15 February 2009

Resensi Buku-67: KESUKAAN ALLAH (Rev. John Stephen Piper, D.Theol.)

...Dapatkan segera...
Buku
KESUKAAN ALLAH

oleh: Rev. John Stephen Piper, D.Theol.

Penerbit: Momentum Christian Literature (Fine Book Selection), 2008

Penerjemah: Grace Purnamasari





Deskripsi singkat dari Denny Teguh Sutandio:
Zaman Postmodern adalah zaman di mana banyak orang pragmatis dalam hidup mereka. Pragmatis itu ditandai dengan kegemaran mereka melakukan apa yang mereka suka. Bagaimana dengan orang Kristen dewasa ini? Beberapa (atau banyak) orang Kristen mirip dengan orang postmodern yang lebih suka/gemar melakukan apa yang mereka suka, bahkan ada yang menambahkan bahwa apa yang mereka suka itu “baik.” Kalau mau ditelusuri, konsep “baik” menurut mereka adalah konsep “baik” menurut konsep manusia berdosa, bukan konsep Alkitab yang mengajarkan kebenaran. Lalu, apa yang harus dilakukan oleh orang Kristen sejati? Sudah saatnya, anak-anak Tuhan TIDAK lagi menuruti apa yang dunia tawarkan dan ajarkan kepada kita, tetapi BERTOBAT! Pertobatan itu ditandai dengan mengubah hati dan pola pikir kita tentang apa yang disebut dengan kesukaan itu ditinjau dari sudut pandang kedaulatan Allah, lalu mengaplikasikannya dalam kehidupan sehari-hari. Kesukaan siapa yang harus menjadi kesukaan orang Kristen sejati? Kesukaan diri? Kesukaan orangtua? Kesukaan pacar? TIDAK! Yang terpenting: KESUKAAN ALLAH! Itulah inti dari buku Rev. Dr. John S. Piper ini. Kesukaan Allah berarti di dalam segala sesuatu yang Ia kerjakan, Ia gemar/suka melakukannya, bukan terpaksa. Setelah itu, kesukaan Allah ini mengakibatkan kita pun sebagai umat pilihan-Nya juga bersukacita di dalam kesukaan Allah. Mengapa sering kali kita tidak bersukacita di dalam kesukaan Allah? Karena kita masih memikirkan apa yang kita sukai terlepas dari apa yang Allah sukai. Sudah saatnya, orang Kristen sejati bertobat, utamakan kesukaan Allah dan bersukalah di dalam kesukaan-Nya itu, maka kita akan menemukan sukacita hidup sejati yang berbeda dari yang dunia tawarkan. Biarlah buku ini menjadi berkat bagi kita.




Pujian terhadap buku ini:
“Saya mendorong Anda untuk membaca Kesukaan Allah dua kali; sekali untuk melihat gambarannya secara menyeluruh, sekali lagi untuk sungguh-sungguh menikmati kesukaan yang amat besar karena mengasihi Allah yang begitu mempesona, begitu istimewa, begitu kudus.”
Rev. Erwin W. Lutzer, Ph.D., LL.D. (HC), D.D. (HC)
(Pendeta senior di The Moody Church, Chicago, U.S.A.; Bachelor of Theology—B.Th. dari Winnipeg Bible College; Master of Theology—Th.M. dari Dallas Theological Seminary, Dallas, Texas, U.S.A.; M.A. dalam bidang Filsafat dari Loyola University Chicago; Ph.D. di Loyola; menerima gelar kehormatan: Doctor of Laws—LL.D. dari Simon Greenleaf School of Law dan Doctor of Divinity—D.D. dari Western Conservative Baptist Seminary)

“Tidak banyak buku yang sungguh-sungguh mengubah kehidupan. Kesukaan Allah dari John Piper jelas merupakan salah satunya. Saya sering mengatakan, ‘Seandainya saya berada di sebuah pulau yang terpencil dan hanya bisa membaca tiga buku, selain Alkitab, saya akan memilih Mendambakan Allah (Desiring God) dan Kesukaan Allah dari John Piper.’”
Rev. Sam Storms, Ph.D.
(Associate Pastor di Metro Christian Fellowship, Grace Training Center, Kansas City, Missouri dan Pendiri Enjoying God Ministries; Th.M. dalam bidang Theologi Historika dari Dallas Theological Seminary dan Ph.D. dalam bidang Sejarah Intelektual dari University of Texas, Dallas)

“Setahu saya, tidak ada penulis kontemporer yang memahami dan mengartikulasikan kedalaman-kedalaman karakter Allah yang agung seperti John Piper. Buku yang istimewa ini tidak hanya akan membangkitkan kerinduan Anda kepada Allah, buku ini juga akan menolong Anda menaati perintah pemazmur: ‘Kecaplah dan lihatlah betapa baiknya TUHAN itu!’ (Mzm. 34:8) John telah mengecap dan di sini membagikan kecintaannya kepada supremasi Allah dalam segala sesuatu.
Ini adalah jenis theologi yang terbaik dan terdalam, yang meluap dari hati orang yang telah belajar untuk mengasihi Allah dengan menikmati Dia secara mendalam.”
(alm.) Rev. James Montgomery Boice, D.Theol., D.D. (HC)
(Pendeta Senior di Tenth Presbyterian Church, Philadelphia, U.S.A.; Bachelor of Arts—B.A. dari Harvard University; Bachelor of Divinity—B.D. dari Princeton Theological Seminary; Doctor of Theology—D.Theol. dari the University of Basel, Switzerland; dan Doctor of Divinity—D.D. {honorary} dari the Theological Seminary of the Reformed Episcopal Church).

“Generasi ‘Aku’ telah secara tragis mendorong gereja untuk beralih ke dalam. Hasil-hasilnya bersifat menghancurkan! John Piper menyampaikan kabar baik yang sangat penting untuk kita, yang saya doakan akan memunculkan suatu reformasi yang diperlukan dalam pemahaman dan ibadah kita kepada Allah.”
Rev. John H. Armstrong, D.Min.
(President Advancing the Christian Tradition in the 3rd Millennium {http://johnharmstrong.typepad.com/}; B.A. dalam bidang Sejarah dan M.A. dalam bidang Theologi dan Misi dari Wheaton College; studi di Trinity Evangelical Divinity School, Deerfield, Illinois, dan Northern Baptist Seminary, Lombard, Illinois; dan Doctor of Ministry—D.Min. dari Luther Rice Seminary, Atlanta, Georgia)

“Buku-buku memiliki potensi yang mendalam—khususnya buku yang sedang Anda pegang. John Piper sungguh-sungguh dipenuhi oleh Allah, dan hasratnya memenuhi halaman-halaman buku ini.”
Charles Joseph (C. J.) Mahaney
(President Sovereign Grace Ministries {http://www.sovereigngraceministries.org}—dulu bernama: People of Destiny International atau PDI)

“Kesukaan Allah adalah salah satu dari sepuluh buku favorit saya!”
Doug Nichols
(Mantan Pendiri dan Direktur International dari Action International Ministries; studi di Prairie Bible Institute, Alberta, Canada dalam bidang Biblical Studies in Missions—http://www.dougnichols.org)

“Sebuah sajian yang kaya bagi orang percaya yang serius untuk belajar.”
Rev. John F. MacArthur, Litt.D., D.D.
(Pendeta dan Guru di Grace Community Church, Sun Valley, California serta Presiden dari The Master’s College and Seminary; B.A. dari Los Angeles Pacific College; Master of Divinity—M.Div. dari Talbot Theological Seminary; Doctor of Letters—Litt.D. dari Grace Graduate School; dan D.D. dari Talbot Theological Seminary)

“Berlarilah, bukannya berjalan, untuk membeli buku yang mengagumkan ini.”
Joni Eareckson Tada dan Steven Estes
(Penulis buku “When God Weeps”)


“Buku ini sebuah karya yang unik dan berharga yang patut dibaca oleh setiap orang lebih dari sekali.”
Prof. J. I. Packer, D.Phil.
(Emerius Professor of Theology di Regent College, Canada; Master of Arts—M.A. dan Doctor of Philosophy—D.Phil. dari University of Oxford, U.K.)





Profil Rev. Dr. John S. Piper:
Rev. John Stephen Piper, D.Theol. adalah Pendeta Senior di Bethlehem Baptist Church dan seorang penulis yang sangat produktif dari perpektif Calvinis. Beliau menyelesaikan gelar Bachelor of Divinity (B.D.) di Fuller Theological Seminary di Pasadena, California pada tahun 1968-1971. John melakukan studi doktoralnya (D.Theol.) di dalam bidang Perjanjian Baru di University of Munich, Munich, Jerman Barat pada tahun 1971-1974). Disertasinya, Love Your Enemies, diterbitkan oleh Cambridge University Press dan Baker Book House.

Roma 13:8-9: UTANG KASIH-1: Maknanya

Seri Eksposisi Surat Roma:
Aplikasi Doktrin-11


Utang Kasih-1: Maknanya

oleh: Denny Teguh Sutandio



Nats: Roma 13:8-9.



Di ayat 7, Paulus mengatakan bahwa kita harus menghormati mereka yang patut dihormati. Seolah-olah di ayat 7, kita mendapatkan gambaran bahwa kita menghormati sebagai utang kita, tetapi bukan demikian maksud Paulus. Di ayat berikutnya, ia menjelaskan konsep ini, yaitu di ayat 8, “Janganlah kamu berhutang apa-apa kepada siapapun juga, tetapi hendaklah kamu saling mengasihi. Sebab barangsiapa mengasihi sesamanya manusia, ia sudah memenuhi hukum Taurat.” Di dalam menghormati, Paulus mengatakan bahwa itu bukan utang kita. Kita tidak berutang apa-apa kepada siapa pun juga. Kata “berutang” di ayat ini menggunakan bentuk jamak, sekarang (present), aktif, dan imperatif. Dengan kata lain, artinya kita tidak boleh secara aktif berutang kepada siapa pun. Orang Kristen yang masih berutang uang kepada orang lain, berhati-hatilah. Belajarlah untuk tidak berutang kepada siapa pun. Belajarlah untuk menghemat dan memangkas pengeluaran-pengeluaran yang tidak perlu. Kita memang tidak berutang apa pun kepada siapa pun, tetapi Paulus mengatakan bahwa kita hanya boleh berutang satu hal, apa itu? Paulus mengatakan bahwa kita hanya boleh berutang kasih. Di dalam terjemahan Indonesia dan beberapa terjemahan Inggris, ayat ini kurang jelas. Tetapi di dalam terjemahan Bahasa Indonesia Sehari-hari (BIS) dan New International Version (NIV), ayat ini begitu jelas. Mari kita perhatikan. BIS menerjemahkan, “Janganlah berutang apa pun kepada siapa juga, kecuali berutang kasih terhadap satu sama lain.” NIV menerjemahkan, “Let no debt remain outstanding, except the continuing debt to love one another, ...” (=..., kecuali utang yang terus-menerus untuk mengasihi satu sama lain) NIV lebih jelas lagi menerjemahkan yaitu utang kasih itu berlangsung terus-menerus (continuing debt to love). Di sini, Paulus menekankan bahwa utang yang paling penting yang harus kita genapkan adalah utang kasih dan utang ini berlaku terus-menerus. Dari kalimat pertama di ayat ini, kita bisa belajar beberapa prinsip mengenai utang kasih:
Pertama, kasih itu utang. Luar biasa pengajaran Paulus ini. Kita sering kali merasa orang lain berutang kalau orang lain tidak berbuat baik kepada kita. Untuk itu, kita biasanya suka mengingatkan jasa baik kita kepada orang lain yang tidak tahu berterima kasih kepada kita (atau bahkan acuh tak acuh). Atau kita merasa berutang budi jika kita tidak membalas kebaikan orang lain. Alhasil, anak kita yang dikorbankan (dijadikan “tumbal”) untuk dinikahkan dengan anak orang lain yang kepadanya kita berutang. Di sini, Paulus membalik semua konsep dunia dengan mengajar bahwa untuk hal tersebut, kita tidak perlu merasa berutang atau orang lain merasa berutang kepada kita. Yang dipentingkan adalah bagaimana kita berutang kasih. Utang kasih berarti kita memiliki suatu perasaan berutang jika kita tidak memberikan kasih kita kepada orang lain. Apakah balas budi termasuk cara memberikan kasih kepada orang lain? Tidak. Balas budi hanya tindakan/reaksi kasih, bukan kasih itu sendiri, karena balas budi tidak dimotivasi dan didorong oleh kasih yang murni. Tidak jarang, tindakan balas budi mengorbankan anak sendiri untuk dinikahkan dengan orang yang kepadanya kita berutang. Itu bukan kasih! Kasih TIDAK pernah mengorbankan orang lain, tetapi kasih justru mengorbankan diri sendiri bagi orang lain! Ini kegagalan paradigma dunia berdosa yang merasa diri “pintar.” Jika balas budi tidak termasuk kasih, bagaimana kita bisa memberikan kasih kepada orang lain? Alkitab mengajar bahwa kasih itu berasal dari Allah yang adalah Kasih. Salah satu bukti Allah adalah Kasih adalah Tuhan Yesus Kristus diutus untuk menebus dosa manusia. Sehingga orang Kristen sejati bisa memberikan kasih kepada orang lain setelah ia mengalami penebusan Kristus di dalam hati dan hidupnya. Orang yang tidak mengalami penebusan Kristus mustahil bisa mewujudnyatakan kasih sejati kepada orang lain. Di sini, berarti kita baru bisa memberikan kasih kepada orang lain ketika hal itu keluar dari hati kita yang terdalam. Memberikan kasih bukan sekadar tindakan luar (fenomena), tetapi lebih ke arah hati dan motivasi (esensi). Ketika kita mengasihi dengan kasih yang keluar dari hati kita yang takut akan Tuhan dan mengalami kuasa penebusan Kristus, maka kasih itu akan menjadi kasih yang mengubah orang lain. Kasih yang mengubahkan itulah kasih yang sulit dijumpai di dunia ini. Dunia menawarkan konsep kasih yang kompromi, bebas, dll, tetapi tanpa kebenaran yang mengubah. Hanya Kekristenan yang berdasarkan Alkitab mengajarkan kasih yang disertai kebenaran, keadilan, dan kesucian Allah yang mampu mentransformasi orang lain bahkan dunia. Itulah utang kasih sesungguhnya. Kita berutang mengasihi orang lain dengan mengubah orang lain ke arah yang benar. Paulus sudah mempraktikkan hal tersebut. Ia rela pergi dari satu tempat ke tempat lain untuk memberitakan Injil sebagai penggenapan utang kasihnya kepada orang-orang yang terhilang. Para rasul Kristus lainnya juga melakukan hal yang sama. Bagaimana dengan kita? Rindukah kita melihat orang lain yang dahulu hidup berdosa, lalu bertobat dan menerima Kristus. Rindukah kita melihat orang lain yang dulu beriman sembarangan, tetapi sekarang menjadi beriman sungguh-sungguh kepada dan di dalam Kristus. Rindukah kita melihat perubahan motivasi/hati, pola pikir, sikap, dll dari seseorang ke arah yang benar? Kerinduan kita itulah yang sebenarnya utang yang harus kita jalankan. Biarlah kita bukan hanya rindu, tetapi memiliki semangat untuk menggenapkan utang kita dan ingatlah, kasih itu utang.

Kedua, utang kasih itu bersifat melengkapi (saling mengasihi). Poin kedua yang kita pelajari adalah utang kasih itu bukan bersifat searah, tetapi dua arah. Artinya, utang kasih itu bersifat melengkapi. Kita berutang mengasihi orang lain dengan memberitakan Injil kepadanya. Begitu juga orang yang kita injili yang sudah bertobat pun memiliki utang kasih, misalnya menegur kita yang melakukan kesalahan/dosa (padahal kita dulunya menginjili dia). Di dalam persekutuan tubuh Kristus, kasih ini juga bisa diwujudnyatakan. Bagaimana seorang jemaat mengasihi jemaat lain dengan memerhatikan mereka. Begitu juga jemaat lain memerhatikan seorang jemaat ini. Sehingga di antara jemaat Tuhan terjadi persekutuan yang intim dan hangat. Apa ini berarti kita berutang budi kepada orang lain? Tidak. Bedanya, utang budi versi dunia sering kali bisa mengorbankan orang lain (anak sendiri) untuk melunasi kebaikan orang lain. Tetapi Kekristenan tidak pernah mengajar hal itu. Kekristenan mengajar bahwa kita bisa “membalas” kebaikan orang lain dengan memberikan kasih yang keluar dari kita. Ketika kita “membalas” kasih orang lain tetapi tidak dengan kasih yang tulus, hendaklah kita tidak melakukan hal tersebut. Sebelum kita “membalas” kasih orang lain, ujilah motivasi hati kita, benarkah kita mengasihi kembali orang itu dengan kasih yang tulus atau dengan motivasi dan tujuan hanya ingin balas budi? Tuhan tidak menginginkan kita balas budi, tetapi Tuhan menginginkan kita mengasihi dengan kasih yang tulus, seperti yang Kristus lakukan bagi umat-Nya ketika Ia menebus dosa umat-Nya tanpa minta balas jasa. Kalau pun kita bisa berbuat baik dan mengasihi Kristus saat ini, itu pun kita lakukan sebagai ucapan syukur kita yang telah diselamatkan, bukan balas budi. Perbuatan baik kita kepada Allah tidak cukup syarat bagi kita untuk ditebus (tidak bisa dipersamakan dengan penebusan Kristus yang termulia). Oleh karena itu, perbuatan baik kita bisa dikatakan “utang kasih” umat-Nya kepada Allah. Bagaimana dengan kita? Sudahkah kita saling mengasihi antar umat Tuhan? Dengan motivasi apa kita mengasihi mereka? Utang budi kah? Atau sungguh-sungguh keluar dari hati kita yang terdalam yang mengasihi-Nya?

Ketiga, utang kasih itu terus-menerus. Poin terakhir yang bisa kita pelajari adalah utang kasih itu bersifat terus-menerus. Berarti ada proses di dalam utang kasih. Kita tidak mungkin bisa memiliki utang kasih hanya pada saat-saat tertentu dan setelah itu, kita tidak lagi berutang kasih. Tidak. Alkitab mengatakan bahwa kita terus-menerus berutang kasih. Ketika kita memiliki kerinduan kita mengabarkan Injil sebagai penggenapan utang kasih kita, biarlah itu bukan menjadi kerinduan yang dibakar oleh semangat subjektivitas pribadi, tetapi murni karena desakan dan dorongan Roh Kudus. Inilah yang membedakan (penggenapan) utang kasih sejati dengan utang kasih palsu. Mungkin ada orang Kristen yang juga memiliki utang kasih, tetapi jika utang kasih itu dilakukan pada saat tertentu, maka dapat disimpulkan bahwa utang kasih itu palsu, karena utang kasih itu tidak terus-menerus atau hanya sesaat (mungkin sekali hanya subjektivitas yang emosional). Utang kasih sejati adalah utang kasih yang terus-menerus. Di dalam proses terus-menerus itu, Roh Kudus tetap membakar umat-Nya untuk memiliki utang kasih yang harus dijalankan. Jadi, di sini, saya mengaitkan karya Roh Kudus di dalam proses menggenapkan utang kasih. Bagaimana dengan kita? Sudah siapkah kita dibakar oleh api Roh Kudus untuk menggenapkan utang kasih kita?

Pada kalimat kedua di ayat ini, Paulus mengatakan bahwa ketika kita mengasihi, kita sudah memenuhi hukum (Taurat). Mengapa? Karena kasih adalah kegenapan atau inti hukum Taurat (bdk. Mat. 22:37-40; Gal. 5:14). Allah memberikan hukum Taurat kepada umat-Nya, Israel (dan tentu juga tetap berlaku bagi kita) bukan untuk memberatkan, tetapi justru sebagai wujud kasih-Nya agar umat-Nya tidak berbuat dosa. Allah menginginkan agar hukum-Nya ini menjadi pedoman bagi umat-Nya untuk mengasihi sesama manusia. Begitu juga dengan kita di saat ini. Allah mewahyukan Alkitab PL dan PB sebagai bahan penuntun iman dan perilaku kita di dalam dunia. Ia ingin agar kita yang telah dikasihi-Nya mewujudnyatakan kasih itu dengan mengasihi orang lain baik itu memberitakan Injil Kristus atau pun memberikan bantuan yang secukupnya kepada mereka yang berkekurangan. Bagaimana dengan kita? Sudahkah kita mengasihi orang lain?


Untuk menjelaskan lebih tajam lagi mengenai kasih sebagai kegenapan hukum Taurat, di ayat 9, Paulus mengatakan, “Karena firman: jangan berzinah, jangan membunuh, jangan mencuri, jangan mengingini dan firman lain manapun juga, sudah tersimpul dalam firman ini, yaitu: Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri!” Sebagai wujud kita mengasihi orang lain, Paulus mengutip hukum keenam s/d kesepuluh dari Taurat. Dan uniknya, di dalam urutan di ayat 9, Paulus membalik hukum keenam dan ketujuh. Di dalam hukum keenam tercatat, “Jangan membunuh.” (Kel. 20:13) dan di hukum ketujuh tercatat, “Jangan berzinah.” (Kel. 20:14) Di ayat ini, Paulus membalik urutannya menjadi: “Jangan berzinah” baru “jangan membunuh.” Keunikan kedua di ayat ini adalah tidak disebutkannya hukum kesembilan yaitu jangan bersaksi dusta (Kel. 20:16) dan hukum 5 tentang menghormati ayah dan ibu (Kel. 20:12). Tidak disebutkan kedua hukum ini di dalam loh batu kedua yang diterima Musa ini dirangkumkan oleh Paulus di dalam ayat ini dengan pernyataan, “dan firman lain manapun juga,” Jadi, keunikan kedua sudah terselesaikan. Bagaimana dengan keunikan pertama? Mengapa Paulus membalik urutannya? Pembalikan urutan ini memang tidak terlalu signifikan, tetapi kita akan mencoba mengkaji alasannya. Ingatlah, surat ini dituliskan kepada jemaat di Roma di mana di Roma dipenuhi oleh penduduk yang moralitasnya tidak karuan: berzinah, dll. Oleh karena itu, Paulus meletakkan perintah “Jangan berzinah” di poin pertama sebagai wujud kita mengasihi orang lain. Konsep Paulus ini mendobrak dan membalikkan semua konsep orang Roma pada waktu itu, di mana menurut orang Roma, tanda seseorang mengasihi orang lain (misalnya, cowok mengasihi cewek), yaitu cowok menyetubuhi cewek itu (entah si cowok sudah menikah atau belum). Paulus membalik ajaran itu dan mengatakan bahwa justru tanda kasih bukanlah tindakan jorok itu, tetapi tanda kasih adalah menghargai orang lain. Seorang yang katanya mengasihi orang lain (dalam arti lawan jenis) tentu akan menghargai lawan jenis itu. Di dalam pacaran, seorang cowok mengasihi cewek tentu akan menghargai si cewek dalam arti keseluruhan. Si cowok tidak akan melakukan hubungan seks di luar nikah dengan si cewek atau si cowok tidak akan memperkosa si cewek, dll. Semua tindakan cowok ini sebenarnya membuktikan bahwa si cowok menghargai pasangannya sampai mereka menikah suatu hari kelak. Di sini, kita melihat bahwa konsep Kekristenan jauh lebih agung dari semua konsep dunia berdosa. Bagaimana dengan kita? Di dunia postmodern ini, kita melihat budaya free-sex begitu hebat di Indonesia. Sebagai orang Kristen, apa yang kita lakukan? Ikut-ikutan? TIDAK! Biarlah kita sebagai orang Kristen menjadi garam dan terang melalui kesucian hidup kita terutama dalam hal seks.
Konsep kedua tentang berzinah adalah berzinah rohani. Jemaat Roma adalah jemaat yang masih bisa dikatakan suka berzinah rohani (meskipun tidak separah jemaat Korintus). Mengapa? Karena jemaat Roma terdiri dari banyak orang Yahudi dan Yunani. Jemaat Roma yang mantan penganut Yudaisme (Yahudi) masih menganggap sunat itu diperlukan setelah menerima Kristus. Di sini, Paulus implisit mengajar bahwa itu perzinahan rohani. Mereka diajar Paulus bahwa sunat dan syariat-syariat di dalam Taurat tidak cukup syarat menggantikan penebusan Kristus (Rm. 2:17-29). Yang terlebih penting yang harus diimani oleh jemaat Roma (dan juga kita) adalah pengorbanan Kristus menggantikan dosa umat-Nya, bukan seberapa giat kita menjalankan Taurat. Bagaimana dengan kita? Masihkah kita berzinah secara rohani? Mungkin secara fisik, kita setia dengan pasangan kita. Tetapi bagaimana dengan hal kerohanian? Berzinah rohani mungkin tidak bisa dilihat orang luar, tetapi ingatlah Tuhan melihat hal tersebut. Ketika hati kita mulai bercabang dan memilih ilah lain selain Tuhan Allah (entah itu uang, diri, pacar, teman, keluarga, orangtua, dll), di saat itu kita sedang berzinah rohani. Perzinahan rohani itu juga termasuk dosa! Biarlah kita berwaspada dan mengintrospeksi diri kita masing-masing.

Kedua, setelah perintah “Jangan berzinah,” Paulus mengajar “jangan membunuh.” Jangan membunuh merupakan wujud kita mengasihi orang lain. Artinya, kita mengasihi NYAWA orang lain. Ketika kita membunuh, kita bukan hanya melenyapkan nyawa orang lain. Alkitab mengajar bahwa ketika kita membunuh orang lain, kita sedang membunuh peta teladan Allah dan akibatnya, kitalah yang dimintai pertanggung jawaban dari Allah, bisa dalam bentuk hukuman langsung atau tidak langsung (baca: Kej. 9:6). Di sini, kita melihat adanya dignitas/kemuliaan ciptaan Allah sebagai gambar dan rupa Allah. Itu membunuh dalam pengertian harfiah. Bagaimana dengan membunuh dalam pengertian non-harfiah? Membunuh juga bisa dimengerti secara rohani, artinya membunuh/mematikan bakat, karakter, bahkan iman. Karakter, iman, dll seseorang bisa dimatikan/dibunuh ketika apa yang ada pada dirinya ditekan, sehingga orang tersebut merasa depresi, tertekan, dll. Meskipun orang yang mematikan karakter, iman, dll orang lain tidak membunuh secara fisik, ia sedang membunuh secara rohani. Bagaimana caranya? Mungkin kita tidak pernah menyadarinya. Ketika seorang pemimpin gereja tidak pernah memupuk iman dan kerohanian jemaatnya, di saat itu pemimpin gereja itu “membunuh” kedewasaan iman jemaatnya, padahal di Alkitab, Allah menuntut umat-Nya untuk dewasa di dalam iman (Ibr. 5:11-14). Justru ketika pemimpin gereja tidak mengajar dan mendidik iman jemaatnya dengan bertanggung jawab, itu bukti ia tidak mengasihi jemaatnya. Begitu juga halnya dengan orangtua yang terlalu memanjakan anaknya bahkan sampai dewasa, orangtua tersebut sebenarnya tidak mengasihi anaknya, karena mereka menekan dan memaksakan konsep orangtua (yang belum tentu benar) kepada anaknya, sehingga anaknya tidak bisa mandiri. Orangtua boleh mengajar anak, tetapi tidak boleh memaksakan konsep mereka kepada anak mereka apalagi berkaitan dengan panggilan Tuhan di dalam hidup seorang anak. Tuhan memanggil umat-Nya baik secara penuh waktu atau pun paruh waktu, sehingga tidak ada satu orang pun yang bisa memaksakan kehendaknya kepada seseorang, karena mereka BUKAN Tuhan! Barangsiapa yang memaksakan kehendaknya kepada seseorang lalu melegitimasi menggunakan “pimpinan Tuhan,” orang itu sudah berdosa karena ia telah mengambil alih posisi Allah untuk menafsirkan panggilan orang lain yang bukan menjadi wilayahnya! Anak yang ditekan oleh orangtua akan mengakibatkan anak itu menjadi minder, frustasi, depresi, dan jangan salahkan jika suatu saat nanti anaknya mengalami kelainan di usia dewasa. Kasus Ryan yang heboh di Indonesia adalah wujud tindakan orangtua yang tidak bertanggung jawab kepada anak. Dengan alasan “mengasihi” anaknya dengan memukul Ryan, akibatnya Ryan dewasa menjadi pembunuh berdarah dingin. Tidak berarti tidak boleh memukul, tetapi ketika orangtua memukul, memukul dengan motivasi apa? Dendamkah? Atau kasih? Biarlah kita mengintrospeksi diri masing-masing.

Ketiga, “jangan mencuri.” Jangan mencuri adalah wujud ketiga kita menghargai HARTA MILIK orang lain. Ketika kita mencuri, kita bukan hanya tidak menghargai barang milik orang lain, kita pun sebenarnya sedang tidak menghargai si pemilik dan harta yang dipercayakan dari Tuhan kepadanya. Tindakan mencuri sebenarnya dilatarbelakangi oleh iri hati dan kesenangan sesaat. Akibatnya, orang yang iri hati itu mencuri harta orang lain untuk ia nikmati (kesenangan pribadi). Di situlah alasan mengapa Allah melarang kita mencuri. Bagaimana dengan mencuri secara non-harfiah? Mencuri bisa dimengerti juga secara rohani, yaitu mencuri uang dan waktu Tuhan. Ketika kita tidak memberikan persepuluhan kita kepada Tuhan, di saat itu kita sebenarnya sedang mencuri Tuhan, dan otomatis kita tidak mengasihi Tuhan. Adalah suatu omong kosong belaka jika kita katanya mengasihi Tuhan, tetapi tidak pernah memberikan persepuluhan bagi pekerjaan Tuhan. Persepuluhan adalah ujian bagi kita untuk lebih mengasihi Tuhan ketimbang harta/uang kita. Ingatlah, ketika kita memberikan persepuluhan harus dengan sukacita karena kita mengasihi Tuhan (2Kor. 12:7). Bagaimana dengan kita? Sudahkah kita memberikan persepuluhan untuk pekerjaan Tuhan? Mencuri dalam pengertian rohani yang kedua adalah mencuri waktu Tuhan. Waktu yang seharusnya kita pergunakan untuk beribadah di gereja atau merenungkan Alkitab atau mengikuti Pendalaman/Pemahaman Alkitab malahan kita pergunakan untuk bersenang-senang. Tidak berarti menjadi orang Kristen tidak boleh pergi ke mal, dll. TIDAK! Tetapi yang harus diperhatikan adalah keseimbangan dan prioritas. Ketika kita memang harus pergi ke gereja untuk beribadah, pergilah ke gereja, menghadaplah ke hadirat Tuhan, memuji Tuhan, menyembah-Nya, mendengarkan firman-Nya, dll. Jangan waktu kita ke gereja, 1 hari sebelumnya, kita malahan pergi ke mal sampai malam lalu pulang rumah kecapekan dan besok Minggu tidak bisa pergi ke gereja. Pada saat kita seperti itu, secara tidak sadar, kita sedang mencuri waktu Tuhan. Orang Kristen boleh refreshing, jalan-jalan ke mal, dll, tetapi prioritaskan hal-hal rohani lebih daripada hal-hal duniawi. Bagaimana dengan kita? Sudahkah kita memprioritaskan waktu kita untuk Tuhan? Ataukah kita masih mempergunakan waktu kita untuk hal-hal yang tidak bermakna? Tindakan kita mencerminkan seberapa dalam kita mengasihi Allah.

Keempat, jangan mengingini. Konsep terakhir yang Paulus sebutkan yaitu agar kita jangan mengingini milik orang lain, baik istri, harta, dll. Kalau di poin ketiga, hukum Taurat melarang kita mencuri, maka di poin terakhir ini, keinginan untuk memiliki barang orang lain pun dilarang. Di sini, ada penajaman motivasi. Tuhan tidak mau kita terjebak dengan larangan fenomenal, tetapi Ia menginginkan kita menguji hati dan motivasi di balik fenomena. Di poin ketiga, saya sudah menyebutkan bahwa orang mencuri dilatarbelakangi oleh iri hati dan keinginan untuk bersenang-senang, maka di poin keempat ini, esensinya diserang, yaitu keinginan untuk hal-hal tersebut dilarang. Mencuri dilarang, motivasi mencuri pun dilarang! Apa yang salah dengan keinginan? Apakah manusia boleh mengingini? Boleh. Manusia boleh mengingini sesuatu, tetapi yang salah adalah isi dari keinginan itu. Apakah isi keinginan kita berkenan di hadapan Tuhan atau tidak? Apakah isi keinginan itu egosentris atau Theosentris? Ketika keinginan kita egosentris, maka Tuhan tidak senang. Keinginan itulah yang dilarang. Mengapa? Karena keinginan itu bukan tanda kita mengasihi Tuhan dan sesama. Orang yang mengingini milik orang lain berarti orang itu sendiri tidak puas dengan apa yang ia miliki dan lebih tajam lagi, orang itu sebenarnya sedang menyalahkan Tuhan yang memberi. Ini jelas bukan tanda seorang yang mengasihi Tuhan. Bagaimana dengan kita? Masihkah kita iri dan mengingini apa yang orang lain miliki? Ketika teman kita lebih pandai, apakah kita iri dengan kepintarannya? Ketika tetangga kita kaya, apakah kita iri dan mengingini apa yang tetangga kita miliki? Marilah kita introspeksi diri masing-masing! Jangan mengingini bisa bermakna rohani. Kok bisa? Hal ini bisa terjadi ketika orang Kristen mengingini karunia Allah tertentu yang diberikan kepada orang lain. Misalnya, karunia bahasa lidah. Alkitab khususnya 1 Korintus 11-14 memberikan batasan yang jelas bahwa karunia bahasa lidah adalah KARUNIA Allah yang diberikan kepada siapa saja yang Ia kehendaki (1Kor. 12:11) dan karunia itu bukanlah hal mutlak. Jadi, barangsiapa yang iri dan mengingini karunia bahasa lidah yang dimiliki oleh orang Kristen lain, maka di saat itulah ia berdosa. Bukan hanya itu saja, kita bisa mengingini sesuatu yang tidak bermakna. Misalnya seperti contoh yang telah saya paparkan di poin ketiga tentang mencuri waktu Tuhan. Kita yang mencuri waktu Tuhan (ke gereja) sebenarnya dilatarbelakangi oleh presuposisi kita yang ingin sesuatu selain ke gereja, yaitu ingin bersenang-senang. Dari keinginan itu kita mengatur siasat dan cara untuk membolos dari keharusan pergi ke gereja. Dari sinilah, keinginan kita ini dilarang oleh Tuhan dan sekaligus bukti kita tidak mengasihi-Nya. Biarlah hal ini menegur kita yang mungkin sudah malas beribadah.

Keempat prinsip (keempat hukum dalam hukum Taurat) yang telah Paulus paparkan di atas bermuara ke satu prinsip yaitu mengasihi sesamamu manusia seperti diri sendiri (bdk. Mat. 22:39). Sebelum membahas tentang mengasihi sesama manusia, Tuhan Yesus membahas konsep mengenai mengasihi Allah (Mat. 22:37). Dengan kata lain, kita bisa mengasihi sesama manusia ketika kita SUDAH mengasihi Allah. Adalah suatu omong kosong jika ada orang yang mengatakan bahwa ia mengasihi sesama tetapi ia tidak mengasihi Allah terlebih dahulu. Untuk Tuhan, mereka selalu mengadakan perhitungan baik waktu maupun uang, tetapi untuk orang lain, mereka bisa seenaknya memberikan uang dan waktu. Itu suatu sikap yang tidak beres di dalam Kekristenan. Mengasihi Allah terlebih dahulu, baru kita bisa mengasihi sesama manusia. Dengan kata lain, kasih kita kepada sesama manusia adalah kasih yang didasarkan pada kasih kepada Allah yang Mahakasih, Mahaadil, Mahakudus, Mahabijak, dan Kebenaran itu sendiri, sehingga kasih yang kita tunjukkan kepada sesama manusia adalah kasih yang disertai dengan keadilan, kebenaran, dan kesucian Allah (bukan kasih yang bebas, kompromi, dan mencintai kejahatan). Bagaimana dengan kita? Sudahkah kita mengasihi Allah TERLEBIH DAHULU baru mengasihi manusia? Tuhan menginginkan kita memiliki hati untuk Tuhan terlebih dahulu, baru bagi sesama. Ketika hati kita berpaut kepada Tuhan, tetapi malahan kepada sesama kita, itu tandanya kita tidak mencintai Tuhan (dan tentunya sesama manusia).


Setelah kita merenungkan dua ayat ini, apa yang menjadi respon kita? Saya menantang Anda hari ini untuk bertobat dan kembali kepada Kristus! Sudahkah kita memiliki utang kasih kepada sesama? Sudahkah kita menggenapkan utang kasih itu bagi kemuliaan Allah? Jika belum, maukah kita berkomitmen melakukannya? Amin. Soli Deo Gloria.

Matius 13:1-3, 13, 19: IMAN DAN RESPONS FIRMAN (Pdt. Sutjipto Subeno, M.Div.)

Ringkasan Khotbah: 25 Maret 2007

Iman & Respons Firman
oleh: Pdt. Sutjipto Subeno, M.Div.

Nats: Matius 13:1-3, 13, 19




Puji Tuhan, hari ini kita sampai pada perenungan dari Injil Matius pasalnya yang ke-13 yang membahas tentang Kerajaan Sorga. Hal tentang Kerajaan Sorga ini sangatlah signifikan untuk kita mengerti supaya orang tidak disesatkan oleh konsep dunia yang materialistik dan sekularistik. Konsep yang salah juga pernah terlintas dalam pemikiran para murid Tuhan Yesus bahkan sampai detik terakhir, Tuhan Yesus naik ke sorga mereka masih bertanya-tanya “dimanakah Kerajaan Sorga itu.“ Mereka tidak memahami bahwa Kerajaan Sorga itu telah ada dalam diri Kristus. Karena itulah, Tuhan Yesus memaparkan tentang hal Kerajaan Sorga melalui beberapa perumpamaan.
Kita telah memahami bahwa injil Matius tidak ditulis berdasarkan kronologi atau urutan waktu kejadian. Tidak! Injil Matius memaparkan satu tema besar, yakni Kerajaan Sorga. Sebelumnya di pasal 12, kita telah merenungkan tentang Ketuhanan Kristus dimana Kristus menjadi pusat dari seluruh kehidupan manusia – Kristus adalah Raja di atas segala raja maka muncul pertanyaan bagaimana bentuk Kerajaan-Nya? Kerajaan Sorga tidak bisa direalisasi secara otak manusia biasa karena Kerajaan Sorga bukan berbicara tentang realita material. Kerajaan Sorga disini berbicara tentang realitas spiritual karena itu, Tuhan Yesus menjelaskan melalui perumpamaan.
Pertama, adalah anugerah kalau kita dapat menjadi bagian dari Kerajaan Sorga – Tuhanlah yang lebih dahulu membukakan pada kita sehingga kita dapat mengerti Firman.
Tentang hal ini telah ditegaskan oleh Tuhan Yesus sebab Tuhan Yesus sendiri menegaskan sekalipun mereka melihat, mereka tidak melihat dan sekalipun mendengar, mereka tidak mendengar dan tidak mengerti (Mat. 13:13-15). Jelaslah bahwa tidak semua orang dapat mengerti dan memahami tentang hal Kerajaan Sorga. Adalah pendapat yang salah kalau orang menyatakan bahwa Tuhan Yesus memakai perumpamaan atau kejadian sehari-hari supaya orang dapat langsung mengerti. Fakta membuktikan ternyata tidaklah demikian sebab hati mereka sangat bebal, mereka telah mendengar dan melihat tetapi toh mereka tetap tidak mengerti. Jadi, bukan karena kepandaian atau kehebatan kita kalau kita dapat mengerti Firman. Itu semata-mata karena anugerah.
Jangan pernah berpikir bahwa Allah yang membutuhkan manusia dan kita telah berjasa menolong Tuhan. Tidak! Tidak ada tempat bagi orang yang sombong dan bebal dalam Kerajaan Sorga. Sungguh merupakan suatu anugerah yang besar kalau Tuhan memanggil kita menjadi bagian dalam Kerajaan Sorga. Hal itu seharusnya membuat kita makin menghargai anugerah Tuhan, kalau bukan Tuhan yang beranugerah maka kita tidak akan pernah mendengar Firman; kalau bukan Tuhan yang panggil, kita tidak akan pernah mengenal Dia dan menjadi Kristen. Seorang Kristen yang take it for granted yang menyepelekan anugerah termasuk dalam kategori orang bebal. Ia telah mendengar Firman tetapi tidak ada respon karena ia telah mengeraskan hati dan tidak mau diubahkan oleh Firman. Tuhan Yesus menyatakan tentang hal Kerajaan Sorga ini dengan perumpamaan sebab Kerajaan ini tidak dibukakan untuk semua orang. Hanya orang yang mau tunduk mutlak kepada Tuhan akan mendapat bagian dalam Kerajaan Sorga. Tuhan Yesus dengan tegas menyatakan pada para murid bahwa kepada mereka diberikan anugerah untuk mengerti tentang hal Kerajaan Sorga sedang kepada mereka tidak.
Kedua, Kerajaan Sorga merupakan suatu kondisi yang sifatnya non material sehingga sukar untuk didefinisikan. Itulah sebabnya, orang sukar mengerti tentang hal Kerajaan Sorga. Berbeda halnya kalau kita menjelaskan sesuatu yang sifatnya material. Bisakah kita mendefinisikan Allah? Orang yang dapat mendefinisikan Allah membuktikan Ia bukanlah Allah sejati sebab Allah itu dapat kita batasi dengan konsep pemikiran kita. Memang, bukanlah hal yang mudah untuk kita yang berada di bawah memahami hal-hal yang sifatnya metafisik yang ada di atas kecuali Tuhan yang membukakan pada kita. Sangatlah mudah bagi kita untuk memahami segala sesuatu yang ada di bawah kita, karena mereka berada di bawah penguasaan yang di atas. Untuk memahami orang yang sejajar saja tidaklah mudah, kita tidak tahu apa yang ada dalam pikiran mereka apalagi untuk memahami sesuatu yang berada di atas kita. Untuk memahami orang lain saja kita seringkali mengalami kesulitan kecuali adanya revelation, pengungkapan dari obyek yang kita mau mengerti maka dalam hal ini obyek berubah menjadi subyek. Ketika kita mau memahami si A maka dalam hal ini posisi A sebagai obyek dan kita adalah subyek. Kita memakai analogi manusia namun sampai batas tertentu saja, kita dapat mengenal yang kelihatan di luar dirinya akan tetapi, kita tidak tahu apa yang ada di pikiran mereka, isi hati mereka, dan masih banyak lagi. Meski kita membedah dan membuka isi kepalanya dan mengeluarkan otaknya, kita tetap tidak akan memahaminya sebab letak permasalahan bukan pada materi sedang yang ingin kita pahami melampaui dunia materi. Maka satu-satunya cara adalah si A yang menjadi subyek sedang kita yang menjadi obyeknya. Satu-satunya cara kita dapat memahami adalah si A yang membukakan dirinya pada kita barulah kita dapat mengerti.
Berbeda halnya kalau kita hendak memahami suatu benda yang sifatnya materi maka kita dapat membongkar dan mempelajari spesifikasinya, cara kerjanya, dan lain-lain. Yang menjadi pertanyaan sekarang adalah bagaimana kita memahami sesuatu yang sifatnya non materi? Kecuali Tuhan sendiri yang membukakan pada kita barulah kita dapat memahami namun toh meski Tuhan telah menyatakan diri masih banyak orang yang tidak mengerti. Jadi, dapatlah disimpulkan kalau orang dapat mendefinisikan “allah“ maka ia pasti tidak mengenal “allah“ sebab yang ia sebut sebagai “allah“ itu pastilah “allah palsu“ karena posisinya berada di bawah manusia. Dalam seluruh tataran theologis ketika kita mau mendefinisikan Allah maka kita akan terjepit dalam konsep negative definition yang memberikan batasan negasi, membatasi di titik tertentu tetapi karena terlalu besar sehingga kita hanya bisa menata sisanya dan orang sudah menganggap seolah-olah ia sudah mendefinisikan “allah“ padahal sesungguhnya, itu bukan definisi sejati.
Demikian halnya ketika orang mendefinisikan tentang Kerajaan Allah maka tidak ada suatu definisi pasti yang dapat menjelaskannya sehingga cara satu-satunya adalah dengan menggunakan perumpamaan. Perumpamaan mau menggambarkan sesuatu aspek tetapi dari sisi yang lain sehingga orang mempunyai sedikit gambaran tentang realita yang ada. Namun itu tidak dapat menjelaskan realita asli secara keseluruhan sebab realita asli lebih besar dari perumpamaan. Kerajaan Sorga bukanlah bersifat materi duniawi; Kerajaan Sorga disini tidak sama dengan kerajaan Herodes, kerajaan Julius Caesar atau kerajaan-kerajaan lain. Itulah sebabnya, Kristus harus menggunakan perumpamaan Kerajaan Sorga. Melalui perumpamaan kita dapat memahami sesuatu yang melampaui semua batasan materi.
Ketiga, Tuhan Yesus sendiri memberikan makna dari perumpamaan tentang penabur sebagai acuan penafsiran. Perumpamaan digambarkan sebagai sesuatu yang bisa multiple interpretation sehingga dibutuhkan suatu acuan interpretasi yang sangat akurat untuk mendapatkan jawaban. Kata “bagaikan“ bisa diinterpretasi berbeda oleh setiap orang. Namun ketika manusia seolah-olah diberikan hak untuk bisa menafsirkan dengan bebas maka orang mulai menyalahgunakannya, memanipulasi firman untuk keuntungan diri maka itu menjadi titik matinya. Itulah sebabnya, Tuhan Yesus menyatakan mereka melihat tapi tidak melihat, mendengar tetapi tidak mendengar dan mereka tidak mengerti. Karena itu, hendaklah kita waspada ketika kita menafsirkan Alkitab dengan demikian kita tidak salah dan terjebak dalam konsep yang salah.
Tuhan Yesus sendiri telah memberikan makna tentang perumpamaan penabur namun ironisnya, orang masih menafsirkan sendiri. Bangsa Israel telah mendapatkan anugerah Allah yang begitu besar, mereka dipelihara sedemikian rupa di padang gurun namun toh mereka masih bersungut-sungut, meminta ini dan itu. Perhatikan, Allah masih menuruti semua keinginan mereka namun tidak ada satu pun dari mereka yang masuk tanah Kanaan kecuali Yosua dan Kaleb (Mzm. 78). Jangan pernah berpikir kita dapat mempermainkan Allah sedemikian rupa. Banyak orang yang merasa sudah memahami firman. Banyak orang memakai istilah Kerajaan Sorga untuk menggambarkan segala kenikmatan duniawi, segala sesuatu yang sifatnya hedonistik. Setiap kali orang berpikir tentang Kerajaan Sorga maka yang ada dalam pikirannya adalah emas, tidak ada kesusahan, tidak ada penyakit, tidak ada kematian dan bersama dengan Kristus kita mempunyai kuasa memerintah orang lain. Sadarlah, bukan kita yang memerintah, kitalah yang seharusnya diperintah oleh Kristus. Kristus menjelaskan arti perumpamaan ini kepada para murid dengan demikian mereka tidak salah mengerti tentang hal Kerajaan Sorga. Hal Kerajaan Sorga itu seperti seorang penabur penabur itu adalah Anak Manusia, yaitu Kristus Yesus; benih itu adalah Firman Tuhan dan empat macam kondisi tanah itu adalah manusia.
1) benih jatuh di pinggir jalan dan dimakan burung sampai habis, artinya ketika benih Firman itu ditabur, orang tidak mau berespon, ia bebal maka iblis langsung mengambil semua daripadanya. Titik ini menjadi titik kehancuran yang paling fatal bagi orang yang tidak meresponi Firman. Hari ini, orang baru mau percaya kalau ia penjelasan itu dapat dimengerti secara logika dan rasional. Salah! Titik permasalahan bukan pada otak tetapi hati kita. Iman mendahului pengertian bukan sebaliknya, pengertian mendahului iman. Di titik pertama orang menolak Firman berarti ia berafiliasi pada iblis maka tidaklah heran kalau semua taburan benih Firman itu tidak berdampak pada dirinya. Biarlah kita mengevaluasi diri sudahkah kita membuka diri menerima Firman dan percaya pada Kristus? Seberapa jauhkah kita mau setia dan taat pada Firman? Ingat, pikiran dan hati kita yang harus tunduk pada Firman, emosi kita diubahkan oleh Firman. Iman harus kembali pada Firman Tuhan. Kunci Kerajaan Sorga, yaitu beriman pada Kristus Sang Firman hidup dan setia pada-Nya. Adalah anugerah kalau kita dapat beriman pada-Nya dan menjadi bagian dari Kerajaan-Nya.
2) benih jatuh di tanah berbatu, tanahnya tipis maka benih itupun segera tumbuh tetapi sesudah matahari terbit, layulah ia dan menjadi kering karena tidak berakar. Sebatang pohon dapat bertumbuh dengan baik dan subur kalau ia mempunyai akar yang kuat. Makna dari perumpamaan ini adalah orang yang menerima firman dengan gembira tetapi ketika datang penindasan atau penganiayaan, ia menjadi murtad. Jangan tertipu dengan sesuatu yang fenomena, kelihatan indah di depan padahal di dalamnya keropos. Gereja lupa bahwa untuk menjadikan seseorang Kristen bukan dibutuhkan bahagia yang sifatnya fenomena tetapi dibutuhkan akar yang kuat dan mendalam. Kondisi Kekristenan yang berada dalam kenyamanan digambarkan oleh J. I. Packer sebagai Hot Bathup Religion. Orang Kristen yang murtad akan sukar untuk percaya kembali dan menjadi Kristen karena ia telah mempunyai konsep yang salah tentang Kekristenan – imannya bukan iman yang sejati. Orang yang mau mengerti Kerajaan Sorga maka ia harus mempunyai sikap yang tepat terhadap Firman.
3) benih jatuh di semak duri, makin besarlah semak itu dan menghimpitnya sampai mati. Kondisi ini menggambarkan orang yang mendengar firman lalu kekuatiran dunia dan tipu daya kekayaan menghimpit firman sehingga tidak berbuah. Orang mau firman tetapi juga mau dunia, hidup dualistis akibatnya adalah kehancuran, semak menghimpitnya. Kristus menuntut orang yang mau berbagian dalam Kerajaan Sorga maka ia harus menjadikan firman sebagai dasar hidupnya. Firman menegaskan manusia tidak bisa mempunyai dua tuan karena ia akan mengasihi yang satu dan membenci yang lain; manusia tidak bisa menyembah pada Allah sekaligus mamon. Mamon adalah dewa uang, jadi kata “mamon“ disini lebih tepat diterjemahkan sebagai uang. Sesungguhnya, orang yang hidupnya masih dicengkeram oleh materialisme membuktikan ia bukanlah orang Kristen sejati sebab ia pasti akan mati.
4) benih jatuh di tanah baik dan menghasilkan buah. Untuk masuk dan mendekati Kerajaan Sorga haruslah melalui jalur yang Tuhan sudah tetapkan, orang tidak bisa masuk dalam Kerajaan Sorga dengan jalur yang kita tetapkan sendiri. Kerajaan Sorga hanya bagi mereka mengasihi Kristus dan orang yang mengasihi adalah ia yang memegang perintah-Ku dan melakukannya (Yoh. 14:21). Mengasihi bukan sekedar ucapan tetapi harus nyata dalam kehidupan kita sehari-hari. Biarlah hari ini kita mengevaluasi diri kalau kita ingin berbagian dalam Kerajaan Sorga, seberapa jauhkah kita mencintai Kristus Sang Raja? Seberapa jauhkah engkau memegang Firman-Nya? Sudahkah kita menjadikan diri kita sebagai tanah yang subur dimana kita hidup di dalam Firman dan berbuah lebat? Dan ingat, itu bukan karena kehebatan kita kalau kita dapat masuk dalam Kerajaan Sorga. Semua semata-mata karena anugerah Tuhan. Tuhanlah yang lebih dulu membukakan mata hati kita. Karena itu, janganlah engkau memegahkan diri dan menjadi sombong. Biarlah kita menghargai anugerah Tuhan itu, kita bertumbuh dan berbuah sehingga kita menjadi saksi bagi-Nya. Amin.

(Ringkasan khotbah ini belum diperiksa oleh pengkhotbah)
Sumber:

PREDESTINASI-1: Orang-orang yang Dipilih (Ev. Yakub Tri Handoko, Th.M.)

PREDESTINASI-1: Orang-orang yang Dipilih

oleh: Ev. Yakub Tri Handoko, Th.M.




Pendahuluan
Sebelum mempelajari seluk-beluk predestinasi, kita perlu memahami lebih dahulu beberapa istilah penting yang sering dipakai dan disalahpahami:
· Foreordination: penentuan segala sesuatu sejak kekekalan.
· Predestination: penentuan yang berhubungan dengan keselamatan atau kebinasaan kekal sejak kekekalan.
· Election: penentuan sebagian orang untuk diselamatkan sejak kekekalan.
Jadi, election merupakan salah satu bagian dari predestination, sedangkan predestination sendiri merupakan salah satu bagian dari foreordination.

Doktrin tentang predestinasi merupakan salah satu doktrin yang paling membingungkan dan sedikit dimengerti oleh orang Kristen (Millard J. Erickson, Christian Theology, 921). Berikut ini adalah beberapa hal yang menyebabkan hal tersebut terjadi dan bagaimana kita seharusnya menyikapinya:
1. Orang menganggap doktrin ini berada di luar kapasitas manusia untuk memahaminya.
Respons:
Alkitab mengajarkan tentang predestinasi, karena itu kita tidak boleh mengabaikan apa yang telah Allah nyatakan. Ada beberapa aspek dari doktrin ini yang memang trans-rasional, karena selalu akan misteri setiap kali ciptaan ingin memahami Pencipta, tetapi itu bukan halangan untuk berhenti memahami doktrin ini sejauh yang Allah telah nyatakan.
2. Orang menganggap doktrin ini tidak berhubungan sama sekali dengan hal praktis. Doktrin ini dianggap hanya sebagai spekulasi filosofis dari rasio manusia yang ada di awan-awan (teoritis saja).
Respons:
Beberapa bagian Alkitab yang menyinggung tentang predestinasi justru berhubungan dengan hal praktis. Contoh: Roma 8:29-30. Doktrin ini diajarkan dalam konteks penderitaan yang dialami oleh orang percaya (Rm. 8:17-28).
3. Orang menganggap doktrin ini hanya dimiliki oleh sebagian denominasi/aliran theologi.
Respons:
Kata maupun ide predestinasi memang diajarkan oleh Alkitab (bukan produk theolog Reformed), misalnya Roma 8:29, 30; Efesus 1:5, 11 (NIV). Inti persoalan terletak pada dasar predestinasi: pra-pengetahuan Allah atau kedaulatan Allah. Golongan Arminian juga menerima predestinasi, tetapi konsep mereka berbeda dengan predestinasi Reformed. Selain itu, kita juga perlu mengetahui bahwa predestinasi bukanlah inti dari theologi Calvinisme/Reformed. Dalam buku Institutio­, Calvin hanya sedikit menyinggung tentang predestinasi, itu pun hanya dalam kaitan dengan doktrin kedaulatan Allah/anugerah.


Predestinasi dalam Alkitab
Sebelum membahas beberapa ayat yang secara khusus mengajarkan predestinasi, ada baiknya kita melihat cakupan foreodination Allah. Apakah ketetapan Allah sejak kekekalan mencakup segala sesuatu atau beberapa hal saja? Apakah ketetapan Allah bisa gagal? Seandainya ketetapan tersebut mencakup segala sesuatu dan tidak bisa gagal berarti predestinasi merupakan hal yang tidak terelakkan.

Ayat-ayat berikut ini menunjukkan bahwa ketetapan Allah memang mencakup segala sesuatu, baik besar maupun kecil dan tidak bisa batal.
V Apa yang terjadi sudah ditetapkan Allah sebelumnya.
Dasar Alkitab: Yes 37:26; Mzm 139:16; Ayub 14:5; Ef 1:4
V Ketetapan ini mencakup hati manusia, hal-hal yang tampaknya sepele maupun buruk menurut pandangan manusia.
Dasar Alkitab: Ams 16:4, 33; 21:1; Ayub 38:4; Yes 22:11; 40:12; Mat 26:24; Mar 14:21; Luk 22:22; Yoh 17:12; 18:9; Kis 2:23; 4:27-28.
V Ketetapan ini tidak bisa gagal.
Dasar Alkitab: Ayub 42:2; Ams 19:21; Yes 14:27; 46:10-11.

Berikut ini adalah beberapa ayat yang secara khusus mengajarkan tentang predestinasi:
1. Yohanes 6:44 “tidak ada seorang pun yang dapat datang kepadaku jikalau ia tidak ditarik oleh Bapa” (lihat juga ayat 37, 65; 15:16).
2. Kisah Para Rasul 13:48 “semua yang ditentukan Allah untuk hidup yang kekal menjadi percaya”.
3. Roma 8:29-20 “sebab semua orang yang dipilih-Nya dari semula”. Mayoritas versi Inggris memang menerjemahkan “diketahui sebelumnya” (foreknew), tetapi harus diingat bahwa dalam konsep berpikir orang Ibrani mengetahui bukan hanya pengetahuan kognitif, tetapi personal-eksperiensial.
4. Efesus 1:4 “Allah telah memilih kita sebelum dunia dijadikan”.

Dari ayat-ayat di atas dengan jelas terlihat bahwa predestinasi memang diajarkan oleh Alkitab. Pertanyaannya adalah apakah dasar bagi predestinasi? Apakah Allah menentukan sebagian untuk selamat karena Ia sudah mengetahui sebelumnya bahwa mereka akan percaya? Ataukah Allah memilih berdasarkan kedaulatan-Nya yang mutlak?


Dasar Alkitab Bagi Predestinasi
Golongan Reformed melihat doktrin predestinasi bukan sebagai doktrin yang terpisah (berdiri sendiri). Doktrin ini didasarkan pada dua kebenaran utama. Pertama, natur keberdosaan manusia. Theologi Reformed percaya bahwa semua manusia turut berdosa dalam Adam sebagai perwakilan semua umat manusia (Rm. 5:12-21). Manusia mengalami apa yang disebut total depravity (kerusakan total). Efesus 2:3 “secara natur kita adalah anak-anak kemurkaan” (RSV/NASB). Kebaikan manusia seperti apa pun tetap merupakan kejahatan di mata Allah (Rom 3:9-20). Manusia tidak mungkin memilih Allah karena mereka dikuasai oleh kuasa lain (Ef 2:1-3; 2Kor 4:3-4).

Kedua, kedaulatan Allah yang mutlak. Theologi Reformed mengakui bahwa segala sesuatu ditetapkan oleh Allah berdasarkan kehendak-Nya sendiri. Walaupun secara kronologis tidak bisa dibedakan, namun secara logis Allah lebih dahulu menetapkan segala sesuatu lalu Ia mengetahui segala sesuatu. Jadi, ketetapan Allah mendahului pengetahuan-Nya. Dalam kaitan dengan predestinasi, Alkitab memberikan indikasi yang cukup kuat bagi pendapat di atas.
1. Roma 9:11-21 à Pilihan Allah tidak didasarkan pra-pengetahuan-Nya tentang apa yang akan dilakukan manusia (ay. 11-12), tetapi kebebasan-Nya untuk memberi belas kasihan kepada siapa saja yang Ia mau (ay. 15-16).
2. Efesus 1:5 “...Allah memilih kita...sesuai dengan kerelaan kehendak-Nya”.
3. 1 Yohanes 4:10 “Inilah kasih itu: bukan kita yang mengasihi Allah, tetapi Allah yang lebih dahulu mengasihi kita”.

Dasar Theologis-Filosofis Bagi Predestinasi
1. Seandainya predestinasi didasarkan pra-pengetahuan Allah bahwa orang tersebut akan percaya, apa signifikansi “pilihan” Allah? Kalau memang Allah sudah tahu (dan pengetahuan-Nya bersifat pasti), bukankah Ia tidak perlu memilih, karena bagaimanapun apa yang Dia tahu pasti akan terjadi?
2. Seandainya segala sesuatu terjadi berdasarkan pengetahuan Allah, di manakah letak kedaulatan Allah atas ciptaan-Nya?
3. Seandainya predestinasi didasarkan pra-pengetahuan Allah, bagaimana hubungannya dengan konsep keselamatan oleh anugerah yang diajarkan Alkitab?

Sanggahan dan Jawaban
Sanggahan: Kita tidak perlu memberitakan Injil
Jawaban: Kita tidak tahu siapa yang telah dipilih oleh Allah untuk selamat. Pemberitaan Injil adalah bukti ketaatan kita kepada Allah

Sanggahan: Kita berbuat dosa semaunya, karena keselamatan tidak bisa hilang
Jawaban: Predestinasi adalah satu paket keselamatan. Allah menjamin orang pilihan dengan cara memberikan kemauan dan kemampuan untuk taat (Flp. 2:12-13)

Sanggahan: Hidup kita seperti sandiwara
Jawaban: Kita tidak tahu skenario hidup kita. Pedoman hidup kita adalah Alkitab, bukan ketetapan Allah sejak kekekalan

Sanggahan: Manusia tidak memiliki kehendak bebas
Jawaban: Kehendak bebas harus benar-benar bebas, sedangkan secara natur kebebasan mutlak hanya milik Allah. Kehendak bebas manusia yang terbatas berada dalam kedaulatan Allah

Sanggahan: Allah bersikap tidak adil
Jawaban: Seandainya semua manusia binasa karena keberdosaan mereka, Allah tetap adil. Ketika ia memilih sebagian untuk diselamatkan, itu adalah bukti kasih-Nya, sedangkan orang lain menerima keadilan Allah


Aplikasi
Doktrin predestinasi merupakan konsep yang sangat penting bagi orang percaya. Berikut ini adalah beberapa implikasi dari doktrin bagi kehidupan praktis kita:
1. Kita meyakini bahwa keselamatan kita tidak bisa hilang, karena rencana Allah tidak bisa gagal. Mazmur 37:24 à orang benar jatuh tidak akan tergeletak.
2. Kita semakin rendah hati, karena keselamatan kita adalah benar-benar anugerah. Bahkan kemauan dan kemampuan untuk taat pun merupakan pekerjaan Allah (Flp. 2:12-13).
3. Kita semakin memahami kasih Allah yang luar biasa. Ia mengasihi kita ketika kita masih berdosa (Rm. 5:6). Allah juga tidak berhenti mengasihi kita ketika kita nanti melakukan dosa yang sebesar apa pun, karena pada dasarnya Ia memang memilih kita bukan karena kebaikan kita (1Yoh. 1:9).
4. Kita tidak patah semangat dalam memberitakan Injil kepada orang yang keras hati, karena kalau orang itu ditetapkan Allah untuk selamat, orang itu suatu ketika pasti akan selamat. Sebaliknya, kita tetap akan rendah hati ketika Injil yang kita beritakan diterima orang, karena itu murni pekerjaan Allah.


Sumber:
REMAJA GKI SULUNG, Surabaya 11 Maret 2006
(http://www.gkri-exodus.org/page.php?DOC-Predestinasi1)



Sedikit diedit dan dikoreksi oleh: Denny Teguh Sutandio.




Profil Ev. Yakub Tri Handoko, Th.M.:
Ev. Yakub Tri Handoko, M.A., Th.M., yang lahir di Semarang, 23 November 1974, adalah gembala sidang Gereja Kristus Rahmani Indonesia (GKRI) Exodus, Surabaya (www.gkri-exodus.org) dan dosen di Institut Theologi Abdiel Indonesia (ITHASIA) Pacet serta dosen tetap di Sekolah Theologi Awam Reformed (STAR) dari GKRI Exodus, Surabaya. Beliau menyelesaikan studi Sarjana Theologi (S.Th.) di Sekolah Tinggi Alkitab Surabaya (STAS); Master of Arts (M.A.) in Theological Studies di International Center for Theological Studies (ICTS), Pacet–Mojokerto; dan Master of Theology (Th.M.) di International Theological Seminary, U.S.A. Mulai tahun 2007, beliau sedang mengambil program gelar Doctor of Philosophy (Ph.D.) part time di Evangelische Theologische Faculteit (ETF), Leuven–Belgia.

PENGINJILAN ANAK-2 (Ev. Yakub Tri Handoko, Th.M.)

PENGINJILAN ANAK-2

oleh: Ev. Yakub Tri Handoko, Th.M.




Beberapa pedoman dasar
1. Pahamilah tingkat perkembangan psikologis masing-masing anak dan perkembangan anak secara umum. Ada dua hal penting berkaitan dengan hal ini:
a. Fase pemahaman anak.

Melakukan --> Menjelaskan --> Mengerti --> Menghafal


b. Faktor yang mempengaruhi pemahaman. Topik ini perlu dipahami khususnya untuk penginjilan pada anak batita.


Pemahaman Anak

Kesan --> Analogi --> Konkretisasi --> Kosa kata

Keterangan:
Ø Kesan. Anak-anak sudah mampu menangkap kesan yang tercipta di sekelilingnya. Sejak bayi seorang anak belajar menangkap kesan ‘dilindungi’, ‘disayangi’, ‘diperhatikan’, ‘kelembutan’, ‘keceriaan’, dsb. Kesan-kesan ini nantinya akan mempengaruhi konsep seorang anak tentang Allah.
Ø Analogi. Anak-anak belajar memahami Allah dari analogi di sekitarnya. Seorang anak yang memiliki ayah yang penyayang dan sabar akan lebih mudah memahami konsep Allah sebagai Bapa daripada anak lain yang berasal dari keluarga tidak harmonis.
Ø Konkretisasi. Anak-anak belum bisa berpikir secara abstrak. Mereka perlu melihat contoh-contoh nyata/praktis.
Ø Kosa kata. Jumlah kosa kata rohani yang dikuasai seseorang akan mempengaruhi pemahaman anak tersebut. Anak yang bertumbuh dalam pengajaran Alkitab cenderung lebih cepat dewasa kerohaniannya dibandingkan anak lain yang tidak diajar hal-hal rohani di rumah.
2. Jangan meminta/menunjukkan pertobatan seseorang kepada publik, misalnya pemberian Alkitab di depan kelas kepada yang ‘sudah’ percaya. Beberapa anak suka mendapat perhatian, pengakuan bahkan hadiah yang ditawarkan tersebut. Penginjilan pribadi kepada anak-anak seringkali lebih berhasil daripada penginjilan dalam kelompok.
3. Beritakanlah Injil sesederhana mungkin. Tugas penginjil anak hanyalah mempresentasikan Injil, bukan memberikan argumentasi/apologi. Penginjilan bukanlah pemaparan soteriologi (doktrin tentang keselamatan). Jangan ‘terganggu’ maupun mencoba menjelaskan aspek-aspek keselamatan yang rumit, misalnya perbedaan pembenaran dan pengudusan, dsb.
4. Pahami dan batasi apa saja yang perlu untuk anak, misalnya Allah mengasihi kamu – kamu telah berdosa – Kristus telah mati di atas kayu salib untuk membayar dosamu – kamu harus mengakui bahwa kamu berdosa – selanjutnya mintalah pengampunan dari Tuhan – kamu memiliki hidup kekal di surga. Hindari topik keselamatan lain di luar hal-hal tersebut. Mill bahkan mengusulkan pola ABC yang sangat sederhana: (182).
· Ask the Lord to forgive.
· Believe that He will.
· Confess sins.
5. Hafal dan kuasailah beberapa ayat tentang penginjilan yang sederhana, misalnya Yohanes 3:16, 36; Roma 3:23; 5:6.
6. Gunakanlah beberapa cerita Alkitab yang menarik dan mudah dimengerti oleh anak-anak serta sampaikan dalam beragam kreativitas.
7. Hati-hati dalam menggunakan istilah atau analogi dalam keselamatan (lihat Menjelaskan istilah-istlah PI kepada anak-anak).
8. Beri kesempatan anak untuk bertanya, sehingga penginjil bisa melihat sejauh mana anak memahami berita yang baru disampaikan.
9. Jangan memaksakan keputusan kepada anak.
10. Yang paling penting, bersandarlah kepada kuasa Roh Kudus.



Menjelaskan Istilah-istilah PI Kepada Anak-anak
Dosa
Penjelasan tentang dosa sangat vital dalam penginjilan. Anak-anak tidak hanya diajarkan bahwa suatu tindakan salah, tetapi juga dosa. “Salah” bisa didasarkan pada etika umum maupun akibat negatif suatu tindakan, tetapi “dosa” merupakan pelanggaran terhadap kekudusan Allah dan Firman Tuhan. Berikut ini adalah beberapa gambaran sederhana tentang dosa yang bisa dipakai untuk menjelaskan kepada anak-anak.
· Seorang guru melumuri telapak tangannya dengan lumpur dan berbagai kotoran lain (cat, spidol, tanah, dll). Lalu anak-anak diajak bersalaman menggunakan tangan tersebut. Mengapa anak-anak tidak mau bersalaman (berhubungan)? Karena tangan guru kotor dan tangan mereka bersih. Seandainya tangan mereka juga kotor, mereka pasti tidak akan keberatan untuk bersalaman. Begitu juga dengan Allah yang kudus yang tidak bisa bergaul dengan orang berdosa (Mat. 5:8).
· Seorang guru membuat lompatan dari suatu titik sejauh-jauhnya. Tempat pijakan tersebut lalu diberi tanda. Selanjutnya guru meminta anak-anak untuk melakukan lompatan yang sama dari titik start yang sama. Lompatan mereka pasti tidak bisa mencapai titik lompatan guru. Guru lalu mengukur jarak antara titik lompatan anak-anak dan guru dengan menggunakan mistar kertas yang masing-masing bagian ditulisi nama-nama dosa. (Mat. 5:48).
· Guru membuat target seperti olahraga panahan. Titik tengah disebut ‘Alkitab’, sedangkan titik-titik lain ditulisi nama-nama dosa, mulai dari ‘yang dianggap’ ringan sampai berat. Selanjutnya guru menyuruh masing-masing anak melemparkan sesuatu ke target tersebut. Aktivitas ini mengajarkan bahwa segala sesuatu yang tidak sesuai dengan Alkitab pasti dosa (1Yoh. 3:4).
· Pertama-tama guru membuat sebuah jalan berliku-liku dari kapur bertuliskan Alkitab di sekeliling jalur tersebut. Di ujungnya letakkan sebuah kotak dengan tulisan “hidup kekal”. Mintalah semua anak menghafal jalur tersebut. Setelah itu beberapa anak matanya ditutup dengan kain, seluruh tubuh dan kakinya diikat dengan tali. Suruhlah mereka mencari kotak tersebut tetapi harus melewati jalur yang benar. Aktivitas ini mengajarkan bahwa ikatan dosa pada manusia tidak memungkinkan manusia untuk mendapatkan hidup kekal dengan usaha sendiri (Rm. 3:23a).

Sorga
Menerangkan surga pada anak-anak merupakan tugas yang tidak mudah. Pertama, gambaran tentang surga di Alkitab adalah secara simbolis, yang sebenarnya menerangkan ‘keindahan persekutuan kekal dengan Allah.’ Kedua, gambaran Surga dalam Alkitab tidak menarik bagi anak-anak. Emas, batu permata dan berlian belum tentu menarik perhatian anak-anak, karena mereka belum memahami seberapa berharganya benda-benda atersebut. Pertanyaan yang sering diajukan anak-anak tentang surga justru ‘apakah di surga itu ada mainan?’
a. Guru memulai dengan gradual value. Guru bisa mengambil suatu benda sebagai titik berangkat, lalu menanyakan apakah ada sesuatu yang lebih menyenangkan/bernilai dibandingkan dengan benda tersebut. Guru terus menanyakan apa yang lebih berharga daripada apa yang dijawab sebelumnya oleh anak-anak. Setelah mereka mencapai titik akhir, guru mengambil kesempatan untuk menjelaskan bahwa surga itu lebih menyenangkan daripada jawaban terakhir tersebut. Tindakan yang mungkin bisa dirancang antara lain: uang Rp. 100 – Rp. 500 – pensil – tas – mainan (bisa dikembangkan dari mainan yang tidakterlalu menyenangkan sampai mainan favorit anak – mobil sungguhan – rumah mewah, pesawat, dll.
b. Seandainya anak-anak bertanya “apakah yang paling indah di surga?”, guru harus mampu menjelaskan bahwa hal terindah adalah bersama dengan Allah selamanya. Untuk menerangkan hal ini, guru bisa mulai dengan pertanyaan ”apakah yang anak-anak rasakan seandainya diberi mainan yang bagus, tetapi ditinggal orang tua pergi selama 1 minggu serta mereka harus melakukan segala sesuatu sendiri?” Sebagaimana anak-anak selalu ingin bersama dengan orang tua lebih daripada kesenangan mereka terhadap mainan, demikian juga nanti mereka di surga yang akan selalu ingin bersama dengan Allah.
c. Guru bisa mengawali dari Why. 21:4 maupun 4:23. Setiap anak pasti tidak menyukai air mata/kesusahan maupun ruangan yang gelap. Guru bisa memulai dengan pertanyaan “apakah yang seringkali membuat anak-anak menangis?” Jawaban yang mungkin bisa ditebak adalah sakit, dipukul orang tua, dll. Selanjutnya guru menjelaskan bahwa semua itu tidak ada lagi di surga.

Allah
Konsep Allah yang penting bagi anak-anak adalah Allah sebagai Pribadi yang penuh kasih tetapi juga adil. Ia mengasihi manusia dan tidak ingin manusia menderita, tetapi dosa manusia juga harus dihukum.
a. Dua orang berdiri bersebelahan. Kaki kanan orang ke-1 diikat dengan kaki kiri orang ke-2. Sambil berjalan bersamaan, dua orang tersebut bergantian menyebutkan 1Yoh. 4:8 “Allah adalah kasih” dan Kel. 34:7b “tetapi tidaklah sekali-kali membebaskan orang yang bersalah dari hukuman”.
b. Guru memakai dua sarung tangan. Yang kiri bertuliskan “adil”, sedangkan yang kanan bertuliskan “kasih”. Guru lain secara sengaja menjatuhkan suatu benda milik guru yang memakai sarung tangan. Guru pertama memukul guru kedua dengan menggunakan tangan kiri, sementara tangan kanannya mengelus rambut guru kedua.

Penghapusan dosa
Konsep tentang penebusan seringkali sulit dimengerti oleh anak-anak. Hal ini bisa disubstitusi dengan konsep penghapusan dosa atau penggantian hukuman.
a. Guru menyiapkan sebuah gelas bening dengan air yang sudah dicampuri Betadin. Setelah itu guru mengeluarkan sebuah salib kecil dari sedotan yang telah diisi vitamin Ester-C yang telah dihaluskan. Dengan perlahan dan sambil bercerita guru menuangkan serbuk tersebut ke dalam gelas. Setelah serbuk Ester-C habis, guru mengaduk air dengan menggunakan salib kecil tersebut. Air akan berubah menjadi bening kembali. Cara ini bisa divariasi dengan air tinta dan dinetralisir dengan cairan pemutih.
b. Drama singkat. Ada dua orang saudara kembar: Joni dan Jono. Jono seorang anak yang nakal dan suka berkelahi, sedangkan Joni adalah anak yang manis yang suka tinggal di rumah. Suatu ketika Jono berkelahi dengan seseorang sehingga orang tersebut terluka parah. Darah yang keluar begitu banyak sampai kaos Jono menjadi merah. Dalam keadaan bingung karena mendengar mobil polisi lewat, Jono melarikan diri ke rumah. Ia lalu menceritakan apa yang terjadi dengan Joni saudaranya. Joni lalu meminta Jono bertukar kaos dengan dirinya. Setelah itu ia keluar dari rumah dan menyerahkan diri kepada polisi. Joni akhirnya dihukum karena perbuatan Jono.

Bertobat
Pertobatan bukanlah dosa lama yang diimbangi dengan perbuatan baik. Pertobatan bukan hanya tambahan perbuatan baik, tetapi peninggalan dosa-dosa. Siapkan sebuah kertas yang telah ditulisi berbagai macam jenis dosa. Tulisan-tulisan tersebut usahakan berukuran agak besar. Setelah itu lakukan langkah-langkah berikut ini:
a. Tarik ujung kanan atas hingga menempel tepi kiri. Lipatlah sesuai dengan bentuk tersebut.
b. Lakukan hal yang sama pada ujung kiri atas (sekarang ekrtas berbentuk seperti rumah).
c. Lipat pada bagian tengah secara vertikal sehingga kedua sisi kertas bertemu.
d. Setelah itu guru mulai merobek sisi luar kertas secara vertikal. Usahakan robekan tersebut sedikit demi sedikit sampai lebar kertas tersisa sekitar 3 cm. Taruhlah robekan-robekan tersebut ke dalam sebuah tempat.
e. Kertas dibuka secara perlahan sambil bertanya kepada anak-anak apakah yang akan terjadi jika hidup mereka yang penuh dengan dosa terus-menerus dihilangkan. Ketika kertas dibuka, sisa kerta akan membentuk sebuah tanda salib. Guru menjelaskan bahwa inilah hasil kalau anak-anak terus menerus bertobat.
f. Selanjutnya, mintalah anak-anak mengambil robekan-robekan tadi dan mencoba menggabungkan kembali menjadi bentuk kertas semula. Mereka tidak akan bisa melakukan bongkar pasang ini. Begitu juga dengan orang yang bertobat. Ia tidak bisa kembali lagi pada dosa-dosanya.

Mengajak Anak Menerima Yesus
1. Setelah menjelaskan semua hal pokok tentang keselamatan, guru menanyakan beberapa hal kepada anak:
· Apakah kamu yakin akan masuk surga?
· Apakah kamu ingin masuk surga?
· Apakah yang menyebabkan kamu yakin akan masuk surga?
Catatan: jika jawaban anak masih kurang tepat, itu berarti anak tersebut belum memahami apa yang telah disampaikan. Bimbinglah anak tersebut sampai ia mengerti, setelah itu baru dibimbing untuk mengambil keputusan.
2. Siapkan beberapa lilin yang membentuk tanda salib di atas lantai. Mintalah anak-anak menuliskan semua dosa mereka di sebuah kertas tanpa ada teman lain yang melihat (bagi yang tidak bisa menulis bisa dibantu oleh guru setelah terlebih dahulu menanyai anak tersebut tentang dosa-dosa yang akan ia tinggalkan). Setelah mereka selesai menulis, suruhlah mereka berdoa dalam hati kepada Tuhan untuk pengampunan dosa. Secara tertib satu per satu membakar kertas tersebut (dengan bantuan guru) dan membuangnya ke dalam sebuah kaleng besar. Anak yang sudah selesai kembali ke tempat semula dan mulai menuliskan beberapa janji kepada Tuhan Yesus di sebuah kertas berbentuk salib. Beri kesempatan anak-anak untuk berdoa secara pribadi sekali lagi. Kertas berbentuk salib tersebut ditempel di Alkitab bagian depan.
3. Guru juga bisa membuat variasi dengan meletakkan sebuah tiruan salib dari kayu atau kertas karton. Suruhlah anak-anak menulis dosa-dosa seperti di atas, tetapi kertas yang telah ditulisi itu akhirnya diremas-remas dan ditaruh dibawah salib. Variasi lain adalah dengan menempelkan kertas-kertas tersebut di kayu salib. Guru juga bisa mengganti “dosa” dengan “kekuatiran”, “ketakutan”, dll.
4. Follow up. Guru perlu menyiapkan kurikulum yang terencana sebagai tindak lanjut dari pengambilan keputusan ini. Kurikulum yang dibuat sebaiknya melibatkan orang tua, guru sekolah (jika memungkinkan) dan pimpinan gereja.

Kiranya Tuhan Yesus terus mempercayakan pelayanan mulia ini kepada kita. AMIN.



Profil Ev. Yakub Tri Handoko, Th.M.:
Ev. Yakub Tri Handoko, M.A., Th.M., yang lahir di Semarang, 23 November 1974, adalah gembala sidang Gereja Kristus Rahmani Indonesia (GKRI) Exodus, Surabaya (www.gkri-exodus.org) dan dosen di Institut Theologi Abdiel Indonesia (ITHASIA) Pacet serta dosen tetap di Sekolah Theologi Awam Reformed (STAR) dari GKRI Exodus, Surabaya. Beliau menyelesaikan studi Sarjana Theologi (S.Th.) di Sekolah Tinggi Alkitab Surabaya (STAS); Master of Arts (M.A.) in Theological Studies di International Center for Theological Studies (ICTS), Pacet–Mojokerto; dan Master of Theology (Th.M.) di International Theological Seminary, U.S.A. Mulai tahun 2007, beliau sedang mengambil program gelar Doctor of Philosophy (Ph.D.) part time di Evangelische Theologische Faculteit (ETF), Leuven–Belgia.






Editor dan Pengoreksi: Denny Teguh Sutandio.