16 September 2007

THEOLOGIA PUASA : Analisa Kritis Alkitab tentang Makna dan Motivasi Puasa yang Beres dan Bertanggungjawab di Mata Allah (Denny Teguh Sutandio, S.S.)

THEOLOGIA PUASA :
Analisa Kritis Alkitab Tentang Makna dan Motivasi Puasa yang Beres dan Bertanggungjawab di Mata Allah

oleh : Denny Teguh Sutandio, S.S.



Kamis, 13 September 2007, orang-orang Islam mulai menjalankan puasa sebulan penuh menyambut bulan “suci” Ramadhan. Mereka beramai-ramai berpuasa untuk “mengekang hawa nafsu” dan “memperkuat iman”. Mari kita memikirkan dengan tajam topik tentang puasa dalam perspektif dunia dan agama-agama, iman “Kristen” dan iman Kristen yang beres berdasarkan Alkitab.

Puasa Menurut Islam
Islam adalah agama terbesar di Indonesia. Oleh karena itu, mari kita mempelajari makna puasa menurut Islam dari beberapa sumber wikipedia di bawah ini.

Dalam Islam, puasa berarti “menahan diri dari makan dan minum dan dari segala perbuatan yang boleh membatalkan puasa, mulai dari terbit fajar hinggalah terbenam
matahari, untuk meningkatkan ketakwaan seorang muslim.” Perintah puasa difirmankan di dalam Quran surat Al-Baqarah ayat 183. Berpuasa merupakan salah satu dari lima Rukun Islam.

Jenis-jenis Puasa di dalam Islam :
· Puasa yang hukumnya
wajib
o Puasa
Ramadan
o Puasa karena
nazar
o Puasa kifarat atau denda
· Puasa yang hukumnya
sunah
o Puasa 6 hari di bulan
Syawal
o
Puasa Arafah
o Puasa
Senin-Kamis
o Puasa Daud (sehari puasa, sehari tidak)

Hikmah dari ibadah shaum (puasa) itu sendiri adalah melatih manusia untuk sabar dalam menjalani hidup.

Selain itu, puasa juga “abstaining from any falsehood in speech and action, from any ignorant and indecent speech, and from arguing and fighting, and lustful thoughts. Therefore, fasting helps develop good
behavior. Fasting also inculcates a sense of fraternity and solidarity, as Muslims feel and experience what their needy and hungry brothers and sisters feel. However, even the poor, needy, and hungry participate in the fast. Moreover, Ramadan is a month of giving charity and sharing meals to break the fast together.” (=menjauhkan diri dari segala kebohongan di dalam perkataan dan tindakan, dari berbagai perkataan yang bodoh dan cabul/tidak pantas, dan dari perdebatan dan perkelahian, dan pikiran jorok. Oleh karena itu, puasa menolong mengembangkan tingkah laku yang baik. Puasa juga mengajarkan berulang-ulang pengertian persaudaraan dan solidaritas, sebagaimana orang-orang Islam merasa dan mengalami apa yang dirasakan oleh saudara-saudaranya yang membutuhkan dan lapar. Bagaimanapun juga, baik orang miskin, membutuhkan, dan lapar berpartisipasi di dalam puasa. Lebih lanjut, Ramadan adalah bulan untuk memberi sedekah dan berbagi makanan untuk mengerti puasa bersama.)

Lebih lanjut, puasa di dalam Islam dimulai pada Sahur (sebelum subuh), Imsak (kira-kira 10 menit setelah Sahur) dan diakhiri dengan berbuka (kira-kira sore sampai petang hari).

Selain itu, makan, minum dan hubungan seksual dilarang selama puasa. Di dalam puasa, mereka juga harus menahan diri dari kejahatan, kemarahan, cemburu/iri hati, kerakusan, hawa nafsu, memfitnah, dan berusaha untuk akur satu sama lain lebih baik dari biasanya. Dan juga, segala penglihatan dan suara-suara yang cabul dan tidak beragama (irreligious) dilarang selama puasa. Puasa juga sebagai sarana untuk mendekatkan diri kepada “Allah” dan juga sebagai sarana untuk menghapus dosa. Selain itu, puasa juga sebagai sarana untuk mengontrol diri dan sabar. Golongan orang-orang yang tidak boleh berpuasa adalah anak-anak yang belum mengalami pubertas, orang yang mengalami diabetes, dan wanita melahirkan/hamil.

Sumber :
http://id.wikipedia.org/wiki/Puasa_(Islam), http://en.wikipedia.org/wiki/Fasting dan http://en.wikipedia.org/wiki/Ramadan




Puasa Menurut Agama-agama Dunia
Hampir sama seperti Islam, agama-agama dunia juga mengajarkan tentang puasa sebagai sarana penyangkalan diri. Mari kita simak penjelasan puasa dari berbagai agama dunia.

In the
Bahá'í Faith, fasting is observed from sunrise to sunset during the Bahá'í month of `Ala' (between March 2 through March 20). Bahá'u'lláh established the guidelines in the Kitáb-i-Aqdas. It is the complete abstaining from both food and drink (including abstaining from smoking). Observing the fast is an individual obligation, and is binding on all Bahá'ís who have reached the age of maturity, which is fifteen years of age…The Guardian of the Bahá'í Faith, Shoghi Effendi, explains: "It is essentially a period of meditation and prayer, of spiritual recuperation, during which the believer must strive to make the necessary readjustments in his inner life, and to refresh and reinvigorate the spiritual forces latent in his soul. Its significance and purpose are, therefore, fundamentally spiritual in character. Fasting is symbolic, and a reminder of abstinence from selfish and carnal desires." (=Dalam iman Bahá'í, puasa dirayakan dari matahari terbit sampai matahari terbenam selama bulan Bahá'í ‘Ala’ {antara 2 Maret sampai 20 Maret} Bahá'u'lláh menegakkan peraturan ini di dalam Kitáb-i-Aqdas. Itu adalah benar-benar menjauhkan diri baik dari makanan dan minuman {termasuk menjauhkan diri dari merokok}. Menjalankan puasa adalah sebuah kewajiban individu, dan itu bersifat mengikat pada semua orang Bahá'í yang telah mencapai usia kedewasaan, yaitu berusia 15 tahun… Pemimpin Bahá'í, Shoghi Effendi menjelaskan, “Pada dasarnya periode meditasi dan doa, akan penyembuhan spiritual kembali, selama orang-orang beriman harus berusaha keras untuk membuat pentingnya penyesuaian kembali di dalam inti hidupnya, dan untuk menyegarkan dan menguatkan kembali kekuatan spiritual yang tersembunyi di dalam jiwanya. Oleh karena itu, signifikansi dan tujuannya adalah secara dasar spiritual di dalam karakter. Puasa adalah simbol, dan pengingat akan pantang dari mementingkan diri sendiri dan keinginan duniawi.” )

Buddhist monks and nuns following the
Vinaya rules commonly do not eat each day after the noon meal, though many orders today do not enforce this. This is not considered a fast, but rather a disciplined regiment aiding in meditation. Fasting is generally considered by Buddhists as a form of asceticism (=Para rahib dan biarawati Buddha mengikuti aturan Vinaya tidak makan selama sehari setelah makan siang, meskipun banyak aturan sekarang tidak memaksakan hal ini. Ini tidak dianggap sebagai puasa, tetapi lebih sebagai pertolongan peraturan disiplin di dalam meditasi. Puasa secara umum dianggap oleh Buddhist sebagai bentuk dari asketisme…)

Fasting is a very integral part of the
Hindu religion. Individuals observe different kinds of fasts based on personal beliefs and local customs… Fasting can also mean limiting oneself to one meal during the day and/or abstaining from eating certain food types and/or eating only certain food types. In any case, even if the fasting Hindu is non-vegetarian, he/she is not supposed to eat or even touch any animal products (i.e. meat, eggs) on a day of fasting. (=Puasa adalah bagian yang sangat integral di dalam agama Hindu. Orang-orang melaksanakan berbagai bentuk puasa berdasarkan kepercayaan pribadi dan kebudayaan lokal… Puasa juga dapat berarti membatasi diri terhadap makanan selama selama dan/atau menjauhkan dari makan beberapa jenis makanan dan/atau makan hanya beberapa macam makanan. Dalam pengertian lain, meskipun puasa Hindu adalah non-vegetarian/bukan makan sayur-sayuran), dia tidak berarti untuk makan atau pun menyentuh hasil-hasil dari binatang {seperti : daging, telur} selama bulan puasa.)

Sumber :
http://en.wikipedia.org/wiki/Fasting




Kesimpulan Puasa-puasa Menurut Islam dan Agama-agama Dunia
Dari beberapa gambaran di atas, maka kita dapat mengambil kesimpulan tentang prinsip-prinsip puasa yang dimengerti di dalam agama-agama dunia :
· Puasa adalah usaha untuk menahan diri dari pencobaan dan berusaha “berbuat baik”.
Pertama, menurut Islam dan agama-agama dunia, puasa adalah usaha untuk menahan diri dari berbagai pencobaan, misalnya makanan, minuman, hal-hal jorok, fitnah, iri, sombong, dll, bahkan menurut mereka, mereka diajar untuk berbuat baik dan meningkatkan solidaritas dengan orang lain khusus selama “bulan puasa” mereka.

· Puasa adalah usaha untuk mendekatkan diri kepada “Tuhan”.
Kedua, selain menahan diri dari pencobaan, puasa juga sebagai sarana untuk mendekatkan diri kepada “Tuhan”. Mengapa harus menggunakan puasa ? Karena puasa yang juga disebut bertarak adalah usaha untuk menyiksa tubuh/jasmani agar diperkenan oleh “Tuhan”. Filsafat ini dipengaruhi oleh asketisme yang berakar dari Platonisme yang mendualismekan antara hal-hal jasmani dengan rohani dengan mengajarkan bahwa tubuh ini jahat dan roh/jiwa itu baik. Di dalam Buddhisme, Hinduisme dan Gerakan Zaman Baru (tiga ajaran ini seazas) yang mengembangkan konsep berpikir Platonisme, puasa dimengerti sebagai usaha untuk menyiksa tubuh karena tubuh ini jahat. Di dalam ke“Kristen”an pun, beberapa orang “Kristen” secara tidak sadar mengajarkan filsafat atheis Plato ini dengan mengatakan bahwa agama dan ilmu itu tidak ada hubungannya.

· Puasa adalah usaha untuk menyegarkan kembali tubuh.
Ketiga, puasa juga sebagai sarana untuk menyegarkan kembali tubuh. Ini adalah alasan kesehatan/medis. Selain alasan medis, menurut iman Bahá'í, puasa dipandang sebagai sarana untuk menyegarkan kembali kekuatan spiritual yang tersembunyi di dalam jiwa manusia (baca : ajaran Bahá'í di atas yang saya garisbawahi). Di dalam iman ini sudah mengandung unsur Gerakan Zaman Baru yang mengajarkan bahwa manusia memiliki potensi yang luar biasa bahkan manusia adalah ilah-ilah kecil (little gods). Tidak heran, untuk meningkatkan kekuatan dan potensi yang luar biasa ini, puasa di dalam Gerakan Zaman Baru sangat penting.

· Puasa sebagai sarana penebus/penghapus dosa.
Terakhir, di dalam Islam, puasa dimengerti sebagai sarana penghapus dosa. Dengan kata lain, berbuat apa sajalah sebelum bulan puasa, maka di bulan puasa, berpuasalah dengan giat, maka “percaya”lah, semua dosa yang telah dilakukan sebelumnya dihapuskan. Di sini, kita melihat kelemahan fatal konsep tentang dosa.




Puasa Menurut “Kristen”
Meskipun berbeda dari semua agama dunia yang antroposentris, keKristenan seharusnya menyerukan konsep dan makna puasa yang berbeda, tetapi sayangnya, banyak orang-orang “Kristen” saat ini terutama yang dipengaruhi oleh banyak gereja pop yang mengajarkan materialisme dan humanisme ternyata memiliki kepercayaan yang tidak jauh berbeda dengan konsep puasa di dalam agama-agama dunia di atas. Ketika Islam sedang menjalankan puasa, sebuah gereja Karismatik “terbesar” di Surabaya pun juga melangsungkan puasa raya bagi jemaat-jemaatnya selama 40 hari 40 malam, entah apa motivasinya. Selain gereja ini, banyak gereja Karismatik/Pentakosta juga gemar melakukan doa puasa, puasa raya, dll dengan presuposisi dasar bahwa dengan doa berpuasa, maka Tuhan pasti mendengar doa dan permintaannya. Dengan kata lain, motivasi mereka berpuasa bukan untuk memuliakan Tuhan, tetapi untuk memuaskan hawa nafsunya yang berdosa.

Berbeda dari banyak gereja Karismatik, gereja-gereja Katolik melangsung puasa daging sebelum Jumat Agung. Puasa daging dimaksud agar jemaat-jemaat Katolik mengenang kesengsaraan Tuhan Yesus dengan tidak makan daging. Meskipun hal ini mengandung unsur moral dan spiritual yang “cukup baik”, tetapi ada banyak kelemahan di dalam pengajaran ini.




Tinjauan Kritis Terhadap Puasa Duniawi dari Sudut Pandang Alkitab
Ketika kita mengamati puasa menurut pandangan agama-agama dunia, kita melihat adanya unsur antroposentris (man-centered) di dalam puasa, meskipun dibalut dengan unsur-unsur “rohani”. Mari kita mengkritisi hal ini.
Pertama, puasa menurut agama dunia adalah usaha untuk menjauhkan diri dari pencobaan dan berusaha berbuat “baik”. Benarkah mereka berbuat “baik” ? Mari kita melihat faktanya. Selama bulan puasa yang sedang berlangsung sejak 13 September 2007, bukan hanya tidak baik, banyak pelaku puasa bertindak tidak ada bedanya dengan orang atheis. Buktinya, Minggu pagi ini, 16 September 2007, di daerah Surabaya Barat, di sebuah jalan menuju Supermal Pakuwon Indah/Pakuwon Trade Center, Surabaya, banyak trek-trekan sepeda motor yang mengebut. Anehnya, ketika harga bensin naik, mereka semua protes, padahal mereka sendiri memboroskan bensin untuk hal-hal yang tidak berguna sama sekali. Kasus kedua, selama puasa, surat kabar Indonesia tentunya tetap dipenuhi oleh berita-berita kriminalitas, seperti : korupsi, pencurian anak, penjambretan, dll. Inikah berbuat “baik” ? Kasus ketiga, perhatikanlah para polisi di jalan, benarkah mereka berbuat “baik” ? Bukan hanya hampir tidak pernah berbuat “baik” dengan menunjukkan jalan kepada orang yang salah jalannya, malahan mereka sengaja membiarkan orang yang salah jalan lalu memberhentikan mobilnya lalu menilangnya (meskipun banyak yang menilang tanpa alasan/bukti yang kuat atau dengan kata lain, menilang demi mendapatkan uang untuk berbuka puasa). Kasus keempat, selama bulan puasa, ciumlah bau mulut para pegawai Anda, maka terciumlah bau yang ajubilah tidak sedap karena mereka berpuasa/tidak boleh minum air dan menggosok gigi. Jika demikian, apakah mereka sedang berbuat “baik” dengan memperhatikan orang lain ?
Bukan hanya tidak berbuat “baik”, benarkah mereka menjauhkan diri dari pencobaan ? Saya hanya tertawa geli membaca pernyataan mereka tentang hal ini. Bagaimana ada pencobaan, lha wong, pencobaan itu mereka singkirkan sendiri dengan cara memberlakukan peraturan untuk menutup semua restoran, tempat kemaksiatan (seperti club, diskotek, dll) selama bulan puasa. Kedua, mereka berpuasa sebenarnya tidak sedang menjauhkan diri dari pencobaan, tetapi memendam sebentar terhadap pencobaan. Pada hari Jumat, 14 September 2007, ketika melintasi Jalan Raya Darmo, Surabaya, saya (dan ayah saya) membaca sebuah billboard besar dari iklan rokok yang bertuliskan, “Siang dipendam, malam balas dendam.” Ketika membaca tulisan itu, serentak ayah saya dan saya tertawa membacanya, karena pernyataan itu jelas sedang menyindir mereka yang sedang berpuasa. Mengapa saya katakan itu menyindir ? Karena selama bulan puasa, mungkin di siang hari, mereka kelihatan alim, “rohani”, religius di mata masyarakat (karena di TV, radio, jalan-jalan, bahkan beberapa gereja yang dipengaruhi oleh “theologia” religionum, dll, semua dipenuhi dengan atribut religius tentang puasa), tetapi coba lihatlah keadaan lain di malam hari, terutama di mal dan restoran mahal. Kalau di hari-hari biasa, mal dan restoran mahal/mewah hanya dipenuhi oleh orang-orang kaya/mampu, sedangkan orang-orang yang pas-pasan hidupnya jarang ke mal atau restoran mewah (ini bukan diskriminasi). Tetapi coba Anda lihat pas di bulan puasa, Anda pasti menemukan orang-orang yang hidupnya pas-pasan berbuka puasa di restoran mewah dan di mal-mal. Kemarin, Sabtu, 15 September 2007, Supermal Pakuwon Indah, Surabaya tiba-tiba penuh, jangan heran pula di restoran mewah, banyak orang yang berbuka puasa. Dengan kata lain, benarlah pernyataan sebuah billboard tadi bahwa ketika siang mereka tampak alim (dipendam), tetapi ketika malam hari, mereka balas dendam karena tidak kuat dipendam seharian. Inikah menjauhkan diri dari pencobaan ??

Kedua, puasa sebagai sarana untuk mendekatkan diri kepada “Tuhan” dengan cara menyiksa diri. Bertarak atau askese memang adalah suatu filsafat asketisme yang menyiksa tubuh agar diperkenan oleh “Tuhan”, karena yang spiritual/rohani tidak bisa sesuai dengan yang jasmani (dualisme antara jasmani dan rohani). Sepintas hal ini sesuai dengan Alkitab yang mengajarkan bahwa keinginan daging berlawanan dengan keinginan Roh, tetapi jika kita telusuri filsafat di balik pengajaran ini sangat berbahaya. Dualisme Plato yang mempengaruhi Gnostisisme (melahirkan “injil-injil” Gnostik, seperti “injil” Thomas, Yudas, Maria Magdalena, dll) mengajarkan bahwa tubuh ini jahat sehingga harus dihancurkan demi jiwa yang baik. Keselamatan di dalam agama-agama yang dipengaruhi oleh Gnostisisme ini (Hindu dan Buddha) adalah terlepasnya jiwa dari tubuh yang jahat ini. Dengan kata lain, Gnostisisme di titik pertama sudah menghina ciptaan Tuhan sendiri. Alkitab mengajarkan bahwa Allah menciptakan manusia sesuai gambar dan rupa-Nya menurut peta teladan Allah. Adam dan Hawa dicipta oleh Allah dan Allah mengatakannya “sungguh amat baik” (Kejadian 1:31). Tetapi herannya, manusia ciptaan-Nya malahan mengatakan bahwa ciptaan-Nya (meliputi tubuh manusia) itu jahat dan harus dibinasakan. Begitu berdosanya manusia yang tidak pernah sadar diri berdosa. Bukan hanya berkenaan dengan ciptaan yang mengatakan bahwa tubuh ini baik, di dalam Alkitab juga disebutkan bahwa sebagai umat pilihan-Nya, kita akan dibangkitkan secara tubuh pada saat kedatangan Kristus kedua kalinya dengan dasar kebangkitan Kristus secara jasmani (1 Korintus 15:12-58). Artinya karena Kristus sudah bangkit secara tubuh (bukan secara rohani seperti yang dipaparkan oleh “Pdt. Dr.” Ioanes Rachmat), maka kita pun sebagai umat pilihan-Nya akan dibangkitkan secara tubuh dan tubuh kita akan diubahkan menjadi tubuh surgawi yang tidak bisa binasa. Puji Tuhan ! Kebangkitan Kristus menjamin kebangkitan tubuh umat pilihan-Nya kelak pada saat Kristus datang kedua kalinya.

Ketiga, puasa adalah sarana untuk menyegarkan kembali tubuh bahkan membangkitkan kekuatan spiritual di dalam jiwa manusia. Kalau untuk alasan medis, hal ini bisa dibenarkan (secara umum) yaitu puasa dapat menyegarkan kembali tubuh, tetapi sekali lagi itu untuk alasan yang berpusat pada manusia bukan untuk memuliakan Allah. Tetapi kalau puasa sudah menyangkut unsur Gerakan Zaman Baru yaitu membangkitkan kekuatan spiritual yang lagi tertidur, itu sudah salah. Adalah sangat mengasihankan jika puasa hanya dipandang sebagai usaha untuk membangkitkan kekuatan spiritual, karena kekuatan spiritual sedemikian ditingkatkan hanya ketika jasmani dimatikan. KeKristenan dari sudut pandang Alkitab mengkritisi hal ini dan membuktikan kelemahan pandangan Gerakan Zaman Baru. KeKristenan sangat menghargai tubuh jasmani karena dua alasan, yaitu : penciptaan tubuh oleh Allah dan kebangkitan tubuh umat pilihan-Nya pada saat kedatangan Kristus yang kedua kalinya. Menghina tubuh jasmani ciptaan Allah sama artinya menghina Allah sebagai Pencipta. Bukan hanya menghargai tubuh jasmani, kita harus memakainya untuk memuliakan Allah. Rasul Paulus mengatakan di dalam Roma 12:1-2, “Karena itu, saudara-saudara, demi kemurahan Allah aku menasihatkan kamu, supaya kamu mempersembahkan tubuhmu sebagai persembahan yang hidup, yang kudus dan yang berkenan kepada Allah: itu adalah ibadahmu yang sejati. Janganlah kamu menjadi serupa dengan dunia ini, tetapi berubahlah oleh pembaharuan budimu, sehingga kamu dapat membedakan manakah kehendak Allah: apa yang baik, yang berkenan kepada Allah dan yang sempurna.” Ibadah yang sejati di dalam konsep Kristen tidak seperti ibadah agama-agama sekuler yang antroposentris yang menghina tubuh, tetapi ibadah Kristen justru mempersembahkan tubuh untuk dikuduskan oleh Allah dan bagi kemuliaan Allah. Di dalam 1 Korintus 6:19-20, Rasul Paulus bahkan berkata, “Atau tidak tahukah kamu, bahwa tubuhmu adalah bait Roh Kudus yang diam di dalam kamu, Roh Kudus yang kamu peroleh dari Allah, --dan bahwa kamu bukan milik kamu sendiri? Sebab kamu telah dibeli dan harganya telah lunas dibayar: Karena itu muliakanlah Allah dengan tubuhmu!” Dua premis yang diajarkan Paulus di dalam bagian ini, yaitu : pertama, tubuh kita yang dikuduskan adalah bait Roh Kudus. Artinya, di dalam tubuh kita, Roh Kudus berdiam. Kedua, karena Roh Kudus berdiam di dalam tubuh kita dan Kristus telah menebus kita baik tubuh maupun jiwa, maka kita harus memuliakan Allah dengan tubuh kita. Ingatlah, Kristus menebus kita bukan hanya jiwa saja, tetapi juga tubuh, sehingga nanti pada saat Kristus datang kedua kalinya, kita akan dibangkitkan secara tubuh. Pengertian Kristen akan tubuh jasmani ini jauh melampaui semua pengertian tubuh jasmani dari filsafat maupun agama manapun di dunia ini, karena Alkitab adalah Firman Allah yang jauh melampaui hikmat manusia yang terbatas dan berdosa, tetapi herannya tidak pernah sadar terbatas dan berdosa.

Keempat, puasa sebagai sarana penghapus dosa. Lebih mengasihankan lagi, ketika puasa dimengerti sebagai sarana penghapus dosa. Dengan kata lain, berbuat dosa lah sebejat mungkin, korupsi lah sebanyak mungkin, berzinahlah dengan semua perempuan (kalau perlu), maka untuk membersihkan semua aib dosa ini, marilah berpuasa. Orang yang berpikiran normal akan tertawa membaca dan mengerti pernyataan ini. Perbuatan baik bisa menebus dan menghapus dosa ? Seorang filsuf atheis saja pernah mengatakan bahwa kebajikan itu dilakukan untuk kebajikan itu sendiri. Bagaimana mungkin orang yang mengaku diri beragama bahkan pemimpin agama mengajarkan bahwa perbuatan baik dilakukan supaya masuk “surga” dan menghapus dosa. Bahkan ada yang mengajarkan perbuatan baik kita nanti ditimbang di “akhirat”, kalau perbuatan baik kita lebih berat daripada perbuatan jahat, kita bakal masuk “surga”, sedangkan kalau sebaliknya, maka kita bakal masuk “neraka”. Pdt. Thomy J. Matakupan (GRII Andhika, Surabaya) pernah menanyakan konsep tidak masuk akal ini, jika timbangannya seimbang, bagaimana jadinya ? Lantas, timbullah jawaban bahwa tergantung angin mana yang bertiup, kalau angin “surga” bertiup, maka orang itu masuk “surga”, tetapi jika apesnya, angin “neraka” bertiup, maka orang itu masuk neraka. Dengan kata lain, ketika orang beragama berbuat “baik”, mereka melakukannya demi “sesuap icipan ‘surga’”. Sungguh mengasihankan konsep ini.




Theologia Puasa Menurut Alkitab
Lalu, bagaimana tanggapan dan jawaban pengajaran Alkitab tentang puasa ? Puasa di dalam keKristenan tidak bisa dipisahkan dari doktrin/theologia, maka judul dari artikel ini adalah Theologia Puasa. Spiritualitas/kerohanian yang beres tidak bisa dilepaskan dari theologia yang sehat dan bertanggungjawab, sehingga ketika theologianya kacau dan tidak karuan (Jawa : amburadul), maka dapat dipastikan menghasilkan kerohanian yang kacau dan tidak berdasar. Oleh karena itu, mari kita belajar tentang doktrin berpuasa ini.

Theologia puasa yang berdasarkan Alkitab tidak bisa dilepaskan dari pengakuan inti Alkitab tentang kedaulatan Allah. Theologia Reformed yang berintikan kedaulatan Allah mengajarkan bahwa Allah itu adalah Allah yang Berdaulat, Kekal, yang mutlak pada diri (self-existence of God), tidak bergantung pada siapa dan apapun juga, Mahakudus, Mahaadil, Mahakasih, Kebenaran sejati (Inggris : Truth ; Yunani : aletheia) dan Sumber Kejujuran Sejati. Sehingga di dalam doktrin kedaulatan Allah, Allah yang Mahakuasa dan di luar Allah, makhluk ciptaan-Nya harus tunduk dan taat mutlak kepada-Nya. Tetapi kedaulatan Allah TIDAK pernah meniadakan tindakan manusia, sehingga di dalam theologia Reformed, kita mendapatkan keseimbangan yang konsisten sesuai dengan Alkitab bahwa kedaulatan Allah dan tindakan manusia bekerja bersama-sama (tetapi tidak di dalam hal iman dan keselamatan). Sedangkan “theologia” Arminian terlalu menekankan kehendak bebas manusia dan menghina kedaulatan Allah, di lain pihak Hyper-Calvinisme terlelau menekankan kedaulatan Allah dan membuang tindakan manusia, sehingga Hyper-Calvinisme lebih mirip takdirisme ketimbang ajaran Alkitab. Meskipun adanya keseimbangan antara kedaulatan Allah dan tanggung jawab manusia, theologia Reformed tetap menekankan kedaulatan Allah yang memimpin dan menuntun tanggung jawab manusia. Dengan kata lain, kehendak dan wahyu-Nya menjadi standar bagi umat-Nya untuk memuliakan-Nya. Artinya, wahyu-Nya memimpin manusia makin mengenal apa yang diinginkan-Nya untuk memuliakan-Nya. Dengan dasar wahyu Allah di dalam Alkitab inilah, kita mendapatkan banyak pengajaran penting tentang puasa yang berkenan di hadapan-Nya (bukan di hadapan manusia berdosa).

Kedua, selain kedaulatan Allah, theologia puasa berpusatkan pada finalitas karya penebusan Kristus. Artinya, kita melakukan spiritualitas berpuasa BUKAN sebagai syarat masuk “surga”, tetapi sebagai respon ucapan syukur kita karena telah diselamatkan di dalam karya penebusan Kristus yang final dan tiada tara agungnya. Dengan kata lain, kita berpuasa murni dengan tujuan untuk memuliakan Allah dan motivasinya untuk mengasihi Allah karena kita telah diselamatkan di dalam karya penebusan Kristus.

Ketiga, theologia berpuasa juga berkaitan erat dengan doktrin Roh Kudus (Pneumatologi). Apa kaitannya ? Karena kita berpuasa untuk mengasihi Allah, maka Roh Kudus akan menguatkan dan mencerahkan kita untuk semakin mengasihi, menghormati, dan takut akan Allah serta memuliakan-Nya. Di dalam berpuasa, kita mungkin mengalami kelemahan fisik, tetapi percayalah, Allah Roh Kudus akan menguatkan kita untuk mengasihi Allah.

Dari ketiga theologia utama yang berkaitan dengan puasa, mari kita menyelidiki bagian Alkitab yang membicarakan tentang puasa sebagai implikasi praktisnya.

Ensiklopedia Alkitab Masa Kini Jilid II mengartikan puasa, sebagai berikut,
“Berpuasa dalam Alkitab pada umumnya berarti tidak makan dan tidak minum selama waktu tertentu (Ester 4:16), bukan melulu menjauhkan diri dari beberapa makanan tertentu.” (hlm 280)

Definisi ini cukup menarik dan sangat berbeda dari konsep puasa dari agama-agama dunia yang telah dipaparkan di atas yaitu menjauhkan diri dari pencobaan. Puasa Kristen BUKAN menjauhkan diri dari pencobaan, sehingga kalau ada pencobaan, kita cepat-cepat lari (ngibrit), tetapi puasa Kristen hanya tidak makan dan tidak minum selama waktu tertentu (tidak lama), itu artinya meskipun ada makanan dan minuman, orang Kristen yang berpuasa tidak melarikan diri, tetapi tetap di tempatnya semula hanya mereka berani menyangkal diri.

Selanjutnya, Ensiklopedia Alkitab Masa Kini Jilid II ini memberikan prinsip-prinsip berpuasa di dalam Alkitab baik di dalam Perjanjian Lama (PL) maupun Perjanjian Baru (PB). Berikut prinsip-prinsip puasa yang saya gabungkan dari buku ini :
1. Puasa sebagai sarana untuk merendahkan diri di hadapan Allah.
Pertama, puasa di dalam Perjanjian Lama dipandang sebagai sarana untuk merendahkan diri di hadapan Allah. Hal ini dijelaskan di dalam Taurat Musa, Imamat 16:29-30, “Inilah yang harus menjadi ketetapan untuk selama-lamanya bagi kamu, yakni pada bulan yang ketujuh, pada tanggal sepuluh bulan itu kamu harus merendahkan diri dengan berpuasa dan janganlah kamu melakukan sesuatu pekerjaan, baik orang Israel asli maupun orang asing yang tinggal di tengah-tengahmu. Karena pada hari itu harus diadakan pendamaian bagimu untuk mentahirkan kamu. Kamu akan ditahirkan dari segala dosamu di hadapan TUHAN.” Ayat serupa juga dijumpai di dalam Imamat 23:27-32 dan Bilangan 29:7 bahwa puasa dilakukan oleh orang Israel di Hari Pendamaian. Selain itu, di dalam Ezra 8:21 juga dikatakan, “Kemudian di sana, di tepi sungai Ahawa itu, aku memaklumkan puasa supaya kami merendahkan diri di hadapan Allah kami dan memohon kepada-Nya jalan yang aman bagi kami, bagi anak-anak kami dan segala harta benda kami.” Sungguh menarik apa yang firman Tuhan katakan. Puasa dikaitkan langsung pendamaian dosa dari Allah bagi manusia. Ketika manusia merendahkan diri di hadapan Allah, Allah melayakkan dan mendamaikan mereka dengan menahirkan dari segala dosa. Inilah keunikan wahyu Allah yang TIDAK pernah dijumpai pada agama atau filsafat apapun. Lalu, apa bedanya dengan konsep puasa agama-agama dunia yaitu mendekatkan diri kepada Allah ? Bedanya kalau agama-agama dunia memahami puasa sebagai sarana untuk mendekatkan diri kepada Allah dengan asumsi bahwa tubuh ini jahat dan jiwa ini baik, sedangkan di dalam Alkitab, kita mempelajari puasa sebagai sarana untuk merendahkan diri di hadapan Allah dengan TIDAK memandang kehinaan tubuh tetapi mempergunakan tubuh yang berdosa untuk disucikan oleh Allah dan bagi kemuliaan Allah.

2. Puasa sebagai sarana untuk bertobat.
Selain merendahkan diri di hadapan Allah, puasa juga dimengerti sebagai sarana untuk bertobat. 1 Samuel 7:5-6 menjelaskan bagian ini, “Lalu berkatalah Samuel: "Kumpulkanlah segenap orang Israel ke Mizpa; maka aku akan berdoa untuk kamu kepada TUHAN." Setelah berkumpul di Mizpa, mereka menimba air dan mencurahkannya di hadapan TUHAN. Mereka juga berpuasa pada hari itu dan berkata di sana: "Kami telah berdosa kepada TUHAN." Dan Samuel menghakimi orang Israel di Mizpa.” Hal serupa dapat dijumpai pada 1 Raj. 21:27 ; Neh. 9:1-2 ; Dan. 9:3-4 ; Yun. 3:5-8. Berbeda dari konsep puasa dari agama-agama dunia bahwa puasa menjauhkan diri dari pencobaan, maka puasa dalam Alkitab sebagai sarana untuk berbalik 180 derajat dari semua pencobaan dan kejahatan serta kembali kepada Allah. Dari sini, saya mengatakan bahwa puasa berkaitan erat dengan transformasi hidup Kristen secara radikal bagi Allah. Memang bukan merupakan keharusan orang bertobat untuk berpuasa, tetapi puasa ada hubungannya dengan pertobatan.

3. Puasa sebagai tanda berdukacita.
Puasa di dalam Perjanjian Lama juga digambarkan sebagai tanda berdukacita atas kekalahan atau meninggalnya seseorang. Hal ini dijelaskan di dalam 1 Samuel 31:13, “Mereka mengambil tulang-tulangnya lalu menguburkannya di bawah pohon tamariska di Yabesh. Sesudah itu berpuasalah mereka tujuh hari lamanya.” Selain itu, ayat-ayat Perjanjian Lama lainnya juga menjelaskan bagian ini, yaitu : 2 Sam. 1:12 ; 3:35 ; Neh. 1:4 ; Est. 4:3 ; Mzm. 35:13-14.

4. Puasa sebagai sarana untuk memperoleh bimbingan dan pertolongan Allah.
Puasa juga sebagai sarana untuk memperoleh bimbingan dan pertolongan Allah, seperti yang dijelaskan di dalam Keluaran 34:28, “Dan Musa ada di sana bersama-sama dengan TUHAN empat puluh hari empat puluh malam lamanya, tidak makan roti dan tidak minum air, dan ia menuliskan pada loh itu segala perkataan perjanjian, yakni Kesepuluh Firman.” Hal ini juga dijumpai di dalam Ulangan 9:9 ; 2 Samuel 12:16-23 ; 2 Tawarikh 20:3-4 ; Ezra 8:21-23. Dengan kata lain, puasa sebagai sarana untuk lebih mengetahui kehendak Allah bagi manusia (BUKAN kehendak manusia agar dimengerti oleh Allah). Bukankah ini lebih Theosentris ketimbang konsep puasa dari agama-agama dunia yang antroposentris yang telah dijelaskan di atas ??

5. Puasa harus disertai dengan tindakan sehari-hari yang beres.
Bangsa Israel di dalam Perjanjian Lama digambar sebagai bangsa yang tegar tengkuk dan munafik. Ini terbukti dari “iman” mereka yang menganggap bahwa puasa bisa memuaskan Allah atau menjamin bahwa Allah pasti mendengar keinginan mereka (persis seperti konsep puasa dari agama-agama dunia di atas). Di dalam Kitab Yesaya 58:3-4, mereka berkata, “Mengapa kami berpuasa dan Engkau tidak memperhatikannya juga? Mengapa kami merendahkan diri dan Engkau tidak mengindahkannya juga?" Sesungguhnya, pada hari puasamu engkau masih tetap mengurus urusanmu, dan kamu mendesak-desak semua buruhmu. Sesungguhnya, kamu berpuasa sambil berbantah dan berkelahi serta memukul dengan tinju dengan tidak semena-mena. Dengan caramu berpuasa seperti sekarang ini suaramu tidak akan didengar di tempat tinggi.” Lalu, Tuhan menegur mereka melalui nabi Yesaya di dalam Yesaya 58:6-11, “Berpuasa yang Kukehendaki, ialah supaya engkau membuka belenggu-belenggu kelaliman, dan melepaskan tali-tali kuk, supaya engkau memerdekakan orang yang teraniaya dan mematahkan setiap kuk, supaya engkau memecah-mecah rotimu bagi orang yang lapar dan membawa ke rumahmu orang miskin yang tak punya rumah, dan apabila engkau melihat orang telanjang, supaya engkau memberi dia pakaian dan tidak menyembunyikan diri terhadap saudaramu sendiri! Pada waktu itulah terangmu akan merekah seperti fajar dan lukamu akan pulih dengan segera; kebenaran menjadi barisan depanmu dan kemuliaan TUHAN barisan belakangmu. Pada waktu itulah engkau akan memanggil dan TUHAN akan menjawab, engkau akan berteriak minta tolong dan Ia akan berkata: Ini Aku! Apabila engkau tidak lagi mengenakan kuk kepada sesamamu dan tidak lagi menunjuk-nunjuk orang dengan jari dan memfitnah, apabila engkau menyerahkan kepada orang lapar apa yang kauinginkan sendiri dan memuaskan hati orang yang tertindas maka terangmu akan terbit dalam gelap dan kegelapanmu akan seperti rembang tengah hari. TUHAN akan menuntun engkau senantiasa dan akan memuaskan hatimu di tanah yang kering, dan akan membaharui kekuatanmu; engkau akan seperti taman yang diairi dengan baik dan seperti mata air yang tidak pernah mengecewakan.” Dengan kata lain, Tuhan tidak mau ibadah puasa dilakukan tanpa disertai dengan tindakan yang beres dan memuliakan Allah. Spiritualitas sejati didasarkan pada ketaatan akan keseluruhan perintah Allah melalui pengudusan Roh Kudus secara terus-menerus. Spiritualitas yang meniadakan ketaatan mutlak kepada Allah bukanlah spiritualitas sejati, tetapi spiritisme yang mistik !

6. Puasa BUKAN untuk dilihat orang, tetapi dilihat oleh Allah.
Terakhir, sebagai kesimpulan, satu-satunya Wahyu Allah yang mutlak, Alkitab melihat puasa BUKAN sebagai tindakan yang dilihat orang, tetapi sebagai tindakan yang dilihat Allah. Dalam hal ini, Tuhan Yesus, Pribadi kedua Allah Trinitas sendiri mengajar kepada umat-Nya, “Dan apabila kamu berpuasa, janganlah muram mukamu seperti orang munafik. Mereka mengubah air mukanya, supaya orang melihat bahwa mereka sedang berpuasa. Aku berkata kepadamu: Sesungguhnya mereka sudah mendapat upahnya. Tetapi apabila engkau berpuasa, minyakilah kepalamu dan cucilah mukamu, supaya jangan dilihat oleh orang bahwa engkau sedang berpuasa, melainkan hanya oleh Bapamu yang ada di tempat tersembunyi. Maka Bapamu yang melihat yang tersembunyi akan membalasnya kepadamu.” (Matius 6:16-18) Carilah di dalam semua agama atau filsafat apapun, adakah yang lebih agung dan mulia daripada perkataan agung dan suci dari Tuhan Yesus Kristus ini bahwa berpuasa yang terpenting bukan untuk dipertontonkan kepada manusia untuk selanjutnya dianggap “suci”, “religius”, dll (seperti puasa dan doanya orang Farisi), tetapi esensi puasa adalah untuk dilihat Allah dan memuliakan Allah. KeKristenan dan Alkitab selalu memandang esensi dari segala sesuatu bukan sekedar fenomena lahiriah yang banyak menipu. Jangan mengira orang yang secara fenomena berpuasa, secara esensi hidupnya beres ! Alkitab sudah membukakan banyak kelicikan manusia berdosa bahwa mereka kelihatan beribadah di luar, kalau perlu menggunakan pengeras suara, supaya orang luar tahu bahwa mereka beribadah, tetapi kelakuan mereka sangat busuk. Orang-orang Farisi dan para ahli Taurat sudah menjadi bukti konkret dari kritikan pedas Tuhan Yesus tentang kemunafikan mereka di dalam Matius 23. Ingatlah! Tuhan melihat hati, sedangkan manusia lebih gemar melihat fenomena luar. Ketika melihat Eliab, nabi Samuel sempat goyang hatinya, tetapi Allah menguatkan hatinya bahwa Ia hanya memilih Daud menggantikan Saul dengan berkata, “Janganlah pandang parasnya atau perawakan yang tinggi, sebab Aku telah menolaknya. Bukan yang dilihat manusia yang dilihat Allah; manusia melihat apa yang di depan mata, tetapi TUHAN melihat hati.” (1 Samuel 16:7) Inilah esensi sejati yang HANYA dimengerti oleh orang Kristen yang mendapatkan anugerah khusus dari Allah yaitu mengerti isi hati Tuhan BUKAN mengerti isi hati manusia berdosa !

Implikasi-implikasi Praktis Di dalam Puasa
Setelah kita mengerti makna dan motivasi yang meres di dalam puasa dari sudut pandang Alkitab, pertanyaannya apakah saat ini, orang Kristen masih perlu puasa ? Lalu, apa motivasinya dan kapan dilakukannya ?

Puasa masih perlu dilakukan oleh orang Kristen di mana saja dan kapan saja, tetapi yang perlu diperhatikan adalah apakah motivasi puasa tersebut memuliakan Allah atau hendak memuaskan hawa nafsu manusia berdosa ? Selama motivasi puasa kita tidak beres di mata Allah, yaitu hendak memuaskan hawa nafsu dan keinginan kita yang berdosa, adalah lebih baik bagi kita untuk TIDAK pernah berpuasa, sampai motivasi kita berpuasa beres di hadapan Allah.

Kapankah kita perlu berpuasa ? Kita perlu berpuasa ketika menghadapi situasi yang sulit berperang melawan setan, misalnya mengadakan KKR (Kebaktian Kebangunan Rohani) atau Kebaktian Penginjilan atau acara Retreat/Camp Rohani. Di dalam momen penting inilah, kita perlu dan bahkan harus berpuasa, karena dengan berpuasa, kita mengandalkan kuasa Allah untuk melawan setan dan para kroninya di dalam acara penginjilan, karena kita percaya di dalam penginjilan, setan pasti tidak akan pernah tinggal diam untuk mengganggu penginjilan, entah dalam bentuk dipersulitnya acara, gangguan keamanan, gangguan cuaca, dll.

Puasa bukan hanya sekedar menahan diri dari makanan dan minuman atau tidak makan dan tidak minum, puasa secara esensial berarti menyangkal diri. Percuma saja, kita hebat di dalam menahan untuk tidak makan/tidak minum (bisa menahan karena sedang diet), tetapi kita tidak dapat menahan diri ketika melihat barang-barang bagus atau film-film bagus, dll. Puasa harus mencakup berbagai aspek, misalnya puasa menonton bioskop, puasa berbelanja/shopping, puasa jalan-jalan, dll. Ketika kita mulai bisa menyangkal diri dari berbagai tawaran dunia, pada saat itu pula kita mengerti kehendak Allah. Menyangkal diri tidak sama dengan tidak memiliki keinginan sama sekali. Banyak konsep puasa ala agama-agama dunia identik dengan meniadakan keinginan daging. Itu salah ! Setiap manusia pasti memiliki keinginan, keinginan itu yang perlu dikontrol, bukan untuk dihilangkan atau dibinasakan. Bagaimana untuk menyangkal diri ? Caranya adalah dengan berfokus kepada Kristus dan kehendak-Nya, maka kita secara aktif menolak keinginan daging dan menuruti kehendak Roh. Memang hal ini tidaklah mudah, karena setan paling aktif merayu kita untuk tidak taat kepada Allah, tetapi puji Tuhan, Roh Kudus memimpin dan mengarahkan hati dan pikiran kita untuk terus-menerus taat kepada Allah. Selain itu, dengan membaca dan mengerti Alkitab secara rutin, kita dapat mengalahkan godaan iblis dan memenangkan setiap pencobaan. Menang atas pencobaan TIDAK pernah mungkin dialami oleh orang-orang di luar Kristus, tetapi kita bisa menang atas pencobaan karena Tuhan Yesus Kristus sudah mengalahkan pencobaan iblis dan kemenangan-Nya menjamin kemenangan kita sebagai umat pilihan-Nya dalam mengalahkan pencobaan. Haleluya.

Setelah kita merenungkan kelemahan fatal konsep puasa dari agama-agama dunia yang antroposentris dan keagungan konsep puasa dalam Alkitab, maukah kita hari ini juga bertobat dari kemunafikan kita menjalankan ibadah kita serta kembali kepada Kristus yang telah menebus dan menyelamatkan manusia pilihan-Nya dari dosa supaya mereka dapat beribadah dengan motivasi, hati dan tujuan yang beres di hadapan Allah ? Ingatlah, Tuhan melihat hati, bukan seperti yang kita lihat yang lebih gemar melihat fenomena lahiriah yang banyak menipu. Tuhan yang melihat hati adalah Tuhan yang tak pernah sedikit pun dapat ditipu. Oleh karena itu, sebagai umat pilihan-Nya di dalam Kristus, hendaklah kita juga jangan menipu diri dengan beragam fenomena religius tetapi tidak memiliki esensi iman sejati. Sudah seharusnya, orang Kristen sejati menjadi teladan hidup khususnya di dalam berpuasa, supaya orang-orang yang belum Kristen melihat terang Injil dan melalui anugerah-Nya, Roh Kudus memimpin mereka untuk kembali kepada Kristus. Biarlah segala puji, hormat dan kemuliaan hanya bagi Allah Bapa dan Allah Putra dan Allah Roh Kudus yang telah mencipta, menebus dan menyempurnakan kita. Amin... Soli Deo Gloria...Solus Christus.

"Injil" Sosial : Suatu Tinjauan Kritis (Ev. Yakub Tri Handoko, Th.M.)

“INJIL” SOSIAL : Suatu Tinjauan Kritis

oleh : Ev. Yakub Tri Handoko, Th.M.



“injil” Sosial (Social “gospel”) merupakan gerakan intelektual di kalangan orang Kristen Protestan yang populer pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20. Inti dari gerakan ini terletak pada usaha untuk menerapkan prinsip-prinsip Kristiani ke dalam berbagai masalah sosial, misalnya kemiskinan, kekurangan gizi, ketidakadilan, perbudakan, diskriminasi, tensi rasial, bahaya perang. Walaupun di negara lain ada fenomena yang mirip dengan “injil” Sosial - misalnya Sosialisme Kristen di Inggris dan Cooperative Commonweath Federation (CCF) di Kanada - gerakan “injil” Sosial biasanya dipahami sebagai gerakan teologi Amerika yang unik. Para penganut “injil” Sosial meyakini bahwa perbaikan (penyamarataan) kesehatan, edukasi dan status sosial akan berdampak pada peningkatan moralitas mereka. Menurut mereka, jika keadaan masyarakat terus memburuk dan terpecah, maka gereja juga akan mengalami kemunduran.

Sejarah
Kemunculan gerakan “injil” Sosial di Amerika merupakan respon terhadap berbagai masalah sosial yang tumbuh di Amerika seiring dengan perkembangan industri perkotaan. Situasi hidup di kota yang semakin maju membuat kontras antara masyarakat yang mampu dengan yang miskin menjadi makin kentara. Kemakmuran hidup hanya dinikmati oleh beberapa orang. Menurut sebuah catatan, pada tahun 1890 separuh lebih kekayaan seluruh Amerika berada di tangan 1% penduduknya. Hal ini sangat kontras dengan banyaknya tempat perkampungan kumuh yang sangat memprihatinkan: tingkat gizi yang buruk, edukasi yang sangat rendah dan terlantarnya anak-anak akibat orang tua harus bekerja melampaui waktu demi memenuhi kebutuhan hidup mereka. Situasi yang sangat kontras ini berpotensi menimbulkan berbagai masalah, dari politik (pemerintah hanya berpihak pada dan bisa diatur oleh orang kaya) sampai moral (orang miskin cenderung berbuat kriminal, sedangkan orang kaya sangat dekat dengan dekadensi moral). Gereja akhirnya semakin peka terhadap potensi masalah ini setelah terjadi beberapa kerusuhan berdarah pada tahun 1877, 1892 dan 1894 yang muncul sebagai reaksi terhadap situasi di atas.

Faktor lain yang turut mempersiapkan kelahiran “injil” Sosial adalah ketertarikan terhadap ilmu sosial dan sosialisme. Perubahan sosial yang terjadi begitu cepat mendorong orang untuk memikirkan hal itu secara serius dan sistematis. Tahun 1880 pelajaran sosiologi telah diajarkan secara luas di berbagai perguruan tinggi. Tahun 1900 pelajaran ini bahkan diajarkan di berbagai sekolah teologi Protestan maupun Katholik. Sementara itu, sikap gereja terhadap sosialisme juga perlahan mulai berubah. Kalau pada tahun 1880 hampir semua rohaniwan Kristen menolak sosialisme, pada tahun 1890 sebagian di antara mereka menyambut paham ini.

Situasi di atas semakin diperparah dengan respon gereja secara umum. Di satu sisi gereja yang beraliran liberal terjebak pada konsep sekularisme. Doktrin ortodoks yang penting mulai ditinggalkan, sehingga kehidupan orang Kristen mulai mengalami dekadensi moral. Kekristenan menjadi tidak lebih dari sekedar tradisi yang tidak mengikat dalam kehidupan sehari-hari. Di sisi lain gereja yang Injili terjebak pada dikotomi antara gereja dan negara. Kekristenan hanya dipahami dalam dua lingkup: kalimat-kalimat proposional (doktrin) dan pengalaman spiritual pribadi dengan Tuhan.

Semua keadaan di atas mendorong sebagian orang untuk mengupayakan integrasi antara pembangunan teologi dan langkah-langkah konkrit untuk mengatasi berbagai masalah sosial tersebut. Dari sisi pembangunan teologi, mereka berpendapat bahwa gerakan “injil” Sosial berakar kuat dari tradisi Alkitab (lihat pembahasan lebih detil di bagian Teologi “injil” Sosial). Dari sisi praktis, mereka melakukan langkah-langkah konkrit melalui berbagai gerakan buruh. Mereka menentang pemanfaatan anak-anak sebagai tenaga kerja. Mereka juga berusaha menentang peraturan 12 jam kerja yang diberlakukan di beberapa tempat. Mereka tidak lupa menyediakan tempat tinggal yang layak bagi orang-orang miskin, menyediakan obat-obatan dan makanan yang memadai serta memberikan pendidikan dan latihan ketrampilan supaya orang-orang miskin mampu meningkatkan taraf hidup mereka.

Sebagai sebuah gerakan teologi, “injil” Sosial dipopulerkan melalui kotbah-kotbah, kuliah-kuliah dan berbagai tulisan. Tulisan pertama yang mewakili “injil” Sosial adalah Working People and Their Employers (1876) karya Washington Gladden (1836-1918). Walter Rauschenbusch (1861-1918), yang dijuluki pemberita “injil” Sosial yang terkemuka, turut mempopulerkan teologi “injil” Sosial melalui penerbitkan empat bukunya, masing-masing: Christianity and the Social Crisis (1907), Christianizing the Social Order (1912), The Social Principles of Jesus (1916) dan A Theology for the Social “gospel” (1917). Karya lain yang juga tidak boleh diremehkan adalah dua novel karya Charles Sheldon yang berjudul In His Steps (1897) dan The Reformer (1902). Walaupun berjenis sastra novel, namun karya Sheldon sangat berpengaruh. Rauschenbusch menyatakan bahwa teologinya diilhami oleh novel-novel Sheldon. Selain itu, dua novel ini merupakan alat propaganda yang sangat efektif di kalangan orang awam.

Kesuksesan “injil” Sosial dapat dilihat dari menjamurnya berbagai institusi Kristen atau sekuler yang bernuansa Kristiani yang berkecimpung dalam masalah sosial, baik yang sekedar berkecimpung dalam bantuan sosial maupun yang sampai menganut teologi “injil” Sosial, misalnya Bala Keselamatan, Christian Herald, New Democratic Party (NDP) di Kanada, Cooperative Commonwealth Federation (CCF). “injil” Sosial juga berhasil melahirkan banyak tokoh Kristen, misalnya Lyman Abbott, Charles Henderson, Shailer Mathews, Frances Peabody, Charles Stelzle, Graham Taylor. Salah satu bukti utama kesuksesan “injil” Sosial adalah pembentukan Federal Council of Churches pada tahun 1908 dengan pengakuan iman sosialnya. Persekutuan gereja yang khusus memperhatikan masalah sosial ini melibatkan hampir semua denominasi gereja yang utama, seperti Baptis, Kongregasional, Episkopalian, Methodis dan Presbyterian.

Gerakan “injil” Sosial sempat mengalami kemunduran secara signifikan seiring dengan kematian Gladden dan Rauschenbusch pada tahun 1918 serta Perang Dunia I yang selanjutnya diikuti oleh kekacauan ekonomi dan politik. Kekacauan keadaan pasca perang menyadarkan orang banyak bahwa ide transformasi sosial versi “injil” Sosial hanyalah sebuah utopia. Walaupun “injil” Sosial tetap bertahan sampai tahun 1930-an, namun pengaruhnya semakin lama semakin sirna. Faktor lain yang turut memperlemah pengaruh “injil” Sosial adalah menurunnya pengaruh teologi liberal di kalangan gereja-gereja besar.

Kemunduran di atas tidak berarti hilangnya gerakan ini. Inti gerakan ini – yaitu mengaplikasikan prinsip Kristen dalam kehidupan sosial – tetap dianut banyak gereja dalam berbagai bentuknya. Gereja-gereja dari kalangan Injili mulai berbenah dan memperhatikan masalah-masalah di luar gereja. Gereja-gereja yang liberal tidak henti-hentinya mempopulerkan gerakan ini. Beberapa tokoh modern dari gerakan “injil” Sosial antara lain Brian McLaren (The Secret Message of Jesus, A Generous Orthodoxy) dan Rob Bell (Velvet Elvis: Repainting The Christian Faith).


Teologi “injil” Sosial
Seperti sudah dipaparkan sebelumnya, “injil” Sosial bukan hanya sekedar gerakan kemanusiaan melalui institusi-institusi sosial Kristen. Gerakan ini juga merupakan sebuah pembangunan teologi. Sebagai sebuah sistem teologi, “injil” Sosial memiliki beberapa penekanan doktrinal.

Konsep paling penting dalam “injil” Sosial adalah tentang Kerajaan Allah. Berdasarkan penekanan ini pula “injil” Sosial sering disebut sebagai “injil” Kerajaan. Menurut Rauschenbusch, Kerajaan Allah bukanlah sesuatu yang transenden dan abstrak. Kerajaan Allah juga tidak dilihat dalam perspektif kedatangan Tuhan Yesus kedua kali secara spektakuler di langit pada akhir jaman. Kerajaan Allah adalah hasil usaha manusia berupa sebuah komunitas yang berkembang di tengah-tengah orang percaya. Kerajaan Allah tidak terdiri dari kumpulan orang-orang yang ditebus, tetapi orang-orang yang memiliki perhatian sama terhadap masalah etika hidup. Konsep seperti ini dianggap sebagai inti dari “injil” yang diberitakan Yesus. Mereka bahkan menganggap bahwa orang-orang Kristen telah menggantikan inti “injil” yang universal dengan konsep tentang “gereja” yang sifatnya hanya domestik.

Penganut “injil” Sosial mengakui bahwa reformasi sosial bisa sangat berbahaya jika tidak didukung oleh teologi. Mereka juga menegaskan bahwa perubahan sosial tidak akan terjadi tanpa intervensi Kristus dan Roh Kudus. Bagi mereka, Allah berada di dalam budaya dan terus mengubah budaya tersebut menjadi lebih baik. Walaupun mereka tetap mengakui signifikansi teologi Kristen, namun mereka juga mengakui bahwa kerangka berpikir mereka lebih banyak dipengaruhi oleh pemikiran sosiologi sekuler. Frase “hukum-hukum perkembangan sosial”, “pemahaman ilmiah tentang masyarakat” dan “evolusi institusi sosial” sering muncul dalam buku Rauschenbusch. Pendeknya, “injil” Sosial sebenarnya lebih dipengaruhi oleh dogma Darwin, Marx dan Herbert Spencer daripada ajaran Alkitab.

Konsep Kerajaan Allah yang imanen dan konkrit seperti di atas dengan mudah mendapat tempat di kalangan orang Kristen. Ada dua faktor di balik penerimaan konsep ini. Gereja sebelumnya cenderung terlalu individualistik dengan penekanannya pada hubungan vertikal (antara Allah dan manusia secara pribadi) saja. Dengan demikian, gereja sebagai sebuah komunitas memang sudah tidak berperan secara signifikan. Selain itu, konsep Kerajaan Allah yang imanen seperti ini berhasil meniadakan dikotomi antara yang sakral dan sekuler. Allah bukan hanya terlibat pada “perkara-perkara rohani” – misalnya doa, meditasi, pembacaan Alkitab, kebaktian dan pelayanan gerejawi – tetapi juga secara aktif mengubah dunia. Orang Kristen terpanggil untuk merealisasikan Kerajaan Allah di bumi melalui penerapan prinsip Kristen dalam aspek sosial.

Konsep teologis lain yang diajarkan “injil” Sosial yang masih berkaitan dengan penjelasan di atas adalah tentang eskhatologi (hal-hal yang berkaitan dengan akhir jaman atau kehidupan setelah kematian). Para tokoh “injil” Sosial menolak doktrin kedatangan Kristus di akhir jaman untuk membawa keadilan dan kemurahan yang sempurna. Bagi mereka Kerajaan Allah bersifat kekinian dan berbentuk perubahan tatanan sosial. Fokus mereka adalah bagaimana mengubah situasi modern sekarang, bukan menantikan kehidupan kekal di surga.

Konsep lain yang ditekankan para tokoh “injil” Sosial adalah keyakinan bahwa manusia pada dirinya sendiri mampu berbuat baik, bahkan mengadakan perbaikan sosial. Manusia hanya perlu menemukan kembali kebaikan alamiah yang sudah diberikan pada setiap manusia. Dengan konsep seperti ini, penganut “injil” Sosial mengabaikan perlunya kelahiran kembali maupun pertobatan pribadi. Mereka juga mengajarkan bahwa kebaikan alamiah ini dimiliki oleh setiap manusia terlepas dari iman yang mereka anut. Tidak heran, penganut “injil” Sosial merasa tidak perlu memberikan Injil keselamatan di dalam Kristus kepada orang lain, walaupun mereka mengakui bahwa menjadi Kristen adalah pilihan yang lebih baik. Mereka hanya mendorong tumbuhnya gandum-gandum yang baik dari segala agama serta membiarkan Allah sendiri yang akan menyeleksi gandum tersebut (Brian McLaren, A Generous Orthodoxy, 255).

Pandangan di atas tidak berarti bahwa penganut “injil” Sosial menyangkali faktualitas dosa. Mereka tetap mengakui kekuatan dosa yang mengerikan. Bagaimanapun, mereka membedakan dosa menjadi dosa individu dan dosa sosial. Di antara dua jenis dosa ini, mereka memberikan penekanan yang lebih besar pada yang terakhir. Kalau kekristenan tradisional berpendapat bahwa keselamatan individu-individu pada akhirnya akan membawa imbas pada perbaikan sosial, “injil” Sosial mengajarkan bahwa indvidu-individu hanya dapat meninggalkan gaya hidup dan kebiasaan mereka yang berdosa apabila mereka dibebaskan dari tatanan ekonomi dan sosial yang membuat mereka berdosa. Reformasi sosial akan membawa banyak orang kepada “pertobatan” ketika pemerintah dan berbagai institusi sosial mengajarkan kasih persaudaraan antar sesama. Perubahan sosial seperti ini hanya akan terjadi melalui langkah-langkah konkrit, misalnya demonstrasi (pengerahan massa), pemboikotan, propaganda media maupun kampanye politik.

Dengan konsep dosa seperti itu, penebusan dipahami oleh para tokoh “injil” Sosial hanya sebagai rekonsiliasi penderitaan dan kasih yang menunjukkan kemenangan Kristus atas dosa dan kasih-Nya kepada Allah. Yesus ditampilkan bukan sebagai penyelamat orang-orang berdosa dari dosa-dosa mereka, tetapi sebagai seseorang yang memiliki hasrat sosial untuk masyarakat. Yesus berkomitmen untuk merealisasikan tatanan sosial baru di bumi ini. Jadi, Yesus tidak ditampilkan sebagai juru selamat secara rohani, tetapi tokoh pembebas sosial yang revolusioner.


Evaluasi terhadap “injil” Sosial
Terlepas dari berbagai penyimpangan teologis yang ada dalam “injil” Sosial – seperti akan dijelaskan pada bagian berikutnya – gerakan ini tetap memberikan kontribusi yang positif. Gerakan ini dalam taraf tertentu berhasil mengingatkan gereja supaya tidak eksklusif dan sibuk dengan urusan keagamaan yang sempit. “injil” Sosial menyadarkan gereja bahwa spiritualitas yang sejati tidak hanya dibatasi pada relasi vertikal dengan Allah, tetapi juga harus termanifestasikan ke dalam kehidupan sehari-hari di segala bidang.

Salah satu perubahan yang terjadi di kalangan orang Kristen Injili dapat dilihat dari munculnya neo-evangelisme yang dimotori oleh Carl F. H. Henry, Harold J. Ockenga dan Edward J. Carnell. Para pemikir ini berusaha menjembatani eksklusivitas orang-orang Kristen fundamentalis dengan orang-orang liberal yang terlalu sekuler. Terlepas dari kelemahan-kelemahan yang menyertai neo-evangelisme (lihat Harvie M. Conn, Teologia Kontemporer, ed. rev. 150-157), mereka paling tidak semakin menyadarkan gereja bahwa tugas gereja memang tidak terbatas pada ibadah vertikal saja.

Kontribusi positif dari “injil” Sosial juga dapat dilihat dari apa yang terjadi dalam kehidupan masyarakat yang lebih luas. Walaupun tidak melulu hasil dari upaya “injil” Sosial, namun tidak dapat disangkal bahwa munculnya berbagai institusi sosial Kristen merupakan buah dari gerakan ini. Mereka mengadakan berbagai pelatihan ketrampilan dan edukasi bagi kaum miskin. Mereka menyediakan makanan dan perawatan terhadap anak yatim-piatu, gelandangan maupun lansia. Dari sisi politik mereka berhasil mengurangi diskriminasi rasial maupun status ekonomi.

Kontribusi positif di atas tidak berarti bahwa “injil” Sosial bisa dibenarkan. Secara etis-filosofis, hasil yang baik tidak berarti justifikasi bagi tindakan yang dilakukan. Selain itu, perbaikan-perbaikan seperti di atas – terutama yang menyangkut masalah sosial – tidak hanya bisa diperoleh melalui “injil” Sosial. Banyak faktor turut mendukung terciptanya perubahan sosial tersebut. “injil” Sosial hanyalah salah satu elemen yang mempercepat terjadinya perubahan. Lebih jauh, perbaikan yang diadakan ternyata dapat dikategorikan sebagai kegagalan apabila dibandingkan dengan harapan “injil” Sosial yang terlalu tinggi terhadap perubahan sosial yang menyeluruh. Sama seperti gerakan sosialisme sekuler, “injil” Sosial tidak pernah mampu menghadirkan perubahan yang signifikan.

Apa saja kelemahan “injil” Sosial? Hal pertama yang perlu diketahui adalah nilai-nilai sekuler yang anti-Alkitab dalam gerakan ini. Sebagai sebuah fenomena dalam sejarah, “injil” Sosial sebenarnya tidak lebih dari sekedar korban jaman. Gerakan ini merupakan hasil yang tidak terelakkan dalam konteks kebangkitan sosialisme di seluruh dunia. Yang lebih parah, gerakan ini bukan hanya sekedar sesuatu yang tidak terelakkan, tetapi sesuatu yang memang dimanfaatkan. Inti dari gerakan ini adalah sosialisme. Penggunaan teks Alkitab tertentu untuk mendukung gerakan ini merupakan strategi pihak sosialis untuk menaklukkan Eropa dan Amerika yang beragama Kristen (Abraham Kuyper, Iman Kristen dan Problema Sosial, footnote 3, 26). Salah seorang tokoh “injil” Sosial yang bernama Harry F. Ward - menurut pengakuan Manning Johnson, anggota Partai Komunis, di depan Committee on Un-American Activities of the U.S. House of Representatives dalam Konggres ke 83 pada bulan Juli 1953 - adalah arsitek utama penyusupan dan subversi komunis ke ranah keagamaan.

“injil” Sosial bukan hanya imbas dari situasi jaman secara umum, namun juga dari liberalisme dalam bidang teologi. Gerakan ini dipelopori oleh para pemikir Kristen yang sangat dipengaruhi oleh semangat antisupranaturalisme dalam segala bentuknya. Evolusi naturalisme yang sangat mempengaruhi keyakinan “injil” Sosial merupakan produk dari teologi liberal yang meragukan kredibilitas Alkitab. Tentang hal ini, Rauschenbusch – dalam bukunya yang terakhir - bahkan meyakini bahwa teologinya adalah upaya meng-Kristenkan evolusi Darwin (Mark Noll, “Evangelical Dictionary of Theology, ed. by Walter A. Elwell, 913). Yang dimaksudkan “evolusi Darwin” di sini terutama berkaitan dengan sikap optimis terhadap perubahan dunia.

Kelemahan lain dari “injil” Sosial berhubungan dengan konsep mereka yang tidak Alkitabiah tentang Kerajaan Allah. Kerajaan Allah terutama menyangkut hal-hal yang rohani dan perubahan supranatural dalam diri manusia. Baik Yohanes Pembaptis (Mat 3:2) maupun Yesus (Mat 4:17) menyerukan pertobatan sebagai langkah awal sebelum datangnya Kerajaan Allah. Di tempat lain Paulus menegaskan bahwa Kerajaan Allah bukan tentang makanan dan minuman (Rom 14:17). Daging dan darah tidak mendapat bagian dalam Kerajaan Allah (1Kor 15:50). Dari penjelasan ini terlihat bahwa “injil” Sosial telah memberitakan konsep Kerajaan Allah yang sangat materialistis dan berkontradiksi dengan ajaran Alkitab.

Berbeda dengan konsep “injil” Sosial yang membatasi Kerajaan Allah pada aspek kekninian saja, Alkitab mengajarkan bahwa realisasi Kerajaan Allah mencakup aspek kekinian dan futuristik (George E. Ladd, A Theology of the New Testament, rev. ed., 61-67). Karya Yesus di dunia memang menandai realisasi Kerajaan Allah di muka bumi, karena Dia adalah penggenapan dari janji-janji tentang datangnya jaman baru dalam Perjanjian Lama (Luk 4:21//Yes 61:1-2; Mat 11:2-6//Yes 35:5-6). Yesus juga secara eksplisit memproklamasikan kedatangan Kerajaan Allah pada jaman-Nya (Mat 12:28-29; Luk 17:20). Bagaimanapun, hal ini tidak meniadakan aspek futuristik dari Kerajaan Allah. Realisasi sempurna dari Kerajaan Allah akan terjadi pada waktu kedatangan Kristus kedua kali sebagai Raja. Penahbisan ini berarti penghancuran terakhir dan total dari kekuasaan iblis (Mat 25:41), pembentukan komunitas orang-orang tebusan yang sempurna dan tanpa kejahatan (Mat 13:36-43), persekutuan yang sempurna dan penuh sukacita dengan Allah (Luk 13:28-29).

Sekalipun Alkitab mengajarkan realisasi Kerajaan Allah yang bersifat kekinian, namun konsep di dalamnya sangat berbeda dengan mimpi para penganut “injil” Sosial. Pendirian Kerajaan Allah di bumi sangat berhubungan dengan penaklukan kuasa iblis di dunia. Ketika Yesus mengusir setan sebagai tanda datangnya Kerajaan Allah (Mat 12:28), Ia menjelaskan itu dengan sebuah gambaran tentang pengikatan orang kuat sehingga hartanya dapat dirampas (Mat 12:29). Yesus secara eksplisit menyatakan bahwa iblis sebagai penguasa dunia telah ditaklukkan (Luk 10:18; Yoh 12:31; 16:11). Berdasarkan apa yang terjadi ini, Yesus memberi perintah dan otoritas kepada murid-murid-Nya untuk mengusir roh-roh jahat (Luk 10:18-20). Jelas, aspek kekinian dari Kerajaan Allah sangat berbeda dengan perubahan tatanan sosial yang dijanjikan “injil” Sosial.

Penjelasan di atas sekaligus memberikan gambaran yang gamblang tentang persoalan sosial yang sesungguhnya. Kejahatan sosial bukan berasal dari tatanan sosial (walaupun tatanan yang salah turut memberi peluang yang lebih besar bagi dosa, band. 1Kor 15:33), tetapi kekuasaan iblis dalam dunia. Kuasa iblis memang sudah dikalahkan, tetapi bukan berarti dia tidak memiliki kuasa lagi. Secara khusus ia masih berkuasa atas orang-orang durhaka (Ef 2:2b). Dia adalah penguasa di udara (Ef 6:12). Iblis bahkan masih dapat mempengaruhi orang percaya (Mar 8:33; Luk 22:31), sekalipun orang percaya sudah dibebaskan dari kuasa kegelapan (Kol 1:13).

Selain masalah eksternal (kekuasaan iblis), orang di luar Kristus juga menghadapi masalah internal berupa kuasa dosa dan natur yang sudah rusak. Kejatuhan Adam membawa pengaruh yang sangat besar bagi semua keturunannya (Rom 5:12-21; band. Kej 6:5-6; Mzm 51:7). Manusia adalah hamba dosa (Yoh 8:34; Rom 6:17, 20) dan mati di dalam dosa (Ef 2:1). Tidak ada satu pun dalam diri manusia yang tidak tercemar oleh dosa (Rom 3:10-18). Pada hakekatnya manusia adalah anak-anak kemurkaan (Ef 2:3b “we were by nature children of wrath”, KJV/ASV/RSV/NASB). Keadaan yang parah ini membuat manusia seringkali menindas kebenaran (Rom 1:18), karena – sekalipun mereka mengetahui apa yang baik – mereka kenyataannya tidak mampu melakukan hal itu (Rom 7:15-24).

Dengan masalah eksternal dan internal di atas, perubahan sosial apapun tidak akan meniadakan kejahatan sosial. Manusia akan selalu cenderung pada dosa. Mereka yang memegang kekuasaan cenderung untuk mengeksploitasi dan menindas orang lain yang lebih lemah (Pkt 4:1; Yak 5:1-6). Perubahan sejati harus diawali dari dalam diri manusia (kelahiran kembali dan pertobatan), sedangkan perubahan total harus menunggu sampai Kristus datang kembali dan memulihkan segala sesuatu (Why 21:4, 27).

Kelemahan terakhir – tetapi justru yang paling fatal – dari “injil” Sosial adalah pemahaman mereka tentang Injil. Bagi mereka Injil identik dengan pemenuhan kebutuhan hidup secara jasmani. Konsep seperti ini jelas bertentangan dengan konsep Alkitab. Inti Injil adalah kematian dan kebangkitan Kristus (1Kor 15:1-4). Dengan kuasa Injil, kehidupan orang percaya berfokus pada kekekalan (Kol 3:1-4) dan terus menuju keserupaan dengan Kristus (Ef 4:11-13). Injil berkaitan dengan perubahan secara spiritual dan Injil inilah yang harus diberitakan kepada semua orang (Luk 24:46-47). Berbeda dengan “injil” Sosial yang membawa berita pendamaian antara penderitaan dan kasih, Alkitab mengajarkan bahwa orang Kristen dipanggil sebagai duta perdamaian antara orang berdosa dan Allah (2Kor 5:19b-20).


Pelayanan Sosial Dalam Perspektif Alkitab
Pembahasan di bagian sebelumnya hanya memaparkan kelemahan-kelemahan “injil” Sosial, tetapi tidak menjelaskan perspektif Alkitab tentang pelayanan sosial. Apakah orang Kristen hanya perlu memfokuskan diri pada pemberitaan verbal tentang keselamatan tanpa memusingkan hal-hal lain? Apakah ada hubungan antara antara pekabaran Injil dan pelayanan sosial? Jika ada, bagaimana hubungan antara keduanya?

Allah ternyata tidak mengabaikan kebutuhan jasmani manusia. Ketika Yesus melayani di dunia, Ia melakukan banyak tindakan sosial, misalnya menyembuhkan penyakit (Mat 4:23; 9:35; 10:1) dan memberi makan orang banyak (Mat 14:14-21//Mar 6:34-44). Dia juga memperhatikan orang yang ditolak oleh masyarakat, misalnya orang kusta (Mat 8:1-3; Luk 17:12-14), pemungut cukai dan orang berdosa (Luk 15:1-2). Dalam kotbah-Nya Yesus tidak lupa menekankan pentingnya berbuat baik kepada orang lain (Mat 25:31-46). Ajaran dan tindakan Yesus ini diikuti oleh para rasul. Paulus secara khusus berusaha membantu orang-orang kudus di Yerusalem yang mengalami kekurangan (Rom 15:25; 2Kor 8:1-8) dan para janda yang tidak memiliki keluarga sebagai penyokong kehidupan (1Tim 5:3-10).

Tindakan sosial di atas sangat berbeda dengan program “injil” Sosial. Yesus tidak memakai cara-cara sekuler untuk mengubah situasi sosial pada jaman-Nya. Dia hanya memberi teladan tentang apa yang harus dilakukan manusia terhadap sesamanya. Baik Yesus maupun para rasul tidak melakukan tindakan revolusioner untuk mengubah tatanan sosial waktu itu, walaupun sikap ini tidak berarti bahwa mereka setuju dengan apa yang terjadi. Ketika Yesus dimintai pendapat tentang pertengkaran dua saudara seputar materi, Dia tidak melibatkan diri terlalu jauh. Dia hanya memberi nasehat agar berjaga-jaga terhadap ketamakan (Luk 12:13-21). Paulus bahkan memberi nasehat kepada para tuan dan budak Kristen agar mereka menjadi tuan dan budak yang baik (Kol 3:22-4:1; Ef 6:5-9). Dia tidak menghilangkan tatanan sosial yang ada. Bagi Yesus dan para rasul yang paling penting bukanlah perubahan tananan sosial, tetapi perubahan internal manusia.

Keterlibatan Yesus dan para rasul dalam pelayanan sosial juga tidak menggantikan inti Injil yang sebenarnya. Yesus berulangkali menegaskan pentingnya perkara-perkara rohani. Dia mengajarkan para pengikut-Nya bahwa memiliki hidup kekal jauh lebih berharga daripada memiliki seluruh harta dunia (Mat 16:26//Mar 8:36//Luk 9:25). Dia menegur banyak orang yang mengikuti Dia hanya gara-gara perut mereka sudah kenyang (Yoh 6:25-26). Dia justru mengajar mereka untuk mencari hal-hal yang kekal (Yoh 6:27). Dia melarang murid-murid-Nya untuk merisaukan harta duniawi (Mat 6:25-31), karena sikap seperti itu sama seperti orang-orang yang tidak mengenal Allah (Mat 6:32). Sebaliknya, Dia memerintahkan murid-murid untuk mencari Kerajaan Allah lebih dahulu (Mat 6:33). Berulang kali Dia mengingatkan tentang bahaya mamon (Mat 6:24; Luk 16:13).

Hal terakhir yang tidak boleh dilupakan dalam membahas pelayanan sosial menurut Alkitab adalah mandat budaya (Kej 1:26, 28). Salah satu elemen penting dalam diri manusia sebagai gambar dan rupa Allah adalah otoritas mereka atas bumi. Walaupun manusia sudah jatuh ke dalam dosa dan hubungan mereka dengan alam mengalami perubahan (Kej 3:15-19), namun mereka tetaplah gambar dan rupa Allah yang diberi mandat untuk menguasai bumi (band. Kej 9:6; Mzm 8:1-10; Yak 3:9). Status ini mencakup semua manusia, baik yang percaya kepada Kristus maupun tidak. Dalam konteks yang lebih luas ini, orang Kristen juga harus berperan dalam pelayanan sosial. Orang Kristen harus berbuat baik kepada semua orang (Mat 5:44-48; Luk 10:29-37; Gal 6:10a) dan tindakan ini tidak selalu harus dilakukan dengan tendesi keagamaan (baca: penginjilan). Berbuat kasih tanpa pemberitaan tentang kematian dan kebangkitan Yesus memang bukanlah misi (penginjilan), tetapi berbuat kasih hanya semata-mata supaya orang lain mau menerima Injil juga bukan motivasi yang Alkitabiah.


Sumber : http://www.gkri-exodus.org



Profil Ev. Yakub Tri Handoko :
Ev. Yakub Tri Handoko, Th.M. adalah gembala sidang Gereja Kristus Rahmani Indonesia (GKRI) Exodus, Surabaya sekaligus melayani sebagai dosen di Sekolah Tinggi Theologia Injili Abdi Allah (STT-IAA), Pacet dan di Sekolah Theologia Reformed Injili Surabaya (STRIS) Ngagel. Beliau menyelesaikan studi Sarjana Theologia (S.Th.) dari Sekolah Tinggi Alkitab Surabaya (STAS), kemudian melanjutkan studi theologia di International Theological Seminary, USA dan lulus dengan gelar Master of Arts (M.A.) dan Master of Theology (Th.M.).