29 April 2008

Roma 8:1-4: JAMINAN HIDUP YANG TIDAK DIKUASAI DOSA

Seri Eksposisi Surat Roma :
Manusia Lama Vs Manusia Baru-12


Jaminan Hidup yang Tidak Dikuasai Dosa

oleh: Denny Teguh Sutandio


Nats: Roma 8:1-4.

Setelah mempelajari tentang jalan keluar dari masalah dosa tersebut dan fungsi Hukum (Taurat) itu sesungguhnya, maka Paulus mulai melanjutkan pembahasannya tentang adanya jaminan hidup dari suatu hidup yang tidak lagi dikuasai oleh dosa mulai pasal 8.

Di pasal 7 ayat 25, Paulus sudah mengajarkan bahwa satu-satunya jalan dilepaskan dari kuasa dosa adalah Tuhan Yesus yang diutus untuk menjadi jalan pendamaian dosa kita dengan Allah, substitusi (pengganti) kita yang seharusnya mati akibat dosa, dan peredaan murka Allah (propisiasi), lalu di ayat 26, ia melanjutkan bahwa meskipun Kristus telah diutus untuk menebus dosa, kita tetap dituntut untuk tetap mematuhi hukum-hukum Allah sebagai pedoman dan penuntun tingkah laku, perkataan, pikiran, dll dalam hidup kita sehari-hari. Lalu, apa yang menjadi jaminan dari hidup yang tidak lagi dikuasai oleh dosa ini ? Di pasal 8 ayat 1, Allah melalui Paulus menjelaskan, “Demikianlah sekarang tidak ada penghukuman bagi mereka yang ada di dalam Kristus Yesus.” King James Version (KJV) menerjemahkannya, “There is therefore now no condemnation to them which are in Christ Jesus, who walk not after the flesh, but after the Spirit.” International Standard Version menerjemahkannya, “Therefore, there is now no condemnation for those who are in union with Christ Jesus.” Jaminan dari hidup yang tidak lagi dikuasai oleh dosa adalah hidup yang bersatu di dalam Kristus Yesus. KJV menambahkan bahwa hidup di dalam Kristus Yesus adalah hidup yang tidak berjalan menurut daging, tetapi menurut Roh. New International Version (NIV) memberikan catatan kaki (footnote) pada akhir ayat ini dengan mengatakan bahwa beberapa manuskrip belakangan menyebutnya, “Jesus, who do not live according to the sinful nature but according to the Spirit.” (=Yesus, yang tidak hidup menurut natur berdosa tetapi menurut Roh.) ISV menerjemahkan hidup di dalam Kristus dengan hidup bersatu dengan Kristus. Ketika kita ingin mengerti hidup bersatu dengan Kristus, kita akan teringat dengan penjelasan Rasul Paulus di dalam Surat Efesus 2:11-22 yang menjelaskan tentang dipersatukan di dalam Kristus, di mana kita (konteks waktu itu adalah orang-orang Yunani/non-Yahudi dan dapat diimplikasikan bagi kita, umat pilihan Allah dari segala bangsa, suku, ras, status sosial, ekonomi) yang dahulu jauh dari Allah, karena bukan termasuk umat Israel (rohani), tetapi sudah dipersatukan di dalam Kristus sebagai warga negara Kerajaan Allah, sehingga kita mendapatkan warisan umat pilihan Allah. Bukan hanya menerima warisan dalam Keluarga Kerajaan Allah, Paulus menyambungnya di ayat terakhir, yaitu ayat 22 di dalam Efesus 2 dengan mengajarkan bahwa di dalam Kristus, kita juga dibangun menjadi tempat kediaman Allah. Ini berarti, kita bukan hanya menerima hak sebagai anak-anak Allah, tetapi kita juga harus menjalankan kewajiban kita sebagai umat pilihan-Nya menjadi tempat kediaman Allah (=tempat berdiamnya Allah). Orang yang sudah hidup bersatu di dalam/dengan Kristus, Alkitab mengatakan, kita tidak lagi dihukum. Tuhan Yesus juga mengajarkan hal serupa di dalam Yohanes 3:18, “Barangsiapa percaya kepada-Nya, ia tidak akan dihukum; barangsiapa tidak percaya, ia telah berada di bawah hukuman, sebab ia tidak percaya dalam nama Anak Tunggal Allah.” Di sini, Tuhan Yesus lebih jelas mengartikan bahwa orang yang tidak akan dihukum adalah barangsiapa yang mempercayakan dirinya di dalam/kepada Kristus. Kembali ke Surat Roma 8 ayat 1, di dalam ayat ini baik frase “tidak ada penghukuman” maupun “yang ada di dalam Kristus Yesus” sama-sama menggunakan present tense (bentuk sekarang), sehingga arti dari ayat ini adalah ketika kita hidup bersatu di dalam Kristus, pada saat yang sama kita pasti tidak dihukum. Ini adalah jaminan bagi kita yang sangat agung dan mulia. Berbahagialah mereka yang percaya karena anugerah Allah. Bagaimana dengan kita yang termasuk umat pilihan Allah ? Sudahkah kita benar-benar mempercayakan hidup dan hati kita di dalam Kristus dan bersatu di dalam-Nya ? Ketika orang-orang dunia mulai terkatung-katung hidupnya karena hidup mereka tak berpengharapan dan di luar Kristus, serta mereka tinggal menunggu waktu untuk dihukum Allah, umat pilihan Allah tidak seharusnya hidup tak berpengharapan, karena hidup kita sangat berbeda jauh dari hidup orang-orang dunia, di mana hidup kita sudah dijamin oleh Allah di dalam Kristus yang telah menebus dosa-dosa kita sehingga kita tidak lagi dihukum. Bukan hanya bersukacita atas hidup kita yang berpengharapan, kita juga diperintahkan oleh Kristus untuk memberitakan Kabar Baik (Injil) ini kepada semua orang (Matius 28:19) supaya orang-orang yang telah dipilih Allah sebelum dunia dijadikan pun dapat meresponi Injil setelah dilahirbarukan oleh Roh Kudus.

Mengapa kita bisa memiliki pengharapan yang sangat agung ini ? Puji Tuhan, di ayat 2, Roh Kudus mencerahkan kita melalui Paulus, “Roh, yang memberi hidup telah memerdekakan kamu dalam Kristus dari hukum dosa dan hukum maut.” KJV menerjemahkan dengan tepat, “For the law of the Spirit of life in Christ Jesus hath made me free from the law of sin and death.” NIV menerjemahkannya, “because through Christ Jesus the law of the Spirit of life set me free from the law of sin and death.” ISV menerjemahkannya, “For the law of the Spirit of life in Christ Jesus has set me free from the law of sin and death.” Dari ketiga terjemahan Alkitab bahasa Inggris kita mendapatkan suatu pengertian pengontrasan antara hukum Roh kehidupan dengan hukum dosa dan hukum maut. Alkitab terjemahan Lembaga Alkitab Indonesia (LAI) tidak menerjemahkan sejelas ketiga terjemahan Alkitab bahasa Inggris di atas. Kata “hukum” baik yang dipakai di dalam pernyataan “hukum Roh kehidupan” maupun di dalam “hukum dosa dan maut” sama-sama menggunakan kata Yunani nomos yang berarti peraturan (ingat, kata Ekonomi juga berasal dari kata Yunani, yaitu oikos yang berarti rumah tangga dan nomos berarti peraturan). Hukum Roh kehidupan menurut Dr. John Gill di dalam tafsirannya John Gill’s Exposition of the Entire Bible bukanlah hukum yang berdasarkan perbuatan. Ini berarti hukum Roh melampaui hukum manusia apalagi dikontraskan dengan hukum dosa dan maut. Hukum Roh yang melampaui hukum manusia inilah yang dimengerti sebagai hukum dari Roh yang memberi hidup (terjemahan LAI). Orang-orang Yahudi di zaman Perjanjian Lama sangat terikat dengan dan dibelenggu oleh Taurat, karena mereka tak mengerti esensi Taurat yaitu kasih Allah. Oleh karena itu, mereka melakukan Taurat tanpa ada penghidupan di dalamnya. Artinya, mereka melakukan Taurat tanpa ada semangat dan motivasi hidup yang bersukacita di hadapan-Nya, tetapi mereka melakukannya supaya tidak dihukum Allah. Hal ini terbukti dari kecaman Tuhan Yesus terhadap para ahli Taurat dan orang Farisi yang menetapkan sejumlah adat istiadat yang mengikat orang-orang Yahudi (Matius 15 dan 23). Oleh karena itu, ketika Kristus datang berinkarnasi menjadi manusia (tanpa meninggalkan natur Ilahi-Nya), Ia mengajar mereka bukan peraturan manusia, tetapi langsung dari Allah dan melalui kuasa Roh Kudus. Kristus datang mengajar mereka dengan kuasa Roh Kudus, sehingga banyak yang bertobat dari kesalahan mereka dahulu, sebaliknya cukup banyak juga yang menolaknya. Ini juga menandakan bahwa hukum Roh Kehidupan yang memberi hidup diberikan bagi umat pilihan-Nya, sedangkan sisanya dibiarkan oleh-Nya untuk binasa sehingga mereka diikat oleh hukum dosa dan maut. Kalau hukum Roh kehidupan memberi hidup, maka sebaliknya hukum dosa dan maut juga memberikan kematian kekal. Orang yang terikat dan menjadi budak dari hukum dosa dan maut tidak akan memiliki hidup sejati, karena mereka sudah dikuasai oleh iblis. Bagaimana dengan kita ? Apakah kita berada di bawah hukum Roh yang memberi hidup atau hukum dosa dan maut yang pasti membawa kita kepada kematian kekal ? Kembali, orang-orang dunia telah berada di bawah hukum dosa dan maut. Hal ini terbukti dengan kecenderungan mereka menganut suatu keyakinan yang memuaskan keinginan mereka, seperti mengizinkan mereka menjadi poligami, melakukan free-sex, menjadi pragmatis, materialis, humanis, atheis, pluralis dan is-is lainnya. Bukan hanya itu saja, mereka juga mencari para pemimpin yang dapat menyetujui semua filsafat hidup mereka dan menyerang siapapun yang menyerang mereka sebagai orang yang “menghakimi”, padahal secara tidak sadar, mereka pun sedang menghakimi orang yang mengkritik mereka. Memang suatu kontradiksi yang aneh ! Semua ini, jika dapat dikatakan, memenuhi nubuat Paulus di dalam 2 Timotius 4:3-4 yang mengajarkan, “Karena akan datang waktunya, orang tidak dapat lagi menerima ajaran sehat, tetapi mereka akan mengumpulkan guru-guru menurut kehendaknya untuk memuaskan keinginan telinganya. Mereka akan memalingkan telinganya dari kebenaran dan membukanya bagi dongeng.” Tetapi sebagai umat pilihan Allah, kita tidak perlu lagi terkatung-katung dan hidup diperbudak oleh si setan dan kroni-kroninya baik berupa manusia atau filsafat atau agama palsu lainnya, kita harus keluar dari belenggu si jahat, dan kembali menghambakan diri di bawah Kebenaran sejati yaitu di dalam Kristus dan Alkitab. Itulah hukum Roh yang memberi kita kehidupan sejati, karena Roh Kudus adalah Roh yang menghidupkan hidup kita sehingga hidup kita lebih bermakna dan berkenan di hadapan Allah.

Lalu, mengapa Roh Kudus memberikan hidup kepada kita, dan bukan oleh manusia atau peraturan agama palsu lainnya ? Di ayat 3-4, Paulus menjelaskan hal ini dengan teliti, “Sebab apa yang tidak mungkin dilakukan hukum Taurat karena tak berdaya oleh daging, telah dilakukan oleh Allah. Dengan jalan mengutus Anak-Nya sendiri dalam daging, yang serupa dengan daging yang dikuasai dosa karena dosa, Ia telah menjatuhkan hukuman atas dosa di dalam daging, supaya tuntutan hukum Taurat digenapi di dalam kita, yang tidak hidup menurut daging, tetapi menurut Roh.” KJV menerjemahkannya, “For what the law could not do, in that it was weak through the flesh, God sending his own Son in the likeness of sinful flesh, and for sin, condemned sin in the flesh: That the righteousness of the law might be fulfilled in us, who walk not after the flesh, but after the Spirit.” Manusia atau agama atau filsafat manapun tak mungkin dapat memberikan hidup. Ini dijelaskan Paulus dengan mengatakan bahwa hukum Taurat tak mungkin atau tak dapat memberi hidup kepada kita, mengapa ? Apakah hukum Taurat itu salah, berdosa, dll ? TIDAK. Tetapi karena hukum Taurat itu adalah hukum yang mati dan tidak menghidupkan. Hal ini dijelaskan Paulus dengan alasan di dalam ayat 3, “karena tak berdaya oleh daging,” Lalu, bagaimana solusinya ? Paulus menjelaskan bahwa Taurat dan hukum-hukum agama/manusia/filsafat/kebudayaan tak mampu menghidupkan manusia karena keterbatasan daging mereka, tetapi apa yang tak mungkin bagi manusia, sangat mungkin bagi Allah, sehingga Allah pasti bisa melakukannya yaitu memberi hidup, karena hanya Dia satu-satunya Sumber Hidup sejati. Dengan kata lain, ketika kita ingin memiliki hidup, kembalilah kepada Sumber asli yaitu di dalam Allah, jangan kepada manusia atau agama atau kebudayaan atau filsafat palsu lainnya, karena itu menyesatkan kita dari jalan Kebenaran sejati. Ketika kita kembali kepada Allah, lalu kita bertanya, apa yang Allah sediakan supaya kita memperoleh hidup sejati ? Banyak agama mengajarkan bahwa supaya kita memperoleh “hidup”, kita harus melakukan ini, itu dan semua perintah agamawi misalnya bertarak/menyiksa diri, berpuasa, dll. Tetapi itu semua bukan dikehendaki Allah, karena itu semua mendukakan hati-Nya tetapi menyenangkan manusia. Tidak ada jalan lain, Alkitab menyatakan bahwa Allah sendiri yang menyediakan jalan bagi manusia supaya kita bisa memiliki hidup yaitu dengan jalan mengutus Tuhan Yesus Kristus, Putra Tunggal-Nya untuk menebus dosa-dosa manusia. Paulus menjelaskan di ayat 4 bahwa Kristus diutus dalam daging, yang serupa dengan daging, ini berarti Kristus selain bernatur Ilahi, juga bernatur manusiawi 100%. Ini juga berarti Kristus adalah Allah yang berkuasa yang sanggup memakai materi yang berdosa ini sebagai sarana untuk menebus dosa manusia. Hal ini dipaparkan Paulus, “Dengan jalan mengutus Anak-Nya sendiri dalam daging, yang serupa dengan daging yang dikuasai dosa karena dosa, Ia telah menjatuhkan hukuman atas dosa di dalam daging,” Luar biasa pemaparan theologia Paulus ! Ia mampu mengaitkan natur kemanusiaan Tuhan Yesus dengan kuasa Kristus yang juga bernatur Ilahi untuk meremukkan kuasa dosa dalam diri manusia/daging. Ini berarti Kristus sekalipun bernatur manusia, Ia tak berdosa, karena Ia menjadi manusia untuk mengalahkan dosa dan kedagingan serta Ia menjadi teladan bagi kita di dalam mengalahkan dosa. Penulis Kitab Ibrani mengajarkan, “Sebab Imam Besar yang kita punya, bukanlah imam besar yang tidak dapat turut merasakan kelemahan-kelemahan kita, sebaliknya sama dengan kita, Ia telah dicobai, hanya tidak berbuat dosa.” (Ibrani 4:15) Puji Tuhan, Tuhan Yesus Kristus yang diutus oleh Allah Bapa bukan hanya bernatur Ilahi, tetapi juga bernatur manusia, Ia rela merendahkan diri dan taat sampai mati demi menebus dosa manusia (Filipi 2:8) sekaligus menjadi teladan bagi kita bagaimana mengalahkan pencobaan dan dosa serta menolong kita di saat kita dicobai.

Bukan hanya menjadi teladan mengalahkan pencobaan dan dosa serta menolong kita di saat kita dicobai, pengorbanan Kristus di kayu salib lebih bertujuan, “supaya tuntutan hukum Taurat digenapi di dalam kita, yang tidak hidup menurut daging, tetapi menurut Roh.” Mengutip perkataan Rev. G. I. Williamson dan beberapa penulis bertheologia Reformed yang dipengaruhi oleh theologia Paulus di Surat Roma ini, ketidaktaatan kita diimputasikan kepada Kristus sehingga Ia menanggung kelemahan dan dosa kita melalui ketaatan-Nya secara sempurna kepada hukum-hukum Allah. Selanjutnya ketaatan Kristus tersebut diimputasikan kepada kita sehingga kita yang tadinya tidak mungkin bisa taat akibat dosa dilayakkan oleh Allah dan dijadikan taat oleh-Nya karena ketaatan Kristus. Inilah yang Paulus maksudkan dengan mengajarkan bahwa dengan kematian-Nya di kayu salib, Ia menggenapi tuntutan hukum Taurat di dalam kita sehingga kita tidak lagi hidup menurut daging, tetapi menurut Roh. Dengan kata lain, pengimputasian ketaatan Kristus di dalam kita mengakibatkan adanya transformasi hidup yang dahulu menurut daging (dikuasai hawa nafsu yang menyesatkan) menjadi hidup menurut Roh (dikuasai oleh Roh). Orang yang mengaku diri Kristen dan sudah lahir baru seharusnya pasti memiliki kerinduan untuk hidup menurut Roh dan tidak lagi hidup menurut kedagingan yang menyesatkan.

Bagaimana dengan kita ? Sudahkah kita hari ini berkomitmen untuk mau bertobat dari kedagingan kita ketika kita menjadi manusia lama dan berubah menjadi manusia baru yang hidup menurut Roh ? Maukah kita dirombak pikiran kita dan dipimpin oleh Roh Kudus agar hidup taat pada pimpinan-Nya dan berbuah bagi kemuliaan nama Allah Trinitas ? Ingatlah, kita yang termasuk umat pilihan Allah sudah menerima jaminan kelepasan dari hidup yang dikuasai daging dan dosa, maukah kita benar-benar berkomitmen untuk hidup baru bagi Kristus ? Soli Deo Gloria. Amin.

Matius 9:27-31: THE CONTENT OF FAITH

Ringkasan Khotbah : 7 Agustus 2005
The Content of Faith

oleh: Pdt. Sutjipto Subeno, M.Div.


Nats: Matius 9:27-31



Minggu lalu kita sudah memahami kalimat Tuhan Yesus: “Percayakah kamu, bahwa Aku dapat melakukannya?“ ini mengandung esensi iman sejati sekaligus mendobrak konsep iman yang muncul di sepanjang sejarah jaman sebab pada dasarnya, manusia tidak suka melihat ada orang lain yang lebih mampu dan lebih berkuasa dari dirinya dan kini orang dituntut untuk percaya penuh pada Kristus sebagai Tuhan, hal ini tidaklah mudah sebab orang biasa dilatih bahwa “aku bisa“ bukan “Aku (Tuhan) yang bisa.“ Sungguh merupakan suatu kebodohan kalau manusia merasa diri hebat dan tidak membutuhkan Tuhan, kita adalah manusia berdosa yang terbatas yang tidak mampu melakukan semua hal karena itu manusia harus beriman penuh pada Tuhan. Perhatikan, kedua orang buta ini menyebut Yesus dengan Anak Daud (Mat. 9:27) ini berarti mereka percaya kalau Yesus Kristus adalah Mesias, keturunan Daud yang nantinya membebaskan bangsa Israel dari penjajah dan menegakkan Kerajaan Israel. Pada hari itu, menyebut Yesus sebagai Mesias dan Tuhan sangatlah beresiko, yaitu nyawa menjadi taruhannya namun mereka berani mengambil resiko itu.

Tuhan Yesus ingin mengajak mereka masuk ke dalam kepercayaan yang penuh pada Dia maka Tuhan Yesus tidak berkata seperti sebelumnya tetapi dengan tegas Tuhan Yesus berpesan kepada mereka untuk tidak mengatakan tentang mujizat ini kepada orang lain. Kalau tadinya kedua orang buta ini beriman penuh pada Tuhan Yesus namun beberapa saat setelah mereka disembuhkan begitu keluar, mereka langsung melanggar perintah Tuhan. Dari kisah ini, Matius ingin kita memahami bahwa iman tidak berhenti pada suatu komitmen pertama, yaitu percaya Kristus saja, tidak, tetapi setelah kita beriman pada Kristus bagaimana kita mengimplikasikan iman itu. Pertanyaannya sekarang adalah kenapa Tuhan Yesus berpesan kepada kedua orang buta itu supaya mereka tidak menceritakannya kepada orang lain? Pesan ini bukanlah sekedar pesan biasa maka bukan tanpa alasan kalau Tuhan Yesus berbuat demikian dan merupakan hak Tuhan kalau Dia merasa tidak perlu menjelaskannya, satu hal yang perlu kita lakukan hanyalah taat. Celakanya, kedua orang buta ini tidak pernah menanyakan apa yang menjadi alasan Tuhan Yesus kenapa mereka tidak boleh menceritakan hal tersebut pada orang lain maka setelah dicelikkan, begitu keluar dari rumah mereka langsung melanggar perintah Tuhan.

Kedua orang buta ini pastilah punya alasan kenapa mereka berbuat demikian. Bukankah hari ini pun seringkali kita juga bersikap sama seperti kedua orang buta tersebut, kita langsung membeberkan berbagai macam alasan demi untuk membenarkan diri sendiri. Tuhan Yesus mempunyai pemikiran dan perintah dan orang percaya juga mempunyai pemikiran dan tindakan, celakanya keduanya terjadi konflik. Kedua orang buta ini merasa kalau perbuatannya menceritakan kejadian itu adalah benar, dia merasa tidak melanggar, dia merasa lebih bijak, dia merasa lebih pandai, dia merasa telah menolong Tuhan Yesus. Disinilah terjadi kerusakan iman yang paling fatal karena iman hanya sampai pada titik awal, yaitu percaya. Iman bukanlah berhenti pada titik awal tetapi percaya adalah tidak menjadi serupa dengan dunia ini, tetapi berubahlah oleh pembaharuan budimu, sehingga kamu dapat membedakan manakah kehendak Allah: apa yang baik, yang berkenan kepada Allah dan yang sempurna (Rm. 12:1-2). Paulus sangat memahami bahwa iman menuntut adanya content atau isi.

Ada beberapa alasan yang menjadi pemikiran mereka kenapa kedua orang buta ini melanggar perintah Tuhan:
1. Mujizat sebagai Alat untuk Popularitas Kedua orang buta ini berpikir Tuhan Yesus berpesan demikian hanyalah sekedar basa basi, seperti yang biasa diucapkan oleh orang dengan tujuan supaya kelihatan rendah hati. Bukankah hal ini juga sering orang lakukan pada jaman ini, orang sangat suka bila kebaikannya diketahui orang lain dan akhirnya ia mendapatkan pujian. Inilah sifat manusia berdosa. Mereka berpikir kalau hal kesembuhan ini diberitakan maka nama Tuhan Yesus akan menjadi termasyhur apalagi mencelikkan mata yang buta hanya dapat dilakukan oleh Tuhan Yesus dan ini sudah menjadi “trade mark“ daripada Tuhan Yesus lagipula yang diceritakan bukan tentang hal-hal yang buruk. Kesalahan fatal kedua orang buta ini adalah memakai standar orang berdosa, mereka menyamakan Tuhan Yesus dengan manusia berdosa. Tuhan Yesus berbeda, Dia bukanlah manusia berdosa tetapi orang menganggap Yesus sama seperti dunia, yakni apa yang dikatakan tidak sama dengan keinginan hatinya atau dengan kata lain munafik. Tidak! Tuhan Yesus tidaklah demikian sebaliknya dunialah yang penuh dengan kemunafikan. Celakanya, hari ini orang Kristen pun bisa mempunyai pemikiran yang sama seperti dunia pada umumnya. Sebagai anak Tuhan, biarlah kita diubahkan, jangan memakai pemikiran orang berdosa lalu menyamakannya dengan Tuhan Yesus. Tuhan Yesus mengerjakan sesuatu berdasarkan kehendak kedaulatan-Nya, Tuhan Yesus tidak dikendalikan oleh orang lain maka itu merupakan salah satu alasan kenapa Tuhan Yesus melarang kedua orang buta itu untuk tidak menceritakan hal tersebut kepada orang lain. Misi kedatangan Tuhan Yesus ke dunia bukan untuk menjadi terkenal seandainya benar misi-Nya supaya menjadi terkenal maka Ia akan memilih tidak dilahirkan di kandang domba yang hina, bukan? Kekristenan harus mengatakan tentang kebenaran saja; jika benar katakan benar dan jika salah katakan salah. Kejujuran dan ketulusan ini seharusnya menjadi citra Kekristenan, kita tidak sama dengan dunia; anak Tuhan sejati mempunyai kualitas hidup lebih tinggi dari dunia, yaitu hidup berdasarkan kehendak Kristus.


2. Mujizat untuk Sarana Penginjilan Kedua orang buta ini mempunyai pemikiran kalau mereka bersaksi, menceritakan apa yang diperbuat Tuhan Yesus atas dirinya pada orang lain berarti mereka turut membantu mencarikan pengikut buat Yesus dengan demikian pengikut Yesus semakin bertambah banyak. Bukankah Tuhan ingin kita bersaksi? Bukankah ini juga menjadi salah satu sarana penginjilan? Perhatikan, semua pemikiran itu adalah menurut logika manusia. Dari dulu hingga sekarang manusia tidak berubah, yakni menggunakan mujizat untuk penginjilan. Tuhan Yesus tidak ingin mujizat dijadikan sebagai sarana penginjilan. Apa yang dimengerti oleh Tuhan Yesus tidak dimengerti oleh mereka yang percaya pada Kristus. Banyak orang berpikir kalau sakit disembuhkan maka orang menjadi percaya dan mengikut Tuhan Yesus. Cara Kristus berbeda dengan cara dunia, cara dunia justru akan membuat rusak iman Kristen.

Pada Injil Yohanes pasalnya yang ke – 6 dicatat Tuhan Yesus membuat mujizat dengan 5 roti dan 2 ikan, Tuhan Yesus memberi makan lima ribu orang laki-laki belum termasuk wanita dan anak-anak maka diperkirakan jumlahnya lebih dari lima ribu orang. Setelah Tuhan Yesus melakukan mujizat tersebut, Yesus berangkat ke seberang dan orang berbondong-bondong mengikut Dia, mereka sangat bersemangat mengikut Yesus, mereka bahkan berhasil mendahului Yesus sampai ke seberang. Puji Tuhan, Tuhan Yesus tidaklah sama seperti manusia berdosa yang sangat senang dengan pujian, Tuhan Yesus tahu apa yang menjadi motivasi mereka mengikut, yaitu sesungguhnya kamu mencari Aku, bukan karena kamu telah melihat tanda-tanda, melainkan karena kamu telah makan roti dan kamu kenyang (Yoh. 6:26). Maka sepanjang hari itu, Tuhan Yesus mengajar dengan sangat keras tentang roti hidup dan lihat, reaksi orang banyak itu, satu per satu mereka pergi meninggalkan Yesus. Apakah Tuhan Yesus menyesal karena berkhotbah dengan keras ataukah bersedih karena ditinggalkan oleh para pengikut-Nya? Tidak! Tuhan tidak butuh manusia sebaliknya manusialah yang butuh Tuhan.

Rick Warren dalam bukunya “Purpose Driven Life“ menuliskan Allah mencipta manusia karena Allah butuh manusia sebagai obyek kasih. Salah! Tuhan tahu bagaimana mengasihi manusia secara tepat. Setelah semua orang itu pergi dan tidak lagi mengikut Dia, Tuhan kemudian memanggil kedua belas murid-Nya dan menantang mereka: “Apakah kamu tidak mau pergi juga?“ (Yoh. 6:67). Tuhan tidak pernah menjanjikan mujizat pada orang yang mau percaya kepada-Nya. Sebagai anak Tuhan, kita yang seharusnya melayani Tuhan bukan Tuhan yang melayani manusia. Anak Tuhan sejati harus mengerti imannya dengan tepat menurut iman Kristus dan cara Kristus bukan menurut cara dunia yaitu mengiming-imingi dengan mujizat supaya percaya Kristus. Injil sejati tidak bicara tentang popularitas tetapi Injil sejati berbicara tentang orang berdosa harus bertobat, Yesus datang ke dunia untuk memberitakan tentang kematian-Nya yang menebus manusia berdosa dan kebangkitan-Nya memberikan hidup kekal bagi yang percaya pada-Nya. Sayangnya, hari ini banyak orang Kristen menggunakan cara dunia, yaitu menggunakan mujizat sebagai pancingan, mengundang artis dengan tampilan yang seronok, dan masih banyak lagi. Memang, bukan hal yang mustahil bagi Tuhan untuk membuat suatu mujizat akan tetapi Tuhan tidak pernah menggunakan pancingan mujizat supaya orang mau datang dan percaya pada-Nya. Tidak! Orang yang selalu ingin mendapatkan mujizat sukar sekali untuk diajar taat, hal ini dibuktikan dengan reaksi dari kedua orang buta ini, setelah memperoleh mujizat, Tuhan Yesus berpesan untuk tidak memberitahukan hal tersebut pada orang lain namun sekeluar dari ruangan itu mereka langsung melanggar perintah Kristus tersebut. Paulus menegaskan janganlah engkau menjadi serupa dengan dunia ini tetapi berubahlah oleh pembaharuan akal budimu sehingga engkau dapat membedakan mana kehendak Allah, mana yang baik dan yang berkenan kepada Allah dan yang sempurna. Pengertian “baik“ disini bukan dilihat dari sudut pandang manusia tetapi “baik“ dilihat dari sudut pandang Tuhan. Lihat bagaimana cara Tuhan bekerja dengan sangat indah atas Paulus.

Tuhan tidak memanggil Paulus untuk memberitakan Injil di Bitinia dan Asia Kecil, Tuhan mempunyai rencana lain buat Paulus, yakni ia dipanggil untuk memberitakan Injil di Makedonia di daerah jazirah Yunani (Kis. 16). Paulus adalah seorang filsuf yang menguasai berbagai macam filsafat Yunani karena itu Tuhan menempatkan dia di daerah jazirah Yunani yang merupakan pusat dari filsafat kuno. Kedua orang buta ini tidak tahu apa yang menjadi alasan Tuhan Yesus melarang mereka bersaksi, Paulus juga tidak tahu kenapa ia dilarang masuk ke Bitinia, Frigia dan Asia Kecil namun sekarang, kita tahu ternyata Tuhan mempersiapkan tempat itu sebagai ladang pelayanan bagi Petrus. Inilah cara Tuhan bekerja, cara Tuhan sungguh tak terjangkau oleh pikiran kita, mungkin cara manusia membuat kita kelihatan “sukses“ namun justru berakhir dengan kebinasaan. Biarlah kita peka akan rencana dan pimpinan Tuhan dengan demikian kita tidak salah melangkah. Ingat, beriman bukan berhenti pada komitmen pertama tetapi kita harus terus mengimplikasikan iman dalam hidup sehari-hari.


3. Mujizat berdampak Politis yang Merugikan Manusia tidak berhak mempertanyakan alasan pada Kristus kenapa melarang menceritakan mujizat yang mereka alami. Manusia seharusnya taat. Konsep mesianic sangat mencengkeram pikiran orang Yahudi, tidak terkecuali murid Tuhan Yesus, yaitu suatu hari nanti akan berdiri suatu Kerajaan Israel yang berpusat di Yerusalem dimana kerajaan ini akan mengalahkan semua kekuasaan dunia yang berkuasa pada jaman itu; kerajaan Israel kembali seperti Kerajaan Daud. Pikiran ini begitu mencengkeram bahkan sampai Tuhan Yesus mati, bangkit dan naik ke Sorga, murid Tuhan Yesus masih bertanya, “Guru, kapan Kerajaan-Mu didirikan?“ Kenapa Tuhan Yesus mengacuhkan ketika kedua orang buta ini berteriak-teriak: “Kasihanilah kami, hai Anak Daud“, beberapa orang menafsirkan Tuhan Yesus memang sengaja. Istilah mesianic tidaklah sesederhana yang kita pikirkan, istilah mesianic merupakan istilah politis. Orang Yahudi tidak akan dapat “berbuat apa-apa“ pada Yesus sejauh itu masih di wilayah rohani bahkan mahkamah agama tertinggi Yahudi, Sanhendrin tidak dapat menghukum Tuhan Yesus karena tuduhan mengajarkan agama sesat sehingga mereka menggeser ke masalah politik dengan demikian mereka dapat melakukan tindakan hukum, Tanpa perintah Herodes atau Pilatus sebagai pemegang kuasa pemerintahan maka Tuhan Yesus tidak dapat dihukum.

Tuhan Yesus datang ke dunia bukan urusan politik, Dia datang untuk menyelamatkan manusia berdosa supaya kembali kepada Kristus. Andai waktu itu Tuhan Yesus menanggapi perkataan kedua orang buta itu berarti Yesus mengakui di depan umum kalau benar Dia adalah Anak Daud maka hari itu Yesus bisa dianggap sebagai pemberontak dan ditangkap untuk dihukum. Itulah sebabnya, Tuhan Yesus menyembuhkan kedua orang buta dalam sebuah rumah (Yoh. 9:28). Namun mereka melanggar perintah Tuhan Yesus, mereka tidak menyadari kalau tindakan tersebut akan berefek fatal. Orang terpicu dengan keinginan manusiawi, orang mudah terpancing dengan berbagai macam isu dunia. Kedua orang buta ini merasa telah membantu Tuhan dengan tindakan yang mereka lakukan. Tidak! Jangan pernah berpikir manusia sedang membantu Tuhan. Biarlah kita peka dan bijak hidup di tengah dunia dengan demikian nama Tuhan semakin dipermuliakan. Iman berkait erat dengan isi iman, kalau kita mengaku percaya pada Kristus maka biarlah kita bertekad untuk tidak menjadi serupa dengan dunia tetapi berubah oleh pembaharuan akal budi sehingga kita dapat membedakan mana kehendak Allah, mana yang baik dan yang berkenan kepada Allah dan yang sempurna. Amin.
(Ringkasan khotbah ini belum diperiksa oleh pengkhotbah)


Sumber:
http://www.grii-andhika.org/ringkasan_kotbah/2005/20050807.htm

Resensi Buku-54: YESUS KRISTUS JURUSELAMAT DUNIA (Pdt. DR. STEPHEN TONG)

...Dapatkan segera...
Buku
YESUS KRISTUS JURUSELAMAT DUNIA

oleh: Pdt. DR. STEPHEN TONG

Penerbit: Momentum Christian Literature, 2004

Transkrip: Pdt. Sutjipto Subeno, M.Div.





Dunia postmodern yang menjunjung tinggi relativisme mengajarkan bahwa semua agama sama dan menuju ke “Tuhan”. Dan anehnya tidak sedikit orang “Kristen” (bahkan “pemimpin gereja”) teracuni oleh filsafat ini. Benarkah pandangan ini? Apa kata Alkitab? Alkitab mengajarkan dengan tegas bahwa di luar Kristus tidak ada jalan keselamatan lain (Yohanes 14:6). Siapakah Kristus sehingga Ia sajalah sebagai satu-satunya jalan keselamatan dunia? Melalui pemaparannya yang sistematis dan apologetis, hamba-Nya yang taat dan setia, Pdt. Dr. Stephen Tong menguraikan siapa Yesus Kristus sebagai Juruselamat, mulai dari doktrin penciptaan manusia sebagai gambar dan rupa Allah, manusia sebagai obyek yang perlu diselamatkan, keharusan mutlak manusia diselamatkan, doktrin wahyu umum Allah (dan responnya dalam bentuk agama dan kebudayaan), dan wahyu khusus Allah hanya kepada umat pilihan-Nya, salah satunya: Kristus, serta terakhir, memaparkan tentang tujuh syarat-syarat Juruselamat dunia dan itu HANYA dapat dipenuhi oleh Tuhan Yesus Kristus. Biarlah melalui buku yang merupakan rangkuman khotbah beliau di dalam rally KKR 2003 di Jakarta, Surabaya dan Bandung dengan judul “Yesus Kristus Satu-satunya Juruselamat Dunia.” mencerahkan pikiran kita tentang keunikan dan finalitas Kristus di antara semua agama dan kebudayaan dunia, lalu menyadarkan kita akan tugas pemberitaan Injil yang lebih besar lagi yang sangat diperlukan bagi zaman yang berdosa ini.







Profil Pdt. DR. STEPHEN TONG :
Pdt. Stephen Tong, B.Th., D.L.C.E., D.D. (HC) dilahirkan di Fukien daratan Tiongkok pada tahun 1940. Pada usia 17 tahun (tahun 1957) beliau menyerahkan diri untuk menjadi hamba Tuhan. Sampai tahun 2007 ini, beliau telah berkhotbah 28 ribu kali dihadapan lebih dari 20 juta orang. Paling sedikit yang pernah menyerahkan diri menjadi hamba Tuhan dalam pelayanannya adalah 200 ribu orang. Beliau pernah berkhotbah dan memimpin seminar dalam Bahasa Inggris, Mandarin dan Indonesia di Amerika Utara, Amerika Latin, Australia, Asia dan Eropa. Kota-kota yang pernah dikunjunginya lebih dari 600 kota besar di seluruh belahan dunia termasuk Paris, New York, Toronto, Hongkong, Roma dan seterusnya. Sejak tahun 2000, beliau memimpin Expository Preaching di Jakarta (Hari Minggu Pagi : Bahasa Indonesia & Minggu Siang : Bahasa Mandarin), Singapura (Hari Minggu Sore : Bahasa Indonesia, Hari Minggu Malam : Bahasa Mandarin-English), Kuala Lumpur (Hari Senin : Bahasa Mandarin-English), Hongkong (Hari Selasa : Bahasa Mandarin-Kanton) dan Taipei (Hari Rabu : Bahasa Mandarin) setiap minggunya dengan pendengar lebih dari 6000 orang.

Pdt. Stephen Tong berbeban khusus untuk menegakkan theologi Reformed dan menyingkirkan penghalang-penghalang bagi pertumbuhan iman Kristen dan berusaha untuk membawa manusia kembali kepada anugerah Allah melalui penafsiran Alkitab yang sangat ketat. Selain berkhotbah, beliau juga pernah mengajar di berbagai seminari di dalam dan luar negeri dalam bidang teologi dan filsafat yakni 25 tahun di Seminari Alkitab Asia Tenggara hingga menjabat Ketua Yayasan, pendiri dan mantan Rektor Sekolah Tinggi Theologia Reformed Injili Indonesia (STTRII), pendiri dan Rektor Institut Reformed di USA (Reformed Institute for Christianity and 21st Century) & Asia (Singapura dan Jakarta). Beliau pernah mengajar sebagai dosen tamu di China Graduate School of Theology Hongkong, China Evangelical Seminary Taipei dan Trinity Theological College Singapura.

Beliau studi theologi di Seminari Alkitab Asia Tenggara (SAAT) Malang hingga gelar Bachelor of Theology (B.Th.). Pada tahun 1985, beliau dianugerahi gelar Doktor Kehormatan dalam bidang Kepemimpinan Penginjilan Kristen dari La Madrid International Academy of Leadership di Manila. Belau pernah diundang sebagai pembicara utama dalam Lausanne Congress, International Prayer Assembly di Seoul, Amsterdam 1988 dan terakhir General Assembly of World Reformed Fellowship di Afrika Selatan pada tahun 2006. Kira-kira pada tahun 2007, beliau juga dianugerahi gelar kehormatan Doctor of Divinity (D.D.) dari Westminster Theological Seminary, USA.

Beliau selain berkhotbah dan mengajar, beliau adalah seorang maestro dalam bidang musik klasik, di mana telah menjadi konduktor dan komponis. Beliau memimpin konser-konser musik klasik di berbagai kota di Asia serta mengkomposisi puluhan lagu hymn berbobot yang telah dinyanyikan di seluruh dunia. Selain itu beliau juga merupakan arsitek ulung di mana telah merancang gedung gereja dan aula pertemuan di berbagai kota.

Beliau adalah pendiri dari Stephen Tong Evangelistic Ministries International, Sinode Gereja Reformed Injili Indonesia, Sekolah Theologia Reformed Injili (STRI) di berbagai kota, Sekolah Tinggi Theologia Reformed Injili Indonesia (STTRII), Institut Reformed, Jakarta Oratorio Society, Christian Drama Society, Reformed Center for Religion and Society dan seterusnya. Buku-bukunya antara lain:
· Iman dan Agama
· Hidup Kristen Yang Berbuah
· Iman Kristen, Penderitaan dan HAM
· Iman, Rasio dan Kebenaran
· Baptisan dan Karunia Roh Kudus
· Roh Kudus, Suara Hati Nurani dan Suara Setan
· Roh Kudus dan Kebangunan
· Dinamika Hidup dalam Pimpinan Roh Kudus
· From Faith to Faith
· Keluarga Bahagia
· Membesarkan Anak dalam Tuhan
· Allah Tritunggal
· Peta dan Teladan Allah
· Dosa, Kebenaran dan Penghakiman
· Siapakah Kristus?
· Yesus Kristus Juruselamat Dunia
· Mengetahui Kehendak Allah
· Waktu dan Hikmat
· Pengudusan Emosi

24 April 2008

TINJAUAN IMAN KRISTEN TERHADAP UTILITARIANISME (Pdt. Sutjipto Subeno, M.Div.)

Tinjauan Iman Kristen Terhadap Utilitarianisme

oleh: Pdt. Sutjipto Subeno, M.Div.


1. MANFAATKU ATAU MANFAAT-KU

Nats: Kol. 3:17, 23



1. Latar Belakang Permasalahan
Munculnya John Stuart Mill
[1] dengan filsafat Utilitarianisme mo­dern, telah merubah dunia modern menjadi dunia yang penuh gai­rah. Seluruh gagasan ini diterima dengan pujian dan penyem­bah­an, karena inilah yang selalu didambakan oleh setiap manusia.
Ide Utilitarian adalah usaha untuk mengejar kebahagiaan yang puncak. Yang dimaksud kebahagiaan puncak adalah segala hal yang bisa dikejar untuk kita bisa menikmati dunia ini. Itu se­babnya timbul perdebatan aspek moral dari filsafat ini. Pertama, bagaimana konsep utilitarian ini dilukiskan dan diaplikasikan de­ngan tepat, dan kedua, apakah implikasi moral dari utilita­rian­isme ini bisa diterima atau harus ditolak.

2. Konsep Bahagia Utilitarianisme
a) Menganut sifat hedonisme, di mana kesenangan dan tidak ada­nya kepedihan adalah utility dan nilai intrinsik yang perlu dike­jar. Nilai intrinsik ini bernilai untuk kepentingannya sendiri dan tidak ada hubungan atau konsekwensi terhadap yang lain.
b) Tetapi sebagian utilitarian menganggap pandangan pertama terlalu sempit. Mereka melihat bahwa utilitarianisme ideal adalah sesuatu atau pengalaman tertentu, seperti pengetahuan atau menjadi mandiri, secara intrinsik bernilai atau bersifat baik, entah orang menghargai atau tidak, ataupun lebih berbahagia atau tidak dengan itu.
c) Persoalannya adalah perbandingan nilai kebaikan itu sendiri. Pada utilitarian, bisa nilai perbandingan itu dinilai berdasarkan diri sendiri, yang membandingkan beberapa tindakan yang berbeda untuk mencari nilai tertinggi (intrapersonal utility com­pa­rison), atau nilai perbandingan itu juga diperbandingan de­ngan kepentingan dan kebaikan bagi orang-orang lain (inter­personal utility comparison).
d) Pada umumnya, para utilitarian menuduh para moralis telah menciptakan kesusahan bagi manusia karena tuntutan moral seringkali membuat orang tidak bisa hidup nikmat. Misalnya timbulnya rasa bersalah bila kita pergi nonton atau pesta makan, karena uang yang kita pakai bisa kita berikan kepada orang miskin yang tidak bisa makan. Maka bagi utilitarian, setiap orang harus menjadi agen bagi dirinya sendiri. Kalau ia gagal mencapai kebahagiaannya, maka tidak ada tuntutan moral dari orang lain untuk menolong dia.

3. Bahaya Utilitarianisme
a) Semua dilihat dari aspek kepentingan manusia, sehingga seperti telah diungkap diatas, terjadi konflik kepentingan dan timbul masalah moral yang sulit diselesaikan. Se­mang­at hedonistis yang mewarnai citra utilitarianisme menjadi­kan sifat moral dikesampingkan ataupun diganti dengan nilai moral yang sangat relatif dan rendah sifatnya. Disini sifat dosa diumbar dan dipuaskan tanpa ada penghalang yang membatas lagi.
b) Di sini terjadi kesalahan fatal. Utilitarian telah memutlakkan yang relatif. Ketika manusia mengejar kebahagiaan pribadi dengan batasan dan perbandingan nilai yang relatif, tanpa standard yang sejati, telah kehilangan basis kemutlakkan yang sesungguhnya. Akibatnya, diri dijadikan basis mutlak, dan itu berarti akan menolak Allah sebagai penentu dan standard kemutlakkan yang benar.
c) Hidup hanya mengejar kekinian yang akan meniadakan aspek kekekalan. Karena utilitarian hanya bisa melihat nilai-nilai yang ada di dunia ini, maka seluruh pengharapan akan kekekalan dan sifat-sifat ilahi diabaikan.

4. Tuntutan Alkitab
a) Segala sesuatu yang kita lakukan harus direferensikan dengan Diri dan Sifat Allah sebagai basis kemutlakkan. Inilah utilitarian yang sejati. Kita adalah utility dari Allah. Kita adalah alat, dan kita bukan menggunakan alat untuk kepentingan kita, tetapi kita adalah alat yang hidup di hadapan Allah (the living vessel - 2 Tim 2:20-21).
b) Karena kita adalah utility di tangan Allah, maka kita harus memurnikan diri kita dan menyatakan sifat-sifat Allah di dalam diri kita. Inilah misi Kristen yang menjadi saksi bagi Allah di tengah dunia. Ini pula yang dituntut oleh Alkitab terhadap kita (2 Tim 2:22-26).
c) Seluruh hidup kita harus diukur bukan diatas azas manfaat bagi diri kita, tetapi bagi Tuhan. Manfaat tertinggi adalah ketika semua yang kita kerjakan adalah penggenapan rencana Allah yang Ia kehendaki untuk kita tuntaskan. Inilah utilitarian yang sejati (Kis 20:24).
d) Untuk itu, semua yang kita lakukan, haruslah kita lakukan seperti untuk Tuhan dan bukan untuk diri kita sendiri. Se­mang­at mau mempermuliakan Tuhan harus mengalahkan egois­me dan semangat humanisme yang duniawi. Hanya dengan cara ini kita bisa menghindar diri dari sifat utilitarian yang duniawi.

Diskusikan sifat Saul ketika ia menggunakan pola utilitarian di dalam berdialog dengan Samuel, yang telah membuat Allah marah (1Sam 15:1-26).






2. YUDAS: UTILITARIAN SEJATI

Nats: Luk. 22:3-6



1. Pendahuluan
Satu pertanyaan yang sering dilontarkan adalah: apakah utilita­rian­isme merupakan suatu pikiran filsafat yang baru diutarakan dan dikenal oleh masyarakat sejak Jeremy Bentham atau bahkan sejak J. S. Mill, ataukah filsafat ini sebenarnya sudah merupakan pikiran yang kuno? Secara singkat kita bisa menjawab bahwa pi­kiran ini bukan baru, tetapi sangat kuno, bahkan sejak dari zaman Tuhan Yesus, atau bahkan bisa dikatan sejak Kejatuhan.
Untuk menjawab pertanyaan di atas, Alkitab memberikan satu contoh yang sangat baik untuk melihat kasus Utilitarian. Hal ini terlihat nyata dalam kasus Yudas.

2. Luk 22:3-6
Yudas adalah salah seorang dari murid-murid Tuhan Yesus. Dan di dalam perjalanan pelayanannya, ia dipercaya menjadi bendahara dari kelompok rasul yang Kristus pimpin. Rupanya, ia memang memiliki kemampuan untuk mengatur keuangan. Tetapi rupanya, kemudian ia memikirkan lebih jauh dan mulai terjebak dengan pikiran-pikiran dan cara kerja yang tidak sesuai dengan kebenaran. Ia mulai terjebak menjadi seorang utilitarian.
Di dalam ayat yang kita baca dan paralelnya, kita dengan segera melihat sikap oportunis dan utilitarianistis dari Yudas. Ia merasa dengan cara yang ia pakai, maka semua orang akan disenangkan. Yang pertama, ia merasa dia sendiri untung; kedua, ia merasa juga bahwa pasti para ahli taurat dan orang Farisi juga senang dan diuntungkan; dan ketiga, ia bahkan yakin Tuhan Yesus tidak akan mau ditangkap mentah-mentah begitu saja, dan pasti jika Tuhan Yesus melawan, tidak ada kuasa apapun yang bisa mengalahkan. Yudas sangat mengerti kuasa yang Tuhan Yesus mi­liki. Tetapi apa yang Yudas pikirkan adalah pikiran seorang utilita­rianis. Ia hanya memikir menurut kepentingannya dan sekaligus kepentingan yang kelihatan "lebih luas", tetapi yang pasti tidak berpikir di dalam kebenaran. Maka tanpa sadar, Yudaspun akan menjadi seorang oportunis. Dengan harapan keuntungan 30 keping perak, atau bahkan keuntungan-keuntungan lain yang bisa diperolehnya, maka ia rela menjual Tuhan-nya. Dari sini kita bisa belajar secara lebih kongkrit sikap utilitarian di dalam sejarah.

3. Aplikasi Pemikiran Yudas
Di dalam kehidupan sebagai orang Kristen, kita seringkali me­ne­rapkan pola utilitarian, masuk ke dalam iman Kristen kita. Apalagi dengan berbagai format Kekristenan modern, sangatlah mudah bagi orang Kristen untuk terjebak "merohanikan" pemikiran utilitarianistik ini. Beberapa hal yang mungkin perlu kita pikirkan:
a. Christianity is a pleasure.
Pemikiran bahwa Tuhan tidak menghendaki ma­­nusia seng­sara, sehingga Ia harus menolong kita. Pengem­bang­an dari pe­mikiran utilitarian masuk ke Kekristenan dengan ang­gap­an bahwa jika kita sengasara (pain), maka itu pasti bukan kehen­dak Tuhan. Maka dengan kata lain, Kekristenan harus identik dengan pleasure. Maka gereja adalah tempat untuk pleasure yang utama. Maka tidak heran jika kemudian ada gereja yang mene­rap­kan disco di gereja atau bahkan undian "kunci kamar" di antara pe­mu­da-pemudi di gereja, atau segala bentuk pleasure lainnya. Pada saat seperti itu, posisi Allah menjadi tidak jelas, atau menjadi budak manusia.
b. Manage your God.
Yudas berpikir bahwa jika ia bisa me­ran­cang segala yang baik, maka Tuhan Yesus akan ikut di dalam "ske­nario"-nya. Ketika ia berpikir, jika Tuhan Yesus diserahkan, pasti itu akan "mem­per­cepat" proses Tuhan Yesus menjadi Raja. Ia sa­ma sekali tidak menyangka bahwa apa yang ia pikir, bukanlah ran­cangan Tuhan. Ia hanya berpikir bahwa semua bisa menjadi alat untuk mencapai tujuannya, termasuk Tuhan Yesus. Hari ini, begitu banyak orang yang mau memperalat Tuhan demi apa yang dipi­kir­kan­nya. Mere­ka berpikir persis seperti Yudas. Jika manusia bisa merancang apa yang menurut dia baik untuk Tuhan, dan bisa ber­ja­lan menu­rut ke­pen­tingan bersama (win-win solution), maka ma­ri­lah kita ker­ja­kan, maka Tuhan pasti akan menurut kalau sudah "terjepit."
c. God is for our own-sake.
Allah mencipta manusia dan meng­inginkan manusia bisa berbahagia. Maka kita bisa berdoa dan me­mo­hon pada Allah untuk semua yang kita butuhkan. Allah yang sejati adalah Allah yang akan memenuhi semua kebutuhan kita (Mat 6). Dalam hal ini kita harus berani "mengklaim" janji Allah agar seluruh kebutuhan kita bisa dipenuhi. Inilah format yang Yudas pakai. Ia merasa bahwa Yesus harus terus memenuhi kebutuhannya. Jika perlu, segala cara bisa ia pakai untuk itu. Banyak orang Kristen masa kini juga cenderung mau memanipulasi Allah, sehingga Allah tidak lain hanya sebagai utiliti bagi manusia. Ia bukan Allah yang berdaulat, tetapi Allah yang harus menjadi budak manusia.






3. HOMO HOMINI LUPUS

Nats: Mat. 26:14-16; Mrk. 14:10-11; Luk. 22:3-6



1. Pendahuluan
Istilah "homo homini lupus" berarti: manusia adalah pemakan sesamanya. Ada anekdot yang mengatakan bahwa orang miskin akan bertanya "hari ini kita makan apa?", sedangkan orang me­nengah bertanya "hari ini kita makan dimana?, dan orang kaya ber­­ta­nya "hari ini kita makan siapa?" Anekdot di atas mau meng­gam­barkan bahwa orang menjadi kaya karena telah mema­kan atau mengorbankan sesamanya.
Tentu munculnya anekdot seperti itu bukanlah tanpa alasan. Hal itu terjadi karena di dalam dunia berdosa ini begitu banyak orang yang menjadi kaya akibat "memakan" sesamanya. Tentu tidak semua demikian. Namun, rupanya pola mengorbankan sesamanya untuk mencari keuntungan dan kekayaan bagi diri sudah merupakan suatu "ciri" dalam kehidupan manusia. Mengapa demikian?

2. Sifat Manusia Humanistis
Sifat manusia yang memuncakkan diri dan menganggap diri sebagai makhluk yang tertinggi dan termulia, telah menjadikan manusia menyingkirkan posisi Allah sebagai posisi mutlak. Hal ini dianggap sebagai kemenangan Humanisme. Tetapi sebenarnya, justru disinilah kekalahan dan kehancuran manusia.
Ketika manusia memutlakkan diri, manusia lupa bahwa "manu­sia" itu bukanlah tunggal, bukan multi-tunggal tetapi murni plural. Manusia mutlak adalah makhluk relatif. Akibatnya, terjadi pemutlakkan relativisme. Situasi ini menjadikan semangat Human­isme memukul manusia balik.
Manusia yang sebenarnya harus memikirkan sesamanya dan tidak boleh memutlakkan diri, kini menjadikan dirinya sebagai "Tuhan" untuk mengganti posisi Tuhan yang sesungguhnya, yang telah disingkirkannya. Maka, ketika ia memutlakkan diri, orang atau manusia lain akan menjadi obyek yang harus memenuhi kemutlakkan dirinya. Disini terjadi semangat manipulatif. Manusia mulai dengan menganggap dirinya sebagai kebenaran yang mutlak sehingga orang lain yang berbeda pandangan dengan dia selalu tidak disukainya dan begitu sulit bagi dia untuk menerima pandangan yang kontras dengan dia. Ketika situasi seperti itu terjadi, tidak ada basis penentu kebenaran yang menjadi tolok ukur baginya untuk menguji siapa yang benar. Maka kemungkinan terbesar adalah orang lain dianggap salah olehnya.
Lebih jauh lagi, ketika ia sudah mulai memikirkan dirinya, maka ia mulai melangkah kepada kebutuhannya. Ketika kebutuhannya berkonflik dengan kebutuhan orang lain, maka ia merasa bahwa kebutuhan dirinyalah yang harus dipenuhi terlebih dahulu, barulah orang lain. Kalau perlu, biarlah orang lain dirugikan asalkan diri menjadi untung. Disini semangat utilitarian mulai mengusik dan masuk dalam pikiran orang. Maka orang tidak rela jika ia harus berkorban dan dirugikan demi kepentingan orang lain, kecuali jika ia memiliki kepentingan lain yang lebih besar atau menghindari kerugian yang lebih besar lagi.

3. Argumentasi Utilitarian
a. Manusia harus pandai-pandai memanfaatkan situasi
Seorang utilitarian tidak pernah mengerti adanya rencana Allah atau ketaatan kepada kehendak Allah. Yang dipikirkan adalah manusia perlu pandai-pandai memanfaatkan situasi, karena hidup matinya manusia tergantung kepada manusia itu sendiri.
Maka, cara terbaik bagi manusia adalah hidup memanfaatkan situasi yang ada. Tujuannya adalah untuk mencapai kebaha­giaan. Sejauh kebahagiaan itu bisa dicapai, maka manusia harus mengejarnya, karena itulah sasaran akhir hidup manusia.
Seperti Bentham tegaskan, bahwa tidak perlu terlalu dirisaukan dengan berbagai pertimbangan yang akhirnya hanya menyu­sah­kan kita (pain), seperti berbagai pertimbangan moral, kare­na moral adalah kesenangan (pleasure). Maka manusia harus mengejar kesenangan ini.

b. Korban adalah akibat kesalahan sendiri
Dalam kaitan dengan kesenangan yang manusia kejar, terkadang terjadi konflik sehingga ada pihak yang dirugikan. Dalam hal ini, maka yang salah adalah pihak yang dirugikan. Jika ia rugi, berarti ia gagal mencari kesempatan atau meng­gu­na­kan kesempatan secara tepat, sehingga ia telah menjadi kor­ban dari kelemahannya. Akibatnya ia mengalami kepedihan (pain). Jadi untuk seseorang bisa mencapai kesenangan, tidak ada salahnya jika orang lain sampai dirugikan, karena itu tidak ada kaitannya dengan obligasi moral sama sekali.

c. Hidup di dunia adalah memakan atau dimakan (utilitarianistis)
Hal ini merupakan realita kehidupan di dunia. Jika kita tidak berhasil menggunakan kesempatan di dunia, pastilah kita akan "dimakan" oleh orang lain. Maka di dalam dunia hanya ada satu hukum utama, yaitu memakan atau dimakan. Maka dalam hal ini, pilihan haruslah diletakkan pada yang pertama. Dimakan berarti mengalami pain, dan itu tidak sesuai dengan asas hidup, maka kita lebih baik memakan demi untuk mencapai pleasure.
Konsep di atas secara logis membenarkan jika seseorang memakan sesamanya demi untuk mencapai apa yang dianggapnya sebagai pleasure.

4. Kritik Kristen
a. Benarkah bahagia identik dengan pleasure?
Kesalahan utilitarian adalah mengidentikkan bahagia dengan plea­sure. Kebahagiaan adalah suatu kondisi akibat dari men­jalankan kehendak Allah dan mendapatkan "kredit point" dari Tuhan sebagai upahnya. Pleasure adalah kenikmatan yang dikaitkan dengan kedagingan, entah secara pribadi, kelompok atau masyarakat yang lebih luas. Dalam hal ini, sering terjadi konflik antara pleasure dengan kehendak Allah, maka tidak mungkin pleasure bisa identik dengan kebahagiaan. Di dalam fak­tanya, justru pleasure seringkali hanya merupakan kenik­mat­an sesaat yang membawa seseorang pada keti­dak­ba­ha­giaan.

b. Benarkah ketika kita memakan orang lain itu pleasure?
Problem kedua dari utilitarianisme adalah mengabaikan aspek moral manusia. Manusia adalah makhluk yang dicipta dengan sifat moral. Bentham dan Mills lupa bahwa mereka bukanlah kuda atau anjing. Jika binatang memang tidak memiliki obligasi moral, tidak memiliki akal budi dan pertimbangan moral, maka manusia yang dicipta menurut gambar dan rupa Allah, memiliki akal budi dan pertimbangan moral. Itu alasan, sifat moral ini tidak bisa ditiadakan begitu saja. Hanya manusia yang sudah kebinatangan yang tidak lagi memiliki pertimbangan moral. Sifat moral inilah yang menjadikan manusia bisa memiliki tuntutan keadilan dan hukum. Apabila tidak ada moral, tidak perlu ada hukum dan pengadilan.
Aspek moral manusia menjadikan manusia tidak pernah bisa tenang apabila ia telah merugikan dan menghancurkan orang lain. Tuduhan moral akan tiba padanya dan hal itu akan membuat manusia kehilangan kebahagiaannya. Mungkin ia bisa menikmati sukacita di atas kesusahan dan pengorbanan orang lain, tetapi hal itu akan mendatangkan tuntutan keadilan kepadanya, paling tidak nanti di dalam kekekalan. Hal itu yang menyebabkan orang berdosa akan begitu takut mati, karena ia sadar tidak bisa lepas dari tuntutan keadilan yang harus dipertanggungjawabkan.

c. Tidak sadarnya realita dosa dan pertobatan
Seperti telah diungkapkan sepintas, maka kelemahan utama utilitarian adalah penyangkalan akan adanya dosa dan perlunya pertobatan.
Utilitarian justru menganggap dosa sebagai kewajaran, karena dosa telah menjadi "mayoritas" dalam kehidupan masyarakat. Disini utilitarian yang ingin mencapai kebahagiaan justru gagal mengerti kaitan antara kebahagiaan dan kebenaran, serta perlawanan terhadap dosa dan kedagingan. Maka, sebenarnya yang dibutuhkan oleh dunia ini adalah pertobatan. Memang dunia sudah jatuh ke dalam dosa, dan sifat makan-memakan antar manusia berdosa telah menjadi ciri dunia yang berdosa. Itu alasan di dunia ini perlu ada polisi, pengadilan, dan penjara. Jika memang dunia ini baik, seperti asumsi utilitarianisme, maka tentulah polisi dan pengadilan tidak akan banyak peker­jaan. Sikap dan prinsip utilitarianisme justru akan menjadikan dunia ini semakin penuh dengan dosa, kepedihan dan keseng­sa­raan. Jika dunia ingin baik, maka satu-satunya jalan adalah kembali kepada Kristus, yang telah menebus dosa di kayu salib, dan bertobat sungguh-sungguh, taat kepada kebenaran yang Allah nyatakan kepada kita.





Pdt. Sutjipto Subeno, S.Th., M.Div. adalah gembala sidang Gereja Reformed Injili Indonesia (GRII) Andhika, Surabaya; Direktur: Toko Buku Momentum, Studi Korespondensi Reformed Injili Internasional (SKRII), dan Sekolah Theologi Reformed Injili Surabaya (STRIS) Andhika. Beliau adalah co-founder dari Yayasan Pendidikan Reformed Injili LOGOS (LOGOS Reformed Evangelical Education). Selain itu, beliau adalah dosen di Institut Reformed, Jakarta dan Sekolah Theologi Reformed Injili Jakarta (STRIJ). Beliau juga adalah seorang pengkhotbah KKR dan hamba Tuhan yang menguasai bidang-bidang, seperti ekonomi, pendidikan, hukum, etika dan sosial politik. Beliau menyelesaikan studi Sarjana Theologi (S.Th.) dan Master of Divinity (M.Div.) dari Sekolah Tinggi Theologi Reformed Injili Indonesia (STTRII) Jakarta. Beliau menikah dengan Ev. Susiana Jacob Subeno, B.Th. dan dikaruniai dua orang anak, Samantha Subeno (1994) dan Sebastian Subeno (1998).




Sedikit diedit oleh: Denny Teguh Sutandio.



[1] Sebenarnya Utilitarianisme dicetuskan oleh Jeremy Bentham (1748-1832) dan James Mill (1773-1836), tetapi menjadi begitu populer di tangan John Stuart Mill (1806-1873) dengan bukunya Utilitarianism (1869). Jeremy Bentham terkenal dengan bukunya An Introduction to the Principles of Morals and Legislation (1789). Bagi dia, "pleasure is the only good, and pain is the only evil." Bagi dia moral itu tidak ada artinya sama sekali jika mendatangkan kepedihan. Moral adalah kesenangan. Ia adalah seorang psikolog hedonis menurut Richard B. Brandt. Nantinya J.S. Mill mengembangkan pemikiran tentang pleasure ini di dalam bukunya, Utilitarianism, dengan membedakan berbagai bidang yang dianggap tingkat pleasure-nya berbeda-beda. Melalui buku ini istilah Utilitarianisme menjadi terkenal.

22 April 2008

PEMUJA NAMA YAHWEH (Ir. Herlianto, M.Th.)

PEMUJA NAMA YAHWEH

oleh: Ir. Herlianto, M.Th.
(Pemimpin Umum Yayasan Bina Awam—YABINA dan dosen di Sekolah Tinggi Theologi Bandung yang meraih gelar: Insinyur—Ir. dari Institut Teknologi Bandung—ITB; Bachelor of Theology—B.Th. dari Seminari Alkitab Asia Tenggara—SAAT Malang: Master of Theology—M.Th. dari Princeton Theological Seminary, U.S.A.)



“LAI dimejahijaukan Pemuja Yahwe,” demikianlah cover story tabloid Reformata Edisi 80 (1-15 Maret 2008). Ada apa dengan Pemuja Yahwe, dan siapakah mereka? Pemuja Yahwe atau lebih tepat disebut ‘Pemuja Nama Yahweh’ adalah perkembangan baru dalam kekristenan di Indonesia yang dipengaruhi Yudaisme dan dipopulerkan di Indonesia sejak dua dasawarsa lalu.

Latar belakang gerakan ini sudah terjadi jauh seabad sebelumnya. Pada abad-19, ada gerakan internasional kebangkitan Yahudi (Zionisme) yang kala itu hidup dalam diaspora khususnya di Asia Utara (Rusia), Eropah dan Amerika. Puncaknya adalah dibentuknya World Zionist Organization dengan kongres pertama di Basel (1897). Gerakan ini semula bersifat politik dengan tujuan mendirikan negara Yahudi di Palestina (Erets Yisrael), dan dari gerakan ini terdapat beberapa aliran termasuk yang menekankan Religious Zionism. Umumnya kalangan Yahudi perantauan sudah hidup secara sekular, namun ada kalangan orthodox yang berpendapat bahwa zionisme harus dicapai dengan mengembalikan orang Yahudi kepada agama dan bahasa mereka, yaitu Ibrani.

Misi Religious Zionism adalah mengajak umat Yahudi sedunia untuk menggali lagi agama Yahudi dengan Torat mereka dan menghidupkan kembali bahasa Ibrani bukan sekedar sebagai bahasa tulis tetapi juga sebagai bahasa percakapan yang selama berabad-abad menjadi bahasa lisan yang mati. Pengaruh Zionisme dengan kekuatan uang mereka menyebar ke Eropah dan Amerika Serikat. Dalam kelompok orthodox Yahudi itu ada juga sekte yang lebih jauh ingin mengembalikan ‘Nama Yahweh (YHWH, tetragrammaton)’ sebagai nama diri Tuhan, nama yang selama ini di kalangan Yahudi tradisional dianggap terlalu suci untuk diucapkan sehingga disebut dengan nama ‘Adonai’ (Tuhan) atau ‘Ha-Shem’ (Nama Itu) dan di kalangan Yahudi berbahasa Inggers disebut ‘The Lord’ (LORD). Semangat fundamentalisme agama Yahudi ini bukan saja terjadi di kalangan orang Yahudi sendiri, namun dengan mulainya banyak orang berziarah ke Israel, mereka juga mempengaruhi orang-orang Kristen yang datang ke Palestina dan terutama yang ada di Amerika Serikat.


Perkembangan di Amerika Serikat
Abad-19 terjadi kekosongan rohani di Amerika Serikat sehingga banyak aliran baru tumbuh yang menekankan khususnya nubuatan tentang Akhir Zaman, yaitu Adventis (1844), Saksi-Saksi Yehuwa (1874), dan kemudian Pentakosta (Church of God, 1886). Di samping nubuatan Akhir Zaman, Adventisme menekankan hari Sabat dan kesucian makanan, Saksi-Saksi Yehuwa mengajarkan ajaran Unitarian/Arian, dan COG menekankan karunia roh. SSY-lah yang pertama terpengaruh nama YHWH (tetragramammaton) sehingga pada pertemuan mereka di Ohio (1931) mereka secara resmi menggunakan nama Jehovah Witnesses (Saksi-Saksi Yehuwa) dan menganggap nama YHWH itu suci dan bahwa penerjemahan nama itu adalah perbuatan setan.

Dari kalangan Church of God, ada yang kemudian terpengaruh Adventisme dan menekankan hari Sabat dan membentuk Church of God, 7thday. Tiga tokoh dibelakang gerakan yang merintis pemujaan nama Yahweh berasal dari gereja COG, 7thday, yang kemudian memisahkan diri di tahun 1933 menjadi COG, 7thday, Salem, yaitu Andrew N. Dugger, Clarence O. Dodd dan Herbert W. Armstrong. Dodd setelah mengklaim didatangi dua malaekat dan dikeluarkan dari COG, 7thday, mendirikan Assembly of Yahweh yang menggunakan kembali nama Yahweh, merayakan hari Sabat, dan menjalankan bulan baru dan hari-hari raya Yahudi, dan menerbitkan majalah ‘The Faith’ (1937) untuk menyebarkan pandangannya itu.

Amstrong sefaham dengan Dodd dan di ditahbis menjadi pendeta di COG, 7thday, Oregon. Pandangannya kontroversial karena sama seperti Dodd, yang merayakan hari Sabat, kesucian makanan, dan merayakan bulan baru dan hari-hari raya Yahudi sesuai hukum Musa, ia menubuatkan bahwa orang-orang Inggeris dan Amerika adalah keturunan dari 10 suku Israel yang terhilang. Ia dikeluarkan dari COG, 7thday, karena ajarannya yang ekstrim, dan ia kemudian mendirikan Worldwide Church of God (1946) dan Ambassador College dan menerbitkan majalah Ambassador dan The Plain Truth yang disebarkan ke seluruh dunia. Pandangannya mengenai keadaan sesudah mati sama dengan Saksi-Saksi Yehuwa, yaitu bahwa orang mati dalam keadaan tidur rohani dan pada saat penghakiman akan dibangkitkan atau dimusnahkan. Ia menolak Trinitas dan beranggapan bahwa roh kudus bukan pribadi hanya kekuatan ilahi sama dengan pandangan SSY (binitarian) .

Pada umumnya pemuja nama Yahweh menolak Trinitas dan menganut faham unitarian modalis (sabelianisme, yaitu Yahweh itu Esa dan menyatakan diri [modal] sebagai bapa dan firman) atau unitarian subordinasionis (arianisme, pandangan SSY bahwa Yahshua itu ciptaan lebih rendah dari Yahweh). Dan sekalipun kepercayaan mereka bervariasi, pada umumnya mereka sepakat bahwa nama Yahweh, Elohim dan Yahshua harus dipulihkan dan tidak menyebut diri sebagai Kristen karena nama itu dianggap berasal kafir. Pemuja Nama Yahweh mudah terpecah-belah dan cenderung mendirikan gereja dengan ke khasannya sendiri seperti House of Yahweh yang menolak pre-eksistensi Yahshua. The Assembly of Yahvah lebih memilih nama Yahvah dan The Assemblies of Yah memilih nama Yah daripada Yahweh, yang lainnya memilih ejaan sendiri untuk menyebut nama Yahweh dan Yahshua.

Angelo B. Triana, murid Dodd, menolak surat-surat Paulus, namun kemudian ia menjiplak King James Bible dan mengganti nama-nama ‘LORD’ dengan Yahweh, ‘God’ dengan Elohim, dan ‘Jesus’ dengan Yahshua dan menyebutnya Holy Name Bible (PB-1950 dan PL&PB-1963) sejalan dengan terbitnya New World Translation dari Jehovah Witnesses/Saksi-Saksi Yehuwa (PB-1950 dan PL&PB-1961) yang memunculkan kembali nama YHWH. John Briggs, murid Triana mempopulerkan nama Yahshua dan kemudian mendirikan Yahveh Beth Israel.

Murid Triana lainnya, Jacob O Meyer terpecah dari Assembly of Yahweh dan mendirikan Assemblies of Yahweh (1960), dan gereja ini pecah lagi dan dibawah Donald Mansager mendirikan Yahweh’s Assembly in Messiah (1980). Adanya skandal seks beberapa pendeta mendorong Mansager memisahkan diri dan mendirikan Yahweh’s New Covenant Assembly (1985), dan pecah lagi menjadi Yahweh’s Assembly in Yahshua (2006) yang percaya bahwa ‘bahasa Ibrani adalah bahasa yang digunakan Yahweh di surga dan di taman Eden dan digunakan dalam penulisan kitab suci PL dan PB. Bahasa Ibrani adalah induk semua bahasa di dunia.’ Putranya, Alan Mansager berbeda pendapat dengan ayahnya dan mendirikan Yahweh’s Restoration Ministry. Assembly of Yahweh kemudian pecah lagi dan Robert Wirl mendirikan Yahweh’s Philadelphia Truth Conggregation (2002).

Dari perkembangan sidang jemaat pemuja nama Yahweh yang bertebaran dimana-mana yang umumnya tidak berhubungan satu dengan lainnya itu, kita dapat melihat bahwa mereka mudah sekali terpecah-pecah menjadi berbagai fraksi dan memberi nama baru sesuai dengan penekanan mereka, namun sekalipun begitu, ada beberapa butir yang sejalan, yaitu:
(1) Adanya pengaruh Adventisme soal memelihara Sabat dan Kesucian Makanan dan Saksi-Saksi Yehuwa dan sekte Yahudi yang menekankan perlunya dikembalikannya nama ‘YHWH’ (tetragrammaton) sekalipun ditafsirkan berbeda-beda (Yahweh/Yahvah/ Yah dll.) dan kembali kepada bahasa Ibrani. Ada juga yang menekankan kembali nama Elohim dan Yahshua;

(2) Mereka menolak Kitab Suci yang memuat nama-nama Lord, God, dan Jesus dan menggantinya dengan nama-nama Ibrani Yahweh, Elohim, dan Yahshua. Saat ini ada belasan versi ‘Kitab Suci’ yang diterbitkan pemuja nama Yahweh’ di Amerika Serikat;

(3) Menjalankan hukum Musa dengan konsekwen seperti merayakan Sabat, Kesucian makanan (halal-haram) , dan merayakan bulan baru dan hari-hari raya Yahudi, dengan ibadat seperti agama Yahudi. Perjamuan Kudus dirayakan setahun sekali pada malam sebelum Pasah Yahudi dan menolak perayaan Natal sama halnya dengan Saksi-Saksi Yehuwa;

(4) Menolak Trinitas, ada yang menganggap Yahweh sebagai Unitarian Modalis (Sabellianisme, Yahweh itu esa dan firmannya menjadi manusia Yahshua) atau Unitarian Subordinasionis (Arianisme, Yahshua itu lebih rendah dari Yahweh seperti pandangan SSY), atau berbagai ajaran non-trinitarian lainnya seperti tidak mempercayai pre-eksistensi Yahshua dll. Namun, sekalipun demikian banyak yang mensyaratkan agar dibaptis kembali dalam nama Yahshua;

(5) Tidak merupakan satu organisasi yang solid melainkan merupakan sidang-sidang jemaat yang independen dengan ke khasannya masing-masing, namun jelas membedakan diri dengan kekristenan pada umumnya dan lebih bercorak agama Yahudi dengan semua ritualnya.

Dari beberapa butir kesimpulan ini menjadi jelas apa yang diyakini oleh Pemuja Nama Yahweh yang kemudian masuk ke Indonesia sekitar tahun 1990.

Perkembangan di Indonesia (dilanjutkan dalam artikel ‘Pemuja Nama Yahweh di Indonesia’).

Salam kasih dari Herlianto
www.yabina.org

Resensi Buku-53: ESCAPE FROM REASON (DR. FRANCIS A. SCHAEFFER)

...Get it now...
Book
ESCAPE FROM REASON :
A Penetrating Analysis of Trends in Modern Thought


by: DR. FRANCIS A. SCHAEFFER

Publisher: InterVarsity Fellowship, England 2006

Foreword: J. P. Moreland.





Book Description :
Truth used to be based on reason. No more. What we feel is now the truest source of reality. Despite our obsession with the emotive and the experiential, we still face perennial existential problems—anxiety, despair, purposelessness.

How did we get here ? And where do we find a remedy ?

In this modern classic, Francis A. Schaeffer traces trends in twentieth-century thought and unpacks how key ideas have shaped our society. Wide-ranging in his analysis, Schaeffer examines philosophy, science, art and popular culture to identify dualism, fragmentation and the decline of reason.

Schaeffer’s work takes on a newfound relevance today in his prescient anticipation of the contemporary postmodern ethos. His critique demonstrates Christianity’s promise for a new century, one in as much need as ever of purpose and hope.







Biography of DR. FRANCIS A. SCHAEFFER :
DR. FRANCIS A. SCHAEFFER founded L’Abri Fellowship in Switzerland and was the author of many books, including The God Who is There and Art and the Bible. Until his death in 1984, he was a noted speaker with a worldwide ministry. His ministry continues through his books, with over two million copies in print.

Matius 9:18-26: ELEMEN IMAN

Ringkasan Khotbah : 24 Juli 2005

Elemen Iman
oleh: Pdt. Sutjipto Subeno, M.Div.

Nats: Mat. 9:18-26


Pendahuluan
Kita telah memahami bahwa seorang warga Kerajaan Sorga harus taat pada Sang Raja, yakni Kristus Yesus. Kristus berdaulat penuh atas hidup kita sebab Dia adalah Tuhan dan kita adalah budak-Nya maka iman sejati haruslah berpusat pada Kristus. Kalau aku ada di dalam Kristus maka bukan aku lagi yang hidup tetapi Kristus yang hidup didalamku maka sub tema kedua adalah pemuridan, yakni menjadi pengikut Kristus bukan sementara tetapi mengikut Kristus bersifat selamanya, secara mutlak hidup hanya bersandar pada-Nya, bukan kita yang mengatur diri tetapi Tuhan yang mengatur setiap langkah hidup kita dan kita akan merasakan sukacita dan damai sejahtera hidup dibawah pimpinan Sang Raja yang Maha Bijaksana. Seorang pengikut Kristus sejati haruslah berbeda dengan pengikut dunia dengan demikian kita menjadi berkat dan saksi bagi dunia; kita bagaikan domba yang ada di tengah-tengah serigala. Memang tidak mudah bagi seorang anak Tuhan hidup di tengah dunia, kita akan dimusuhi karena kita berbeda maka satu-satunya kekuatan hanya dengan berpaut dan beriman pada Kristus, Tuhan dan Raja atas alam semesta. Keempat sub tema ini dipaparkan oleh Matius sedemikian rupa dimana di setiap masing-masing sub tema diberikan tiga kisah dengan demikian setiap pengikut Kristus semakin dicerahkan dan hidup seperti teladan Kristus.

Pada sub tema keempat, yaitu iman maka Matius banyak menuliskan kata “percaya“, Matius ingin menekankan bahwa sebagai pengikut Kristus sejati maka sepenuhnya kita harus beriman pada Kristus bukan beriman pada “hasil iman“ tetapi lebih daripada itu, beriman pada Kristus adalah iman yang menyelamatkan. Bangkitnya anak perempuan Yairus dari kematian bukanlah sekedar kebangkitan jasmani tetapi kebangkitan rohani yang bersifat kekal. Maka pada kisah yang kedua, sekali lagi Matius mengajak kita melihat pada kisah yang mirip dengan sebelumnya, yakni orang buta yang disembuhkan. Kisah tentang orang buta yang disembuhkan ini juga terjadi di kota Yerikho, yakni kisah Bartimeus, seorang buta yang dicelikkan. Perhatikan, di sepanjang Alkitab banyak mujizat terjadi tetapi tidak ada satupun nabi atau para rasul yang melakukan mujizat mencelikkan mata orang buta; hanya Tuhan Yesus saja yang dapat melakukannya. Satu-satunya orang buta yang dicelikkan bukan oleh Tuhan Yesus adalah Saulus, itupun Saulus tidak buta sejak lahir tetapi karena hukuman Tuhanlah ia menjadi buta dan Tuhan memakai Ananias untuk memulihkannya kembali. Mujizat ini sebenarnya merupakan gambaran bahwa Kristus bukan hanya dapat mencelikkan mata jasmani tetapi lebih daripada itu, Tuhan Yesus mencelikkan mata rohani.

Perhatikan, ketika Tuhan Yesus bertanya kepada kedua orang buta ini, “Percayakah kamu, bahwa Aku dapat melakukannya?“ disini tidak ada satu penekanan; Tuhan Yesus tidak menuntut manusia untuk berespon sebab itu merupakan hak setiap manusia untuk berespon. Justru setelah Tuhan Yesus mencelikkan mata mereka, dengan tegas, Tuhan Yesus berpesan supaya mereka tidak menceritakan hal ini pada orang lain tapi mereka melanggarnya, yang terjadi hari ini justru sebaliknya, egoisme dan kesombongan manusia mendorong supaya mereka “bersaksi“ demi untuk keuntungan diri. Pertanyaannya sekarang adalah kalau kita beriman, elemen iman seperti apakah yang seharusnya kita miliki sehingga kita memiliki iman sejati? Ada lima elemen iman yang hendak dipaparkan oleh Matius terdiri dari:
1. Aktif
Percaya adalah suatu langkah aktif menghampiri Kristus sebagai obyek iman sejati. Hal ini dilakukan oleh kedua orang buta ini, mereka mengikuti kemanapun Yesus pergi sambil berseru-seru: “Kasihanilah kami, hai Anak Daud“ berarti mereka tahu kalau Yesus adalah Mesias yang dinubuatkan itu. Tentu tidaklah mudah mengikuti kemanapun Yesus pergi, pasti banyak kesulitan dan hambatan bagi kedua orang buta ini namun toh mereka tetap mengikut. Inilah yang namanya fokus iman, aktif beriman pada Kristus yakni sekali mengarahkan diri pada Kristus maka tidak akan berpaling lagi. Beriman bukanlah pasrah, hopeless, orang yang pasrah justru menunjukkan ia tidak beriman, ia tidak tahu harus berbuat apa. Maka jelaslah bahwa beriman bukan pasrah tetapi aktif mengerjakan dan menuju pada obyek iman yang sejati, yaitu Kristus dan ini sekaligus kita menghancurkan obyek iman yang lain termasuk diri kita sendiri. “Percayakah kamu, bahwa Aku dapat melakukannya?“, dunia menganggap pertanyaan ini tidaklah logis namun justru disinilah inti man sejati; pertanyaan ini sekaligus menguji diri kita, yakni bagaimana mata kita diarahkan pada Kristus, obyek iman sejati. Bukanlah hal yang mudah bagi manusia untuk percaya sebab manusia telah terbiasa dilatih untuk menyelesaikan masalahnya sendiri. Hari ini banyak orang yang mengaku Kristen, mereka mengaku percaya pada Kristus Yesus tetapi sekaligus juga percaya pada obyek iman lain dan celakanya, manusia berani mengadu diantara obyek iman tersebut, siapa yang lebih kuat Kristus Yesuskah atau diri yang juga menjadi obyek iman.

2. Penundukan Diri
Elemen iman yang kedua ini sepertinya berlawanan dengan elemen iman yang pertama namun sesungguhnya tidaklah demikian, maka lebih tepat dikatakan paradoks. Hati-hati, iman yang aktif memfokus pada Kristus bukanlah sebuah ambisi atau keinginan maka disamping aktif, kita juga harus sekaligus menundukkan diri secara total kepada Kristus. Inilah kunci iman yang sejati. Dua orang buta ini tunduk mutlak pada Kristus, mereka tetap taat pada Kristus. Dua orang buta ini aktif datang pada Kristus, mereka selalu mengikut kemanapun Tuhan Yesus pergi sambil berseru-seru: “Kasihanilah kami, hai Anak Daud“, mereka tidak peduli meskipun mereka mendapatkan perlakuan yang tidak baik dari orang-orang yang ada di sekitar Tuhan Yesus, mereka hanya tahu satu hal yakni taat pada Kristus. Aktif sekaligus tunduk, kedua aspek ini sangat sulit dilakukan oleh manusia, orang cenderung mendualismekan; seorang yang aktif tidak akan mau tunduk, ia selalu berjalan menurut kemauannya sendiri sebaliknya orang yang tunduk selalu cenderung pasif, setelah ada perintah barulah ia kerjakan kalau tidak ada perintah maka ia pasif, tidak mengerjakan apapun. Seorang warga Kerajaan Sorga sejati haruslah menjalankan kedua aspek tersebut, yakni aktif dan tunduk mutlak; kalau kita dapat menjalankan keduanya maka kita akan memperoleh kesuksesan. Dimanapun kita bekerja maka keberadaan kita tersebut haruslah menjadi berkat, yakni atasan kita akan merasa tertolong dengan keaktifan kita tetapi perlu diperhatikan aktif disini tentulah yang sesuai dengan keinginan atasan kita, bukan aktif yang menurut kemauan kita sebab itu malah tidak menolong tetapi justru semakin menyusahkan. Kristus telah mengasihi kita sedemikian rupa maka sebagai warga Kerajaan Sorga sikap kita terhadap Kristus Tuhan dan Raja atas semesta alam seharusnya lebih baik dibandingkan sikap kita pada orang lain yang menjadi atasan kita di dunia; apapun yang kita kerjakan haruslah menyenangkan hati-Nya dan kemuliaan hanya bagi Dia saja. Iman bukan memaksakan kehendak kita tetapi menjalankan apa yang menjadi kehendak Tuhan.

3. Sabar
Orang yang beriman sejati adalah orang yang sabar menunggu waktu Tuhan. Selain aktif untuk tunduk mutlak, kita juga harus aktif untuk peka akan pimpinan Tuhan atas hidup kita, dan juga peka akan waktu Tuhan. Kalau waktu Tuhan belum tiba maka janganlah kita paksa sebab semua yang terjadi di luar waktu Tuhan justru akan menghancurkan hidupmu apalagi kalau iblis turut campur maka kita harus lebih berhati-hati sebab iblis sangatlah licik, ia akan membuat segala sesuatu yang ada di depan mata kelihatan indah tetapi kemudian berakhir dengan kebinasaan. Perhatikan, kedua orang buta ini selalu mengikuti Tuhan Yesus tetapi Tuhan Yesus tidak menghiraukannya sampai tiba waktu-Nya, barulah mereka disembuhkan. Kalau kita yang diperlakukan demikian oleh Tuhan Yesus, bagaimanakah sikapmu? Orang yang ambisius pasti akan marah, sesungguhnya orang yang ambisius itu juga ingin ditolong tapi waktu dan caranya haruslah sesuai dengan keinginan diri. Memang siapakah kita berani mengatur dan memaksa Tuhan untuk menuruti kehendak kita? Setiap hal yang menjadi beban pelayanan kita hendaklah kita pergumulkan terlebih dahulu, benarkah itu kehendak Tuhan ataukah ambisi kita? Ingat, kalau Tuhan sudah berkehendak maka tidak ada apapun dan tidak ada satupun manusia yang dapat menghambatnya tapi kalau beban itu adalah ambisi kita maka jangan pernah berharap akan menjadi sukses. Ingat, melayani bukanlah mengaplikasikan ambisi diri tetapi melayani adalah taat melakukan kehendak Tuhan, sabar menanti waktu Tuhan.


4. Tahan Uji
Iman sejati harus diuji dan iman sejati harus lulus dari ujian, seperti emas semakin dibakar makin nampak kemurniannya demikian juga seharusnya iman. Setiap orang pasti beriman akan tetapi pertanyaannya adalah siapakah yang menjadi obyek imannya? Apakah obyek iman tersebut membawa kita pada keselamatan ataukah membawa kita pada kehancuran? maka tugas kita untuk membawa mereka pada kebenaran sejati. Orang Kristen bukan hasil reparasi tetapi orang Kristen adalah ciptaan baru di dalam Kristus maka seluruh pola pikirnya, tatanan dan kepercayaannya haruslah berubah dan hal ini tidaklah mudah karena itu iman perlu diuji. Orang yang takut imannya diuji membuktikan kalau ia tidak beriman, imannya rapuh. Ujian iman itu bukanlah untuk menjatuhkan dan membawa kita ke dalam dosa, tidak, ujian justru tempat untuk memurnikan iman dan ketahanan itu muncul saat kita berada dalam tekanan dan penderitaan, masihkah engkau percaya pada Kristus?
Biarlah hal ini menjadi kekuatan kita untuk hidup di tengah dunia yang kacau ini. Iman sejati membawa kita pada suatu titik krusial, siapakah obyek sekaligus subyek iman kita? Apa atau pada siapa yang kita percaya maka obyek iman itu sekaligus menjadi subyek yang mengatur hidup kita. Orang yang percaya pada diri sendiri maka diri sendiri akan mengatur seluruh langkahnya namun Tuhan menegaskan bahwa tanpa Tuhan semua yang kita kerjakan hanya berakhir dengan kesia-siaan; Tuhan menetapkan langkah-langkah orang yang hidupnya berkenan kepada-Nya, apabila ia jatuh tidak sampai tergeletak sebab Tuhan menopang. Iman sejati haruslah mempunyai daya tahan sehingga ketika kita berada dalam menghadapi kesulitan, kita tetap mempunyai keberanian untuk berkata: tidak seperti teladan Sadrakh, Mesakh dan Abednego. Sadrakh, Mesakh, Abednego percaya bahwa Allah yang ia sembah dapat melepaskannya dari dapur api tapi seandainya tidakpun mereka tidak akan meninggalkan Allah. Dunia semakin hari semakin rusak dan kacau maka tugas setiap anak Tuhan untuk membawa orang pada iman kebenaran sejati dengan demikian orang mempunyai dasar iman yang teguh, tidak mudah diombang-ambingkan oleh tekanan arus dunia dan itu menjadi kekuatan dan penghiburan bahwa Tuhan senantiasa memelihara hidup kita.

5. Rendah Hati
Hati-hati, orang yang selalu mendapatkan pertolongan dari Tuhan ketika ia berada dalam kesulitan, mendapatkan penghiburan dari Tuhan di saat ia sedih maka sangatlah mudah baginya jatuh dalam kesombongan. Tuhan ingin supaya kita rendah hati. Dari jawaban dua orang buta ini, yakni: “Ya Tuhan, kami percaya“ menunjukkan kerendahan hatinya, mereka menyadari bahwa mereka adalah budak. Namun karena kasih-Nya yang begitu besar sehingga Dia tidak lagi menganggap kita sebagai budak melainkan seorang sahabat akan tetapi status sahabat itu janganlah menjadikan kita menjadi sombong bahkan cenderung kurang ajar. Kita sepatutnya bersyukur kalau kita dapat merasakan pimpinan Tuhan atas hidup kita, bersyukur atas mujizat besar, yaitu pertobatan dalam diri kita dan juga bersyukur, di saat kita berada dalam kesulitan, Dia memberikan penghiburan dan kekuatan, dan kuasa-Nya menyertai hidup kita. Akan tetapi, biarlah pemeliharaan-Nya atas hidup kita menjadikan kita mawas diri, kita tetap harus sadar bahwa sesungguhnya, kita adalah budak dan Dia adalah Tuhan. Beriman pada Kristus mengharuskan kita untuk rendah hati. Satu hal yang kita tahu, yakni hanya bersandar mutlak pada-Nya. Ingat, memang Tuhan ingin supaya kita aktif namun juga tunduk mutlak pada-Nya karena Dia adalah Tuhan diatas segala tuan dan kita adalah budak.
Biarlah konsep ini terus kita sadari dan terimplikasi dalam hidup kita maka kita akan mempunyai iman yang kokoh yang tidak mudah diguncangkan oleh segala macam badai kehidupan akan tetapi meski badai itu datang percayalah, sekali-kali Tuhan tidak akan pernah meninggalkan engkau. Percayakah engkau, bahwa Aku dapat melakukannya? Amin.

(Ringkasan khotbah ini belum diperiksa oleh pengkhotbah)
Sumber:

Roma 7:21-26: HUKUM TAURAT DALAM PERSPEKTIF KRISTEN-4

Seri Eksposisi Surat Roma :
Manusia Lama Vs Manusia Baru-11


Hukum Taurat Dalam Perspektif Kristen-4 :
Jalan Keluar dari Dosa dan Fungsi Hukum Taurat

oleh: Denny Teguh Sutandio


Nats: Roma 7:21-26.

Setelah mempelajari tentang efek dosa di dalam diri manusia terhadap Taurat, Paulus akan memberikan jalan keluar dari masalah dosa tersebut dan fungsi Hukum (Taurat) itu sesungguhnya.

Di ayat 13-20, Paulus sudah mengajarkan bahwa meskipun hukum Taurat itu kudus, benar dan baik, tetapi ia tak mampu melakukannya 100% karena adanya dosa. Ia melanjutkannya pada ayat 21 s/d 23 dan diakhiri dengan kesimpulan di ayat 24 serta jalan keluar dari dosa di ayat 25-26. Di ayat 21, Paulus mengatakan, “Demikianlah aku dapati hukum ini: jika aku menghendaki berbuat apa yang baik, yang jahat itu ada padaku.” Terjemahan lain (King James Version) mengatakan bahwa aku (Paulus) menemukan kemudian bahwa ketika ia menghendaki berbuat yang baik, yang jahat (=hal yang tidak bernilai/berharga) lah yang mendekatiku. Di dalam ayat ini, Paulus hendak mengatakan bahwa di dalam diri manusia ada benih agama (seperti yang dinyatakan Calvin : sensus divinitatis) yaitu pengenalan akan Allah yang mengakibatkan dirinya memiliki kehendak baik untuk berbuat baik. Dalam hal ini, Paulus pun tak terkecuali, ia juga menyamakan dirinya dengan semua manusia. Tetapi sayangnya, akibat dosa, maka ia tak lagi bisa melakukan apa yang dikehendakinya, sehingga ia berkata bahwa ketika ia hendak berbuat baik, maka yang jahat justru mendekatinya. Kata “ada” dalam pernyataan “ada padaku” dalam bahasa Yunani bisa diterjemahkan berada dekat (to lie near). Ini berarti dosa mengakibatkan sesuatu yang tidak bernilai/worthless (terjemahan dari bahasa Yunani kakos pada kata evil/kejahatan) bisa mendekati seseorang ketika seseorang ingin berbuat baik. Memang unik. Banyak manusia berpikir bahwa ketika ia ingin berbuat baik, maka perbuatan baiklah yang keluar, tetapi Alkitab membukakan kepada kita sesuatu yang sangat berbeda, yaitu justru ketika kita berbuat baik di luar Allah, maka sesuatu yang tak bernilai adalah hasilnya. Mengapa demikian ? Apakah kita tidak boleh berbuat baik ? TIDAK. Kita boleh berbuat baik, tetapi di luar Kristus, perbuatan baik itu sia-sia, karena perbuatan baik itu dilakukan bukan dengan motivasi dan tujuan untuk memuliakan Allah, tetapi untuk memuliakan diri. Di Indonesia, kita melihat begitu banyak fakta yang menunjukkan hal ini yaitu perbuatan “baik” palsu. Menjelang bulan-bulan “suci” agama tertentu, para pemeluk agama berpuasa, beramal, dan melakukan kegiatan-kegiatan religius tertentu dengan tujuan agar amal ibadahnya diterima di sisi “Tuhan”. Benarkah mereka berbuat baik ? Niat hati boleh berbuat baik, tetapi kebrengsekan yang sering dijumpai. Bagaimana tidak brengsek, mereka berpuasa, tetapi mereka memaksa orang lain yang tak berpuasa untuk menghormati dirinya yang sedang berpuasa. Bahkan mereka memaksa mal dan restoran/rumah makan/depot/sejenisnya untuk tutup selama mereka melangsungkan “ibadah” puasa. Kalau mau berpuasa, mengapa mereka harus teriak sini-sana dan menyuruh orang memerhatikan dirinya. Itukah berbuat “baik” ? Bandingkan dengan perkataan Tuhan Yesus yang sangat mulia ini, “"Dan apabila kamu berpuasa, janganlah muram mukamu seperti orang munafik. Mereka mengubah air mukanya, supaya orang melihat bahwa mereka sedang berpuasa. Aku berkata kepadamu: Sesungguhnya mereka sudah mendapat upahnya. Tetapi apabila engkau berpuasa, minyakilah kepalamu dan cucilah mukamu, supaya jangan dilihat oleh orang bahwa engkau sedang berpuasa, melainkan hanya oleh Bapamu yang ada di tempat tersembunyi. Maka Bapamu yang melihat yang tersembunyi akan membalasnya kepadamu."” (Matius 6:16-18) Tuhan Yesus mengajarkan berpuasa adalah hal yang baik, tetapi bukan untuk dilihat orang. Tetapi agama mayoritas di Indonesia mengajarkan hal yang sangat bertentangan yaitu berpuasa untuk dilihat orang bahkan memaksa orang untuk menghormati dirinya. Ibadah sejati bukan menyanjung manusia, tetapi memuliakan Allah. Silahkan pikirkan sendiri, apakah perbuatan “baik” yang dilakukan oleh penganut agama mayoritas di Indonesia ini dapat dikategorikan “baik” atau munafik ? Kalau kita mengerti hal ini, maka itulah yang dimaksud Paulus ketika ia mengajar bahwa ketika manusia berkehendak baik, maka hasilnya justru sesuatu yang tak bernilai, karena perbuatan “baik” itu dilakukan tanpa Kristus/di luar Allah.

Mengapa bisa demikian ? Paulus menjelaskan alasannya pada ayat 22 dan 23, “Sebab di dalam batinku aku suka akan hukum Allah, tetapi di dalam anggota-anggota tubuhku aku melihat hukum lain yang berjuang melawan hukum akal budiku dan membuat aku menjadi tawanan hukum dosa yang ada di dalam anggota-anggota tubuhku.” Sekali lagi, ia membuat perbedaan antara jasmani dengan rohani. Dalam bagian ini, ia tidak mengajarkan filsafat dualisme ala Yunani yang memisahkan hal-hal natural dengan supranatural, tetapi ia sedang menitikberatkan pengajaran tentang dosa dan jalan keluarnya. Ayat 22 mengajarkan bahwa Paulus secara batiniah (inward man/manusia batiniah) suka akan hukum Allah (atau diterjemahkan : menyukai/bersukacita/rejoice hukum Allah). Geneva Bible Translation Notes menyamakan arti inward man dengan new man (=manusia baru) yang dibedakan dan dikontraskan dengan manusia lama (old man). Tetapi Paulus sendiri menegaskan bahwa meskipun secara batin ia menyukai hukum Allah, tetapi ia secara jasmani tidak menaati hukum Allah tersebut. Ini lah yang disebut ketegangan di dalam iman Kristen yaitu bergumul melawan dosa. Apa sajakah yang dijelaskan Paulus tentang tubuh jasmani yang berlawanan dengan batin tersebut ?
Pertama, di dalam tubuh jasmaniah, Paulus melihat hukum yang berbeda dari hukum Allah. Kata “hukum lain” bisa diterjemahkan hukum yang berbeda. Dosa mengakibatkan munculnya suatu “hukum” ciptaan yang menandingi hukum Allah yaitu suatu hukum yang menyanjung kehebatan diri, kesanggupan, kepintaran dan kemampuan pribadi serta ketidakperluan manusia akan Allah. Itu sebabnya mengapa saya mendefinisikan (sesuai arti dalam bahasa Yunani) hukum yang lain itu sebagai hukum yang berbeda, karena kedua hukum tersebut memiliki dua esensi dan pengaruh yang sangat berbeda/bertolak belakang. Ketika kita kembali kepada kasus Adam dan Hawa, kita akan mendapati hal ini lebih jelas. Adam sudah mendapatkan pengajaran yang sangat jelas dari Tuhan bahwa ia tidak boleh makan buah pengetahuan baik dan jahat. Dalam batiniahnya, ia mengerti dan berkehendak untuk menaatinya, tetapi sayangnya di dalam jasmani, ia lebih menaati “hukum” yang berbeda yang menentangnya, yaitu “hukum” diri (saya menyebutnya self-law) yang dipengaruhi setan yang mengakibatkan dia lebih menaati iblis ketimbang Allah. “Hukum” diri inilah yang mengakibatkan ia jatuh ke dalam dosa. Orang-orang Farisi dan para ahli Taurat juga mengetahui Taurat secara batin dan pikiran, tetapi tidak secara jasmani, sehingga mereka menonjolkan diri ketika beribadah (mirip seperti penganut agama mayoritas di Indonesia), dan mereka menyangka bahwa dengan cara demikian, “Tuhan” menjawab doa mereka. Itulah “hukum” diri yang menggantikan hukum Allah. Bagaimana dengan kita ? Di zaman postmodern yang anti otoritas, manusia semakin tidak mau tunduk kepada hukum apapun bahkan Alkitab dengan beribu cara, tetapi secara tidak sengaja, mereka sebenarnya tunduk kepada “hukum” diri bahwa tidak ada hukum yang perlu ditaati kecuali dirinya yang anti-hukum. Itulah “hukum” diri, padahal diri manusia adalah diri yang mudah rapuh, terbatas, berdosa dan lemah.
Kedua, bukan hanya adanya hukum yang berbeda, Paulus juga melihat bahwa hukum tersebut melawan (atau menyerang) hukum akal budi. Di sini, Paulus hendak mengajarkan bahwa hukum jasmani atau yang saya sebut sebagai “hukum” diri ini bukan saja bertentangan dengan hukum Allah, tetapi “hukum” ini juga menyerang dan bahkan menghancurkan hukum Allah. Kembali, orang-orang Farisi dan para ahli Taurat di zaman Kristus sudah membuktikan dengan jelas mengenai hal ini ketika mereka datang kepada Kristus dan berkata, “"Mengapa murid-murid-Mu melanggar adat istiadat nenek moyang kita? Mereka tidak membasuh tangan sebelum makan."” (Matius 15:2) Mereka lebih meninggikan adat istiadat atau saya sebut sebagai “hukum” diri/eksklusif ketimbang hukum Allah. Mereka menganggap adat istiadat atau tradisi sebagai hukum yang mutlak. Bagaimana respon Tuhan Yesus ? Kristus menjawab, “Mengapa kamupun melanggar perintah Allah demi adat istiadat nenek moyangmu?” (Matius 15:3) Mengutip pemaparan Pdt. Sutjipto Subeno yang menafsirkan bagian ini, Tuhan Yesus bukan sedang beradu argumentasi dengan para ahli Taurat, tetapi Ia sedang menunjukkan satu hal yang lebih tinggi yaitu hukum Allah yang seharusnya dihormati dan ditaati malahan direndahkan dan dikorbankan demi adat istiadat (satu tingkat level yang lebih tinggi dari perkataan para ahli Taurat). Perintah-perintah karangan para ahli Taurat telah menggantikan esensi dari Hukum Taurat sejati, sehingga dengan “hukum” ciptaan tersebut, mereka mengira bahwa mereka berbuat “baik”. Tuhan Yesus lalu mengutip perkataan nabi Yesaya, “Bangsa ini memuliakan Aku dengan bibirnya, padahal hatinya jauh dari pada-Ku. Percuma mereka beribadah kepada-Ku, sedangkan ajaran yang mereka ajarkan ialah perintah manusia.” (Matius 15:8-9) Kristus membukakan kedok kemunafikan para ahli Taurat yaitu mereka sebenarnya sedang mengajarkan perintah manusia kepada orang-orang Yahudi dan parahnya, perintah itu telah melawan perintah Allah, sehingga orang-orang Yahudi sampai sekarang dibodohi dan masih menunggu kedatangan Mesias. Dalam hal ini, iblis sangat berperan aktif memelintir hukum Allah agar menghasilkan hukum yang mengenakkan dirinya dan kroni-kroninya bahkan menghancurkan hukum Allah. Bagaimana dengan kita ? Kita seringkali menciptakan “hukum” yang berbeda dari hukum Allah misalnya dengan pengagungan tradisi, dll, bahkan tradisi yang kita bangun bisa menghancurkan hukum Allah, misalnya rela untuk tidak pergi ke gereja, ketika ada upacara sembahyang di depan kuburan atau “tradisi” lain. Atau kita bahkan tidak sengaja lebih suka berbagi angpao ketimbang harus berbagi Injil kepada saudara/kerabat/rekan kita. Itu semua menunjukkan bahwa hukum yang berbeda itu bahkan bisa menghancurkan hukum Allah. Sadarkah kita akan hal ini ?
Ketiga, hukum yang berbeda ini akhirnya mengakibatkan kita menjadi hamba dosa. International Standard Version (ISV) menerjemahkannya a prisoner of sin (=seorang narapidana/tawanan dosa). Gambaran narapidana lebih tepat mengartikan hal ini. Hukum yang berbeda dari hukum Allah yang bahkan bisa menghancurkan hukum Allah ternyata mengakibatkan kita diperbudak oleh hukum tersebut sehingga kita akhirnya menjadi tawanannya yang tidak bisa melarikan diri/keluar darinya seperti orang yang di dalam penjara (narapidana). “Hukum” tersebut terus merongrong dan mempengaruhi kita bahwa hukum Allah itu “jelek”, “tidak enak”, “kaku”, dll, dan menyodorkan hukumnya sebagai hukum yang “enak”, “gaul”, “baik”, dll, sehingga kita seolah-olah dijerat dan tidak bisa lari. Kalau kita kembali pada kisah di atas (Matius 15), maka orang-orang Farisi dan para ahli Taurat juga menjadikan aturan-aturan mereka sebagai pengganti hukum Allah yang akhirnya mengikat orang-orang Yahudi dan mengakibatkan mereka tidak bisa lepas dari ikatan tersebut, misalnya karena para ahli Taurat menetapkan bahwa di hari Sabat tidak boleh ada yang bekerja berat (bahkan tidak boleh mengangkat barang beberapa kilogram), maka orang-orang Yahudi akan menimbang beban yang akan dipikulnya di hari Sabat, padahal aturan-aturan tersebut tidak penting (karena ditetapkan bukan oleh Allah, tetapi oleh para ahli Taurat yang mengatasnamakan dari “Allah”).

Lalu, Paulus menyimpulkan kondisi keparahan dosa ini di dalam ayat 24, “Aku, manusia celaka! Siapakah yang akan melepaskan aku dari tubuh maut ini?” Kata “celaka” dalam King James Version, International Standard Version (ISV) dan English Standard Version (ESV) diterjemahkan wretched (=hina/sial), dalam bahasa Yunaninya talaipōros bisa berarti miserable (=menyedihkan/melarat/bermutu rendah/buruk). Inilah kondisi manusia berdosa yang menyadari kerusakan total dirinya. Paulus adalah orang yang sangat terbuka di hadapan Tuhan dan kita bahwa kita sebenarnya adalah sosok manusia yang hina, melarat, bermutu rendah, dan busuk di mata Allah. Bukan hanya sadar diri, Paulus juga bertanya tentang solusi untuk keluar dari kerusakan total ini, yaitu siapa yang akan melepaskan/membebaskan manusia dari tubuh kematian ini. Dari ayat-ayat sebelumnya, kita telah belajar banyak hal tentang perbuatan “baik” yang sesungguhnya tidak pernah baik jika di luar Allah mengakibatkan orang yang semakin berbuat “baik” malahan menghasilkan sesuatu yang jahat/tidak bernilai dan otomatis perbuatan “baik” se”baik” apapun tak mungkin dapat melepaskan manusia dari jerat dan kutuk dosa, karena dosa BUKAN diselesaikan dengan banyaknya perbuatan “baik” ! Adalah anggapan konyol untuk berpikir bahwa dengan berbuat “baik”, manusia bisa diselamatkan ! Paulus telah membukakan hal ini di ayat-ayat sebelumnya. Lalu, kalau perbuatan “baik” tidak mampu melepaskan manusia dari jerat dan kutuk dosa, lalu bagaimana solusinya/siapa yang dapat melepaskan ?

Puji Tuhan, Paulus mengatakan di ayat 25, “Syukur kepada Allah! oleh Yesus Kristus, Tuhan kita.” Tidak ada jalan lain, kecuali hanya satu yaitu Bapa mengutus Putra Tunggal-Nya, Tuhan Yesus Kristus untuk menjelma menjadi manusia (tanpa meninggalkan natur Ilahi-Nya) untuk menebus dosa-dosa manusia pilihan-Nya. Paulus bersyukur untuk hal ini dan bahkan ia sendiri mengajarkan bahwa barangsiapa yang percaya di dalam Kristus, ia tidak akan dihukum (Roma 8:1→hal ini akan dijelaskan lebih lanjut di bagian berikutnya). Mengapa ? Karena Kristus telah mengganti dosa-dosa manusia pilihan-Nya (substitusi), mendamaikan umat-Nya yang berdosa dengan Allah (rekonsiliasi) dan meredakan murka Allah kepada umat-Nya (propisiasi), sehingga kebenaran dan ketaatan Kristus kepada Bapa dilimpahkan kepada kita yang tidak layak ini. Akibatnya, kita yang dahulu tidak benar dan tidak taat dapat dibenarkan oleh Allah di dalam Kristus sehingga kita dimampukan melalui Roh Kudus untuk taat secara terus-menerus kepada Bapa melalui Firman-Nya, Alkitab. Hal ini dipaparkan Paulus di ayat 26 yang di dalam terjemahan KJV digabungkan dengan ayat 25, “Jadi dengan akal budiku aku melayani hukum Allah, tetapi dengan tubuh insaniku aku melayani hukum dosa.” Dengan adanya dua pembedaan ini, tidak berarti Paulus kembali menekankan bahwa tubuh ini jahat dan roh itu baik (dualisme), tetapi ia menekankan pentingnya penebusan Kristus yang terus-menerus menguduskan dirinya melalui Roh Kudus. Geneva Bible Translation Notes menafsirkan, “This is the true perfection of those that are born again, to confess that they are imperfect.” (=Inilah kesempurnaan sejati dari orang yang dilahirkan kembali, yaitu mengaku bahwa mereka tidak sempurna.) Inilah paradoks di dalam iman Kristen, kesempurnaan sejati didapat di dalam kekekalan, sedangkan di dalam dunia ini, kita sudah dan belum disempurnakan. Artinya, kita sudah disempurnakan oleh darah penebusan Kristus, tetapi kita menanti untuk terus-menerus disempurnakan sampai akhirnya kita bertemu muka dengan muka dengan Kristus dan Bapa di Surga. Dengan kata lain, iman dan pengertian ini akan Firman Allah seharusnya mendorong dan melatih tubuh jasmani kita untuk taat kepada Firman Allah, sehingga iman kita bukan iman yang kosong dan kaku, tetapi iman yang berkuasa dan hidup karena iman kita didasarkan pada Firman Allah yang hidup dan berkuasa.

Kita memang masih bisa berbuat dosa, tetapi Alkitab menyatakan bahwa orang yang lahir dari Allah tidak akan terus-menerus berbuat dosa, karena orang yang lahir dari Allah ditanamkan benih Ilahi di dalam dirinya. Sudahkah kita mengalami hal ini dan terus berjuang melawan dosa dan menghambakan diri hanya kepada Kristus ? Kiranya Tuhan memberkati. Soli Deo Gloria.