempatan itu tidak akan datang terus menerus. Obyek iman yang tepat akan menentukan seluruh langkah hidup kita selanjutnya. Pertanyaannya sekarang adalah seberapa bijakkah kita melangkahkan iman dan mengimplikasikannya dalam hidup kita. Hati-hati sekali kita memilih obyek iman yang salah akibatnya menyangkut seluruh aspek hidup dan berakhir dengan kematian. Ada orang yang berpendapat bahwa hanya percaya Yesus maka orang akan selamat, pertanyaannya adalah apakah orang yang percaya Yesus pasti percaya Yesus? Ternyata, tidak! Mereka hanya percaya pada Yesus yang dapat memberi berkat, Yesus yang dapat menyembuhkan, Yesus yang dapat memenuhi semua keinginannya maka percaya itu hanya sebatas sebagai pemuas keinginan diri saja. Yairus tahu pasti saat ia menyembah pada Tuhan Yesus maka itu menjadi titik separasi iman yang tuntas dan ia telah siap dengan segala resiko yang harus ia terima, seperti kehilangan karir bahkan kehilangan nyawa sekalipun. Beberapa orang menafsirkan bahwa kemungkinan setelah peristiwa ini Yairus tidak pernah kembali menjadi kepala rumah ibadat lagi. Hari itu menjadi titik dimana ia diselamatkan melalui iman. Bukan hanya kesembuhan yang ia dapatkan tetapi juga keselamatan. Melalui kisah ini terbukti bahwa si anak perempuan yang dibangkitkan tidak perlu iman untuk ia dapat bangkit tapi semata-mata karena kehendak Tuhan. Mengikut Kristus bukan bersifat sementara tetapi mengikut Kristus merupakan pertanggung jawaban di sepanjang hidup kita. Sayangnya, hari ini banyak orang yang mengaku “percaya“ Kristus tapi sesungguhnya obyek yang ia percaya bukanlah Kristus; Kristus hanyalah menjadi “alat“ dari obyek kepercayaannya. Matius ingin membukakan pada kita bahwa hidup manusia berada di bawah kedaulatan Kristus sajalah, manusia tidak berhak dan tidak mempunyai kuasa untuk menentukan hidupnya. Beriman pada Kristus merupakan total penyerahan diri selama-lamanya dan tidak kembali pada jalan yang lama. Pertanyaannya sekarang adalah pernahkah terlintas dalam pikiran kita untuk pindah dan berpaling dari Kristus? Kalau iman kita sudah sampai pada suatu titik kritis dimana iman itu diuji dan kita berhasil dalam ujian itu maka ketika kita mengikut Kristus, itu menjadi penyerahan yang total dalam hidup kita.


III. Faith Experience
Yairus mengalami pengalaman iman yang luar biasa bersama Tuhan Yesus, ia melihat bagaimana Tuhan Yesus membangkitkan orang mati. Hati-hati, orang-orang yang lebih banyak menggunakan rasio akan sukar masuk dalam pengalaman iman yang sejati. Suatu kesalahan besar kalau kita mempermainkan iman begitu juga kalau kita mempermainkan pengalaman tetapi iman tanpa pengalaman juga merupakan suatu kesalahan. Iman Kristen bukanlah iman yang mati yang hanya diperdebatkan secara logika saja. Tidak! Teologi Reformed menegaskan bahwa iman Kristen adalah iman yang terimplikasi di dalam setiap aspek hidup kita, iman Kristen adalah iman yang praktis. Dari kehidupan kita akan nampak sampai dimanakah iman kepercayaan kita? Benarkah kita mempunyai pengalaman iman dipimpin Tuhan dalam hidup kita? Percayalah ketika kita berada dalam kondisi yang putus asa maka disitulah pertolongan Tuhan akan memimpin hidup kita. Sayangnya, hari ini banyak orang Kristen yang seharusnya imannya dapat terimplikasi dalam hidupnya namun justru ditutup dengan epistemologi yang lain, ditutup dengan cara pikir yang lain; orang tidak menerapkan imannya yang bersandar total. Orang mengaku beriman namun sesungguhnya orang bukan beriman sejati tetapi imannya adalah iman yang memaksakan keinginan, imannya memaksakan logika.
Maka tidaklah heran kalau orang yang beriman akan mendapat tapi ternyata tidak mendapatkan, orang akan meninggalkan imannya; di sisi lain, orang yang terlalu mengandalkan logika akan sulit menerima kenyataan ketika ia mendapat maka dianggap sebagai suatu kebetulan belaka, ia tidak pernah masuk dalam pengalaman iman bersama Tuhan. Iman sejati adalah percaya penuh pada pimpinan Tuhan, seluruh hidup kita berserah penuh pada pimpinan-Nya dan menikmati Dia sepanjang masa. Sungguh merupakan suatu anugerah kalau Tuhan berkenan memanggil kita menjadi warga kerajaan-Nya dan turut ambil bagian dalam pekerjaan Tuhan. Iman sejati adalah taat pada pimpinan Tuhan meski pimpinan Tuhan itu terkadang tidak kita sukai dan justru pada waktu itulah, yakni disaat kita berada dalam keputusasaan dan tiada pengharapan maka iman mulai nyata terimplikasi dalam hidup kita, kita akan merasakan indahnya berjalan bersama Tuhan.
Iman Kristen bukanlah sekedar teori tetapi hidup setiap hari dalam pimpinan Tuhan. Biarlah kita peka akan pimpinan Tuhan dengan demikian di setiap detik hidup kita mempunyai pengalaman iman yang indah bersama Tuhan. Ingat, satu-satunya hidup yang pasti bukan hidup di dunia tetapi kepastian hidup itu kita dapatkan kalau kita hidup di dalam pimpinan Tuhan. Ketika kita taat pada pimpinan Tuhan maka saat itu kita masuk dalam pengalaman iman yang indah bersama Tuhan. Manusia berdosa sangat sukar untuk taat akan tetapi ketika orang mulai putus asa barulah ia berteriak pada Tuhan, kenapa Tuhan tidak menolong? Bukan Tuhan tidak mau menolong, tidak, tapi manusialah yang tidak mau ditolong, orang tidak taat pada pimpinan tangan Tuhan berdaulat. Biarlah kita meneladani Yairus yang menaruh kepercayaannya dan taat sepenuhnya pada Kristus dengan demikian iman terimplikasi dan di dalam hidup kita dan hidup menjadi saksi bagi-Nya. Amin.

(Ringkasan khotbah ini belum diperiksa oleh pengkhotbah)

Sumber:

Resensi Buku-50: KONFLIK WAWASAN DUNIA (alm. Prof. Ronald H. Nash, Ph.D.)

...Dapatkan segera...
Buku
WORLDVIEWS IN CONFLICT
(KONFLIK WAWASAN DUNIA: Mengapa Memilih KeKristenan Di Tengah Berbagai Pemikiran Dunia ?)


oleh: (alm.) Prof. Ronald H. Nash, Ph.D.

Penerbit: Momentum Christian Literature, Surabaya, 2000

Penerjemah: Irwan Tjulianto





Deskripsi singkat dari Denny Teguh Sutandio :
Sejak Abad Pertengahan (Middle Ages), Renaissance, Pencerahan (Inggris : Enlightenment ; Jerman : Aufklaerung), sampai abad postmodern, dunia kita menawarkan beragam filsafat dan wawasan dunia, misalnya Skolastisisme (mempengaruhi Thomas Aquinas), Mistisisme, Rasionalisme, Naturalisme, Skeptisisme sampai Gerakan Zaman Baru (New Age Movement). Bahkan tidak jarang, banyak orang “Kristen” terperangkap oleh bujuk rayu wawasan dunia ini yang mengakibatkan mereka tidak lagi beriman kepada Allah di dalam Kristus, melainkan kepada filsafat manusia berdosa. Lalu, bagaimana sikap kita sebagai orang Kristen dalam menghadapi beragam wawasan dunia yang ditawarkan dan memenangkan pertarungan ide-ide tersebut? (alm.) Prof. Ronald H. Nash, Ph.D., seorang profesor filsafat dan theologi di Reformed Theological Seminary, USA menguraikan semua hal tersebut dengan jelas dan non-teknis di dalam bukunya ini. Dimulai dengan menjelaskan arti wawasan dunia pada bab 1, kemudian Dr. Nash menjelaskan kriteria-kriteria memilih suatu wawasan dunia yang benar, yaitu dengan tiga ujian, yang meliputi : ujian rasio, ujian pengalaman (meliputi : ujian dunia di luar diri, dan ujian dunia di dalam diri) dan ujian praktek dengan satu dasar pijak : hukum nonkontradiksi di dalam setiap wawasan dunia. Selanjutnya, di bab-bab berikutnya, beliau menjelaskan kekonsistenan wawasan dunia Kristen yang lolos dari ketiga ujian tersebut, sebaliknya inkonsistensi semua wawasan dunia, mulai dari Mistisisme, Solipsisme, Naturalisme, Gerakan Zaman Baru, dll. Yang paling unik adalah cara beliau menguraikan dengan jelas ketidakkonsistenan semua wawasan dunia dan membandingkannya dengan kekonsistenan wawasan dunia Kristen yang dapat dipertanggungjawabkan. Terus terang, saya banyak diberkati dan iman saya semakin dikuatkan melalui buku dari Dr. Nash ini.







Profil Dr. Ronald H. Nash :
Prof. Ronald H. Nash, Ph.D. adalah seorang Profesor theologia dan filsafat di Reformed Theological Seminary, Orlando, Florida, USA. Beliau meraih gelar Bachelor of Arts (B.A.) dari Barrington College (1958), Master of Arts (M.A.) dari Brown University (1960) dan Doctor of Philosophy (Ph.D.) dari Syracuse University (1964). Beliau menjalani studi post-doctoral di Stanford University pada tahun 1969 atas dukungan/biaya dari National Endowment for the Humanities. Dari sekian banyak buku yang ditulisnya, beberapa di antara telah diterbitkan oleh Penerbit Momentum, antara lain : Iman dan Akal Budi (Faith and Reason) dan Konflik Wawasan Dunia (Worldviews in Conflict).