30 June 2011

Bagian 1: "BAPA KAMI YANG DI SORGA"

TUHAN, AJARLAH KAMI BERDOA

(Seri Pengajaran Doa Bapa Kami):

“Bapa Kami yang Di Sorga”

(Mat. 6:9a)

oleh: Denny Teguh Sutandio

PENDAHULUAN

Sejak beberapa puluh tahun lalu, Kekristenan sedang diterpa oleh arus pengajaran doa Yabes yang dipopulerkan oleh Dr. Bruce H. Wilkinson. Doa ini diambil dari 1 Tawarikh 4:10. Meskipun doa yang dinaikkan Yabes itu tidak salah (perhatikan konteks), namun mengekstremkan doa Yabes lah yang dapat dikatakan salah. Mengapa? Karena Alkitab hanya mencatat doa Yabes saja yang berisikan hal-hal yang kelihatannya “egois.” Alangkah bijaksananya, jika kita ingin berdoa, kita belajar berdoa seperti yang Kristus ajarkan kepada para murid-Nya.

Di dalam Perjanjian Baru, Tuhan Yesus mengajarkan satu doa yang begitu indah dan agung, yaitu: Doa Bapa Kami, namun sayang doa yang begitu agung, indah, dan sarat dengan theologi yang ketat TIDAK laris di dalam Kekristenan zaman sekarang, karena doa ini bukan doa yang memuaskan keinginan manusia, tetapi memuliakan Allah. Dari sini, kita belajar bahwa di zaman sekarang, manusia semakin hidup di luar Allah dan memuaskan keinginan duniawi, bahkan hal-hal rohani pun “dibaptis” dalam nama “yesus” menjadi sesuatu yang memuaskan keinginan diri. Sungguh tragis!

Meskipun dunia kita anti dengan doa Bapa Kami, adalah bijaksana dan rendah hati ketika kita meneladani doa yang diajarkan oleh Tuhan kita Yesus Kristus.

Bagi Prof. J. I. Packer, D.Phil., ada 7 aktivitas rohani yang berbeda di dalam Doa Bapa Kami ini, yaitu:

menghampiri Allah dalam penyembahan dan percaya; menyadari pekerjaan dan kemuliaan-Nya, dalam pujian dan ibadah; mengakui dosa dan memohon pengampunan; memohon dicukupkannya kebutuhan-kebutuhan kita dan orang lain; bergumul dengan Allah untuk berkat, seperti Yakub yang bergumul dalam Kejadian 32 (Allah senang diajak bergumul); menerima dari Allah setiap situasi sebagai alat pembentukan bagi seseorang; dan mentaati Allah dengan setia dalam kelebihan dan kekurangan.”[1]

Bahkan Prof. J. I. Packer, D.Phil. berkata bahwa Doa Bapa Kami merupakan pengarah doa-doa kita selanjutnya yang paling aman untuk menjaga agar doa kita tetap di dalam kehendak Allah.[2]

Berikut isi doa Bapa Kami yang diajarkan Tuhan Yesus di dalam Matius 6:9-13:

Bapa kami yang di sorga, Dikuduskanlah nama-Mu, datanglah Kerajaan-Mu, jadilah kehendak-Mu di bumi seperti di sorga. Berikanlah kami pada hari ini makanan kami yang secukupnya dan ampunilah kami akan kesalahan kami, seperti kami juga mengampuni orang yang bersalah kepada kami; dan janganlah membawa kami ke dalam pencobaan, tetapi lepaskanlah kami dari pada yang jahat. (Karena Engkaulah yang empunya Kerajaan dan kuasa dan kemuliaan sampai selama-lamanya. Amin.)[3]

Mari kita belajar satu per satu isinya. Pada bagian 1 ini, kita hanya akan membahas frasa “Bapa kami yang di Sorga”.

BAPA (Mat. 6:9)

Dalam bahasa Yunani, kata “Bapa” adalah Pater dan dalam strukturnya, kata ini menandakan sebuah panggilan (vocative). Di sini berarti, di awal doa, Kristus mengajar kita untuk memanggil Allah sebagai Bapa, di mana kata “Bapa” ini menunjukkan ada ikatan kekeluargaan intim antara Allah dengan umat-Nya (bdk. Mzm. 103:13). Kita sebagai umat-Nya diperkenankan memanggil Allah sebagai Bapa, karena kita telah dilahirbarukan Roh Kudus (Rm. 8:15). Inilah wujud imanensi Allah[4] yang hendak Kristus ajarkan kepada para murid-Nya. Roh Kudus melayakkan kita memanggil Bapa, sedangkan mereka yang tidak dibaptis Roh Kudus (=mereka yang belum percaya kepada Kristus) TIDAK layak menyebut Allah sebagai Bapa.

Dengan memanggil Allah sebagai Bapa, maka secara langsung, kita menyadari bahwa kita adalah anak-anak-Nya. Anak-anak Allah adalah mereka yang telah dipilih oleh Allah sebelum dijadikan, lalu dipanggil, dibenarkan, dan dimuliakan-Nya kelak di dalam Kristus (Rm. 8:29-30). Atau menggunakan bahasa Petrus, anak-anak Allah adalah “orang-orang yang dipilih, sesuai dengan rencana Allah, Bapa kita, dan yang dikuduskan oleh Roh, supaya taat kepada Yesus Kristus dan menerima percikan darah-Nya.” (1Ptr. 1:2)

Di sini, kita belajar yang disebut anak-anak Allah adalah HANYA mereka yang telah dipilih Allah untuk percaya kepada Kristus. Orang-orang yang belum atau bahkan menolak untuk percaya kepada Kristus TIDAK layak disebut anak-anak Allah. Dari konsep ini, marilah kita hari ini dengan bijak TIDAK sembarangan menyebut orang yang tidak percaya kepada Kristus sebagai anak Tuhan, karena penyebutan itu jelas melawan Alkitab dan berdosa, karena menyamakan yang bukan milik Allah sebagai milik Allah!

KAMI (Mat. 6:9)

Dalam bahasa Yunani, kata “kami” adalah hēmon yang merupakan kata ganti kepemilikan (genitive) orang pertama jamak. Menurut tata bahasa Yunani, kata hēmon ini diterjemahkan sebagai milik kami (our).[5] “Kami” di sini menunjuk kepada siapa? Menurut konteks di dalam Injil Matius, kata “kami” menunjuk kepada para murid-Nya yang kepadanya Kristus berkhotbah di atas bukit (Mat. 5:1; bdk. Luk. 11:1).

Meskipun di Lukas 11:2, tidak ada kata “kami” di dalam teks Yunaninya, sedangkan di Matius 6:9 memuat kata “kami”, perbedaan itu bukanlah hal yang patut dirisaukan, karena artinya sama saja. Apa artinya? Ketika Kristus mengucapkan kata “kami” di Matius 6:9 dan tidak mengucapkan kata “kami” di Lukas 11:2 (“Jawab Yesus kepada mereka: "Apabila kamu berdoa, katakanlah: Bapa,”), Ia hendak mengajar para murid-Nya bahwa mereka yang berada di dalam satu tubuh Kristus bersama-sama bersehati berdoa kepada Allah yang sama, yaitu Allah Bapa.

Di sini, kita belajar bahwa satu Allah Bapa yang diajarkan Kristus adalah satu Allah yang diimani oleh semua umat pilihan-Nya yang telah ditebus oleh darah Kristus! Dengan kata lain, orang-orang yang tidak percaya kepada Kristus TIDAK sedang menyembah Allah Bapa seperti yang disembah oleh orang percaya. Mengapa saya perlu menegaskan konsep ini? Karena saya telah menjumpai ada 2 orang Kristen (satu dari Kristen Katolik, yang satunya dari Kristen Karismatik) yang berkata bahwa orang-orang Islam menyembah “Allah” yang sama dengan orang Kristen yaitu menyembah Allah Bapa. Konsep ini jelas tidak sesuai dengan ajaran Alkitab, karena Allah orang Kristen adalah Allah Tritunggal dan secara khusus, Allah Bapa yang disembah orang Kristen adalah Allah yang berpribadi yang TIDAK dapat dipersamakan dengan “Allah” dari agama mana pun!

DI SORGA (Mat. 6:9)

“Di Sorga” yang dalam bahasa Yunaninya en tois ouranois (baca: en tois uranois; dalam bahasa Inggris: in the heaven; artinya: di dalam Sorga) menunjuk kepada “tempat” di mana Allah bertakhta/tinggal. Di dalam Perjanjian Lama, Yakub menyebut rumah Allah sebagai sorga (Kej. 28:17). Musa mengidentikkan Sorga sebagai tempat kediaman Allah yang kudus (Ul. 26:15; bdk. 1Raj. 8:30). Raja Daud menyebut Sorga sebagai takhta Allah (Mzm. 11:4). Di dalam Septuaginta, kata “Sorga” di dalam Mazmur 11:4 adalah ouranōi yang juga dipakai di dalam Matius 6:9.

Di sini, kita mendapatkan penjelasan bahwa ketika kita berdoa: Bapa kami yang ada di (dalam) Sorga, ini berarti kita yang ada di bumi sedang berdoa kepada Bapa di Sorga. Dengan kata lain, ada suatu ketransendenan Allah[6] yang hendak diajarkan Kristus. Di sini, Kristus hendak mengajar kita bahwa doa yang tepat adalah doa yang dipenuhi dengan rasa hormat dan takut kepada Allah yang berdaulat.

Namun, hari-hari ini, kita melihat beberapa (atau banyak?) orang Kristen dan pemimpin gereja diindoktrinasi bahwa kita harus mengklaim janji Allah di dalam doa (semboyannya: name it and claim it/sebut dan tuntutlah!). Hal ini jelas tidak sesuai dengan Alkitab dan menghina Allah, mengapa? Karena Alkitab mengajar bahwa Allah itu adalah Allah yang setia yang pasti selalu menepati janji-Nya. Dengan mengklaim janji Allah itu membuktikan bahwa Allah itu tidak setia dan pelupa yang perlu diingatkan setiap hari. Bukankah itu tindakan yang melecehkan Allah?

Dari ketiga poin yang telah kita pelajari (Bapa, kami, di Sorga), maka kita mendapatkan pengajaran Kristus yang komprehensif tentang natur Allah di dalam doa, yaitu kita sebagai umat-Nya di dalam Kristus menyembah Allah yang nun jauh di sana (transenden) sekaligus yang dekat dengan kita (imanen) dan konsep iman ini mempengaruhi kita dalam berdoa. Doa Kristen adalah doa yang didasari oleh kerinduan umat-Nya untuk berkomunikasi intim dengan Allah sebagai Bapa, sekaligus menyadari bahwa Bapa itu tetap adalah Allah yang Mahakudus, sedangkan manusia adalah makhluk berdosa.

Biarlah dengan berdoa “Bapa kami yang di Sorga”, kita diajar pertama-tama untuk menyembah Allah kita sebagai Bapa (yang dekat dengan kita, umat-Nya), namun Bapa itu tetap sebagai Allah yang harus kita sembah dan permuliakan selama-lamanya. Amin. Soli Deo Gloria.



[1] J. I. Packer, Kristen Sejati III: Doa Bapa Kami, terj. Sutjipto Subeno dan Susiana J. Subeno. (Edisi keempat). (Surabaya: Momentum Christian Literature, 2005), hlm. 8.

[2] Ibid., hlm. 8-9.

[3] Bandingkan isi doa ini dengan Lukas 11:2-4, “Bapa, dikuduskanlah nama-Mu; datanglah Kerajaan-Mu. Berikanlah kami setiap hari makanan kami yang secukupnya dan ampunilah kami akan dosa kami, sebab kamipun mengampuni setiap orang yang bersalah kepada kami; dan janganlah membawa kami ke dalam pencobaan.

[4] Allah yang imanen adalah Allah yang mendekat kepada umat-Nya dan menyertai umat-Nya selama-lamanya. Wujud Allah yang imanen itu adalah Tuhan Yesus Kristus (Immanuel).

[5] William D. Mounce, Basics of Biblical Greek (Grammar) (Grand Rapids, Michigan: Zondervan, 2009), hlm. 92.

[6] Allah yang transenden berarti Allah yang nun jauh di sana yang tak terjangkau oleh manusia.

26 June 2011

Book Description-123: REDEEMING POP CULTURE (Rev. T. M. Moore, M.Div., M.C.E.)

Nowadays, we live in a postmodern era with postmodernism concept. In this postmodern era, there are many popular culture which include: music, movies, fashions, fads, literature, lingo, and icons. What’s behind popular culture? As Christians, how should we deal with the popular culture?
Find the answers in:


Book
REDEEMING POP CULTURE:
A Kingdom Approach


by: Rev. T. M. Moore, M.Div., M.C.E.

Publisher: Presbyterian and Reformed Publishing, 2003



In his book Redeeming Pop Culture, Rev. T. M. Moore, M.Div., M.C.E. explains many things about popular culture. In the first chapter, he explains the definition of popular culture. After that, he provides us a new concept of kingdom approach to deal with popular culture. Then, he explains the source of popular culture based on theological perspective. In the further chapters, he applies a kingdom approach to deal with popular culture: dialoguing, criticizing, and transforming. In the last chapter, he explains how to integrate a kingdom approach into popular culture wisely without compromising.





Endorsement:
“A most challenging and encouraging treatment of this sensitive subject. Moore moves seamlessly from Bob Dylan to Andrew Wyeth to baseball to Steve Irwin to his beloved Gerard Manley Hopkins. Even more impressive is his biblical-theological understanding of culture and its relation o God’s kingdom. Resolutely practical, this volume provides a basis for formulating better judgments and growing in grace.”
Prof. William Edgar, D.Theol.
(Professor of Apologetics at Westminster Theological Seminary, U.S.A.; Bachelor of Arts—B.A. from Harvard University, U.S.A.; Master of Divinity—M.Div. from Westminster Theological Seminary, U.S.A.; and Doctor of Theologie—Dr. Théol. fom Université de Genève)





Biography of the author:
Rev. T. M. Moore, M.Div., M.C.E. is pastor of teaching ministries at Cedar Springs Presbyterian Church in Knoxville, Tennessee, U.S.A. (http://www.cspc.net) He is a fellow of the Wilberforce Forum and editor of their online journal, Findings. His column, Ars Musica et Poetica, appears on the BreakPoint Webpage, along with his daily devotionals. He is North American editor for Scripture Union Publications, a ministry associate with Reformation and Revival Ministries and the Jonathan Edwards Institute, and associate editor of Reformation and Revival Journal. He receives his Bachelor of Arts (B.A.) from the University of Missouri and Master of Divinity (M.Div.) and Master of Christian Education (M.C.E.) from Reformed Theological Seminary, U.S.A. He has pursued additional studies at the University of Pretoria, the University of Miami, and the University of Wales. He and his wife, Susie, have four children and ten grandchildren, and make their home in Concord, Tennessee.

12 June 2011

Resensi Buku-122: BUSINESS FOR THE GLORY OF GOD (Prof. Wayne Grudem, Ph.D.)

...Dapatkan segera...




Buku
BUSINESS FOR THE GLORY OF GOD:
Ajaran Alkitab Tentang Kebaikan Moral Bisnis




oleh: Prof. Wayne Grudem, Ph.D.



Penerbit: VISI Press, 2010



Penerjemah: Samuel Tumanggor











Deskripsi singkat dari Denny Teguh Sutandio:
Orang Kristen yang sehat adalah orang Kristen yang hatinya telah diserahkan kepada Tuhan, sehingga setiap inci kehidupannya dilakukannya demi memuliakan Tuhan. Memuliakan Tuhan bisa dilakukan oleh setiap orang Kristen di dalam setiap aspek kehidupannya, bahkan di dalam dunia bisnis. Ketika seseorang mendengar kata bisnis, beberapa orang sudah mulai berpikiran negatif, karena bisnis selalu dikaitkan dengan hal-hal yang kotor. Benarkah demikian? Apakah bisnis tidak bisa dipergunakan untuk memuliakan Tuhan? Prof. Wayne Grudem, Ph.D. menerobos ketidakmungkinan tersebut dengan menyajikan suatu presuposisi bahwa memuliakan Tuhan itu dilakukan dengan cara mengaplikasikan setiap natur Allah yang bisa dikomunikasikan pada manusia. Hal ini diaplikasikannya ke dalam dunia bisnis dengan konsep bahwa bisnis itu pada dasarnya baik dan bisa dipakai untuk memuliakan Allah, namun kita tetap perlu berwaspada akan penyalahgunaannya. Penyalahgunaan bisnis itu sendiri TIDAK menjadikan bisnis itu jahat. Aplikasi praktis iman Kristen ke dalam dunia bisnis yang ditawarkan Prof. Wayne Grudem, Ph.D. meliputi 9 aspek: kepemilikan, produktivitas, pekerjaan, transaksi dagang, laba, uang, ketidakmerataan barang milik, persaingan, dan meminjam dan memberi pinjaman.











Rekomendasi:
“Tinjauan mendalam tentang maksud dan makna bisnis. Cara segar untuk melihat bagaimana Allah dihormati dan dimuliakan dalam menjalankan bisnis.”
C. William Pollard, J.D.
(Ketua Emeritus dari The ServiceMaster Company; lulusan Wheaton College, Wheaton, Illinois, U.S.A. dan menerima gelar Juris Doctor—J.D. dari Northwestern University School of Law)

“Pengingat yang sungguh hebat bahwa bisnis kita dapat menadi bagian penting dari cara kita melayani Allah dan dapat berdampak kekal pada banyak jiwa.”
Dave Browne
(Mantan direktur dari LensCrafters dan Direktur dari Family Christian Stores)

“Dalam pemaduan dunia bisnis dan hdup iman yang sering kali menantang, buku Dr. Grudem memberi dasar yang menolong dan mudah dipahami untuk kepemimpinan di bidang bisnis.”
James Fellowes
(Direktur dari Fellowes, Inc.; lulusan dari: Denison University dan Northwestern University’s Kellogg School of Management)

“Orang Kristen sering kali merasa bersalah dalam hal pilihan yang menguntungkan diri sendiri, perolehan milik pribadi, dan motif laba. Wayne Grudem menjelaskan bahwa semua itu bagian dari rencana Allah bagi hidup moral. Wawasan yang sungguh luar biasa!”
Prof. Stephen Happel, Ph.D.
(Profesor Ekonomi di Arizona State University, U.S.A.; Bachelor of Arts—B.A. dalam bidang Ekonomi dan Matematika dari University of Missouri, U.S.A.; Master of Arts—M.A. dalam bidang Ekonomi dari Duke University, U.S.A.; dan Doctor of Philosophy—Ph.D. dalam bidang Ekonomi dari Duke University, U.S.A.)

“Dr. Grudem menunjukkan dengan jelas kepada kita bagaimana kegiatan bisnis memberi kita kesempatan unik untuk memuliakan Allah. Kesimpulan-kesimpulannya penuh wawasan, tak ternilai, dan meyakinkan. Saya menaruh buku ini dalam daftar bacaan penyegar yang saya susun setahun sekali untuk memotivasi saya kepada suatu etos kerja yang berdasarkan Kolose 3:23-24.”
Mike Searcy
(Direktur Pengelola dari Ronald Blue & Co., Phoenix, Arizona, U.S.A.)

“Efektif membantah klaim-klaim bahwa kegiatan bisnis manusia merupakan tanah milik perusahaan, pemerintah, dan ideologi. Wayne Grudem sukses merinci bahwa bisnis adalah rancangan Allah bagi kemuliaan-Nya dan kebaikan kita.”
David Pyne
(Ahli ekonomi di U.S. Department of Commerce, Washington D.C., U.S.A.)

“Buku ini harus menjadi bacaan penting bagi semua pendeta yang mengasihi para praktisi bisnis yang ditempatkan Allah di antara mereka. Dan semua pebisnis akan diberkati, disemangati, dan dicerahi ketika membaca Wayne Grudem menerapkan firman Allah pada usaha bisnis. Isi buku ini penuh dengan maksud mulia Allah bagi mereka yang dipanggil melayani Tuhan di bidang bisnis.”
Richard C. Chewning, Ph.D.
(Distinguished Scholar in Residence di John Brown University, U.S.A.)



“Tinjauan cemerlang terhadap keterhubungan hidup ekonomi dengan hidup rohani, dan obat manjur bagi mereka yang ragu bahwa bisnis adalah kegiatan yang menghormati dan memuliakan Allah.”
Barry Asmus, Ph.D.
(Ahli Ekonomi Senior di National Center for Policy Analysis)











Profil Dr. Wayne Grudem:
Prof. Wayne Grudem, Ph.D. adalah Profesor Riset Alkitab dan Theologi di Phoenix Seminary, Scottsdale, Arizona, U.S.A. sejak tahun 2001. Beliau juga menjadi pendiri bersama (co-founder) dan mantan presiden dari the Council on Biblical Manhood and Womanhood. Beliau menyelesaikan studi Bachelor of Arts (B.A.) di Harvard University, U.S.A.; Master of Divinity (M.Div.) di Westminster Theological Seminary, U.S.A.; dan Doctor of Philosophy (Ph.D.) di University of Cambridge, U.K. Beliau menulis atau menyunting beberapa buku, di antaranya: Systematic Theology: An Introduction to Biblical Doctrine, Recovering Biblical Manhood and Womanhood, dan The Gift of Prophecy in the New Testament and Today.

Renungan Pentakosta 2011: ROH KUDUS DAN PEMBERITAAN INJIL (Denny Teguh Sutandio)

Renungan Pentakosta 2011

ROH KUDUS dan PEMBERITAAN INJIL

oleh: Denny Teguh Sutandio



“Tetapi kamu akan menerima kuasa, kalau Roh Kudus turun ke atas kamu, dan kamu akan menjadi saksi-Ku di Yerusalem dan di seluruh Yudea dan Samaria dan sampai ke ujung bumi.”
(Kis. 1:8)




Setelah menampakkan diri-Nya kepada para murid, Tuhan Yesus yang hendak naik ke Sorga menyuruh mereka tinggal di Yerusalem terlebih dahulu hingga menunggu Roh Kudus dicurahkan atas mereka, sehingga mereka nantinya dapat menjadi saksi Kristus di Yerusalem, Yudea, Samaria, dan sampai ke ujung bumi. Di sini, Kristus langsung mengaitkan fungsi Roh Kudus dicurahkan bukan untuk membuat para murid gemar berbahasa lidah atau mengalami trance yang tidak sadarkan diri, tetapi justru untuk mendorong dan memimpin para murid untuk berani memberitakan Injil.

Ketika kita teliti membaca Alkitab, di dalam kitab Kisah Para Rasul, hampir setiap kali dr. Lukas mencatat bahwa seorang rasul/pelayan Tuhan dipenuhi Roh, maka ia menjadi seorang pengabar Injil yang berani. Setelah 120 orang dibaptis Roh Kudus (Kis. 2:2-3) dan kemudian dipenuhi Roh (Kis. 2:4), maka Alkitab memang mencatat bahwa mereka berbahasa lidah, tetapi apa gunanya mereka berbahasa lidah? Roh Kudus memakai bahasa lidah sebagai media untuk memberitakan Injil kepada orang-orang dari berbagai bangsa yang berkumpul di Yerusalem (Kis. 2:9-11). Roh Kudus yang sama juga langsung menggerakkan Petrus untuk memberitakan Injil tentang Kristus yang tersalib dan bangkit (Kis. 2:14-36). Beberapa orang Kristen dan pemimpin gereja dari gereja kontemporer suka mencomot peristiwa ini, lalu menafsirkan bahwa bahasa lidah adalah tanda dipenuhi Roh Kudus. Mereka lupa bahwa bahasa lidah yang dipakai di dalam Kisah Para Rasul 2 merupakan bahasa lidah yang adalah media untuk memberitakan Injil kepada orang-orang non-Yahudi di Yerusalem yang mengakibatkan orang-orang non-Yahudi itu mengerti bahasa yang diucapkannya dan kemudian bertobat, sedangkan mereka yang mengklaim berbahasa lidah dengan mengutip kasus dalam Kisah Para Rasul 2 ini justru mengakibatkan orang lain semakin bingung dan tidak mengerti dengan “bahasa lidah” yang mereka ucapkan. Sebuah hal yang bertentangan dengan Alkitab, namun laris di pasaran Kekristenan.
Setelah Petrus dan Yohanes menyaksikan kuasa Roh Kudus yang menolong mereka ketika bersaksi di depan Mahkamah Agama, mereka kembali ke teman-teman mereka dan mereka semua berdoa. Saat mereka berdoa, Alkitab mencatat, “goyanglah tempat mereka berkumpul itu dan mereka semua penuh dengan Roh Kudus, lalu mereka memberitakan firman Allah dengan berani.” (Kis. 4:31) Sekali lagi, Alkitab mencatat bahwa setelah dipenuhi Roh, para rasul memberitakan firman Allah (Injil) dengan berani. Hal serupa juga terjadi pada Paulus (yang dahulu bernama Saulus). Setelah ia didoakan oleh Ananias dan dipenuhi Roh, maka Alkitab sekali lagi mencatat bahwa pada saat beristirahat sejenak dengan tinggal bersama para murid-Nya di Damsyik, Paulus “memberitakan Yesus di rumah-rumah ibadat, dan mengatakan bahwa Yesus adalah Anak Allah.” (Kis. 9:20)

Di dalam 3 bagian ini, kita melihat bahwa Roh Kudus datang untuk memperlengkapi para murid untuk memberitakan Injil. Mengapa? Karena Kristus sendiri berfirman bahwa Roh Kudus diutus untuk memimpin para murid (dan kita sebagai umat-Nya) untuk hidup berpusat pada Kristus (Yoh. 14:26; 16:14). Apa artinya?
1. Roh Kudus Diutus untuk Bersaksi tentang Kristus
Prinsip ini sesuai dengan apa yang Kristus firmankan sendiri di dalam Yohanes 15:26, “Jikalau Penghibur yang akan Kuutus dari Bapa datang, yaitu Roh Kebenaran yang keluar dari Bapa, Ia akan bersaksi tentang Aku.” Uniknya, di ayat ini, Roh Kudus yang bersaksi tentang Kristus disebut sebagai Roh Kebenaran (Yunani: pneuma alētheia). Dengan kata lain, Roh Kudus yang bersaksi tentang Kristus adalah Roh Allah yang memberitakan Kebenaran mutlak tentang siapakah Kristus sesungguhnya! Mengerti dan mengenal siapa Kristus sesungguhnya tanpa melalui Roh Kudus (apalagi melalui “nabi” yang tidak beres secara moralitas) adalah hal yang sangat tidak masuk akal.
Meskipun Roh Kudus bersaksi tentang Kristus, namun Kristus sendiri mengajar para murid bahwa mereka pun harus juga bersaksi tentang Kristus (Yoh. 15:27). Dengan kata lain, Roh Kudus yang bersaksi tentang Kristus memimpin para murid untuk bersaksi tentang Kristus, sehingga kesaksian para murid disahkan/didukung oleh Roh Kudus. Di sini, kita belajar bahwa peran anak-anak Tuhan di dalam bersaksi tentang Kristus tetap penting dan peran itu pun dimampukan oleh kuasa dari Roh Kudus yang memberitakan Kebenaran tentang siapakah Kristus sesungguhnya. Hal ini mengingatkan saya tentang firman Kristus di dalam Kisah Para Rasul 1:8, “Tetapi kamu akan menerima kuasa, kalau Roh Kudus turun ke atas kamu, dan kamu akan menjadi saksi-Ku di Yerusalem dan di seluruh Yudea dan Samaria dan sampai ke ujung bumi.” Bagaimana dengan kita? Ketika kita hendak menyaksikan Kristus kepada orang non-Kristen, percayalah bahwa Roh Kudus akan memperlengkapi kita dengan kuasa-Nya untuk memberitakan Injil, meskipun ada berbagai macam tantangan.


2. Roh Kudus Diutus untuk Mengingatkan Apa yang Kristus Telah Ajarkan
Selain bersaksi tentang Kristus, Roh Kudus juga “tetapi Penghibur, yaitu Roh Kudus, yang akan diutus oleh Bapa dalam nama-Ku, Dialah yang akan mengajarkan segala sesuatu kepadamu dan akan mengingatkan kamu akan semua yang telah Kukatakan kepadamu.” (Yoh. 14:26) Di dalam ayat ini, Tuhan Yesus hendak mengajarkan bahwa Roh Kudus:
a) mengajarkan segala sesuatu
Di ayat ini, Kristus berfirman bahwa Roh Kudus mengajarkan segala sesuatu. Apa artinya “segala sesuatu” dalam ayat ini? Beberapa (atau mungkin banyak?) pemimpin gereja dari gereja kontemporer menafsirkan bahwa “segala sesuatu” sebagai segala hal yang baru (di luar Alkitab alias “wahyu” baru). Dari tafsiran ini, maka mereka enggan studi theologi dan Alkitab baik-baik, karena mereka percaya bahwa Roh Kudus dapat mengajar mereka segala sesuatu (bahkan ekstremnya: di luar Alkitab). Tafsiran ini jelas tidak bisa dipertanggungjawabkan, karena kalau ada “wahyu” baru, maka “wahyu” itu harus ada di dalam Alkitab atau dapat dibuktikan kebenarannya oleh Alkitab.
Lalu, apa arti “segala sesuatu”? New International Version (NIV) Spirit of the Reformation Study Bible menafsirkannya, “That is, all things that you need to know for your mission (16:13)” (=Yaitu, segala hal yang kamu perlu untuk mengetahui tentang misimu (16:13)) Ketika kita membaca Yohanes 16:13, maka kita mendapat penjelasan bahwa “segala sesuatu” merujuk pada kebenaran yang bukan berasal dari diri Roh Kudus sendiri, “Tetapi apabila Ia datang, yaitu Roh Kebenaran, Ia akan memimpin kamu ke dalam seluruh kebenaran; sebab Ia tidak akan berkata-kata dari diri-Nya sendiri, tetapi segala sesuatu yang didengar-Nya itulah yang akan dikatakan-Nya dan Ia akan memberitakan kepadamu hal-hal yang akan datang.” “Segala sesuatu yang didengar-Nya” di ayat ini jelas menunjuk pada perkataan Kristus di ayat sesudahnya yaitu di ayat 14.

b) mengingatkan tentang perkataan Kristus
Selain mengajarkan segala sesuatu sesuai dengan Kebenaran yang diajarkan Kristus, Roh Kudus juga mengingatkan umat-Nya tentang apa yang telah Kristus katakan. Dengan kata lain, Roh Kudus bertugas mengembalikan ingatan para murid waktu itu dan umat-Nya yang hidup sekarang tentang semua perkataan Kristus. Tidak ada hal baru yang akan Roh Kudus ajarkan, apalagi yang melawan perkataan Kristus! Jadi, jangan percaya pada mimpi, “penglihatan” atau “wahyu” baru yang mengklaim datang dari “Roh Kudus”, namun isinya melawan Alkitab, khususnya perkataan Kristus, karena itu jelas bukan dari Roh Kudus yang sejati.


3. Roh Kudus Diutus untuk Memuliakan Kristus
Terakhir, Roh Kudus diutus untuk memuliakan Kristus, bukan diri Roh Kudus sendiri. Hal ini jelas diajarkan oleh Kristus sendiri di Yohanes 16:14, “Ia akan memuliakan Aku, sebab Ia akan memberitakan kepadamu apa yang diterimanya dari pada-Ku.” Roh Kudus datang untuk memuliakan Kristus karena Roh Kudus akan memberitakan apa yang Kristus katakan kepada umat-Nya. Dengan kata lain, jangan percaya pada penglihatan atau “wahyu” baru yang mengklaim dari “Roh Kudus”, namun isinya meninggikan “Roh Kudus”, karena Roh Kudus yang sejati TIDAK pernah meninggikan diri-Nya sendiri, tetapi selalu meninggikan dan memuliakan Kristus!


Setelah merenungkan karya Roh Kudus yang diutus untuk berpusat kepada Kristus, bagaimana respons kita? Biarlah Pentakosta tahun ini menjadi momen Pentakosta yang revolusioner yaitu kita yang termasuk umat pilihan-Nya menjadi saksi Kristus untuk memberitakan Injil lebih giat demi kemuliaan-Nya, karena Roh Kudus adalah Roh yang memuliakan Kristus melalui pengabaran Injil. Amin. Soli Deo Gloria.