01 July 2010

Daftar Pustaka

DAFTAR PUSTAKA




Boettner, Loraine. Iman Reformed. Terj. Hendry Ongkowidjojo. Surabaya: Momentum, 2000.
Calvin, John. Institutes of the Christian Religion. Ed. John T. McNeill. Kentucky, U.S.A.: Westminster John Knox Press, 2006.
Frame, John M. Cornelius Van Til: Suatu Analisis Terhadap Pemikirannya. Terj. Irwan Tjulianto. Surabaya: Momentum, 2002.
“History of Protestantism.” Wikipedia. 2010. 27 Juni 2010. http://en.wikipedia.org/wiki/History_of_Protestantism
“John Calvin.” Wikipedia. 2010. 27 Juni 2010 .
“Monergism.” Wikipedia. 2009. 29 Juni 2010 .
Moeliono, Anton M., ed. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka, 1990.
Piper, John S. Memerangi Ketidakpercayaan. Terj. Grace P. Christian. Bandung: Pionir Jaya, 2010.
Williamson, G. I. Katekismus Singkat Westminster 1. Terj. The Boen Giok. Surabaya: Momentum, 2006.
Zacharias, Ravi. Sang Penenun Agung. Terj. Christian Tirtha. Bandung: Pionir Jaya, 2009.

Bab 5: Kesimpulan dan Tantangan

BAB 5
KESIMPULAN DAN TANTANGAN




Setelah mempelajari dan merenungkan sejarah, ajaran, ciri khas, dan apa yang perlu direformasi dalam gerakan Reformed, apa yang menjadi reaksi kita? Marah? Ngambek? Cuek? Setuju-setuju saja sich tapi susah diaplikasikan (setuju secara kognitif)? Ataukah kita benar-benar menyetujuinya dan berkomitmen menjalankannya demi hormat dan kemuliaan nama-Nya? Saya menyadari bahwa tulisan saya ini kadang terlalu pedas/sengit, namun percayalah, saya ingin menyadarkan Kekristenan, khususnya Reformed, untuk kembali ke semangat Reformasi dan Reformed mula-mula yaitu Sola Scriptura. Jangan mengganti Sola Scriptura dengan Sola Reformed! Berhati-hatilah, dua istilah ini mirip dan bisa rancu pemakaiannya! Mari kita menguji diri kita, benarkah kita Sola Scriptura ataukah Sola Reformed atau Sola Ecclesia (hanya gereja saja)? Jika Anda belum kembali ke semangat Reformed mula-mula, berdoalah, mintalah Roh Kudus terus mengoreksi iman Anda selama ini, lalu kembalilah ke Alkitab. Biarlah semangat Reformed benar-benar kita aplikasikan di dalam kehidupan sehari-hari demi hormat dan kemuliaan nama-Nya. Amin. Soli DEO Gloria.

Bab 4: Reforming Reformed

BAB 4
REFORMING REFORMED




Setelah melihat ciri khas positif dan negatif dari Reformed, maka apa yang harus dilakukan oleh Reformed? TIDAK ada cara lain: Reformed harus BERTOBAT. Reformed harus di-Reformed-kan lagi. Apa yang lebih di dalam iman Reformed patut diteladani, namun apa yang kurang di dalam iman Reformed perlu direformasi lagi dan beberapa hal yang perlu direformasi di dalam gerakan Reformed saat ini:
I. Pentingnya Kerendahan Hati
Yang terpenting yang harus direformasi dalam gerakan Reformed hari-hari ini adalah kerendahan hati. Makin lama saya makin memperhatikan beberapa Reformed telah menjadi arogan dan menganggap remeh gerakan dan gereja lain, kemudian ajaran dari gerakan dan gereja lain dikarikaturkan sendiri untuk nantinya dikritik habis-habisan (mengutip pernyataan teman gereja saya, Sdr. Jimmy Sumendap, M.T.). Lucu bukan? Mengapa Reformed menjadi arogan? Karena Reformed menganggap bahwa Reformed paling benar. Ingatlah, Reformed memang satu-satunya theologi yang membangun doktrinnya dari perspektif kekekalan secara komprehensif dan konsisten, namun hal ini hendaknya TIDAK membuat Reformed menjadi sombong. Hal ini seharusnya membuat Reformed makin lama makin rendah hati. Coba ingat kembali perkataan Dr. John Calvin bahwa beliau mempersembahkan hatinya kepada Tuhan dengan tulus dan murni. Di manakah hati yang tulus dan murni di kalangan Reformed saat ini? Hati yang tulus dan murni ditandai dengan kerendahan hati. Seberapa pentingkah kerendahan hati? Dua orang theolog zaman ini menjelaskan signifikansi penting kerendahan hati. Seorang apologet Kristen terkenal, Dr. Ravi Zacharias, D.D. memaparkan, “Kerendahan hati adalah batu pijak bagi melayani Tuhan.”[1] Jika ingin melayani Tuhan, bukan segudang gelar akademis yang diperlukan, namun kerendahan hati, sebuah hati yang mau ditegur, diajar, dan belajar. Begitu juga halnya dengan Rev. John Stephen Piper, D.Theol. memaparkan, “Kerendahan hati hanya bisa bertahan di dalam hadirat Allah. Ketika Allah berlalu, kerendahan hati berlalu… kerendahan hati mengikuti Allah bagaikan suatu bayangan.”[2] Kerendahan hati untuk melayani sebenarnya berasal dari Allah, sehingga jika kita ingin rendah hati, teruslah berada dalam hadirat Allah, maka Ia akan menjaga hati kita terus-menerus murni dan siap ditegur, diajar, dan belajar. Mari kita mengaplikasikan kerendahan hati seperti apa yang harus dimiliki oleh seorang Reformed?
A. Kerendahan Hati Untuk Mau Ditegur dan Diajar
Siapa yang menegur dan mengajar Reformed? Tentu pertama-tama Tuhan bisa melalui hamba Tuhan dan orang Reformed sendiri (internal) maupun juga bisa melalui hamba Tuhan dan orang Kristen non-Reformed. Teguran dan pengajaran itu bisa berupa khotbah, uraian artikel, penyampaian secara langsung, diskusi, dll. Semua cara yang Tuhan pakai untuk menegur dan mengajar kembali Reformed hendaknya benar-benar diperhatikan dengan seksama oleh Reformed. Meskipun terkadang kritik orang non-Reformed kepada orang Reformed bersifat “menghakimi” tanpa melihat langsung (=fitnahan) dan terkesan kontradiksi dengan dirinya sendiri, namun kritikan tersebut tetap harus kita perhatikan dan refleksikan. Terus terang, saya dahulu seorang penganut Sola Reformed, sehingga barangsiapa yang mengkritik Reformed akan saya kritik balik. Namun puji Tuhan, lama-kelamaan Ia membuka hati dan pikiran saya melalui sharing pribadi dengan Ev. Yakub Tri Handoko, Th.M. (hamba Tuhan Reformed) untuk terus-menerus mengintrospeksi diri, sehingga “iman” saya dahulu yang Sola Reformed kemudian berubah sesuai dengan iman Reformed awal, yaitu: Sola Scriptura (hanya oleh Alkitab)! Bukankah Reformed percaya: Ecclesia Reformata Semper Reformanda Secundum Verbum Dei (gereja-gereja Reformed terus-menerus di-Reformed-kan sesuai dengan firman Allah)? Mengapa semboyan ini tidak diaplikasikan secara nyata oleh Reformed ketika ada yang mengkritik Reformed? Meskipun tidak semua kritikan itu baik dan Alkitabiah, namun alangkah bijaksananya jika kita sebagai orang Reformed tetap menerima dan merenungkan kritikan itu sesuai dengan prinsip Alkitab.

Ambil contoh, beberapa Reformed sering dikritik baik oleh jemaatnya sendiri maupun orang Kristen non-Reformed bahwa beberapa Reformed “dingin” dan kurang ada kehangatan bersekutu antar jemaat. Mengapa ada kritikan semacam itu? Karena beberapa Reformed terlalu berkutat dengan hal-hal theologis dan doktrinal melalui seminar dan studi literatur, sehingga setelah seminar usai, maka banyak jemaat pulang ke rumah masing-masing tanpa ada sharing sedikit tentang berkat yang didapat melalui seminar, dll. Bagaimana sikap Reformed? Ada yang merasionalisasinya dengan berkata bahwa yang penting itu doktrin yang beres dibangun, karena persekutuan itu hanya indah dipandang mata (superficial). Saya pribadi memang menyetujui sebagian konsep ini, banyak persekutuan itu hanya untuk saling menyenangkan, bukan untuk saling mengajar, menegur, dan menguatkan. Namun sebenarnya rasionalisasi ini sekaligus menunjukkan kebenaran tuduhan terhadap Reformed yang “dingin”. Reformed yang rendah hati seharusnya menerima kritikan tersebut dan mencoba untuk memperbaharuinya. Belajarlah sharing sedikit tentang berkat firman kepada sesama saudara seiman kita di dalam gereja. Jika ada teman kita yang bersalah, tegurlah dengan sopan dan kasih. Jika ada teman kita yang putus asa, hiburlah dan berikan kata-kata yang menunjukkan simpati kita (bukan hanya menggombal/terlalu puitis).

Dan yang terakhir yang perlu diperhatikan dalam kerendahan hati model ini adalah pentingnya Reformed untuk mengkritik diri ketimbang sibuk mengkritik ajaran lain. Saya terus memperhatikan beberapa Reformed (khususnya beberapa hamba Tuhan dan beberapa jemaat yang “senior”) kurang memiliki self-introspection dan lebih menunjukkan kritik kepada ajaran (dan orang) lain. Alangkah bijaksananya jika Reformed memulai terlebih dahulu kritik terhadap diri sendiri, baru mengkritik orang lain, sehingga kita menjadi teladan hidup bagi orang lain.


B. Kerendahan Hati Untuk Mau Belajar dari Hamba Tuhan Lain Non-Reformed
Kerendahan hati tipe kedua ini yang makin lama makin jarang saya jumpai di kalangan Reformed, mengapa? Karena Reformed terlalu arogan menyatakan diri sebagai satu-satunya kebenaran. Kembali, apa maksudnya ketika saya mengatakan bahwa Reformed perlu rendah hati belajar dari hamba Tuhan lain non-Reformed? Maksud saya adalah sebagai orang Reformed, kita perlu belajar dari hamba Tuhan lain non-Reformed untuk mengintrospeksi diri kita dan menumbuhkan iman kita. Untuk belajar dari hamba Tuhan lain non-Reformed, kita memang perlu ekstra ketat menyeleksinya, seberapa bermutu dan bertanggungjawabkah hamba Tuhan non-Reformed tersebut. Saya akan memberikan pengalaman saya pribadi. Saya dahulu berasal dari sebuah gereja Karismatik terbesar di Surabaya, kemudian ayah saya mengenalkan saya kepada theologi Reformed melalui kaset khotbah Seminar Pembinaan Iman Kristen (SPIK) dari hamba-Nya, Pdt. Dr. Stephen Tong. Kemudian makin lama melalui mendengarkan khotbah SPIK Pdt. Stephen Tong, iman saya makin diteguhkan tentang finalitas Kristus dan keunikan theologi Reformed. Meskipun demikian, waktu itu, saya “terpaksa” berada di sebuah gereja Karismatik lain (GBI Alfa Omega, Surabaya), sampai akhirnya 31 Oktober 2004, saya dan keluarga aktif beribadah di Gereja Reformed Injili Indonesia (GRII) Andhika, Surabaya. Nah, pada saat saya dahulu masih di GBI Alfa Omega tersebut dan telah mendengarkan khotbah Pdt. Stephen Tong, saya berjumpa dengan seorang pendeta Bethel yang berbeda dari pendeta Bethel yang lain melalui khotbah mimbar di GBI Alfa Omega, beliau adalah Pdt. Dr. (HC) Erastus Sabdono, D.Th. yang menggembalakan Gereja Bethel Indonesia (GBI) Rehobot, Jakarta. Dari situ, saya mengamati keunikan Pdt. Erastus sebagai pendeta Bethel yang cukup menguasai bahasa asli Alkitab (Ibrani dan Yunani) dan secara theologi, mendekati inti theologi Reformed: kedaulatan Allah. Setelah saya berbakti di GRII Andhika, sampai sekarang, saya tetap mengoleksi khotbah Pdt. Dr. Erastus Sabdono baik dalam bentuk MP3 (yang saya download dari website GBI Rehobot) maupun di radio Bahtera Yudha FM, Surabaya. Saya pun mengcopy artikel Pdt. Erastus (yang telah saya seleksi ketat) di website GBI Rehobot untuk saya publikasikan di milis, Facebook, dll. Terus terang, saya juga banyak diberkati melalui mendengarkan khotbah Pdt. Erastus, karena khotbah-khotbah beliau juga sama kerasnya seperti khotbah Pdt. Dr. Stephen Tong dan terlebih lagi, khotbah-khotbah beliau kebanyakan bersifat reflektif yang jarang saya jumpai di kalangan Reformed yang selalu “bermain” di tataran filsafat dan theologi yang berat-berat (bukan berarti saya anti yang berat-berat lho). Meskipun dalam beberapa poin dari ajaran Pdt. Erastus, saya kurang sependapat, namun secara mayoritas, khotbah beliau layak diperhitungkan sebagai salah satu khotbah yang bertanggungjawab dari pendeta Bethel.

Selain itu, saya juga mulai melirik buku-buku rohani non-Reformed dan mulai membeli dan tentunya membacanya (dengan selektif). Misalnya, saya menyukai buku The Christian Atheist karya Rev. Craig Groeschel, M.Div. Buku ini ditulis bukan oleh seorang pendeta Reformed, namun isinya bersifat Injili dan melawan ajaran kemakmuran. Meskipun secara kuantitas, saya memang lebih banyak membeli buku-buku Reformed, namun tidak menutup kemungkinan, saya mencoba membeli buku-buku non-Reformed. Mungkin dari buku-buku non-Reformed, saya juga bisa belajar banyak hal yang mungkin kurang dibahas di dalam buku-buku Reformed. Untuk mulai membaca buku-buku non-Reformed, memang diperlukan pengertian theologi yang ketat dahulu, sehingga kita bisa menyensor dalam buku-buku tersebut, mana ajaran yang bertanggungjawab dan mana yang ngaco.




II. Perlunya Bersatu
Selain kerendahan hati, yang perlu direformasi dalam gerakan Reformed adalah persatuan. Semangat bersatu di beberapa Reformed hampir tidak ada, malahan yang terjadi sebaliknya, bahkan, antar cabang dalam satu plang/nama gereja Reformed yang sama saja sering berkelahi. Mengapa mereka tidak mau bersatu? Alasannya simple, namun dipoles dengan kata-kata “rohani”, misalnya “beda visi.” Sebenarnya intinya bukan beda visi, namun beda konsep dan pendekatan Reformed. Ada juga beda organisasi. Kalau masalah organisasi gereja, saya tidak bisa berkata apa-apa, karena saya bukan ketua sinode, hehehe. Namun andaikan alasannya beda organisasi gereja (dan juga kebijakan yang diambil), pertanyaan saya, mengapa gereja yang sama-sama Reformed tidak mau saling mendukung hanya dengan alasan organisasi? Apakah salah satu gereja Reformed merasa kehilangan domba-dombanya jika jemaat dari gereja Reformed yang satu pindah ke gereja Reformed yang lain?

Bagaimana halnya dengan beda pendekatan Reformed? Ada pendekatan Reformed yang frontal mengkritik habis-habisan gereja lain, ada juga pendekatan Reformed yang friendly (bersahabat) dengan gereja lain untuk nantinya dibawa untuk mengerti theologi Reformed. Yang paling parah ada pendekatan Reformed yang tidak Reformed, yaitu pendeta/hamba Tuhan yang kuliah theologi di seminari theologi Reformed di luar negeri, namun tidak membawa semangat dan theologi Reformed ketika kembali ke Indonesia. Bagi orang ini, Reformed atau tidak Reformed, tidak menjadi masalah. Pendekatan terakhir ini saya tidak setuju, karena Reformed memiliki keunikan yang tidak bisa dipersamakan dengan arus theologi lain. Kembali, untuk 2 pendekatan awal Reformed (Reformed frontal dan friendly Reformed), saya menghargai dua macam pendekatan tersebut dan saya tidak menghakimi mana yang paling Alkitabiah, karena Tuhan pun memakai hamba-hamba-Nya dari dua macam pendekatan ini untuk membawa banyak orang untuk kembali kepada Kristus dan theologi yang benar yang mendekati Alkitab. Kalau citra Reformed saja begitu rusak, bagaimana Reformed bisa bersaksi di tengah dunia ini? Apa kata dunia jika mereka melihat pengikut Kristus yang meneladani Calvin bisa bertengkar sendiri untuk hal-hal remeh?

Lalu, bagaimana Reformed bisa bersatu?
A. Tinggalkan “Tembok” Organisasi Gereja
Hal pertama yang harus digarap agar Reformed bisa bersatu adalah tinggalkan dan hancurkan semua “tembok” organisasi gereja. Jangan menghalangi pekerjaan Tuhan hanya dengan alasan “organisasi gereja”. Saya bukan anti organisasi gereja, namun saya sangat anti dengan orang Kristen, majelis, dan pendeta yang lebih memberhalakan organisasi gereja ketimbang khotbah yang bertanggungjawab. Apa gunanya organisasi gereja yang kuat dan terorganisir dengan rapi, namun khotbah yang disampaikan di atas mimbar benar-benar kering (tidak menumbuhkan iman) dan bahkan menidurkan jemaat? Saya terus ngeri melihat banyak gereja Protestan arus utama yang organisasi gerejanya begitu rapi, namun iman dari banyak jemaatnya rapuh ketika filsafat dunia menyerang. Pdt. Dr. Stephen Tong mengajar bahwa di dalam sebuah gerakan/gereja, dahulukan visi, pribadi-pribadi, dan baru terakhir organisasi gereja. Jangan dibalik. Mengapa di dalam gereja Reformed, ada gereja Reformed yang terlalu memberhalakan organisasi gereja sampai-sampai tidak mendukung acara Reformed lainnya? Yang saya perhatikan, alasan sebenarnya adalah mungkin karena ambisi pribadi atau ketidaksetujuan doktrin (sekunder) antara pendeta Reformed X dengan pendeta Reformed Y. Bagi saya, alasan-alasan tersebut tetap BUKAN alasan primer, malah alasan tersebut bisa saya kategorikan sebagai alasan childish yang ngambek kalau dirinya tidak dihormati/disetujui. Masa ini sich citra Reformed? Ayo Reformed, sadarlah dan bertobatlah. Untuk hal-hal sekunder bahkan tersier, belajarlah menerima keunikan masing-masing di dalam kubu Reformed, jangan memaksakan kehendak sendiri. Ingatlah, kita dipanggil untuk menjadi berkat di tengah dunia! Ingatlah, Reformed bukan sebuah gereja, namun gerakan yang harus melintasi batasan denominasi.


B. Bersatulah Antar Gereja dan Lembaga Reformed Untuk Menyelenggarakan Forum/Simposium Theologi dan Tukar Mimbar (Khotbah)
Setelah meruntuhkan tembok “organisasi gereja”, maka Reformed perlu bersatu antar gereja dan lembaga Reformed untuk menyelenggarakan forum/simposium theologi. Rupa-rupanya Reformed di Indonesia perlu belajar dari World Reformed Fellowship (WRF) sebagai persekutuan Reformed dunia yang terdiri dari gereja-gereja Reformed lintas denominasi di seluruh dunia. Reformed di Indonesia perlu bersatu untuk makin memberkati bangsa Indonesia. Saya berangan-angan, andaikan di Indonesia, gerakan Reformed saling melengkapi, maka nama Tuhan dipermuliakan. Gerakan Reformed yang saling melengkapi itu adalah gerakan Reformed lintas denominasi gereja yang menyelenggarakan simposium/seminar theologi bersama membahas masalah: theologi sistematika, theologi biblika, theologi historika, apologetika, filsafat, mandat Budaya, dll, sehingga Reformed yang menguasai Biblika bisa belajar dari Reformed yang menguasai Filsafat, begitu juga Reformed yang menguasai Theologi Sistematika bisa belajar dari Reformed yang menguasai Biblika dan Filsafat, dlsb, sehingga masing-masing Reformed bisa saling belajar, bertumbuh, dan berbuah bagi perluasan Kerajaan Allah di bumi ini.

Gerakan Reformed yang saling melengkapi ini juga bisa berupa adanya inisiatif pendeta/majelis gereja Reformed untuk bisa saling tukar mimbar. Misalnya, pendeta yang melayani di gereja Reformed A diundang berkhotbah di gereja Reformed B, begitu juga sebaliknya, sehingga jemaat di gereja Reformed A juga bisa belajar dari hamba Tuhan dari gereja Reformed B dan juga sebaliknya. Dengan demikian, masing-masing bisa belajar, bertumbuh, dan berbuah untuk bersaksi di tengah zaman ini. Coba bayangkan seorang jemaat Reformed di gereja Reformed yang hanya menekankan studi Biblika dan kurang menyentuh studi yang lain mengakibatkan jemaatnya hanya pandai berbahasa Ibrani dan Yunani dan bereksegese, namun ketika menjalankan mandat budaya dan mengerti filsafat, beberapa jemaatnya (tidak semua) amburadul. Bukan saja tidak karuan, bahkan ada salah satu jemaatnya yang menggunakan istilah agung seperti bergumul untuk maksud “sampah”, misalnya berpacaran dengan yang tidak seiman. Inilah akibat dari gereja Reformed yang hanya menekankan studi Biblika, namun secara doktrinal kurang ditekankan. Begitu juga halnya dengan gereja Reformed yang hanya menekankan studi doktrin/theologi sistematika dan filsafat, biasanya banyak yang jebol di dalam studi Biblika dan apologetika, karena yang dikuasai hanya theologi sistematika dan filsafat. Kalaupun mengusung tema Biblika (misalnya Pemahaman Alkitab), yang diuraikan tetap dari kerangka pikir theologi sistematika, bukan menggali Alkitab dengan teliti. Ayo gereja Reformed, marilah bersatu, wujudkan gerakan Reformed yang satu di dalam Sola Scriptura, jangan terpecah-pecah lagi.




III. Belajarlah Untuk Tidak Gegabah
Hal ketiga yang perlu direformasi dalam gerakan Reformed adalah belajar untuk tidak gegabah khususnya dalam menyoroti suatu ajaran. Artinya, sebelum bercuap-cuap di atas mimbar untuk mengkritik seseorang atau ajaran tertentu, biasakanlah menyelidiki seseorang dan/atau ajaran tersebut sampai tuntas dan JANGAN hanya mendengar dari kata orang! Misalnya, ketika mengkritik ajaran Pdt. Y, maka jangan langsung mengkritik ajaran Pdt. Y hanya karena mendengar dari orang lain atau mendengar dari khotbah singkat dari Pdt. Y atau membaca uraian Pdt. Z tentang ajaran Pdt. Y. Biasakan membaca dan mengamati langsung dari sumber utamanya (primary source) baik melalui buku-buku, uraiannya di dalam sebuah seminar khusus, diskusi langsung, dll, sehingga kita bisa mencegah kemungkinan salah tafsir. Saya mengamati kesalahan tafsir terjadi karena kita sebagai penerima kurang tuntas memahami berita dari si pembawa berita, sehingga kurangnya informasi dan pemahaman tersebut mengakibatkan kita menyalahtafsirkan si pembawa berita tersebut, yang lebih celaka, penyalahtafsiran ini kita ceritakan/khotbahkan di depan jemaat, sehingga jemaat mendengar kesalahan ajaran Pdt. Y dari kita yang mengkhotbahkannya, padahal maksud asli Pdt. Y tidaklah seperti yang disalahtafsirkan oleh kita. Hai orang-orang Reformed yang notabene jago/ahli tafsir Alkitab dengan teliti, mengapa kalian sembrono dan gegabah jika menafsirkan perkataan orang lain? Di manakah ketelitian kalian? Sadarlah Reformed, sadarlah!




IV. Paradoxical Christian (Reformed) Life-style
Hal terakhir yang perlu direformasi dalam gerakan Reformed adalah tentang gaya hidup. Sebagaimana salah satu kelemahan beberapa Reformed adalah masalah gaya hidup yang kaku alias jadul, maka gaya hidup paradokslah yang seharusnya menjadi gaya hidup Reformed. Saya menyebut paradoxical Christian (Reformed) life-style yang berarti sebuah gaya hidup Kristen khususnya Reformed yang menyeimbangkan antara pengejaran hikmat dan kesenangan (belajar dari Ev. Ivan Kristiono yang belajar dari Agustinus). Hari-hari ini, kita melihat dua gaya hidup ekstrem dalam Kekristenan, yaitu:

Pertama, terlalu liar mengejar kesenangan. Ada banyak orang Kristen yang gaya hidupnya terlalu liar, sering hang-out, namun lupa ke gereja, bahkan yang lebih parah, setahun ke gereja hanya 2x, yaitu waktu hari Paskah dan Natal. Yang paling parah, melakukan free-sex. Gaya hidup tipe ini berfokus pada kesenangan sesaat tanpa Allah.

Kedua, terlalu kaku mengejar hikmat. Model orang Kristen biasanya seorang yang kutu buku (bahkan kata Pdt. Sutjipto Subeno: RAYAP buku) dan suka kulakan khotbah dan seminar untuk mengisi otaknya saja. Orang model ini hanya mengerti buku-buku theologi dan filsafat, seperti: Dr. Louis Berkhof, Dr. Cornelius Van Til, Dr. Richard L. Pratt, Dr. Ronald H. Nash, Dr. D. A. Carson, Dr. John M. Frame, Socrates, Plato, Aristoteles, dll, namun jangan tanyakan kepada orang lain apakah dia memiliki akun Facebook (FB) atau Twitter, karena kebanyakan dari mereka sepakat menjawab, “TIDAK! Najis…” HeheheJ

Di antara dua gaya hidup yang ekstrem, belajar dari Agustinus, saya menawarkan solusi yang seimbang dan paradoks yaitu menggabungkan antara pencarian hikmat dan kesenangan. Seperti kata Agustinus, “Cintailah Tuhan dan lakukan segala sesuatu”, maka orang Kristen khususnya Reformed seharusnya mengerti bagaimana mencintai Tuhan dengan tulus dan sungguh-sungguh, dan setelah itu melakukan segala sesuatu dengan koridor Alkitab. Saya mau mengatakan sekali lagi: JANGAN menjadi orang Reformed yang paranoid (terhadap kesenangan, dll)! Jangan lebay, plis. Belajarlah menjadi orang Reformed yang waras yang bisa menyeimbangkan pengejaran hikmat melalui studi theologi dan Alkitab, namun juga tetap rileks dalam hidup sehari-hari misalnya dengan hang-out bersama-sama teman kita ke mal, dll, namun aktivitas rileks kita pun tetap harus ada batasnya, jangan sampai keterlaluan, misalnya dugem, menghisap narkoba, dll.

Catatan kaki:
[1] Ravi Zacharias, Sang Penenun Agung, terj. Christian Tirtha (Bandung: Pionir Jaya, 2009), hlm. 69.
[2] John S. Piper, Memerangi Ketidakpercayaan, terj. Grace P. Christian (Bandung: Pionir Jaya, 2010), hlm. 39.

Bab 3: Ciri-ciri Khas Reformed

BAB 3
CIRI-CIRI KHAS REFORMED




Setelah melihat sekilas sejarah gerakan Reformed dan doktrinnya, maka mari kita menyelidiki apa yang menjadi ciri khas Reformed baik secara positif maupun negatif. Semua ciri khas ini berangkat dari implikasi sejarah dan ajaran dari gerakan/theologi Reformed.
I. Ciri Khas Positif
Harus diakui, gerakan Reformed lebih memiliki ciri khas positif ketimbang negatif, di antaranya:
1. Memiliki Perspektif Kedaulatan Allah
Karena Reformed percaya bahwa Allah adalah Allah yang berdaulat, maka perspektif sudut pandang Reformed selalu berpusat pada kedaulatan Allah. Oleh karena itu, theologi Reformed dapat disebut sebagai theology from above (theologi dari atas). Artinya, orang-orang Reformed yang sungguh-sungguh beriman Reformed selalu mengamati dan menyoroti segala sesuatu di dunia ini dari kacamata kedaulatan Allah. Orang yang melihat segala sesuatu dari perspektif kedaulatan Allah TIDAK akan terkaget-kaget melihat fenomena dunia, mengapa? Karena perspektif yang digunakannya adalah perspektif melampaui fenomena. Ia akan mampu mengatakan seperti yang dikatakan Pengkhotbah, “tak ada sesuatu yang baru di bawah matahari.” (Pkh. 1:9b) Sedangkan orang yang tidak memiliki perspektif kedaulatan Allah sering kali terkaget-kaget dengan gejala dan fenomena dunia. Perhatikan saja apa yang menyerang Kekristenan belakangan ini. Kita masih ingat serangan-serangan terhadap Kekristenan, yaitu The Da Vinci Code, Injil Yudas, Injil Thomas, The Secret, dll. Kekristenan ramai-ramai mengadakan seminar membahas hal ini. Hal ini tentu tidak salah. Reformed pun mengadakan seminar menyoroti hal-hal tersebut untuk membekali jemaatnya agar tidak tertipu oleh sampah-sampah tersebut. Namun yang menjadi perbedaannya, Reformed mengadakan seminar, bukan karena munculnya isu-isu tersebut, namun karena ingin mendidik jemaat, sehingga jika muncul isu-isu serupa di kemudian hari, orang Reformed tidak kaget lagi. Oleh karena itu, Reformed jarang mengadakan seminar menyikapi isu-isu terlalu detail. Orang Reformed hanya perlu dididik dengan iman Kristen yang beres sesuai dengan Alkitab, kemudian mereka dengan sendirinya (tentu dengan bantuan Roh Kudus) bisa memilah sendiri mana ajaran yang benar dengan yang ngaco.

Bagaimana memiliki perspektif kedaulatan Allah tersebut? Tidak ada jalan lain, yaitu kembali kepada Alkitab. Dengan kembali kepada Alkitab, orang-orang Kristen dan tentunya Reformed sanggup menyoroti dunia dan menyediakan solusi yang benar-benar jitu dan bertanggungjawab. Gaya hidup orang Reformed bukan Purpose-Driven, namun mengutip perkataan Rev. John F. MacArthur, Jr., Litt.D., D.D. yaitu Bible-Driven (digerakkan Alkitab). Ketika segala sesuatu baik kehidupan maupun gereja digerakkan oleh Alkitab, maka kita akan melihat betapa dahsyat dan agungnya cara Allah mengajar kita untuk melihat dunia ini dan juga untuk bersaksi di dunia ini.

Mari kita aplikasikan perspektif kedaulatan Allah di dalam menyoroti masalah penyimpangan penggunaan Facebook pada anak remaja. Belakangan ini, kita dihebohkan oleh media bahwa ada remaja cewek pengguna Facebook (FB) berkenalan dengan seorang cowok dari luar kota dan kemudian mereka bertemu (kopi darat). Setelah bertemu, mereka melangsungkan hubungan seks (free-sex) dan kemudian si cewek sadar, kemudian ketika kembali ke rumahnya, sang ibu yang diberi tahu bahwa anak ceweknya tidak perawan lagi mengusir anaknya keluar rumah. Bagaimana sikap masyarakat umum terhadap kasus ini? Saya pernah membaca sebuah uraian di salah satu surat kabar di Surabaya di mana saran terhadap gejala ini adalah orangtua harus mengawasi penggunaan FB pada anak remaja (bahkan kalau perlu orangtua membuat akun FB untuk memantau anaknya). Tentu saran ini termasuk saran cukup baik mengatasi gejala penyimpangan perilaku akibat penggunaan FB tersebut. Namun, bagi saya, saran tersebut masih kurang jitu dan menimbulkan beberapa pertanyaan. Jika orangtua harus mengawasi penggunaan FB pada anak remaja, saya bertanya, sampai sebatas apa orangtua mengawasinya? Apakah jika anak remajanya pergi bersekolah dengan membawa HP yang memiliki aplikasi FB, maka si orangtua harus duduk di sebelah anaknya tersebut? Apakah jika anak remajanya hang out dengan teman-temannya, orangtua harus ikut untuk mengawasi penggunaan FB? Apakah orangtua layaknya polisi yang selalu patroli ke mana pun si anak berada? Kedua, jika saran ini mengatakan bahwa orangtua kalau perlu membuat akun FB untuk memantau apa yang dilakukan oleh anaknya, berarti alasan orangtua membuat akun FB bukan untuk menambah teman, tetapi sebagai polisi bagi anaknya di dunia maya. Logikanya, jika si anak mengetahui bahwa ia tidak bisa berbuat apa-apa di dalam FB karena dipantau orangtuanya, maka si anak akan membuat 2 macam akun, yaitu akun yang bisa diakses oleh orangtuanya yang isinya selalu baik-baik dan akun yang lainnya yang berisi hal-hal pribadi dan tentunya ini tidak bisa diakses oleh orangtuanya karena mungkin menggunakan nama samaran. Saya hanya menantang, bisakah si “polisi” ini melacak akun samaran dari anaknya? Hehehe…

Lalu, bagaimana solusi yang tepat? Theologi Reformed yang melihat segala sesuatu dari kedaulatan Allah mengajar bahwa anak remaja yang bisa tidak karuan hidupnya disebabkan oleh pola didik orangtua yang tidak beres. Anak yang dari kecil dididik untuk mencintai diri dan orangtua akan mengakibatkan anak tersebut bertumbuh dewasa tidak mengenal Allah dan bahkan memberontak terhadap Allah. Sedangkan anak yang dari kecil sudah dididik untuk takut akan Allah (Pdt. Sutjipto Subeno, M.Div. menyebutnya dekrit pertama/first decree), maka atas anugerah-Nya, Ia akan memimpin anak itu bertumbuh dewasa di dalam pengenalan akan Allah dan melakukan segala sesuatu untuk memuliakan-Nya saja, sehingga atas anugerah-Nya sajalah, si anak yang bertumbuh dewasa mampu memilih sendiri mana yang memuliakan Tuhan dengan yang tidak. Memang benar anak kecil yang tidak dididik dengan iman beres suatu saat pada waktu dewasa, ia akan bertobat melalui kuasa Roh Kudus. Tentu itu benar, namun kasus khusus ini TIDAK boleh digeneralisasi, lalu kita membiarkan anak didik kita yang masih kecil diajar dengan filsafat manusia berdosa. Mari kita melihat apa yang Tuhan sendiri firmankan kepada orang Israel di dalam Perjanjian Lama, “Dengarlah, hai orang Israel: TUHAN itu Allah kita, TUHAN itu esa! Kasihilah TUHAN, Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap kekuatanmu. Apa yang kuperintahkan kepadamu pada hari ini haruslah engkau perhatikan, haruslah engkau mengajarkannya berulang-ulang kepada anak-anakmu dan membicarakannya apabila engkau duduk di rumahmu, apabila engkau sedang dalam perjalanan, apabila engkau berbaring dan apabila engkau bangun.” (Ul. 6:4-7) Dari kecil, Tuhan memerintahkan orangtua Israel untuk mendidik anak mereka dari kecil untuk takut akan Tuhan dan menyembah Dia saja. Koq rasanya beda bangetz dengan banyak orangtua zaman sekarang yang menjadikan diri orangtua dan diri anak sebagai “Allah” yang harus disembah dan dituruti.

Sudah terlihat bukan bedanya orang dunia yang melihat segala sesuatu dari perspektif kesementaraan vs perspektif kekekalan? Sekarang, mana yang Anda pilih?


B. Membangun Doktrin yang Konsisten
Karena melihat segala sesuatu dari perspektif kedaulatan Allah, maka iman Reformed membangun doktrinnya secara konsisten. Doktrin ini didasarkannya pada pengertian Alkitab secara komprehensif, jujur, teliti, dan bertanggungjawab. Bagi Reformed, Alkitab bukanlah buku yang bisa dicomot sembarangan untuk dijadikan doktrin murahan, namun Alkitab adalah buku agung dari Allah yang harus ditafsirkan dengan bertanggungjawab sesuai dengan konteks dan maksud aslinya. Meskipun Reformed tidak berani mengklaim sebagai satu-satunya theologi yang menafsirkan Alkitab dengan benar/tanpa salah, namun Reformed berani mengklaim sebagai pendekatan theologi yang mencoba menafsirkan Alkitab seakurat dan seteliti mungkin sesuai dengan konteks dan teks aslinya. Klaim ini bukan klaim sembarangan yang tanpa dasar apa pun, namun dengan dasar kokoh yang dipegang oleh iman Reformed yaitu: Scriptura sui interpres (Alkitab menafsirkan dirinya sendiri). Prinsip ini mengajar bahwa jika ingin menafsirkan Alkitab dengan bertanggungjawab, biarkanlah Alkitab berbicara secara simultan dan komprehensif. Prinsipnya, ayat-ayat yang kurang jelas diterangi oleh ayat-ayat yang sudah jelas. Jangan dibalik. Dari prinsip ini, maka dibangunlah kerangka doktrin Reformed yang kokoh yang teruji sepanjang zaman.

Bandingkan dengan iman Kristen lain yang membangun doktrinnya dari perspektif manusia berdosa, pasti dijumpai banyak ketidakkonsistenan di dalamnya. Ambil contoh, Arminianisme yang mengajarkan tentang anugerah Allah dan pilihan Allah, namun jika dipertajam, ajaran ini sebenarnya tidak sedang mengajarkan anugerah dan pilihan Allah, namun anugerah Allah + “kehendak bebas” manusia yang bersumbangsih. Dengan kata lain, Arminianisme mengajarkan adanya joint venture antara anugerah Allah dan “kehendak bebas” manusia. Logikanya, jika Arminianisme konsisten, maka yang disebut anugerah Allah adalah pemberian dari Allah secara cuma-cuma, namun yang aneh, mengapa yang namanya anugerah harus disertai dengan respons manusia, seolah-olah tanpa respons manusia, anugerah Allah menjadi tak berarti. Jika demikian, layakkah hal ini disebut anugerah Allah jika harus menunggu respons manusia?




C. Memiliki Semangat Perjuangan Iman yang Berkobar-kobar
Selain melihat segala sesuatu dari kedaulatan Allah, gerakan Reformed memiliki semangat perjuangan iman yang berkobar-kobar. Gerakan Reformed yang dimulai oleh pendirinya, Dr. John Calvin memiliki visi dan semangat yang berkobar-kobar untuk mengajar dan mendidik orang Kristen dengan kebenaran Alkitab di kota-kota yang disinggahinya, yaitu Strasbourg, Geneva, dll, sehingga kota-kota tempat Calvin singgah dan dipengaruhi secara tidak langsung dari ajaran Calvin mengakibatkan banyak penduduknya menghidupi firman tersebut di dalam kehidupan sehari-hari mereka yang membawa signifikansi penting bagi perubahan dunia. Ketika “theologi” liberal pengaruh rasionalisme pada kira-kira 4 abad yang lalu mulai menyerang Kekristenan, para theolog Reformed berdiri dengan teguh melawan liberalisme tersebut dan memelihara iman Kristen yang murni. Ketika “theologi” liberal mulai meracuni Princeton Seminary (yang didirikan oleh Presbyterian Church, U.S.A.) dengan ditandatanganinya Auburn Affirmation oleh 1300 “hamba Tuhan” pada tahun 1924 yang menegaskan bahwa doktrin-doktrin penting seperti iluminasi Alkitab, kelahiran Kristus dari anak dara Maria, penebusan-Nya yang menggantikan, kebangkitan jasmani Kristus, dan kedatangan-Nya yang kedua kali dalam arti harfiah tidak diwajibkan sebagai keyakinan bagi calon hamba Tuhan, maka Dr. J. Gresham Machen yang termasuk salah satu dari sejumlah pihak dari Presbyterian Church, U.S.A. yang menolak afirmasi tersebut keluar dari Princeton Seminary dan mendirikan Westminster Theological Seminary pada tahun 1929.[1] Di Westminster Theological Seminary, Rev. Prof. Cornelius Van Til, Ph.D. diminta menjadi profesor sampai masa pensiunnya pada tahun 1972.

Dari sejarah ini, kita melihat bahwa Allah masih menyisakan beberapa umat pilihan-Nya yang masih setia kepada Allah dan firman-Nya di tengah dunia yang kacau. Bagaimana dengan zaman sekarang? Di tengah zaman postmodern di mana banyak Kekristenan sudah menyimpang dengan ajaran yang ngaco, Tuhan mengutus hamba-Nya, Pdt. Dr. Stephen Tong untuk kembali meneruskan gerakan Reformed Injili yang mendidik orang Kristen dengan theologi Reformed yang ketat dan mengobarkan semangat pemberitaan Injil. Selain mendidik theologi Reformed, keunikan Pdt. Stephen Tong adalah beliau juga mendidik semangat Reformed yang kurang ada pada para profesor Reformed di seminari theologi Reformed di luar negeri. Saya pribadi pun melihat gereja-gereja yang mengaku dipengaruhi oleh Reformed/Calvinisme sebenarnya bertradisi Reformed ketimbang bertheologi Reformed. Bagaimana tidak saya mengatakan hal ini, di dalam website salah satu gereja di Surabaya yang mengaku dipengaruhi Calvinsime sendiri mengaku bahwa gerejanya tidak selalu menyetujui ajaran Calvinisme. Pdt. Dr. Stephen Tong menyebut ini bukan Reformed, tetapi Deformed atau bahkan no-formed. Ketika kita memiliki semangat perjuangan iman yang kokoh berdasarkan prinsip Alkitab yang jelas dan komprehensif, maka meskipun zaman merayu kita dengan filsafatnya yang menyesatkan, atas anugerah-Nya, kita tidak akan mampu diperdayai. Sebaliknya, orang Kristen yang terus ikut arus zaman pasti dengan mudahnya ditipu oleh banyak ajaran dunia yang palsu. Pdt. Dr. Stephen Tong berkali-kali mengingatkan kita bahwa JANGAN IKUT ARUS ZAMAN! Ketika kita terus ikut arus zaman, kita sebenarnya sedang “mati” diombang-ambingkan oleh zaman seperti ikan mati yang terus dibawa oleh arus, karena zaman terus-menerus berubah.

Bagaimana dengan kita? Apakah kita masih gemar ikut arus dunia ataukah kita memiliki semangat perjuangan iman yang melawan arus zaman dengan kebenaran Alkitab? Biarlah hal ini menyadarkan kita masing-masing.


D. Menguasai Banyak Bidang
Selain memiliki semangat perjuangan iman yang berkobar-kobar, orang-orang Reformed dikenal sebagai orang yang menguasai banyak bidang. Misalnya, seorang mantan perdana menteri Belanda yang dijuluki sebagai pendiri Neo-Calvinisme, Prof. Dr. Ds. Abraham Kuyper di dalam bukunya Lectures on Calvinism (Ceramah-ceramah Mengenai Calvinisme) mengaitkan Kekristenan khususnya theologi Reformed dengan sistem kehidupan, agama, politik, ilmu pengetahuan, dan seni. Di zaman sekarang, kita mengenal sosok hamba-Nya yang setia, Pdt. Dr. Stephen Tong sebagai seorang pendeta Reformed yang multi-talenta yang menguasai banyak bidang: theologi, filsafat, seni, arsitektur, musik, ekonomi, politik, pendidikan, bahasa Mandarin, bahasa Inggris, dll. Mengapa orang Reformed dikenal menguasai banyak bidang? Karena dipengaruhi oleh salah satu doktrinnya yaitu mandat budaya (bdk. poin X dalam Bab 2 tentang Ajaran-ajaran Reformed di atas). Seorang Reformed yang didorong oleh ajarannya bahwa kita dipanggil untuk menebus budaya bagi kemuliaan Kristus adalah orang yang berjuang menegakkan iman Kristen di tengah dunia ini dan juga tentunya mengaplikasikannya dengan mengaitkan iman Kristennya yang berdasarkan Alkitab dengan seluruh aspek kehidupan sehari-harinya. Bagaimana dengan kita? Kita memang bukan Tuhan yang menguasai segala sesuatu, namun kita dituntut untuk mengerti banyak bidang agar kita bisa menebus banyak bidang tersebut bagi kemuliaan Kristus. Ini bukan hanya bagi kalangan Reformed, namun juga bagi semua orang Kristen yang sungguh-sungguh yang takut akan Tuhan.


E. Keseimbangan Antara Hati dan Rasio
Ciri khas terakhir dari Reformed adalah keseimbangan antara hati dan rasio. Bukankah kita sering mendengar dari orang lain bahwa Reformed itu gemar adu argumentasi dan terlalu mengandalkan rasio saja? Sebenarnya itu bukan ciri khas Reformed mula-mula. Reformed mula-mula mempraktikkan keseimbangan antara hati dan rasio. Hal ini dipraktikkan sendiri oleh pendiri Reformed, yaitu Dr. John Calvin melalui bukunya yang sangat terkenal, Institutes of the Christian Religion. Mari kita memperhatikan perkataan Calvin sendiri di dalam bukunya ini, “Piety is requisite for the knowledge of God”[2] (=Pietas/kesalehan adalah syarat penting bagi pengetahuan akan Allah) Dengan jelas, Calvin mengajar kita bahwa pengenalan/pengetahuan akan Allah bukan ditandai dengan rajinnya kita mengonsumsi buku-buku theologi sekelas Dr. Louis Berkhof atau menghafal Lima Pokok Calvinisme atau mengikuti kuliah/seminar theologi, namun pengetahuan akan Allah ditandai dengan kesalehan/pietas hidup. Doktrin TIDAK dimulai dari studi theologi atau membaca buku-buku theologi, namun dimulai dari hati kita. Oleh karena itu, Dr. John Calvin pernah mengeluarkan perkataan yang agung yaitu bahwa dia menyerahkan hatinya kepada Allah dengan sungguh-sungguh dan murni. Ketika kita menyerahkan hati kita kepada Allah, maka Allah akan membersihkan hati kita dan mengisinya dengan kebenaran firman. Dari situlah, kita mulai terus-menerus mengenal Allah. Semangat Calvin diteruskan oleh para Puritan dengan kesalehan hidup mereka. Jika Anda membaca tulisan-tulisan dari theolog Puritan, Dr. John Owen, M.A., Anda akan merasakan “aura” kesalehan dalam dirinya. Hal serupa juga kita temui dan perhatikan ketika membaca buku-buku baik dari Rev. John S. Piper, D.Theol. maupun Dr. Jerry Bridges. Bagi saya, membaca buku-buku dari dua penulis ini bukan hanya mengajar kita tentang konsep theologi, namun juga mengoreksi kerohanian kita. Ini menjadi refleksi bagi kita khususnya para Reformed agar kita bukan hanya gemar membaca buku-buku theologi yang berat, namun juga kita perlu untuk membaca buku-buku rohani yang devosional (bersifat renungan/reflektif) untuk membangun kerohanian kita dan tentunya yang paling utama membaca Alkitab sebagai cermin yang mengoreksi iman, kerohanian, dan kehidupan kita. Jangan menjadikan Alkitab hanya sebagai bahan mengkritik (ajaran) orang lain, tetapi jadikanlah Alkitab sebagai bahan untuk mengkritik diri terlebih dahulu.




II. Ciri Khas Negatif
Selain ciri khas positif, saya juga menyajikan ciri khas negatif dari Reformed. Mengapa harus menyajikan ciri khas negatif? Karena dengan menyajikan ciri khas negatif, saya sebagai penganut Reformed pun harus mengintrospeksi diri, sehingga orang-orang Reformed makin rendah hati dan bukan makin menonjolkan diri. Adapun ciri khas negatif tersebut:
A. Gemar Berdebat
Mau tidak mau, tuduhan dari orang non-Reformed kepada orang Reformed pertama adalah orang Reformed gemar berdebat. Debat tersebut bisa berisi doktrin primer maupun doktrin sekunder bahkan tersier. Sejarah Reformed membuktikan perdebatan antara metode apologetika presuposisionalis (mengikuti Dr. Cornelius Van Til) vs metode apologetika klasik (classical apologetics) yang dianut oleh salah satu theolog Reformed zaman sekarang, yaitu Rev. R. C. Sproul, Ph.D. Begitu juga ada perdebatan dalam doktrin-doktrin seperti pemilihan Allah itu terjadi apakah sebelum manusia berdosa atau setelah manusia berdosa (infralapsarian vs supralapsarian). Masih ada lagi perdebatan lain yang tidak dibahas pada bagian ini. Perdebatan-perdebatan tersebut ternyata bukan hanya adu argumentasi, namun juga sampai memisahkan diri. Sebagai contoh, setelah Dr. J. Gresham Machen meninggal pada tahun 1937, Presbyterian Church of America (PCA) yang dibentuknya kemudian terjadi perpecahan. Sejumlah hamba Tuhan meninggalkan PCA dan membentuk Bible Presbyterian Church. Demikian juga Prof. Allen MacRae yang dahulu bersama-sama dengan Dr. J. Gresham Machen mendirikan Westminster Theological Seminary, kemudian meninggalkan Westminster Seminary dan mendirikan Faith Theological Seminary dengan kontroversinya meliputi: dispensasionalisme, “kemerdekaan Kristen” (legitimasi bagi orang Kristen untuk mempergunakan minuman beralkohol), dll.[3] Tidak heran, jika denominasi Reformed/Presbyterian di zaman sekarang cukup banyak memiliki cabang. Sebagai contoh, di sebuah hotel di Singapore, saat saya membuka dan melihat buku kuning daftar gereja-gereja di Singapore, terdapat klasifikasi-klasifikasi khusus denominasi gereja: Katolik, Baptis, Fundamentalis, Orthodoks, dll dan khusus gereja Reformed/Presbyterian terdapat klasifikasi lagi: Bible Presbyterian Church, Independent Presbyterian Church, Reformed Presbyterian Church, dll. Mengapa perdebatan-perdebatan tersebut mengakibatkan Reformed memisahkan diri dan mendirikan gereja sendiri? Apakah ikut-ikut Luther dan Machen di atas yang juga memisahkan diri? Namun Luther dan Machen memisahkan diri dari ajaran yang tidak bertanggungjawab secara esensial, bukan secara fenomenal.

Jika orang Reformed yang gemar berdebat sana-sini, namun tidak memiliki hati yang mengasihi dan menoleransi hal-hal yang tidak penting, saya meragukan iman Reformednya. Reformed dipanggil bukan untuk beradu argumentasi, namun membawa orang kembali kepada Alkitab. Bagaimana dengan kita, khususnya yang mengaku beriman Reformed? Apakah kita gemar menuding kesalahan (ajaran) orang lain, namun hampir tidak pernah menuding kesalahan diri sendiri? Biarlah orang Reformed makin lama makin sadar dan rendah hati.


B. Sektarian
Karena gemar berdebat dan kemudian memisahkan diri, maka kelemahan beberapa Reformed adalah sektarian. Sektarian menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah “1. Anggota (pendukung, penganut) suatu sekte atau mazhab; 2. Picik, terkungkung pada satu aliran saja.”[4] Di dalam beberapa kalangan Reformed, kita melihat adanya kecenderungan sektarian. Para pengikut Reformed X bersama-sama mendukung X dan menghina Reformed Y, begitu pula sebaliknya, para pendukung Reformed Y bersama-sama memuji Y dan menghina X. Mengapa ya sesama Reformed tidak bisa saling mendukung satu sama lain? Mengapa sesama Reformed jadi sektarian dan tidak bisa bersatu menggarap Kekristenan dengan spirit Reformed? Saya tidak menemukan dukungan sejarah sedikitpun tentang Reformed yang sektarian yang hanya mau mendukung Reformed versi tertentu dan tidak mendukung Reformed versi lain. Mengikuti Reformed versi lain dicap sesat, kompromi, dll. Saya sampai hampir “menangis” melihat Reformed terpecah-pecah dan tidak bisa bersatu seperti spirit Reformed di zaman Puritan dahulu. Semua mementingkan ego mereka sendiri dan alasan peraturan gereja yang berbeda. Di zaman Puritan, tidak ada yang mementingkan organisasi dan peraturan. Tetapi bagaimana dengan Reformed di Indonesia? Mengapa Reformed A melarang anggotanya mengikuti seminar Reformed B dan begitu pula sebaliknya? Biarlah ini menjadi bahan introspeksi diri kita masing-masing.

C. Gegabah Menghakimi/Mengkritik (Namun Tidak Mau Dikritik)
Ciri khas negatif kedua dari Reformed adalah gegabah dalam menghakimi. Tentu ketika saya membahas hal ini, Reformed yang saya maksud adalah bukan semua Reformed, namun beberapa/sebagian Reformed, karena saya mengenal ada hamba Tuhan Reformed yang tidak terlalu gegabah menghakimi. Beberapa Reformed terlalu gegabah menghakimi seseorang atau sesuatu ajaran yang tidak diselidikinya secara tuntas. Beberapa orang sampai mencap Reformed terlalu cepat labeling suatu ajaran/seseorang tanpa menyelidikinya secara tuntas. Meskipun orang yang berkata seperti ini pun sedang labeling Reformed (kontradiksi yang melawan dirinya sendiri), namun sebagai bahan refleksi, biarlah kita menyadari teguran orang luar ini terhadap Reformed. Benarkah kita terlalu cepat labeling suatu ajaran/seseorang dan kemudian menghakiminya? Ketika buku The Purpose Driven Life dan The Purpose Driven Church dari Rev. Rick Warren, D.Min. beredar luas, beberapa Reformed mencapnya sebagai buku sesat. Namun, tolong tanya, yang gemar mencap bidat itu apakah telah membaca tuntas buku The Purpose Driven Life? Ataukah yang gembar-gembor mengatakan buku ini sesat hanya mengikuti saran pendeta seniornya yang mencap buku ini sesat juga (ikut-ikutan nich ye, hehehe)? Saya pribadi telah membaca buku terjemahan Indonesia dari The Purpose Driven Life dan saya memang mengakui ada beberapa kesalahan doktrin dan interpretasi Alkitab dari Rick Warren, namun bagi saya, kesalahan itu tidaklah fatal seperti kesalahan (baca: kesesatan) Injil Thomas atau Injil Yudas.

Bagaimana dengan postmodernisme yang sering ditafsirkan oleh beberapa Reformed sebagai filsafat yang mengajarkan relativisme? Benarkah postmodernisme 100% salah? Bacalah buku A Primer on Postmodernism karangan Prof. Stanley J. Grenz, D.Theol. dan Anda akan mendapatkan sekilas[5] tentang filsafat postmodernisme: sisi positif dan negatifnya. Bertanyalah kepada pendeta Reformed yang sungguh-sungguh menyelidiki filsafat postmodernisme, maka ia akan menjawab TIDAK. Pdt. Joshua Lie, Ph.D. (Cand.) sebagai salah satu pendeta Reformed dari Indonesia yang menyelidiki dan studi filsafat di Institute for Christian Studies, Toronto, Canada mengatakan bahwa postmodernisme TIDAK mengajarkan relativisme, karena jika postmodernisme mengajarkan relativisme, maka tidak mungkin para filsufnya menulis buku. Sebaliknya, Pdt. Joshua Lie mengatakan bahwa postmodernisme memiliki ide borderless (tidak memiliki batasan).[6] Misalnya, buku The Da Vinci Code termasuk dalam kategori jenis buku apa? Tidak ada batasan, bisa disebut buku fiksi, sejarah, agama, dll. Bagaimana dengan buku The Secret? Bisa disebut buku sains (lebih tepatnya pseudo-science), filsafat, agama, dll.

Terlalu banyak pengkarikaturan dari beberapa Reformed terhadap ajaran lain, misalnya Arminianisme, Katolik Roma, Orthodoks Syria, dan filsafat lain, dlsb. Bukan hanya gemar menghakimi/mengkritik, Reformed pun juga enggan/tidak suka dikritik balik. Dengan kata lain, beberapa Reformed suka mengkritik orang lain (bahkan dengan kata-kata yang pedas dan menghina), namun mereka tidak suka dikritik. Jika beberapa Reformed dikritik, selalu ada alasan “rohani” untuk menjawabnya, misalnya: “kita harus altruis.”[7] Di dalam wilayah praktika, ada jemaat Reformed yang aktif pelayanan (lumayan senior, di atas 40 tahun) yang gemar mengkritik orang lain bahkan tidak tanggung-tanggung mengkritik orang lain di depan orang lain (maksud hati ingin menegur dan mengajar, namun caranya keterlaluan dan menghina), namun ketika dirinya dikritik, dia tidak pernah minta maaf. Sikapnya ini mengakibatkan dia menjadi batu sandungan bagi seorang tante yang beragama Kristen Katolik.

Kembali, akhir kata, saran saya kepada sesama Reformed: BERHENTILAH mengkarikaturkan ajaran lain sebelum Anda mendalami ajaran tersebut secara tuntas! Jangan sampai orang-orang dunia menertawakan Kekristenan khususnya Reformed yang gemar mengkarikaturkan filsafat orang dunia padahal isi karikaturnya tersebut TIDAK sesuai dengan ide asli filsafat dunia. Belajarlah secara tuntas ajaran-ajaran lain, baru berikan tanggapan!


D. Paranoid
Setelah gegabah menghakimi, beberapa Reformed juga memiliki ciri khas paranoid, khususnya beberapa jemaat dan beberapa hamba Tuhan Reformed. Ciri khas paranoid itu ditunjukkan dengan ketakutan mereka untuk membaca buku-buku non-Reformed dan mendengarkan siaran khotbah non-Reformed. Hal ini bukan rekaan fiktif, namun hal ini sudah terjadi pada Reformed di Surabaya. Ketika saya membawa buku yang saya baca When God Writes Your Love Story yang ditulis oleh Eric dan Leslie Ludy, seorang pemudi dari gereja Reformed bertanya kepada saya, “Apakah buku ini Reformed?” Waktu itu, saya tidak menjawab apa pun, karena bagi saya, pertanyaan itu merupakan pertanyaan paranoid yang tidak perlu dijawab. Kedua, pertanyaan itu hendak mengindikasikan bahwa sebagai orang Reformed, kita hanya boleh membaca buku-buku Reformed. Membaca buku-buku, mengikuti perkuliahan, mendengarkan khotbah di luar Reformed dianggap sesat. Ternyata bukan saya saja yang mengalami hal ini, teman gereja saya yang saat ini berada di Amerika juga mengalami hal yang sama ketika berkumpul bersama teman-teman Reformed di sana. Sungguh mengenaskan hal ini.

Hal ini tidak berarti kita menjadi semaunya sendiri: membaca buku yang tidak bertanggungjawab, mendengarkan khotbah yang seenaknya sendiri, dll. Tentu bukan ini maksud saya, namun yang hendak saya maksudkan, ketika kita mengetahui ada buku rohani bermutu dan hamba Tuhan bermutu (dan bertanggungjawab), meskipun bukan dari denominasi gereja Reformed, mengapa kita tidak mau mendengarkannya sebagai bahan refleksi? Ataukah kita telah menganggap bahwa Reformed itu Kebenaran (Sola Reformed) sehingga di luar Reformed sesat? Apakah citra Reformed serendah itu?? Mari kita introspeksi diri masing-masing.
E. Life-style: Jadul
Ciri khas terakhir yang negatif dari Reformed adalah tentang gaya hidupnya. Saya percaya bahwa yang saya maksud Reformed di sini tidaklah semua Reformed, namun beberapa Reformed atau bahkan mayoritas Reformed. Gaya hidup beberapa/mayoritas Reformed adalah gaya hidup kuno dan kaku (atau istilah gaulnya: jadul/jaman dahulu). Artinya, mereka kebanyakan hanya suka mengonsumsi bahan-bahan theologi melalui seminar dan studi buku/literatur, namun menghindari kesenangan-kesenangan, seperti hang-out di mal, menonton di bioskop, menyewa DVD film dan menontonnya, dll. Kesenangan-kesenangan tersebut dianggapnya berdosa. Saya jadi teringat cerita dari Ev. Ivan Kristiono, M.Div. barusan (23-24 Juni 2010) pada waktu Seminar Khusus: A Pursuit of Happiness (Etika dan Spiritualitas Agustinus) bahwa dia pernah mengajak teman kuliahnya dahulu di Institut Reformed untuk minum es jeruk dan temannya ini menolak karena (kesenangan) itu dosa. Ev. Ivan mengatakan bahwa maklum saja, temannya baru membaca buku tentang Puritan. Benarkah kesenangan tidak boleh di dalam Reformed, bahkan minum es jeruk pun tidak boleh? Jangan lebay (berlebihan), plis… Tidak ada ayat Alkitab yang melarang orang Kristen minum es jeruk.

Selain itu, gaya hidup jadul ditandai dengan raut mukanya yang tampang seperti seorang filsuf dan theolog yang jarang tertawa, kalaupun membuat lelucon, selalu jayus (=sebenarnya tidak lucu) dan gak ada isinya. Bahkan saya mengenal seorang Reformed yang menyoroti sesuatu lelucon dari Pdt. Dr. Stephen Tong (misalnya, perkataan yang sering Pdt. Stephen Tong ucapkan sebagai lelucon, “rupamu”) dari kacamata Alkitab (dia berkata bahwa kita dicipta sesuai gambar dan rupa Allah, oleh karena itu, jangan menghina rupa Allah). Cape dech, hehehe. Memang lelucon harus ada batas-batasnya, namun ini tentu TIDAK berarti kita tidak boleh bersenda gurau bukan? Kalau orang Reformed tidak boleh bersenda gurau, maka percayalah, 10 tahun lagi, orang Reformed bakal stres dan masuk rumah sakit jiwa. Orang Reformed, mengutip Ev. Ivan Kristiono yang menjelaskan tentang Agustinus, harus menyeimbangkan antara mencari hikmat dan mengejar kesenangan (pleasure). Ev. Ivan Kristiono mengutip Agustinus yang berkata, “Cintailah Tuhan dan lakukan segala sesuatu.” Pernyataan Agustinus ini memang hanya bisa dipahami oleh orang Kristen dewasa, karena jika tidak, bisa berbahaya dan bisa disalahtafsirkan. Benar, kita harus mencintai Tuhan. Tatkala kita mencintai Tuhan, kita tentu mengerti apa yang menjadi kehendak-Nya dan memuliakan-Nya, sehingga ketika kita melakukan segala sesuatu, kita melakukannya dengan jiwa takut dan cinta akan Tuhan dan firman-Nya. Ketika kita main game, kaitkan permainan kita dengan hikmat Tuhan, dlsb.

Life-style jadul juga berkaitan dengan metode khotbah (homiletika) beberapa hamba Tuhan Reformed. Meskipun yang hendak saya uraikan ini termasuk hal-hal sekunder, bahkan tersier, namun saya ingin sharing beberapa hal. Beberapa hamba Tuhan Reformed kalau berkhotbah selalu kaku dan terpaku pada teks khotbah (dalam arti: membaca teks khotbah). Yang lebih celaka, mereka yang melakukan hal tersebut mengatakan bahwa seorang pengkhotbah kebangunan rohani, Rev. Jonathan Edwards juga membaca teks ketika berkhotbah. Ya, bagi saya, Jonathan Edwards tetaplah Jonathan Edwards dan Tuhan memakai beliau dengan caranya sendiri, namun apakah berarti semua hamba Tuhan Reformed meniru cara Jonathan Edwards untuk dipakai Tuhan? Kedua, di zaman Jonathan Edwards waktu itu, banyak penduduk Amerika sudah Kristen, jadi tidak menjadi masalah dengan khotbah membaca teks, namun bagaimana dengan sekarang? Coba praktikkan metode khotbah Jonathan Edwards di zaman sekarang, saya jamin, mayoritas jemaat akan mengambil PW (posisi wuenak) untuk tidur, hehehe… Saya pribadi bosan dan pingin tidur kalau mendengar khotbah dari si pengkhotbah yang terus melihat teks khotbah tanpa menatap jemaat (emang jemaat tuh obyek yang boleh ada dan boleh tidak ada kaleee). Saya jadi kebayang, bagaimana jadinya kalau waktu Tuhan Yesus inkarnasi ke dalam dunia, Ia berkhotbah dan mengajar dengan menggunakan (dan membaca) teks khotbah, apa jadinya dengan para pendengarnya? Tuhan Yesus berkhotbah dan mengajar dengan penuh kuasa. Dr. John Calvin, pendiri Reformed juga dikabarkan jika berkhotbah bisa lebih dari 1 jam dan uniknya TIDAK menggunakan naskah khotbah. Namun, mengapa beberapa hamba Tuhan Reformed selalu melihat naskah khotbah kalau berkhotbah dan mengajar? Hal ini TIDAK berarti sebagai hamba Tuhan, Anda tidak perlu naskah khotbah. Naskah khotbah tetap perlu, namun yang saya permasalahkan adalah JANGAN terlalu sering membaca teks khotbah tersebut, belajarlah menatap jemaat (ingatlah, jemaat itu manusia, bukan obyek yang bisa ada dan bisa tidak ada) dan mengimprovisasi gaya khotbah sendiri. Saya kagum dengan 5 hamba Tuhan Reformed yang meskipun menggunakan naskah khotbah, namun tidak terlalu sering membacanya dan mereka juga mengimprovisasi gaya berkhotbah mereka sendiri (tidak terlalu kaku dan suaranya tidak terlalu datar), yaitu: Pdt. Dr. Stephen Tong, Pdt. Sutjipto Subeno, M.Div., Ev. Yakub Tri Handoko, Th.M., Ev. Ivan Kristiono, M.Div., dan Ev. Ir. Agus Marjanto Santoso, M.Div.
Catatan kaki:
[1] John M. Frame, Cornelius Van Til: Suatu Analisis Terhadap Pemikirannya, terj. Irwan Tjulianto (Surabaya: Momentum, 2002), hlm. 24-25.
[2] John Calvin, Institutes of the Christian Religion, ed. John T. McNeill (Kentucky, U.S.A.: Westminster John Knox Press, 2006), I.II.1, hlm. 39
[3] John M. Frame, Cornelius Van Til: Suatu Analisis Terhadap Pemikirannya, terj. Irwan Tjulianto (Surabaya: Momentum, 2002), hlm. 26.
[4] Anton M. Moeliono, ed., Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka, 1990), hlm. 797
[5] Dr. Grenz sendiri mengatakan di dalam bukunya bahwa bukunya ini bukan berisi semua ide postmodernisme, namun hanya pengantar kepada filsafat postmodernisme. Oleh karena itu, beliau merekomendasikan buku-buku yang ditulis oleh filsuf postmodernisme sebagai bahan/sumber referensi.
[6] Disarikan dari khotbah Pdt. Joshua Lie, S.Th., M.Phil., Ph.D. (Cand.) melalui CD MP3 dengan judul: Postmodern Spirituality.
[7] Altruis adalah suatu sikap yang mau menjadi berkat bagi orang lain. Sikap ini tentu bukan sikap yang salah, namun terlalu menekankan sikap ini juga berbahaya, apalagi memberikan contoh Tuhan Yesus yang rela berkorban agar kita bisa altruis. Terlalu menekankan sikap altruis mengakibatkan orang tersebut enggan mau belajar dari orang lain, karena dengan belajar dari orang lain itu identik dengan mengambil manfaat dari orang lain (bukan memberi). Tuhan Yesus jelas pasti bisa altruis, karena Dia adalah Tuhan dan Allah yang TIDAK perlu belajar dari siapa pun, sedangkan kita sebagai manusia perlu dan wajib belajar dari orang lain. Ini perbedaannya. Jadi, jangan mentah-mentah menelan khotbah pendeta di atas mimbar, namun ujilah dengan Alkitab dan logika Kristen yang beres.

Bab 2: Ajaran-ajaran Reformed

BAB 2
AJARAN-AJARAN REFORMED




Setelah menyimak sekilas sejarah gerakan Reformed, maka kita bertanya, apa yang diajarkan oleh theologi Reformed? Saya tidak akan menjelaskan ajaran-ajaran Reformed secara panjang lebar, namun saya akan meringkaskan beberapa poin ajaran Reformed. Selain mempercayai doktrin-doktrin dasar iman Kristen, misalnya: Allah Trinitas, Alkitab adalah wahyu Allah, dwi natur Kristus, dll, maka theologi Reformed mengajarkan prinsip-prinsip penting:
I. Kedaulatan Allah
Dr. Loraine Boettner, D.D. di dalam bukunya Iman Reformed menegaskan bahwa inti theologi Reformed adalah kedaulatan Allah.[1] Lebih lanjut, Dr. Boettner menjelaskan definisi kedaulatan Allah, sebagai berikut,
“Prinsip ini menegaskan bahwa maksud dari Allah Tritunggal adalah absolut dan tak bersyarat, tidak bergantung pada seluruh ciptaan yang terbatas, dan bahwa maksud itu semata-mata bermula pada perembukan kekal dari kehendak-Nya. Ia menetapkan jalannya alam dan memimpin jalannya sejarah hingga ke detail yang terkecil. Maka ketetapan-ketetapan-Nya bersifat kekal, tidak berubah, suci, penuh hikmat, dan berdaulat…”[2]
Dari penjelasan ini, Dr. Boettner menjelaskan kepada kita bahwa Allah yang berdaulat adalah Allah yang berada pada diri-Nya sendiri (self-existence of God) dan tidak ada satu pun yang bisa menjadi penasihat-Nya. Setelah membahas doktrin predestinasi, maka Rasul Paulus menjelaskan satu poin penting yang mengajarkan tentang kedaulatan Allah, “Siapakah kamu, hai manusia, maka kamu membantah Allah? Dapatkah yang dibentuk berkata kepada yang membentuknya: "Mengapakah engkau membentuk aku demikian?"” (Rm. 9:20) Jika tak ada satu pun yang bisa membantah atau layak menjadi penasihat Allah, lalu mengapa kita berani sekali mengajari Allah untuk berbuat sesuatu yang menurut kita “adil” dan “benar”? Kedaulatan Allah mengajar kita beberapa prinsip sebagai aplikasinya:
A. Taat Mutlak
Allah adalah Allah yang berdaulat, maka sebagai umat-Nya, kita dituntut untuk taat mutlak akan apa yang Dia perintahkan dan ajarkan. Itulah bukti kita mengasihi Allah. Rasul Yohanes menulis di 1 Yohanes 5:3, “Sebab inilah kasih kepada Allah, yaitu, bahwa kita menuruti perintah-perintah-Nya. Perintah-perintah-Nya itu tidak berat,” Kata “menuruti” dalam teks Yunaninya adalah tereo yang berasal dari akar kata teros yang artinya a watch (=penjagaan). Mayoritas Alkitab terjemahan Inggris menerjemahkannya sebagai keep (=menjaga, memelihara, menyimpan, menghidupi). Dari sekilas studi kata ini, kita mendapatkan pengertian bahwa bukti kita mengasihi Allah adalah kita menyimpan perintah-perintah Allah itu di dalam hati kita (tentu untuk kita laksanakan). Apa buktinya kita taat mutlak? Bukti seorang yang taat mutlak kepada perintah-perintah Allah adalah TIDAK banyak bertanya. Kita sebagai orang Kristen tentu boleh bertanya kepada Allah tentang apa yang sebenarnya terjadi, seperti yang dilakukan oleh Daud dan para pemazmur lainnya. Namun ketika kita bertanya kepada Allah, pertanyaan itu dimotivasi oleh keingintahuan kita untuk selanjutnya taat kepada-Nya, bukan pertanyaan untuk mempertanyakan kedaulatan Allah. Memang tidak mudah untuk taat mutlak dengan tidak terlalu banyak bertanya kepada-Nya, karena natur berdosa kita terus ingin tahu. Oleh karena itu, kita membutuhkan Roh Kudus untuk membantu kita menundukkan diri kita di bawah kedaulatan-Nya yang mutlak itu.


B. Berserah Total
Ketika kita taat mutlak, yang menjadi pertanyaannya, mengapa terkadang (bahkan sering kali) apa yang kita kehendaki tidak terjadi? Apakah ini berarti kita taat dengan terpaksa? TIDAK. Tuhan tidak pernah memaksa umat-Nya untuk taat. Ketaatan kita lahir dari hati yang mengasihi Allah. Selain tidak banyak bertanya, ketaatan kita juga dibuktikan dengan kita berserah total kepada kehendak-Nya. Tatkala kita berserah total kepada kehendak-Nya, di saat itu kita sedang mempercayakan seluruh hidup kita pada kehendak-Nya yang jauh lebih baik dan benar ketimbang kehendak kita. Memang sulit mensinkronkan kehendak kita dengan kehendak Allah, karena dosa selalu membuat kita ingin mengedepankan kehendak kita. Namun atas anugerah Allah, Roh Kudus memimpin kita terus-menerus untuk menyerahkan seluruh hidup kita kepada-Nya. Percayalah, tatkala kita menyerahkan seluruh hidup kita kepada-Nya, kita akan menemukan betapa indahnya jalan-jalan-Nya. Ini bukan sekadar teori, saya telah mengalaminya dan berharap terus-menerus akan mengalaminya, karena saya percaya bahwa kehendak-Nya akan indah pada waktu-Nya.


C. Makin Intim Dengan Tuhan
Orang Kristen yang sudah menyerahkan seluruh hidupnya kepada-Nya adalah orang Kristen yang terus-menerus makin intim dengan Tuhan. Mengapa? Tujuannya jelas yaitu agar ia makin peka akan kehendak-Nya dan melakukan apa yang dikehendaki-Nya. Mengutip salah satu perkataan Pdt. Ir. Andi Halim, S.Th. di dalam khotbah mimbar tanggal 6 Juni 2010, orang Kristen yang makin intim dengan Tuhan semakin menyadari bahwa dirinya berdosa (paradoxical repentance—pertobatan paradoks). Makin menyadari bahwa dirinya berdosa, semakin dia menyadari bahwa dia membutuhkan Kristus dan kehendak-Nya yang mengontrol hidupnya hari lepas hari, sehingga hidupnya makin memuliakan-Nya.

Jangan pernah bermimpi untuk segera mengetahui kehendak Allah baik di dalam memilih perkuliahan, jodoh, atau pekerjaan, jika setiap hari kita tidak pernah berhubungan intim dengan Allah. Lalu, bagaimana kita bisa intim dengan Tuhan? Yang terutama adalah disiplinkan diri kita dengan aktif dan rutin membaca dan merenungkan Alkitab setiap hari. Bacalah buku-buku rohani yang bermutu untuk meningkatkan iman, pengetahuan, dan kerohanian kita. Berdoalah secara teratur. Berinteraksilah juga dengan saudara seiman lainnya agar kita bisa saling menguatkan, menegur, menasihati, mengajar, dan menghibur. Tuhan memakai cara-cara di atas bagi kita agar kita makin intim dengan-Nya dan mengetahui kehendak-Nya untuk kita laksanakan nantinya.



II. Kedaulatan Allah dan Tanggung Jawab Manusia
Orang Reformed selalu difitnah oleh banyak orang non-Reformed dengan sebutan bahwa Reformed = fatalisme/takdir-isme karena segala sesuatu tergantung kedaulatan Allah. Benarkah demikian? Benarkah Reformed hanya menekankan kedaulatan Allah seperti yang difitnahkan oleh beberapa orang Kristen yang kurang mengerti Reformed secara tuntas?

Pertama-tama, biarlah ini menjadi introspeksi diri kita masing-masing. Benarkah kita yang mati-matian belajar theologi Reformed kemudian menjadi seorang fatalis? Fakta menyebutkan bahwa ada pendeta Reformed yang terlalu menekankan kedaulatan Allah, akibatnya merasionalisasi kesalahannya sebagai sesuatu yang ditetapkan Allah. Misalnya, pendeta itu terlambat bangun pagi dan akhirnya terlambat mengajar di kampus, kemudian si pendeta mengatakan bahwa keterlambatannya ini berada di dalam ketetapan Allah. Tolong tanya, apakah pendeta Reformed ini masih layak disebut Reformed jika menggunakan ketetapan Allah untuk merasionalisasikan kesalahannya? Saya pribadi mengatakan TIDAK. Saya setuju bahwa keterlambatannya ada di dalam ketetapan Allah, namun itu BUKAN berarti keterlambatannya dikehendaki Allah, namun hal tersebut diizinkan bahkan dibiarkan Allah.

Kedua, benarkah Reformed identik dengan fatalisme karena terlalu percaya pada ketetapan Allah di dalam kedaulatan-Nya? TIDAK. Reformed memang benar menekankan kedaulatan Allah sebagai inti doktrinnya, namun hal ini TIDAK berarti meniadakan tanggung jawab manusia. Saya menggunakan istilah “tanggung jawab manusia” ketimbang kehendak bebas manusia, karena istilah tanggung jawab manusia lebih cocok dibandingkan kehendak bebas manusia yang selalu tidak pernah bebas, hehehe. Tanggung jawab manusia ini berarti respons manusia sebagai umat-Nya yang telah ditebus Kristus untuk selanjutnya taat mutlak akan firman-Nya demi menggenapkan kehendak-Nya dan memuliakan nama-Nya di bumi ini. Misalnya: di dalam kedaulatan Allah ada providensia (pemeliharaan) Allah (di dalam penciptaan dan keselamatan), ketetapan Allah, dan predestinasi (hal ini akan dijelaskan pada poin-poin selanjutnya). Sebagai respons umat-Nya, maka mereka harus ikut serta memelihara ciptaan-Nya dan juga melakukan sesuatu yang memuliakan nama-Nya (meskipun tindakan-tindakan ini pun mereka lakukan karena adanya anugerah Allah terlebih dahulu). Sebagai respons terhadap ketetapan Allah, maka umat-Nya tetap harus berdoa. Ketetapan Allah adalah tetap ketetapan Allah yang tidak dapat diubah oleh apa pun dan siapa pun, namun hal ini TIDAK berarti kita tidak perlu berdoa. Jika karena alasan ketetapan Allah tidak dapat diubah, maka kita tidak perlu berdoa, maka di titik pertama, sudah ketahuan motivasi doa orang yang mengatakan hal ini, yaitu doanya untuk mengubah ketetapan Allah. DOA TIDAK PERNAH MENGUBAH KETETAPAN ALLAH! Jika doa bisa mengubah ketetapan Allah, maka logikanya adalah “Allah” akan terkaget-kaget segera mengubah rencana awal-“Nya” setelah ada seorang Kristen berdoa. Yang lebih celaka lagi, jika ada dua tim sepakbola, di mana masing-masing pemimpin timnya berdoa kepada Allah, saya mau bertanya, apa yang “Allah” lakukan? Silahkan berpikir sendiri hasilnya jika masih ngotot mengimani bahwa doa mengubah ketetapan Allah. Namun Tuhan tetap menuntut kita berdoa karena doa adalah komunikasi pribadi Allah dengan umat-Nya (bersifat dua arah). Sebagai respons terhadap predestinasi tersebut, maka umat-Nya bersama dengan umat-Nya yang lain ikut serta memberitakan Injil kepada mereka yang belum percaya. Predestinasi mengobarkan penginjilan, bukan malah menyurutkan penginjilan.

Tanggung jawab manusia juga bisa bersifat negatif untuk dikaitkan dengan kedaulatan-Nya. Contoh, Kristus yang disalibkan, tolong tanya, apakah peristiwa itu ada dalam kedaulatan-Nya atau murni kesalahan manusia? Pada waktu Pentakosta, ketika para murid dituduh sedang mabuk anggur, maka Rasul Petrus berdiri dan berkhotbah. Salah satu isi khotbahnya memberi jawaban kepada kita bahwa ada kaitan kedaulatan Allah dan tanggung jawab manusia di dalam peristiwa Kristus yang tersalib itu, “Dia yang diserahkan Allah menurut maksud dan rencana-Nya, telah kamu salibkan dan kamu bunuh oleh tangan bangsa-bangsa durhaka.” (Kis. 2:23) Allah memang merencanakan Putra Tunggal-Nya pasti disalib, namun di sisi lain, Allah yang sama menuntut mereka yang menyalibkan-Nya. Inilah bukti konkrit kedaulatan Allah dan tanggung jawab manusia seimbang ditekankan. Inilah salah satu paradoks dalam iman Kristen.




III. Wahyu Umum dan Wahyu Khusus Allah
Allah yang berdaulat adalah Allah yang menyatakan diri-Nya kepada manusia. Theologi Reformed membagi dua macam wahyu Allah, yaitu: wahyu umum Allah dan wahyu khusus Allah. Wahyu umum Allah (general revelation of God) adalah penyataan diri Allah secara umum kepada semua manusia tanpa kecuali melalui hati nurani, sejarah, dan alam semesta. Nah, mengutip Pdt. Dr. Stephen Tong, wahyu umum Allah ini diresponi oleh manusia, sehingga muncullah: agama dan kebudayaan. Bagi Pdt. Stephen Tong, agama adalah respons manusia berdosa terhadap wahyu umum Allah berupa hati nurani, sedangkan kebudayaan adalah respons manusia berdosa terhadap wahyu umum Allah berupa alam semesta. Saya menambahkan, sains juga termasuk respons manusia terhadap wahyu umum Allah berupa alam semesta. Dari wahyu umum Allah dan responsnya ini, kita mendapatkan gambaran bahwa TIDAK ada orang yang bisa disebut atheis (tidak percaya kepada Allah), karena Allah telah menyatakan diri-Nya dengan begitu jelas (Rm. 1:19-20). Namun mengapa ada orang yang berani mengklaim diri atheis? Benarkah dia atheis murni? Sebenarnya dia bukan atheis, dia hanya percaya bahwa Allah itu tidak ada. Tidak percaya bahwa Allah itu ada berbeda dengan percaya bahwa Allah itu tidak ada. Tidak percaya bahwa Allah itu ada berarti orang itu tidak percaya sama sekali akan keberadaan Allah, sedangkan percaya bahwa Allah itu tidak ada berarti orang itu masih percaya “Allah”, namun “Allah” yang dipercayainya bukan Allah sejati, karena ia telah membuang Allah sejati yang eksis dan menggantinya dengan “Allah” ciptaannya sendiri. Kembali, karena manusia telah jatuh ke dalam dosa dan mengurangi kemuliaan Allah (Rm. 3:23), maka setiap respons manusia pasti mengandung bibit dosa entah itu kecil maupun besar. Dari prinsip ini, kita menemukan bahwa agama (termasuk filsafat/aliran kepercayaan), kebudayaan, dan sains mengandung bibit dosa, sehingga TIDAK mungkin bisa menyelamatkan. Bagaimana penyelesaiannya? Puji Tuhan, Ia menyatakan diri-Nya secara KHUSUS kepada umat pilihan-Nya melalui Kristus dan Alkitab. Kristus adalah wahyu khusus Allah secara nyata/tidak tertulis dan Alkitab (Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru) adalah wahyu khusus Allah secara tertulis.

Dari pembedaan wahyu umum dan khusus Allah, sebagai aplikasinya, kita belajar beberapa hal:
A. Wahyu Khusus Allah Lebih Tinggi daripada Wahyu Umum Allah (dan Respons Terhadap Wahyu Umum Allah)
Karena kita percaya bahwa wahyu khusus Allah itu bersifat final, terbatas, dan menyelamatkan, maka kita sudah seharusnya percaya bahwa wahyu khusus Allah menempati posisi tertinggi di dalam iman dan kehidupan Kristen kita. Jangan berani mengklaim diri Kristen apalagi Reformed, jika kita masih menempatkan tradisi manusia berdosa (khususnya dari dunia Timur) sebagai satu-satunya otoritas mutlak menggeser Alkitab dan Kristus. Biarlah ini menjadi introspeksi diri kita: benarkah Alkitab dan Kristus yang menjadi satu-satunya otoritas ataukah tradisi orangtua/leluhur dan filsafat manusia berdosa yang menjadi “ilah” kita?


B. Menghargai Wahyu Umum Allah (dan Responsnya) Sesuai Dengan Wahyu Khusus Allah
Meskipun kita memegang teguh satu-satunya otoritas wahyu khusus Allah, hendaklah kita tetap menghargai sumbangsih wahyu umum Allah dan respons terhadapnya. Artinya, kita tetap menghargai sumbangsih pemikiran filsafat, agama, tradisi, kebudayaan, dan sains yang bagus dan bernilai, namun perlu diingat, semuanya itu harus ditundukkan di bawah otoritas Alkitab.




IV. Sola Scriptura
Karena Allah mewahyukan diri-Nya secara khusus kepada umat pilihan-Nya secara tertulis yaitu Alkitab, maka sudah seharusnya kita menjadikan Alkitab sebagai satu-satunya otoritas mutlak dalam iman dan kehidupan Kristen kita. Itulah semangat yang ditegaskan oleh Dr. Martin Luther, yaitu Sola Scriptura (hanya Alkitab). Apa artinya? Apa bedanya dengan Solo Scriptura?[3] Sola Scriptura berarti hanya Alkitab menjadi satu-satunya otoritas dalam iman dan kehidupan Kristen kita, sedangkan tradisi gereja (yang bisa salah) melalui pengakuan iman, katekismus, dll adalah sarana untuk mengerti Alkitab. Di sini, kita mendapatkan pengertian bahwa Sola Scriptura dari Protestantisme atau Reformed TIDAK membuang tradisi gereja. Kami sebagai orang Reformed tetap menghargai tradisi gereja, khususnya dari para rasul, bapa gereja (khususnya Augustinus), para reformator, dll, namun tradisi itu tetap harus ditundukkan di bawah otoritas Alkitab sebagai batu pengujinya. Di dalam iman Reformed, pengakuan-pengakuan iman, seperti: Canons of Dort, Pengakuan Iman Westminster, Katekismus (Singkat dan Besar) Westminster, Katekismus Heidelberg, dll merupakan sarana kita mengerti Alkitab, namun sarana tersebut bisa salah dan perlu terus-menerus diubah sesuai dengan Alkitab. Oleh karena itu, semboyan gereja Reformed yang harus dipelajari adalah: Ecclesia Reformata Semper Reformanda Secundum Verbum Dei yang berarti gereja-gereja Reformed harus terus-menerus di-Reformed-kan sesuai dengan firman Allah. Sedangkan Solo Scriptura merupakan pandangan sejumlah besar kaum Fundamentalisme yang meyakini bahwa sumber otoritas mutlak bagi iman dan kehidupan Kristen adalah Alkitab, sedangkan tradisi gereja dan buku-buku rohani tidak diperlukan lagi. Bahkan seorang ekstremis dari penganut Solo Scriptura menambahi “iman”nya dengan pengalaman yang diklaim dari “Allah” yaitu melalui “mukjizat” bahwa “Allah” menginginkannya untuk membaca Alkitab saja dan bukan buku-buku lain. Orang yang makin ekstrem dengan Solo Scriptura coba perhatikan cara dia menafsirkan Alkitab, kebanyakan ngaco.

Ketika kita belajar tentang Sola Scriptura, ada satu prinsip lagi yang penting yaitu Scriptura sui interpres (=Alkitab menafsirkan dirinya sendiri). Artinya, ketika mengerti dan menafsirkan Alkitab, kita tidak perlu terlalu susah membutuhkan segudang tafsiran Alkitab, karena Alkitab pada dirinya sendiri jelas dan mudah dipahami, namun hal ini TIDAK berarti kita sembarangan menafsirkan Alkitab. Mengapa Alkitab jelas dan mudah dipahami? Karena di dalam theologi Reformed, Alkitab dipercaya menafsirkan dirinya sendiri, di mana ayat-ayat Alkitab yang kurang jelas akan dijelaskan pada ayat-ayat Alkitab yang lebih jelas di bagian kitab lain dalam Alkitab. Dari prinsip ini, theologi Reformed menafsirkan Alkitab bukan asal main comot ayat Alkitab, namun memperhatikan seluruh PL dan PB secara simultan dan komprehensif, sehingga terciptalah doktrin yang ketat dan konsisten dari Alkitab. Di dalam ilmu penafsiran (hermeneutika) Alkitab, hal ini dikenal dengan prinsip penafsiran eksegese yang artinya menggali keluar ayat-ayat Alkitab. Hal ini dibedakan dengan prinsip penafsiran eisegese yang artinya memasukkan ide-ide dari luar ke dalam Alkitab (alias mencocok-cocokkan Alkitab dengan ide luar atau bahasa gaulnya: semau gue).

Ketika kita mempelajari hermeneutika Alkitab, kita akan belajar banyak hal. Sebagai dasar, kita perlu mempelajari 2 bahasa asli Alkitab: Ibrani dan Yunani. Baru setelah itu, kita akan mempelajari prinsip-prinsip penafsiran Alkitab yang bertanggungjawab, yaitu:
A. Memperhatikan Genre Kitab
Pertama-tama, kita harus memperhatikan genre kitab yang akan kita selidiki. Genre berarti jenis literatur kitab. Misalnya, ketika ingin mengerti dan menafsirkan Kitab Mazmur, maka kita harus mengerti genre Kitab Mazmur adalah puisi dan nyanyian, sehingga ketika hendak menafsirkan Mazmur, jangan menjadikan kitab ini sebagai kitab sejarah atau kitab doktrinal. Sedangkan genre Kitab Kisah Para Rasul adalah kitab sejarah, maka perlakukan kitab ini sebagai kitab sejarah dan bukan kitab puisi.


B. Memperhatikan Teks Kitab
Setelah memperhatikan genre, maka kita harus memperhatikan teks ayat dalam kitab yang akan kita selidiki. Memperhatikan teks berarti kita menggali teks tersebut secara mendalam, misalnya dengan memperhatikan bahasa asli dan struktur kalimat dari ayat yang kita baca. Dari teks asli itu, kita mencoba menggali lagi akar kata dan makna sesungguhnya. Kemudian kita membandingkannya dengan Alkitab terjemahan lain selain Alkitab LAI yang kita miliki. Ketika kita mulai masuk ke dalam tahap ini, kita memang harus memerlukan tools atau peralatan untuk memudahkan kita menggali Alkitab, misalnya software Bible Works, Interlinear (Yunani-Indonesia) yang telah disusun oleh Pdt. Hasan Susanto, D.Th., dll.


C. Memperhatikan Konteks Alkitab
Setelah memperhatikan teks, kita harus memperhatikan konteks Alkitab. Konteks di sini dibagi lagi menjadi dua: konteks dekat dan konteks jauh. Konteks dekat Alkitab berarti konteks ayat yang sedang kita selidiki dan pelajari. Misalnya, ketika kita menggali makna Roma 3:23, maka kita harus memperhatikan ayat-ayat sebelum ayat 23 dan ayat-ayat sesudahnya. Tentu juga perlu memperhatikan pasal-pasal sebelum dan sesudah pasal 3. Konteks jauh Alkitab berbicara lebih luas lagi yaitu konteks dalam seluruh kitab yang diselidiki, seluruh kitab dengan penulis yang sama (jika ada), dan tentunya seluruh PL dan PB dalam Alkitab. Misalnya, ketika kita menyelidiki kata dosa pada Roma 3:23, maka kita harus membandingkannya dengan seluruh ayat dalam Surat Roma, kemudian membandingkannya dengan konsep dosa dalam kitab-kitab lain yang ditulis oleh Paulus (misalnya, Galatia, Efesus, Filipi, Kolose, dll), dan terakhir membandingkannya dengan seluruh PL dan PB, sehingga makna dosa menjadi jelas bagi kita.


D. Memperhatikan Latar Belakang Kitab
Selain teks dan konteks, kita tetap perlu memperhatikan latar belakang kitab. Setiap kitab memiliki latar belakangnya tersendiri. Latar belakang ini bisa berupa latar belakang historis, kebudayaan, bahasa, dll. Misalnya, di dalam Roma 3:9, mengapa Paulus menyebut dua bangsa: Yahudi dan Yunani? Karena jemaat Roma pada waktu itu terdiri dari dua bangsa tersebut. Lalu, kita mencoba menyelidiki betapa agungnya Surat Roma, karena Paulus menulis bukan hanya bagi orang Yahudi, tetapi juga bagi orang Yunani, sehingga cara dan konsep berpikir Paulus paling brilian ada di dalam Surat Roma. Dr. Martin Luther menyebut Surat Roma sebagai inti Injil, sehingga meskipun Alkitab semua dibakar dan hanya tersisa Surat Roma, maka itu sudah cukup membuat seseorang mengerti Injil. Mengapa di 1 Korintus 7, Paulus menguraikan masalah pernikahan dengan begitu jelas dan gamblang dan penjelasan lengkap ini tidak ditemukan pada surat-surat Paulus yang lainnya? Karena pada waktu itu jemaat di Korintus memiliki ajaran bahwa seks dan pernikahan itu adalah dosa, maka kalau mau melayani Tuhan, harus tidak boleh menikah. Karena latar belakang inilah, maka Paulus menguraikan panjang lebar bahwa pernikahan BUKANlah dosa.




V. Sola Gratia dan Sola Fide
Karena Alkitab adalah satu-satunya otoritas mutlak, maka dari prinsip Alkitab, kita belajar tentang doktrin keselamatan yaitu: Sola Gratia (keselamatan hanya melalui anugerah Allah) dan Sola Fide (keselamatan hanya melalui iman kepada Kristus). Sola Gratia berarti keselamatan yang kita peroleh di dalam Kristus adalah mutlak 100% anugerah Allah dan tidak ada sedikit pun jasa manusia. Paulus menjabarkan hal ini di dalam Roma 3:23-24, “Karena semua orang telah berbuat dosa dan telah kehilangan kemuliaan Allah, dan oleh kasih karunia telah dibenarkan dengan cuma-cuma karena penebusan dalam Kristus Yesus.” Dua ayat ini sengaja saya gabungkan agar kita mengerti bahwa fakta dosa membuat kita harus menyadari bahwa kita tak mungkin bisa bertindak apa-apa untuk diselamatkan dari dosa, karena di dalam diri kita tidak ada takut akan Allah dan kita tidak mencari Allah, dilanjutkan dengan perkataan, perbuatan, dan tingkah laku kita menjijikkan di mata Allah (bdk. ay. 9-21). Jika kita benar-benar bobrok di mata Allah, maka logiskah jika kita masih menganggap diri layak diselamatkan melalui jasa baik kita? Inilah citra diri manusia berdosa yang tidak pernah menyadari diri berdosa. Selain itu, di Efesus 2:8, Paulus kembali mengingatkan kita tentang anugerah Allah di dalam keselamatan, “Sebab karena kasih karunia kamu diselamatkan oleh iman; itu bukan hasil usahamu, tetapi pemberian Allah,” Masih banyak ayat lain di dalam Perjanjian Baru yang mengajar kita bahwa keselamatan kita di dalam Kristus adalah anugerah Allah, bukan karena perbuatan baik kita. Semakin kita berbuat baik demi mencapai keselamatan dan sorga, maka pada saat yang sama, kita semakin tidak baik, karena perbuatan baik kita lakukan bukan untuk tujuan kebaikan. Pertanyaan penguji apakah kita sungguh-sungguh berbuat baik adalah jika kita telah susah payah berbuat demi untuk mencapai sorga, kemudian pada akhirnya, kita tidak masuk sorga, apakah kita masih berbuat baik? Ini membuktikan motivasi kita berbuat baik pun sudah tidak baik.

Selain melalui anugerah Allah, kita diselamatkan melalui iman kepada Kristus yang telah menebus kita (Sola Fide). Di Efesus 2:8, kita tadi telah membaca uraian Paulus bahwa kita diselamatkan oleh/melalui iman. Berarti, atas anugerah Allah, kita diselamatkan oleh Allah melalui iman kepada Kristus. Dengan kata lain, kita diselamatkan melalui iman kepada karya Kristus yang telah mati dan bangkit demi menebus dosa-dosa kita. Dari poin ini, apakah berarti tindakan kita beriman kepada Kristus merupakan inisiatif kita? TIDAK. Kembali ke konsep anugerah Allah di atas, maka kita belajar bahwa ketika kita beriman kepada Kristus itu pun adalah anugerah Allah bagi kita yang termasuk umat pilihan-Nya. Jika bukan karena anugerah Allah melalui kelahiran baru dari Roh Kudus, tak mungkin seorang bisa beriman kepada Kristus (bdk. 1Kor. 12:3) Lalu, apakah jika kita diselamatkan melalui iman, maka kita bisa berbuat seenaknya sendiri? TIDAK. Orang Kristen yang sejati yang termasuk umat pilihan-Nya yang telah diselamatkan melalui anugerah Allah di dalam iman kepada Kristus adalah orang Kristen yang telah dilahirbarukan oleh Roh Kudus terlebih dahulu, sehingga hatinya dimurnikan terus-menerus untuk makin mengasihi Allah dan firman-Nya dan secara otomatis, tidak mungkin seorang anak Tuhan sejati berbuat seenaknya sendiri yang menyakiti hati-Nya.




VI. Kristus Sebagai Nabi, Imam, dan Raja
Di dalam doktrin Kristus, iman Reformed mempercayai ada 3 jabatan Kristus, yaitu sebagai nabi, imam, dan raja. Mari kita menyimak apa yang dikatakan oleh Katekismus Singkat Westminster pertanyaan 23 di bawah ini,
“Pertanyaan 23.
P.23 : Jabatan apakah yang dilaksanakan Kristus sebagai Penebus kita?
J : Kristus, sebagai Penebus kita, melaksanakan jabatan nabi, imam, dan raja, baik dalam keadaan perendahan-Nya maupun pemuliaan-Nya.”[4]
Apa artinya jabatan Kristus sebagai nabi, imam, dan raja? Mari kita kembali menyimak penjabaran dari Katekismus Singkat Westminster pada pertanyaan 24-26.
A. “Kristus melaksanakan jabatan sebagai seorang nabi, dengan menyatakan kepada kita, melalui firman dan Roh-Nya, kehendak Allah bagi keselamatan kita.”[5]
Ketika membaca Perjanjian Lama, kita menjumpai para nabi ketika berbicara kepada umat Israel selalu didahului, “Demikian firman Allah, …” atau “TUHAN berfirman, …” Dengan demikian, kita mengetahui para nabi sejati yang Allah utus benar-benar berbicara atas nama Allah kepada umat Israel. Bahkan di Perjanjian Lama, kita mendapatkan keterangan yang jelas tentang siapa nabi palsu dan bagaimana Tuhan menuntut orang Israel untuk menghukum para nabi palsu tersebut. Di dalam kitab Ulangan, 2 kali Tuhan menuntut orang Israel untuk berhati-hati terhadap nabi palsu dan segera menghukum mati para nabi palsu. Di Ulangan 13:1-5, Tuhan berfirman, “Apabila di tengah-tengahmu muncul seorang nabi atau seorang pemimpi, dan ia memberitahukan kepadamu suatu tanda atau mujizat, dan apabila tanda atau mujizat yang dikatakannya kepadamu itu terjadi, dan ia membujuk: Mari kita mengikuti allah lain, yang tidak kaukenal, dan mari kita berbakti kepadanya, maka janganlah engkau mendengarkan perkataan nabi atau pemimpi itu; sebab TUHAN, Allahmu, mencoba kamu untuk mengetahui, apakah kamu sungguh-sungguh mengasihi TUHAN, Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu. TUHAN, Allahmu, harus kamu ikuti, kamu harus takut akan Dia, kamu harus berpegang pada perintah-Nya, suara-Nya harus kamu dengarkan, kepada-Nya harus kamu berbakti dan berpaut. Nabi atau pemimpi itu haruslah dihukum mati, karena ia telah mengajak murtad terhadap TUHAN, Allahmu, yang telah membawa kamu keluar dari tanah Mesir dan yang menebus engkau dari rumah perbudakan--dengan maksud untuk menyesatkan engkau dari jalan yang diperintahkan TUHAN, Allahmu, kepadamu untuk dijalani. Demikianlah harus kauhapuskan yang jahat itu dari tengah-tengahmu.” Kemudian Tuhan sendiri membedakan nabi sejati dengan nabi palsu di dalam Ulangan 18:18-20, “seorang nabi akan Kubangkitkan bagi mereka dari antara saudara mereka, seperti engkau ini; Aku akan menaruh firman-Ku dalam mulutnya, dan ia akan mengatakan kepada mereka segala yang Kuperintahkan kepadanya. Orang yang tidak mendengarkan segala firman-Ku yang akan diucapkan nabi itu demi nama-Ku, dari padanya akan Kutuntut pertanggungjawaban. Tetapi seorang nabi, yang terlalu berani untuk mengucapkan demi nama-Ku perkataan yang tidak Kuperintahkan untuk dikatakan olehnya, atau yang berkata demi nama allah lain, nabi itu harus mati.” Mengapa Tuhan begitu tegas? Karena Tuhan tidak ingin firman-Nya dipermainkan dengan tidak bertanggungjawab. Itulah jabatan Kristus sebagai nabi, yaitu memberitakan isi hati Bapa kepada umat-Nya. Dia bukan hanya nabi biasa, tetapi Dia adalah Nabi di atas segala nabi, karena Dia sajalah yang menyingkapkan isi hati Bapa kepada umat-Nya. Ketika para ahli taurat menyalahartikan makna Taurat, maka Kristus menafsirkan ulang artinya sesuai dengan maksud aslinya, karena Ia adalah Tuhan atas Taurat. Semua firman-Nya ini dicatat di dalam Alkitab dan Alkitab yang diwahyukan-Nya inilah adalah satu-satunya otoritas mutlak dalam iman dan kehidupan Kristen kita.


B. “Kristus melaksanakan jabatan sebagai seorang imam, dengan mempersembahkan diri-Nya sendiri (cukup hanya) satu kali sebagai korban untuk memuaskan keadilan ilahi, dan mendamaikan kita dengan Allah; dan terus-menerus menjadi Pengantara bagi kita.”[6]
Selain sebagai nabi, Ia juga sebagai imam yang menjadi pengantara selama-lamanyaantara Allah yang Mahakudus dengan manusia berdosa. Di dalam Perjanjian Lama, kita belajar bahwa para imam bertugas untuk menjadi pengantara antara Allah dengan manusia di dalam ibadah persembahan korban. Jabatan dan tugas seorang imam diteruskan oleh imam-imam berikutnya, sehingga jabatan dan tugas imam tidak bersifat kekal. Namun keimaman Kristus bukan berlangsung sementara, tetapi berlangsung selama-lamanya. Oleh karena itu, hanya melalui Dia sajalah, kita diselamatkan. Tidak ada pengantara lain yang bisa memuaskan keadilan ilahi dan mendamaikan kita dengan Allah kecuali hanya melalui Kristus. Sehingga siapa pun yang seolah-olah bertindak sebagai pengantara antara Allah dengan manusia di dalam gereja, hendaklah kita berhati-hati, karena orang itu secara sadar atau tidak sadar sedang menggeser posisi Kristus dan itu merupakan dosa besar.


C. “Kristus melaksanakan jabatan sebagai seorang raja, dengan menaklukkan kita kepada-Nya, memerintah serta melindungi kita, dan mengekang serta menaklukkan semua musuh-Nya maupun musuh kita.”[7]
Selain sebagai nabi dan imam, Ia juga memiliki jabatan sebagai seorang raja yang akan memimpin dan menaklukkan kita, memerintah dan melindungi kita, dan juga mengekang dan menaklukkan semua musuh-Nya dan kita. Kristus sebagai raja berarti Dia adalah Raja di atas segala raja yang kerajaan-Nya tak akan berubah dari dahulu, sekarang, dan selama-lamanya, sehingga setiap raja di bumi harus bertekuk lutut menyembah-Nya. Hal ini menjadi nyata bagi kita ketika Kristus nantinya datang kedua kalinya sebagai Hakim dan Raja. Pada saat itu, “raja-raja di bumi dan pembesar-pembesar serta perwira-perwira, dan orang-orang kaya serta orang-orang berkuasa, dan semua budak serta orang merdeka bersembunyi ke dalam gua-gua dan celah-celah batu karang di gunung. Dan mereka berkata kepada gunung-gunung dan kepada batu-batu karang itu: "Runtuhlah menimpa kami dan sembunyikanlah kami terhadap Dia, yang duduk di atas takhta dan terhadap murka Anak Domba itu."” (Why. 6:15-16) Kedahsyatan kuasa Kristus sebagai Raja di atas segala raja mengakibatkan kita:
1. Tunduk kepada-Nya
Ke-Raja-an Kristus mengakibatkan kita memiliki sikap tunduk kepada-Nya. Namun sayang, banyak orang Kristen hanya sering mendengar Kristus sebagai Juruselamat, namun jarang mendengar Kristus sebagai TUHAN dan Raja. Apa arti Kristus sebagai Raja di dalam hidup kita sehingga kita harus tunduk kepada-Nya? Kristus sebagai Raja di dalam hidup kita berarti Kristus menguasai dan memerintah dalam hidup kita, sehingga setiap inci hidup kita ada di dalam kontrol kedaulatan-Nya, seperti yang diteriakkan oleh Prof. Dr. Ds. Abraham Kuyper bahwa di dalam setiap inci hidup kita, tidak mungkin tidak ada Kristus yang bertahta di atasnya. Ini adalah konsekuensi logis dari setiap kita yang telah menyerahkan hidup kita untuk mengikut Kristus. Jangan berani menyebut diri Kristen apalagi Reformed jika belum mengakui ke-Raja-an Kristus dalam hidup kita.

2. Tidak usah takut dan kuatir akan iman dan kehidupan kita.
Ke-Raja-an Kristus juga menghibur kita tatkala kita mengalami penderitaan dan aniaya karena nama-Nya. Tatkala marabahaya mengancam hidup umat-Nya, Kristus sebagai Raja akan datang untuk melindungi kita dan kelak akan menaklukkan semua musuh-Nya dan musuh kita. Itulah pengharapan dan penghiburan kita tatkala kita harus menderita karena nama Kristus. Masihkah kita takut dan kuatir akan perjalanan iman dan kehidupan kita karena mengikut Kristus? Percayalah kepada ke-Raja-an-Nya dan kita akan dilindungi-Nya.




VII. Predestinasi
Di dalam doktrin Keselamatan (Soteriologi), iman Reformed mempercayai bahwa Allah memilih manusia sebelum dunia dijadikan (predestinasi). Di dalam Efesus 1:4, Tuhan melalui Paulus mengajar kita, “Sebab di dalam Dia Allah telah memilih kita sebelum dunia dijadikan, supaya kita kudus dan tak bercacat di hadapan-Nya.” Itulah berkat rohani yang Paulus maksudkan di ayat 3, di mana di dalam Kristus, Allah telah memilih kita sebelum dunia dijadikan. Di ayat ini, ada tiga prinsip penting tentang pemilihan Allah:
A. Allah Telah Memilih Kita
Prinsip predestinasi adalah Allah telah memilih kita. Berarti, dari sekian banyak orang, Allah telah memilih sebagian orang untuk menjadi anak-anak-Nya yang nantinya akan ditebus dan disempurnakan oleh Roh Kudus. Pemilihan ini mencakup dua tindakan: pemilihan dan penolakan (reprobasi). Di dalam iman Reformed, kita menemukan ada dua pandangan predestinasi: single predestination (yang mempercayai bahwa predestinasi Allah hanya mencakup pemilihan Allah) dan double predestination (predestinasi ganda) yang mempercayai bahwa predestinasi Allah mencakup pemilihan dan penolakan Allah. Manakah yang lebih sesuai dengan Alkitab? Di dalam Surat Efesus, Paulus tidak menjelaskan bahwa di dalam predestinasi, Allah menolak manusia, namun di Surat Roma, khususnya pasal 9, dengan jelas Paulus menjabarkan konsep reprobasi/penolakan dengan memakai contoh bahwa sebelum Esau dan Yakub lahir, Allah memilih Yakub dan menolak Esau (Rm. 9:11-13). Dari sini, kita mendapatkan pengertian bahwa di dalam predestinasi-Nya, Allah telah memilih beberapa manusia untuk menjadi anak-anak-Nya dan secara otomatis membuang/menolak sisanya untuk dicampakkan ke dalam neraka. Namun, kaum Universalis yang melawan Calvinisme menyerang dengan menggunakan ayat Alkitab yang mengajar bahwa Allah menghendaki semua orang diselamatkan (1Tim. 2:4). Bagaimana jawab Reformed? Reformed menjawab bahwa di dalam kasih-Nya, Ia memang menghendaki semua orang diselamatkan, namun di dalam keadilan-Nya yang berdaulat, Ia tetap memilih beberapa manusia untuk diselamatkan. Inilah konsep doktrin Allah yang seimbang antara kasih dan keadilan-Nya. Mengapa Allah rela membuang manusia ke dalam neraka? Apakah Allah tidak adil? Rasul Paulus di Roma 9:15-16 menjawab, “Sebab Ia berfirman kepada Musa: "Aku akan menaruh belas kasihan kepada siapa Aku mau menaruh belas kasihan dan Aku akan bermurah hati kepada siapa Aku mau bermurah hati." Jadi hal itu tidak tergantung pada kehendak orang atau usaha orang, tetapi kepada kemurahan hati Allah.” Alasan kedua, karena dosa manusia. Mengerti predestinasi harus dikaitkan dengan mengerti dosa manusia. Alkitab mengajar kita bahwa semua manusia berdosa, sehingga di mata Allah, tidak ada yang layak diselamatkan, namun dari Sorga dan sebelum dunia dijadikan, Allah memilih beberapa manusia yang berdosa untuk diselamatkan. Di sinilah letak kasih dan keadilan Allah yang berdaulat bersatu. Bagi kita yang telah dipilih-Nya, bukankah seharusnya respons kita bersyukur atas anugerah-Nya dan bukan mengomel mengapa Tuhan tidak memilih semua orang? Bagi kita yang tidak dipilih-Nya, bukankah itu adalah hak-Nya yang berdaulat untuk memilih siapa yang dikehendaki-Nya dan membuang siapa yang tidak dikehendaki-Nya? Apa hak kita sebagai manusia yang sama-sama berdosa menasihati Allah?

Lalu, bagaimana Allah memilih manusia? Iman Reformed berbeda dengan kaum Arminian. Arminian juga mempercayai predestinasi Allah, namun predestinasi bagi Arminian tidak sama dengan yang Reformed ajarkan. Arminianisme mengajarkan bahwa Allah memilih manusia karena Ia mengetahui bahwa pada suatu waktu, manusia yang dipilih-Nya itu akan beriman kepada-Nya. Dengan kata lain, paham predestinasi menurut Arminian bergantung pada peran aktif manusia yang akhirnya beriman kepada-Nya (meskipun memakai konsep predestinasi Allah). Sedangkan iman Reformed dari awal sampai akhir mengajar bahwa Allah memilih dan menolak manusia sebelum dunia dijadikan bukan berdasarkan perbuatan baik manusia, namun mutlak berdasarkan anugerah Allah, sehingga manusia TIDAK dapat memegahkan diri atas sumbangsihnya di dalam keselamatan.


B. Allah Telah Memilih Kita Sebelum Dunia Dijadikan
Konsep kedua tentang predestinasi adalah Allah telah memilih kita sebelum dunia dijadikan. Berkenaan dengan hal ini, theologi Reformed terpecah menjadi dua: infralapsarian dan supralapsarian. Supralapsarian percaya bahwa ketetapan Allah memilih dan menolak manusia berlangsung sebelum Allah mengizinkan dosa, sedangkan Infralapsarian percaya bahwa ketetapan Allah memilih dan menolak manusia berlangsung setelah Allah mengizinkan dosa. Manakah yang lebih sesuai dengan Alkitab? Bagi saya, pembedaan dua aliran di dalam theologi Reformed ini sebenarnya rancu, mengapa? Karena ketetapan Allah adalah ketetapan dari Allah yang di luar ruang dan waktu, sehingga tak mungkin bagi Allah, mana yang lebih dahulu dan mana yang belakangan. Dengan kata lain, bagi saya, Allah memilih dan menolak manusia itu terjadi sebelum dunia dijadikan dan itu tidak bisa dideskripsikan dengan jelas, karena bahasa Allah berbeda dari bahasa manusia. Dari sini, kita dituntut untuk mempercayai firman-Nya bahwa Ia telah memilih kita sebelum dunia dijadikan. Apa pun arti “sebelum dunia dijadikan” itu berada pada kedaulatan dan waktu-Nya yang tidak kita ketahui dengan pasti.


C. Supaya Kita Kudus dan Tak Bercacat Di Hadapan-Nya
Tujuan Allah memilih kita adalah supaya kita kudus dan tak bercacat di hadapan-Nya. Dengan kata lain, Allah memilih kita bukan karena kita kudus dan tak bercatat, namun agar kita kudus dan tak bercatat di hadapan-Nya. Berarti, pemilihan Allah mengakibatkan hidup kita makin lama makin serupa dengan Kristus. Ini berarti “paket” keselamatan dari Allah, bukan hanya penebusan Kristus saja, namun juga mencakup proses pengudusan (progressive sanctification) dari Roh Kudus di dalam setiap aspek kehidupan kita. Proses pengudusan ini akhirnya membawa kita mencapai kesempurnaan kelak pada waktu kekekalan. Bukankah ini adalah anugerah yang begitu besar bagi umat-Nya?




VIII. Ordo Salutis: Monergisme
Di dalam kaitan dengan predestinasi, iman Reformed memiliki urutan keselamatan (ordo salutis) yaitu Monergisme. Monergisme (sebagai lawan dari sinergisme) percaya bahwa di dalam keselamatan, Allah lah yang memulai keselamatan melalui Roh Kudus yang mengefektifkan karya penebusan Kristus kepada umat pilihan-Nya.[8] Sedangkan Sinergisme mengajar bahwa Allah dan individu yang beriman lah (sinergi = bekerja sama) yang berpartisipasi di dalam keselamatan. Monergisme mendasarkan imannya di atas dasar kedaulatan Allah, sedangkan Sinergisme mendasarkan imannya pada peran Allah dan manusia. Alkitab mengajar kita bahwa Allah yang merencanakan keselamatan, Ia jugalah yang menggenapi keselamatan, dan Ia jugalah yang menyempurnakan keselamatan, sehingga tidak ada satu incipun jasa baik manusia yang berpartisipasi di dalamnya. Di sisi lain, kita telah melihat bahwa semua manusia itu berdosa dan mengurangi kemuliaan Allah, sehingga tidak mungkin seorang manusia bisa secara aktif meresponi anugerah Allah. Jangankan anugerah Allah, nasihat baik dari orang lain kepada kita pun kadang kala kita tidak meresponinya dengan baik. Di sini, kita melihat dosa manusia mengakibatkan manusia tak mungkin meresponi anugerah Allah dengan sendirinya tanpa anugerah Allah melalui kelahiran baru dari Roh Kudus.




IX. TULIP
Belajar Reformed/Calvinisme tidak bisa dilepaskan dari belajar 5 poin Calvinisme. Meskipun Calvinisme/Reformed tidak hanya terbatas pada 5 poin/pokok Calvinisme, namun 5 pokok Calvinisme cukup mewakili apa yang Reformed percayai. Lima pokok Calvinisme itu disingkat TULIP, yaitu: Total Depravity (Kerusakan Total Manusia), Unconditional Election (Pemilihan yang Tak Bersyarat), Limited Atonement (Penebusan Terbatas), Irresistible Grace (Anugerah yang Tak Dapat Ditolak), dan Perseverance of the Saints (Ketekunan Orang-orang Kudus). Mari kita mempelajari kelima pokok Calvinisme tersebut secara ringkas.
A. Total Depravity (Kerusakan Total Manusia)
Pokok pertama dari TULIP adalah berbicara mengenai dosa manusia, yaitu: kerusakan total manusia. Artinya di dalam setiap aspek kehidupan manusia pasti mengandung benih dosa. Hati, pikiran, sifat, perkataan, tingkah laku, dan perbuatan manusia telah dipolusi oleh dosa, sehingga tak ada sesuatu dalam diri manusia yang patut dibanggakan. Meskipun demikian kerusakan total manusia TIDAK berarti manusia TIDAK mampu berbuat baik sedikit pun. Kerusakan total manusia memungkinkan manusia bisa berbuat baik, namun motivasi dan tujuannya sudah dirusak oleh dosa, sehingga makin berbuat baik, manusia makin berdosa, karena perbuatan baiknya pun sudah dipolusi oleh dosa.

Bukankah ada aliran Kristen yang mengajar bahwa meskipun manusia telah berdosa, namun pikiran manusia tidak ikut terpolusi oleh dosa, sehingga pikiran manusia masih mampu beriman kepada Allah? Benarkah pandangan demikian? Alkitab TIDAK mengecualikan sedikitpun aspek di dalam diri manusia yang tidak berdosa. Rasul Paulus dengan jelas dan teliti menjelaskan kepada kita, “Sebab di atas telah kita tuduh baik orang Yahudi, maupun orang Yunani, bahwa mereka semua ada di bawah kuasa dosa,” (Rm. 3:9) Apakah ayat ini berbunyi, “mereka semua ada di bawah kuasa dosa, kecuali pikiran mereka,”? TIDAK! Tidak ada pengecualian sama sekali! Di ayat berikutnya, Paulus lebih rinci menguraikan setiap aspek kehidupan manusia telah dikuasai dosa: akal budi manusia telah dipolusi dosa, sehingga manusia tak mungkin bisa mencari Allah (ay. 11), perbuatan baik manusia telah dipolusi dosa (ay. 12), perkataan mereka telah diracuni oleh dosa (ay. 13-14), iman dan tingkah laku mereka jelas menunjukkan ciri-ciri orang fasik (ay. 15-18). Apakah penjelasan Paulus masih kurang lengkap dan terang menjelaskan rusaknya setiap aspek kehidupan manusia?


B. Unconditional Election (Pemilihan yang Tak Bersyarat)
Jika manusia telah rusak total akibat dosa, adakah jalan keluar dari dosa manusia tersebut? TIDAK dan YA. TIDAK menurut cara manusia berdosa, namun YA menurut cara Allah. Jalan keluar dari dosa BUKAN dengan cara menyiksa diri, namun dengan cara Allah yaitu menyelamatkan manusia dari dosa melalui penebusan Kristus. “Sebelum” Allah mengutus Kristus untuk menebus dosa manusia, maka Ia “terlebih dahulu”[9] memilih beberapa manusia untuk menjadi anak-anak-Nya. Bagi kaum Arminian, Allah memilih manusia setelah mengetahui bahwa manusia yang dipilih-Nya itu suatu saat akan memilih beriman kepada-Nya. Dari konsep ini, kita mengerti bahwa bagi Arminian, Allah memilih manusia berdasarkan pemilihan manusia akan Allah. Jika manusia tersebut akhirnya tidak memilih Allah, maka Allah pun enggan memilih manusia. Kasihan sekali “Allah” model ini yang menunggu reaksi manusia baru akhirnya memilih manusia. Bukankah ini hampir mirip seperti tindakan manusia berdosa??? Bagi Reformed/Calvinis, Allah memilih beberapa manusia BUKAN berdasarkan perbuatan baik manusia (karena manusia pada dasarnya sudah rusak total akibat dosa), namun berdasarkan anugerah dan kemurahan Allah saja. Di atas kita telah membaca ayat-ayat Alkitab yang begitu banyak berkenaan dengan pemilihan Allah yang tanpa syarat yang tanpa melihat perbuatan baik manusia.

Saya tidak bisa memberikan ilustrasi yang tepat untuk menggambarkan hal ini, karena tindakan Allah tidak bisa dipersamakan dengan contoh apa pun dalam ilustrasi manusia. Yang pasti adalah di antara semua manusia berdosa, kalau kita termasuk salah satu umat pilihan-Nya, bukankah itu adalah hak istimewa yang luar biasa yang Allah berikan kepada kita? Saya akan mencoba memberikan ilustrasi (yang tentunya tidak sempurna) untuk menjelaskan konsep pemilihan yang tak bersyarat. Bayangkan seorang pengemis (yang termasuk salah satu dari puluhan pengemis di sebuah pinggir jalan raya) yang diberi uang oleh seseorang. Si pengemis jelas memiliki status dan kondisi yang sama dengan para pengemis lainnya, namun mengapa ada orang yang memberi uang kepada si pengemis ini dan bukan kepada pengemis lainnya? Ilustrasi ini menjelaskan betapa bobroknya kita di hadapan Allah dan kita dipilih-Nya sebagai anak-anak-Nya untuk hidup memuliakan Dia yang memilih dan memanggil kita. Kita yang telah dipilih-Nya sudah seharusnya mengucap syukur karena kita termasuk umat pilihan-Nya, bukan malahan mengomel mengapa Ia tak memilih suami/istri atau saudara atau orang terdekat kita.


C. Limited Atonement (Penebusan Terbatas)
“Setelah” Allah memilih beberapa manusia untuk menjadi umat-Nya, maka Ia mengutus Putra Tunggal-Nya, Tuhan Yesus Kristus untuk menebus dosa umat yang telah dipilih-Nya tersebut. Dengan kata lain, penebusan Kristus adalah penebusan yang berlaku hanya bagi umat pilihan-Nya, bukan bagi semua manusia. Hah? Bukankah kita sering mendengar khotbah mimbar bahwa Tuhan Yesus menebus dosa semua umat manusia? Bukankah Yohanes 3:16 mengajar kita bahwa Kristus menebus dosa semua umat manusia? Bagaimana iman Reformed menjawab? Yohanes 3:16 TIDAK mengajar bahwa Kristus menebus semua umat manusia. Perhatikan ayat ini dengan teliti. Tuhan Yesus berfirman, “Karena begitu besar kasih Allah akan dunia ini, sehingga Ia telah mengaruniakan Anak-Nya yang tunggal, supaya setiap orang yang percaya kepada-Nya tidak binasa, melainkan beroleh hidup yang kekal.” Memang benar bahwa Allah mengasihi isi dunia ini, sehingga Ia mengutus Kristus, namun frase berikutnya menjelaskan kepada kita bahwa hanya setiap orang yang percaya kepada-Nya yang memperoleh anugerah keselamatan untuk tidak binasa kelak, namun beroleh hidup yang kekal. Tuhan Yesus berfirman di dalam Matius 20:28, “sama seperti Anak Manusia datang bukan untuk dilayani, melainkan untuk melayani dan untuk memberikan nyawa-Nya menjadi tebusan bagi banyak orang."” Di ayat ini, Ia tidak berfirman bahwa Ia memberikan nyawa-Nya sebagai tebusan bagi semua orang, namun bagi BANYAK orang. Semua Alkitab terjemahan bahasa Inggris menerjemahkan BANYAK sebagai many. Kata Yunani yang dipakai adalah polus yang berarti many, much, large (=banyak, sejumlah besar). Dari ayat ini, kita semakin jelas mengerti bahwa Alkitab mengajar tentang penebusan terbatas.

Mengapa Allah mengaruniakan Kristus untuk menebus banyak orang dan bukan semua orang? Apakah Allah tidak mampu? Allah tentu saja MAMPU menyelamatkan semua orang, namun faktanya adalah Ia MAU menyelamatkan banyak orang. Mengapa demikian? Jawaban singkatnya adalah: KEMURAHAN HATI ALLAH. Itu bergantung pada kemurahan hati-Nya yang tentu didasarkan pada kedaulatan-Nya yang mutlak (bdk. Rm. 9:15). Tugas kita bukan mendebat Allah, namun tunduk dan bersyukur atas anugerah-Nya yang besar bagi kita yang termasuk umat-Nya.


D. Irresistible Grace (Anugerah yang Tak Dapat Ditolak)
Setelah Kristus menebus banyak orang yang termasuk umat-Nya, maka Roh Kudus diutus untuk mengefektifkan karya penebusan Kristus ke dalam hati umat pilihan-Nya. Inilah yang disebut di dalam iman Reformed sebagai effectual calling (panggilan efektif). Panggilan yang merupakan anugerah ini dikerjakan Roh Kudus di dalam hati umat-Nya dan umat-Nya tidak akan bisa menolak anugerah ini. Lho, bukankah ini berarti kita “dipaksa” untuk menerima Kristus karena Roh Kudus? TIDAK. Tuhan tidak pernah memaksa manusia. Lalu, bagaimana kita mengerti anugerah yang tak dapat ditolak? Anugerah yang tak dapat ditolak berarti anugerah Roh Kudus melembutkan hati dan pikiran kita (yang termasuk umat pilihan-Nya) yang dahulu keras terhadap Kristus menjadi lembut dan akhirnya menerima Kristus. Cara kerja Allah berbeda total dengan cara kerja manusia. Jika seseorang ingin membawa orang lain untuk mengikuti prinsipnya, maka manusia kebanyakan menggunakan cara-cara kekerasan atau mungkin dengan cara lembut yang licik. Namun, puji Tuhan, Ia bekerja jauh berbeda dari cara kerja manusia. Allah bekerja di dalam diri manusia bukan dengan merasuk manusia sehingga tidak sadar, namun memenuhi mereka di dalam kesadaran mereka dan melembutkan hati dan pikiran mereka, sehingga atas anugerah-Nya, ia meresponi anugerah Allah. Dari sini, kita belajar satu prinsip penting di dalam iman Reformed: anugerah Allah mendahului respons manusia (the grace of God is prior to human response). Dari prinsip ini juga, kita belajar bahwa kelahiran baru mendahului pertobatan seseorang. Seorang bisa bertobat dan percaya kepada Kristus karena orang tersebut terlebih dahulu telah dilahirbarukan oleh Roh Kudus. Mengapa demikian? Karena Roh Kudus lah yang membuat seseorang bisa menerima Kristus (1Kor. 12:3).

Banyak orang non-Reformed (khususnya yang dipengaruhi oleh Arminianisme) berargumentasi bahwa anugerah Allah bisa ditolak, karena itu tergantung kehendak bebas manusia. Sekarang mari kita berpikir logis. Jika anugerah Allah bisa ditolak dengan alasan “kehendak bebas” manusia, maka saya akan bertanya, jika demikian, lebih tinggi siapa: Allah atau manusia? Jika Allah memang lebih tinggi dari manusia, mengapa anugerah-Nya bisa ditolak dengan alasan “kehendak bebas” manusia? Apakah Allah tidak sanggup mengalahkan “kehendak bebas” manusia? Mengapa Allah seolah-olah “kalah kuasa” tatkala manusia menolak anugerah-Nya? “Allah” seperti ini jelas bukan Allah yang Alkitab beritakan.


E. Perseverance of the Saints (Ketekunan Orang-orang Kudus)
Anugerah Allah yang tak dapat ditolak membawa kita kepada poin terakhir dari TULIP yaitu ketekunan orang-orang kudus. Artinya, karena Allah Roh Kudus telah mengefektifkan karya penebusan Kristus di dalam hati umat pilihan-Nya, maka tentu saja Ia juga yang akan memelihara karya keselamatan ini sampai akhir, sehingga tak seorang pun umat pilihan-Nya yang akan kehilangan keselamatannya. Terlalu banyak ayat Alkitab yang membuktikan kebenaran prinsip ini. Mari kita menelusuri dari 2 kitab dalam Perjanjian Baru, yaitu: Injil Yohanes dan Surat Roma.

Di dalam Injil Yohanes sendiri, ada dua pasal yang berisi pengajaran yang jelas bahwa anak-anak Tuhan tidak mungkin binasa. Di dalam Yohanes 6:39-40, Tuhan Yesus sendiri berfirman dengan jelas, “Dan Inilah kehendak Dia yang telah mengutus Aku, yaitu supaya dari semua yang telah diberikan-Nya kepada-Ku jangan ada yang hilang, tetapi supaya Kubangkitkan pada akhir zaman. Sebab inilah kehendak Bapa-Ku, yaitu supaya setiap orang, yang melihat Anak dan yang percaya kepada-Nya beroleh hidup yang kekal, dan supaya Aku membangkitkannya pada akhir zaman."” Masih kurang jelas? Di pasal yang sama di ayat 44, kembali Ia menegaskan, “Tidak ada seorangpun yang dapat datang kepada-Ku, jikalau ia tidak ditarik oleh Bapa yang mengutus Aku, dan ia akan Kubangkitkan pada akhir zaman.” Masih kurang jelas lagi? Baiklah, perhatikan firman Kristus sendiri di dalam Yohanes 10:27-29, “Domba-domba-Ku mendengarkan suara-Ku dan Aku mengenal mereka dan mereka mengikut Aku, dan Aku memberikan hidup yang kekal kepada mereka dan mereka pasti tidak akan binasa sampai selama-lamanya dan seorangpun tidak akan merebut mereka dari tangan-Ku. Bapa-Ku, yang memberikan mereka kepada-Ku, lebih besar dari pada siapapun, dan seorangpun tidak dapat merebut mereka dari tangan Bapa.” Di dalam 3 ayat di dalam Yohanes 10, Ia memberi penjelasan lebih detail lagi mengapa anak-anak Tuhan tidak mungkin binasa, yaitu karena Bapa yang memberikan mereka kepada Kristus dan Bapa itu jelas lebih besar dari siapa pun, sehingga tak mungkin ada orang yang bisa merebut anak-anak Tuhan dari cengkeraman Bapa. Bukankah 3 ayat di dalam Yohanes 10 jelas-jelas meneguhkan iman kita bahwa jika kita sebagai umat pilihan-Nya, kita tak akan pernah mungkin kehilangan keselamatan, karena Allah yang merencanakan keselamatan, Ia jugalah yang menggenapi dan pasti menyempurnakannya kelak. Ingatlah, Allah kita adalah Alfa dan Omega, yang memulai dan mengakhiri apa yang telah dikerjakan-Nya.

Sekarang kita akan beralih ke Surat Roma. Setelah membahas tentang doktrin predestinasi di Roma 8:28-30, maka di ayat 31-35, Paulus mengajar kita tentang pemeliharaan Allah di dalam keselamatan kita, “Sebab itu apakah yang akan kita katakan tentang semuanya itu? Jika Allah di pihak kita, siapakah yang akan melawan kita? Ia, yang tidak menyayangkan Anak-Nya sendiri, tetapi yang menyerahkan-Nya bagi kita semua, bagaimanakah mungkin Ia tidak mengaruniakan segala sesuatu kepada kita bersama-sama dengan Dia? Siapakah yang akan menggugat orang-orang pilihan Allah? Allah, yang membenarkan mereka? Siapakah yang akan menghukum mereka? Kristus Yesus, yang telah mati? Bahkan lebih lagi: yang telah bangkit, yang juga duduk di sebelah kanan Allah, yang malah menjadi Pembela bagi kita? Siapakah yang akan memisahkan kita dari kasih Kristus? Penindasan atau kesesakan atau penganiayaan, atau kelaparan atau ketelanjangan, atau bahaya, atau pedang?” Di dalam Roma 8 ini, Paulus lebih tajam lagi memberikan jaminan mengapa anak-anak Tuhan tidak mungkin kehilangan keselamatannya, yaitu, “Sebab semua orang yang dipilih-Nya dari semula, mereka juga ditentukan-Nya dari semula untuk menjadi serupa dengan gambaran Anak-Nya, supaya Ia, Anak-Nya itu, menjadi yang sulung di antara banyak saudara. Dan mereka yang ditentukan-Nya dari semula, mereka itu juga dipanggil-Nya. Dan mereka yang dipanggil-Nya, mereka itu juga dibenarkan-Nya. Dan mereka yang dibenarkan-Nya, mereka itu juga dimuliakan-Nya.” (ay. 29-30) Predestinasi Allah yang Alkitab ajarkan benar-benar memberikan jaminan teguh bahwa keselamatan umat-Nya tak akan pernah mungkin hilang.

Lalu, bagaimana kita menafsirkan seorang yang murtad di dalam Ibrani 6:4-6? Apakah murtad berarti tanda kehilangan keselamatan? Jika kita memperhatikan theologi kitab Ibrani, maka kita akan mengerti bahwa penulis Ibrani menulis surat ini untuk memberikan peringatan kepada jemaat-jemaat Ibrani. Di dalam Ibrani di pasal 1-5, penulis Ibrani melukiskan keagungan Kristus yang lebih tinggi dari malaikat-malaikat, nabi, dan imam. Namun di pasal 5, penulis Ibrani “terpaksa” berhenti sebentar di ayat 10 dan kemudian mulai ayat 11 ia mengajar bahwa jemaat-jemaat Ibrani terlalu lamban untuk mendengar dan mereka masih memerlukan “makanan-makanan” halus (susu) untuk dikonsumsi, padahal dari segi waktu, mereka seharusnya cakap mengajar orang lain. Mulai Ibrani 5:11 inilah, penulis Ibrani memberikan peringatan kepada jemaat-jemaat Ibrani untuk bertumbuh dewasa dan mengontraskannya dengan jemaat yang masih kanak-kanak (childish). Tidak ada satu indikasi apa pun yang menyatakan bahwa Ibrani 5:11-6:8 mengandung ajaran bahwa keselamatan bisa hilang. Jika para pendukung keselamatan bisa hilang ngotot berkata bahwa perikop itu berbicara mengenai orang yang kehilangan keselamatan, saya balik bertanya, apakah penulis Ibrani menuliskan contoh orang yang kehilangan keselamatan tersebut? Oleh karena itu, berhati-hatilah jika mencomot satu atau beberapa ayat Alkitab untuk mendukung teori sendiri (metode penafsiran eisegese).

Sebagai aplikasinya, jika anak Tuhan tidak mungkin murtad, bagaimana dengan fakta bahwa beberapa artis/orang “Kristen” setelah menikah dengan pasangan yang tidak seiman, kemudian murtad? Apakah artis/orang “Kristen” tersebut kehilangan keselamatan? Sebelumnya, mari bedakan: orang Kristen vs anak Tuhan. Anak Tuhan pasti (suatu saat) seorang Kristen (mungkin sekarang masih indekos di dalam agama lain untuk nantinya dibawa kembali kepada Kristus), namun orang Kristen BELUM tentu anak Tuhan. Pdt. Dr. Stephen Tong pernah berkata bahwa banyak anak Tuhan yang indekos di dalam agama lain, namun sebaliknya banyak anak setan yang indekos di dalam gereja. Jika ada orang “Kristen” yang murtad sampai akhir hidupnya, maka dapat dipastikan bahwa orang “Kristen” itu tidak sungguh-sungguh bertobat atau pasti bukan termasuk anak Tuhan/umat pilihan-Nya, karena seorang anak Tuhan yang benar-benar bertobat dan menerima Kristus serta berhubungan intim dengan-Nya tak mungkin bisa dengan mudahnya beralih keyakinan hanya demi pasangan hidup yang gak jelas itu. Namun fakta menunjukkan bahwa ada seorang artis wanita Kristen yang sempat murtad, kemudian dipukul oleh Tuhan dan akhirnya menjadi Kristen lagi. Bagi saya, itu mungkin tanda umat pilihan-Nya. Umat pilihan-Nya mungkin sekali dibiarkan Tuhan murtad sebentar, namun Ia pasti akan memukul dia kembali.

Jika dipikir secara logis, keselamatan bisa hilang yang dianut Arminianisme jelas tidak masuk akal. Perhatikan. Bagi Arminianisme, keselamatan bisa hilang karena manusia tidak menjaga keselamatannya. Jika manusia bisa menjaga keselamatannya, maka keselamatan tidak akan mungkin bisa hilang. Jika tidak, maka manusia akan kehilangan keselamatan dan binasa kekal. Lalu, jika manusia gagal menjaga keselamatan tersebut, apa yang terjadi pada Allah? Saya akan mencoba mendramatisirnya. Pada suatu saat Budi (sungguh-sungguh umat pilihan-Nya) telah menerima Kristus setelah mendengar firman pada waktu Kebaktian Kebangunan Rohani (KKR), kemudian Budi menjalani hidup Kristennya dengan saleh: berdoa, membaca Alkitab, bersekutu, bersaksi, dll. Namun pada suatu kali, pencobaan datang mengganggu Budi, sehingga ia jatuh ke dalam pencobaan. Bagi Arminianisme, pada saat itu, Budi kehilangan keselamatan dan tentunya di “dunia Allah”, “Ia” kecewa dan menangis karena Budi tidak baik-baik menjaga keselamatannya. Lalu, apa yang dilakukan Allah versi Arminian ini? TIDAK ADA, karena Budi tidak sungguh-sungguh memelihara dan menjaga keselamatannya, maka Allah pun tidak sanggup memeliharanya. Dengan kata lain, bagi seorang Arminian Allah dan manusia sama saja: saling membutuhkan satu dengan yang lain. Benarkah ini yang Alkitab ajarkan? Tuhan berfirman di dalam Yesaya 44:6-8, “Beginilah firman TUHAN, Raja dan Penebus Israel, TUHAN semesta alam: "Akulah yang terdahulu dan Akulah yang terkemudian; tidak ada Allah selain dari pada-Ku. Siapakah seperti Aku? Biarlah ia menyerukannya, biarlah ia memberitahukannya dan membentangkannya kepada-Ku! Siapakah yang mengabarkan dari dahulu kala hal-hal yang akan datang? Apa yang akan tiba, biarlah mereka memberitahukannya kepada kami! Janganlah gentar dan janganlah takut, sebab memang dari dahulu telah Kukabarkan dan Kuberitahukan hal itu kepadamu. Kamulah saksi-saksi-Ku! Adakah Allah selain dari pada-Ku? Tidak ada Gunung Batu yang lain, tidak ada Kukenal!"” Tiga ayat dari Yesaya 44 memberi tahu kita bahwa Allah sejati adalah Allah yang berdaulat atas waktu, sehingga tak ada seorang pun yang bisa menyamai-Nya yang bisa mengetahui segala sesuatu. Jika Allah adalah Allah yang berdaulat atas waktu, mungkinkah Ia terkaget-kaget dengan peristiwa di dunia ini, kemudian putus asa ketika manusia tidak memelihara keselamatannya sehingga keselamatannya hilang? Kasihan sekali memiliki “Allah” yang selalu terkaget-kaget, jangan-jangan karena terlalu sering kaget, “Allah” ini akan sakit jantung dan dirawat di rumah sakit, lalu kalau dirawat di rumah sakit, sungguh aneh bukan jika kita masih percaya pada “Allah” seperti ini? Saya pribadi TIDAK mau mengimani “Allah” yang tidak diajarkan Alkitab ini.

Sebagai kesimpulan akhir, coba kita pikirkan dan gabungan semua konsep Arminianisme. Bagi Arminianisme, karena manusia tidak rusak total, maka Allah memilih manusia setelah melihat bahwa manusia yang dipilih-Nya itu akan beriman kepada-Nya, setelah itu Allah menebus mereka semua (baik yang dipilih maupun tidak dipilih), namun anugerah penebusan itu bisa ditolak oleh manusia karena manusia memiliki kehendak bebas yang bisa menerima atau menolak, dan terakhir, anugerah keselamatan itu tidak bisa berdaya apa-apa tatkala manusia akhirnya murtad dan berbuat jahat. Inilah kronologi doktrin keselamatan dari sebuah theologi yang dibangun dari pola pikir manusia berdosa, yaitu: antroposentris (berpusat kepada manusia), sehingga Allah kelihatan menjadi pribadi yang begitu kecil, lemah, dan perlu pertolongan dari manusia. Jika manusia tidak beriman kepada-Nya, maka Allah ngambek dan tidak akan memilih manusia tersebut. Jika manusia tidak menerima anugerah Allah, maka anugerah Allah itu akan sia-sia. Jika manusia tidak menjaga keselamatan dari Allah, maka keselamatan itu akan hilang. Namun Alkitab mengajar bahwa Allah tidak bergantung pada apa dan siapa pun di dunia ini, karena Ia adalah self-existent (berada pada diri-Nya sendiri) (bdk. Yes. 44:6-8 di atas). Sekarang, bagaimana respons kita? Masihkah kita percaya pada Allah yang terkaget-kaget ataukah Allah yang berdaulat yang tak bergantung pada apa dan siapa pun?




X. Mandat Budaya dan Mandat Injil
Poin kesepuluh keunikan iman Reformed adalah mandat budaya dan mandat Injil. Artinya, sebagai murid Kristus, kita diperintahkan untuk menjadi garam dan terang bagi dunia (Mat. 5:13-16). Menjadi garam dan terang bagi dunia bisa berupa dua wujud, yaitu: memberitakan Injil Kristus kepada orang dunia baik melalui perkataan dan perbuatan. Melalui perkataan, orang Kristen harus memberitakan Injil. Inilah mandat Injil (Mat. 28:19). Penginjilan bisa dilakukan melalui penginjilan pribadi (kepada saudara/sahabat yang belum percaya) maupun penginjilan keluar (misalnya ke rumah sakit, penjara, dll) atau bahkan melalui penginjilan massal (seperti KKR). Melalui perbuatan, orang Kristen harus mengaplikasi kebenaran Kristus di dalam setiap aspek kehidupan sehari-hari, misalnya: mengaplikasikan kebenaran Kristus di dalam aspek pendidikan, politik, dll. Inilah yang disebut mandat budaya (cultural mandate). Mandat budaya berarti suatu mandat dari Tuhan bagi umat-Nya untuk menebus kembali budaya dunia yang sudah rusak akibat dosa kepada Kristus. Dasar mandat budaya adalah ke-Tuhan-an dan ke-Raja-an Kristus, seperti yang dipaparkan oleh Prof. Dr. Ds. Abraham Kuyper bahwa tidak ada satu inci dalam kehidupanku di mana Kristus tak bertakhta di atasnya. Bagaimana mengejawantahkan kedaulatan Allah, ke-Raja-an Kristus, dan peran aktif Roh Kudus di dalam mendidik anak sejak kecil? Bagaimana menghadirkan Kristus di dalam dunia politik? Semua hal tersebut membawa kemuliaan bagi Kristus saja.




XI. Baptisan Anak (Infant Baptism)
Doktrin terakhir iman Reformed adalah mengenai baptisan anak. Gereja-gereja Reformed sesuai dengan kredo iman Reformed melangsungkan baptisan anak (infant baptism) di dalam salah satu sakramen baptisan. Dari mana dasar baptisan anak? Bukankah Alkitab tidak mengajar baptisan anak? Memang tidak ada ayat Alkitab yang mengajar secara eksplisit tentang baptisan anak, namun konsep baptisan anak bukan tidak ada di dalam Alkitab. Baptisan anak didasarkan pada theologi kovenan (perjanjian) di mana pada zaman Perjanjian Lama, kovenan Allah dengan umat-Nya ditandai dengan sunat dan pada zaman Perjanjian Baru ditandai dengan baptisan. Di dalam PL, seseorang disunat bukan karena ia telah berbuat baik di hadapan-Nya, namun itu sebagai wujud perjanjian Allah dengan umat-Nya. Nah, uniknya, sunat dilakukan pada seorang laki-laki yang berusia sangat dini (yang tentu tidak pernah beriman terlebih dahulu sebelum disunat). Tuhan Yesus disunat pada usia 8 hari. Jika kita menyimak PB, kita mendapati bahwa jika ada seorang yang dibaptis dan mengajak seluruh anggota keluarganya dibaptis, maka tentu anak-anak juga dibaptis. Perhatikan apa yang terjadi dengan kepala penjara Filipi setelah diinjili oleh Paulus dan Silas. Di dalam Kisah Para Rasul 16:33, Alkitab mencatat, “Pada jam itu juga kepala penjara itu membawa mereka dan membasuh bilur mereka. Seketika itu juga ia dan keluarganya memberi diri dibaptis.” Pernyataan “ia dan keluarganya” bisa diterjemahkan “ia dan semua yang ada di rumahnya” atau “semua yang menjadi kepunyaannya” (King James Version). Semuanya menunjukkan bahwa anak-anak pun ikut terlibat di dalamnya. Tidak mungkin jika tidak ada anak-anak atau anak-anak tidak boleh dibaptis. Jika tidak ada anak-anak di sana atau anak-anak tidak boleh dibaptis, maka Alkitab mencatat, “ia dan keluarganya memberi diri dibaptis, kecuali anak-anak.”

Meskipun iman Reformed di dalam gereja-gereja Reformed melangsungkan baptisan anak, namun hal ini tidak berarti sebagai orang Reformed, kita memutlakkan baptisan anak. Ingatlah prinsip ini: Alkitab TIDAK memerintahkan baptisan anak dan juga TIDAK melarang baptisan anak. Oleh karena itu, kita boleh berpegang teguh pada konsep baptisan anak lebih bertanggungjawab daripada penyerahan anak, namun JANGAN menghina gereja yang melangsungkan penyerahan anak apalagi menyebutnya bidat. Baptisan anak adalah doktrin sekunder yang tidak perlu diperdebatkan.
Catatan kaki:
[1] Loraine Boettner, Iman Reformed, terj. Hendry Ongkowidjojo (Surabaya: Momentum, 2000), hlm. 11.
[2] Ibid.
[3] Terima kasih kepada Ev. Bedjo Lie, S.E., M.Div. yang mencerahkan pikiran saya tentang 5 kaitan antara Alkitab dan tradisi di dalam Seminar berseri “Katolik dan Injili: Apa yang Mempersatukan dan Memisahkan Kita?” pada tanggal 1, 8, 15, dan 22 Juni 2010 di GKI Pregolan Bunder, Surabaya.
[4] G. I. Williamson, Katekismus Singkat Westminster 1, terj. The Boen Giok (Surabaya: Momentum, 2006), hlm. 135.
[5] Ibid., hlm. 143.
[6] Ibid., hlm. 151.
[7] Ibid., hlm. 159.
[8] http://en.wikipedia.org/wiki/Monergism
[9] Saya memberikan tanda petik pada kata “Sebelum” dan “terlebih dahulu”, karena bagi Allah yang tidak memiliki konsep waktu seperti manusia, maka tidak ada waktu sebelum, sesudah, dll. Tanda petik ini saya maksudkan agar manusia mengerti.