08 March 2009

Roma 13:12-14: UTANG KASIH-4: Kasih dan Kesucian Hidup

Seri Eksposisi Surat Roma:
Aplikasi Doktrin-13


Utang Kasih-4: Kasih dan Kesucian Hidup

oleh: Denny Teguh Sutandio



Nats: Roma 13:12-14.



Bagaimana wujud dari kita yang dibangunkan dari tidur (ay. 11)? Di ayat 12-14, Paulus menjabarkan wujudnya yaitu memelihara kesucian hidup. Seorang yang dibangunkan dari tidur adalah seorang yang berwaspada. Seorang yang berwaspada adalah seorang yang memelihara kesucian hidup. Di sini, Paulus menjabarkan bahwa kesucian hidup hanya didapat ketika seseorang mengenal kasih (ay. 8-10). Bagaimana cara memelihara kesucian hidup? Paulus menjabarkannya di dalam dua prinsip di ayat 12-14:
Pertama, secara negatif, kesucian hidup berarti menanggalkan kehidupan lama. Di ayat 12, Paulus menggambarkan poin ini dengan penjelasannya, “Hari sudah jauh malam, telah hampir siang. Sebab itu marilah kita menanggalkan perbuatan-perbuatan kegelapan dan mengenakan perlengkapan senjata terang!” Paulus menggambarkan kita yang harus menanggalkan kehidupan lama kita sebagai “hati sudah jauh malam.” “Hari sudah jauh malam,” kurang tepat terjemahannya. International Standard Version (ISV) menerjemahkannya, “The night is almost over,” New International Version (NIV) menerjemahkannya, “The night is nearly over,” Teks Yunaninya bisa diterjemahkan, “Malam (gelap) telah menjadi larut,” (Hasan Sutanto, 2003, Perjanjian Baru Interlinear, hlm. 868) Dari ketiga terjemahan ini, kita mendapatkan gambaran yang dipakai Paulus, yaitu malam sudah hampir berakhir/selesai dan siang hari sudah mulai mendekat, maka kita harus menanggalkan perbuatan-perbuatan kegelapan kita dan mengenakan perlengkapan senjata terang. Apa yang dimaksud Paulus dengan perbuatan-perbuatan kegelapan? Di ayat 13, ia memberikan jawabannya, “jangan dalam pesta pora dan kemabukan, jangan dalam percabulan dan hawa nafsu, jangan dalam perselisihan dan iri hati.” Di sini, ia membagi perbuatan kegelapan ke dalam dua hal, yaitu apa yang kelihatan (superficial) dan tidak kelihatan. Perbuatan kegelapan yang kelihatan adalah perbuatan yang dilihat jelas oleh mata, yaitu: pesta pora, kemabukan, percabulan, dan hawa nafsu; sedangkan perbuatan kegelapan yang tidak kelihatan yang dipaparkan Paulus adalah perselisihan dan iri hati. Dalam hal ini, Paulus tidak membedakan antara yang kelihatan dan tidak, semua itu dianggap sebagai perbuatan kegelapan. Bukan hanya itu saja, di bagian lain, Paulus menyebutkan perbuatan kegelapan secara lengkap sebagai perbuatan kedagingan, “Perbuatan daging telah nyata, yaitu: percabulan, kecemaran, hawa nafsu, penyembahan berhala, sihir, perseteruan, perselisihan, iri hati, amarah, kepentingan diri sendiri, percideraan, roh pemecah, kedengkian, kemabukan, pesta pora dan sebagainya. Terhadap semuanya itu kuperingatkan kamu--seperti yang telah kubuat dahulu--bahwa barangsiapa melakukan hal-hal yang demikian, ia tidak akan mendapat bagian dalam Kerajaan Allah.” (Gal. 5:19-21) Di bagian ini, ia lebih tajam lagi memasukkan semua unsur kejahatan baik kelihatan maupun tidak kelihatan dan unsur tersebut adalah perbuatan kedagingan yang dibenci Allah. Di sini, kita mendapatkan penjelasan bahwa di hadapan Allah, tidak ada dosa kecil atau besar, semua dosa itu sama. Dengan kata lain, tidaklah benar jika ada orang (bahkan “Kristen”) yang mengatakan bahwa dosa itu hanya sekadar membunuh, mencuri, mabuk-mabukan, dll. Pengertian dosa seperti itu adalah pengertian yang dangkal. Di pasal-pasal sebelumnya di Surat Roma, Paulus telah menjabarkan bahwa dosa secara hakikat bukanlah hal-hal yang kelihatan, tetapi dosa adalah hal esensial, yaitu pemberontakan kepada Allah. Ketika seseorang tidak mencuri, tidak berarti dia tidak berdosa. Mungkin dia tidak mencuri, tetapi dia memiliki keinginan untuk mencuri, keinginan itu pun termasuk dosa, karena keinginan lahir dari motivasi dan hati yang terdalam dan itulah yang Tuhan lihat dan hakimi.

Kembali, sehingga ketika Paulus memerintahkan kita untuk menanggalkan kehidupan yang lama kita berarti kita benar-benar tidak bersentuhan dan tidak melakukan lagi kehidupan lama kita, seperti ibarat yang Paulus berikan, yaitu malam itu sudah lalu/lewat, berarti malam itu tidak akan kembali lagi. Bagaimana dengan kita? Sudahkah kita berkomitmen untuk menanggalkan kehidupan lama kita? Bagaimana caranya menanggalkan kehidupan lama kita? Kita akan memerhatikannya di poin kedua di bawah ini.


Kedua, secara positif, hidup sebagai anak-anak terang yang berpusat pada Kristus. Cara kita menanggalkan kehidupan lama kita adalah dengan memfokuskan arah hidup kita kepada Kristus. Ketika hidup kita diarahkan kepada Kristus, maka secara otomatis, kita tidak lagi menginginkan hidup berdosa. Mengapa? Karena hidup kita diarahkan kepada Kekekalan, Kesucian, Keagungan, dll dari Allah, sehingga kita otomatis membenci apa yang sementara, najis, tidak agung, dll. Di sini, Kebenaran Allah menjadi fokus penting kita ketika kita mau menanggalkan perbuatan kegelapan. Ketika seseorang tidak kembali kepada Kebenaran Allah, maka ia tidak akan pernah mampu menanggalkan perbuatan kegelapan. Di sinilah perbedaan total Kekristenan dengan agama-agama lain. Agama-agama lain mengajarkan bahwa manusia bisa menanggalkan kehidupan lama dengan melakukan pertobatan melalui syariat-syariat agama, seperti puasa, dll. Tetapi anehnya makin mereka menjalankan ritual mereka, mereka makin berdosa, mengapa? Karena mereka bukan hanya menjalankan ritual mereka sendiri, tetapi mereka “MEMAKSA” orang lain yang berbeda agama dengannya untuk ikut “toleransi” dengan dirinya yang sedang melakukan ritual/syariat agamanya. Suatu kontradiksi yang tidak masuk akal! Itulah kegagalan manusia berdosa yang sok tahu! Kekristenan berbeda! Kekristenan menawarkan cara untuk menanggalkan perbuatan kegelapan dengan kembali kepada Terang Allah di dalam Kristus dan membawa terang itu kepada orang-orang sekelilingnya. Jadi, sifatnya bukan egosentris, tetapi berkorban. Lalu, bagaimana kita bisa hidup sebagai anak-anak terang yang berpusat kepada Kristus?

Pertama, “mengenakan perlengkapan senjata terang.” (Rm. 13:12) Kita hidup sebagai anak-anak terang tentu harus memiliki perlengkapan senjata terang sebagai sarana kita berperang bagi Kristus. Kata “berperang” di sini bukan berarti secara fisik. Paulus di bagian lain menjelaskan tentang hal ini, “Kenakanlah seluruh perlengkapan senjata Allah, supaya kamu dapat bertahan melawan tipu muslihat Iblis; karena perjuangan kita bukanlah melawan darah dan daging, tetapi melawan pemerintah-pemerintah, melawan penguasa-penguasa, melawan penghulu-penghulu dunia yang gelap ini, melawan roh-roh jahat di udara.” (Ef. 6:11-12) Karena kita berperang melawan roh-roh jahat di udara (bukan secara fisik), maka kita membutuhkan perlengkapan senjata Allah untuk melawannya. Apa macamnya? Efesus 6:14-18 memberikan rincian perlengkapan senjata Allah/terang itu:
1. Berdirilah tegap (ay. 14) à berarti ada kesiapan dari diri kita untuk berdiri menjadi saksi Kristus di dunia ini. Ini adalah titik awal sebelum kita berperang bagi Kristus. Seorang prajurit yang katanya mau berperang, tetapi tidak mau berdiri tegap menghadapi musuh, melainkan lari dahulu sebelum berperang, itu bukan prajurit sejati. Prajurit sejati adalah prajurit yang berdiri tegap siap menghadapi musuh. Begitu juga kita sebagai prajurit Allah yang berperang melawan kejahatan, kita pun harus siap berdiri menghadapi serbuan iblis dan kroni-kroninya. Ketika kita berdiri tegap, kita bukan berdiri tanpa kegiatan apa-apa, tetapi kita berdiri dengan segala kewaspadaan, seperti menara pengawas yang mengawasi setiap gerak-gerik musuh yang akan menyerang. Bagaimana dengan kita? Sudah siapkah kita berdiri tegak menghadapi serangan musuh kita yaitu iblis? Jangan sekali-kali lengah dalam menghadapi musuh besar kita.
2. Berikatpinggang kebenaran (ay. 14b). Dr. John Gill di dalam tafsirannya John Gill’s Exposition of the Entire Bible menafsirkan hal ini sebagai Injil. Berarti, selain kita siap berdiri tegap, kita pun harus mengenakan sabuk kebenaran, yaitu Injil. Dengan kata lain, kesiapan kita harus didukung senjata utama yaitu firman Tuhan. Adalah suatu keanehan di dalam peperangan jika kita mengaku siap berperang, tetapi kita tidak memiliki senjata utama. Di dalam peperangan rohani, kita harus memakai senjata utama kita yaitu firman Tuhan untuk melawan segala bentuk serangan musuh besar kita yaitu iblis. Di sini, pentingnya firman Tuhan di dalam kehidupan Kristen. Kehidupan Kristen yang terlepas dari firman Tuhan adalah kehidupan yang sia-sia dan kacau, karena terlepas dari Sumber Kebenaran. Sudah saatnya orang Kristen kembali kepada firman Tuhan (Alkitab) sehingga hidup mereka memiliki makna yang sejati dan mereka siap menghadapi serangan musuh. Firman Tuhan adalah senjata terutama di dalam peperangan rohani kita, tetapi fakta yang terjadi adalah iblis bisa memakai Alkitab untuk menyerang dan mencobai kita. Lihat kasus iblis yang mencobai Hawa dan Tuhan Yesus. Pada waktu itu, iblis tidak segan-segan memakai perkataan/firman Allah sendiri. Kepada Hawa, iblis pertama-tama memakai firman Allah dengan memutarbalikkan sedikit (supaya tidak ketahuan), lalu ia memutarbalikkan seluruh firman Allah sehingga benar-benar bertolak belakang dengan firman Allah. Dan dua serangan iblis kepada Hawa ini berhasil meruntuhkan Hawa, sehingga Hawa akhirnya makan buah pohon pengetahuan baik dan jahat. Ketika iblis mencobai Tuhan Yesus, ia pun memakai cara yang sama yaitu mencomot ayat Alkitab tetapi sayangnya keluar dari konteksnya. Tetapi iblis tidak mengerti bahwa yang dihadapinya adalah Tuhan Yesus yang mewahyukan firman, sehingga Ia berhasil mengalahkan semua cobaan iblis dengan kebenaran firman Tuhan yang bertanggung jawab. Kita pun bisa mengalahkan iblis dengan menggunakan Alkitab dengan bertanggung jawab. Maukah kita berkomitmen untuk membaca, mempelajari, menggumulkan, dan mengaplikasikan Alkitab di dalam kehidupan sehari-hari kita untuk mengalahkan dosa?
3. Berbajuzirahkan keadilan (ay. 14 c) à berarti kita mengenakan kebenaran keadilan (Ing. righteousness) sebagai tameng kita. Dr. John Gill menafsirkannya sebagai anugerah iman dan kasih (bdk. 1Tes. 5:8) Baju zirah adalah baju yang dikenakan oleh prajurit seperti tameng. Dengan kata lain, di dalam peperangan rohani, kita harus bertamengkan keadilan, artinya kita siap memperjuangkan keadilan. Berapa banyak orang Kristen tahu kebenaran, tetapi tidak mau memperjuangkan keadilan? Biarlah kita yang sudah tahu kebenaran firman Tuhan mengaplikasikannya di dalam memperjuangkan keadilan.
4. Kaki yang berkasutkan kerelaan memberitakan Injil damai sejahtera (ay. 15). Bukan hanya kebenaran dan keadilan, kita harus berjalan. Berjalan di sini berarti kaki kita pun harus melangkah dengan kerelaan memberitakan Injil. Sering kali banyak orang Kristen tahu banyak doktrin, memperjuangkan keadilan, tetapi mereka lupa memberitakan Injil. Di sini, Paulus mengingatkan, senjata kita melawan iblis adalah dengan memberitakan Injil. Dengan memberitakan Injil, kita mengurangi satu per satu orang yang menjadi tawanan iblis. Biarlah kita dibakar oleh api Roh Kudus di dalam memberitakan Injil.
5. Perisai iman (ay. 16). Bukan hanya kebenaran, keadilan, pemberitaan Injil, kita pun dituntut untuk memiliki perisai iman, supaya kita bisa memadamkan semua serangan panah api iblis. Artinya, ketika kita beriman di dalam peperangan rohani, iblis tidak akan berani menggocoh kita. Mengapa kita yang sudah Kristen bertahun-tahun tetapi masih takut dan kuatir? Karena kita tidak memiliki iman yang kuat, sehingga iblis berani mengganggu bahkan menghancurkan kita. Tuhan menginginkan kita beriman. Beriman tidak sama dengan nekat. Beriman adalah berharap kepada sesuatu yang tidak kelihatan, karena kita percaya pada Allah yang tidak kelihatan yang memelihara hidup kita. Tentu selain beriman, kita tetap perlu bekerja. Bagaimana dengan kita? Sudahkah kita mengenakan perisai iman untuk mengalahkan iblis?
6. Ketopong keselamatan (ay. 17a). Dr. John Gill kembali menafsirkan bagian ini menunjuk pada Kristus sebagai sumber keselamatan. Di dalam Roma 13:14, Paulus mengajar hal yang sama, yaitu kita harus mengenakan Tuhan Yesus Kristus sebagai perlengkapan senjata terang. Di sini berarti di dalam peperangan rohani, Kristus harus kita andalkan, karena tanpa-Nya, peperangan kita pasti kalah. Mengapa kita harus mengandalkan Kristus? Karena Ia satu-satunya yang telah mengalahkan iblis melalui kematian dan kebangkitan-Nya, sehingga iblis tidak lagi memiliki sengat yang mampu mematikan kita. Kematian dan kebangkitan-Nya itulah yang menjadi ketopong keselamatan kita melawan iblis dan percayalah iblis tidak akan berani melawan kita yang telah dimenangkan oleh kemenangan Kristus (bdk. 1Kor. 15:55-57; 1Ptr. 5:8-9). Biarlah hidup kita makin lama makin hidup berkemenangan melawan iblis dan kroni-kroninya karena Kristus telah menang mengalahkan iblis bagi kita. Haleluya!
7. Pedang Roh, yaitu firman Allah (ay. 17b). Dr. John Gill kembali mengatakan bahwa pedang itu memiliki dua sisi, begitu juga dengan firman Allah memiliki dua sisi, yaitu hukum (law) dan Injil. Hukum menunjukkan dosa manusia dan Injil menyediakan jalan keluar dari dosa manusia. Ketika dua ini digabung, berarti kita siap melawan iblis dengan Alkitab sebagai firman Tuhan yang kuat. Injil dan Perjanjian Baru menjadi firman Allah penuntun kita mengenal Kristus dan karya-karya-Nya maupun karya para murid-Nya. Hukum Taurat dan hal-hal di dalam Perjanjian Lama (PL) menjadi aturan penuntun hidup Kristen kita setelah kita diselamatkan oleh Kristus. Barangsiapa memisahkan PL dan PB, berhati-hatilah, iblis sedang mulai mengincar kita, karena iblis mau kita tidak lagi percaya pada PL dan PB di dalam Alkitab yang terintegrasi. Biarlah kita disadarkan akan hal ini.
8. Berdoa (ay. 18). Hal terakhir yang perlu kita perhatikan di dalam peperangan rohani adalah doa. Doa begitu penting di dalam peperangan rohani, karena justru di dalam doa, kita bergantung total kepada Allah. Meskipun kita telah berusaha keras berperang dengan seluruh perlengkapan senjata Allah di atas, kita tetap perlu berdoa, karena dengan doa, kita percaya bahwa Allah mendengar, menjawab, dan akan mengabulkan permohonan kita sesuai kehendak-Nya yang berdaulat. Di dalam doa, kita percaya bahwa Tuhan akan memberikan kekuatan kepada kita di dalam berperang melawan kejahatan. Sudahkah kita bergantung kepada-Nya di dalam doa ketika berperang melawan kejahatan?

Kedua, “Marilah kita hidup dengan sopan, seperti pada siang hari,” (Rm. 13:13) Setelah kita mengenakan perlengkapan senjata terang, kita pun wajib mengaplikasikannya. Wujud aplikasinya adalah melalui kehidupan kita yang benar. King James Version (KJV) menerjemahkan “hidup dengan sopan” di dalam ayat ini sebagai, “walk honestly.” (=berjalan dengan jujur) Analytical-Literal Translation (ALT) menerjemahkannya, “walk about properly.” (=berjalan dengan tepat/sesuai) Dengan kata lain, hidup dengan sopan sebagai wujud kehidupan kita yang benar ditunjukkan dengan kita berjalan dengan jujur/tepat/sesuai dengan Kebenaran. Dipergunakannya kata “walk” (=berjalan) di dalam dua terjemahan Inggris di atas menunjukkan bahwa di dalam kehidupan Kristen, kita berada di dalam proses, sehingga kita terus-menerus berjalan di dalam jalan Allah yang benar, jujur, tepat, dll. Ketika kita terus-menerus berjalan di dalam jalan Allah, kita akan menemukan keindahan demi keindahan yang Allah akan singkapkan bagi kita, meskipun tentu kita pasti melewati hambatan demi hambatan di dalamnya. Hidup yang berjalan di dalam jalan Allah adalah hidup yang indah dan tidak akan sia-sia. Salah satu tanda hidup yang berjalan di dalam jalan Allah adalah berusaha mengerti kehendak dan pimpinan Allah di dalam hidup. Seorang hamba Tuhan dari gereja Karismatik yang pernah saya dengar mengatakan bahwa kalau kita mau mengerti kehendak Allah, kita harus mematikan kehendak diri. Kalau kita ingin mengerti apa yang Allah inginkan, matikan dahulu keinginan diri kita (bdk. Rm. 13:14b). Di sini, kita mendapatkan gambaran bahwa salah satu kendala besar untuk mengerti kehendak dan keinginan Allah adalah diri sendiri. Rev. Kris Lundgaard, M.Div. mengatakan bahwa diri kita ini musuh. Oleh karena itu, mulai sekarang, matikan seluruh kehendak dan keinginan kita yang melawan Allah, lalu kembalilah mengerti kehendak dan keinginan Allah. Maukah Anda di dalam hidup ini berjalan di dalam jalan Allah?


Setelah kita merenungkan dua hal bagaimana kita bisa memiliki kesucian hidup, biarlah kita dicerahkan dan dipimpin Allah untuk mengaplikasikannya di dalam kehidupan sehari-hari. Tuhan mau kita hidup suci, karena Ia adalah Allah yang suci. Sudahkah kita siap untuk itu? Amin. Soli Deo Gloria.

Matius 13:44-46: THE VALUE OF THE KINGDOM (Pdt. Sutjipto Subeno, M.Div.)

Ringkasan Khotbah: 22 April 2007

The Value of the Kingdom
oleh: Pdt. Sutjipto Subeno, M.Div.

Nats: Mat. 13:44-46

Perumpamaan-perumpamaan yang diungkapkan Tuhan Yesus dalam Injil Matius sesungguhnya hanya membicarakan satu hal, yakni Kerajaan Sorga dimana Kristus sebagai Rajanya. Kerajaan Sorga itu seumpama biji sesawi yang dimulai dari kecil dan bertumbuh menjadi besar. Injil Mat. 13:44-52 mau menekankan satu hal, yakni tentang kualitas Kerajaan Sorga namun dalam terjemahan Indonesia dipisahkan menjadi dua bagian karena ada dua hal yang menjadi penekanan. Perumpamaan tentang harta terpendam dan perumpamaan tentang mutiara menekankan kualitas dari Kerajaan Sorga itu sendiri, seberapa mahalnya dan berharganya Kerajaan Sorga itu; perumpamaan tentang pukat menekankan kualitas dari orang-orang yang masuk ke dalam Kerajaan Sorga; hanya ikan yang bagus saja yang boleh masuk ke dalam pukat.
Hari ini kita akan merenungkan perumpamaan tentang harta terpendam dan mutiara yang berharga yang membukakan akan kualitas dari kerajaan sorga. Perumpamaan ini sekaligus mematahkan konsep yang salah yang menyatakan bahwa segala sesuatu yang kecil itu sifatnya meaningless; sesuatu yang kecil itu hanyalah minoritas sehingga tidak ada orang yang memerhatikan. Orang berpendapat ragi itu hanya dapat dirasakan dan dilihat pengaruhnya tetapi ia sendiri tidak kelihatan demikian pula dengan Kerajaan Sorga hanya sementara ada di dunia setelah itu hilang di tengah jaman. Karena itu, untuk menghindari kesalahan penafsiran maka Tuhan Yesus mengkaitkan seluruh perumpamaan sehingga orang tidak mempunyai pikiran yang terpecah-pecah; perumpamaan haruslah dikunci secara totalitas dari kesuluruhan pembahasan. Perumpamaan tentang harta terpendam dan mutiara yang terpendam itu menganulir kemungkinan kesalahan konsep tersebut.
Perhatikan, Kerajaan Sorga yang kelihatan murah itu bukan berarti barang murah. Tidak! Perumpamaan biji sesawi dan ragi ini bukan berbicara tentang barang yang murah tetapi lebih menekankan tentang sesuatu yang kecil namun mempunyai potensi besar. Perumpamaan kali ini hendak menegaskan tentang konsep nilai dari kerajaan sorga dan komitmen. Kalau kita bicara tentang harga maka kita bicara tentang nilai. Banyak orang yang mengabaikan aspek nilai akibatnya orang tidak mengerti nilai dengan tepat. Hal ini disebabkan orang menjadikan diri sendiri sebagai standar nilai akibatnya orang mengalami kesulitan dalam menilai sesuatu. Kekristenan mempunyai standar nilai yang berbeda dengan dunia karena nilai itu tidak didasarkan pada dunia atau diri tetapi segala sesuatu itu didasarkan pada Kristus yang sebagai standar nilai.
Sejarah membuktikan, agama itu muncul sebagai suatu upaya dari manusia mencari kekuatan yang lebih dibanding dirinya dan ketika manusia telah menemukan kekuatan itu barulah orang menyadari kelemahan yang ada pada dirinya dan ia tidak dapat meniadakan kekuatan itu. Orang atheis berusaha sedemikian rupa meniadakan kekuatan itu karena sesungguhnya, ia ingin dirinyalah yang menjadi Tuhan, yang menentukan segala sesuatu sendiri dan berkuasa penuh. Inilah jiwa manusia berdosa. Manusia hanya butuh Tuhan ketika ia merasa lemah. Dunia makin modern makin berusaha membuang Tuhan dan orang merasa ia sudah berhasil membuang Tuhan seperti yang dilakukan oleh Nietzsche dan kawan-kawan. Betapa bodohnya manusia, ia tidak sadar pada saat mereka membuang Tuhan saat itu hidupnya menjadi sengsara, orang merasa segala sesuatu yang ia kerjakan tidak ada artinya. Kekecewaan itu sampai pad puncaknya dan berakibat pada bunuh diri. Inilah puncak dari the lostness of value. Konsep yang salah menyebabkan hidupnya menjadi hancur. Kalau kita mau telusuri lebih dalam lagi, sesungguhnya yang membuat manusia itu mempunyai semangat juang untuk hidup ada dua aspek, yaitu: 1) aspek epistemologi – what is true; 2) aspek aksiologi – what is valuable.
1. Seeking
Di dunia ini, tidak ada seorangpun yang mau berjuang bahkan berkorban nyawa untuk sesuatu yang ia anggap tidak bernilai dan tidak benar, bukan? Ketika orang menganggap uang itu sebagai sesuatu yang berharga maka ia akan berjuang mati-matian untuk uang. Demilkian pula halnya dengan mereka yang tidak percaya akan kebangkitan Kristus – tidak akan mau berjuang apalagi berkorban demi Kristus. Ironisnya, orang tidak mau kembali pada kebenaran sejati, mereka malah membuat teori baru dan berjuang untuk teori yang baru itu dan untuk kesekian kalinya orang mengulang kesalahan yang sama. Pada jaman renaissance filsafat humanisme berkembang sedemikian rupa, orang mulai meninggalkan Alkitab maka itulah masa dimana Kekristenan semakin menurun. Philosophia berarti orang-orang yang mencintai hikmat tetapi faktanya, philosophia lebih mencintai diri sendiri dan membuang Tuhan Yesus yang adalah sumber hikmat sejati. Adalah tidak mungkin seorang itu menjadi bijaksana kalau ia membuang Kristus di titik pertama. Hingga pada abad 20, pecah perang dunia I dan II dimana orang saling membunuh barulah orang menyadari bahwa apa yang selama ini mereka anggap sebagai bijaksana ternyata sia-sia. Hal ini juga tidak menyadarkan mereka untuk kembali pada kebenaran sejati. Tidak! Orang malah jatuh pada ekstrim yang lain, orang menjadi skeptik, orang tidak peduli dengan sesuatu yang ia anggap sebagai kebenaran dan berharga. Pertengahan abad 20 membawa orang pada skeptisisme posmodern maka hari ini kalau orang ditanya mana yang berharga? Dengan skeptis akan menjawab bahwa apa itu kebenaran? Orang sudah tidak ada lagi upaya atau perjuangan untuk mengejar sesuatu yang benar dan bernilai.
Bagaimana dengan orang Kristen? Apakah kita masih sadar perlunya kita memperjuangkan apa yang benar dan apa yang bernilai? Celakalah, kalau kita salah menilai bahwa apa yang selama ini kita anggap sebagai kebenaran dan bernilai ternyata tidak lebih hanyalah sebuah sampah yang tidak berharga dan justru yang kita anggap tidak bernilai itu ternyata sebuah barang berharga. Betapa bodohnya kita kalau kita lebih memilih sepiring makanan daripada sekilo emas, bukan? Tanpa kita sadari, sesungguhnya itulah yang sering kita lakukan, ketika Tuhan membukakan bahwa ada sesuatu yang lebih bernilai, kita justru mengabaikannya – kita menjadikan diri sebagai standar nilai. Hendaklah kita mengevaluasi diri, hal apakah yang kita anggap paling bernilai dalam hidup kita? Perumpamaan tentang harta terpendam dan mutiara yang berharga mau membukakan betapa berharganya Kerajaan Sorga itu dibandingkan dengan harta dunia. Tuhan Yesus tahu apa yang ada dalam pikiran orang Yahudi yang materialis bahkan tak jarang pula, mereka memakai cara licik untuk mendapatkan harta. Perhatikan, ketika orang Yahudi menemukan harta yang terpendam di ladang maka ia tidak mengambilnya tetapi langsung menguburnya kembali dan ia pun pergi menjual seluruh miliknya untuk membeli ladang itu. Cara ini adalah cara yang licik tetapi sekaligus cara yang paling strategis dan sah untuk menghindari hukum dan perselisihan antara pemilik tanah dan penemu harta. Dengan kata lain, Tuhan Yesus mau menyatakan kalau demi mendapatkan harta, orang mencari cara sedemikian rupa untuk mendapatkan harta lalu bagaimana dan upaya apa yang kita lakukan demi untuk mendapatkan Kerajaan Sorga yang lebih bernilai? Sangatlah disayangkan, hari ini, jangankan untuk tahu dimanakah kebenaran, upaya untuk mengejar kebenaran dan nilai tertinggi itu saja tidak ada. Sebagian besar orang Kristen tidak mau memikirkan tentang kebenaran apalagi berupaya mendapatkan kebenaran; dengan skeptik, orang akan berkata, “Capek, ah....“ Perkataan itu harusnya menyadarkannya akan hidup, apa yang membuat ia merasa letih?
Tuhan Yesus membukakan betapa bernilainya Kerajaan Sorga itu dan untuk mendapatkan barang yang bernilai itu perlu satu upaya dan pergumulan untuk mendapatkannya. Hal ini yang disebut sebagai extrinsic value – upaya seseorang untuk mengejar atau menyamakan persepsi dengan instrinsic value. Pengertian mahal mempunyai banyak konsep; suatu barang dikatakan mahal kalau nilai instrinsiknya seribu rupiah tapi kita beli dengan harga satu juta rupiah – dikatakan mahal karena tidak cocok dengan harga aslinya. Barang murah tetap akan terasa mahal karena kita tidak mampu membelinya – diri menjadi standar nilai. Hari inilah yang banyak terjadi hari ini tak terkecuali orang Kristen; orang memakai diri sebagai standar untuk menilai sesuatu nilai di dalam dirinya. Cara ini adalah cara yang salah. Untuk menyamakan persepsi dan menyamakan nilai dari ekstrinsik menuju instrinsik diperlukan suatu perjuangan dan hal ini yang seringkali tidak disukai oleh manusia. Orang lebih suka kalau diri sendiri sebagai penentu kebenaran.
Biarlah pola pikir kita diubahkan, ingat kita bukanlah penentu kebenaran. Sekali kita salah menilai maka sia-sialah seluruh perjuangan hidup kita. Karena itu, kita harus kembali pada nilai tertinggi, yakni the true value itself sehingga hidup itu menjadi indah karena kita tahu, kita berjuang untuk sesuatu yang bernilai kekal. Kerajaan Sorga itu adalah orang yang sadar akan nilai tertinggi. Pertanyaannya seberapa jauhkah perjuangan kita untuk mendapatkan nilai tertinggi?
2. Understanding
Bagaimana kita memilah antara harta asli dan harta palsu? Sistem nilai ini menuntut adanya understanding. Suatu barang yang sangat mahal dan berharga itu biasanya jumlahnya sangat terbatas bahkan mungkin hanya ada satu di dunia. Kalau hanya ada satu berarti sukar untuk ditemukan maka dibutuhkan suatu pengertian yang tepat dan untuk mendapatkan pengertian yang tepat itu bukanlah hal yang mudah tetapi dibutuhkan suatu usaha dan perjuangan untuk kita mau belajar. Belajar itu melelahkan karena butuh banyak tenaga dan waktu. Hari ini banyak orang yang merasa lelah dan tidak mau belajar karena orang merasa apa yang ia pelajari selama ini hanyalah kesia-siaan. Orang merasa sia-sia karena ia belajar tetapi tidak pernah menjadi pandai dan bijaksana, hal ini disebabkan karena orang tidak mengerti esensi dan konsep belajar. Maka tidaklah heran kalau orang sampai pada kesimpulan: semua yang dikerjakan tidak lebih hanyalah kesia-siaan belaka dan tidak bernilai akibatnya orang tidak mau belajar. Betapa sangatlah menyedihkan kalau seluruh perjuangan kita ternyata sia-sia. Berbeda halnya kalau kita tahu bahwa seluruh hidup kita mempunyai sasaran dan tujuan yang jelas, yaitu hidup untuk Kristus karena Kristus itu sangat berharga. Belajarlah untuk mengejar nilai sejati karena kita sedang attach dari kerelatifitasan menuju kepada kemutlakan tertinggi. Perjuangan ini sangat layak untuk kita kerjakan. Hari ini banyak orang yang merasa semua yang ia pelajari hanyalah kesia-siaan belaka. Wajarlah kalau orang merasa demikian karena arah hidupnya tidak tertuju pada apa yang menjadi kehendak Tuhan. Orang tidak pernah berpikir ketika ia hendak memutuskan sesuatu apakah keputusan yang ia buat tersebut sesuai dengan kehendak Tuhan atau tidak? Berbeda halnya, kalau sejak pertama kita sudah tahu apa yang menjadi kehendak Tuhan maka seluruh hidup kita penuh dengan makna. Betapa indah hidup kita kalau seluruh yang kita kerjakan itu meaningfull.
Kerajaan Sorga bukanlah barang murah sehingga mudah didapat. Tidak! Kerajaan sorga merupakan sebuah harta yang terpendam yang sangat bernilai dan hanya ada satu di dunia yang semua orang mau mencapainya. Pertanyaannya bagaimana kita mendapatkannya? Caranya adalah dengan mencari dan untuk itu dibutuhkan suatu perjuangan, yakni berjuang untuk belajar untuk mendapatkan suatu pengertian dengan benar. Kalau kita tidak pernah belajar tentang mutiara, kita tidak akan pernah mengerti dan tidak dapat membedakan manakah mutiara yang asli dan mana yang palsu. Dibutuhkan seorang ahli untuk dapat membedakannya dan untuk menjadi seorang ahli dibutuhkan suatu studi yang baik. Pertanyaannya seberapa jauhkah perjuangan orang Kristen untuk mengerti nilai tertinggi yang menyangkut kekekalan? Untuk mengerti hal ini perlu suatu disiplin diri untuk kita mau belajar dengan demikian kita tidak menjadi salah. Kita tahu mana yang paling bernilai dan mana yang tidak dengan demikian kita dapat memberikan pertanggungjawaban. Mengerti bahwa kerajaan sorga adalah sesuatu yang bernilai, itu bukanlah suatu fanatisme yang kosong.
3. Commitment
Kalau kita menyatakan bahwa A itulah yang paling bernilai tetapi tidak ada upaya atau perjuangan untuk mencapainya maka dapatlah disimpulkan bahwa semua pernyataan kita itu tidak lebih hanya pernyataan kosong belaka. Melalui perumpamaan ini, Tuhan Yesus menegaskan bahwa sesuatu itu berharga, valuable ditentukan dari seberapa jauhkah kita berjuang untuk mendapatkannya? Orang yang tahu kalau di dalam tanah itu terkandung harta yang sangat mahal, masakan ia akan berdiam diri? Tentu tidak, bukan? Ia pasti akan membelinya tanah itu berapa pun harganya karena ia tahu ia akan mendapatkan lebih. Inilah yang dinamakan sebagai perjuangan. Jadi, kalau orang menyatakan bahwa Kerajaan Sorga itu berharga tetapi seluruh hidup kita tidak menunjukkan suatu perjuangan maka itu membuktikan ia bukanlah Kristen sejati yang tahu betapa berharganya Kerajaan Sorga itu. Hendaklah kita mengevaluasi diri, sebagai anak Tuhan sejati, seberapa jauhkah kita telah berkorban untuk mendapatkan Kerajaan Sorga itu? Sejauh manakah Kristus itu bernilai bagi kita? Seberapa mahalnya Kristus itu berharga bagi kita? Dan sampai seberapa jauhkah kita menyadari mahalnya nilai instrinsik itu sehingga kita mengarahkan seluruh nilai ekstrinsik kita mengejar nilai instrinsik itu?
Para murid dan para martir itu sangat menyadari betapa bernilainya Kerajaan Sorga sehingga mereka rela mati untuk mendapatkan the highest value. Ingat, sikap hidup kita itu menentukan iman Kristen kita. Hari ini banyak orang Kristen yang mengaku bahwa “Yesus itu adalah segala-galanya“ tetapi kalimat itu masih ada kelanjutannya, yaitu “Yesus itu segala-galanya hanya bagiku“ artinya orang hanya perlu Yesus selama Dia menguntungkan bagi kita, jadi bukan karena Dia mahal. Inilah dunia berdosa yang humanis – Kristus Yesus tidak lebih seperti “pelayan“ dan kita yang menjadi tuannya. Inilah konsep yang diajarkan oleh dunia. Tanpa sadar, manusia kembali pada pemikiran humanis materialis; apa yang kita perjuangkan mati-matian hanya untuk uang. Bertobatlah! Kalau kita mengaku Kristen tetapi uang, materi, kepentingan diri yang menjadi nilai tertinggi dalam hidup kita maka itu membuktikan kalau sesungguhnya kita bukan anak Tuhan sejati. Seberapa jauhkah kita telah berkorban untuk Kristus? Seberapa jauhkah hati kita berpaut pada Kerajaan Sorga? Siapakah yang menjadi nilai tertinggi dalam hidup kita?
Kerajaan Sorga itu seperti halnya harta terpendam dan mutiara yang sangat bernilai kalau kita mendapatkannya betapa sukacita hidup kita. Pertanyaannya sudahkah kita berjuang untuk mendapatkannya? Kiranya hal ini menjadi evaluasi bagi kita, kalau selama ini kita telah bertahun-tahun menjadi Kristen, sudahkah pola pikir kita diubahkan sehingga kita mempunyai pola pikir seperti Kristus? Sudahkah kita menyadari betapa mahalnya darah Kristus yang telah menebus kita sehingga kita mau berkorban demi mendapatkan mutiara yang berharga itu? Amin.

(Ringkasan khotbah ini belum diperiksa oleh pengkhotbah)
Sumber: