20 February 2011

ADA APA DI BALIK SALIB?-1: Salib dan Jawaban terhadap Realitas Penderitaan (Denny Teguh Sutandio)

Renungan Menjelang Jumat Agung 2011



ADA APA DI BALIK SALIB?-1:
Salib dan Jawaban Terhadap Realitas Penderitaan


oleh: Denny Teguh Sutandio




“Ia dihina dan dihindari orang, seorang yang penuh kesengsaraan dan yang biasa menderita kesakitan; ia sangat dihina, sehingga orang menutup mukanya terhadap dia dan bagi kitapun dia tidak masuk hitungan.”
(Yes. 53:5)

“Ia telah ada di dalam dunia dan dunia dijadikan oleh-Nya, tetapi dunia tidak mengenal-Nya. Ia datang kepada milik kepunyaan-Nya, tetapi orang-orang kepunyaan-Nya itu tidak menerima-Nya.”
(Yoh. 1:10-11)





Suka tidak suka, mau tidak mau, dunia kita sedang diliputi oleh berbagai peristiwa menyedihkan, mulai kematian, bencana alam, terorisme, huru-hara di Timur Tengah, dll. Tema penderitaan dan kejahatan yang merajalela di dunia ini telah menjadi tema penting yang ditanyakan oleh orang-orang dunia yang melawan Allah. Ada dua reaksi yang muncul dari dunia tentang penderitaan. Ada agama yang percaya bahwa hidup adalah penderitaan. Agama ini percaya bahwa penderitaan muncul karena adanya keinginan/nafsu, sehingga agar lepas dari penderitaan, manusia harus meniadakan keinginannya (yang jahat). Sedangkan di sisi lain, mereka yang tidak beragama langsung bertanya sinis, “Jika Allah ada, mengapa ada kejahatan?” Pertanyaan ini bahkan pernah diucapkan oleh seorang mantan penginjil, Charles Templeton (rekan pelayanan Billy Graham) yang akhirnya menjadi seorang agnostik (tidak tahu apakah Allah itu ada atau tidak), namun tetap mencintai Yesus. Templeton akhirnya tidak percaya Alkitab lagi setelah melihat dan merenungkan gambar seorang wanita miskin di Afrika yang mengharapkan hujan turun, namun hujan tidak turun juga. Dari gambar itu, ia mulai berpikir bahwa jika Allah ada, maka Ia tentu akan memberikan hujan kepada wanita ini. Ada apa sebenarnya di balik pertanyaan, “Jika Allah ada, mengapa ada kejahatan?”

Tentu mereka TIDAK akan pernah bertanya, “Jika Allah ada, mengapa ada kebaikan?”, karena mereka berpikir bahwa kebaikan itu harus ada tanpa Allah harus eksis/ada. Dengan kata lain, mereka hendak mengatakan bahwa kebaikan itu TIDAK tergantung apakah Allah itu ada atau tidak, namun fakta kejahatan dan penderitaan langsung diasosiasikan dengan keberadaan Allah. Di sinilah, kegagalan cara berpikir manusia berdosa yang sok pandai. Kegagalan kedua, mereka bisa mengatakan “kejahatan”, berarti di dalam benak mereka, ada kebaikan dan kejahatan, tolong tanya, apa standar mereka mengatakan kebaikan dan kejahatan? Apakah kebaikan dan kejahatan itu mutlak atau relatif? Jika mutlak, apa standarnya? Jika relatifnya, apakah berarti tidak ada standarnya? Jika tidak ada standarnya, pernyataannya yang mengatakan bahwa kebaikan dan kejahatan itu relatif pun JUGA tidak boleh dijadikan standar! Yang paling aneh, jika para penganut paham hukum alam (hukum karma) ditanya tentang standar baik dan jahat, mereka akan berkata hati nurani (aspek internal), tetapi hati nurani standarnya apa? Mereka berkata, standarnya lingkungan (aspek eksternal). Pertanyaan lebih lanjut, jika waktu itu hanya ada manusia pertama saja yang eksis di dunia, mungkinkah lingkungan alam yang MATI dapat membentuk sebuah hati nurani? Mereka pasti mengalami gang buntu dalam menjawab hal ini karena mereka telah membuang Allah. Kegagalan ketiga, para pencetus ide ini sebenarnya enggan percaya kepada Allah sejati karena baginya, kalau Allah itu ada, Ia harus melenyapkan semua kejahatan dan penderitaan. Kalaupun ia mau percaya kepada Allah, ia hanya mau percaya kepada “ilah” yang bisa diperintah. Bukankah ini suatu keanehan logika: percaya kepada yang “tidak terbatas” namun dibatasi oleh manusia? Jadi, yang “tidak terbatas” ini benar-benar tidak terbatas atau tidak terbatas secara semu?

Sebagai orang Kristen, kita memang harus mengakui realitas penderitaan dan Allah TIDAK selalu melenyapkan penderitaan di dunia ini. Namun, dari manakah munculnya penderitaan dan kejahatan? Lalu, benarkah anggapan para penentang Allah bahwa Allah masa bodoh dengan penderitaan dan kejahatan? Alkitab dengan jelas mengajarkan bahwa Allah menciptakan dunia ini (termasuk manusia) dan Ia mengatakan ciptaan-Nya itu sungguh amat baik (Kej. 1:31). Berarti kebaikan sejati langsung dikaitkan dengan Allah sebagai Sumbernya. Manusia ciptaan-Nya yang diperintahkan-Nya untuk menaati apa yang difirmankan-Nya malahan membangkang dan pembangkangan itulah yang disebut dosa. Dosa itulah yang mengakibatkan munculnya penderitaan dan kejahatan di dunia ini. Hal ini dapat dilihat ketika manusia pertama menyadari bahwa diri mereka telanjang, lalu mereka menyalahkan pihak lain (Adam menyalahkan Hawa dan Hawa menyalahkan ular), kemudian keturunan mereka langsung membunuh (Kain membunuh Habel—Kej. 4:1-16), dan terakhir di Kejadian 6, ketika kejahatan manusia makin merajalela, Alkitab menyatakan, “maka menyesallah TUHAN, bahwa Ia telah menjadikan manusia di bumi, dan hal itu memilukan hati-Nya.” (Kej. 6:6) Jika dosa mengakibatkan penderitaan dan kejahatan, apakah Allah masa bodoh dengan penderitaan dan kejahatan? TIDAK. Dari kitab Kejadian saja, kita telah melihat bahwa Allah yang mengetahui manusia jatuh ke dalam dosa langsung memberikan solusinya, “TUHAN Allah membuat pakaian dari kulit binatang untuk manusia dan untuk isterinya itu, lalu mengenakannya kepada mereka.” (Kej. 3:21) Dari sini, kita belajar bahwa Allah bukan hanya mengerti penderitaan manusia akibat dosa, tetapi juga menyediakan solusi AWAL terhadap penderitaan dengan membunuh binatang, lalu membuatkan pakaian untuk dikenakan oleh Adam dan Hawa. Selanjutnya di dalam perjalanan bangsa Israel, ketika mereka diperbudak di Mesir, Allah bukan hanya mengerti penderitaan mereka, tetapi juga membebaskan mereka dengan mengutus Musa dan Harun. Ketika bangsa Israel kelaparan dan kehausan dalam perjalanan keluar dari Mesir menuju ke Tanah Kanaan, Allah mengerti penderitaan mereka dengan menyediakan roti mana dan air. Di dalam Alkitab Perjanjian Lama saja kita telah mendapati banyak fakta tentang Allah yang bukan hanya peduli dengan penderitaan, namun juga menyelesaikannya.

Namun, manusia yang dipelihara-Nya bukan bersyukur malahan mengomel terus dengan menuding Allah sebagai sumber kejahatan! Itulah DOSA! Puji Tuhan, Allah itu Kasih dan di dalam kasih dan keadilan-Nya, Ia tidak menghukum semua manusia, namun menyelamatkan beberapa dari mereka dengan mengutus Putra Tunggal-Nya, Tuhan Yesus Kristus untuk menebus dosa-dosa mereka. Kristus itu sendiri adalah wujud langsung Allah yang bukan hanya mengerti realitas penderitaan manusia, namun mengalaminya sendiri dan menanggungnya. Mulai dari kehidupan-Nya, Alkitab sudah mencatat, “Ia tidak tampan dan semaraknyapun tidak ada sehingga kita memandang dia, dan rupapun tidak, sehingga kita menginginkannya.” (Yes. 53:2) Bahkan di dalam Yohanes 1:10-11, Yohanes mengatakan bahwa Kristus yang telah menciptakan dunia ini dan datang kepada manusia, namun tidak ada manusia yang mengenal dan menerima-Nya. Coba renungkan betapa menderitanya Pemilik dan Pencipta alam semesta yang mengunjungi dunia ini, namun TIDAK ada yang meresponi kedatangan-Nya itu. Bukan hanya tidak meresponi kedatangan-Nya, malahan banyak manusia menghina dan menghindari-Nya (Yes. 53:3a), bahkan, “ia sangat dihina, sehingga orang menutup mukanya terhadap dia dan bagi kitapun dia tidak masuk hitungan.” (Yes. 53:3b). Namun, Ia TIDAK membuka mulut-Nya sedikitpun untuk mengutuki mereka atau menghujat Bapa. Ketaatan Kristus kepada Bapa diakhiri dengan kematian-Nya di atas kayu salib untuk menebus dosa manusia. Dengan kata lain, salib adalah satu-satunya bukti bahwa Allah sendiri yang menanggung penderitaan terbesar umat manusia yaitu DOSA (mengutip perkataan Prof. Peter Kreeft, Ph.D. yang dikutip oleh Rev. Lee Strobel, Pembuktian akan Kebenaran Iman Kristiani, hlm. 55). Mengapa harus disalib? Karena hanya dengan disalib yang merupakan hukuman terberat pada zaman Romawi itu, darah Kristus tercurah dan “tanpa penumpahan darah tidak ada pengampunan.” (Ibr. 9:22)

Di dalam darah-Nya yang kudus itu, dosa-dosa manusia pilihan-Nya ditebus dan diampuni, pelanggaran-pelanggaran kita dihapus, hubungan kita dengan Allah diperdamaikan, dan kita dibenarkan di hadapan Allah, sehingga dengan penuh syukur, kita bisa berkata seperti Rasul Paulus, “Demikianlah sekarang tidak ada penghukuman bagi mereka yang ada di dalam Kristus Yesus.” (Rm. 8:1) Penderitaan dan kejahatan terbesar umat manusia yaitu DOSA telah lunas dibayar dan diselesaikan oleh karya penebusan Kristus di kayu salib dan itulah satu-satunya bukti Allah yang sejati BUKAN Allah yang cuek dengan penderitaan dan kejahatan manusia, namun Dia adalah Allah yang benar-benar memperhatikan penderitaan manusia bahkan yang terbesar sekalipun.

Jika Allah memperhatikan dan menyelesaikan penderitaan terbesar umat manusia yaitu dosa, maka Ia juga memperhatikan dan menyelesaikan penderitaan lain umat manusia, namun cara penyelesaian-Nya TIDAK bergantung pada cara manusia yang terbatas, tetapi dengan cara Allah yang di luar pikiran manusia. Dunia selalu menginginkan cara instan untuk lepas dari penderitaan, namun Allah menggunakan cara proses (panjang) untuk menyelesaikan penderitaan. Kembali ke contoh Templeton yang melihat foto wanita Afrika yang menghendaki hujan turun, apakah menurut kita, Allah harus langsung menurunkan hujan? Bagi saya: TIDAK. Mengapa? Karena jika Allah HANYA memperhatikan kebutuhan 1 manusia saja lalu menurunkan hujan, bagaimana dengan kondisi manusia lain di negara lain yang sedang mengalami kebanjiran? Jika Allah menurunkan hujan, nanti manusia lain di negara lain yang mengalami kebanjiran tersebut juga akan mengomel, mengapa jika Allah ada, Ia tidak menghentikan hujan? Jadi, apa yang harus Allah lakukan: menurunkan atau menghentikan hujan? Manusia benar-benar membingungkan, apalagi mereka yang memuja hukum alam (hukum karma) tambah membingungkan dan aneh. Puji Tuhan, Allah sejati TIDAK pernah dibingungkan oleh manusia yang membingungkan!

Proses panjang Allah menyelesaikan penderitaan ingin mengajar kita bahwa Allah menghendaki yang terbaik bagi umat-Nya (Rm. 8:28). Bapa gereja Augustinus mengatakan, “Karena Allah adalah kebaikan yang tertinggi, Dia tidak akan mengizinkan kejahatan apa pun ada dalam karya-karya-Nya, kecuali bahwa keMahakuasaan-Nya dan kebaikan-Nya adalah sedemikian rupa sehingga memunculkan kebaikan, bahkan dari dalam kejahatan.” (seperti dikutip oleh Rev. Lee Strobel, Pembuktian Atas Kebenaran Iman Kristiani, hlm. 53) Ia mungkin membuat seseorang menjadi buta, namun Ia pasti memiliki rencana-Nya yang lebih agung. Contoh, Ia membuat mata Fanny J. Crosby menjadi buta, namun Ia memakai Crosby menjadi salah satu penggubah lagu rohani terkenal. Contoh lain, Pdt. Dr. Stephen Tong yang pada waktu berusia 3 tahun tidak memiliki ayah dan harus hidup susah beserta saudara-saudara dan ibunya ternyata sedang dipersiapkan Tuhan untuk memanen jiwa-jiwa yang terhilang agar mereka kembali kepada Kristus dengan iman yang bertanggung jawab. Penderitaan di tangan Allah yang berdaulat dan berpribadi akan menjadi penderitaan yang bermakna demi hormat dan kemuliaan Allah dan juga bagi kebaikan manusia.

Bagaimana dengan kita? Menjelang Jumat Agung, biarlah Salib kembali memfokuskan kita kepada karya penebusan Kristus yang menyelesaikan semua penderitaan dan kejahatan manusia. Amin. Soli Deo Gloria.

Resensi Buku-113: WHO YOU ARE WHEN NO ONE'S LOOKING (Rev. Bill Hybels, D.D.)

...Dapatkan segera...
Buku
WHO YOU ARE WHEN NO ONE’S LOOKING:
Memilih Ketetapan Hati, Menolak Kompromi


oleh: Rev. William (Bill) Hybels, D.D. (HC)

Penerbit: Metanoia, Jakarta, 2008

Penerjemah: Dwi Maria Handayani.





Deskripsi singkat dari Denny Teguh Sutandio:
Zaman kita sekarang adalah zaman postmodern yang menawarkan ide postmodernisme yang borderless (mengutip Pdt. Joshua Lie). Filsafat ini telah meracuni segala aspek kehidupan, tidak terkecuali agama, khususnya Kristen. Banyak orang “Kristen” dari iman, konsep berpikir, perkataan, dan tindakan sudah dipengaruhi oleh postmodernisme. Bagaimana sikap orang Kristen yang benar sesuai dengan Alkitab? Ikut arus? Alkitab mengajar kita untuk tidak ikut arus zaman, namun akal budi kita harus berubah sesuai dengan kehendak Allah (Rm. 12:2). Akal budi yang sesuai dengan kehendak Allah adalah akal budi yang mau taat mutlak kepada firman Allah, yaitu Alkitab. Akal budi itu juga mempengaruhi seluruh aspek hidup kita, yaitu karakter, perkataan, tindakan, dll. Salah satunya karakter yang menurut Rev. Bill Hybels didefinisikan sebagai “apa yang kita kerjakan ketika tidak seorang pun melihat.” (hlm. 1) Akal budi mempengaruhi karakter kita di dalam menghadapi dunia dan seluruh filsafat di dalamnya. Hal inilah yang menjadi dasar presuposisi Rev. Hybels sebelum membahas kualitas karakter. Di tengah dunia yang simpang siur, Kekristenan sejati harus menetapkan hati kita dengan kualitas karakter yang Tuhan mau, sehingga kita tampil beda dari dunia dan kemudian menggarami dan menerangi dunia. Apa saja kualitas karakter yang sesuai dengan kehendak Allah? Di dalam bukunya Who You Are When No One’s Looking, Rev. Bill Hybels memaparkan 5 prinsip karakter yang “berbahaya” (menurut dunia) yang harus orang Kristen miliki: keberanian, disiplin, visi, ketekunan, dan kasih. Bagi Rev. Hybels, kualitas karakter yang paling berbahaya adalah kasih. Untuk itulah, beliau menguraikan kualitas karakter kasih sebanyak 4 bab di dalam bukunya ini: Kasih yang Lembut, Kasih yang Keras, Kasih yang Berkorban, dan Kasih yang Radikal. Kelima kualitas karakter ini membawa kita untuk meneladani karakter Kristus yang sempurna itu.





Profil Rev. Bill Hybels:
Rev. William (Bill) Hybels, D.D. (HC) adalah pendiri dan pendeta senior di Willow Creek Community Church di South Barrington, Illinois. Beliau juga pendiri dan ketua yayasan dari Willow Creek Association dan juga pencipta dari Global Leadership Summit. Beliau menamatkan studi Bachelor dalam bidang Studi Biblika di Trinity International University (TIU), dekat Chicago dan dianugerahi gelar Doctor of Divinity (D.D.) dari TIU’s Trinity Evangelical Divinity School, U.S.A.