03 June 2008

Matius 10:1-7: THE SPECIAL CALLING

Ringkasan Khotbah : 2 Oktober 2005

The Special Calling
oleh: Pdt. Sutjipto Subeno, M.Div.

Nats: Mat. 10:1-7


Kita telah memahami kerajaan Sorga sifatnya berbeda dengan kerajaan dunia, kerajaan Sorga bersifat rohani – melampaui ruang dan waktu. Kerajaan Sorga itu seumpama biji sesawi yang kecil dan kemudian berkembang menjadi pohon yang besar sehingga burung dapat bersarang pada cabang-cabangnya. Calvin mengungkapkan Kerajaan Sorga adalah gereja yang tidak kelihatan, invisible church, gereja yang tidak dibatasi oleh gedung maupun organisasi. Kerajaan Sorga terdiri umat Allah sejati yang mau sungguh-sungguh hidup taat pada Kristus – Raja atas segala raja. Memang, Kristus adalah pusat dari Kerajaan namun Dia tidak menata Kerajaan Sorga itu seorang diri saja, Tuhan melibatkan orang lain untuk mengembangkan Kerajaan-Nya di dunia, Tuhan memilih dua belas orang untuk menjadi murid-Nya dan menata Kerajaan-Nya. Dalam hal ini Kristus telah mengajarkan pada kita akan konsep kekepalaan sejati, the true headship beda dengan dunia yang mengajarkan konsep leadership.
I. Pilihan yang Belajar
Tuhan memanggil dua belas orang murid (ay. 1) dan Tuhan memberikan jabatan kepada kedua belas murid yang dipilih tersebut sebagai rasul (ay.2). Hal ini menjadi gambaran bahwa orang yang dipanggil Tuhan dalam Kerajaan-Nya adalah murid. Jabatan rasul hanya ada pada jaman Perjanjian Baru namun istilah “murid“ itu dipakai terus di sepanjang sejarah jaman. Tugas seorang murid adalah belajar dengan demikian ia dibentuk dan mengalami perubahan. Seorang anak Tuhan sejati haruslah mempunyai hati yang senantiasa mau belajar, dibentuk dan diubahkan oleh Kristus Sang Guru Agung untuk semakin serupa dengan Kristus. Seorang yang terus berproses di sepanjang hidupnya menandakan ada kehidupan berbeda halnya kalau orang itu sudah mati maka orang akan berhenti berproses.
Manusia tidak mau mengalami perubahan dalam hidupnya, manusia lebih suka akan status quo atu kemapanan. Kalaupun harus berubah maka itu bukan dirinya tetapi orang lain yang harus berubah tetapi faktanya, tidak semua orang mau berubah akibatnya terjadilah keributan atau perselisihan karena orang mau bertahan di posisi masing-masing. Lebih sulit membuat manusia berubah sebaliknya sangatlah mudah membuat manusia tidak berubah, yaitu dengan cara pembodohan diri dan memfanatikkan diri. Jangan beri pelajaran atau pengertian dalam dirinya maka orang pasti menjadi kaku dan akhirnya ia akan mati dalam ke-fanatisme-annya. Orang demikian kalai beragumentasi selalu menggunakan senjata, “Pokoknya....“ maka percuma kita beragumentasi dengannya. Manusia tidak menyadari kalau dirinya telah dibawa masuk dalam suatu kebodohan sehingga manusia melakukan suatu tindakan kebodohan yang cenderung bersifat fanatik negatif seperti yang telah dilakukan oleh kaum terorisme akhir-akhir ini. Manusia telah dicengkeram oleh dosa sehingga ia mempunyai moral dan nilai hidup yang sangat rendah, ia terkungkung dalam status quo atau kemapanan.
Seorang murid Kristus haruslah terus belajar dan bertumbuh dalam kebenaran; apalagi belajar di sini adalah menyangkut hidup kita. Amatlah disayangkan, kalau kita telah menjadi murid Kristus Sang Guru Agung tetapi kita tidak mau belajar dari-Nya. Berarti kita telah menyia-nyiakan anugerah Tuhan yang telah memilih dan memanggil kita menjadi murid-Nya, kita telah melecehkan panggilan dari Sang Guru Agung. Banyak orang, lebih menghargai guru-guru dunia daripada Kristus Sang Guru Agung. Biarlah kita menyadari kalau kita bisa mendapatkan ilmu bijaksana tertinggi yang ada di alam semesta maka itu sungguh anugerah yang luar biasa. Kristus adalah sumber dari segala sumber ilmu yang ada di dunia bahkan ilmu yang menyangkut kehidupan, Dia telah mengajarkan sekaligus mengimplikasikan hukum Kerajaan Sorga yang agung dan mulia itu. Sebagai seorang murid sejati, hendaklah kita mau berubah, konsep pemikiran duniawi kita yang salah selama ini diubahkan dengan demikian kita mempunyai pemikiran yang sama seperti Kristus Guru Agung kita.

II. Pilihan yang Dipertanggung jawabkan
Kita bukan sekedar murid tetapi kita adalah the choosen one, murid yang dipilih. Banyak orang yang mengikut Tuhan Yesus tapi Dia hanya memilih dua belas orang saja untuk menjadi murid yang dekat dengan-Nya untuk melakukan suatu tugas khusus. Ini merupakan hak istimewa atau privilege kalau kita dipilih menjadi murid Kristus bahkan sangat teristimewa kalau di antara berjuta-juta manusia di dunia Kristus Sang Guru Agung itu telah memilih kita menjadi murid-Nya. Hari ini, banyak orang yang menghargai pilihan itu ketika pertama kali ia menyadarinya namun seiring dengan berjalannya waktu orang cenderung menganggap pilihan tersebut sebagai hal yang biasa. Betapa bodohnya kita kalau kita tidak menghargai pilihan Tuhan ini, memang siapakah kita sehingga Tuhan berkenan memilih kita menjadi murid-Nya? Kita bukanlah orang pandai atau orang yang hebat yang berjasa. Di luar kita masih banyak orang yang lebih pandai dan lebih dari segalanya dari kita namun Tuhan berkenan memilih kita menjadi murid-Nya.
Sayangnya, hari ini orang tidak menyadari anugerah Tuhan yang begitu besar itu, orang menganggap pilihan Tuhan itu sebagai hal yang biasa saja. Sadarlah, bukan karena kepandaian kita, bukan karena kebaikan kita kalau kita dipilih dan dipakai menjadi alat-Nya. Kalau kita dipilih itu semata-mata karena anugerah sebab sesungguhnya kita tidak layak dipilih. Cara Tuhan memilih berbeda dengan cara dunia, Tuhan tidak memilih Gamaliel atau ahli Taurat tetapi Tuhan justru memilih orang-orang yang dianggap tidak layak dan hina untuk menjadi murid-Nya; Tuhan memilih Petrus yang hanya seorang nelayan, Tuhan memilih Matius si pemungut cukai. Pertanyaannya sekarang adalah kalau Tuhan memilih kita menjadi murid-Nya, menjadi warga Kerajaan Sorga yang bekerja melayani Dia Raja atas segala raja maka seberapa besar kita menghargai privilege yang Tuhan berikan? Ataukah kita cenderung acuh tak acuh dan sembrono?

III. Pilihan yang Bersifat Pribadi
Ketika Tuhan memilih, Dia memilih pribadi demi pribadi. Namun, hari ini, dunia mencoba menghapus konsep ini, dunia modern ingin membuat manusia kehilangan identitas dirinya manusia menjadi in personal bukan manusia sejati. Dunia tidak lagi menghargai manusia karena pribadinya tetapi dunia akan sangat menghargai manusia karena adanya “icon“ yang melekat pada dirinya, seperti: kekayaan, kepandaian, jabatan, dan lain-lain. Dunia hanya akan menghargai kita kalau kita kaya, kalau kita mempunyai jabatan, berarti sesungguhnya dunia bukan menghargai diri kita tetapi kekayaan kita, maka jangan kaget ketika orang jatuh bangkrut atau orang tidak mempunyai jabatan lagi maka ia akan dibuang dan tidak dihargai. Dengan kata lain dunia menghargai kita kalau itu menguntungkan bagi dia. Akibatnya, orang berusaha mati-matian mendapatkan pamoritas demi supaya orang lain menghargai dirinya. Orang tidak menyadari kalau sesungguhnya ia sudah meletakkan harga dirinya sangat rendah, yaitu di bawah materi. Itulah sebabnya, hari ini orang ramai meneriakkan akan eksistensi atau keberadaan dirinya di tengah dunia ini. Sebagai murid Kristus, janganlah terkecoh dengan pandangan dunia, hendaklah kita menghargai orang yang memang layak untuk dihargai dan jangan memberikan penghargaan pada orang-orang yang tidak layak untuk dihargai. Kalau kita memberikan penghargaan pada orang yang hina maka itu menjadikan diri kita hina.
Kekristenan menuntut kita untuk mempunyai prinsip yang anggun dan agung sebab disanalah harkat manusia ditegakkan. Janganlah kita menghina diri sendiri dengan cara yang hina sebab jika kita berlaku demikan maka orang lain akan menghina kita. Hendaklah kita mengevaluasi diri kalau ada orang yang menghina kita sebab jangan-jangan memang kita layak untuk dihina. Sebagai murid Kristus sejati, biarlah kita mempunyai harkat dan martabat diri yang tinggi dengan demikian orang menghargai kita karena keberadaan diri kita bukan karena “icon“ yang menempel pada diri kita. Kita boleh miskin tetapi janganlah kita menjadi hina sebab Tuhan mencipta kita menurut gambar dan rupa-Nya yang mempunyai harkat dan martabat. Di dunia, tidak sedikit orang yang mempunyai integritas, hidupnya bersih tapi secara materi, ia miskin tetapi ia orang sangat menghargainya. Tuhan ketika memanggil manusia bukan secara sembrono tetapi secara pribadi. Bukan kamu yang memilih Aku tetapi Akulah yang memilih kamu. Dan Aku telah menetapkan kamu, supaya kamu pergi dan menghasilkan buah dan buahmu itu tetap,... (Yoh. 15:16). Namun, para teolog modern ini tidak menyukai Firman Tuhan tersebut di atas, mereka beranggapan kalau sebelumnya Tuhan sudah memilih berarti orang telah kehilangan kebebasan. Konsep pilihan itu telah mengekang dirinya sehingga orang tidak lagi mempunyai kebebasan. Orang sulit menerima konsep pilihan ini sehingga mereka membuat suatu konsep baru, yaitu seseorang dapat menjadi pengikut Kristus itu bukan karena Tuhan yang pilih tapi kemauan itu datang dari diri kita sendiri dan orang-orang yang berada dalam wadah sebagai pengikut Kristus inilah yang Tuhan pilih dan mereka disebut sebagai umat pilihan. Ingat, Tuhan tidak pernah memilih umat-Nya secara “borongan“, sejak Perjanjian Lama sampai Perjanjian Baru disana jelas bahwa ketika Tuhan memilih, Tuhan memilih secara personal, pribadi; Tuhan memilih Nuh, Abraham, Daud, dan Tuhan Yesus ketika memilih murid, Ia juga panggil mereka secara pribadi (Mat. 10:2). Perhatikan, ketika Tuhan memanggil Saulus, tidak ada satu pun orang di sekelilingnya yang mendengar suara panggilan Tuhan, hanya Saulus seorang saja yang mendengar panggilan Tuhan tersebut. Di tengah-tengah dunia yang mendengungkan konsep global, dunia yang membuang eksistensi manusia, Tuhan memanggil kita pribadi demi pribadi untuk menjadi murid-Nya, Tuhan mengenal kita pribadi demi pribadi, Dia memberikan pada setiap kita talenta. Hendaklah kita menghargai panggilan Tuhan tersebut, berdoalah dan renungkanlah Firman-Nya secara pribadi, layanilah Dia dalam struktur pribadi. Suatu hari kelak kita akan berhadapan dengan Tuhan secara pribadi, existensial moment maka inilah keindahan Tuhan panggil kita satu per satu.

IV. Pilihan yang Diutus
Pribadi yang dipanggil adalah pribadi yang dididik oleh Tuhan untuk pergi memberitakan: “Kerajaan Sorga sudah dekat.“ Sungguh merupakan suatu anugerah, kalau kita dipakai oleh Dia untuk mengerjakan pekerjaan-Nya yang begitu mulia. Janganlah kita merasa cukup puas diri karena kita telah menjadi murid Kristus, kita telah menjadi umat pilihan Tuhan. Janganlah jadikan setiap titik balik yang terjadi dalam hidup kita itu sebagai titik awal tetapi setiap titik balik tersebut haruslah kita jadikan titik awal, every turning point is alfa point not omega point. Celakalah, kalau kita menganggap lulus dari ujian sekolah sebagai akhir dari segala-galanya atau pernikahan sebagai akhir dari hidup kita. Jikalau benar demikian berarti hidup kita akan berhenti, tidak ada kedinamisan untuk kita mau berproses dan terus bertumbuh. Begitu juga, kalau kita merasa cukup puas telah menjadi murid Kristus dimana keselamatan menjadi akhir dari segala sesuatu maka celakalah hidup kita. Pertobatan kita merupakan awal dari segala sesuatu, yakni awal menapaki hidup yang baru, awal membentuk konsep yang baru, awal bagi kita menjalankan tugas panggilan kita yang baru – melayani Kristus Raja.
Tuhan tidak memanggil kita menjadi murid untuk menikmati keselamatan seorang diri saja. Tidak! Tuhan memanggil kita menjadi murid untuk dipakai sampai pada penyempurnaan – Tuhan memanggil kita untuk menjalankan Amanat Agung, yaitu pergi dan memberitakan "Kerajaan Sorga sudah dekat." Hal ini menjadi titik alfa dalam hidup kita maka hidup kita akan dinamis bergerak untuk maju maka kita akan dipakai Tuhan secara dahsyat. Orang yang melihat segala sesuatu sebagai akhir maka hidupnya akan menjadi statis, beku dan akhirnya mati. Sungguh amatlah disayangkan, Yudas Iskariot telah menyia-nyiakan anugerah Tuhan, dia seharusnya bersyukur karena ia telah menjadi murid Kristus Sang Guru Agung tapi Yudas sibuk dengan dirinya sendiri, ia menjadi pengkhianat dan itu justru mencelakakan dirinya sendiri. Sebagai murid Kristus yang diutus untuk pergi memberitakan berita: “Kerajaan Sorga sudah dekat“ berarti hidup kita harus diubahkan terlebih dahulu dengan demikian hidup kita menjadi teladan dan kesaksian bagi dunia. Tuhan tidak meminta kita untuk menjadi sempurna barulah kita layak untuk memberitakan "Kerajaan Sorga sudah dekat." Tidak! Tuhan meminta untuk kita bertobat dan diperbaharui; perubahan hidup kita itulah yang nantinya menjadi kesaksian bagi dunia yang bobrok ini.
Merupakan suatu anugerah yang sangat besar kalau Kristus Sang Guru Agung berkenan memilih kita menjadi murid-Nya dan dipakai menjadi alat-Nya untuk turut ambil bagian dalam pekerjaan-Nya di dunia, yaitu: memberitakan "Kerajaan Sorga sudah dekat" maka janganlah sia-siakan anugerah Tuhan itu, marilah kita bekerja – melayani Dia dengan segenap
hati dan hidup kita mau terus diubahkan untuk semakin serupa Dia. Amin.

(Ringkasan khotbah ini belum diperiksa oleh pengkhotbah)

Sumber:

http://www.grii-andhika.org/ringkasan_kotbah/2005/20051002.htm

Roma 8:26-27: PENGHARAPAN ANAK-ANAK ALLAH-2: Roh Kudus dan Doa

Seri Eksposisi Surat Roma :
Menjadi Manusia Baru-4


Pengharapan Anak-anak Allah-2: Roh Kudus dan Doa

oleh: Denny Teguh Sutandio


Nats: Roma 8:26-27.

Setelah mempelajari tentang hubungan erat antara hidup oleh Roh dengan pengharapan sejati anak-anak Allah di ayat 18 s/d 25, maka Paulus melanjutkan pengharapan anak-anak Allah yang kedua yaitu Roh Kudus.

Pada ayat sebelumnya, ayat 23 s/d 25, kita telah mempelajari dari Paulus bahwa kita memiliki pengharapan di dalam keselamatan meskipun kita harus menderita aniaya, yaitu pengharapan pertama, pengangkatan kita sebagai anak-anak Allah secara sempurna di dalam kekekalan. Lalu, pengharapan apakah selain hal ini ? Jawabannya adalah Roh Kudus. Hal ini diuraikan di dalam ayat 26, “Demikian juga Roh membantu kita dalam kelemahan kita; sebab kita tidak tahu, bagaimana sebenarnya harus berdoa; tetapi Roh sendiri berdoa untuk kita kepada Allah dengan keluhan-keluhan yang tidak terucapkan.” Roh Kudus adalah pengharapan anak-anak Allah yang kedua di mana melalui Roh Kudus kita dimampukan menang atas setiap pencobaan dari dunia/setan/diri dan ujian dari Allah. Mengapa kita bisa memiliki pengharapan ini ? Karena di ayat sebelumnya, kita telah belajar bahwa hidup anak-anak Allah adalah hidup oleh Roh yang berarti hidup kita dipimpin oleh Roh Allah yang tinggal di dalam hati kita (Roma 8:9). Oleh karena itu, Roh Kudus yang sama yang telah berdiam di dalam hati kita adalah Roh yang juga membantu kita di dalam kelemahan kita. Kata “membantu” di dalam terjemahan Inggris adalah help dan dalam bahasa Yunani sunantilambanomai berarti to take hold of opposite together, that is, co-operate (menguasai sesuatu yang berlawanan secara bersama, yaitu, bekerja sama). Kata Yunani ini berasal dari dua kata Yunani, yaitu : sun yang berarti a primary preposition denoting union; with or together (=preposisi utama yang menandakan persatuan ; dengan atau bersama) dan antilambanomai yang berarti to take hold of in turn, that is, succor (=menguasai dalam perubahan, yaitu, membantu dalam kesusahan). Kata “membantu” ternyata memiliki arti yang agak dalam, yaitu ikut terlibat atau bekerja sama. Lalu, kata “kelemahan” di dalam ayat ini di dalam terjemahan KJV adalah infirmities, sedangkan di dalam terjemahan English Standard Version (ESV), International Standard Version (ISV), New International Version (NIV), New American Standard Bible (NASB), dan New Revised Standard Version (NRSV) : weakness. Dalam bahasa Yunani, kata ini adalah astheneia berarti feebleness (of body or mind) (=kelemahan {tubuh atau pikiran}). Dari kedua hal ini, kita belajar bahwa Roh Kudus yang memimpin hidup kita juga adalah Roh Kudus yang ikut terlibat/bekerja sama dalam membantu kelemahan (tubuh atau pikiran) kita. Dalam hal apa dan mengapa Roh Kudus membantu kita di dalam kelemahan kita? Alasannya karena kita tidak tahu bagaimana sebenarnya kita harus berdoa. Dengan kata lain, kelemahan kita berada di dalam konteks kelemahan berdoa. Mengapa kita memiliki kelemahan di dalam berdoa ? Karena di dalam doa, kita seringkali memiliki pikiran dan keinginan yang berbeda dari pikiran dan keinginan Allah. Kita seringkali ingin agar di dalam segala sesuatu, kita lah yang diagungkan, meskipun kita telah mengaku dilahirbarukan oleh Roh Kudus (masih di dalam proses). Bahkan yang lebih parah, di dalam doa, kita menjadikan Tuhan sebagai “pembantu” kita yang siap memenuhi keinginan kita. Hal ini juga diungkapkan oleh Yakobus di dalam Yakobus 4:3, “Atau kamu berdoa juga, tetapi kamu tidak menerima apa-apa, karena kamu salah berdoa, sebab yang kamu minta itu hendak kamu habiskan untuk memuaskan hawa nafsumu.” Atau doa kita menjadi sesuatu rutinitas setiap hari tanpa memiliki unsur kedekatan intim dengan Allah. Atau bahkan doa kita juga telah dipersiapkan dengan agenda, sehingga doa menjadi sarana penyampaian agenda kebutuhan kita kepada Allah. Mengapa kita bisa memiliki konsep doa sedemikian ? Karena kita baru saja hidup di dalam Roh dan tentu saja hidup di dalam Roh membutuhkan proses pengudusan yang menuju kepada kesempurnaan kelak. Di dalam proses inilah, anak-anak Allah mungkin belum bisa berdoa dengan benar. Oleh karena itulah, Roh Kudus membantu/ikut terlibat memimpin dan membantu kita di dalam kelemahan kita ketika berdoa. Bagaimana caranya ? Alkitab menegaskan, “...Roh sendiri berdoa untuk kita kepada Allah dengan keluhan-keluhan yang tidak terucapkan.” King James Version (KJV) menerjemahkan, “: but the Spirit itself maketh intercession for us with groanings which cannot be uttered.” (=tetapi Roh sendiri menjadi perantara bagi kita dengan erangan/keluhan yang tidak dapat diucapkan.) English Standard Version (ESV) menerjemahkannya, “, but the Spirit himself intercedes for us with groanings too deep for words.” (=tetapi Roh sendiri menjadi perantara bagi kita dengan kata-kata erangan/keluhan yang terlalu dalam/sulit dimengerti.) Di dalam dua terjemahan Alkitab bahasa Inggris ini, kita mendapatkan gambaran jelas bahwa Roh Kudus yang berdoa adalah Roh Kudus yang menjadi perantara kita berdoa kepada Bapa. Dengan demikian, tidaklah benar jika ada orang “Kristen” yang berdoa kepada Roh Kudus, karena Roh Kudus adalah perantara kita berdoa kepada Allah Bapa. Susunan doa yang benar adalah kita berdoa kepada Allah Bapa di dalam Allah Anak (Tuhan Yesus) melalui Allah Roh Kudus. Urutan ini jangan dibalik, karena akan berakibat fatal. Roh Kudus yang menjadi perantara kita berdoa kepada Allah adalah Roh Kudus yang berdoa dengan keluhan-keluhan yang dalam yang tidak dapat diucapkan. Artinya, Roh Kudus menuntun kita berdoa kepada Allah dengan benar : motivasi dan tujuan doa yang benar. Geneva Bible Translation Notes menafsirkan bagian ini, “Incites us to pray, and tells us as it were within, what we will say, and how we will speak.” (=memimpin kita untuk berdoa, dan memberitahu kita di dalam batas-batas tertentu, tentang apa yang kita akan kayakan, dan bagaimana kita akan berbicara.)
Dari tafsiran ini, kita mempelajari dua hal tentang doa yang dipimpin Roh Kudus, yaitu : what we will say (=apa yang akan kita katakan) dan how we will speak (=bagaimana kita akan berbicara/mengutarakannya). Hal pertama di dalam doa adalah apa yang akan kita katakan. Apa yang akan kita katakan berasal dari motivasi dan hati kita di hadapan Allah. Ketika motivasi dan hati kita busuk di hadapan Allah, maka kita mengatakan sesuatu yang busuk di dalam doa yang memilukan hati-Nya, tetapi ketika motivasi dan hati kita beres di hadapan Allah, maka kita mengatakan sesuatu yang beres dan menyenangkan di hadapan Allah. Oleh karena itu, sebelum kita mengatakan sesuatu di dalam doa kepada Allah, mari kita menguji motivasi dan hati kita apakah sudah bersih atau belum di hadapan Allah. Di dalam hal ini, biarlah kita meminta agar Roh Kudus menyelidiki motivasi dan hati kita sebelum berdoa, agar doa kita berkenan di hadapan-Nya, seperti seruan permohonan Raja Daud di dalam Mazmur 139:23-24, “Selidikilah aku, ya Allah, dan kenallah hatiku, ujilah aku dan kenallah pikiran-pikiranku; lihatlah, apakah jalanku serong, dan tuntunlah aku di jalan yang kekal!” Marilah kita mempelajari prinsip ini di dalam Alkitab, di mana doa-doa dari Raja Daud, nabi-nabi Perjanjian Lama (yang beres), Tuhan Yesus, Rasul Paulus, dll adalah doa yang lahir dari motivasi dan hati yang beres di hadapan Bapa sehingga setiap perkataan mereka adalah perkataan yang berkenan di hadapan-Nya. Coba periksalah doa yang diajarkan oleh Tuhan Yesus sendiri yaitu Doa Bapa Kami yang begitu agung dan indah (Matius 6:9-13). Tidak ada satu doa yang begitu agung dan indah selain doa Tuhan Yesus sendiri. Bahkan tidak ada pendiri agama manapun yang berani mengajarkan doa seagung dan seindah seperti Tuhan Yesus. Di dalam struktur doa Bapa Kami, permohonan dan keinginan tetap ada dan diletakkan setelah kita memuji nama Allah dan kehendak-Nya yang kekal. Selain permohonan dan keinginan, doa ini juga memuat pengampunan dosa dari kita dan mengampuni sesama kita yang juga berdosa kepada kita. Lalu, doa ini diakhiri kembali dengan pemuliaan nama Allah. Doa yang baik adalah doa yang dari awal sampai akhir berisi pemuliaan nama Allah. Hal ini bisa dimungkinkan karena Roh Kudus terus-menerus memimpin kita di dalam doa dengan benar kepada Allah. Tetapi ironisnya, banyak orang “Kristen” saat ini berdoa tidak seperti itu. Mereka mengaku diri “Kristen” tetapi doa-doanya tidak ada bedanya dengan orang-orang non-Kristen yang terus meminta kaya, berkat, sukses, dll. Bukan hanya itu saja, mereka berdoa bukan dengan motivasi dan hati yang tulus, tetapi dengan motivasi ingin kaya, lalu doanya tidak pernah diawali (bahkan tidak pernah diakhiri) dengan ucapan syukur dan pemuliaan nama-Nya, meskipun kata “amin” tidak pernah lupa diucapkan. Lalu, untuk apa kata “Amin” diucapkan ? Agar permohonan mereka di dalam doa yang egosentris itu diklaim (menurut ‘theologia’ “Sebut dan Tuntutlah!”/name it and claim it!) dan dikabulkan. Bahkan ada seorang pemimpin gereja mengajarkan bahwa di dalam doa, kita harus menyebutkan secara detail permohonan-permohonan kita, supaya Tuhan tidak salah. Misalnya, kalau kita ingin agar Tuhan memberikan kita Mobil Mercedez, kita harus menyebut seri, warna, dll dari mobil itu. Sungguh celaka ajaran ini yang telah menjadikan Tuhan sebagai “pembantu” yang sering lupa akan apa yang kita minta. Dari sini, kembali, kita belajar bahwa mereka bisa mengatakan hal-hal ini di dalam doa karena motivasi dan hati mereka tidak beres di hadapan Allah, yaitu materialisme yang ditunggangi ajaran Berpikir Positif (Positive Thinking) dan “theologia” kemakmuran dari Norman Vincent Peale, Robert H. Schuller, John Avanzini, Robert T. Kiyosaki, Anthony Robbins, Andrie Wongso, Philip Mantofa, A. Alex Tanuseputra, dll telah mencengkeram motivasi dan hati mereka, sehingga yang mereka inginkan adalah keinginan-keinginan daging, padahal Alkitab telah mengatakan bahwa orang-orang yang terus memikirkan keinginan-keinginan daging adalah manusia lama yang hidup oleh daging. Sungguh ironis dan aneh, orang-orang yang mengaku “pemimpin gereja” tetapi hidupnya masih dikuasai oleh kedagingan yang “dibaptis” dalam nama “yesus” seolah-olah menjadi “rohani” (karena menggunakan nama Tuhan Yesus dan Amin di dalam doa) ! Bukan hanya apa yang akan kita katakan, bagaimana kita mengutarakan di dalam doa juga penting. Kita mungkin sudah mengatakan apa saja di dalam doa dari motivasi dan hati yang beres di hadapan Allah, tetapi seringkali kita tidak menyadari bagaimana kita mengutarakannya di dalam doa. Kata “bagaimana” sebenarnya berbicara tentang manner/cara kita berbicara kepada Allah di dalam doa. Kembali, dari motivasi dan hati yang beres di hadapan Allah ditambah konsep yang benar tentang Allah, kita bisa mengetahui doa yang diucapkan oleh seseorang dengan cara yang beres atau tidak beres di hadapan Allah. Bagaimana mengetahuinya ? Misalnya, ketika seseorang memandang Allah sebagai Tuhan dan Raja yang transenden sekaligus imanen, ia akan berdoa dengan sikap hormat dan takut, meskipun tidak berarti takut yang statis. Tetapi ketika seseorang memandang Allah yang terlalu imanen, ia akan berdoa dengan tidak hormat, bahkan terus mengklaim Tuhan untuk terus menaati keinginannya. Bukan hanya itu saja, ketika seseorang memandang Allah yang transenden saja, maka ia akan berdoa dengan hormat dan takut yang statis, bahkan ekstrimnya, para penganut agama yang “allah”nya transenden memukul-mukul meja dan memukul diri supaya “allah”nya mendengarkan mereka. Kita melihat ajaran ini di dalam Monastisisme yang dipengaruhi dari filsafat Yunani yang mendualismekan antara tubuh dan jiwa serta mempercayai “allah” yang impersonal (tidak berpribadi). Berbeda dari dua konsep yang ekstrim dan aneh ini, keKristenan mengajarkan bahwa Allah Trinitas adalah Allah yang transenden sekaligus imanen. Bapa Gereja Augustinus dengan cerdas sekali mengajarkan bahwa Allah Trinitas adalah jalan keluar dari problematika hubungan antara being dan becoming di mana Allah Bapa sebagai being (Keberadaan yang tidak berubah atau tetap), Allah Roh Kudus adalah becoming (Keberadaan yang bisa berubah {bukan dalam natur}), dan Allah Anak adalah penghubung antara being dan becoming di dalam Inkarnasi. Ketika Allah menjadi manusia, Kristus tetap bernatur Allah yang adalah being itu, tetapi Ia juga tetap bernatur manusia yang terus berubah (becoming). Ketika konsep Trinitas ini dipahami, maka kita juga memahami konsep transendensi dan imanensi Allah, dan akhirnya di dalam doa, kita bisa berdoa kepada Allah dengan sikap taat dan hormat, sekaligus intim. Kedua hal ini (hormat dan intim) bukan sesuatu yang berkontradiksi, tetapi paradoks di mana dunia berdosa tak mungkin pernah mengerti kedalaman paradoks ini, apalagi para pemuja Unitarian (Frans Donald, Ellen Kristi, Benny S. I., Oktiono S. I., dan kroni-kroni gilanya) yang mempercayai ketunggalan Pribadi Allah tak akan pernah memahami hubungan antara being dan becoming yang berdampak pada paradoksikal transendensi dan imanensi Allah yang berakhir pada pemahaman yang beres tentang konsep doa. Kita bisa berdoa kepada Allah dengan menyebut Allah sebagai Bapa sekaligus Raja kita karena Roh Kudus memimpin setiap doa-doa kita.

Kita melihat bahwa di dalam ayat 26, Paulus melihat doa pada sisi manusia, di mana Roh Kudus membantu kita berdoa dengan benar kepada Allah, maka di ayat 27, Paulus melihat doa di dalam perspektif Allah, di mana Roh Kudus berdoa kepada Allah untuk orang-orang kudus (atau bisa diartikan : Roh Kudus menjadi perantara untuk orang-orang kudus, persis seperti ayat 26). Ayat 27 mengatakan, “Dan Allah yang menyelidiki hati nurani, mengetahui maksud Roh itu, yaitu bahwa Ia, sesuai dengan kehendak Allah, berdoa untuk orang-orang kudus.” Di sini, Pribadi Pertama dan Ketiga dari Allah Trinitas saling mengenal, sehingga Allah Bapa yang menyelidiki hati nurani mengetahui maksud Roh Kudus yang menjadi perantara bagi orang-orang kudus. Di dalam ayat 26, Roh Kudus menjadi perantara kita untuk berdoa kepada Allah dengan memimpin kita berdoa sesuai kehendak-Nya, maka di ayat 27, Roh Kudus benar-benar menjadi perantara untuk orang-orang kudus yang memohon langsung kepada Bapa sesuai dengan kehendak Bapa. Bahasa Indonesia Sehari-hari (BIS) menerjemahkannya, “Maka Allah, yang mengetahui isi hati manusia, mengerti kemauan Roh itu; sebab Roh itu memohon kepada Allah untuk umat Allah, dan sesuai dengan kemauan Allah.” Oleh karena itu, sebagai anak-anak-Nya, kita patut bersyukur karena Roh Kudus yang menjadi perantara doa kita bukan hanya memimpin kita untuk berdoa dengan benar kepada Allah, tetapi juga menyampaikan semua doa kita kepada Allah Bapa sesuai dengan kehendak-Nya. Ketika kita mendapatkan apa yang telah kita doakan, bersyukurlah, karena Roh Kudus membantu kita mengutarakan kehendak kita yang tidak bertentangan dengan kehendak-Nya kepada Allah Bapa. Maukah kita hari ini berkomitmen berusaha menyesuaikan dan menundukkan kehendak kita di bawah kehendak Allah dengan dipimpin Roh Kudus di dalam doa dan hidup kita sehari-hari ?

Hari ini, setelah merenungkan kedua ayat ini, sudah siapkah kita berkomitmen hanya memuliakan nama-Nya di dalam doa-doa kita melalui pimpinan Roh Kudus dan bukan untuk memuliakan diri sendiri ? Kiranya Tuhan memimpin dan memberkati hidup kita untuk memuliakan nama-Nya. Amin. Soli Deo Gloria.