15 August 2008

THEOLOGI KOVENAN: Titik Tolak Pengenalan Allah (Pdt. Thomy J. Matakupan, M.Div.)

Theologi Kovenan: Titik Tolak Pengenalan Allah

oleh: Pdt. Drs. Thomy J. Matakupan, S.Th., M.Div.



Pendahuluan
Theologi Kovenan adalah keunikan dari theologi Reformed yang memiliki akar pengertian berdasarkan penyataan Allah di dalam firman-Nya. Dapat dikatakan bahwa Alkitab mengungkapkan prinsip ini di seluruh bagiannya, baik di dalam Perjanjian Lama maupun Perjanjian Baru. Itulah sebabnya pengertian theologi kovenan ini tidak lepas dari usaha hermeneutik, penafsiran Alkitab. Usaha hermeneutik yang bertanggung jawab pada akibatnya akan melihat Alkitab sebagai sebuah sistem kebenaran, dalam arti sebuah pokok permasalahan tertentu yang muncul di dalamnya harus memiliki konsistensi prinsip. Hal ini pada akibatnya, tidak saja melihat kesatuan Alkitab sebagai firman Allah yang tertulis, melainkan juga kepada pengenalan akan diri Allah sendiri. Dengan kata lain, Theologi Kovenan memberi nilai dari kehidupan iman sejati sesuai dengan maksud dan rencana Allah di dalam kehidupan orang percaya. Jika demikian, apakah yang dimaksud dengan theologi kovenan itu? Mengapa kemudian mempunyai dampak praktis serius di dalam kehidupan Kristen sejati?

Dapat dikatakan bahwa para Reformatorlah yang “menemukan kembali” theologi kovenan ini di tengah-tengah kesimpangsiuran ajaran gereja pada masa itu. Bahwa hal ini adalah harta gereja yang memberikan kehidupan bagi gereja yang telah ditinggalkan begitu saja. David L. Neilands mengatakan di awal bukunya, Studies in the Covenant of Grace menyatakan,

The church is no longer conscious. We have failed ti grasp the importance of covenant theology, covenant thinking and covenant living. Even Reformed churches that once knew the glory of the covenant of grace have lost this vital life-giving fountain of scriptural teaching.[1]

Bangunan iman Kristen dibangun atas dasar theologi kovenan, maka jika kehidupan Kristen (baca: “Gereja”) tidak lagi menempatkan theologi kovenan menjadi pusat theologinya, maka gereja telah kehilangan inti imannya. Gereja yang sedemikian telah kehilangan esensi dan arah keberadaannya di tengah-tengah dunia ini. Pada akibatnya akan mengalami kesulitan yang besar di dalam perjuangannya sebagai saksi Kristus dan akan lebih mudah berkompromi dengan berbagai macam sistim pemikiran dunia yang tidak menurut Kristus.

Makalah ini akan mencoba menyoroti aspek keutuhan prinsip theologi kovenan ini. Memang perlu diakui bahwa pembahasan mengenai theologi kovenan ini sangat luas dan menyangkut aspek-aspek praktis yang dapat diteliti satu demi satu. Karena itu pembahasan hanya akan meninjau secara global saja.

Pertama-tama perlu dilihat apakah yang dimaksud dengan “Theologi Kovenan itu?” Di dalam Perjanjian Lama, kata yang kemudian diterjemahkan sebagai kovenan adalah berit.[2] Sedangkan di dalam Perjanjian Baru menggunakan istilah diatheke.[3] Kedua istilah ini secara umum mempunyai pengertian adanya perjanjian yang dibuat antara dua pihak dengan berbagai persyaratan, tata cata dan konsekuensi yang ada di dalamnya. Sementara secara khusus - jika kemudian dikaitkan dengan pengertian theologi kovenan – hal ini berarti sebuah pemikiran theologi yang berdasar pada kenyataan perjanjian yang ditetapkan Allah sebagai Pencipta dan pihak manusia sebagai ciptaan.[4]

Tentu saja kedua pihak ini tidak dapat dilihat di dalam kedudukan yang sejajar. Perjanjian ini dilakukan oleh Allah Tritunggal sendiri di dalam inisiatifNya yang mutlak untuk mengikat Perjanjian dengan manusia. Bahwa Allah menghendaki adanya ketaatan sepenuhnya dari manusia kepada-Nya dan bahwa Allah di dalam kerelaan kehendak-Nya mengikatkan Diri di dalam janji mencurahkan berkat-Nya jika manusia menuruti di dalam ketaatan kepada kehendak-Nya ini.


Perjanjian Kerja
Perjanjian pertama yang dilakukan antara Allah dan Adam, manusia pertama, wakil dari semua manusia dan dikenal pula dengan istilah “Perjanjian Kerja.”[5] Allah menuntut manusia hidup di dalam ketaatan kepada-Nya dan Ia berjanji memberikan berkat-Nya kepada mereka, yaitu suatu kehidupan di dalam taraf yang tinggi, hidup di atas kematian. Janji kehidupan semacam ini akan lebih dapat dimengerti pada saat melihat kehidupan dari orang-orang yang percaya melalui penebusan Kristus, Adam terakhir. Sebaliknya, jika mereka tidak taat, akan mendapatkan hukuman Allah, yaitu mati di dalam arti yang paling mendalam. Tidak saja berarti kematian jasmani, melainkan juga termasuk kematian rohani dan kematian kekal, keterpisahan kekal dengan Allah. Disebut sebagai Perjanjian Kerja oleh karena adanya kondisi kerja yang ditetapkan bersama. Kerap juga disebut dengan nama lain, yaitu sebagai perjanjian kehidupan oleh karena berisi janji kehidupan atau perjanjian legal oleh karena adanya tuntutan ketaatan sempurna kepada hukum Allah.


Perjanjian Penebusan
Perjanjian ini ditetapkan antara Allah Bapa kepada Allah Anak di dalam kekekalan untuk menyelamatkan manusia berdosa. William G. T. Sheed mengatakan,

The Father appointing the Son to be the mediator; the Second Adam, whose life would be given for the salvation of the world, and the Son accepting the commision, promising that he would do the work which the Father had given him to do and fulfill all righteousness by obeying the law of God.[6]

Semua penetapan persyaratan menjadi hak utama Allah sendiri. Bahwa Bapa menyatakan Oknum Kedua Tritunggal, Yesus Kristus, Sang Anak harus menerima sifat manusia dengan segala kelemahannya meski tanpa dosa[7] sehingga Ia dapat berada di bawah hukum Taurat guna memenuhi semua tuntutan hukum tersebut dan dapat memberikan kehidupan kekal bagi setiap orang yang dikasihi-Nya.[8] Bahwa Yesus menyatakan kesiapan-Nya untuk melakukan kehendak Bapa dalam menjadi korban bagi dosa.[9] Bahwa Ia harus menambahkan jasa-Nya kepada umat-Nya oleh pekerjaan pembaruan oleh Roh Kudus. Dengan demikian menjadi pengabdian hidup mereka kepada Allah.[10]

Untuk menggenapi rencana ini, Bapa sendiri yang kemudian mempersiapkan sebuah tubuh bagi Kristus[11], mengurapi-Nya dengan Roh Kudus dan mendukung semua pekerjaan penebusan-Nya.[12] Bahwa Ia kemudian akan membangkitkan Anak dari kematian dan memberikan tempat terhormat di sebelah kanan-Nya.[13] Bahwa Ia juga kemudian akan memberikan Roh Kudus yang akan membawa setiap orang pilihan menjadi objek penyataan kasih karunia, kemurahan dan pemeliharaan-Nya.[14]

Dengan demikian, Kristus menempati posisi yang penting sekali. Ia adalah Kepala Perjanjian[15] dan sekaligus Penjamin Perjanjian.[16] Ia menjadi Adam kedua yang daripada-Nya Allah menyatakan anugerah-Nya yang tidak terkira. Ia dijadikan berdosa untuk menanggung hukuman dosa guna memenuhi tuntutan hukum Taurat bagi orang berdosa supaya mereka mendapatkan hidup. Paulus mengatakan bahwa Yesus adalah Pemberi Roh yang menghidupkan.[17] Kristus adalah yang satu-satunya memenuhi semua persyaratan yang ditetapkan Allah Bapa di dalam Perjanjian Penebusan ini yang kemudian menjadi dasar dari Perjanjian Anugerah.


Perjanjian Anugerah
Disebut juga sebagai “Perjanjian Pengampunan” karena perjanjian ini adalah wujud nyata kasih Allah kepada manusia berdosa. Bahwa Allah menyatakan kebaikan-Nya di dalam pemberian anugerah keselamatan kepada umat pilihan di dalam Kristus, sang Mediator. Berkhof mengatakan beberapa karakteristik yang ada di dalamnya juga tidak berubah dengan apa yang ada di dalam Perjanjian Kerja.

Pada umumnya sama di dalam semua bagian, meskipun bentuk administrasinya berubah. Janji pokoknya sama, Kej. 17:17, Ibr. 8:10; Injilnya sama, Gal. 3:8; syarat-syarat imannya sama, Gal. 3:6, 7 dan pengantara itu sama, Ibr. 13:8.[18]

Janji utama dari perjanjian itu, “Aku akan menjadi Allah bagi mereka dan bagi keturunan mereka.”[19] Penggenapan janji ini sangat bergantung pada pribadi dan pekerjaan penebusan Kristus dan diterima oleh manusia berdosa di dalam bentuk anugerah. Itulah sebabnya aplikasi nyata perjanjian ini tidak bergantung kepada pekerjaan baik atau jasa yang dapat dilakukan manusia. Tuntutan yang ada di dalamnya agar manusia memberikan kehidupannya dan percaya kepada Allah berdasarkan jasa Kristus dan mendapatkan semua berkat sorgawi yang dijanjikan-Nya. Dengan demikian, perbedaan antara perjanjian Kerja dan Perjanjian Anugerah terletak pada Pribadi Kristus yang menjadi perantara tunggal antara Allah dan manusia berdosa.[20]


Kontinuitas Perjanjian di dalam Alkitab
Theologi kovenan ini mewarnai seluruh bagian isi Alkitab dari Perjanjian Lama sampai ke Perjanjian Baru. Di dalamnya menyatakan prinsip tuntutan dan aplikasi kehidupan yang tidak berubah – prinsip dasar etika Kristen, relasi sosial antar manusia, kehidupan iman sejati, pengharapan, dsb – yang sesuai dengan maksud Allah sendiri. Hal ini tidak saja menyatakan ketidak-berubahan perjanjian yang pernah ditetapkan Allah, melainkan juga menunjukkan sikap Allah.

“Aku akan mengadakan perjanjian-Ku” demikian perkataan Allah kepada Nuh.[21] Perjanjian dengan Nuh adalah yang sangat bersifat umum oleh karena ditujukan kepada seluruh umat manusia sehingga perjanjian ini dimengerti pula sebagai pernyataan anugerah umum; bahwa Allah akan mencurahkan berkat umum kepada semua manusia.

Sementara itu, Esensi dari perjanjian Allah dengan manusia justru terletak pada perjanjian yang dibuat Allah dengan Abraham. “Aku akan mengadakan perjanjian antara Aku dan engkau serta keturunanmu turun temurun menjadi perjanjian yang kekal, supaya Aku menjadi Allahmu dan Allah keturunanmu.”[22] Perjanjian ini lebih bersifak eksklusif seperti yang ternyata di dalam batasan yang Allah tetapkan, yaitu keluarga Abraham dan semua keturunannya. Ini adalah ketetapan resmi perjanjian itu, suatu permulaan pelaksanaan satu persatu dari perjanjian Allah di dalam Perjanjian Lama. Peranan iman sebagai syarat utama sangat menonjol di dalamnya dan ketetapan sunat menjadi meterai perjanjian itu.

Perjanjian di Sinai, pada dasarnya sama dengan apa yang dibentuk dengan Abraham, tetapi sekarang mencakup seluruh bangsa Israel. Bahwa Allah menetapkan umat Israel menjadi umat kesayangan-Nya dan memerintahkan mereka memegang perjanjian dengan-Nya di dalam kasih dan ketaatan.[23] Ketetapan hukum Taurat dan sistim ibadah ditetapkan dalam hubungannya dengan perjanjian ini. Meskipun demikian hal ini tidak boleh dianggap sebagai bentuk baru dari perjanjian kerja. Alkitab mengatakan bahwa hukum Taurat justru membawa manusia kepada kesadaran akan dosa[24], dan menjadi jalan yang membawa manusia berpaling kepada Kristus.[25] Materai perjanjian ini adalah ketetapan Paskah.

Perjanjian yang Baru sebagaimana dinyatakan di dalam Alkitab melalui nabi Yeremia, “Aku akan mengadakan perjanjian baru dengan kaum Israel dan kaum Yehuda, bukan seperti perjanjian yang Kuadakan dengan nenek moyang mereka …”[26] Esensinya sama dengan yang ada di Perjanjian Lama, bahwa Allah berjanji akan menjadi Allah dari umat pilihan-Nya melalui penebusan yang dikerjakan oleh Yesus Kristus.[27] Perjanjian yang baru ini mempunyai nilai yang lebih tinggi dari yang lama oleh karena kehadiran Pribadi Kristus di dalamnya. Penulis kitab Ibrani mengatakan

Yesus adalah jaminan dari suatu perjanjian yang lebih kuat … Tetapi sekarang Ia telah mendapat suatu pelayanan yang jauh lebih agung, karena Ia menjadi perantara dari perjanjian yang lebih mulia, yang didasarkan pada janji yang lebih tinggi.[28]

Perubahan yang terjadi di sini, perjanjian itu sekarang meniadakan relasi khusus dengan bangsa Israel, melainkan ditujukan dan berlaku kepada semua umat pilihan Allah. Berkat-berkat perjanjian itu diberikan kepada semua umat pilihan dari seluruh bangsa. Sakramen dari perjanjian ini adalah baptisan dan perjamuan kudus sebagai pengganti dari sakramen-sakramen di Perjanjian Lama.



RANGKUM PIKIRAN
Theologi Kovenan: Problema Hermeneutik

Konsep Kovenan muncul dari usaha hermeneutik, suatu cara membaca dan memahami berita Alkitab. Hermeneutika yang bertanggung jawab adalah yang berusaha melaksanakan prosedur penafsiran yang konsisten yang pada akibatnya akan melihat Alkitab sebagai sebuah sistem kebenaran. Bahwa ada kontinuasi di dalam berita Alkitab. Kegagalan melihat kesinambungan ini akan mengakibatkan kegagalan dalam melihat prinsip kerja Allah dan tidak mengherankan jika pada akibatnya menghasilkan berbagai pandangan yang keliru, misalnya saja pandangan adanya perubahan di dalam cara Allah memperlakukan umat-Nya.[29]

Hermeneutik yang bertanggungjawab harus dapat melihat Allah di balik semua penyataan-Nya di dalam Alkitab. Pertama, Dia adalah Allah yang memimpin semua penulis Alkitab. Kedua, Dia adalah Allah yang berbicara kepada umat-Nya untuk menyatakan kedaulatan, pemeliharaan dan kasih-Nya. Ketiga, berkenaan dengan keselamatan, Dia adalah Allah yang memulihkan hubungan-Nya dengan orang berdosa berdasarkan atas kematian dan kebangkitan Tuhan Yesus Kristus. Keempat, bahwa Dia adalah Allah yang menyatakan bahwa diri-Nya adalah pusat dari semua aspek hidup yang dimiliki orang percaya. Inilah yang menjadi alasan mengapa semua ungkapan syukur disampaikan kepada-Nya.


Theologi Kovenan: Pengenal akan Allah Sejati
Konsep Kovenan ini memberikan pengertian yang lebih mendalam daripada sekadar sebuah perjanjian Allah-manusia. Diri Allah sedalam-dalamnya dinyatakan di dalamnya.
1. Gagasan kovenan menyatakan bahwa ada Allah yang hanya kepada-Nya semua arah ibadah dan penyembahan tertuju. “Aku akan menjadi Allahmu dan engkau akan menjadi umatKu.” Allah menempati posisi pertama oleh karena daripada-Nyalah semua ini ada. Manusia berada pada posisi kedua oleh karena mereka diciptakan di dalam gambar-rupa Allah. Kondisi semacam ini menempatkan manusia pada kewajiban-kewajiban tertentu yang harus dilakukannya terhadap Allah. Ini adalah order of creation. Dosa terjadi oleh karena tidak menghargai urutan ini. Kovenan membawa manusia kepada kesadaran pertanggungjawaban pribadi kepada-Nya.
2. Allah berkepentingan untuk mengadakan perjanjian ini oleh karena Dia yang memulai, menentukan dan mengarahkan keseluruhan ciptaan ke tujuan yang ditetapkan-Nya sendiri. Dengan kata lain, semua kehidupan harus berjalan di dalam konteks perjanjian, dan hanya di dalam keadaan sedemikianlah kehidupan itu mencapai taraf yang mulia. Janji Allah menjadi jaminan pasti dan janji ini menjadi semacam pengukuhan bahwa Ia sendiri yang akan melaksanakan semua yang telah dijanjikan-Nya tersebut.
3. Pembicaraan tentang theologi kovenan ini harus dimulai dan diakhiri di dengan Allah. Dengan demikian pemahaman akan hal ini harus membawa kepada pengenalan sejati akan Allah. Fokus utama pengenalan di sini adalah pada Pribadi Allah; bahwa Allah adalah Allah Perjanjian. Ia tidak pernah berubah meski sikap dan tindakan manusia berubah terhadap-Nya. Perjanjian yang pertama disampaikan kepada Adam (Kej. 2:16-17), Nuh (Kej. 9:9-17), Abraham (Kej. 17:9, 14), Musa (Kel. 24:4-8)[30], Daud (Mzm. 89:3). Semua perjanjian yang Allah terhadap umat-Nya ini menyatakan komitmen kekal Allah; bahwa Allah mau menyatakan kasih-Nya kepada manusia berdosa seperti yang ternyata di dalam pemilihan-Nya. Bahwa Ia memberikan pendamaian antara diri-Nya dengan mereka melalui perantaraan Anak-Nya yang Tunggal, Yesus Kristus. Di dalamnya ada janji sukacita kemuliaan kekal
4. Kovenan menunjukkan kasih Allah yang mungkin dimengerti dan dialami manusia. Adam memang segera harus menanggung akibat dari pelanggaran yang dilakukannya. Mereka terusir keluar dari Taman Eden. Meski demikian tidak berarti Allah membiarkan mereka terus hidup di dalam keadaan seperti ini. Di dalam inisiatif-Nya, Allah segera menyatakan pemulihan hubungan melalui janji penebusan (bdk: Kej. 3:15; Rm. 5:17-18) yang kemudian di genapi di dalam diri Adam Kedua, Yesus Kristus. Pemulihan hubungan ini menjadi dasar sukacita manusia oleh karena bertemu dengan kenyataan bahwa Allah membuka tangan kasih-Nya dengan lebar dan mau bersekutu dengan mereka kembali.
5. Kovenan menjadi dasar pernyataan iman kepada Allah di dalam pelaksanaan sakramen, baik baptisan kudus maupun perjamuan kudus. Pelaksanaan kedua sakramen ini menunjukkan sikap penerimaan konkrit terhadap sikap Allah bagi umat-Nya. Di dalam Baptisan Kudus menyatakan materai perjanjian Allah, bahwa mereka menerima janji-janji Allah dan hidup di dalam iman kepada setiap janji itu. Sementara di dalam Perjamuan Kudus, iman orang percaya diarahkan kepada korban Kristus sebagai dasar keselamatannya.




KEPUSTAKAAN
Archer, Gleason L. “Covenant” Evangelical Dictionary of Theology. Grand Rapids, M.I.: Baker Book, 1992.
Berkhof, Louis. Manual of Christian Doctrine. Grand Rapids: Baker Book.
Gaffin, Richard B. (ed) Redemptive History and Biblical Interpretation. Philadelphia: Presbyterian and Reformed, 1980.
Hadiwijono, Harun. Iman Kristen. Jakarta: BPK. Gunung Mulia, 1990.
Hodge, Charles. Systematic Theology, 3 vols. London: Clarke, 1960.
Neilands, David L. Studies in the Covenant of Grace. Phillipsburg. N.J.: Presbyterian & Reformed Pub.
Morris, Leon. Apostolic Preaching of the Cross. Grand Rapids, M.I.: Eerdmans, 1992.
Robertson, O. Palmer. The Christ of the Covenant. Phillipsburg, N.J.: Presbyterian and Reformed Pub, 1980.
Ryrie, Charles C. The Grace of God. Chicago: Moody Press, 1963.
Westminster Confession of Faith, Ch 7: Of God’s Covenant with Man
William G. T. Sheed, Dogmatic Theology, 3 vols., 2nd ed. Nashville: Nelson, 1980.

Catatan kaki:
[1] David L. Neilands, Studies in the Covenant of Grace (Phillipsburg, N.J.: Presbyterian & Reformed Pub) hlm. v.
[2] Kata yang berarti “belenggu” atau “kewajiban” ini berasal dari akar kata bara, “mengikat.” Menariknya, akar kata itu tidak muncul sebagai kata kerja di dalam tata bahasa Ibrani, melainkan di dalam bahasa Akkadian sebagai kata kerja baru, “mengikat” dan sebagai kata benda, biritu, “belenggu.” Dengan demikian, berit mungkin menunjukkan hubungan antara dua pihak dimana masing-masing mengikatkan diri untuk melakukan sesuatu bagi masing-masing pihak. Gleason L. Archer, “Covenant” Evangelical Dictionary of Theology, (Grand Rapids, M.I. : Baker Book, 1992), hlm. 276. Leon Morris memberikan pengertian lain dengan melihat arti dari berit adalah “memakan” (kata ini muncul di dalam 2Samuel 13:6; 12:17) yang menunjukkan adanya makanan khusus yang menjadi tanda penetapan perjanjian antara masing-masing pihak. Leon Morris, Apostolic Preaching of the Cross, (Grand Rapids, M.I.: Eerdmans, 1992), hlm. 65 dst. Sementara itu, theolog Indonesia, Harun Hadiwijono lebih menyoroti kata berit kepada arti “membelah korban persembahan” di dalam upacara peneguhan perjanjian, misalnya antara Ishak dan Abimelekh (Kej 26:28-30), antara Laban dan Yakub (Kej. 31:52-54). Perbuatan ini berarti kedua pihak yang mengadakan perjanjian telah menjadi satu. Mereka berjalan di antara binatang persembahan itu dan jikalau kemudian di suatu saat terbukti salah satu pihak melanggar kesepakatan, ia akan dibinasakan sama seperti binatang persembahan itu. Harun Hadiwijono, Iman Kristen (Jakarta: BPK. Gunung Mulia, 1990), hlm. 262-263.
[3] Diatheke mempunyai arti yang lebih mendalam dari berit oleh karena menunjukkan adanya kesepakatan antara dua pihak di mana salah satu pihak mempunyai kekuatan, kuasa atas pihak yang lainnya. Pihak yang lain ini hanya dapat menerima atau menolak tetapi tidak dapat mengubah isi perjanjian. . Gleason L. Archer, “Covenant” Evangelical Dictionary of Theology, (Grand Rapids, M.I. : Baker Book, 1992), hlm. 278.
[4] O. Palmer Robertson memberikan definisi, Covenant is a bond sovereignly administered. When God enters into a covenantal relationship with men, he sovereignly institutes a life-and-death bond. A covenant is a bond in blood, or a bond of life and death, sovereignly administered. O. Palmer Robertson, The Christ of the Covenant (Phillipsburg, N.J.: Presbyterian and Reformed Pub, 1980), hlm. 4 dst.
[5] Memang tidak ada kata “Perjanjian” secara eksplisit muncul di dalam Kitab Kejadian, namun prinsip perjanjian ini terlihat secara implisit, yaitu adanya hukum yang menuntut ketaatan yang diberikan Allah kepada manusia (Bd: Kej 2:16-17). Charles Hodge mengatakan bahwa Prinsip ini juga terdapat di dalam Imamat 18:5; Yehezkiel 20:11, 13, 20; Luk. 10:28; Rm. 7:10; Gal. 3:12 oleh karena di dalam semua bagian ini terdapat hukum yang menuju kepada kehidupan. Charles Hodge, Systematic Theology, 3 vols (London: Clarke, 1960), 2:118.
[6] William G. T. Sheed, Dogmatic Theology, 3 vols., 2nd ed (Nashville: Nelson, 1980), 2:360.
[7] Rm. 8:3; Gal. 4:4-5; Ibr. 2:10, 11, 14, 15; 4:15
[8] Mzm. 40:8; Yoh. 10:11; Gal. 1:4; 4:4,5.
[9] Mzm. 40:8,9
[10] Yoh. 10:28; 17:19-22; Ibr. 5:7-9.
[11] Ibr. 10:5
[12] Yes. 42:6,7; Luk. 22:43
[13] Mzm. 16:8-11; Flp. 2:9-11
[14] Yoh. 6:37, 39, 40, 44, 45
[15] Rm. 5:12-21; I Kor. 15:22
[16] Ibr. 7:22
[17] 1Kor. 15:45
[18] Louis Berkhof, Manual of Christian Doctrine, (Grand Rapids, M.I : Baker Book), hlm. 163
[19] Kej. 17:7; Yer. 31:33; 32:38-40; Yeh. 34:23-25, 30, 31; 36:25-28; Ibr. 8:10; 2Kor. 6:16-18
[20] ITim. 2:5; Ibr. 8:8; 9:15; 12:24.
[21] Kej. 6:18.
[22] Kej. 17:7. Bdk. Kel. 6:7; 2Kor. 6:16-18; Why. 21:2-3.
[23] Lih. Ul. 7:7,12. Bdk: 1Raj. 8:23
[24] Rm. 3:20
[25] Gal. 3:24
[26] Yer. 31:31. Bdk: 2Kor. 3:3-6; Ibr. 8:8-9, 13; 9:15.
[27] Pelajari Rm. 4, Gal. 3.
[28] Ibr. 7:20-22, 28; 8:6.
[29] Misalnya pandangan Theologi Dispensasionalis yang menyatakan bahwa pada saat ini hukum Taurat sudah tidak berlaku oleh karena orang percaya sekarang hidup di dalam anugerah. Ciri khas metode penafsiran theologi ini adalah (1) Berusaha mempertahankan penafsiran yang bersifat literal dan (2) berusaha melihat perbedaan antara Israel dan gereja. Jika theologi Kovenan melihat keselamatan sebagai tema yang mempersatukan, maka theologi Dispensasional melihat keselamatan sebagai man-centered dengan satu tujuan, kemuliaan Tuhan. Pengertian lebih lanjut, lihat: Charles C. Ryrie, The Grace of God, (Chicago: Moody Press, 1963), hlm. 46.
[30] Lihat juga: Kej. 17:6-8; Kel. 20:2, 29:45 dst; Im. 11:45; Yer. 32:38; Yeh. 11:20, 34:30 dst., 36:28; 2Kor. 6:16-18; Why. 21:2 dst.


Sumber: www.grii-andhika.org


Profil Pdt. Thomy J. Matakupan:
Pdt. Drs. Thomy Job Matakupan, S.Th., M.Div. dilahirkan di Jakarta pada tahun 1966. Mengambil keputusan menjadi hamba Tuhan pada tahun 1984. Setelah menyelesaikan pendidikan S-1 Umum (Drs.) pada tahun 1989, melanjutkan pendidikan di Sekolah Tinggi Theologi Reformed Injili Indonesia (STTRII) Jakarta tahun 1991. Gelar Sarjana Theologi (S.Th.) diperoleh pada tahun 1995. Gelar Master of Divinity (M.Div.) diperoleh juga dari Institusi yang sama pada tahun 2001.
Pada tahun 1995-1996 menggembalakan jemaat di Mimbar Reformed Injili Surabaya, sekaligus mengajar sebagai dosen di Sekolah Theologi Reformed Injili, baik yang berada di Surabaya maupun Malang.
Pada bulan Oktober 1996 dipercayakan menjadi Kepala Perwakilan Lembaga Reformed Injili Indonesia (LRII) perwakilan Yogyakarta dan Gembala Sidang Mimbar Reformed Injili (MRI) Yogyakarta sebagai bagian dari pengembangan pelayanan Gerakan Reformed Injili di Indonesia.
Semenjak bulan Februari 2000 kembali melayani di Gereja Reformed Injili Indonesia (GRII), Andhika Surabaya serta menjadi dosen sekaligus Direktur di Sekolah Theologi Reformed Injili Surabaya (STRIS) Andhika, dan International Reformed Evangelical Correspondence Study (IRECS).
Menikah dengan Ev. Mercy Grace Prealy Putong, S.Th. pada tahun 1998 dan telah dikaruniai seorang putri, Nikita Ilona Putri Matakupan.


Pengoreksi: Denny Teguh Sutandio.