21 June 2009

Matius 16:1-4: THE MESSIAHSHIP OF CHRIST: THE SIGN (Pdt. Sutjipto Subeno, M.Div.)

Ringkasan Khotbah: 14 Oktober 2007




Messiahship of Christ: The Sign

oleh: Pdt. Sutjipto Subeno, M.Div.




Nats: Matius 16:1-4





Tema utama dari Injil Matius pasal 16 adalah Kemesiasan Yesus Kristus, the Messiahship of Christ. Lembaga Alkitab Indonesia membaginya dalam empat segmen dan hari ini kita akan merenungkan segmen pertama dimana segmen pertama ini berkaitan erat. Tuhan bukanlah Tuhan yang jauh di sana tetapi Ia berinkarnasi datang ke dunia untuk menyelamatkan manusia berdosa. Dengan demikian kita mendapatkan suatu gambaran utuh tentang Kristus Tuhan dan Mesias dalam tugas dan kepribadian-Nya.
Orang Farisi dikenal sangat religius, saleh dan percaya Allah namun ironis, mereka justru melawan Tuhan. Mereka tidak memahami esensi agama sejati tetapi agama tidak lebih humanistik, orang memanipulasi Tuhan demi kepentingan diri. Manusia dicipta oleh Tuhan harusnya kembali pada Sang Pencipta dan taat mutlak pada Sang Pencipta sebagai Allah yang berdaulat. Perhatikan, kedaulatan Allah tidak bersifat diktator, Dia tidak mencipta kita seperti robot dan mengatur setiap langkah dan gerak kita. Tidak! Kedaulatan Allah adalah manusia yang memahami Firman dengan pengertian yang tepat bahwa Tuhan itulah Raja di atas segala raja yang berdaulat lalu dengan kesadaran penuh dan hati yang penuh cinta kasih kita taat dan melakukan semua Firman-Nya. Sebagai anak Tuhan sejati, Firman Tuhan itu harusnya menjadi dasar dan terimplikasi dalam seluruh aspek hidup kita namun hal itu tidaklah mudah, banyak hal bertentangan dengan dunia.
Kembali orang Farisi berusaha mencobai Tuhan Yesus dan kali ini ia bersekongkol dengan orang Saduki. Padahal kedua golongan ini sangat bertentangan tetapi mereka bisa bersepakat dan bersatu ketika menghadapi Tuhan Yesus. Dalam sejarah bangsa Israel terdapat 3 golongan besar, yakni: 1) golongan Farisi, orang yang sangat ekstrim religius dan anti politik. Mereka sangat sengit melawan pemerintahan khususnya pemerintahan Herodes dan Romawi. Orang Farisi berpendapat Israel harusnya diperintah secara theokratis dimana Allah Yahweh sebagai pemegang pemerintahan atas orang-orang Yahudi seperti dalam konsep Perjanjian Lama; 2) golongan Saduki, kelompok Yahudi liberal, mereka mengkompromikan aspek agama dengan politik. Mereka percaya, orang Yahudi seharusnya merdeka tetapi mereka tidak pernah memikirkan pemerintahan Yahudi sebagai pemerintahan yang theokratis. Orang Saduki percaya Allah tetapi mereka tidak percaya kebangkitan pada orang mati. Agama hanya berjalan di dunia sekarang dan setelah mati, kehidupan pun berhenti. Perbedaan yang sangat drastis secara metafisika dengan orang Farisi yang percaya adanya kebangkitan. Kedua golongan ini berdiri secara agama tetapi mempunyai theologi yang berbeda itulah sebabnya mereka selalu bertentangan, 3) golongan Herodian, murni bergerak di politik, tidak berurusan dengan agama bahkan cenderung anti agama, mereka hanya peduli kekuasaan. Ketiga golongan ini tidak pernah saling akur namun ironis, golongan Farisi dan golongan Saduki bersatu untuk menghadapi Tuhan Yesus. Bagi orang Farisi, Tuhan Yesus dianggap terlalu liberal karena melanggar semua peraturan atau adat istiadat yang telah ditetapkan dan bagi orang Saduki, Tuhan Yesus dianggap terlalu religius karena Ia percaya akan kebangkitan orang mati.
Maka celakalah kita kalau mau menyenangkan semua orang, kita lebih mirip seperti bunglon dan akhirnya, kita akan menjadi musuh semua orang. Karenanya, kita harus kembali pada kebenaran sejati maka kita tidak akan mudah tergoyahkan meski diserang dari segala arah. mendapatkan hidup sejati. Manusia hidup bukan ditentukan oleh orang lain tetapi hidup manusia ditentukan oleh kebenaran Allah. Celaka kalau hidup kita ditentukan oleh sesuatu yang relatif, kita akan diombang-ambing berbagai permainan palsu yang licik dan menyesatkan kemudia berakhir dengan kebinasaan. Kristuslah satu-satunya kebenaran; Ia telah memproklamasikan kebenaran, menghidupkan kebenaran, membuktikan kebenaran dan menyatakan kebenaran di tengah dunia.
Sebelumnya orang Farisi menyerang Tuhan Yesus karena Ia dianggap telah melanggar Taurat maka sekarang kembali mereka menyerang Kemesiasan Kristus. Mereka meminta tanda yang menyatakan bahwa benar Ia adalah Mesias. Istilah tanda, hari ini banyak digunakan oleh orang Kristen; dalam hal apapun selalu meminta tanda dari Tuhan. Ingat, Christianity not build by experience. Dunia ingin mendapatkan kebenaran dan sesuatu itu dianggap benar dilihat dari 4 aspek, yakni: 1) rasionalisme, segala sesuatu dianggap benar kalau cocok dengan logika. Pertanyaannya adalah seberapa besarkah rasio kita? Apakah semua yang rasional menurut kita itu pasti benar? Tidak! Sebab banyak aspek sifatnya supra rasional. Rasio hanyalah sarana untuk melihat kebenaran. Rasio lebih kecil dan lebih rendah dari kebenaran maka ia tidak berhak menentukan kebenaran. Dunia sangat terjebak dengan konsep ini, akibatnya dunia sulit menerima hal kebangkitan Tuhan Yesus atau Tuhan Yesus berjalan di atas air – agama dikunci di aspek logika, 2) empirisme, kebenaran tergantung dari pengalaman. Pertanyaannya adalah apakah setiap orang mempunyai pengalaman yang sama? Tidak! Lalu bagaimana mungkin kebenaran ditentukan oleh pengalaman? Pengalaman siapakah yang berhak sebagai penentu kebenaran? Pengalaman hanyalah sarana sebab banyak pengalaman yang bersifat negatif. Apakah kita perlu mencoba mengalami terlebih dahulu kalau jatuh dari lantai 20 pasti akan mati? Tidak, bukan? Kalau semua aspek harus kita alami celakalah hidup kita. Truth is not according to the experience, knowledge is not according to the experience but knowledge is back to the Truth in Words, 3) subyektifisme, 4) otorianisme. Untuk dua aspek terakhir ini tidak akan dijelaskan lebih detail.
Sesungguhnya, Tuhan Yesus telah memberikan banyak tanda mulai dari kelahiran-Nya, ketika Ia dibaptis, khotbah di atas bukit, orang buta dicelikkan, orang lumpuh berjalan, dan masih banyak lagi tanda yang semuanya sangat jelas tetapi mereka tidak pernah melihat semua tanda itu sebab mereka menetapkan diri sebagai subyek penentu kebenaran. Manusia ingin menjadi tuan atas kebenaran. Inilah kegagalan iman di titik pertama. Jelaslah, kalau orang sudah tidak mau percaya pada Kristus maka ia tidak akan pernah mengerti kebenaran sejati selama hidupnya, hal ini sangat dipahami oleh Agustinus dan ditajamkan oleh Anselmus lalu ditegaskan kembali oleh Calvin. Hanya kembali pada Allah dan kebenaran-Nya sajah kita akan memahami tentang kebenaran dan semua akan ditambahkan padamu. Agustinus menegaskan iman adalah yang utama dan rasio seperti “pembantu“ dimana iman itulah “tuan.“ Pernyataan yang tajam diungkapkan oleh Anselmus, credo ut intelligum, i believe than i understand. Sebaliknya, dunia menyatakan mengerti dulu baru mau percaya maka tidaklah heran kalau orang tidak pernah memahami kebenaran sejati. Inilah kebebalan manusia.
Percaya itu menjadi kunci utama maka seluruh kepercayaan itu akan membangun seluruh pengertian yang sejati. Pengertian yang sejati hanya ada dalam Firman Tuhan saja. Iman menentukan semua hal. Seorang rasionalis yang percaya pada rasio maka ia akan mendapatkan semua pengertian yang berbasiskan rasionalis. Untuk hal-hal yang sifatnya irasional maka selamanya, ia tidak akan pernah mengerti. Maka percuma semua tanda kalau orang tidak mau percaya pada Kristus Tuhan, sebanyak apapun tanda tidak akan membuat mereka percaya. Orang hanya mau tanda yang cocok dengan pemikirannya. Ketika orang Farisi dan Saduki menuntut jawaban dari Tuhan Yesus maka Tuhan Yesus menyindir dengan satu kalimat tajam tentang tanda pada alam (Mat. 16:2-3). Tuhan Yesus tidak merasa perlu memberikan tanda pada orang bebal. Hanya satu hal yang Tuhan Yesus tegaskan yakni tanda Yunus lalu Tuhan Yesus pun meninggalkan mereka pergi.
Orang Palestina umumnya hidup dari pertanian, peternakan dan perikanan sehingga mereka sangat bergantung pada alam dan cuaca karena itu menentukan nasib mereka. Demi kepentingan diri, orang mau belajar namun untuk kepentingan orang lain, orang tidak peduli. Inilah sifat manusia berdosa, hanya mementingkan diri dan tidak pernah peduli orang lain. Hal yang sama diperlakukan pada Tuhan Yesus, mereka meminta tanda yang sesuai dengan keinginan dan kepentingan diri. Tuhan Yesus tidak memberikan tanda itu sebab sesungguhnya, mereka tidak pernah mau mengerti tanda. Pertanyaannya bagaimana respon kita? Kita mau mengikut iblis atau Tuhan? Iblis pasti akan memberikan tanda itu yang seperti yang kita minta. Hari ini tanpa sadar, Kekristenan telah masuk dalam format iblis, mereka menyeleweng dari Firman Tuhan; orang hanya berpikir humanistik. Orang tidak berpikir seperti Kristus berpikir, tidak mempunyai perasaan seperti perasaan Kristus – orang hanya mempunyai perasaan senasib sebagai sesama orang berdosa. Ironisnya, ketika orang berdosa dibukakan akan realita bahwa kita adalah orang berdosa, orang menjadi marah. Yang menjadi pertanyaan sekarang adalah apakah iman yang sejati? Apakah yang dimaksud dengan tanda sejati?
Tanda apapun tidak akan membuat orang percaya sebab titik permasalahan adalah iman percaya. Apakah kita mau merombak seluruh pemikiran kita untuk percaya mutlak pada Kristus? Inilah iman sejati. Tuhan Yesus sedang mengajak kita untuk merombak cara berpikir dengan demikian kita tidak hanya mengerti Kristus sebagai Tuhan tetapi kita juga mengerti konsep Mesianik secara total. Mesias berarti Juruselamat, Dia yang diurapi datang untuk menyelamatkan manusia. Mesias sangat dinantikan oleh bangsa Israel namun mereka tetap tidak dapat mengerti kalau Mesias itu telah datang di depan mata bahkan telah menuntaskan tugas Kemesiasan-Nya dan kembali ke sorga, mereka tetap tidak mengerti Kristus adalah Mesias bahkan sampai hari ini mereka masih menantikan Mesias sebab Mesias yang datang tidak sesuai dengan harapan mereka.
Matius 16:1-4 mengajarkan pada kita satu hal, yakni credo ut intelligum, believe than understand. Orang harus percaya mutlak pada Firman, back to the Bible. Ketaatan berarti kembali pada kebenaran sejati dan apapun yang tidak kita suka tetap harus taat dan hal ini sangat sulit bagi orang Kristen sebab pada dasarnya, manusia adalah manusia berdosa dan pemberontak Allah. Sebagai Kristen sejati, kita harus taat mutlak pada Allah Sang Pencipta karena Ia adalah Tuhan di atas segala tuhan. Iman kepercayaan pada Kristus itulah dasar dan pondasi yang menentukan seluruh cara berpikir kita yang selama ini diisi oleh konsep berdosa.
Mengapa Kristus sebagai satu-satunya yang sah? Ada tiga aspek, yakni:
1. Kristus adalah Kebenaran absolut
Kalau orang mau melawan Kristus maka dengan mudah orang bisa mengatakan Kristus bukanlah kebenaran absolut dan tidak percaya pada-Nya maka percuma semua tanda atau pembuktian apapun diberikan sebab di titik awal orang sudah tidak percaya. Tanda apapun dan bagaimanapun akan dilawan maka orang tidak pernah mendapatkan jawaban. Kunci utama dan terpenting adalah percaya mutlak. Namun orang tidak mau percaya dan ingin menjadi penentu kebenaran, segala sesuatu dianggap benar kalau menurut dia benar. Itu bukan kebenaran sejati.
3. Kristus adalah verifikator
Kristus adalah Tuhan atas alam semesta, Dia adalah kebajikan tertinggi, summum bonum maka Dia berhak dan layak menjadi penentu absolut apapun yang ada di dunia, menentukan baik/tidak baik, benar/tidak benar, suci/tidak suci, mulia/tidak mulia – semua value system, epistemologi dan axiologi di tangan-Nya. Kristus adalah pemegang otoritas tertinggi maka kalau kita beriman pada-Nya maka itu menjadi suatu kekuatan dalam hidup kita.
2. Kristus adalah otoritas final
Semua otoritas di bawah boleh berpendapat benar tapi kalau Sang otoritas tertinggi berkata “salah” maka semua yang benar tadi adalah salah. Sebagai contoh, pada suatu perusahaan, kepala staf, kepala departemen, manajer bersepakat dan setuju namun kalau komisaris tertinggi sebagai penentu tertinggi, tidak setuju maka semua otoritas di bawahnya gugur dengan sendirinya. Itu hanya contoh kecil dari suatu perusahaan sebab Kristus adalah pemegang otoritas tertinggi dari semua otoritas di dunia. Penentuan terakhir berada di tangan Kristus, tidak peduli apakah kita suka atau tidak suka, Dia yang menentukan semua. Dia adalah penuntun dan pemimpin langkah hidup kita maka kalau kita kembali pada Dia, alangkah indah hidup kita, hidup kita menjadi jelas ketika kita melangkah karena kita berpaut pada kebenaran sejati. Celakalah kalau kita mentautkan hidup kita pada iblis, kita akan binasa. Orang yang hidup berpaut pada Kristus akan takut untuk berbuat dosa, orang akan berusaha keras untuk hidup dalam kebenaran; ketika ia melakukan hal yang salah maka ia akan merasa risih. Firman selalu mengingatkan kita, seperti rem yang mengerem kita. Berbeda halnya kalau orang berpaut pada iblis, bapa segala penipu maka segala sesuatu yang ia kerjakan yang sifatnya berdosa, orang tidak merasa bersalah atau berdosa. Dunia tidak takut pada esensi dosa, dunia hanya takut pada akibat dosa, seperti hukuman-hukuman yang akan diterima, dan lain-lain. Selama orang hanya takut pada akibat dosa dan tidak kembali pada penentu Allah yang final maka seluruh perbuatan dosa dapat dianulir, seluruh perbuatan jahat bisa diabaikan dan hal itu akan menjadikan kita berdosa.
Tanda Yunus menjadi tanda unik, refleksi Kemesiasan Kristus – Kristus akan mati, disalib dan tiga hari, Ia akan tinggal dalam perut bumi dan bangkit pada hari ketiga. Inilah pertama kali, Kristus membuka misi Mesias. Mesias yang hadir berbeda dengan konsep Mesias yang dimengerti oleh orang berdosa. Dalam konsep bangsa Israel, Mesias yang hadir akan menjadi Raja, keturunan Daud yang bertahta dan menguasai Kerajaan sampai menguasai seluruh wilayah Salomo bahkan lebih daripada itu, yakni kerajaan itu haruslah sebesar Kerajaan Romawi Raya. Ternyata, Mesias yang hadir berbeda total dari konsep mereka; Mesias lahir di kandang, menderita sengsara dan hina, bermahkota duri, naik ke kayu salib, mati dan bangkit. Tuhan sedang membukakan suatu status yang sangat unik tentang kehadiran-Nya, Dia datang bukan untuk dilayani melainkan melayani dan menjadi tebusan bagi banyak orang. Inilah misi Mesianik.
Sungguh merupakan suatu anugerah kalau kita dapat percaya dan beriman pada Kristus, kita dibukakan dan mengerti akan kebenaran sejati bahwa Kristus adalah Mesias. Pertanyaannya sekarang adalah apakah kita seorang Kristen sejati? Seorang Kristen sejati akan beriman sejati – taat mutlak pada Kristus sebagai kebenaran mutlak, otoritas final dan penentu yang sah. Hendaklah kita mengevaluasi diri kita seberapa jauhkan kita mengerti ”tanda”? Sudahkah hidup kita bertaut pada Kristus Sang Kebenaran sejati? Amin.

(Ringkasan khotbah ini belum diperiksa oleh pengkhotbah)





Sumber:
http://www.grii-andhika.org/ringkasan_kotbah/2007/20071014.htm

Roma 15:25-29: PELAYANAN SOSIAL YANG MEMULIAKAN ALLAH

Seri Eksposisi Surat Roma:
Penutup-5


Pelayanan Sosial yang Memuliakan Allah

oleh: Denny Teguh Sutandio



Nats: Roma 15:25-29



Sebelum ke Spanyol, Paulus mampir dahulu ke Yerusalem. Apa tujuannya? Di ayat 25-26, ia menjelaskan, “Tetapi sekarang aku sedang dalam perjalanan ke Yerusalem untuk mengantarkan bantuan kepada orang-orang kudus. Sebab Makedonia dan Akhaya telah mengambil keputusan untuk menyumbangkan sesuatu kepada orang-orang miskin di antara orang-orang kudus di Yerusalem.” Dari dua ayat ini, kita belajar bahwa Paulus mampir ke Yerusalem untuk mengantarkan bantuan dari orang-orang Kristen di Makedonia dan Akhaya untuk orang Kristen di Yerusalem. Mengapa orang-orang Kristen di Makedonia dan Akhaya memberi bantuan kepada orang Kristen di Yerusalem? Ada dua alasan. Alasan pertama ada di dua ayat ini dan alasan kedua ada di ayat selanjutnya. Alasan pertama adalah masalah kuantitas. New International Version (NIV) Spirit of The Reformation Study Bible memberikan keterangan bahwa orang Kristen di Yerusalem menderita karena mereka tergolong kaum minoritas, karena kaum mayoritas di sana adalah penganut Yudaisme/Yahudi. Dengan alasan ini, jemaat Tuhan di Makedonia dan Akhaya memutuskan untuk membantu jemaat Tuhan di Yerusalem. Luar biasa, semangat saling menolong sesama jemaat Tuhan ini. Bagaimana dengan kita? Kita sebagai orang Kristen yang hidup di Indonesia masih tergolong enak. Jika kita memperhatikan kondisi orang-orang Kristen di luar negeri, khususnya di negara-negara komunis, seperti RRT dan negara-negara yang agama mayoritasnya non-Kristen, seperti: Pakistan (Islam), India (Hindu), Thailand (Buddha), dll, kita akan mendapati kondisi mereka memprihatinkan. Buletin Kasih Dalam Perbuatan (KDP) yang diterbitkan oleh Voice of the Martyrs menceritakan kondisi malang mereka yang hidup di negara-negara demikian. Mereka disiksa, difitnah, gereja dihancurkan/dihalangi dengan segudang argumentasi yang tidak masuk akal (persis seperti di Indonesia), pendeta dibunuh, dll. Bagaimana reaksi kita? Kita sebagai orang Kristen di Indonesia kebanyakan cuek dengan kondisi mereka. Kita terlalu serakah memperkaya diri dan gereja kita sebagai pertanda “berkat Tuhan.” Sebagaimana yang dilakukan oleh jemaat di Makedonia dan Akhaya, marilah kita juga membantu sesama umat Tuhan yang hidup di negara-negara yang menyiksa mereka. Kita bisa membantu melalui dukungan dana, tenaga, doa, dll. Sudahkah kita melakukannya?


Alasan kedua mereka membantu jemaat di Yerusalem dipaparkan oleh Rasul Paulus sendiri di ayat 27, “Keputusan itu memang telah mereka ambil, tetapi itu adalah kewajiban mereka. Sebab, jika bangsa-bangsa lain telah beroleh bagian dalam harta rohani orang Yahudi, maka wajiblah juga bangsa-bangsa lain itu melayani orang Yahudi dengan harta duniawi mereka.” Di dalam ayat ini, Paulus mengatakan bahwa keputusan memberikan berkat jasmani kepada orang-orang Kristen di Yerusalem merupakan keputusan jemaat Tuhan di Makedonia dan Akhaya sendiri, tanpa ada unsur paksaan. Mengapa mereka bisa berbuat demikian? Alasan kedua adalah karena bangsa-bangsa lain telah mendapat harta rohani dari orang-orang Yahudi (bdk. Rm. 11:11-12), maka mereka pun harus memberikan harta duniawi kepada orang-orang Yahudi. Apa signifikansinya bagi kita? NIV Spirit of the Reformation Study Bible memberikan prinsip umum bagi ayat ini, yaitu ayat ini hendak mengajarkan kepada kita bahwa kita yang telah mendapat berkat rohani harus membagikan berkat jasmani mereka untuk orang lain. Apakah ada unsur timbal balik di dalamnya? Seolah-olah ya, tetapi sebenarnya tidak. Mengapa? Karena orang Kristen yang beres setelah menerima berkat rohani dari Allah dengan rela hati dan penuh syukur akan membagikan berkat jasmani kepada orang lain dan demi pelebaran Kerajaan-Nya di bumi ini. Dengan kata lain, intinya adalah kerelaan hati dan penuh syukur, bukan karena rasa bersalah atau timbal balik. Seorang yang merasa berutang budi atas kebaikan seseorang, lalu memberi balik sesuatu kepada orang lain, maka pemberian itu belum bisa dikategorikan tulus. Utang budi bukan tulus. Suatu pemberian bisa dikatakan tulus apabila pemberian itu dilakukan terlebih dahulu sebelum orang lain memberi sesuatu kepada kita dan pemberian itu tentunya bukan berdasarkan apa yang kita suka, tetapi apa yang orang lain suka. Bagaimana dengan kita? Sudahkah kita memberi dengan ketulusan dan penuh rasa syukur kepada Allah?


Setelah menyerahkan hasil usaha dari para jemaat Tuhan di Makedonia dan Akhaya, Paulus mengatakan bahwa ia akan pergi ke Spanyol melalui Roma (ay. 28). Ketika ia pergi ke sana, ia mengatakan, “Dan aku tahu, bahwa jika aku datang mengunjungi kamu, aku akan melakukannya dengan penuh berkat Kristus.” (ay. 29) King James Version (KJV) menerjemahkannya, “And I am sure that, when I come unto you, I shall come in the fulness of the blessing of the gospel of Christ.” (=Dan aku yakin bahwa, ketika aku datang kepadamu, aku akan datang dengan kepenuhan berkat dari Injil Kristus.) New International Version (NIV) menerjemahkannya, “I know that when I come to you, I will come in the full measure of the blessing of Christ.” (=Aku tahu bahwa ketika aku datang kepadamu, aku akan datang dengan kepenuhan berkat Kristus.) Analytical-Literal Translation (ALT) menerjemahkannya, “But I know that coming to you*, I will come in [the] fullness of [the] blessing of the Gospel of Christ.” (=Tetapi aku tahu bahwa waktu aku datang kepadamu, aku akan datang dengan kepenuhan berkat dari Injil Kristus.) Ada beberapa hal yang bisa kita pelajari dari ayat ini:
Pertama, “aku tahu.” Di ayat ini, Paulus mengatakan, “Dan aku tahu.” Albert Barnes di dalam tafsirannya Albert Barnes’ Notes on the Bible menyatakan bahwa pernyataan ini menunjukkan keyakinan Paulus yang kuat akan kesuksesan pelayanannya di mana saja. Berarti ada kepuasan tersendiri ketika Paulus telah selesai menunaikan pelayanannya. Bagaimana dengan kita? Kepada kita, Allah telah mempercayakan pelayanan yang beragam. Bagaimana kita melakukan pelayanan itu? Dengan sukacita atau bersungut-sungut? Setelah itu, apakah kita cukup puas dan bersukacita setelah kita menunaikan tugas pelayanan kita? Di satu sisi, memang, kita tidak boleh cepat puas dengan apa yang kita capai khususnya di dalam pelayanan, tetapi di sisi lain, kita dituntut puas dan bersukacita karena kehendak-Nya sudah kita jalankan dengan bertanggungjawab. Kepuasan dan sukacita kita ini merupakan wujud rasa syukur kita kepada-Nya yang telah memanggil kita melayani-Nya dan menguatkan kita di dalam pelayanan tersebut.

Kedua, “aku melakukannya dengan penuh berkat Kristus.” Setelah puas akan sesuatu yang telah ia capai, biasanya manusia (tidak terkecuali beberapa atau mungkin banyak orang Kristen dan pemimpin gereja) akan merasa sombong. Mereka berpikir bahwa pencapaian mereka itu adalah akibat kerja keras mereka. Apakah ini juga terjadi pada Paulus? TIDAK! Puji Tuhan, Paulus bukan tipe orang yang sombong setelah ia berhasil melayani Tuhan di mana-mana, namun ia adalah rasul Kristus yang rendah hati. Ia tetap mengakui bahwa pencapaiannya terjadi karena ada berkat Kristus. Ada sedikit perbedaan terjemahan tentang pernyataan ini. Seperti yang sudah saya kutip di atas: dua terjemahan (KJV dan ALT) menerjemahkannya sebagai berkat dari Injil Kristus, sedangkan terjemahan NIV memakai kata berkat Kristus. Terjemahan Indonesia dari teks Yunaninya adalah berkat Kristus. (Hasan Sutanto, 2003, hlm. 877) Vincent’s Word Studies memberikan keterangan bahwa kata “Injil” di dalam “berkat Injil Kristus” dihilangkan, sehingga menjadi: berkat Kristus. Adam Clarke di dalam Adam Clarke’s Commentary on the Bible memaparkan bahwa kepenuhan berkat Kristus lebih besar dari kepenuhan berkat Injil Kristus. Oleh karena itu, menurut Clarke, Paulus datang ke Roma bukan hanya dengan berkat Injil, namun juga dengan karunia dan anugerah dari Tuhan Yesus yang telah memanggilnya menjadi rasul-Nya. Di sini, kita melihat tafsiran Clarke cukup bertanggungjawab, karena yang menjadi inti pelayanan Paulus bukan apa yang diberitakannya, tetapi siapa yang diberitakannya, yaitu Kristus sendiri! Injil Kristus tidak akan berarti apa-apa tanpa Kristus yang beraksi. Begitu juga dengan pelayanan Paulus. Pelayanan Paulus tidak akan berarti apa-apa jika tanpa anugerah Kristus yang terus menguatkan dan menopangnya, sehingga meskipun harus menderita, Paulus tetap setia melayani-Nya. Bagaimana dengan kita? Pelayanan yang kita kerjakan sungguhkah berpusat kepada Kristus dan memuliakan-Nya saja? Biarlah kita mengintrospeksi diri kita.


Setelah merenungkan lima ayat di atas, bagaimana respons kita? Ketika kita melayani Tuhan, sungguhkah pelayanan itu berpusat kepada Allah, melayani orang lain, dan memuliakan Allah? Jangan pernah menomersatukan diri dan kehendak diri ketika kita melayani-Nya! Utamakan Allah dan kehendak-Nya terlebih dahulu, baru orang lain. Amin. Soli Deo Gloria.

14 June 2009

Roma 15:22-24: PELAYANAN YANG DIPIMPIN ALLAH

Seri Eksposisi Surat Roma:
Penutup-4


Pelayanan yang Dipimpin Allah

oleh: Denny Teguh Sutandio



Nats: Roma 15:22-24



Setelah menjelaskan tentang pelayanannya, ia menyampaikan salam perpisahannya mulai ayat 22 ini. Salam perpisahan pada bagian pertama yang akan kita soroti adalah mengenai keinginannya bertemu dengan jemaat di Roma. Apa signifikansi ayat 22 s/d 24 ini? Mari kita analisa.


Di ayat 20-21, Paulus sudah mengatakan bahwa ia diutus untuk memberitakan Injil kepada orang-orang non-Yahudi. Karena panggilan inilah, ia rela tidak mengunjungi jemaat Roma. Hal ini diungkapkannya di ayat 22, “Itulah sebabnya aku selalu terhalang untuk mengunjungi kamu.” Kata “terhalang” di dalam struktur bahasa Yunani menggunakan bentuk pasif. Dengan kata lain, Paulus terhalang (dihalangi) untuk mengunjungi jemaat Roma karena pelayanannya untuk orang-orang non-Yahudi di Ilirikum (ay. 19-21). Kalau kita melihat kembali di pasal-pasal awal surat Roma (Rm. 1:8-10), di situ, Paulus berkeinginan mengunjungi jemaat di Roma karena ia telah mendengar berita tentang iman jemaat Roma. Maka di pasal menjelang terakhir, Paulus kembali mengingat itu dan mengatakan kepada jemaat Roma bahwa ia masing ingin datang ke Roma untuk melihat jemaat di sana. Di sini, Paulus lebih mementingkan pekerjaan Tuhan (memberitakan Injil) ketimbang keinginan pribadinya (mengunjungi jemaat Roma). Meskipun dua-dua itu baik, tetapi ia lebih mementingkan tugas pemberitaan Injil di Ilirikum ketimbang mengunjungi jemaat Roma. Inilah hamba Tuhan yang sejati. Hamba Tuhan sejati bukan lebih mementingkan apa yang mengenakkan di dalam pelayanannya, tetapi hamba Tuhan sejati adalah mereka yang lebih mementingkan panggilan dan tugas dari Allah dan mengesampingkan hal-hal sekunder yang kurang penting. Ketika kita diperhadapkan dengan dua kegiatan yang kelihatan sama-sama baik seperti kasus Paulus ini, apa reaksi kita? Misalnya, kita harus memberitakan Injil kepada seseorang atau kita menolong orang yang kekurangan, mana yang harus kita pilih? Beberapa kaum penganut “theologi” religionum bisa dipastikan akan memilih opsi kedua, yaitu menolong mereka yang kekurangan, karena bagi mereka jasmani lebih penting daripada rohani. Memang aneh kedengarannya, tetapi itu realitasnya. Lalu, bagaimana sikap orang Kristen dan hamba Tuhan sejati? Pekalah terhadap kehendak Tuhan. Jika Ia memimpin kita dengan jelas untuk memberitakan Injil, lakukanlah, tetapi jika Tuhan memimpin kita memilih opsi kedua, lakukannya, prinsipnya: TAAT, bukan mana yang mengenakkan kita. Biarlah ini mengoreksi diri dan pelayanan yang kita lakukan. Sudahkah kita menomersatukan Allah dan kehendak-Nya di dalam kehidupan dan pelayanan kita?


Setelah itu, Paulus kembali peka terhadap pimpinan Tuhan. Jika dahulu, ia dipimpin Tuhan memberitakan Injil kepada orang-orang di Ilirikum, saat ini, ia dipimpin Tuhan untuk meninggalkan Ilirikum dan kembali ke Roma. Perhatikan apa yang dikatakannya di ayat 23, “Tetapi sekarang, karena aku tidak lagi mempunyai tempat kerja di daerah ini dan karena aku telah beberapa tahun lamanya ingin mengunjungi kamu,” “Tempat kerja” yang dimaksud Paulus adalah di Ilirikum (ay. 19). Ketika Tuhan memimpin Paulus untuk berhenti memberitakan Injil di Ilirikum dan pergi ke Roma, ia taat dan berusaha keras mengunjungi jemaat di Roma (ay. 24). Kita akan melihatnya nanti di ayat 24. Kembali, jika kita melihat rangkaian penginjilan yang Paulus lakukan, tidak sedikitpun waktu yang ia sia-siakan di luar pimpinan Tuhan. Ia sangat peka melihat kehendak Tuhan. Kalau kita melihat kembali kisahnya di Kisah Para Rasul 16:9, kita dapat mengerti bahwa Paulus adalah rasul Kristus yang peka terhadap pimpinan Tuhan. Pada waktu itu, ia mendapat penglihatan seorang Makedonia yang memanggilnya. Dari situ, ia langsung tanggap bahwa itu pimpinan-Nya memberitakan Injil di Makedonia. Lalu, bagaimana tanggapan orang-orang Makedonia? Di ayat 13-15, Paulus memang diterima pertama kalinya oleh Lidia, penjual kain ungu dari kota Tiatira di Filipi tersebut, tetapi setelah itu, Paulus mengalami penderitaan karena memberitakan Injil Kristus (baca mulai ayat 16-40). Ya, pimpinan Tuhan bagi pelayanan kita tidak selalu mengenakkan. Ia memimpin kita terus melayani-Nya sesuai dengan kehendak dan waktu-Nya. Ia memimpin kita jauh di luar pemikiran kita. Ketika Ia memimpin kita meninggalkan suatu tempat pelayanan, sanggupkah kita taat? Ataukah kita beradu argumentasi dengan-Nya bahwa tempat pelayanan kita dahulu adalah tempat pelayanan di mana kita bisa melayani Tuhan dengan lebih dahsyat? Tuhan tidak menunggu seberapa hebat kita beradu argumentasi dengan-Nya, tetapi Ia menuntut kita TAAT mutlak di dalam setiap pelayanan yang Ia telah percayakan kepada kita. Ia yang memungkinkan kita dapat dan layak melayani-Nya, sudah seharusnya kita sebagai budak-Nya TAAT mutlak kepada Tuhan yang memberikan kelayakan kepada kita untuk melayani-Nya. Relakah kita TAAT?


Pimpinan Tuhan bagi Paulus untuk mengunjungi Roma membuat Paulus bersikeras memakai segala cara untuk bertemu dengan mereka. Ia berjanji untuk mengunjungi Roma. Hal ini dikatakannya di ayat 24, “aku harap dalam perjalananku ke Spanyol aku dapat singgah di tempatmu dan bertemu dengan kamu, sehingga kamu dapat mengantarkan aku ke sana, setelah aku seketika menikmati pertemuan dengan kamu.” Jika kita bandingkan terjemahan yang kurang enak dibaca ini dengan terjemahan Inggris, kita mendapatkan pengertian yang lebih jelas. Di ayat ini, maksud Paulus adalah ia hendak pergi ke Spanyol, tetapi sebelum ke Spanyol, ia menyempatkan dirinya untuk mengunjungi jemaat Roma dan bertemu dengan mereka sehingga mereka dapat menemaninya ke Spanyol. Albert Barnes di dalam tafsirannya Albert Barnes’ Notes on the Bible memberikan keterangan mengenai ayat ini. Barnes mengatakan bahwa daerah Spanyol zaman Paulus meliputi gabungan Kerajaan-kerajaan modern dari Spanyol dan Portugal yang kemudian tunduk di bawah kekuasaan Roma. Oleh karena itu, ketika ia hendak ke Spanyol, ia mampir bertemu dengan jemaat di Roma sekaligus untuk menemani Paulus ke Spanyol yang waktu itu berada di bawah kekuasaan Roma. Paulus tidak bermaksud menjadikan jemaat Roma sebagai teman mengobrol dan mengantarkannya ke Spanyol. Inti ayat ini sebenarnya adalah ia sangat rindu mengunjungi jemaat di Roma dan ingin berbagi berkat dengan mereka, sehingga ia mau jemaat Roma menemaninya ke Spanyol. Itulah yang bisa membuat Paulus senang. Lebih lanjut, Barnes mengatakan bahwa ia ragu apakah Paulus akan menyelesaikan perjalanannya ke Spanyol. Mengapa? Karena setelah penangkapannya pada waktu Paulus dibawa menghadap Nero, ia tinggal di Spanyol hanya 2 tahun. Keinginannya untuk mengunjungi jemaat Roma begitu besar, sehingga ia rela singgah di Roma sebelum melanjutkan perjalanannya lagi. Pimpinan Tuhan mengakibatkan kita berapi-api mengerjakannya, seperti yang Paulus lakukan ini. Tuhan menggerakkan dan memimpin Paulus mengunjungi jemaat Roma, oleh karena itu, ia sangat bersemangat. Bagaimana dengan kita? Ketika Ia memimpin kita, Ia memberikan api kuasa Roh Kudus kepada kita di dalam melayani-Nya. Ketika api itu kita rasakan, kita harus bersemangat melayani-Nya di tempat yang Ia pimpin. Para nabi dan rasul Tuhan di Alkitab sudah mengalami, sekarang giliran kita, alami api kuasa Roh Kudus yang membakar hati dan semangat kita di dalam melayani-Nya.


Setelah kita belajar tentang pelayanan yang berpusatkan pada kehendak Allah, bagaimana reaksi kita? Taat ataukah membandel? Tuhan ingin kita melayani-Nya dengan kesungguhan dan kemurnian hati sebagai respons terhadap anugerah yang telah Ia berikan. Biarlah Roh Kudus terus membakar hati kita di dalam melayani-Nya. Amin. Soli Deo Gloria.

Matius 15:29-39: LORDSHIP AND COMPASSION (Pdt. Sutjipto Subeno, M.Div.)

Ringkasan Khotbah: 07 Oktober 2007


Lordship & Compassion

oleh: Pdt. Sutjipto Subeno, M.Div.


Nats: Matius 15:29-39


Tema utama Injil Matius adalah the Lordship of Christ, Kristus adalah Tuan atas segala tuan dan kita hanyalah budak. Seorang budak harus taat mutlak, tidak punya hak apapun atas diri, yang ada hanyalah kewajiban. Manusia berdosa tidak suka menjadikan Kristus sebagai Tuan atas seluruh aspek hidupnya, karena mereka ingin menjadi “tuhan.“ Matius telah membukakan pada kita dua macam orang yang sangat kontras, yakni: 1) orang Farisi yang dianggap saleh dan religius ketika bertemu dengan Tuhan malah mau mengatur bahkan melawan Tuhan. Inilah kerusakan religiusitas. Keagamaan semu hanya memanipulasi Tuhan dan menjadikan Tuhan sebagai alat untuk memenuhi keinginannya, 2) seorang perempuan Kanaan kafir, kaum marginal yang disisihkan oleh dunia namun Tuhan Yesus justru memuji dia karena ia memiliki iman yang besar (Mat. 15:28).
Hari ini banyak orang yang mengaku Kristus sebagai Tuhan namun sekedar di mulut saja sebab realitanya, orang memanipulasi Kristus demi keuntungan diri. Seorang anak Tuhan sejati harusnya menyangkal diri, memikul salib dan mengikut Aku. Inilah iman sejati – rela menanggalkan keinginan diri bahkan menderita bagi Sang Tuan dan taat mutlak padaNya. Namun tidak banyak orang yang mau melakukannya, orang hanya ingin memanipulasi Tuhan, ingin berkat saja. Iman sejati tidak tergantung status sosial, kedudukan atau status religiusitas dari manusia. Muncul pandangan yang salah tentang siapakah manusia, yakni: 1) dunia yang hedonis berpandangan manusia tergantung dari apa yang ia makan, 2) manusia tergantung dari apa yang ia kerjakan atau lakukan, 3) pandangan yang paling tinggi adalah manusia tergantung dari apa yang ia pikirkan. Ketiga pandangan itu tidaklah sebanding dengan pengajaran Kekristenan, ykani manusia dikatakan sebagai manusia ketika ia tahu bagaimana bereaksi dan bertindak dengan tepat di hadapan Tuhan. Inilah inti dari iman sejati. Pertanyaan sekaligus menjadi evaluasi bagi setiap kita yang mengaku Kristen adalah sudahkah kita men-Tuhankan Kristus dalam seluruh hidup kita?
Hari ini kita akan merenungkan bagian akhir yang menjadi kesimpulan dari injil Matius 15:29-39. Sepintas kedua perikop ini tidak saling berkaitan, LAI (Lembaga Alkitab Indonesia) memecahnya menjadi dua bagian yang berbeda. Kedua perikop ini saling berkaitan erat. Kedua peristiwa itu, yakni peristiwa dimana Tuhan Yesus menyembuhkan orang lumpuh, timpang dan berbagai penyakit lain dengan Tuhan Yesus membuat mujizat memberi makan ribuan orang itu terjadi pada satu tempat yang sama. Setelah perdebatan sengit yang terjadi antara orang Farisi dan Tuhan Yesus maka untuk sementara waktu, Tuhan Yesus menyingkir ke daerah utara, Tyrus dan Sidon, dari sana Tuhan Yesus menyusur kembali lagi Galilea dan Ia berada di ujung sebelah utara danau Galilea. Ia pun mulai mengajar dan ribuan orang datang untuk minta disembuhkan. Dan dari sana, ia ke Magadan, satu wilayah dengan pantai Galilea. Jadi semua tempat itu jelaslah masih berada dalam satu wilayah yang sama. Adalah tafsiran yang salah kalau orang mengatakan bahwa Yesus pergi ke utara untuk bersembunyi dari orang-orang Farisi. Kalau Tuhan Yesus sembunyi, lalu kenapa 4000 orang bisa menemukan Tuhan Yesus untuk minta disembuhkan.
Perjumpaannya dengan Tuhan Yesus menyadarkannya akan hal yang esensi, yakni iman sejati. Dan setelah anak perempuan itu sembuh yang terjadi adalah orang banyak datang kepada Yesus dan membawa orang sakit untuk disembuhkan oleh-Nya. Mereka datang kepada Tuhan Yesus bukan karena iman perempuan Kanaan itu tetapi karena kesembuhan yang diterima oleh anak perempuan itu. Inilah jiwa manusia berdosa. Alkitab mencatat ada empat macam penyakit yang dikategorikan sebagai recreated atau tindakan penciptaan kembali. Mujizat orang buta melihat dan orang bisu disembuhkan tidak pernah ada dalam PL sebelumnya dan hal itu membuktikan Yesus adalah Mesias. Timpang dan lumpuh merupakan dua penyakit yang tidak bisa diselesaikan dengan mujizat biasa. Orang yang lumpuh kakinya pasti mengecil karena lama tidak pernah dipergunakan sebagaimana mestinya maka untuk mendapat kesembuhan berarti kakinya harus dipulihkan, kembali seperti asal. Hari ini kita menjumpai orang lumpuh berjalan namun semua itu hanyalah impulse sesaat sebab beberapa hari kemudian, ia kembali menjadi lumpuh. Recreation activity membuktikan satu hal yakni Kristus adalah Allah atas alam semesta. Demikian juga halnya dengan orang timpang, timpang berarti kakinya tidak sama panjang maka orang timpang yang disembuhkan berarti kedua kakinya harus sama panjang dan itu berarti, ia harus mengalami recreation. Dan hal ini tidak mungkin dikerjakan oleh manusia itulah sebabnya orang menjadi takjub dan memuliakan Allah Israel. Hanya Tuhan Yesus yang mampu melakukannya karena Ia adalah dasar dari segala ciptaan (Yoh. 1:3). Firman adalah pencipta dan Firman menghasilkan ciptaan dan ciptaan itu adalah kehidupan. Iblis bisa melakukan apa saja yang sepertinya mirip Tuhan namun satu hal yang membedakan adalah iblis tidak dapat menjadikan sesuatu yang mati menjadi hidup atau menciptakan benda yang tidak ada menjadi ada. Iblis hanya bisa membuat benda yang hidup menjadi mati. Kalau kita mau mencoba memilah bagian demi bagian dari sel tubuh kita dan kemudian kita gabungkannya kembali bisakah kita membuatnya hidup? Tidak! Manusia hanya bisa mematikan yang hidup bukan sebaliknya. Hak menghidupkan hanya ada dalam Kristus. Kristus adalah Tuhan berkuasa atas alam semesta. Sangatlah disayangkan, hari ini orang hanya menangkap sebagian ayat tanpa melihat secara keseluruhan. Maka tidaklah heran kalau orang hanya ingin kesembuhan dan cukup hanya dengan berkata “Puji Tuhan.“ Mereka hanya mendapatkan kegirangan sesaat, euforia tetapi di sisi lain, mereka kehilangan inti iman sejati. Melihat orang banyak itu kegirangan, Tuhan Yesus tidak ikut merasa senang tetapi Tuhan Yesus melakukan semua itu karena Ia tergerak oleh belas kasihan. Matius sangat unik mengkontraskan kedua hal ini, bagaimana men-Tuhankan Kristus? Men-Tuhankan Kristus berarti kita mengenal dan memahami siapakah Kristus dan bagaimana kita bereaksi terhadap Kristus:
1. Kristus adalah Tuhan Alam Semesta
Kristus adalah pencipta seluruh alam semesta harusnya menjadikan kita mengerti siapakah Kristus tetapi celakanya, orang tidak pernah berpikir untuk kepentingan Kristus tetapi hanya berpikir untuk kepentingan diri sendiri. Sadarlah, kita bukanlah siapa-siapa di hadapan Tuhan karena itu kita harus taat mutlak pada Dia yang adalah Allah sejati. Kita harus memutar arah dan berbalik pada Kristus karena Dia adalah Allah sejati. Orang banyak berkonsep tentang Tuhan namun semua itu hanya sekedar konsep yang sifatnya teori. Kristus telah membuktikan diri-Nya adalah Allah sejati. Kristus melihat orang begitu egois hanya ingin menarik keuntungan dari-Nya namun apa yang Ia lakukan tidak pernah bergantung pada reaksi manusia. Allah sejati adalah Allah yang beraksi. Kalau Tuhan bergantung pada reaksi manusia maka Dia bukan Allah sejati, Dia tidak lebih pembantu kita. Allah sejati tidak pernah merasa terganggu oleh ulah reaksi manusia. Tindakan Allah tidak tergantung dari manusianya. Bayangkan, kalau Tuhan bertindak tergantung dari reaksi manusia, setiap saat “allah“ pasti berulang kali dikejutkan oleh perbuatan kita. Kristus adalah Allah sejati maka kita harus taat mutlak pada-Nya. Kalau kita tidak mengerti konsep ini maka janganlah pernah terpikir bahwa kita adalah orang beragama dan kita sedang beriman. Tidak! Kita sedang mempermainkan iman. He is the true Lord. Tuhan Yesus tahu kalau tidak lama lagi mereka akan berteriak untuk menyalibkan Dia. Kalau Tuhan Yesus mau menyembuhkan mereka dan memberi mereka makan itu bukan demi mereka sendiri tetapi demi kemuliaan-Nya.
2. Memiliki hati Kristus
Orang tidak mau kembali pada Allah sejati karena orang telah kehilangan rasa percaya, trust bahkan celakanya, manusia telah kehilangan rasa belas kasihan, compassion. Tuhan Yesus telah memberikan teladan indah pada kita, Ia melakukan semua mujizat itu karena tergerak oleh belas kasihan. Hari ini sangat jarang orang yang punya rasa belas kasihan, semua yang mereka kerjakan demi keuntungan diri. Pernahkah kita tergerak oleh rasa belas kasihan ketika melihat jiwa-jiwa yang terhilang? Kalau kita tidak punya hati yang berbelas kasih jangan pernah berpikir kita dapat menginjili orang lain. Ketika manusia begitu egois justru saat itu Tuhan mendemostrasikan bagaimana hati yang berbelas kasih (Mat. 15:32). Yang menjadi pertanyaan adalah siapakah yang seharusnya patut dikasihani, Tuhan Yesus ataukah orang banyak itu? Mereka hanya duduk dan mendengar pengajaran Yesus, mereka mendapat kesembuhan sebaliknya Tuhan Yesus mengajar dan berbicara selama 3 hari, Ia juga menyembuhkan ribuan orang. Manakah yang seharusnya lebih layak dikasihani? Mereka tidak pernah peduli apakah Tuhan Yesus lapar atau letih. Tidak! Mereka hanya mementingkan diri sendiri.
Alkitab mencatat ada beberapa roti dan ikan namun mereka tidak pernah mempedulikan keadaan Tuhan Yesus yang letih setelah mengajar selama 3 hari berturut-turut, mereka hanya ingin dikenyangkan. Inilah jiwa manusia berdosa bahkan sampai hari ini kita manusia tidak berubah , orang tidak pernah bertanya apa yang menjadi kehendak Tuhan dan apa yang menjadi keinginan hati Tuhan. Tidak! Orang hanya peduli dirinya sendiri dan ironisnya, ketika Tuhan tidak menuruti keinginan mereka, orang langsung mengatakan Tuhan jahat. Tuhan adalah Tuhan yang penuh berbelas kasih, Dia tahu apa yang terbaik untuk kita tetapi apa balasan kita? Tuhan tahu setiap pergumulan kita dibandingkan kita mengerti pergumulan diri kita sendiri. Kita tidak pernah percaya pada-Nya, manusia yang sok tahu ingin mengatur diri sendiri dan merasa lebih baik dari Tuhan. Manusia telah kehilangan rasa kepercayaan. Manusia berdosa yang jahat selalu bertindak dengan semena-mena maka konsep yang sama dikenakan pada Tuhan. Manusia berdosa begitu kejam sebagai tuan di dunia maka orang beranggapan Tuhan pun sama seperti dirinya yang kejam. Kita mempolakan Tuhan seperti halnya diri kita. Inilah jiwa manusia berdosa yang manipulatif yang begitu jahat, tidak pernah punya rasa belas kasihan. Kita hanya ingin Tuhan melakukan apa yang kita suka. Inilah cara manusia mengukur kebaikan dan belas kasihan Tuhan. Hendaklah kita mengevaluasi diri apakah kita mempunyai hati yang berbelas kasihan seperti halnya Tuhan yang berbelas kasih? Sangatlah mengenaskan, di tengah-tengah Kekristenan kita menjumpai seorang yang mengaku “Kristen” tetapi perbuatannya yang berbisnis multi level marketing tidak lebih memancarkan seperti iblis yang tidak punya hati belas kasihan bahkan mencelakakan orang lain demi mendapatkan keuntungan. Celakanya, orang berani mengklaim hal itu sebagai konsep yang diajarkan Tuhan Yesus. Tidak! Tuhan Yesus yang berada di posisi atas justru yang paling menderita, Ia berkorban demi kita. Kristus yang paling atas justru melayani mereka yang berada di bawah. Sebaliknya, cara dunia berbeda justru yang paling atas itulah yang diuntungkan paling banyak dan mereka yang berada di posisi paling bawah justru paling menderita. Celakanya, ketika ditegur dan disadarkan akan kesalahannya, ia tidak berterima kasih dan kembali pada Allah sejati tetapi malah berbalik melawan. Jangan pernah berpikir bahwa Tuhan membutuhkan kita karena kita merasa diri pandai, kaya, cakap. Tidak! Tuhan hanya butuh orang-orang yang remuk hatinya, orang yang mau menyangkal diri, memikul salib dan mengikut Dia. Inilah iman sejati.
Iman sejati itulah yang menghidupkan kita dan merombak seluruh kehidupan kita; iman sejati itulah yang menjadikan kita memandang pada Kristus, peka isi hati Tuhan; apa yang Tuhan inginkan itulah yang kita kerjakan, apa yang membuat Tuhan sedih, kita turut bersedih dan apa yang Tuhan suka itulah yang membuat kita bergirang. Pertanyaan sekaligus menjadi evaluasi bagi kita sudahkah kita mempunyai hati yang berbelas kasih seperti Kristus? Ataukah sebaliknya, apa yang menjadikan Tuhan sedih justru kita merasa senang dan hal-hal yang Tuhan suka, kita justru marah, kita menjadi pemberontak. Lordship of Christ berarti melihat Kristus sebagai Tuhan. Janganlah kita seperti orang Israel yang bergirang karena euforia sesaat tetapi kehilangan esensi iman sejati.
3. Hidup penuh dengan ucapan syukur
Setelah mereka mendapatkan mujizat yang demikian dahsyat, mereka memuji Tuhan namun perhatikan tidak ada rasa ucapan syukur. Alkitab mencatat banyak orang sudah mendapatkan banyak berkat tetapi mereka tidak kembali untuk mengucap syukur pada Tuhan. Orang semakin egois maka orang merasakan kalau semua berkat yang mereka dapat itu sebagai hak dan sebaliknya, kalau mereka mendapat tantangan dan hambatan maka orang mengatai Tuhan itu jahat. Betapa kasihan, orang yang demikian ini hidupnya akan diliputi dengan kekecewaan terus menerus, ia tidak pernah melihat anugerah Tuhan yang penuh melimpah atas hidupnya, ia tidak pernah mengucap syukur. Sadarkah kita betapa besar anugerah Tuhan kalau hari ini kita masih bisa bernafas sampai suatu hari kalau kita tidak dapat bernafas barulah kita menyadari betapa limpah anugerah Tuhan atas hidup kita.
Semasa hidupnya, Pdt. Amin Tjung telah memberikan teladan indah bagi kita bahkan di detik-detik akhir hidupnya, ia masih mempunyai hati yang berbelas kasih pada jiwa-jiwa yang tersesat. Bagaimana dengan hidup kita? Sudahkah kita memiliki hati yang berbelas kasih melihat jiwa-jiwa yang tersesat? Sudahkah kita mensyukuri anugerah Tuhan yang berlimpah atas hidup kita? Celaka, manusia berdosa selalu menyalahkan Tuhan ketika hidupnya menderita dan tantangan itu datang atas kita. Sadarkah manusia, kalau Tuhan tidak ada justru hidup kita akan celaka. Bayangkan, kalau tidak ada Tuhan, seluruh dunia penuh dengan anak-anak iblis yang seluruh pola pikirnya jahat, masihkan kita bisa hidup damai di dunia? Hendaklah kita selalu bersyukur di sepanjang hidup kita, betapa besar dan limpahnya berkat Tuhan atas hidup kita. Banyak hal yang patut kita syukuri atas segala pemberian Tuhan atas hidup kita dan lihatlah bagaimana Tuhan bekerja atas hidup kita. Sungguh ajaib dan dahsyat Tuhan bekerja atas hidup kita. Dia tahu yang terbaik untuk kita, Dia tahu setiap detail untuk anak-anak-Nya. Biarkan Dia yang menata hidup kita, makin kita bersyukur dan bersandar pada-Nya maka hidup itu akan terasa indah.
Ketuhanan Kristus bukanlah bersifat diktator yang jahat. Dia bukanlah Tuan yang jahat. Alkitab berulang kali menegaskan bahwa Tuhan tidak pernah menentang perbudakan bahkan Tuhan sangat mendukung konsep perbudakan. Sebaliknya, Tuhan benci tuan yang jahat karena hal itu sama dengan mencoreng nama Tuhan sebab Tuhan adalah Tuan yang baik. Perbudakan menyadarkan keberadaan kita yang hanyalah seorang budak dan seorang budak yang baik melakukan segala sesuatu untuk Tuannya meskipun sang tuan tidak ada di depannya (Kol. 3:23). Hendaklah kita bertobat dan kembali pada Tuhan yang sejati, Tuhan yang berbelas kasih dan hidup penuh dengan ucapan syukur. Amin.

(Ringkasan khotbah ini belum diperiksa oleh pengkhotbah)

Sumber:

http://www.grii-andhika.org/ringkasan_kotbah/2007/20071007.htm

07 June 2009

Roma 15:20-21: KONSEP PELAYANAN SEJATI-3: Pemberitaan Injil dan Sentralitas Kristus

Seri Eksposisi Surat Roma:
Penutup-3


Konsep Pelayanan Sejati-3: Pemberitaan Injil dan Sentralitas Kristus

oleh: Denny Teguh Sutandio



Nats: Roma 15:20-21



Konsep pelayanan yang kedua dari Paulus adalah pelayanan sejati adalah pelayanan yang berpusat kepada Kristus melalui pemberitaan Injil yang ia lakukan. Hal ini dipaparkan Paulus di ayat 20 s/d 21.


Selain oleh kuasa Roh Kudus, Paulus tetap memberitakan Injil dengan berfokus kepada Kristus sebagai inti berita utama Injil. Di ayat 20, ia mengatakan hal ini, “Dan dalam pemberitaan itu aku menganggap sebagai kehormatanku, bahwa aku tidak melakukannya di tempat-tempat, di mana nama Kristus telah dikenal orang, supaya aku jangan membangun di atas dasar, yang telah diletakkan orang lain,” Mungkin jika kita membaca terjemahan bahasa Indonesia, kita akan kebingungan dengan struktur kalimat dan artinya. Ada baiknya kita membaca terjemahan bahasa Inggris. International Standard Version (ISV) menerjemahkannya, “My one ambition is to proclaim the gospel where the name of Christ is not known, lest I build on someone else's foundation.” (satu ambisiku adalah untuk memberitakan Injil di mana nama Kristus tidak/belum dikenal, supaya aku jangan membangun di atas dasar orang lain) Di ayat ini, Paulus hendak mengajar kita beberapa hal penting tentang pelayanan penginjilan yang ia lakukan:
Pertama, Paulus berambisi memberitakan Injil. Di dalam bahasa Yunani, kata ini adalah philotimeomai yang bisa diterjemahkan strive (berusaha keras) atau bisa diterjemahkan kehormatan. Ia bukan hanya bergantung pada kuasa Roh Kudus di dalam pelayanannya, ia sendiri berusaha keras memberitakan Injil. Atau dengan kata lain ia berambisi memberitakan Injil. Luar biasa, ia “BERAMBISI” memberitakan Injil. Dunia kita adalah dunia postmodern yang sarat dengan semangat relativisme, humanisme, dan pragmatisme. Tidak heran yang didengungkan adalah kemauan dan kehebatan diri atau menggunakan istilah kerennya “AMBISI.” Ambisi menjadi tren dan gaya hidup zaman kita, bahkan beberapa (atau bahkan banyak?) orang Kristen pun sudah mulai diracuni dengan gaya hidup ini. Mereka suka berambisi melakukan apa pun demi kepuasan diri, meskipun secara KTP, mereka mengaku diri “Kristen.” Tetapi herannya, kalau untuk pekerjaan Tuhan, mereka malas bahkan tidak berambisi sama sekali. Mengapa? Karena ambisinya sudah diserahkan untuk hal-hal yang sementara. Patutkah mereka disebut “Kristen”? TIDAK! Mereka secara KTP mengaku diri “Kristen”, tetapi secara esensi dan hati, mereka tidak ada bedanya dengan orang dunia yang berambisi melakukan apa yang mereka sukai. Berbeda dari konsep manusia postmodern, Paulus yang meneladani Kristus TIDAK pernah berambisi memperluas kerajaan atau pengaruhnya, tetapi berambisi memberitakan Injil. Di dalam penginjilan, ia mengutamakan berita tentang Kristus (hanya Kristus/Solus Christus). Inilah jiwa seorang hamba Tuhan sejati. Hamba Tuhan sejati TIDAK berambisi memperluas gerejanya dengan alasan pertumbuhan gereja (church growth) tetapi dengan pengajaran yang sembrono dan tidak berdasar. Hamba Tuhan sejati TIDAK berambisi mengeduk keuntungan pribadi dari jemaat dengan memanipulasi berita di mimbar. Hamba Tuhan sejati TIDAK berambisi menyamarkan (atau menghilangkan) inti berita Injil, lalu mengatakan bahwa semua agama itu sama. Hamba Tuhan sejati HARUS memiliki AMBISI yang kudus yang berpusat kepada Allah dan pekerjaan-Nya, yaitu pemberitaan Injil. Bagaimana dengan kita yang melayani Tuhan di rumah Tuhan? Sudahkah kita memiliki ambisi memberitakan Injil? Sungguh ironis jika ada hamba Tuhan yang tidak berambisi untuk memberitakan Injil, tetapi berambisi untuk hal-hal duniawi? Marilah kita bertobat dan kembalilah kepada Kristus dan panggilan kita mula-mula sebagai hamba-Nya yang setia!

Kedua, Paulus berambisi memberitakan Injil di tempat di mana Kristus belum diberitakan. Paulus bukan hanya berambisi memberitakan Injil, tetapi ia berambisi memberitakan Injil di tempat di mana Kristus belum diberitakan. Apa signifikansi tambahan “di tempat di mana Kristus belum diberitakan”? Apa alasannya? Pada kalimat berikutnya, ia mengatakan alasannya yaitu agar dia tidak membangun di atas dasar yang telah diletakkan orang lain. Orang lain di dalam ayat ini berarti para rasul Kristus lain yang telah memberitakan Injil di suatu daerah. Misalnya, Petrus sudah memberitakan Injil di X, maka Paulus TIDAK akan memberitakan Injil di kota X itu, tetapi dia akan menginjili di daerah Y. Mengapa? Karena ia tidak mau membangun di atas dasar yang telah diletakkan orang lain. Dengan kata lain, yang menjadi ambisinya di dalam pelayanan penginjilan adalah Kristus saja, bukan diri dan pengaruhnya. Di dalam pelayanan penginjilan yang kita lakukan, siapa yang paling kita banggakan? Kristus atau diri kita? Berapa banyak kita yang memberitakan Injil, yang kita banggakan justru kita yang pintar beradu argumentasi dan logika dengan orang yang kita injili, tetapi tidak pernah membawa mereka kepada Kristus? Kita mengatakan bahwa kita memberitakan Injil, tetapi yang kita terus-menerus beritakan adalah kesaksian dan kehebatan kita. Itu bukan penginjilan! Sudah saatnya, orang Kristen dan hamba Tuhan sejati memberitakan Injil dengan berpusat kepada Kristus, bukan kehebatan diri dan pengaruh yang meluas. Jika Tuhan memberkati pelayanan kita melalui jangkauan pelayanan kita yang luas, itu adalah anugerah Tuhan dan jangan pernah membanggakan diri, serta jangan merebut kemuliaan Tuhan! Teladanilah Paulus (bdk. 2Kor. 10:15-16).


Apa yang mendasari Paulus memiliki ambisi memberitakan Injil? Dorongan orang lain atau keuntungan pribadi? TIDAK! Ia berambisi memberitakan Injil didasari oleh kasih kepada manusia berdosa yang belum mendengar Injil. Hal ini dipaparkannya di dalam ayat 21, “tetapi sesuai dengan yang ada tertulis: "Mereka, yang belum pernah menerima berita tentang Dia, akan melihat Dia, dan mereka, yang tidak pernah mendengarnya, akan mengertinya."” Ayat ini dikutip dari Yesaya 52:15 yang menunjuk kepada penggenapannya di dalam Kristus. Kasih bagi manusia berdosa yang belum mendengar Injil inilah yang mendorongnya memberitakan Injil bukan hanya untuk orang Yahudi, tetapi untuk orang-orang non-Yahudi. Orang-orang Yahudi ini disebut Paulus sebagai orang yang belum pernah menerima berita tentang Kristus dan tidak pernah mendengarnya. Kepada orang-orang inilah, ia memberitakan Injil, untuk apa? Agar mereka yang belum pernah menerima berita tentang Kristus dapat melihat Dia. “Melihat” di sini bukan secara harfiah, tetapi secara rohani. Meskipun orang-orang non-Yahudi belum pernah menerima berita tentang Kristus, tetapi setidaknya di Injil disebutkan bahwa ada salah seorang perwira Romawi yang datang kepada Kristus untuk meminta agar hambanya disembuhkan. (Mat. 8:5) Seperti Kristus telah menjangkau orang non-Yahudi, Paulus pun juga terbeban menjangkau lebih banyak orang non-Yahudi demi Injil Kristus. Oleh karena itu, ia mau agar mereka yang belum pernah menerima berita tentang Kristus, akan melihat-Nya secara rohani. Kedua, ia juga terbeban membawa orang-orang non-Yahudi yang tidak pernah mendengarnya akan mengerti Injil Kristus. Paulus tidak ingin orang-orang non-Yahudi hanya melihat Dia secara rohani, tetapi juga mendengar Injil dan mengertinya. Mengapa kata “mengerti” ini menjadi signifikan? Karena kata ini dikenakan pada orang-orang non-Yahudi (khususnya Yunani) yang menekankan pentingnya logika. Kekristenan dan pemberitaan Injil bukan hanya memberitakan Injil Kristus saja, tetapi juga menantang logika orang yang diinjili agar pikiran mereka ditundukkan di bawah Kristus. Sayang sekali, penginjilan zaman sekarang adalah penginjilan yang dangkal yang tidak sanggup menaklukkan pikiran orang-orang pandai di bawah Kristus dengan bahasa yang sederhana namun mendalam. Hamba-Nya yang setia, Pdt. Dr. Stephen Tong telah, sedang, dan akan melakukan hal ini di dalam setiap kebaktian penginjilan yang beliau adakan. Tujuannya agar Injil Kristus jangan dihina oleh para intelektual sebagai sesuatu yang dangkal. Paulus sudah membuktikan bahwa Injil juga mampu menguasai dan menaklukkan pikiran manusia yang paling pintar. Bagaimana dengan kita? Sudahkah kita terbeban memberitakan Injil kepada guru, dosen, profesor, dan para intelektual lainnya? Sebagaimana Tuhan telah memakai Paulus, Agustinus, Dr. Martin Luther, Dr. John Calvin, Pdt. Dr. Stephen Tong, dll untuk memberitakan Injil yang menaklukkan rasio manusia berdosa di bawah Kristus, Allah yang sama yang mengutus mereka juga mengutus kita untuk menunaikan mandat Injil yang sama, siapkah kita?


Biarlah perenungan dua ayat yang singkat ini mendorong dan membakar semangat Anda dalam memberitakan Injil Kristus. Amin. Soli Deo Gloria.

Matius 15:21-28: THE GREAT FAITH (Pdt. Sutjipto Subeno, M.Div.)

Ringkasan Khotbah: 30 September 2007

The Great Faith
oleh: Pdt. Sutjipto Subeno, M.Div.

Nats: Matius 15:21-28



Tema utama dari Injil Matius pasalnya yang ke-15 ialah the Lordship of Christ. Iman sejati harus kembali pada obyek sejati, yaitu Kristus Tuhan. Kristus haruslah menjadi yang pertama dan terutama; Dia harus menjadi Tuan di atas segala tuan dalam seluruh aspek hidup kita. Tentu saja, hal ini menimbulkan konflik di tengah orang Farisi yang katanya ”orang beragama dan saleh” namun sesungguhnya, mereka tidak lebih hanyalah orang munafik. Tuhan Yesus menegur mereka dengan keras akan konsep pemikiran mereka namun ironis, para murid malah melihat kebenaran sejati sebagai batu sandungan. Para murid tidak melihat signifikansi kebenaran sejati tetapi pemikiran mereka justru tidak ubahnya dengan pemikiran orang berdosa. Inilah sifat manusia berdosa, merasa senasib sepenanggungan sebagai sesama orang berdosa.
Kesalehan yang diperlihatkan oleh orang Farisi tidak lebih hanyalah kepalsuan belaka. Kebenaran sejati yang dibukakan tidak menjadikan mereka bertobat, mereka malah berbalik melawan Tuhan Yesus. Religiusitas tidak menjadikan orang makin beriman tetapi orang malah menjadi sombong dan jahat. Agama sejati seharusnya merubah seseorang kembali pada Tuhan namun, orang justru menjadi marah ketika ditegur akan dosanya. Sesungguhnya, penyebab kemarahan itu karena ego yang terganggu, kenyamanan yang terusik atau diri dirugikan. Orang yang marah karena dirinya yang terusik menunjukkan betapa kerdil orang tersebut, small man. Tuhan Yesus tidak pernah marah ketika diri-Nya dihinakan atau dirugikan sebaliknya, Tuhan Yesus marah ketika kebenaran dipermainkan, nama Allah dilecehkan, rumah Bapa-Nya dilecehkan dan keadilan diinjak-injak. Inilah kemarahan yang suci. Di dunia ini tidak banyak orang yang mempunyai keanggunan dan keagungan seperti Tuhan Yesus. Orang Farisi yang katanya orang rohani tetapi realita membuktikan, mereka tidak lebih hanyalah orang kerdil. Jelaslah, iman sejati membentuk karakter sejati; iman sejati menghasilkan suatu respon yang berbeda.
Injil Matius mengontraskan dua macam orang yang katanya beriman tetapi memiliki respon yang berbeda. Di satu sisi, orang Farisi, seorang pemimpin agama namun beriman palsu sedang di sisi lain ada seorang perempuan kafir dari Kanaan, kaum marginal yang direndahkan tetapi beriman sejati dan ia mendapat pujian dari Tuhan Yesus. Hanya dua orang kafir yang mendapat pujian dari Tuhan Yesus karena imannya, yakni perwira Roma dan perempuan Kanaan. Yang menjadi pertanyaan adalah apakah iman sejati?
Setelah berdebat panjang dengan orang Farisi, Tuhan Yesus pun menyingkir ke daerah Tirus dan Sidon, kurang lebih 30 km sebelah utara Galilea. Perjalanan yang ditempuh bukanlah perjalanan yang singkat mengingat hari itu, perjalanan dilakukan dengan berjalan kaki. Dan selama perjalanan, Matius mencatat ada satu peristiwa yang sangat dahsyat di tengah perjalanan yang dilakukan oleh Tuhan Yesus. Suatu peristiwa yang kontras dengan peristiwa sebelumnya yang membukakan konsep pemikiran manusia akan perbedaan antara orang beragama dengan orang kafir. Mereka memanipulasi Kristus untuk kepentingan diri berbeda halnya dengan iman yang ditunjukkan oleh perempuan Kanaan. Iman bukan memaksa Tuhan untuk menuruti apa yang menjadi keinginan kita. Iman bukanlah didasarkan pada adat istiadat atau tradisi atau filsafat dunia. Tidak! Iman adalah kembalinya kita pada Ketuhanan Kristus.
Umumnya orang berdosa, perempuan Kanaan ini datang kepada Tuhan Yesus untuk kepentingan diri, yakni ia ingin supaya Tuhan Yesus menyembuhkan anak perempuannya yang sedang kerasukan setan. Namun pertemuannya dengan Tuhan Yesus mengubah seluruh konsep berpikirnya, terjadi pergeseran iman yang sangat signifikan dari purpose bergeser menjadi being. Semula ia hanya melihat hal-hal yang sifatnya duniawi belaka namun setelah bertemu dengan Tuhan Yesus, ia tahu harus seperti apa dan bagaimana menjadi seperti apa yang Tuhan inginkan menjadi. Inilah konsep iman sejati. Iman sejati bukanlah pada tujuan, faith is for that purpose. Alkitab menegaskan faith is being not purpose. Banyak orang Kristen hari ini yang mau percaya Tuhan kalau tujuan yang ia inginkan tercapai seperti ingin kesembuhan, kaya, dan masih banyak lagi tujuan yang menjadi egois itu sampai akhir. Itu bukanlah iman sejati. Iman sejati berarti mengutamakan Kristus di dalam seluruh aspek hidupnya. Perempuan Kanaan ini di satu pihak mempunyai suatu kebutuhan, yakni anak perempuannya yang kerasukan setan disembuhkan tetapi di lain pihak, ia mempunyai hati yang siap untuk men-Tuhankan Kristus. Andaikata, perempuan ini tidak mempunyai hati itu maka di titik pertama seluruh kisah ini akan berubah menjadi tragedi yang mengenaskan; seorang anak tetap kerasukan dan menderita ditambah lagi dengan seorang ibu yang binasa karena ia menolak Kristus. Kisah ini bukanlah tentang seorang anak yang disembuhkan. Tidak! Tetapi tentang seorang yang beriman dan mempunyai kepercayaan kepada Kristus Yesus. Ketika perempuan ini memusatkan seluruh hidupnya kepada Tuhan, Kristus berada di titik ultimate, paling utama maka pada saat yang sama hidupnya berubah total. Faith is putting Christ in the first and ultimate position. Kalau ada orang yang mengatakan ia beriman tetapi tidak menjadikan Kristus di posisi utama berarti ia sedang memanipulasi Tuhan untuk kepentingan pribadinya. Perhatikan, Tuhan tidak akan peduli ketika kita hanya ingin mendapat keuntungan dari Dia dan pada saat itu, iblis akan mengambil keuntungan dan menawarkan jalan keluar pada kita yang sedang mengalami kesulitan dan penderitaan seperti yang ia pernah lakukan pada Tuhan Yesus sepertinya, iblis memberikan solusi yang begitu mudah, cepat dan legal namun semua itu akan berakhir dengan kebinasaan.
Ada beberapa aspek yang perlu kita perhatikan tentang iman sejati:
1. Mengakui Kristus sebagai Tuhan.
Iman sejati dimulai dengan suatu kerendahan hati dan kerelaan mengakui Kristus sebagai Tuan di atas segala tuan. Tidak banyak orang Israel yang memanggil Kristus sebagai Tuhan namun perempuan Kanaan ini sejak dari pertama, ia memanggil Yesus dengan sebutan Tuhan (Mat. 15:22). Adalah kegagalan iman kalau kita sebagai orang Kristen tidak menyadari siapakah Kristus yang adalah Tuan di dalam hidup kita, Dia adalah yang utama dalam seluruh aspek hidup kita. Hari ini banyak orang mengakui diri sebagai beriman tetapi semua itu tidak lebih hanya sekedar slogan sebab sesungguhnya, dibalik iman tersebut orang hanya ingin apa yang menjadi keinginannya saja. Iman sejati berarti hancurnya seluruh hati di titik yang paling rendah. Iman bukan menjadikan kita menjadi sombong, iman bukan pemaksaan tetapi iman adalah perendahan seluruh hidup kita di hadapan Tuhan. Konsep iman seperti ini tidak ada di seluruh agama di dunia, konsep ini hanya ada di Kekristenan. Iman sejati adalah merendahkan diri sampai di titik yang paling rendah demi supaya Kristus berkuasa atas hidup kita.
Perhatikan, perempuan Kanaan ini terus berteriak meminta tolong, dia tidak henti-henti mengikut Tuhan Yesus demi mendapatkan pertolongan dari Tuhan Yesus. Dan kalaupun Tuhan Yesus bertindak untuk menolong perempuan Kanaan tersebut, itu bukan karena Tuhan tergerak oleh semangat atau kegigihannya. Tidak! Alkitab mencatat Tuhan Yesus sama sekali tidak menggubris perempuan itu malahan para muridlah yang merasa terganggu. Para murid justru mau bertindak lebih cepat dari Tuhan. Inti permasalahan bukan terletak pada kegigihan atau semangat perempuan sebab apa gunanya kegigihan kalau apa yang kita perjuangkan tersebut salah. Ketika perempuan itu terus berteriak, Tuhan Yesus memberikan jawab: “Aku diutus hanya kepada dimba-domba yang hilang dari umat Israel.“ Dunia yang mendengar jawaban Tuhan Yesus pastilah sangat marah dan menganggap Tuhan Yesus sangat diskriminatif, rasis, dan anti kesamarataan. Orang akan pergi dari Tuhan Yesus dan selamanya ia akan binasa. Inilah manusia berdosa. Namun apa yang dilakukan perempuan Kanaan ini sungguh luar biasa meskipun ia “dikasari“ oleh Tuhan Yesus, ia tidak menjadi marah atau protes atau sakit hati sebaliknya ia malah merendahkan dirinya lebih rendah lagi. Inilah iman yang sejati.
2. Hati yang remuk di hadapan Tuhan
Perempuan ini datang kepada Tuhan Yesus dan menyembah; semakin dihina ia justru semakin merendah di hadapan Tuhan. Dia kembali memohon belas pengasihan Tuhan. Penghinaan itu belumlah cukup, kembali Tuhan mengeluarkan suatu kalimat yang bagi dunia sangatlah menyakitkan: “Tidak patut mengambil roti yang disediakan bagi anak-anak dan melemparkannya kepada anjing.“ Bagi dunia, istilah anjing ini pastilah sangatlah menyakitkan. Dan kalau kita yang berada di posisi perempuan tersebut masih bisakah kita beriman? Manusia harusnya sadar, inilah iman sejati. Kalau orang mau sombong, merasa diri hebat maka itulah titik kehancurannya. Tuhan Yesus menuntut hati yang hancur dan remuk di hadapan Tuhan. Kita melihat bagaimana reaksi perempuan ini, ia tidak protes atau meminta penjelasan pada Tuhan Yesus kenapa Tuhan mengatai dirinya sebagai anjing? Tidak! Bahkan dalam bagian ini, ia membenarkan pernyataan Tuhan Yesus: “Benar Tuhan, namun anjing itu makan remah-remah yang jatuh dari meja tuannya.“ Sungguh sangatlah mengharukan dan luar biasa iman perempuan ini, ia menurunkan posisinya di tempat yang paling rendah, ia tidak protes bahkan ia menyamakan dirinya seperti anjing.
Hari ini, kita tidak menjumpai iman sejati bahkan di tengah-tengah Kekristenan. Banyak orang mengaku beriman Kristen tetapi iman yang mereka miliki tidak lebih hanya iman palsu belaka. Bagaimana dengan sikap hidup kita? Ingat, kita hanyalah manusia rendah dan hina, kita bukanlah siapa-siapa, karena itu, kita hanyalah manusia hina, kita hanyalah sampah, kita tidak lebih seperti layaknya anjing karena itu, kita membutuhkan Tuhan Yesus untuk mengampuni dosa kita. Beriman berarti remuknya hati di hadapan Tuhan dan memohon Tuhan untuk membentuk diri kita. Tuhan ingin kita menjadi seperti tanah liat yang hancur lalu dibentuk menjadi ciptaan baru yang indah. Beriman berarti kerelaan hati untuk menundukkan diri di hadapan Tuhan.
Sayang, banyak orang yang tidak mengerti konsep ini, mereka merasa diri hebat dan mempunyai harga diri sehingga tidak mau tunduk dan diubahkan oleh Tuhan maka itu titik awal kehancurannya. Hal ini justru membuktikan bahwa ia tidak lebih hanyalah seorang yang hina, small man. Perempuan ini sadar betul siapa dirinya dan pada saat yang paling hancur, Tuhan Yesus mengangkat dia, Tuhan Yesus memuji dia dan berkata: “Hai ibu, besar imanmu, maka jadilah kepadamu seperti yang kau kehendaki.“ Terkadang, Tuhan memang sengaja menghancurkan kita di titik yang paling rendah dan setelah itu, Ia mengangkat kita namun manusia tidak menyadari akan hal ini, manusia hanya bisa protes dan marah kepada Tuhan; orang menuduh Tuhan tidak adil, jahat dan berbagai macam tuduhan yang lain.
Lihatlah, kisah tentang perempuan kafir yang dipuji oleh Tuhan Yesus karena imannya yang besar ini dicatat di Alkitab dan dibaca oleh seluruh orang di dunia di sepanjang jaman. Rendahkah dia sekarang? Justru ketika ia sadar, ia rendah maka itulah waktu-Nya Tuhan memberikan posisi yang layak untuknya. Inlah iman dan hidup di dalam Tuhan. Kita seringkali tidak mempunyai hati seperti perempuan ini tetapi kita seringkali sok beriman. Hendaklah kita mengevaluasi diri, benarkah kita memiliki iman sejati ataukah kita hanya beriman demi tujuan, purpose. Seandainya, perempuan ini tidak memiliki kerendahan hati yang demikian luar biasa maka kisah ini tidak lebih hanya menjadi sebuah tragedi yang menyedihkan, masih ada anak perempuan yang menderita karena dirasuk setan dan seorang ibu yang berakhir dengan kebinasaan.
3. Menjadi seperti apa yang Tuhan inginkan.
Tuhan merubah manusia di atas semua result yang pernah kita pikirkan. Perempuan ini datang kepada Tuhan Yesus hanya ingin supaya anak perempuannya disembuhkan tetapi Tuhan mengubahkan apa yang menjadi tujuannya. Tujuan itu tidaklah bernilai kekal sebab orang yang sakit disembuhkan maka suatu hari, ia akan sakit kembali, orang yang kaya suatu hari akan bangkrut maka semua hal yang sifatnya materi dan jasmani tidaklah bernilai kekal. Tuhan ingin memberikan kita lebih daripada sekedar sesuatu yang sifatnya sementara. Tuhan ingin memberikan pada kita hidup ynag bernilai kekal. Iman sejati berubah hidup yang tadinya purpose berubah menjadi being. Saat itulah perempuan ini diubahkan, tidak hanya kesembuhan yang diterima tetapi jiwanya diselamatkan.
Ibu dan anak ini kini mempunyai hidup yang bernilai karena iman sejati yang ditanamkan oleh Kristus Yesus. Iman sejati bukan sekedar mendapat apa yang menjadi keinginan kita tetapi iman sejati merubah seluruh hidup kita menjadi hidup yang bersandar dan taat mutlak dibentuk oleh Tuhan. Iman yang sejati adalah iman yang menggarap totalitas seluruh hidup kita dipimpin oleh Tuhan. Sebagai anak Tuhan sejati, hendaklah kita mempunyai sikap seorang hamba di hadapan Tuhan. Berbeda dengan dunia yang mengajar percaya maka engkau akan mendapat maka sebaliknya, Tuhan mengajarkan hal yang berbeda percaya adalah hancurnya hati kita dan berubahnya kita menjadi seperti apa yang Tuhan inginkan. Percaya bukan mendapat apa yang saya inginkan tetapi percaya mendapatkan apa yang Tuhan beri. Ini merupakan perubahan drastis konsep iman yang sejati.
Hendaklah hidup kita diubahkan menjadi seperti perempuan Kanaan bukan seperti orang Farisi yang sombong. Di hadapan Tuhan, kita tidak lebih hanyalah orang buangan, kita orang binasa tetapi dalam kondisi demikian, Tuhan ingin berubah hidp kita. Dia datang dari sorga mulia ke tengah dunia demi manusia berdosa seperti kita, Dia mau berubah hidup kita supaya kita kembali pada Kebenaran sejati; Dia mati demi supaya kita diselamatkan. Biarlah kita mengevaluasi diri, iman seperti apakah yang kita miliki? Sudahkah kita memiliki iman sejati? Sudahkah Kristus bertahta dan menjadi Tuhan dalam seluruh aspek hidup kita? Amin.

(Ringkasan khotbah ini belum diperiksa oleh pengkhotbah)



Sumber:
http://www.grii-andhika.org/ringkasan_kotbah/2007/20070930.htm