22 April 2008

PEMUJA NAMA YAHWEH (Ir. Herlianto, M.Th.)

PEMUJA NAMA YAHWEH

oleh: Ir. Herlianto, M.Th.
(Pemimpin Umum Yayasan Bina Awam—YABINA dan dosen di Sekolah Tinggi Theologi Bandung yang meraih gelar: Insinyur—Ir. dari Institut Teknologi Bandung—ITB; Bachelor of Theology—B.Th. dari Seminari Alkitab Asia Tenggara—SAAT Malang: Master of Theology—M.Th. dari Princeton Theological Seminary, U.S.A.)



“LAI dimejahijaukan Pemuja Yahwe,” demikianlah cover story tabloid Reformata Edisi 80 (1-15 Maret 2008). Ada apa dengan Pemuja Yahwe, dan siapakah mereka? Pemuja Yahwe atau lebih tepat disebut ‘Pemuja Nama Yahweh’ adalah perkembangan baru dalam kekristenan di Indonesia yang dipengaruhi Yudaisme dan dipopulerkan di Indonesia sejak dua dasawarsa lalu.

Latar belakang gerakan ini sudah terjadi jauh seabad sebelumnya. Pada abad-19, ada gerakan internasional kebangkitan Yahudi (Zionisme) yang kala itu hidup dalam diaspora khususnya di Asia Utara (Rusia), Eropah dan Amerika. Puncaknya adalah dibentuknya World Zionist Organization dengan kongres pertama di Basel (1897). Gerakan ini semula bersifat politik dengan tujuan mendirikan negara Yahudi di Palestina (Erets Yisrael), dan dari gerakan ini terdapat beberapa aliran termasuk yang menekankan Religious Zionism. Umumnya kalangan Yahudi perantauan sudah hidup secara sekular, namun ada kalangan orthodox yang berpendapat bahwa zionisme harus dicapai dengan mengembalikan orang Yahudi kepada agama dan bahasa mereka, yaitu Ibrani.

Misi Religious Zionism adalah mengajak umat Yahudi sedunia untuk menggali lagi agama Yahudi dengan Torat mereka dan menghidupkan kembali bahasa Ibrani bukan sekedar sebagai bahasa tulis tetapi juga sebagai bahasa percakapan yang selama berabad-abad menjadi bahasa lisan yang mati. Pengaruh Zionisme dengan kekuatan uang mereka menyebar ke Eropah dan Amerika Serikat. Dalam kelompok orthodox Yahudi itu ada juga sekte yang lebih jauh ingin mengembalikan ‘Nama Yahweh (YHWH, tetragrammaton)’ sebagai nama diri Tuhan, nama yang selama ini di kalangan Yahudi tradisional dianggap terlalu suci untuk diucapkan sehingga disebut dengan nama ‘Adonai’ (Tuhan) atau ‘Ha-Shem’ (Nama Itu) dan di kalangan Yahudi berbahasa Inggers disebut ‘The Lord’ (LORD). Semangat fundamentalisme agama Yahudi ini bukan saja terjadi di kalangan orang Yahudi sendiri, namun dengan mulainya banyak orang berziarah ke Israel, mereka juga mempengaruhi orang-orang Kristen yang datang ke Palestina dan terutama yang ada di Amerika Serikat.


Perkembangan di Amerika Serikat
Abad-19 terjadi kekosongan rohani di Amerika Serikat sehingga banyak aliran baru tumbuh yang menekankan khususnya nubuatan tentang Akhir Zaman, yaitu Adventis (1844), Saksi-Saksi Yehuwa (1874), dan kemudian Pentakosta (Church of God, 1886). Di samping nubuatan Akhir Zaman, Adventisme menekankan hari Sabat dan kesucian makanan, Saksi-Saksi Yehuwa mengajarkan ajaran Unitarian/Arian, dan COG menekankan karunia roh. SSY-lah yang pertama terpengaruh nama YHWH (tetragramammaton) sehingga pada pertemuan mereka di Ohio (1931) mereka secara resmi menggunakan nama Jehovah Witnesses (Saksi-Saksi Yehuwa) dan menganggap nama YHWH itu suci dan bahwa penerjemahan nama itu adalah perbuatan setan.

Dari kalangan Church of God, ada yang kemudian terpengaruh Adventisme dan menekankan hari Sabat dan membentuk Church of God, 7thday. Tiga tokoh dibelakang gerakan yang merintis pemujaan nama Yahweh berasal dari gereja COG, 7thday, yang kemudian memisahkan diri di tahun 1933 menjadi COG, 7thday, Salem, yaitu Andrew N. Dugger, Clarence O. Dodd dan Herbert W. Armstrong. Dodd setelah mengklaim didatangi dua malaekat dan dikeluarkan dari COG, 7thday, mendirikan Assembly of Yahweh yang menggunakan kembali nama Yahweh, merayakan hari Sabat, dan menjalankan bulan baru dan hari-hari raya Yahudi, dan menerbitkan majalah ‘The Faith’ (1937) untuk menyebarkan pandangannya itu.

Amstrong sefaham dengan Dodd dan di ditahbis menjadi pendeta di COG, 7thday, Oregon. Pandangannya kontroversial karena sama seperti Dodd, yang merayakan hari Sabat, kesucian makanan, dan merayakan bulan baru dan hari-hari raya Yahudi sesuai hukum Musa, ia menubuatkan bahwa orang-orang Inggeris dan Amerika adalah keturunan dari 10 suku Israel yang terhilang. Ia dikeluarkan dari COG, 7thday, karena ajarannya yang ekstrim, dan ia kemudian mendirikan Worldwide Church of God (1946) dan Ambassador College dan menerbitkan majalah Ambassador dan The Plain Truth yang disebarkan ke seluruh dunia. Pandangannya mengenai keadaan sesudah mati sama dengan Saksi-Saksi Yehuwa, yaitu bahwa orang mati dalam keadaan tidur rohani dan pada saat penghakiman akan dibangkitkan atau dimusnahkan. Ia menolak Trinitas dan beranggapan bahwa roh kudus bukan pribadi hanya kekuatan ilahi sama dengan pandangan SSY (binitarian) .

Pada umumnya pemuja nama Yahweh menolak Trinitas dan menganut faham unitarian modalis (sabelianisme, yaitu Yahweh itu Esa dan menyatakan diri [modal] sebagai bapa dan firman) atau unitarian subordinasionis (arianisme, pandangan SSY bahwa Yahshua itu ciptaan lebih rendah dari Yahweh). Dan sekalipun kepercayaan mereka bervariasi, pada umumnya mereka sepakat bahwa nama Yahweh, Elohim dan Yahshua harus dipulihkan dan tidak menyebut diri sebagai Kristen karena nama itu dianggap berasal kafir. Pemuja Nama Yahweh mudah terpecah-belah dan cenderung mendirikan gereja dengan ke khasannya sendiri seperti House of Yahweh yang menolak pre-eksistensi Yahshua. The Assembly of Yahvah lebih memilih nama Yahvah dan The Assemblies of Yah memilih nama Yah daripada Yahweh, yang lainnya memilih ejaan sendiri untuk menyebut nama Yahweh dan Yahshua.

Angelo B. Triana, murid Dodd, menolak surat-surat Paulus, namun kemudian ia menjiplak King James Bible dan mengganti nama-nama ‘LORD’ dengan Yahweh, ‘God’ dengan Elohim, dan ‘Jesus’ dengan Yahshua dan menyebutnya Holy Name Bible (PB-1950 dan PL&PB-1963) sejalan dengan terbitnya New World Translation dari Jehovah Witnesses/Saksi-Saksi Yehuwa (PB-1950 dan PL&PB-1961) yang memunculkan kembali nama YHWH. John Briggs, murid Triana mempopulerkan nama Yahshua dan kemudian mendirikan Yahveh Beth Israel.

Murid Triana lainnya, Jacob O Meyer terpecah dari Assembly of Yahweh dan mendirikan Assemblies of Yahweh (1960), dan gereja ini pecah lagi dan dibawah Donald Mansager mendirikan Yahweh’s Assembly in Messiah (1980). Adanya skandal seks beberapa pendeta mendorong Mansager memisahkan diri dan mendirikan Yahweh’s New Covenant Assembly (1985), dan pecah lagi menjadi Yahweh’s Assembly in Yahshua (2006) yang percaya bahwa ‘bahasa Ibrani adalah bahasa yang digunakan Yahweh di surga dan di taman Eden dan digunakan dalam penulisan kitab suci PL dan PB. Bahasa Ibrani adalah induk semua bahasa di dunia.’ Putranya, Alan Mansager berbeda pendapat dengan ayahnya dan mendirikan Yahweh’s Restoration Ministry. Assembly of Yahweh kemudian pecah lagi dan Robert Wirl mendirikan Yahweh’s Philadelphia Truth Conggregation (2002).

Dari perkembangan sidang jemaat pemuja nama Yahweh yang bertebaran dimana-mana yang umumnya tidak berhubungan satu dengan lainnya itu, kita dapat melihat bahwa mereka mudah sekali terpecah-pecah menjadi berbagai fraksi dan memberi nama baru sesuai dengan penekanan mereka, namun sekalipun begitu, ada beberapa butir yang sejalan, yaitu:
(1) Adanya pengaruh Adventisme soal memelihara Sabat dan Kesucian Makanan dan Saksi-Saksi Yehuwa dan sekte Yahudi yang menekankan perlunya dikembalikannya nama ‘YHWH’ (tetragrammaton) sekalipun ditafsirkan berbeda-beda (Yahweh/Yahvah/ Yah dll.) dan kembali kepada bahasa Ibrani. Ada juga yang menekankan kembali nama Elohim dan Yahshua;

(2) Mereka menolak Kitab Suci yang memuat nama-nama Lord, God, dan Jesus dan menggantinya dengan nama-nama Ibrani Yahweh, Elohim, dan Yahshua. Saat ini ada belasan versi ‘Kitab Suci’ yang diterbitkan pemuja nama Yahweh’ di Amerika Serikat;

(3) Menjalankan hukum Musa dengan konsekwen seperti merayakan Sabat, Kesucian makanan (halal-haram) , dan merayakan bulan baru dan hari-hari raya Yahudi, dengan ibadat seperti agama Yahudi. Perjamuan Kudus dirayakan setahun sekali pada malam sebelum Pasah Yahudi dan menolak perayaan Natal sama halnya dengan Saksi-Saksi Yehuwa;

(4) Menolak Trinitas, ada yang menganggap Yahweh sebagai Unitarian Modalis (Sabellianisme, Yahweh itu esa dan firmannya menjadi manusia Yahshua) atau Unitarian Subordinasionis (Arianisme, Yahshua itu lebih rendah dari Yahweh seperti pandangan SSY), atau berbagai ajaran non-trinitarian lainnya seperti tidak mempercayai pre-eksistensi Yahshua dll. Namun, sekalipun demikian banyak yang mensyaratkan agar dibaptis kembali dalam nama Yahshua;

(5) Tidak merupakan satu organisasi yang solid melainkan merupakan sidang-sidang jemaat yang independen dengan ke khasannya masing-masing, namun jelas membedakan diri dengan kekristenan pada umumnya dan lebih bercorak agama Yahudi dengan semua ritualnya.

Dari beberapa butir kesimpulan ini menjadi jelas apa yang diyakini oleh Pemuja Nama Yahweh yang kemudian masuk ke Indonesia sekitar tahun 1990.

Perkembangan di Indonesia (dilanjutkan dalam artikel ‘Pemuja Nama Yahweh di Indonesia’).

Salam kasih dari Herlianto
www.yabina.org

Resensi Buku-53: ESCAPE FROM REASON (DR. FRANCIS A. SCHAEFFER)

...Get it now...
Book
ESCAPE FROM REASON :
A Penetrating Analysis of Trends in Modern Thought


by: DR. FRANCIS A. SCHAEFFER

Publisher: InterVarsity Fellowship, England 2006

Foreword: J. P. Moreland.





Book Description :
Truth used to be based on reason. No more. What we feel is now the truest source of reality. Despite our obsession with the emotive and the experiential, we still face perennial existential problems—anxiety, despair, purposelessness.

How did we get here ? And where do we find a remedy ?

In this modern classic, Francis A. Schaeffer traces trends in twentieth-century thought and unpacks how key ideas have shaped our society. Wide-ranging in his analysis, Schaeffer examines philosophy, science, art and popular culture to identify dualism, fragmentation and the decline of reason.

Schaeffer’s work takes on a newfound relevance today in his prescient anticipation of the contemporary postmodern ethos. His critique demonstrates Christianity’s promise for a new century, one in as much need as ever of purpose and hope.







Biography of DR. FRANCIS A. SCHAEFFER :
DR. FRANCIS A. SCHAEFFER founded L’Abri Fellowship in Switzerland and was the author of many books, including The God Who is There and Art and the Bible. Until his death in 1984, he was a noted speaker with a worldwide ministry. His ministry continues through his books, with over two million copies in print.

Matius 9:18-26: ELEMEN IMAN

Ringkasan Khotbah : 24 Juli 2005

Elemen Iman
oleh: Pdt. Sutjipto Subeno, M.Div.

Nats: Mat. 9:18-26


Pendahuluan
Kita telah memahami bahwa seorang warga Kerajaan Sorga harus taat pada Sang Raja, yakni Kristus Yesus. Kristus berdaulat penuh atas hidup kita sebab Dia adalah Tuhan dan kita adalah budak-Nya maka iman sejati haruslah berpusat pada Kristus. Kalau aku ada di dalam Kristus maka bukan aku lagi yang hidup tetapi Kristus yang hidup didalamku maka sub tema kedua adalah pemuridan, yakni menjadi pengikut Kristus bukan sementara tetapi mengikut Kristus bersifat selamanya, secara mutlak hidup hanya bersandar pada-Nya, bukan kita yang mengatur diri tetapi Tuhan yang mengatur setiap langkah hidup kita dan kita akan merasakan sukacita dan damai sejahtera hidup dibawah pimpinan Sang Raja yang Maha Bijaksana. Seorang pengikut Kristus sejati haruslah berbeda dengan pengikut dunia dengan demikian kita menjadi berkat dan saksi bagi dunia; kita bagaikan domba yang ada di tengah-tengah serigala. Memang tidak mudah bagi seorang anak Tuhan hidup di tengah dunia, kita akan dimusuhi karena kita berbeda maka satu-satunya kekuatan hanya dengan berpaut dan beriman pada Kristus, Tuhan dan Raja atas alam semesta. Keempat sub tema ini dipaparkan oleh Matius sedemikian rupa dimana di setiap masing-masing sub tema diberikan tiga kisah dengan demikian setiap pengikut Kristus semakin dicerahkan dan hidup seperti teladan Kristus.

Pada sub tema keempat, yaitu iman maka Matius banyak menuliskan kata “percaya“, Matius ingin menekankan bahwa sebagai pengikut Kristus sejati maka sepenuhnya kita harus beriman pada Kristus bukan beriman pada “hasil iman“ tetapi lebih daripada itu, beriman pada Kristus adalah iman yang menyelamatkan. Bangkitnya anak perempuan Yairus dari kematian bukanlah sekedar kebangkitan jasmani tetapi kebangkitan rohani yang bersifat kekal. Maka pada kisah yang kedua, sekali lagi Matius mengajak kita melihat pada kisah yang mirip dengan sebelumnya, yakni orang buta yang disembuhkan. Kisah tentang orang buta yang disembuhkan ini juga terjadi di kota Yerikho, yakni kisah Bartimeus, seorang buta yang dicelikkan. Perhatikan, di sepanjang Alkitab banyak mujizat terjadi tetapi tidak ada satupun nabi atau para rasul yang melakukan mujizat mencelikkan mata orang buta; hanya Tuhan Yesus saja yang dapat melakukannya. Satu-satunya orang buta yang dicelikkan bukan oleh Tuhan Yesus adalah Saulus, itupun Saulus tidak buta sejak lahir tetapi karena hukuman Tuhanlah ia menjadi buta dan Tuhan memakai Ananias untuk memulihkannya kembali. Mujizat ini sebenarnya merupakan gambaran bahwa Kristus bukan hanya dapat mencelikkan mata jasmani tetapi lebih daripada itu, Tuhan Yesus mencelikkan mata rohani.

Perhatikan, ketika Tuhan Yesus bertanya kepada kedua orang buta ini, “Percayakah kamu, bahwa Aku dapat melakukannya?“ disini tidak ada satu penekanan; Tuhan Yesus tidak menuntut manusia untuk berespon sebab itu merupakan hak setiap manusia untuk berespon. Justru setelah Tuhan Yesus mencelikkan mata mereka, dengan tegas, Tuhan Yesus berpesan supaya mereka tidak menceritakan hal ini pada orang lain tapi mereka melanggarnya, yang terjadi hari ini justru sebaliknya, egoisme dan kesombongan manusia mendorong supaya mereka “bersaksi“ demi untuk keuntungan diri. Pertanyaannya sekarang adalah kalau kita beriman, elemen iman seperti apakah yang seharusnya kita miliki sehingga kita memiliki iman sejati? Ada lima elemen iman yang hendak dipaparkan oleh Matius terdiri dari:
1. Aktif
Percaya adalah suatu langkah aktif menghampiri Kristus sebagai obyek iman sejati. Hal ini dilakukan oleh kedua orang buta ini, mereka mengikuti kemanapun Yesus pergi sambil berseru-seru: “Kasihanilah kami, hai Anak Daud“ berarti mereka tahu kalau Yesus adalah Mesias yang dinubuatkan itu. Tentu tidaklah mudah mengikuti kemanapun Yesus pergi, pasti banyak kesulitan dan hambatan bagi kedua orang buta ini namun toh mereka tetap mengikut. Inilah yang namanya fokus iman, aktif beriman pada Kristus yakni sekali mengarahkan diri pada Kristus maka tidak akan berpaling lagi. Beriman bukanlah pasrah, hopeless, orang yang pasrah justru menunjukkan ia tidak beriman, ia tidak tahu harus berbuat apa. Maka jelaslah bahwa beriman bukan pasrah tetapi aktif mengerjakan dan menuju pada obyek iman yang sejati, yaitu Kristus dan ini sekaligus kita menghancurkan obyek iman yang lain termasuk diri kita sendiri. “Percayakah kamu, bahwa Aku dapat melakukannya?“, dunia menganggap pertanyaan ini tidaklah logis namun justru disinilah inti man sejati; pertanyaan ini sekaligus menguji diri kita, yakni bagaimana mata kita diarahkan pada Kristus, obyek iman sejati. Bukanlah hal yang mudah bagi manusia untuk percaya sebab manusia telah terbiasa dilatih untuk menyelesaikan masalahnya sendiri. Hari ini banyak orang yang mengaku Kristen, mereka mengaku percaya pada Kristus Yesus tetapi sekaligus juga percaya pada obyek iman lain dan celakanya, manusia berani mengadu diantara obyek iman tersebut, siapa yang lebih kuat Kristus Yesuskah atau diri yang juga menjadi obyek iman.

2. Penundukan Diri
Elemen iman yang kedua ini sepertinya berlawanan dengan elemen iman yang pertama namun sesungguhnya tidaklah demikian, maka lebih tepat dikatakan paradoks. Hati-hati, iman yang aktif memfokus pada Kristus bukanlah sebuah ambisi atau keinginan maka disamping aktif, kita juga harus sekaligus menundukkan diri secara total kepada Kristus. Inilah kunci iman yang sejati. Dua orang buta ini tunduk mutlak pada Kristus, mereka tetap taat pada Kristus. Dua orang buta ini aktif datang pada Kristus, mereka selalu mengikut kemanapun Tuhan Yesus pergi sambil berseru-seru: “Kasihanilah kami, hai Anak Daud“, mereka tidak peduli meskipun mereka mendapatkan perlakuan yang tidak baik dari orang-orang yang ada di sekitar Tuhan Yesus, mereka hanya tahu satu hal yakni taat pada Kristus. Aktif sekaligus tunduk, kedua aspek ini sangat sulit dilakukan oleh manusia, orang cenderung mendualismekan; seorang yang aktif tidak akan mau tunduk, ia selalu berjalan menurut kemauannya sendiri sebaliknya orang yang tunduk selalu cenderung pasif, setelah ada perintah barulah ia kerjakan kalau tidak ada perintah maka ia pasif, tidak mengerjakan apapun. Seorang warga Kerajaan Sorga sejati haruslah menjalankan kedua aspek tersebut, yakni aktif dan tunduk mutlak; kalau kita dapat menjalankan keduanya maka kita akan memperoleh kesuksesan. Dimanapun kita bekerja maka keberadaan kita tersebut haruslah menjadi berkat, yakni atasan kita akan merasa tertolong dengan keaktifan kita tetapi perlu diperhatikan aktif disini tentulah yang sesuai dengan keinginan atasan kita, bukan aktif yang menurut kemauan kita sebab itu malah tidak menolong tetapi justru semakin menyusahkan. Kristus telah mengasihi kita sedemikian rupa maka sebagai warga Kerajaan Sorga sikap kita terhadap Kristus Tuhan dan Raja atas semesta alam seharusnya lebih baik dibandingkan sikap kita pada orang lain yang menjadi atasan kita di dunia; apapun yang kita kerjakan haruslah menyenangkan hati-Nya dan kemuliaan hanya bagi Dia saja. Iman bukan memaksakan kehendak kita tetapi menjalankan apa yang menjadi kehendak Tuhan.

3. Sabar
Orang yang beriman sejati adalah orang yang sabar menunggu waktu Tuhan. Selain aktif untuk tunduk mutlak, kita juga harus aktif untuk peka akan pimpinan Tuhan atas hidup kita, dan juga peka akan waktu Tuhan. Kalau waktu Tuhan belum tiba maka janganlah kita paksa sebab semua yang terjadi di luar waktu Tuhan justru akan menghancurkan hidupmu apalagi kalau iblis turut campur maka kita harus lebih berhati-hati sebab iblis sangatlah licik, ia akan membuat segala sesuatu yang ada di depan mata kelihatan indah tetapi kemudian berakhir dengan kebinasaan. Perhatikan, kedua orang buta ini selalu mengikuti Tuhan Yesus tetapi Tuhan Yesus tidak menghiraukannya sampai tiba waktu-Nya, barulah mereka disembuhkan. Kalau kita yang diperlakukan demikian oleh Tuhan Yesus, bagaimanakah sikapmu? Orang yang ambisius pasti akan marah, sesungguhnya orang yang ambisius itu juga ingin ditolong tapi waktu dan caranya haruslah sesuai dengan keinginan diri. Memang siapakah kita berani mengatur dan memaksa Tuhan untuk menuruti kehendak kita? Setiap hal yang menjadi beban pelayanan kita hendaklah kita pergumulkan terlebih dahulu, benarkah itu kehendak Tuhan ataukah ambisi kita? Ingat, kalau Tuhan sudah berkehendak maka tidak ada apapun dan tidak ada satupun manusia yang dapat menghambatnya tapi kalau beban itu adalah ambisi kita maka jangan pernah berharap akan menjadi sukses. Ingat, melayani bukanlah mengaplikasikan ambisi diri tetapi melayani adalah taat melakukan kehendak Tuhan, sabar menanti waktu Tuhan.


4. Tahan Uji
Iman sejati harus diuji dan iman sejati harus lulus dari ujian, seperti emas semakin dibakar makin nampak kemurniannya demikian juga seharusnya iman. Setiap orang pasti beriman akan tetapi pertanyaannya adalah siapakah yang menjadi obyek imannya? Apakah obyek iman tersebut membawa kita pada keselamatan ataukah membawa kita pada kehancuran? maka tugas kita untuk membawa mereka pada kebenaran sejati. Orang Kristen bukan hasil reparasi tetapi orang Kristen adalah ciptaan baru di dalam Kristus maka seluruh pola pikirnya, tatanan dan kepercayaannya haruslah berubah dan hal ini tidaklah mudah karena itu iman perlu diuji. Orang yang takut imannya diuji membuktikan kalau ia tidak beriman, imannya rapuh. Ujian iman itu bukanlah untuk menjatuhkan dan membawa kita ke dalam dosa, tidak, ujian justru tempat untuk memurnikan iman dan ketahanan itu muncul saat kita berada dalam tekanan dan penderitaan, masihkah engkau percaya pada Kristus?
Biarlah hal ini menjadi kekuatan kita untuk hidup di tengah dunia yang kacau ini. Iman sejati membawa kita pada suatu titik krusial, siapakah obyek sekaligus subyek iman kita? Apa atau pada siapa yang kita percaya maka obyek iman itu sekaligus menjadi subyek yang mengatur hidup kita. Orang yang percaya pada diri sendiri maka diri sendiri akan mengatur seluruh langkahnya namun Tuhan menegaskan bahwa tanpa Tuhan semua yang kita kerjakan hanya berakhir dengan kesia-siaan; Tuhan menetapkan langkah-langkah orang yang hidupnya berkenan kepada-Nya, apabila ia jatuh tidak sampai tergeletak sebab Tuhan menopang. Iman sejati haruslah mempunyai daya tahan sehingga ketika kita berada dalam menghadapi kesulitan, kita tetap mempunyai keberanian untuk berkata: tidak seperti teladan Sadrakh, Mesakh dan Abednego. Sadrakh, Mesakh, Abednego percaya bahwa Allah yang ia sembah dapat melepaskannya dari dapur api tapi seandainya tidakpun mereka tidak akan meninggalkan Allah. Dunia semakin hari semakin rusak dan kacau maka tugas setiap anak Tuhan untuk membawa orang pada iman kebenaran sejati dengan demikian orang mempunyai dasar iman yang teguh, tidak mudah diombang-ambingkan oleh tekanan arus dunia dan itu menjadi kekuatan dan penghiburan bahwa Tuhan senantiasa memelihara hidup kita.

5. Rendah Hati
Hati-hati, orang yang selalu mendapatkan pertolongan dari Tuhan ketika ia berada dalam kesulitan, mendapatkan penghiburan dari Tuhan di saat ia sedih maka sangatlah mudah baginya jatuh dalam kesombongan. Tuhan ingin supaya kita rendah hati. Dari jawaban dua orang buta ini, yakni: “Ya Tuhan, kami percaya“ menunjukkan kerendahan hatinya, mereka menyadari bahwa mereka adalah budak. Namun karena kasih-Nya yang begitu besar sehingga Dia tidak lagi menganggap kita sebagai budak melainkan seorang sahabat akan tetapi status sahabat itu janganlah menjadikan kita menjadi sombong bahkan cenderung kurang ajar. Kita sepatutnya bersyukur kalau kita dapat merasakan pimpinan Tuhan atas hidup kita, bersyukur atas mujizat besar, yaitu pertobatan dalam diri kita dan juga bersyukur, di saat kita berada dalam kesulitan, Dia memberikan penghiburan dan kekuatan, dan kuasa-Nya menyertai hidup kita. Akan tetapi, biarlah pemeliharaan-Nya atas hidup kita menjadikan kita mawas diri, kita tetap harus sadar bahwa sesungguhnya, kita adalah budak dan Dia adalah Tuhan. Beriman pada Kristus mengharuskan kita untuk rendah hati. Satu hal yang kita tahu, yakni hanya bersandar mutlak pada-Nya. Ingat, memang Tuhan ingin supaya kita aktif namun juga tunduk mutlak pada-Nya karena Dia adalah Tuhan diatas segala tuan dan kita adalah budak.
Biarlah konsep ini terus kita sadari dan terimplikasi dalam hidup kita maka kita akan mempunyai iman yang kokoh yang tidak mudah diguncangkan oleh segala macam badai kehidupan akan tetapi meski badai itu datang percayalah, sekali-kali Tuhan tidak akan pernah meninggalkan engkau. Percayakah engkau, bahwa Aku dapat melakukannya? Amin.

(Ringkasan khotbah ini belum diperiksa oleh pengkhotbah)
Sumber:

Roma 7:21-26: HUKUM TAURAT DALAM PERSPEKTIF KRISTEN-4

Seri Eksposisi Surat Roma :
Manusia Lama Vs Manusia Baru-11


Hukum Taurat Dalam Perspektif Kristen-4 :
Jalan Keluar dari Dosa dan Fungsi Hukum Taurat

oleh: Denny Teguh Sutandio


Nats: Roma 7:21-26.

Setelah mempelajari tentang efek dosa di dalam diri manusia terhadap Taurat, Paulus akan memberikan jalan keluar dari masalah dosa tersebut dan fungsi Hukum (Taurat) itu sesungguhnya.

Di ayat 13-20, Paulus sudah mengajarkan bahwa meskipun hukum Taurat itu kudus, benar dan baik, tetapi ia tak mampu melakukannya 100% karena adanya dosa. Ia melanjutkannya pada ayat 21 s/d 23 dan diakhiri dengan kesimpulan di ayat 24 serta jalan keluar dari dosa di ayat 25-26. Di ayat 21, Paulus mengatakan, “Demikianlah aku dapati hukum ini: jika aku menghendaki berbuat apa yang baik, yang jahat itu ada padaku.” Terjemahan lain (King James Version) mengatakan bahwa aku (Paulus) menemukan kemudian bahwa ketika ia menghendaki berbuat yang baik, yang jahat (=hal yang tidak bernilai/berharga) lah yang mendekatiku. Di dalam ayat ini, Paulus hendak mengatakan bahwa di dalam diri manusia ada benih agama (seperti yang dinyatakan Calvin : sensus divinitatis) yaitu pengenalan akan Allah yang mengakibatkan dirinya memiliki kehendak baik untuk berbuat baik. Dalam hal ini, Paulus pun tak terkecuali, ia juga menyamakan dirinya dengan semua manusia. Tetapi sayangnya, akibat dosa, maka ia tak lagi bisa melakukan apa yang dikehendakinya, sehingga ia berkata bahwa ketika ia hendak berbuat baik, maka yang jahat justru mendekatinya. Kata “ada” dalam pernyataan “ada padaku” dalam bahasa Yunani bisa diterjemahkan berada dekat (to lie near). Ini berarti dosa mengakibatkan sesuatu yang tidak bernilai/worthless (terjemahan dari bahasa Yunani kakos pada kata evil/kejahatan) bisa mendekati seseorang ketika seseorang ingin berbuat baik. Memang unik. Banyak manusia berpikir bahwa ketika ia ingin berbuat baik, maka perbuatan baiklah yang keluar, tetapi Alkitab membukakan kepada kita sesuatu yang sangat berbeda, yaitu justru ketika kita berbuat baik di luar Allah, maka sesuatu yang tak bernilai adalah hasilnya. Mengapa demikian ? Apakah kita tidak boleh berbuat baik ? TIDAK. Kita boleh berbuat baik, tetapi di luar Kristus, perbuatan baik itu sia-sia, karena perbuatan baik itu dilakukan bukan dengan motivasi dan tujuan untuk memuliakan Allah, tetapi untuk memuliakan diri. Di Indonesia, kita melihat begitu banyak fakta yang menunjukkan hal ini yaitu perbuatan “baik” palsu. Menjelang bulan-bulan “suci” agama tertentu, para pemeluk agama berpuasa, beramal, dan melakukan kegiatan-kegiatan religius tertentu dengan tujuan agar amal ibadahnya diterima di sisi “Tuhan”. Benarkah mereka berbuat baik ? Niat hati boleh berbuat baik, tetapi kebrengsekan yang sering dijumpai. Bagaimana tidak brengsek, mereka berpuasa, tetapi mereka memaksa orang lain yang tak berpuasa untuk menghormati dirinya yang sedang berpuasa. Bahkan mereka memaksa mal dan restoran/rumah makan/depot/sejenisnya untuk tutup selama mereka melangsungkan “ibadah” puasa. Kalau mau berpuasa, mengapa mereka harus teriak sini-sana dan menyuruh orang memerhatikan dirinya. Itukah berbuat “baik” ? Bandingkan dengan perkataan Tuhan Yesus yang sangat mulia ini, “"Dan apabila kamu berpuasa, janganlah muram mukamu seperti orang munafik. Mereka mengubah air mukanya, supaya orang melihat bahwa mereka sedang berpuasa. Aku berkata kepadamu: Sesungguhnya mereka sudah mendapat upahnya. Tetapi apabila engkau berpuasa, minyakilah kepalamu dan cucilah mukamu, supaya jangan dilihat oleh orang bahwa engkau sedang berpuasa, melainkan hanya oleh Bapamu yang ada di tempat tersembunyi. Maka Bapamu yang melihat yang tersembunyi akan membalasnya kepadamu."” (Matius 6:16-18) Tuhan Yesus mengajarkan berpuasa adalah hal yang baik, tetapi bukan untuk dilihat orang. Tetapi agama mayoritas di Indonesia mengajarkan hal yang sangat bertentangan yaitu berpuasa untuk dilihat orang bahkan memaksa orang untuk menghormati dirinya. Ibadah sejati bukan menyanjung manusia, tetapi memuliakan Allah. Silahkan pikirkan sendiri, apakah perbuatan “baik” yang dilakukan oleh penganut agama mayoritas di Indonesia ini dapat dikategorikan “baik” atau munafik ? Kalau kita mengerti hal ini, maka itulah yang dimaksud Paulus ketika ia mengajar bahwa ketika manusia berkehendak baik, maka hasilnya justru sesuatu yang tak bernilai, karena perbuatan “baik” itu dilakukan tanpa Kristus/di luar Allah.

Mengapa bisa demikian ? Paulus menjelaskan alasannya pada ayat 22 dan 23, “Sebab di dalam batinku aku suka akan hukum Allah, tetapi di dalam anggota-anggota tubuhku aku melihat hukum lain yang berjuang melawan hukum akal budiku dan membuat aku menjadi tawanan hukum dosa yang ada di dalam anggota-anggota tubuhku.” Sekali lagi, ia membuat perbedaan antara jasmani dengan rohani. Dalam bagian ini, ia tidak mengajarkan filsafat dualisme ala Yunani yang memisahkan hal-hal natural dengan supranatural, tetapi ia sedang menitikberatkan pengajaran tentang dosa dan jalan keluarnya. Ayat 22 mengajarkan bahwa Paulus secara batiniah (inward man/manusia batiniah) suka akan hukum Allah (atau diterjemahkan : menyukai/bersukacita/rejoice hukum Allah). Geneva Bible Translation Notes menyamakan arti inward man dengan new man (=manusia baru) yang dibedakan dan dikontraskan dengan manusia lama (old man). Tetapi Paulus sendiri menegaskan bahwa meskipun secara batin ia menyukai hukum Allah, tetapi ia secara jasmani tidak menaati hukum Allah tersebut. Ini lah yang disebut ketegangan di dalam iman Kristen yaitu bergumul melawan dosa. Apa sajakah yang dijelaskan Paulus tentang tubuh jasmani yang berlawanan dengan batin tersebut ?
Pertama, di dalam tubuh jasmaniah, Paulus melihat hukum yang berbeda dari hukum Allah. Kata “hukum lain” bisa diterjemahkan hukum yang berbeda. Dosa mengakibatkan munculnya suatu “hukum” ciptaan yang menandingi hukum Allah yaitu suatu hukum yang menyanjung kehebatan diri, kesanggupan, kepintaran dan kemampuan pribadi serta ketidakperluan manusia akan Allah. Itu sebabnya mengapa saya mendefinisikan (sesuai arti dalam bahasa Yunani) hukum yang lain itu sebagai hukum yang berbeda, karena kedua hukum tersebut memiliki dua esensi dan pengaruh yang sangat berbeda/bertolak belakang. Ketika kita kembali kepada kasus Adam dan Hawa, kita akan mendapati hal ini lebih jelas. Adam sudah mendapatkan pengajaran yang sangat jelas dari Tuhan bahwa ia tidak boleh makan buah pengetahuan baik dan jahat. Dalam batiniahnya, ia mengerti dan berkehendak untuk menaatinya, tetapi sayangnya di dalam jasmani, ia lebih menaati “hukum” yang berbeda yang menentangnya, yaitu “hukum” diri (saya menyebutnya self-law) yang dipengaruhi setan yang mengakibatkan dia lebih menaati iblis ketimbang Allah. “Hukum” diri inilah yang mengakibatkan ia jatuh ke dalam dosa. Orang-orang Farisi dan para ahli Taurat juga mengetahui Taurat secara batin dan pikiran, tetapi tidak secara jasmani, sehingga mereka menonjolkan diri ketika beribadah (mirip seperti penganut agama mayoritas di Indonesia), dan mereka menyangka bahwa dengan cara demikian, “Tuhan” menjawab doa mereka. Itulah “hukum” diri yang menggantikan hukum Allah. Bagaimana dengan kita ? Di zaman postmodern yang anti otoritas, manusia semakin tidak mau tunduk kepada hukum apapun bahkan Alkitab dengan beribu cara, tetapi secara tidak sengaja, mereka sebenarnya tunduk kepada “hukum” diri bahwa tidak ada hukum yang perlu ditaati kecuali dirinya yang anti-hukum. Itulah “hukum” diri, padahal diri manusia adalah diri yang mudah rapuh, terbatas, berdosa dan lemah.
Kedua, bukan hanya adanya hukum yang berbeda, Paulus juga melihat bahwa hukum tersebut melawan (atau menyerang) hukum akal budi. Di sini, Paulus hendak mengajarkan bahwa hukum jasmani atau yang saya sebut sebagai “hukum” diri ini bukan saja bertentangan dengan hukum Allah, tetapi “hukum” ini juga menyerang dan bahkan menghancurkan hukum Allah. Kembali, orang-orang Farisi dan para ahli Taurat di zaman Kristus sudah membuktikan dengan jelas mengenai hal ini ketika mereka datang kepada Kristus dan berkata, “"Mengapa murid-murid-Mu melanggar adat istiadat nenek moyang kita? Mereka tidak membasuh tangan sebelum makan."” (Matius 15:2) Mereka lebih meninggikan adat istiadat atau saya sebut sebagai “hukum” diri/eksklusif ketimbang hukum Allah. Mereka menganggap adat istiadat atau tradisi sebagai hukum yang mutlak. Bagaimana respon Tuhan Yesus ? Kristus menjawab, “Mengapa kamupun melanggar perintah Allah demi adat istiadat nenek moyangmu?” (Matius 15:3) Mengutip pemaparan Pdt. Sutjipto Subeno yang menafsirkan bagian ini, Tuhan Yesus bukan sedang beradu argumentasi dengan para ahli Taurat, tetapi Ia sedang menunjukkan satu hal yang lebih tinggi yaitu hukum Allah yang seharusnya dihormati dan ditaati malahan direndahkan dan dikorbankan demi adat istiadat (satu tingkat level yang lebih tinggi dari perkataan para ahli Taurat). Perintah-perintah karangan para ahli Taurat telah menggantikan esensi dari Hukum Taurat sejati, sehingga dengan “hukum” ciptaan tersebut, mereka mengira bahwa mereka berbuat “baik”. Tuhan Yesus lalu mengutip perkataan nabi Yesaya, “Bangsa ini memuliakan Aku dengan bibirnya, padahal hatinya jauh dari pada-Ku. Percuma mereka beribadah kepada-Ku, sedangkan ajaran yang mereka ajarkan ialah perintah manusia.” (Matius 15:8-9) Kristus membukakan kedok kemunafikan para ahli Taurat yaitu mereka sebenarnya sedang mengajarkan perintah manusia kepada orang-orang Yahudi dan parahnya, perintah itu telah melawan perintah Allah, sehingga orang-orang Yahudi sampai sekarang dibodohi dan masih menunggu kedatangan Mesias. Dalam hal ini, iblis sangat berperan aktif memelintir hukum Allah agar menghasilkan hukum yang mengenakkan dirinya dan kroni-kroninya bahkan menghancurkan hukum Allah. Bagaimana dengan kita ? Kita seringkali menciptakan “hukum” yang berbeda dari hukum Allah misalnya dengan pengagungan tradisi, dll, bahkan tradisi yang kita bangun bisa menghancurkan hukum Allah, misalnya rela untuk tidak pergi ke gereja, ketika ada upacara sembahyang di depan kuburan atau “tradisi” lain. Atau kita bahkan tidak sengaja lebih suka berbagi angpao ketimbang harus berbagi Injil kepada saudara/kerabat/rekan kita. Itu semua menunjukkan bahwa hukum yang berbeda itu bahkan bisa menghancurkan hukum Allah. Sadarkah kita akan hal ini ?
Ketiga, hukum yang berbeda ini akhirnya mengakibatkan kita menjadi hamba dosa. International Standard Version (ISV) menerjemahkannya a prisoner of sin (=seorang narapidana/tawanan dosa). Gambaran narapidana lebih tepat mengartikan hal ini. Hukum yang berbeda dari hukum Allah yang bahkan bisa menghancurkan hukum Allah ternyata mengakibatkan kita diperbudak oleh hukum tersebut sehingga kita akhirnya menjadi tawanannya yang tidak bisa melarikan diri/keluar darinya seperti orang yang di dalam penjara (narapidana). “Hukum” tersebut terus merongrong dan mempengaruhi kita bahwa hukum Allah itu “jelek”, “tidak enak”, “kaku”, dll, dan menyodorkan hukumnya sebagai hukum yang “enak”, “gaul”, “baik”, dll, sehingga kita seolah-olah dijerat dan tidak bisa lari. Kalau kita kembali pada kisah di atas (Matius 15), maka orang-orang Farisi dan para ahli Taurat juga menjadikan aturan-aturan mereka sebagai pengganti hukum Allah yang akhirnya mengikat orang-orang Yahudi dan mengakibatkan mereka tidak bisa lepas dari ikatan tersebut, misalnya karena para ahli Taurat menetapkan bahwa di hari Sabat tidak boleh ada yang bekerja berat (bahkan tidak boleh mengangkat barang beberapa kilogram), maka orang-orang Yahudi akan menimbang beban yang akan dipikulnya di hari Sabat, padahal aturan-aturan tersebut tidak penting (karena ditetapkan bukan oleh Allah, tetapi oleh para ahli Taurat yang mengatasnamakan dari “Allah”).

Lalu, Paulus menyimpulkan kondisi keparahan dosa ini di dalam ayat 24, “Aku, manusia celaka! Siapakah yang akan melepaskan aku dari tubuh maut ini?” Kata “celaka” dalam King James Version, International Standard Version (ISV) dan English Standard Version (ESV) diterjemahkan wretched (=hina/sial), dalam bahasa Yunaninya talaipōros bisa berarti miserable (=menyedihkan/melarat/bermutu rendah/buruk). Inilah kondisi manusia berdosa yang menyadari kerusakan total dirinya. Paulus adalah orang yang sangat terbuka di hadapan Tuhan dan kita bahwa kita sebenarnya adalah sosok manusia yang hina, melarat, bermutu rendah, dan busuk di mata Allah. Bukan hanya sadar diri, Paulus juga bertanya tentang solusi untuk keluar dari kerusakan total ini, yaitu siapa yang akan melepaskan/membebaskan manusia dari tubuh kematian ini. Dari ayat-ayat sebelumnya, kita telah belajar banyak hal tentang perbuatan “baik” yang sesungguhnya tidak pernah baik jika di luar Allah mengakibatkan orang yang semakin berbuat “baik” malahan menghasilkan sesuatu yang jahat/tidak bernilai dan otomatis perbuatan “baik” se”baik” apapun tak mungkin dapat melepaskan manusia dari jerat dan kutuk dosa, karena dosa BUKAN diselesaikan dengan banyaknya perbuatan “baik” ! Adalah anggapan konyol untuk berpikir bahwa dengan berbuat “baik”, manusia bisa diselamatkan ! Paulus telah membukakan hal ini di ayat-ayat sebelumnya. Lalu, kalau perbuatan “baik” tidak mampu melepaskan manusia dari jerat dan kutuk dosa, lalu bagaimana solusinya/siapa yang dapat melepaskan ?

Puji Tuhan, Paulus mengatakan di ayat 25, “Syukur kepada Allah! oleh Yesus Kristus, Tuhan kita.” Tidak ada jalan lain, kecuali hanya satu yaitu Bapa mengutus Putra Tunggal-Nya, Tuhan Yesus Kristus untuk menjelma menjadi manusia (tanpa meninggalkan natur Ilahi-Nya) untuk menebus dosa-dosa manusia pilihan-Nya. Paulus bersyukur untuk hal ini dan bahkan ia sendiri mengajarkan bahwa barangsiapa yang percaya di dalam Kristus, ia tidak akan dihukum (Roma 8:1→hal ini akan dijelaskan lebih lanjut di bagian berikutnya). Mengapa ? Karena Kristus telah mengganti dosa-dosa manusia pilihan-Nya (substitusi), mendamaikan umat-Nya yang berdosa dengan Allah (rekonsiliasi) dan meredakan murka Allah kepada umat-Nya (propisiasi), sehingga kebenaran dan ketaatan Kristus kepada Bapa dilimpahkan kepada kita yang tidak layak ini. Akibatnya, kita yang dahulu tidak benar dan tidak taat dapat dibenarkan oleh Allah di dalam Kristus sehingga kita dimampukan melalui Roh Kudus untuk taat secara terus-menerus kepada Bapa melalui Firman-Nya, Alkitab. Hal ini dipaparkan Paulus di ayat 26 yang di dalam terjemahan KJV digabungkan dengan ayat 25, “Jadi dengan akal budiku aku melayani hukum Allah, tetapi dengan tubuh insaniku aku melayani hukum dosa.” Dengan adanya dua pembedaan ini, tidak berarti Paulus kembali menekankan bahwa tubuh ini jahat dan roh itu baik (dualisme), tetapi ia menekankan pentingnya penebusan Kristus yang terus-menerus menguduskan dirinya melalui Roh Kudus. Geneva Bible Translation Notes menafsirkan, “This is the true perfection of those that are born again, to confess that they are imperfect.” (=Inilah kesempurnaan sejati dari orang yang dilahirkan kembali, yaitu mengaku bahwa mereka tidak sempurna.) Inilah paradoks di dalam iman Kristen, kesempurnaan sejati didapat di dalam kekekalan, sedangkan di dalam dunia ini, kita sudah dan belum disempurnakan. Artinya, kita sudah disempurnakan oleh darah penebusan Kristus, tetapi kita menanti untuk terus-menerus disempurnakan sampai akhirnya kita bertemu muka dengan muka dengan Kristus dan Bapa di Surga. Dengan kata lain, iman dan pengertian ini akan Firman Allah seharusnya mendorong dan melatih tubuh jasmani kita untuk taat kepada Firman Allah, sehingga iman kita bukan iman yang kosong dan kaku, tetapi iman yang berkuasa dan hidup karena iman kita didasarkan pada Firman Allah yang hidup dan berkuasa.

Kita memang masih bisa berbuat dosa, tetapi Alkitab menyatakan bahwa orang yang lahir dari Allah tidak akan terus-menerus berbuat dosa, karena orang yang lahir dari Allah ditanamkan benih Ilahi di dalam dirinya. Sudahkah kita mengalami hal ini dan terus berjuang melawan dosa dan menghambakan diri hanya kepada Kristus ? Kiranya Tuhan memberkati. Soli Deo Gloria.