31 July 2008

Update terakhir STT SETIA setelah penyerangan

Setelah penyerangan dan pengrusakan kampus STT Arastamar (SETIA) & asramanya di Kamp Pulo, Pinang Ranti, Jakarta Timur, Pak Walikotanya malah berkomentar: "warga minoritas harus menyadari keberadaannya". Inilah pada umumnya watak dan posisi seorang pejabat publik di negara Indonesia? Mari kita doakan dan membantu para mahasiswa yg menjadi korban penyerangan tsb. Menurut kuasa hukum SETIA ada dua mahasiwa yg dibacok kepalanya pakai pedang samurai di depan mata polisi, kini dirawat di RS UKI. Mungkinkah kita masih berharap dari kearifan & keberanian Gubernur DKI Jakarta di dalam menegakkan keadilan mereka yang ditindas dan diperlakukan seperti sebagai "penduduk kelas 2" dari DKI Jkt?

28 July 2008

DUALISME DALAM KEKRISTENAN DAN KEABSOLUTAN KEBENARAN ALKITAB SEBAGAI FIRMAN ALLAH (Anna Mariana Poedji C., M.A.)

Dualisme Dalam Kekristenan dan Keabsolutan Kebenaran Alkitab sebagai Firman Allah

oleh: Anna Mariana Poedji Christanti, S.Si., M.Si., M.A.




Pendahuluan: Dualisme, Sebagai Permasalahan yang Sedang Dihadapi
Manusia sekarang ini tidak lagi percaya akan kebenaran. Bahkan lebih parah lagi, bahwa mereka tak mengakui konsep kebenaran. Hal ini adalah sesuatu yang sangat mengkhawatirkan, sebab dengan tidak dapatnya kebenaran diterima, maka segala sesuatu tak lagi memiliki arah dan patokan. Artinya terjadi hilangnya fokus pada kebenaran. Selain itu akan sangat mudah bagi setiap orang untuk kehilangan kemutlakan. Di sinilah terjadi mode relativitas, sebab kebenaran bersifat tidak normatif bagi semua orang. Inilah akibat hilangnya universalitas kebenaran. Dan ketika sifat universalitas kebenaran itu hilang, maka akan terjadi juga kehilangan kebenaran universal dari suatu wawasan dunia yang utuh. Segalanya akan menjadi kebenaran-kebenaran yang sifatnya fragmental tanpa koherensi di dalamnya (Holmes, 2000:18-19).Kebenaran-kebenaran yang bersifat fragmental itu dapat terlihat di antaranya:pada banyak kalangan yang menganggap sesuatu benar di bidang agama dan sekaligus tidak benar di bidang pengetahuan serta sejarah, dan sebaliknya. Kebenaran di sini terbagi dua dan kedua bagian itu tidak berhubungan satu dengan yang lainnya. Keadaan ini dapat menimbulkan beberapa akibat negatif, sebagaimana dikemukakan oleh Cupples (1996:17-19).

Pertama, ilmu terpisah dari agama. Masalah spiritual terpisah dari masalah intelektual. Ajaran Alkitab tentang penciptaan jelas disangkal oleh ilmu. Sebab menurut ajaran itu segala sesuatu berhubungan dengan Allah sebagai Penciptanya, dan inilah yang disebut sebagai masalah-masalah agama. Demikian juga saat ini maraknya gejala saintisme (mengutamakan ilmu dan mengabaikan yang lainnya) yang memutlakkan kebenaran sains dan menolak peranan iman seiring dengan gejala fanatisme agama (mengutamakan agama dan mengabaikan yang lainnya) yang memutlakkan kebenaran pewahyuan Allah dan menolak ilmu pengetahuan.

Kedua, iman terpisah dengan akal budi. Berbagai hal yang akali tidak dimasukkan dalam wilayah tak nyata dan tak masuk akal seperti halnya iman. Masalah iman adalah masalah yang tak dapat diukur, diraba, dilihat, dan dibuktikan secara matematis atau fisis. Sementara itu fenomena alam ini menurut intelektual harus dapat dijelaskan secara masuk akal dan hal ini ada dalam wilayah ilmu. Kegemaran manusia untuk menekuni segala hal yang terlihat, yang kasat mata, yang dapat diukur dan dihitung, dapat diperkirakan, dapat dimanipulasi sesuai dengan kehendak mereka, menyebabkan mereka sangat memegang ilmu sekuler (ilmu dugaan) lebih daripada iman. Bagi mereka, iman adalah sesuatu yang bersifat metafisika, yang tak terlihat, tak kasat mata, tak realistis, tak terukur dan terhitung, tak dapat diperkirakan, serta tak dapat dimanipulasi sesuai kehendak mereka. Sementara itu yang berhubungan dengan iman adalah Alkitab sebagai Firman Allah. Hal ini pula yang mendorong fenomena pemisahan antara iman dan ilmu, antara iman dan akal budi, secara khusus antara Kekristenan dan ilmu. Ada orang - orang yang sangat memegang ilmu tetapi terlepas dari iman (inilah golongan ilmuwan atheis); ada pula yang memegang iman begitu kuat dan tetapi tak berilmu (inilah golongan orang Kristen yang bodoh); dan ada banyak pula yang memegang keduanya secara bersamaan namun mereka cenderung mengkotak-kotakannya (inilah golongan Kristen dualisme). Keduanya tak berhubungan sama sekali, demikian ungkapan mereka.

Ketiga, iman terpisah dengan sejarah. Segala peristiwa dalam Alkitab ditolak sebagai sesuatu peristiwa yang nyata dalam sejarah kehidupan. Akibatnya, ketika seseorang berhadapan dengan Alkitab, ia bagaikan menghadapi suatu negeri dongeng atau legenda.

Keempat, pemakaian bahasa menjadi terpisah. Pemaknaan istilah-istilah tertentu disesuaikan pengalaman pembicara dan tidak memiliki arti obyektif. Perkataan seseorang hanya akan dapat dibenarkan sebagai pengungkapan pengalaman pribadi secara subyektif apabila pengalaman rohani terpisah dari pengalaman yang lain. Di sini pemakaian bahasa secara umum berubah. Hal benar secara subyektif, merupakan tanda bagi pengalaman subyektif saja. Penilaian benar dan salah hanya berlaku bagi pembicara yang bersangkutan saja, dan tidak bagi umum. Akhirnya dalam pemberitaan karya Allah yang ajaib, tak ada peristiwa-peristiwa obyektif yang benar dan yang berarti bagi semua orang di semua tempat. Demikianlah nyata terdapat penyangkalan arti dan nilai bahasa secara umum, sekaligus pengakuan iman kita secara khusus.

Kehidupan rohani dan kehidupan akademis yang terpisah tentulah berakibat buruk. Di antaranya dapat disebutkan sebagai berikut:(1) gaya hidup sekuler yang memisahkan Allah dari kehidupan sehari-hari; (2) kemajuan ilmu pengetahuan bersamaan dengan kemerosotan moral manusia; (3) marginalisasi iman/agama dari kehidupan masyarakat modern; (4) peningkatan kejahatan yang dilakukan oleh kelompok intelektual; (5) hancurnya makna hidup berkeluarga dalam perspektif Tuhan; (6) berkembangnya gaya hidup bebas meliputi semua aspek hidup manusia; (7) tidak dihargainya otoritas, hukum, dan agama; (8) semakin merosotnya penghargaan hak azasi manusia; (9) kehidupan manusia tidak dihormati sebagaimana seharusnya; dan (10) fokus hidup pada diri sendiri dan hidup tanpa visi, misi, dan makna. Setiap orang yang beriman pasti menghadapi tantangan intelektual.

Dualisme yang terjadi pada orang Kristen membuktikan mereka beriman tanpa akal. Selain itu, dualisme akan menjadikan orang Kristen tidak dapat melakukan Firman Tuhan yang terdapat dalam Matius 5:14-16 sebab hal ini akan membuat orang Kristen tidak dapat menjadi terang bagi orang lain, sebab iman percayanya pada Kekristenan hanya bersifat pribadi dan tidak berlaku bagi orang lain.

Selain itu pula, sikap dualisme menjadikan seorang Kristen tidak ada bedanya dengan dunia ini yang lebih mementingkan pengalaman (Roma 12:2). Manusia modern yang senantiasa dilingkupi tantangan dan kegerahan atas dunia yang kejam, harus mencari pelarian kepada dunia khayal yang penuh kehangatan dan kesenangan. Pada akhirnya, pengalaman indah dalam pengenalan akan Allah menjadi suatu hal yang tak ada bedanya dengan kehangatan dan kesenangan rekayasa seperti halnya pengalaman kebatinan atau pemakaian obat bius.

Keberadaan Alkitab sebagai Firman Allah yang bernilai benar karena Allah adalah kebenaran itu sendiri lebih mustahil lagi untuk diterima. Terlampau banyak alasan untuk menolak Alkitab, bisa jadi karena anggapan bahwa Alkitab berisi berbagai macam hal yang tak dapat diterima akal, sekedar isapan jempol, dan dongeng belaka. Selain itu karena tak realistis dan tak dapatnya dimanipulasi sekehendak hati. Itulah sebabnya paparan ini disusun untuk dapat memperlihatkan kebenaran yang bersifat absolut dari Alkitab sebagai Firman Allah.


Argumentasi Apologetis Terhadap Kesalahan Pengertian
Pada dasarnya dualisme yang terjadi dalam Kekristenan tersebut berpangkal pada dikotomi iman dan ilmu. Dari sinilah munculnya berbagai dualisme Kekristenan yang lainnya. Oleh karena itu pembahasan mengenai dualisme iman dan ilmu menjadi fokus utama dalam menyusun paparan ini. Selanjutnya diharapkan dengan paparan inilah akan diperoleh gambaran dengan sendirinya berbagai dualisme lainnya berikut realita, akibat, serta premis kebenaran-Nya maupun konklusinya sebagai argumentasi apologetis yang dapat diajukan.

Berdasarkan pemikiran-pemikiran Cornelius Van Til, Frame (2002:145, 156-157) mengatakan bahwa rasio (kapasitas untuk berpikir dan berlaku yang disesuaikan aturan logika, yang mencakup juga kapasitas pembentuk keyakinan, menarik kesimpulan dan merumuskan argumentasi) berhak menilai konsistensi logis dari wahyu, namun rasio itu juga harus tunduk secara mutlak kepada Allah. Allah yang rasional, memiliki sistem kebenaran yang mutlak. Rasionalitas manusia yang diciptakan Allah, sesungguhnya mengekspresikan rasionalitas Allah. Di sinilah hukum kontradiksi ini berlaku, yaitu bahwa “natur Allah terekspresi secara koherensi dalam tingkat ciptaan” (Antara Pencipta dan yang dicipta selalu ada tenggang yang penting yang disebut sebagai Kualitas Pembeda. Perbedaan secara kualitas dan perbedaan secara esensi menunjukkan bahwa antara Pencipta dan yang dicipta pasti tidak sama. (Tong, 1996:27). Bagi orang-orang tidak percaya, walaupun nampaknya mereka menindas kebenaran namun pada kenyataannya mereka tetap mempertahankan sejumlah sisa dari pengetahuan akan Allah yaitu pengetahuan akan sumber sejati dan makna dari posibilitas dan probabilitas. Merujuk kepada ‘kesadaran umum’ dari manusia di dalam pengertian ini bukan hanya sah, tetapi secara mutlak diharuskan. Allah tidak mungkin melakukan, menyetujui, atau memerintahkan apa yang salah secara moral, atau yang ‘berkontradiksi dengan hukum keyakinan yang telah Ia tanamkan di dalam natur manusia. Allah tidak ilogis, jadi Ia sangat konsisten dengan hukum-hukum dari naturNya sendiri. Allah hanya mewahyukan hal yang konsisten dengan naturNya sebagai satu Keberadaan yang mengidentifikasikan diri-Nya sendiri.

Penerimaan kemampuan rasio dalam melakukan penalaran atas realita alam sebagai ciptaan Allah justru menggambarkan harkat dan martabat manusia, demikian dijelaskan dalam pengarahan Referensi Pembina PTPAMB 1996 UK. Petra Surabaya oleh Ibu Magdalena Pranata S., S.Th., M.Si. Selanjutnya dijelaskan bahwasanya:kemampuan manusia berikut rasionya bersifat sangat terbatas, dan ada dalam wilayah natural / alamiah. Fokus penalaran manusia adalah menemukan kebenaran dalam alam semesta yang dibatasi oleh ruang dan waktu, dapat menghasilkan ilmu pengetahuan. Melalui proses penalaran manusia mampu menghasilkan ilmu dan teknologi, namun sifatnya relatif, belum final, dan bisa salah.

Manusia juga menerima pengetahuan supra alami, yang dinyatakan atau diwahyukan oleh Allah. Pengetahuan kebenaran sifatnya melampaui alam, sehingga rasio manusia tidak akan mampu untuk memahaminya. Karena manusia tidak mampu memahami pengetahuan supra alami dengan rasionya yang terbatas, Allah yang membukakan kebenaran pengetahuan supra alami itu, dengan mengaruniakan pengertian atau hikmat oleh pertolongan kuasa Roh Allah. Ketika manusia dapat mempercayai pengetahuan supra alami itu sebagai suatu kebenaran, itulah iman.

Dalam Ibrani 11:1-3, 6, 8, 13 nyata bahwa iman adalah pengembalian rasio kepada kebenaran. Iman bukan sekedar mau percaya tanpa mengetahui apa yang ia percaya. Iman bukan sekedar pengertian di dalam otak tanpa kelanjutan apapun. Tetapi iman harus sampai pada menerima, mengakui apa yang ia mengerti (Tong, 1996:29).

Segala sesuatu berhubungan dan tak terpisahkan dalam hal logika dengan fakta, atau rasio dengan pengalaman, demikian juga dalam pengalaman manusia, subyek, obyek, dan norma. Apa yang kita tahu tentang satu hal, akan mempengaruhi pengetahuan kita akan hal yang lainnya. Oleh karenanya, adalah salah jika seseorang berupaya mencari kebenaran hanya melalui wilayah natural saja sebagai suatu bentuk ciptaan, secara terpisah dari wahyu Allah yang dinyatakan juga melalui wilayah supranatural.

Sesungguhnya Allah (di dalam anugerah umumNya) mengekang tujuan-tujuan orang tidak percaya, sehingga “orang tersebut tidak dapat melaksanakan prinsipnya dengan sepenuhnya”. Sehingga, orang tidak percaya hanyalah memiliki sedikit ‘kebenaran’ yang masih dapat ditemukan. Namun anehnya, manusia telah menjadikan diri-Nya sebagai ’standar tertinggi atas apa yang benar dan salah, atas yang tepat dan keliru’. Inilah suatu bentuk penilaian yang palsu oleh manusia. Suatu bentuk kesombongan yang sama sekali tidak mendasar.

Usaha menyangkal Allah Alkitab dengan cara apapun berarti berpendapat bahwa alam semesta secara ultimat tidaklah bermakna – yaitu merupakan hasil dari peluang, atau ‘murni kebetulan’ demikianlah Frame (2002:244-245) dalam memaparkan pemikiran Cornelius Van Til. Selanjutnya dikatakan bahwa kalau toh Allah itu ada, maka bagiNya dunia ini misterius, seperti juga bagi kita. Jadi dalam hal ini, apakah gunanya kemutlakan atau berbagai penilaian yang coba dibangun manusia, bila semuanya adalah misterius (atau tanpa jawaban dan kepastian) ?

Dalam dunia ilmu pengetahuan terdapat kontrakdisifitas yang tak mampu dipecahkan ilmuwan sendiri. Ini terbukti bila para evolusionis yang mentahbiskan golongannya sebagai ilmuwan mempercayai adanya proses perubahan progresif dalam keseluruhan alam semesta, sementara itu dunia ilmu pengetahuan sendiri mengakui adanya hukum entropi yang merupakan ukuran kemerosotan segala yang ada di alam semesta ini sebagai suatu fakta. Secara ilmiah, entropi adalah kadar energi tak termanfaatkan di bumi ini, yang senantiasa bertambah. Ini menunjukkan adanya kontradiksifitas dalam dunia ilmu pengetahuan sendiri. Secara nyata dapat menunjukkan bahwa dasar berpijak kebenaran ilmu pengetahuan masih dapat dipertanyakan dan lebih parah lagi adalah bahwa hal ini tak dapat dijadikan sebagai pedoman suatu keyakinan.

Dalam hal ini fakta alam yang diakui dunia ilmu pengetahuan, sesuai dengan catatan Alkitab mengenai kemerosotan segala sesuatu di alam ini, sebenarnya seiring kejatuhan manusia pertama kali ke dalam dosa. Yang pada akhirnya menunjukkan keterbatasan manusia, yang dapat dirangkum sebagi berikut:(1) manusia tidak mampu menciptakan atau membinasakan; (2) manusia serta lingkungannya sedang dan senantiasa merosot; dan (3) manusia tidak dapat memperbaiki alam atau wataknya sendiri tanpa pertolongan dari luar.

Iman melampaui akal budi (rasio), tetapi kalau iman Kristen itu benar, maka ajarannya harus juga masuk akal. Artinya antara iman dan akal budi seharusnya tidak bertentangan. Beriman tidak berarti mudah percaya tanpa alasan. Iman berarti keterlibatan diri secara penuh di dalam kehidupan yang berdasarkan penyataan Allah. Penyataan itu sesuai dengan kenyataan dan dengan demikian sungguh masuk akal. Akal budi dan iman berhubungan erat. Penyataan Allah dapat melalui akal budi maupun iman. Kalau iman dipisahkan dari akal budi, iman menjadi cara untuk mencapai suatu pengalaman rohani tanpa mempertimbangkan apakah ada alasannya yang logis, sehingga beriman seperti melangkah ke dalam kegelapan, bukan ke dalam terang.

Bukti bahwa iman melampaui akal budi adalah bahwa apa yang ditangkap oleh akal budi atau rasio yaitu ilmu pengetahuan adalah sesuatu yang tak mampu membuat penilaian mengenai apa pun yang diukurnya. Banyak orang yang berkecimpung di bidang ilmiah mengakui bahwa dalam ilmu pengetahuan tidak ada sesuatu yang dapat dijadikan pedoman dalam menerapkan penemuan-penemuan mereka. Dalam ilmu pengetahuan itu sendiri tidak ada sesuatu yang dapat menentukan apakah laser akan digunakan untuk persenjataan perang ataukah untuk terapi kesehatan. Penilaian semacam inilah yang samasekali tak dapat ditentukan dengan menggunakan metode ilmiah. Ilmu pengetahuan dapat menceritakan kepada kita bagaimana sesuatu bergerak, tetapi tidak dapat menerangkan mengapa pergerakan itu demikian. Apakah ada tujuan tertentu dalam alam semesta ini, tidak pernah dapat dijawab oleh ilmu pengetahuan. Ilmu pengetahuan hanya dapat memberitahukan ‘bagaimana’, tetapi tidak dapat memberitahukan ‘mengapa’, (Little, 1999:90-91).

Herlianto dalam Nisbah Antara Iman Kristen Dengan Ilmu Pengetahuan, yang dimuat dalam Surat Gembala edisi April 1991 memaparkan:
Iman sangat diperlukan bagi ilmu pengetahuan, karena ia memberi visi dan dimensi pelengkap untuk melihat realita materi yang lebih utuh, yaitu yang menyangkut nilai-nilai sebaliknya ilmu pengetahuan diperlukan oleh umat beriman untuk memperjelas pengertiannya dalam mengerti Firman Tuhan yang telah mewahyukannya dalam Alkitab ataupun alam. (1991:70)

Ini memberikan pengertian bahwa iman menjadi penuntun manusia untuk mengenali kehendak Allah, sedangkan ilmu dapat mengabdikan diri-Nya untuk kesejahteraan manusia dan kemuliaan nama Allah Sang Pencipta. Iman memberikan arah dan nilai sehingga ilmu dapat dikembangkan secara positif, bermoral, manusia dan bertanggung jawab. Kehidupan iman dan profesi keilmuan harus dikembangkan dalam relasi pribadi dengan Allah sebagai sumber kehidupan dan kebenaran. Dinyatakan dalam kehidupan yang bermoral, mengasihi, dan menjadi berkat bagi semua.

Jelaslah di sini bahwa iman merupakan cahaya dan kompas bagi ilmu pengetahuan, dan ilmu merupakan tongkat bagi iman. Ilmu menjadi bahasa iman yang melayani dan mengabdi masyarakat. Keduanya saling meneguhkan dan melengkapi demi mewujudkan kesejahteraan hidup bagi manusia dalam kebenaran. Demikianlah iman yang berdasarkan wahyu Allah menjadi perspektif untuk mengembangkan ilmu pengetahuan, menjadi landasan etis moral yang memberikan tempat tertinggi bagi hak dan kedaulatan Allah, sebagaimana dipaparkan dalam Amsal 3:5-7. Ilmu yang dihasilkan melalui proses penalaran yang ilmiah dalam integritas tidak akan konflik dan pasti harmonis dengan iman berdasarkan pewahyuan Allah yang direfleksikan secara benar dalam pimpinan Roh Kudus, begitulah ibu Magdalena Pranata S., S.Th., M.Si. menjelaskan kepada mahasiswa UK Petra Surabaya dalam kuliah Sains Penciptaan tahun 2001.

Beberapa peristiwa historis, khususnya kehidupan, kematian, dan kebangkitan Yesus dari Nazaret merupakan dasar ajaran Kristen. Di dalam Alkitab terdapat catatan tentang peristiwa-peristiwa tersebut serta penafsirannya. Dengan demikian, agama Kristen terbuka untuk diselidiki secara historis, tentu saja dengan resiko bahwa dasar-dasar iman dapat diserang atau disangsikan. Andaikata peristiwa-peristiwa sejarah itu dapat ditiadakan, iman Kristen turut ditiadakan. Bagaimanapun, tak akan dapat diingkari bahwasanya peristiwa historis Alkitab adalah suatu realita yang melibatkan aspek natural yang dapat ditangkap oleh akal budi atau rasio. Seorang Kristen yang mengingkari peristiwa histori Alkitab secara nyata sebagai aspek natural, maka itu berarti juga mengingkari akal budinya sendiri. Iman dan sejarah jelaslah tidak boleh dipisahkan.

Berita Kristen tak dapat dilepaskan dari fakta-fakta. Pengakuan iman tak dapat dilepaskan dari dasar historisnya. Di sinilah Kekristenan terlindung dari keraguan akibat penyelidikan historis. Iman kita berpusat pada Allah, Sang Raja sejarah, yang berkarya dalam sejarah untuk menyelamatkan umatNya dan yang akan mengakhiri sejarah pada waktunya.

Istilah pertentangan atau dualisme antara Alkitab (yang ditangkap oleh iman) dengan ilmu pengetahuan (ditangkap oleh akal budi atau rasio), seringkali merupakan pertentangan dalam menginterpretasikan fakta. Dugaan yang diterapkan seseorang pada suatu fakta tertentu, seringkali menentukan kesimpulan yang diambilnya lebih daripada fakta-fakta itu sendiri. Demikian pula argumentasi yang dapat disampaikan sehubungan dengan masalah pemisahan pemakaian bahasa.

Bagaimanapun, kepastian dan kemutlakan kebenaran adalah suatu hal yang sangat penting dalam kesatuan penggunaan makna bahasa yang tetap terkait dalam hal budaya dan etnis. Kehilangan fokus kebenaran yang diakibatkan adanya konsep relativisme adalah penyebab utama terjadinya bias dan pemisahan bahasa. Rasio manusia setelah jatuh dalam dosa bersifat cacat (Roma 3:23; 1:18-22) dan terjadi penyimpangan motivasi dan fokus, yang tidak pada kebenaran dan kemuliaan Allah melainkan pada diri manusia itu sendiri. Kecenderungan ini memicu ketidakjujuran dalam pemakaian dan penyampaian bahasa sehingga menjadi bebas nilai dan mengabaikan otoritas dan kedaulatan Allah. Pada hakekatnya tidak ada pertentangan antara ilmu pengetahuan dan Alkitab, antara ilmu dan iman, antara akal budi atau rasio dan iman, juga dalam pemakaian bahasa selama segala sesuatu berada pada koridor otoritas dan kedaulatan Allah yang menjadi muara atas segala sumber kebenaran yang sejati.


Keabsolutan Kebenaran Alkitab Sebagai Firman Allah
Allah sendiri berfirman bahwa Alkitab tersebut ditulis untuk tujuan:kita dapat mengenal Allah dan AnakNya Yesus Kristus dengan pengenalan sejati yang mendatangkan hidup yang kekal (Yohanes 17:3), inilah pernyataan Diri Allah secara pribadi. Pranata, 2002:31 memaparkan bahwa secara proposisional, Tuhan Allah menyatakan Diri-Nya secara verbal, melalui perkataan atau informasi yang dapat dipahami manusia. Ini merupakan perbuatan supranatural Allah yang menyatakan kebenaran-Nya dengan sifat kognitif, artinya dapat ditangkap oleh rasio manusia. Mengenai hal ini Arthur F. Holmes juga menerangkan dalam Segala Kebenaran Adalah Kebenaran Allah bahwa:
Hubungan yang sama antara kebenaran proposisional dan kebenaran personal juga terlihat berkenaan dengan penyataan khusus. Kebenaran proposisional didasarkan pada kebenaran personal Allah. (2000:64).

Siapapun yang percaya akan kemahakuasaan Allah meyakini bahwa Allah adalah sumber segala kebenaran tentang segala sesuatu, dan bahwa pengetahuanNya adalah sempurna itu merupakan sumber pengetahuan kita. Sehingga apapun yang kita kejar demi memperoleh kebenaran adalah bersumber daripadaNya. Hal ini memberi gambaran kepada kita bahwa kebenaran itu bersifat absolut dan bahwa kebenaran itu hanya milik Allah saja.

Holmes (2000:59-60, 62, 128, 136) juga menyampaikan bahwa kebenaran bersifat absolut, yang artinya bahwa kebenaran itu tak dapat berubah, sekaligus bersifat universal, jadi selalu tetap dan tak berubah di manapun dan kapanpun. Kebenaran hanya milik Allah membuktikan bahwasanya kebenaran itu bersifat personal dan bukan bersifat otonom. Hal ini juga menjelaskan bahwa kebenaran Allah itu meliputi seluruh aspek rasional (nyata terlihat dalam alam semesta) maupun aspek kognitif manusia. Kebenaran yang dapat diperoleh manusia dari Allah itu bukan bersifat teoritis melainkan sangat personal, yaitu melibatkan hati dan pikiran manusia itu sendiri. Ini pun diungkapkan oleh David Cupples dalam bukunya Beriman Dan Berilmu bahwa:

Allah bukan suatu obyek penelitian, begitu juga Firman-Nya. Salahlah sikap kita kalau kita ingin mendekati Allah dan Firman-Nya tanpa iman (Ibrani 11:6). Dialah Allah yang hidup, yang harus kita muliakan, percayai, dan puja. Oleh sebab itu, Alkitab pun sebagai Firman Allah, tidak boleh diperlakukan sebagai buku biasa yang hanya diteliti secara obyektif dan akademis saja. Sikap netral terhadap Firman Allah sama dengan sikap netral terhadap Allah sendiri. Cara kita meneliti Firman Allah harus sesuai dengan cara kita bersekutu dengan Allah.

Dalam teknis pelaksanaannya, tidak boleh ada perbedaan mutlak antara cara kita mempelajari Alkitab dalam ibadah pribadi dan dalam ruang kuliah. Kapan saja kita membaca Alkitab, akal budi dan hati harus terlibat. Kita akan selalu berusaha untuk makin mengerti suatu nats Alkitab serta makin menghayati dan menghormati arti nats tersebut sebagai Firman yang berasal dari Allah. (1996:29)

Lebih lanjut, Frame (2002:128-131) menceritakan pemikiran Cornelius Van Til bahwa pesan Alkitab adalah suatu pesan mengenai anugerah Allah yang mutlak berdaulat dan berbicara dengan otoritas mutlak juga. Karena Alkitab adalah Firman Allah, dalam hal ini Alkitab menyampaikan otoritas ultimat Allah yang bersifat inerrancy (ketidakbersalahan Alkitab) sebagai bentuk komitmen teologis yang berdasarkan pada Pribadi Allah dan pengajaran Alkitab. Ini berarti bahwa Alkitab dalam naskah dan bahasa aslinya, menyajikan pernyataan-pernyataan yang benar sepenuhnya, meliputi berbagai bidang di antaranya bidang iman, etika, sejarah, dan alam semesta.

Pengilhaman Alkitab juga bersifat infallibility. Ini tercakup dalam kedaulatan ilahi. Allah berdaulat di dalam kekuasaan-Nya atas umat manusia yang rasional, yang berarti juga bahwa Ia berdaulat di dalam wahyu-Nya mengenai diri-Nya sendiri kepada umat manusia tersebut. Secara otomatis Allah yang berdaulat di dalam hal keberadaan, maka pastilah Ia juga berdaulat dalam bidang pengetahuan.

Allah perlu mengilhamkan Alkitab sebagai Firman-Nya yang tertulis kepada manusia. Sejak kejatuhan manusia ke dalam dosa, manusia tidak dapat dibiarkan sendiri, karena manusia berdosa ’sudah pasti akan salah menginterpretasikan’ tindakan-tindakan Allah yang menyelamatkan mereka itu. Oleh karena itu keberadaan Alkitab sangat penting, sehingga pesan Allah yang menyelamatkan tersebut dapat: 1) tetap ada sepanjang masa; 2) menjangkau semua umat manusia; 3) ditawarkan kepada manusia secara obyektif; dan 4) menyaksikan kebenaran-Nya di dalam diri-Nya sendiri.

Secara naturnya Alkitab berotoritas, yang menyampaikan klaim Allah akan otoritas mutlak yaitu Ketuhanan-Nya atas manusia. Dan hal itu menjadi penantang klaim manusia akan otonomi. Sehingga tidak ada yang bisa ditambahkan kepada Alkitab sebagai suatu otoritas yang setara dengan Alkitab. Di sinilah terbukti bahwa Alkitab memiliki kecukupan.

Alkitab yang sangat jelas penyataan-Nya, membuatnya tidak memerlukan ‘penengah’ antara Alkitab dengan penerimanya. Menyangkali kejelasan Alkitab berarti juga menyangkali otoritasnya. Seandainya pengajaran manusia diperlukan agar Alkitab bisa dipergunakan sebagaimana seharusnya, maka otoritas manusia tersebut menjadi otoritas ultimat di dalam gereja. Sekali lagi Alkitab tidak memiliki ketidakmampuan tersebut, sehingga sangat jelaslah bahwa Alkitab tidak memerlukan perantara agar dapat diterima targetnya.

Penyataan Alkitab sendiri terhadap diri-Nya sendiri itulah yang membuatnya pantas untuk dipercayai. Dalam 2 Timotius 3:16; 1 Korintus 2:13 dan 2 Petrus 1:20-21 nyata mengenai hal itu. Pengilhaman dalam penulisan Alkitab memberikan pengertian bahwa inisiatif penulisan itu datang dari Allah dan dikendalikan oleh Allah sendiri. Demikian juga bahwasanya nubuat-nubuat yang terdapat dalam Alkitab tidak berasal dari kehendak para penulis. Para penulis tersebut benar-benar hanyalah menyampaikan apa yang diperintahkan Allah (dengan gerakan dan kuasa dari Roh Kudus) kepada mereka sehingga mereka dikendalikan dan dihindarkan dari kemungkinan melakukan kesalahan pada saat menuliskannya, dengan tidak meninggalkan kepribadian dan gaya penulisan para penulis itu sendiri (Haan, 2000:7-8).

Sementara itu banyak sekali penemuan sains dewasa ini yang justru mendukung kebenaran Alkitab. Di antaranya kebenaran mengenai penciptaan yang dibuktikan adanya:umur bumi yang masih muda; adanya sisa bencana air bah sebagai peristiwa katastropik yang mengubah seluruh kondisi fisik bumi; runutan silsilah manusia atas bangsa-bangsa maupun kenyataan jumlah manusia yang sekarang memenuhi bumi; pengkopian sifat jenis mahluk hidup; penurunan kondisi bumi dan alam semesta yang membawa dampak global keseluruhan aspek manusia yang sejalan dengan hukum termodinamika II; catatan historis atas tokoh pelaku yang terdapat dalam Alkitab; ketepatan, keefektifan, maupun keakuratan segala sistem yang dijalankan tokoh-tokoh pelaku Alkitab sebagai bentuk pengilhaman oleh Allah. Semuanya yang menyangkut bidang ilmu pengetahuan alam, sosial, tatanegara, ekonomi, sejarah, dan lainnya ini telah membuktikan kebenaran Alkitab yang tak terbantahkan oleh siapapun dan apapun juga. Kebenaran Alkitab Sebagai Firman Allah adalah Absolut.


Perspektif Iman Kristen
Fokus utama ilmu dan iman adalah kebenaran yang bermuara pada Pribadi Allah sebagai sumber segala kebenaran. Kehidupan iman dan profesi keilmuan harus dikembangkan dalam relasi pribadi dengan Allah sebagai sumber kehidupan dan kebenaran. Dinyatakan dalam kehidupan yang bermoral, mengasihi, dan menjadi berkat bagi semua.

Selanjutnya dipaparkan bahwa dalam perspektif iman Kristen, orang Kristen mengimani Tuhan Yesus Kristus sebagai Jalan dan Kebenaran dan Hidup (Yohanes 14:6). Artinya, demensi iman dan ilmu dalam kehidupan seorang Kristen, dibangun dalam relasi pribadi dengan Tuhan Yesus Kristus. Sebab dari sinilah kunci seluruh jalan keluar bagi terjadinya pemisahan atau dikotomi bangunan iman Kristen. Baik iman dan maupun ilmu, keduanya dihayati sebagai karunia Allah yang harus dikembangkan sesuai dengan kehendakNya. Karena Tuhanlah yang memberikan hikmat, dari mulutNya datang pengetahuan dan kepandaian (Amsal 2:6).

Ilmu dalam kehidupan orang Kristen adalah sebagai ibadah dan tanggung jawab orang Kristen terhadap kehidupan dan alam semesta yang dikaruniakan Allah. Sedangkan iman Kristen yang berdasarkan Alkitab dan berpusat pada pribadi Yesus Kristus, menjiwai dan menjadi perspektif hidup orang Kristen terhadap realita hidup. Karena itu sesungguhnya iman Kristen bersifat dinamis, aktif, dan senantiasa relevan dengan realita kehidupan. Sebab orang Kristen yang sungguh-sungguh, seluruh aspek hidupnya terikat dalam relasi/persekutuan pribadi dengan Kristus, Penguasa alam semesta sepanjang jaman.


Daftar Pustaka
Cupples, David, terj. Beriman dan Berilmu. Jakarta: PT. BPK. Gunung Mulia, 1996.
Frame, John M. Cornelius Van Til: Suatu Analisis Terhadap Pemikirannya. Terj. Irwan Tjulianto. Surabaya: Penerbit Momentum, 2002.
Haan II, Martin R. De. Apakah Alkitab Dapat Dipercaya (Seri Mutiara Iman). Terj. Okdriati Handoyo. Yogyakarta:Yayasan Gloria, 2000.
Herlianto. Nisbah Antara Iman Kristen Dengan Ilmu Pengetahuan, dalam Sahabat Gembala edisi April 1991
Holmes, Arthur F. Segala Kebenaran Adalah Kebenaran Allah. Surabaya: Penerbit Momentum, 2000.
Little, Paul E. Akal dan Kekristenan. Terj. Inggriani Samuel. Bandung: Yayasan Kalam Hidup, 1999.
Pranata S., Magdalena. Tt Integrasi Iman dan Ilmu (Bahan Referensi Pembina PTPAMB 1996 dan kuliah Sains Penciptaan 2001 UK. Petra Surabaya)
Pranata S., Magdalena. Agama Kristen (Buku pegangan untuk kuliah agama Kristen UK Petra Surabaya) 2002.
Tong, Stephen. Iman, Rasio, dan Kebenaran. Jakarta: Institut Reformed dan Stephen Tong Evangelistic Ministries International, 1996.


Sumber: http://www.tiranus.net/?cat=5




Profil Penulis:
Anna Mariana Poedji Christanti, S.Si., M.Si., M.A. adalah dosen Sains Penciptaan di Universitas Kristen Petra, Surabaya. Beliau menamatkan studi Master of Arts (M.A.) di Institut Alkitab Tiranus, Bandung.



Pengoreksi: Denny Teguh Sutandio

STT SETIA Diserang Massa

STT SETIA Diserang Massa


Sekolah Tinggi Theologi Arastamar (STT Setia) Jakarta, Sabtu, 26 Juli 2008, jam 11 malam diserang ribuan massa bersenjata tajam, terjadi bentrokan pisik, dan ada yang mengalami luka-luka. Massa yang berjumlah ribuan itu sebagian besar berasal dari luar kampung Pulo, bukan warga setempat.

Penyerangan itu telah direncanakan, karena sebagian penyerang yang berasal dari luar kampung itu telah menginap dirumah-rumah penduduk, sebelum penyerangan. Polisi lagi-lagi tak mampu bertindak tegas, apalagi mengantisipasinya. Sebagian mahasiswa telah dievakuasi, dan pada hari minggu tanggal 27 malam ini, 500 mahasiswa yang masih berada di asrama akan di evakuasi oleh aparat kepolisian. Bukan hanya itu, warga Kristen yang berdomisili dekat kampus tersebut juga ikut mengungsi kerumah-kerumah sudara, kenalan mereka yang berada di luar kampung itu. Suasana mencekam masih dirasakan hingga kini.

Menurut cerita penduduk setempat, penyerangan itu dilatar belakangi olehpersoalan "sepele". Seorang mahasiswa baru mengalami kesulitan untukkembali ke kampus. Saat itu adalah masa orientasi sekolah. Mahasiswa tersebut ingin bertanya mengenai jalan pulang pada warga, kebetulan pada waktu itu adapengajian di sebuah rumah warga. Beberapa orang meneriakkan mahasiswa itu maling, dan jadilah ia bulan-bulanan amuk massa, dan kemudian dibawa ke kantor polisi.

Peristiwa itu kemudian diumumkan di Mesjid di sekitar Kampung Pulo, tempatsekolah itu berada, "Telah tertangkap seorang mahasiswa STT Setia yangkedapatan Mencuri, dan telah diserahkan ke kantor polisi". Setelah kejadian itu, ratusan orang berdatangan ke kampung Pulo, dan tinggal di rumahpenduduk. Sekitar 70-an orang setiap hari, sebelum kejadian itu, berlalu lalang membawa senjata tajam di jalan-jalan dekat kampus STT Setia. Puncaknya dua hari kemudian, tanggal 26/7/2008 jam sebelas malam terjadilah penyerangan terhadap STT Setia. Mahasiswa melawan, yang berasal dari Irian, menggunakan panah melawan penyerang. Beberapa kali bom molotop dilemparkan ke areal kampus, namun selalu berhasil dipadamkan. kepolisian tampaknya kewalahan menghadapi hal tersebut, dan berusaha mengevakuasi mahasiswa yang ada. Kemarin malam mahasiswa yang berada di RT 4 dan RT 2, khususnya mahasiswa putri telah di evakuasi. Sisanya kira-kira sejumlah 500 orang akan di evakuasi malam ini, 27/8/2008. Kalau saja polisi tanggap, peristiwa tersebut tidak perlu terjadi, karena sebelum penyerangan sekitar 70 orang setiap hari berlalu lalang membawa senjata tajam di depam kampus STT Setia. Peristiwa penyerangan terhadap STT Setia sekali lagi merupakan kegagalan pemerintah untuk melindungi warganya. Sampai saat ini tak ada bukti bahwa mahasiswa STT Setia yang dipukuli warga tersebut kedapatan mencuri. Namun, jika pun ada bukti, penyerangan terhadap STT tetap saja tak dapat dibenarkan.

Tahun lalu, salah satu asrama STT ini dibakar massa FPI, dan itu sebenarnya itu bisa menjadi alasan bahwa polisi semestinya mewaspadai kejadian itu. Lebihmengherankan lagi, Bin juga tak mampu mendeteksi serangan yang sebenarnya kasatmata itu.

Jumlah mahasiswa STT Setia kira-kira 1300 mahasiswa, saat ini mereka beradadalam kesulitan. Ketua STT Setia bersedia pindah dari tempat itu, asal sajapemerintah mau membayar asset STT setia yang ada. Setelah evakuasi terakhir,kita tidak tahu sampai kapan tempat itu dapat digunakan kembali. Bayangkanlahapa jadinya dengan nasib ribuan mahasiswa itu.

Pdt. Binsar A. Hutabarat, M.C.S.



Sumber: http://groups.yahoo.com/group/Komunitas-Penjunan

Matius 10:28-33: CHRISTIANITY AND PERSECUTION: The Providence

Ringkasan Khotbah: 19 Maret 2006

Christianity & Persecution: The Providence
oleh: Pdt. Sutjipto Subeno, M.Div.
Nats: Mat. 10:28-33


Alkitab memberikan gambaran yang sangat tepat bagi anak Tuhan, yaitu seperti domba di tengah-tengah serigala. Domba adalah binatang yang sangat lemah, helpless maka ancaman dan bahaya itu selalu mengintai dirinya. Di tengah-tengah ancaman bahaya itu, Tuhan ingin kita mempunyai bijaksana sorgawi dengan tidak menantang bahaya tetapi Tuhan mengajarkan supaya kita lari ke kota lain namun ingat, kalau memang waktu Tuhan itu tiba, kita tidak boleh lari. Kita telah memahami sebelumnya, orang mengalami aniaya bisa disebabkan dua hal, yaitu: 1) sebagai hukuman atas dosa – implikasi keadilah Allah yang ditegakkan atas alam semesta, 2) karena orang hidup dalam kebenaran dan kesucian, hidup takut akan Allah, dunia tidak suka ada orang yang hidup benar itulah sebabnya dunia akan menganiaya orang Kristen.
Dunia bahkan orang Kristen sulit menerima pernyataan Firman Tuhan yang menyatakan bahwa orang yang hidup benar justru akan dianiaya. Bukanlah hal yang mengherankan kalau orang bisa berasumsi salah sebab orang mendasarkan asumsinya pada religiusitas/keagamawian dunia. Petrus juga pernah berasumsi salah terhadap Tuhan Yesus, ketika Tuhan Yesus memberitakan tentang penderitaan yang harus ia alami di Yerusalem, Petrus beranggapan kalau Tuhan Yesus tidak akan mengalami penganiayaan karena Allah akan menjauhkannya (Mat. 16:21-28). Bahkan sampai detik ini, kita masih menjumpai banyak orang Kristen yang masih berpandangan salah, orang disesatkan dengan berbagai-bagai ajaran sesat yang menyimpang dari ajaran Firman Tuhan. Firman Tuhan adalah kebenaran sejati karena datang dari Allah berbeda halnya dengan ajaran dunia yang datang dari iblis – kuasa keduniawian dimana kedagingan manusia berdosa itulah mendominasi cara berpikir seseorang.
Adalah panggilan setiap anak Tuhan untuk memproklamasikan kebenaran sejati, menjadi terang di tengah dunia yang gelap. Celakanya, hari ini banyak orang Kristen yang takut memproklamasikan kebenaran sejati. Adalah wajar kalau kita merasa takut, Tuhan Yesus pun tahu akan ketakutan yang dihadapi oleh anak-anak-Nya. Domba mana yang tidak akan merasa takut ketika ia hidup di tengah-tengah serigala. Perasaan takut merupakan salah satu emosi yang harus ada dalam diri manusia. Tuhan menanamkan perasaan takut yang positif dalam diri setiap manusia, hal ini seharusnya menyadarkan manusia akan keterbatasan dirinya namun orang tidak mau mengakuinya. Ingatlah, di dalam penganiayaan, Tuhan tidak akan meninggalkan kita – providensia Allah selalu beserta kita.

Perasaan takut yang positif seharusnya menyadarkan kita akan beberapa aspek, yaitu:
I. Mereferensikan hidup hanya pada Tuhan saja karena Dia adalah Maha segalanya – Maha Tahu, Maha Bijaksana, Maha Kuasa, seluruh Maha ada dalam diri-Nya.
Orang seharusnya merasa takut dan gentar ketika Dia berhadapan dengan Tuhan atas alam semesta yang Maha Besar. Bangsa Israel sadar akan hal ini itulah sebabnya mereka langsung tunduk menyembah hingga ke tanah, to bow down ketika mereka datang ke hadirat Tuhan. Takut yang benar adalah takut yang diarahkan kepada Tuhan. Celakanya, hari ini orang tidak takut kepada Tuhan tetapi orang justru lebih takut pada iblis maka tidak salah kalau orang menyebutnya sebagai anak iblis karena seluruh hidup dan pemikirannya telah dikuasai oleh iblis. Sungguh ironis, orang malah lebih takut pada serigala daripada takut pada Gembala Agung yang senantiasa menjagai domba-domba-Nya. Biarlah kita mengevaluasi diri kita sampai seberapa jauhkah kita takut pada Tuhan?
Ada tiga aspek sehingga orang tidak mempunyai rasa takut dan gentar pada Tuhan, yaitu:
1) hilangnya penekanan keadilan dan murka Allah. Alkitab memperkenalkan Allah Tritunggal sebagai Allah yang murka, Allah yang menegakkan keadilan, Allah yang tidak berkompromi dengan dosa. Allah sangat mengasihi manusia namun Allah yang mengasihi adalah Allah yang juga menyediakan neraka bagi manusia yang dikasihinya. Namun sayang, berita ini mulai dihilangkan, Kekristenan tidak lagi mengajarkan tentang takut akan Tuhan dan sebagai gantinya dan sekaligus sebagai alasan kedua, orang tidak takut Tuhan yaitu karena:

2) masuknya semangat humanis materialis dalam Kekristenan. Berita kebenaran didegradasi/diturunkan sedemikian rupa hingga inti kedaulatan Allah menjadi hilang. Gereja tidak berani memberitakan kebenaran sejati, gereja hanya memilih dan memberitakan Firman yang menyenangkan jemaat saja karena alasan untuk membuat jemaat senang dan tidak kehilangan anggota atau lebih tepat kalau dikatakan tidak kehilangan sumber mata uang. Allah yang diberitakan tidak lebih hanya Allah humanisme, Kekristenan mulai berkompromi dengan dosa. Hari ini, tidak banyak orang yang mau memberitakan ayat-ayat Firman Tuhan yang sifatnya eksplisit seperti dalam 1Tim. 6:10 maka tidaklah heran kalau kemudian orang mulai mengeliminasi ayat-ayat yang menyatakan kebenaran secara eksplisit. Kekristenan menjadi sinkretis/bercampur dengan konsep humanisme;

3) agama: “allah“ proyeksi. Agama seharusnya membawa manusia kembali kepada Allah tetapi setelah kejatuhan manusia dalam dosa, agama hanyalah alat untuk melarikan diri dari Allah. Agama yang ada di dunia tidak memberikan kemungkinan bagi manusia untuk bereferensi pada Allah yang sejati, karena “allah“ hanya alat untuk memproyeksikan pikiran manusia, projection of idea. Manusia mempunyai ambisi dan keinginan diri namun manusia tidak mau mengakui hal tersebut sehingga seluruh ambisi dan keinginan dirinya tersebut diproyeksikan ke “allah“ kalau “allah“ itu mulai tidak cocok dengan pikiranku, orang akan mencari “allah“ lain yang cocok dengan pikiran manusia. Allah bukan lagi “siapa“ tetapi allah adalah “apa“ karena allah tidak lebih hanyalah sebuah ide yang harus cocok dengan pikiran kita; “allah“ telah menjadi budak manusia. Orang memperlakukan “allah“ tidak lebih hanya sebagai rekanan bisnis belaka; “allah“ harus memberikan lebih besar dari apa yang diberikan oleh manusia. Pertanyaannya sekarang adalah apakah “allah“ yang demikian itu layak untuk kita hormati yang kepada-nya kita mereferensikan seluruh hidup kita? Tidak!

4) agama: “allah“ proteksi. “allah“ yang dibuat manusia hanyalah “allah“ yang lemah. Hari ini, kita menjumpai banyak orang yang membela “allah“ secara mati-matian. Pertanyaannya adalah siapakah yang harusnya membela dan dibela? Allah membela manusia atau manusia membela Allah? Kalau manusia yang membela “allah“ berarti “allah“ itu lebih kecil dari manusia maka tidaklah heran kalau manusia mulai mempermainkan “allah“ dan “allah“ demikian ini tidak layak untuk menjadi referensi kita. Semangat anarkis – humanisme telah membuat manusia tidak mempunyai rasa takut pada Tuhan maka di tengah dunia ini kalau kita mau hidup takut akan Tuhan, kita sulit mencari teladan. Kekristenan satu-satunya yang mengajarkan kepada kita untuk takut akan Tuhan.

5) Pendidikan atheistik. Takut akan Tuhan merupakan kunci utama bagi manusia untuk dapat mempunyai pengetahuan (Ams. 1:7) namun pengembangan pengetahuan menjadikan manusia bias, manusia tidak dapat membedakan antara true knowledge, pengetahuan sejati dengan pengetahuan dunia. Alkitab menegaskan janganlah kamu takut pada mereka yang dapat membunuh tubuh tetapi yang tidak berkuasa membunuh jiwa; takutlah terutama kepada Dia yang berkuasa membinasakan baik jiwa maupun tubuh di dalam neraka (Mat. 10:28). Seharusnya hal ini menyadarkan manusia akan satu hal: siapa yang seharusnya menjadi referensi hidup kita? Kepada siapakah seharusnya kita takut dan gentar? Orang yang mempunyai rasa takut pada Tuhan maka ia tidak akan mempunyai rasa takut pada apapun dan siapapun karena ia tahu, Tuhan yang ia sembah dan kepada-Nya ia takut itu adalah Tuhan yang hidup, Tuhan yang Immanuel, Tuhan yang selalu beserta kita. Hanya kepada Tuhan yang hidup inilah kita patut mereferensikan hidup kita. Allah yang hidup itu akan menopang hidup kita.

Kita seringkali mendengar tentang Allah yang beserta namun yang menjadi pertanyaan sekarang adalah kapan kita merasakan Allah beserta? Apakah kita merasakan Allah beserta ketika kita merasa nyaman saja? Tidaklah heran ketika orang mengalami kesulitan dan aniaya orang mulai bertanya dimanakah Allah? “Allah beserta“ hanya sekedar ungkapan di mulut saja, tidak teraplikasi dalam kehidupan kita sehar-hari. Ingat, ajaran Tuhan Yesus bukanlah sekedar teori. Tidak! Tuhan Yesus mengajarkan tentang kehidupan. Tuhan Yesus menegaskan ketika kita mengalami aniaya maka janganlah takut kepada mereka yang hanya dapat membunuh tubuh tetapi takutlah pada Tuhan yang dapat membunuh tubuh dan jiwa. Biarlah kita senantiasa menyandarkan dan mereferensikan hidup kita hanya pada Sang Gembala Agung.

II. Hidup dalam kebenaran, takut untuk berbuat dosa sehingga dalam segala aspek, akan melakukan segala sesuatu yang berkenan kepada Allah.
Dalam dunia modern ini kita akan menjumpai banyak sekali pilihan dan tawaran, tentu saja dengan berbagai resikonya. Puji Tuhan, Tuhan memberikan perasaan takut pada manusia, perasaan takut ini menjadi peringatan bagi kita. Seorang yang berbuat dosa atau melakukan kesalahan dalam dirinya pasti akan muncul rasa takut. Perasaan takut yang demikian ini adalah ketakutan yang positif. Ironisnya, orang tidak takut memberitakan kebenaran sejati seharusnya kita tidak perlu takut karena kita mempunyai Gembala Agung, Dia tidak pernah meninggalkan kita. Hari ini kalau kita menjumpai ada seekor domba yang takut menunjukkan ia telah kehilangan identitas dirinya. Manusia takut dimusuhi maka cara teraman adalah domba itu menjadi mirip seperti serigala.

Kita harus berani mengaku bahwa kita adalah Kristen sejati. Namun, kita juga perlu berhati-hati dan peka karena hari ini banyak orang yang mengaku diri Kristen tetapi ternyata, ia tidak lebih hanyalah seorang bidat, orang tidak mau mengakui kedaulatan Allah, orang masih mempunyai konsep humanis materialis. Manusia tidak mau menjadi domba akibatnya, orang memilih menjadi serupa dengan dunia. Domba adalah gambaran binatang yang suci dan bersih, semua sifat positif ada dalam diri domba namun sayang, orang tidak mengerti akibatnya manusia tidak menghargai sifat positif yang diberikan Tuhan dalam diri kita. Sungguh ironis, orang justru menjadi takut dan tidak percaya diri kalau ia disebut sebagai orang suci. Salah! Sebutan sebagai orang suci harusnya membuat diri kita bangga karena secara tidak langsung, orang mengakui bahwa kita mempunyai kualitas lebih tinggi dibanding dengan dirinya.

Tuhan memanggil kita untuk menjadi terang bagi dunia yang gelap maka janganlah takut dengan semua sifat positif yang ada dalam diri kita. Dunia akan terus berusaha membuat kita semakin terjepit sehingga akhirnya orang tidak berani mengaku sebagai Kristen sejati. Hidup akan menjadi indah ketika seluruh hidup kita didasarkan pada takut akan Tuhan, kita mempunyai sandaran kuat, tidak mudah digoyahkan oleh berbagai-bagai godaan dunia. Dalam kesaksiannya, Pdt. Stephen Tong mengungkapkan bahwa ibunya tidak takut lagi melepaskan dia pergi mengelilingi duni karena ibunya tahu, takut akan Tuhan yang selama ini ia ajarkan itu telah tertanam dalam hidupnya. Sebaliknya, kalau kita takut pada dunia maka dunia akan membuat kita melakukan dosa, menjauhkan kita dari Tuhan maka saat itu menjadi titik kehancuran kita karena membawa kita hidup dalam kebinasaan.

Sadarlah, pada saat kita hidup takut akan Tuhan maka itulah waktunya Tuhan memproses hidup kita semakin hari semakin sempurna. Hidup di tengah dunia ini banyak tantangan dan cobaan karena itu, mohonlah pada-Nya supaya Dia memberikan kepekaan pada kita, dengan demikian kita mempunyai alert system yang senantiasa memperingatkan kita dan menjadikan kita lebih waspada. Tuhan telah membukakan kebenaran, anak Tuhan akan mengalami aniaya tetapi janganlah kita menjadi takut pada dunia yang hanya dapat membunuh tubuh tetapi tidak dapat membunuh jiwa tetapi takutlah kepada Dia yang dapat membunuh tubuh sekaligus jiwa. Tuhan tidak membiarkan kita sendiri; kalau burung pipit saja Tuhan perhatikan apalagi manusia yang sangat berharga masakan Tuhan tidak memperhatikan? Allah sangat mengasihi manusia bahkan Ia tidak menyayangkan Anak-Nya sendiri, tetapi yang menyerahkan-Nya bagi kita, bagaimana mungkin Ia tidak mengaruniakan segala sesuatu kepada kita bersama-sama dengan Dia? (Rm. 8:32).

Kasih Allah yang begitu besar ini telah melampaui pikiran manusia. Inilah konsep providensia Allah yang diberikan pada anak-Nya. Perhatikan, dunia tidak mau berkorban untuk kita, dunia selalu mengharapkan imbalan dari apa yang ia berikan dan ingat, imbalan itu haruslah lebih besar dari pemberiannya. Sebaliknya, Allah memberikan anak-Nya yang tunggal untuk kita maka pertanyaannya sekarang adalah apa yang dapat kita berikan pada-Nya? Masihkah kita berani berdialog dengan prinsip untung dan rugi pada Tuhan? Sadarlah, Tuhan telah begitu mengasihi kita dengan memberikan anak-Nya bagi kita dan tidak hanya sampai disitu saja, providensia Allah diberikan juga kepada kita bahkan ketika kita berada dalam penganiayaan dan penderitaan yang paling berat sekalipun, Dia tidak pernah meninggalkan kita. Biarlah kita mengevaluasi diri kita, siapakah yang lebih kita takuti, Tuhankah atau duniakah? Sudahkah kita mereferensikan hidup kita hanya kepada Allah yang hidup? Amin.

(Ringkasan khotbah ini belum diperiksa oleh pengkhotbah)
Sumber:

Roma 9:22-29: "ISRAEL" SEJATI ATAU PALSU-5: Problematika Predestinasi dan Kedaulatan Allah

Seri Eksposisi Surat Roma:
Doktrin Predestinasi-5


“Israel” Sejati atau Palsu-5:
Problematika Predestinasi dan Kedaulatan Allah-2


oleh: Denny Teguh Sutandio


Nats: Roma 9:22-29

Setelah mempelajari tentang problematika predestinasi bagian pertama di ayat 19 s/d 21, kita akan melanjutkan problematika ini di bagian kedua di ayat 22 s/d 29.

Setelah memaparkan bahwa sebagai umat yang telah dipilih-Nya kita tidak berhak memprotes Allah, maka Paulus menyimpulkan bahwa Allah itu berdaulat, berhak memilih siapapun dan menolak sisanya. Kesimpulan ini diuraikan lagi di ayat 22 dan 23 s/d 26 (dengan penjelasan di ayat 27 s/d 29). Allah yang berhak dan berdaulat memilih beberapa dari antara manusia dan menolak sisanya adalah Allah yang juga berdaulat untuk memberikan kemuliaan kepada umat pilihan-Nya dan membiarkan mereka yang sudah ditetapkan untuk dibinasakan. Prinsip ini yang dijelaskan Paulus pada ayat 22 dan 23 dengan prinsip perbedaan kontras. Di ayat 22, Paulus mengatakan, “Jadi, kalau untuk menunjukkan murka-Nya dan menyatakan kuasa-Nya, Allah menaruh kesabaran yang besar terhadap benda-benda kemurkaan-Nya, yang telah disiapkan untuk kebinasaan--” Kepada orang-orang sisa yang telah ditetapkan-Nya untuk dibinasakan, Allah TIDAK menuntun mereka untuk berbuat dosa, tetapi Ia MEMBIARKAN mereka dengan cara Ia bertahan dalam kesabaran yang besar terhadap mereka dengan tidak menghukum untuk menyatakan kuasa-Nya. Mengapa Ia membiarkan mereka ? Karena Ia menunggu waktu di mana segala sesuatu harus dipertanggungjawabkan, yaitu umat yang tertolak (reprobat) pasti masuk neraka. Di sini, kita belajar beberapa hal:
Pertama, adanya keadilan Allah pada manusia. Manusia postmodern sedang diracuni oleh filsafat relativisme dan pluralisme serta subjektivitas kebenaran, sehingga banyak manusia postmodern menyerukan bahwa semua agama itu sama/baik, dan semua orang “pasti” masuk “surga” karena mereka telah menjalankan agama mereka. Tidak jarang juga seorang “Kristen” postmodern mengungkapkan hal serupa dengan dalih yang lebih mengerikan (“rohani”) yaitu Allah itu Kasih. Benarkah anggapan demikian ? TIDAK ! Allah Alkitab memang adalah Allah yang Mahakasih tetapi Ia juga Allah yang Mahaadil dan Mahakudus yang berdaulat. Ia berdaulat untuk memilih beberapa dari semua manusia berdosa untuk menjadi anak-anak-Nya dan melewatkan sisanya untuk dibinasakan. Mengerti Allah tetapi dengan sengaja memisahkan atribut Allah yang Mahaadil dan Mahakudus dari Allah yang Mahakasih sama dengan menghina dan menggeser Allah dari tahta-Nya dan menggantikan “superioritas” rasio manusia yang sanggup “menasehati” Allah. Bukan hanya memilih dan menolak manusia, keadilan Allah yang berdaulat berhak menghukum dan membinasakan mereka yang menolak-Nya. Dengan kata lain, keadilan dan kasih Allah menyediakan Surga bagi umat pilihan-Nya di dalam Kristus sebaliknya neraka bagi sisa dari umat pilihan-Nya yang dengan sengaja menolak dan bahkan menghina-Nya. Di dalam kebinasaan itulah, mereka yang tidak dipilih-Nya harus menjalani siksaan yang lebih berat dan lebih kejam, karena mereka besama-sama dengan bapa mereka, yaitu iblis. Bukankah itu menjadi dambaan bagi mereka yang tidak dipilih-Nya ??!!

Kedua, waktu Allah dan pemeliharaan-Nya yang berdaulat. Ketika di dalam ayat ini, Paulus mengatakan bahwa untuk mereka yang telah ditetapkan-Nya untuk dibinasakan, Allah tetap menahan hukuman dan menyatakan kuasa-Nya, maka ini berarti ada waktu Allah. Waktu Allah (Yunani: kairos) menunjuk kepada waktu Allah yang hanya satu kali terjadi (tak terulang). Di saat inilah, kita melihat kuasa-Nya dinyatakan, yaitu Ia akan memberkati umat pilihan-Nya yang taat dan setia, dan sebaliknya Ia akan menghukum dan membinasakan umat tertolak yang sengaja tidak mau beriman di dalam-Nya. Oleh karena itu, sebagai umat pilihan-Nya, kita tidak perlu kuatir dan takut akan bahaya penindasan, penganiayaan, dll yang menimpa kita di dalam mengikut Kristus. Kita tidak perlu seperti Asaf yang hampir cemburu melihat kemujuran orang fasik (Mazmur 73:1-11), tetapi puji Tuhan, Ia menyadarkannya untuk tidak cemburu dan melihat Allah sebagai Allah yang baik serta kemujuran orang fasik itu hanya sementara sifatnya (Mzm. 73:12-28). Ketika bahaya dan penderitaan mengancam hidup kita, kita tidak perlu kuatir. Mengapa ? Karena waktu Allah lah yang terbaik bagi kita. Kita tidak perlu mendendam kepada mereka yang membunuh dan membakar gereja, dll dengan dalih “rohani/agama”. Itu memang sudah menjadi life style dan kegemaran orang fasik (ungodliness). Semua pembalasan bukanlah hak kita, tetapi hak Allah. Perjanjian Baru mengulangi dua kali pengajaran bahwa pembalasan itu adalah hak Allah, yaitu di dalam Roma 12:19, “Saudara-saudaraku yang kekasih, janganlah kamu sendiri menuntut pembalasan, tetapi berilah tempat kepada murka Allah, sebab ada tertulis: Pembalasan itu adalah hak-Ku. Akulah yang akan menuntut pembalasan, firman Tuhan.” dan Ibrani 10:30, “Sebab kita mengenal Dia yang berkata: "Pembalasan adalah hak-Ku. Akulah yang akan menuntut pembalasan." Dan lagi: "Tuhan akan menghakimi umat-Nya."” Dengan adanya dua bagian Perjanjian Baru yang mengajarkan adanya pembalasan adalah hak Allah, maka kita harus tetap beriman kepada providensia (pemeliharaan)-Nya di dalam waktu-Nya yang berdaulat. Di dalam waktu Allah yang berdaulat, kita pasti akan melihat barangsiapa yang melawan umat pilihan-Nya (=Antikris), mereka akan dihakimi lebih berat dan dibinasakan ketika Kristus datang. Haleluya ! Itulah yang dimaksudkan Daniel di dalam penglihatan tentang Yang Lanjut Usianya yang akan membinasakan keeempat binatang dan anak manusia (Daniel 7:1-28). Yang Lanjut Usianya menunjuk kepada Kristus. Dari mana saya bisa menyimpulkan hal ini ? Karena Wahyu 1:14 menjelaskan hal yang sama/dikutip dari Daniel 7:9 dan di Wahyu 1 ayat 17-18, Rasul Yohanes melalui ilham Roh menggambarkan bahwa Yang Lanjut Usianya itu tidak lain adalah Anak Manusia yang adalah Yang Awal dan Yang Akhir dan Yang Hidup, Ia telah mati, namun Ia hidup sampai selama-lamanya, dan Ia memegang segala kunci maut dan kerajaan maut. Dari penjelasan ini, kita mendapatkan gambaran bahwa Yang Lanjut Usianya adalah Tuhan Yesus Kristus, Pribadi Kedua dari Allah Trinitas. Pada saat Kristus datang kedua kalinya setelah berlalunya masa Kerajaan Seribu Tahun (periode antara kedatangan Kristus pertama dan kedua), Ia akan membinasakan semua antikristus, yaitu semua yang melawan Kristus dan para pengikut-Nya. Haleluya ! Semua umat pilihan-Nya adalah lebih dari pemenang, karena Kristus telah mengalahkan kuasa dosa, iblis dan maut, serta memberikan jaminan kemenangan-Nya di dalam penderitaan dunia ini.

Sebaliknya, bagi kita sebagai umat pilihan-Nya di dalam Kristus, Paulus mengungkapkan, “justru untuk menyatakan kekayaan kemuliaan-Nya atas benda-benda belas kasihan-Nya yang telah dipersiapkan-Nya untuk kemuliaan,” (ayat 23) Kalau mereka yang telah dipersiapkan-Nya untuk dibinasakan akan mendapatkan hukuman Allah kelak ketika Kristus datang, sedangkan mereka yang telah ditetapkan dan dipersiapkan-Nya untuk kemuliaan, mereka pasti menerima kekayaan kemuliaan-Nya. “Kekayaan kemuliaan-Nya” bisa diterjemahkan kepenuhan kemuliaan-Nya atau kemuliaan-Nya yang besar. Ini berarti ada kemuliaan-Nya yang lebih besar yang akan disingkapkan oleh Allah bagi kita sebagai umat pilihan-Nya di dalam Kristus. Pada zaman akhir ini, kita telah dan sedang melihat begitu dahsyatnya kemuliaan Allah, yaitu melihat tangan kasih dan anugerah-Nya yang melalui Roh Kudus memimpin sekelompok orang yang fanatik dengan “agama lain” untuk beriman di dalam Kristus. Dengan kata lain, penginjilan adalah penyingkapan kemuliaan Allah di dalam Kristus. Tetapi itu tidak cukup, mengapa ? Karena penginjilan dan pemuridan adalah proses menuju kepada kesempurnaan anak-anak-Nya untuk melihat kemuliaan-Nya di dalam Kristus. Lalu bagaimana ? Kemuliaan Allah sejati kelak akan dilihat oleh umat pilihan-Nya di dalam kekekalan ketika Kristus datang yang kedua kalinya. Kedatangan Kristus yang kedua kalinya menyatakan sungguh-sungguh kemuliaan Allah yang tak terkirakan. Kedatangan Kristus yang pertama kalinya membawa misi menebus umat pilihan-Nya yang berdosa dan pada saat itu kemuliaan Allah tidak nampak secara fenomena, tetapi kedatangan Kristus kedua benar-benar menampakkan kemuliaan Allah. Dan pada saat kedatangan Kristus yang kedua kali inilah, semua umat pilihan-Nya mendapatkan hak menikmati kemuliaan-Nya itu. Sekali lagi, puji Tuhan!

Lalu, siapakah mereka yang telah dipersiapkan-Nya untuk kemuliaan? Di ayat 24, Paulus menjelaskan, “yaitu kita, yang telah dipanggil-Nya bukan hanya dari antara orang Yahudi, tetapi juga dari antara bangsa-bangsa lain,” Orang yang telah dipersiapkan-Nya untuk kemuliaan adalah semua umat pilihan-Nya yang tidak terbatas pada suatu suku atau bangsa tertentu. Di sini, Paulus mengungkapkan bahwa yang dipanggil-Nya bukan hanya dari orang Yahudi, tetapi juga dari bangsa-bangsa lain (dalam konteks ini adalah bangsa Yunani/Romawi; Alkitab terjemahan Inggris menerjemahkannya Gentiles/kafir/non-Yahudi). Pada saat Paulus menyingkapkan hal ini, mungkin orang-orang Israel menjadi marah, karena di dalam benak mereka, umat pilihan Allah hanya orang-orang Israel saja, dan orang-orang non-Yahudi adalah orang yang tidak dipilih dan diselamatkan Allah. Paulus mendobrak konsep orang Yahudi yang salah ini dengan mengatakan bahwa umat pilihan-Nya yang telah dipanggil-Nya bukan hanya dari orang-orang Yahudi saja, tetapi juga dari bangsa-bangsa lain. Berarti panggilan Allah bersifat universal. Ini juga menunjukkan adanya kedaulatan dan keMahakuasaan Allah yang memanggil mereka yang bukan dari Yahudi/Israel untuk menjadi umat-Nya. Bagaimana dengan kita saat ini ? Panggilan Allah juga berlaku bagi kita sebagai orang Indonesia (non-Yahudi/Israel) untuk beriman di dalam Kristus. Ini membuktikan bahwa Allah mengasihi manusia pilihan-Nya dari berbagai suku dan bangsa yang berdosa. Sudahkah kita memberitakan Injil kepada orang-orang sekeliling kita ?

Orang-orang Israel akan marah ketika membaca pengajaran Paulus di ayat 24 tadi, maka Paulus menyiapkan sanggahannya bahwa pengajarannya ini sebenarnya sudah diajarkan di dalam Perjanjian Lama. Di dalam ayat 25 dan 26, Paulus menuturkan, “seperti yang difirmankan-Nya juga dalam kitab nabi Hosea: "Yang bukan umat-Ku akan Kusebut: umat-Ku dan yang bukan kekasih: kekasih." Dan di tempat, di mana akan dikatakan kepada mereka: "Kamu ini bukanlah umat-Ku," di sana akan dikatakan kepada mereka: "Anak-anak Allah yang hidup."” Paulus mengutip perkataan Hosea, oleh karena itu ada baiknya kita sedikit membaca kitab Hosea untuk mendapatkan gambaran tentang hal ini. Di dalam Hosea 1:2-9, Lembaga Alkitab Indonesia (LAI) memberikan judul perikopnya: “Keluarga Hosea sebagai gambaran Israel yang tidak setia.” Di dalam perikop ini diceritakan bahwa Hosea diperintahkan oleh Tuhan di zaman Raja Israel, Yerobeam bin Yoas (1:1) untuk mengawini perempuan sundal dan memperanakkan anak-anak sundal (1:2), karena Israel sudah bersundal hebat dengan membelakangi/melawan Tuhan. Lalu, Hosea mengawini Gomer binti Diblaim (1:3) lalu melahirkan tiga orang anak, yaitu: Yizreel (1:4) sebagai simbol bahwa Allah akan mengakhiri pemerintahan Israel dan mematahkan busur panah Israel di lembah Yizreel (1:4b-5), Lo-Ruhama (ayat 6) sebagai tanda bahwa Allah tidak akan menyayangi lagi kaum Israel dan sama sekali tidak akan mengampuni mereka tetapi Ia akan menyayangi kaum Yehuda dan menyelamatkan, dan anak terakhir, Lo-Ami (1:9) sebagai tanda bahwa Israel bukanlah umat Allah lagi dan Allah bukanlah Allahnya Israel. Di Hosea 2, Allah menghukum Israel dan memulihkan Israel bukan secara bangsa, tetapi secara individu, melalui Lo-Ruhama dan Lo-Ami, anak-anak dari perempuan sundal yang dikawini oleh Hosea. Oleh karena itulah, Paulus menyebut keturunan dua orang ini disebut sebagai umat-Nya (baca: Hosea 2:22) dan yang bukan kekasih/istri-Nya (baca: Hosea 2:1-22) akan disebut kekasih-Nya. Dari kisah ini, kita mendapatkan pengertian bahwa Allah berkuasa mutlak untuk membuang mereka yang dengan sombong merasa umat pilihan Allah (padahal bukan umat pilihan Allah yang sejati), dan Ia memilih mereka yang dianggap bukan umat pilihan untuk menjadi umat pilihan-Nya. Jangan bermain-main dengan anugerah Allah. Tetapi puji Tuhan, Ia yang menghukum Israel, tetap menyisakan mereka yang taat dan setia kepada-Nya (umat pilihan-Nya sejati), sehingga kepada mereka, Allah tetap menganggap mereka sebagai umat-Nya (Hosea 1:10 ; band. Roma 9:26).

Hal ini diperjelas oleh Paulus di ayat 27 dan 28, “Dan Yesaya berseru tentang Israel: "Sekalipun jumlah anak Israel seperti pasir di laut, namun hanya sisanya akan diselamatkan. Sebab apa yang telah difirmankan-Nya, akan dilakukan Tuhan di atas bumi, sempurna dan segera."” Di antara bangsa Israel yang dipilih-Nya dari antara bangsa-bangsa lain, Ia tetap memilih individu-individu sebagai obyek cinta kasih-Nya di dalam umat pilihan-Nya. Umat pilihan-Nya secara individu inilah yang menandakan umat pilihan Allah sejati. Hal ini dijelaskan di dalam ayat 27 bahwa meskipun anak Israel itu banyak seperti pasir di laut, namun hanya sisanya akan diselamatkan/kembali (Yesaya 10:22a). Berarti, barangsiapa yang Tuhan telah pilih secara individu, Dia akan menjamin keselamatannya dan akan menarik mereka kembali ketika mereka pada suatu waktu berada di dalam kesesatan. Sedangkan, sisa dari umat pilihan-Nya itu akan Dia buang karena sebenarnya mereka bukan lah umat pilihan-Nya secara individu meskipun mengaku sebagai “umat pilihan-Nya” secara bangsa. Kebinasaan bagi umat yang tertolak ini sudah pasti dan itu akan dilaksanakan oleh Tuhan di atas bumi degnan sempurna dan segera. Pdt. Hasan Sutanto, D.Th. di dalam Perjanjian Baru Interlinear menerjemahkan ayat 28 dari struktur bahasa asli (Yunani), “Karena melalui sabda-Nya (dengan) melaksanakan dan mengurangi jumlah orang Israel, Tuhan akan bertindak di antara manusia di bumi.” (hlm 851) Terjemahan Indonesia/LAI di ayat 28 tidak menjelaskan apapun tentang tindakan Tuhan, tetapi dari terjemahan Yunani, kita mendapatkan penjelasan bahwa bagi mereka yang tertolak (meskipun mengklaim sebagai “umat pilihan-Nya” secara bangsa), Allah melalui Firman-Nya akan melaksanakan dan mengurangi jumlah orang Israel. King James Version juga sama memberikan penjelasan, “For he will finish the work, and cut it short in righteousness: because a short work will the Lord make upon the earth.” American Standard Version (ASV) menerjemahkan penjelasan serupa, “for the Lord will execute his word upon the earth, finishing it and cutting it short.” Tuhan bukan hanya memisahkan sungguh-sungguh kaum pilihan-Nya di antara bangsa pilihan-Nya, tetapi Ia juga benar-benar membuang mereka yang sebenarnya bukan kaum pilihan-Nya ke dalam neraka meskipun Ia harus mengurangi jumlah bangsa pilihan-Nya. Hal serupa juga terjadi di dalam keKristenan. TIDAK semua orang yang mengaku “Kristen” sungguh-sungguh beriman Kristen dan termasuk kaum pilihan-Nya. Kedua ayat ini mengingatkan kita bahwa ada banyak orang yang mengaku diri “Kristen” (=“bangsa Israel”) tetapi mereka beriman di dalam diri mereka sendiri (humanisme), materi (materialisme), kesenangan duniawi (hedonisme), dll. Secara label dan KTP, mereka “Kristen”, rajin ke gereja, tidak lupa berdoa dan berpuasa (=persis seperti yang dilakukan oleh para ahli Taurat di zaman Tuhan Yesus), tetapi sayangnya Kristus membukakan kedok kemunafikan mereka bahwa mereka bukan sedang melayani Tuhan, tetapi melayani iblis sebagai bapa mereka. Itulah citra diri orang yang mengaku diri “Kristen” padahal mereka adalah orang-orang atheis yang mau hidup dualisme. Terhadap orang-orang “Kristen” palsu ini (tentu BUKAN termasuk kaum pilihan-Nya dan anak-anak-Nya), Ia tidak segan-segan membuang mereka untuk dibinasakan, meskipun dengan cara itu, Ia mengurangi jumlah orang Kristen. Bagi Allah, lebih baik mengurangi jumlah orang “Kristen” palsu daripada memelihara mereka bersatu dengan orang Kristen sejati yang adalah umat pilihan Allah. Itulah maksudnya ketika Allah melalui Paulus (dan juga Yesaya) mengatakan bahwa tidak semua Israel sungguh-sungguh Israel, dan Allah akan membinasakan para “Israel” palsu meskipun dengan cara demikian, Ia akan mengurangi jumlah orang Israel. Marilah kita mengintrospeksi diri kita masing-masing sebagai orang Kristen, apakah kita sudah menTuhankan Kristus di dalam hidup dan hati kita?

Setelah itu, bagaimana respon kita? Pada ayat 29, Paulus mengatakan, “Dan seperti yang dikatakan Yesaya sebelumnya: "Seandainya Tuhan semesta alam tidak meninggalkan pada kita keturunan, kita sudah menjadi seperti Sodom dan sama seperti Gomora."” Ayat ini mengutip Yesaya 1:9 (“Seandainya TUHAN semesta alam tidak meninggalkan pada kita sedikit orang yang terlepas, kita sudah menjadi seperti Sodom, dan sama seperti Gomora.”) yang di dalam konteksnya sedang menceritakan kemunafikan dan ketidaksetiaan orang Israel kepada Allah. Meskipun ada orang-orang Israel yang tidak setia, Allah tetap memelihara mereka secara individu. Allah yang memelihara disebut sebagai TUHAN semesta alam (KJV: the LORD of hosts; Ibrani: yehôvâh tsebâ'âh). Dalam Perjanjian Baru, Tuhan semesta alam diterjemahkan oleh King James Version (KJV): the Lord of Sabaoth (Yunani: kurios sabaōth) Sabaoth bisa diartikan armies (=tentara). New International Version (NIV) menerjemahkannya: the Lord Almighty, Pdt. Hasan Sutanto, D.Th. di dalam Perjanjian Baru Interlinear (2003) menerjemahkankannya: Allah yang Mahakuasa (hlm 851). Allah yang memelihara mereka adalah Allah yang telah memilih mereka dan akan menyelamatkan mereka dari antara orang-orang berdosa. Kesimpulan dari pergumulan predestinasi Allah ini ada pada ayat 29 di mana kita sebagai umat pilihan-Nya di dalam Kristus harus bersyukur atas kasih, anugerah dan keadilan-Nya yang berdaulat. Mengapa ? Karena Allah yang Mahakuasa yang berdaulat itu meninggalkan bagi kita benih (keturunan) yang taat dan setia seperti Lot dan kedua anaknya (kecuali istri Lot) di tengah-tengah bangsa kafir, yaitu Sodom dan Gomora (baca: Kejadian 19:14-30). Lot dan kedua anaknya adalah gambaran dari sisa (remnant) manusia yang termasuk kaum pilihan Allah yang akan diselamatkan-Nya. Itulah gambaran kita yang sungguh-sungguh beriman di dalam Kristus. Adalah suatu anugerah-Nya yang begitu dahsyat ketika Ia meninggalkan suatu benih/keturunan yaitu suatu sisa yang taat dan setia kepada-Nya, jika tidak, kita sudah dibinasakan seperti orang-orang di Sodom dan Gomora. Oleh karena itu, kita harus bersyukur atas anugerah-Nya yang bersedia memilih kita dari antara manusia berdosa untuk menjadi anak-anak-Nya yang terkasih. Puji Tuhan ! Kita yang dahulu adalah hamba dosa yang patut dimurkai-Nya, sekarang dikasihi-Nya dan dijadikan-Nya kekasih-kekasih-Nya dan anak-anak Allah yang hidup yang siap ditempa dan dipimpin-Nya untuk makin menyerupai Kristus, Kakak Sulung kita. Sudahkah kita siap untuk ditempa dan dipimpin-Nya?

Biarlah melalui perenungan kedelapan ayat ini, kita didorong oleh Firman Tuhan untuk semakin taat dan setia di dalam mengikut-Nya, mengapa ? Itu semua kita lakukan sebagai respon ucapan syukur kita karena kita telah diselamatkan oleh-Nya di dalam darah Anak Domba Allah, Tuhan Yesus Kristus. Puji Tuhan. Amin. Soli Deo Gloria.

26 July 2008

Bagian 12

Manusia: Peta Teladan Allah-12: Allah yang Mahakuasa


Kebenaran-Keadilan Allah


Righteousness of God lebih tepat diterjemahkan sebagai “kebenaran-keadilan” Allah. Righteousness berbeda dari Truth yang adalah Kebenaran hakiki Allah. Namun, secara umum kita memang menerjemahkan juga sebagai kebenaran atau keadilan Allah.

Di dalam Roma 7:12 dikatakan, melalui pemberian Taurat, manusia mengetahui sifat Allah yang suci, baik, dan adil. Kita mengenal Allah melalui Taurat, yang menjadi cermin merefleksikan kesucian Allah. Kesucian Ilahi ini yang menjadi dasar manusia menuntut moral yang tinggi, sehingga ketika ada sesuatu yang menajiskan kita, yang membuat hati nurani kita bereaksi, kita tidak merasa damai sejahtera. Hidup yang najis, hidup yang kotor, seharusnya menyebabkan jiwa kita berontak, karena di dalam jiwa kita ada hati nurani, sebagai sesuatu yang menguji kebersihan moral dan pikiran kita. Kita dicipta menurut peta teladan kesucian Tuhan. Manusia dicipta pertama-tama dengan sifat kebajikan, yang membuatnya mirip dengan Sang Pencipta. Sehingga kalau kita melakukan kejahatan, tidak melakukan kebajikan, kita merubah diri kita sendiri, menjadi musuh dari diri kita sendiri, karena kita menyeleweng dari kehendak Tuhan.

Allah sudah memberitahukan kepada umat manusia apa itu kebajikan, yaitu ketika kita menjalankan keadilan, kebenaran, penuh dengan cinta kasih, belas kasihan kepada orang lain, dan dengan rendah hati berjalan bersama Tuhan. Kebanyakan filsuf-filsuf yang membahas konsep yang penting ini tanpa mengerti wahyu Tuhan. Akibatnya mereka memakai standar yang sudah jatuh di dalam dosa, untuk mengukur apa itu baik, apa itu tidak baik. Dan semua ukuran itu tidak sesuai dengan target yang ditentukan oleh Tuhan.

Hari ini kita masuk tema Allah itu adil adanya. Karena Allah itu adil, yang dicipta di dalam gambar dan rupa Allah juga mempunyai bibit keadilan. Manusia mempunyai bibit keadilan Allah yang tertanam dalam dirinya. Allah yang suci, yang baik, juga Allah yang adil. Keadilan itu menjadi suatu sifat yang hakiki dari Tuhan Allah sendiri yang menjadikan manusia berbeda dari binatang. Kita bisa marah kalau melihat sesuatu yang tidak adil, kita bisa merasa memihak jika ada yang ditindas. Ini semua merupakan semacam refleksi dan reaksi yang berdasarkan dari potensi keadilan yang sudah ditanam di dalam diri manusia. Engkau bergaul, bersahabat dengan banyak orang, lambat laun engkau akan menemukan, ada orang yang tidak tajam di dalam hal ini dan ada orang yang sangat tajam di dalam hal ini.

Sejak kecil kita menuntut orang tua kita untuk adil (fair). Papa mama miskin tidak apa, tidak ganteng atau cantik tidak apa, asalkan adil. Jangan mencintai kakak lebih daripadaku, jangan memanjakan adik lebih daripada aku. Keadilan inilah yang membuat orang tua dihormati anak-anaknya. Jika anak-anak tidak hormat pada orang tua, kemungkinan besar karena mereka tidak diperlakukan dengan adil. Anak-anak kecil yang menuntut keadilan dari orang tua, mereka sebelumnya belum pernah mendengar khotbah mengenai keadilan. Mereka belum pernah tahu istilah keadilan. Mereka belum pernah dididik tentang keadilan. Tetapi mengapa anak kecil bisa menuntut untuk diperlakukan dengan adil? Karena mereka dicipta menurut peta dan teladan Allah. Anak kecil merasa dilukai jika diperlakukan tidak adil. Perlakuan tidak adil terhadap anak-anak bisa menjadi pembunuhan batiniah secara perlahan tanpa disadari. Anak-anak kecil yang belum sekolah, bisa mengetahui siapa orang baik, siapa tidak baik dari naluri yang melampaui rasio. Tetapi jangan lupa, karena polusi dan distorsi dosa, naluri (instinct) ini menjadi tidak mutlak. Kita bisa ditipu dan diperdaya, karena kita menilai dengan standar yang salah.

Siapakah orang baik? Siapakah orang jahat? Di dalam dinasti Ming, ada cerita seorang kaisar memanggil seorang sida-sida yang akhirnya menjadi perdana menteri. Di sana ia ditanya, „Apakah definisinya orang baik dan orang jahat?“ Karena dia terlalu percaya diri, dengan standar yang sangat sederhana dia menjawab: “Bagi saya, orang baik adalah orang yang baik kepada saya, orang jahat adalah orang yang jahat kepada saya.” Teori dari Wei Zhong Xian ini menjadi tertawaan di dalam kebudayaan Tiongkok, jawaban ini terlalu egois dan dangkal, dianggap tidak mewakili kebudayaan Tiongkok. Orang-orang yang jahat, seringkali bersikap baik karena mau mendapatkan sesuatu untuk dirinya sendiri, misalnya penculik anak merayu anak agar anak itu ikut dan bisa ia culik.

Kita yang sudah berusia dan menjadi pemimpin bisa melihat, siapa yang egois dan siapa yang tidak egois. Tanpa banyak kesulitan orang mudah melihat siapa yang mementingkan diri, yang mau membangun kerajaannya sendiri. Kita tidak percaya Tuhan akan memakai orang seperti itu. Siapa yang berhati luas, memikirkan seluruh kerajaan Allah, memperhatikan seluruh gerakan, tidak mementingkan diri, dan mempunyai jiwa rela berkorban, baru bisa dipakai oleh Tuhan.

Bagaimana kita mengetahui apa itu kebajikan? Apa itu keadilan? Apa itu standar yang benar? Kita sering sekali salah tafsir, kita sering salah menilai, sehingga kita dirugikan dan ditipu oleh kesalahan penilaian itu sendiri. Kita membuang banyak waktu, melalui perjalanan hidup yang rusak, yang tidak perlu, dan merugikan diri sendiri. Istilah keadilan kebenaran, bukan ‘truth’, dan bukan hanya ‘justice’, tetapi ‘righteousness.’ Sesuatu istilah yang menggabungkan kebenaran dan keadilan, yang betul dan lurus. Di dalam Kitab Suci, righteousness itu disebut dikaiosune.

Paling sedikit ada lima aspek yang perlu kita lihat, siapakah orang yang benar, siapa orang yang righteous. Lima aspek atau sudut ini saya simpulkan dari seluruh Kitab Suci, dari Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru.

Pertama, orang yang righteous adalah orang yang sungguh-sungguh lurus dan jujur. Bukan orang yang liku-liku, bukan orang yang licik, bukan orang yang samar-samar, tetapi orang yang betul-betul bertanggung jawab atas apa yang dia katakan. Righteous man, pertama-tama dia harus mempunyai ketulusan dan sikap yang lurus. Orang yang kalau bicara, berputar-putar, akhirnya tidak tahu apa yang dia bicarakan. Saya berumur 60 lebih baru sadar, ada orang yang kelihatan baik, padahal sebenarnya tidak. Kalau kita bicara dengan dia, dia mudah mengatakan ya, gampang, setuju terus. Orang seperti itu yang paling tidak gampang. Mendadak dia berubah, baru sadar bahwa dia sebenarnya tidak jujur. Itu bukan orang yang righteous. Orang righteous berani bertanggung jawab atas apa yang dia katakan, setia, karena dia lurus dan jujur.

Kedua, seorang yang righteous adalah orang yang memperlakukan orang lain dengan adil, tidak memandang bulu. Ia menghormati baik orang kaya maupun yang miskin. Kepada orang berkuasa besar, dia baik-baik bersahabat. Kepada orang yang tidak mempunyai kuasa sama sekali, dia sama menghormati. Melalui aspek kedua ini, kita gampang melihat, siapa orang yang benar atau tidak. Dunia ini adalah dunia yang terlalu memandang pentingnya keuntungan. Saya sangat tidak menghormati beberapa macam orang. Semacam orang, terhadap atasan bersifat budak, terhadap bawahan bersikap menekan. Kedua, terbalik, terhadap atasan selalu berontak, terhadap bawahan merayu mencari dukungan. Orang-orang semacam ini tidak beres, karena tidak memperlakukan orang lain sewajarnya. Bisakah engkau memberitahukan kesalahan atasanmu dengan hati yang sungguh mengasihi dia? Bisakah engkau terhadap pembantumu memuji dia kalau dia bekerja dengan baik? Bisakah engkau menghormati anak orang yang miskin tetapi punya semangat berjuang? Bisakah engkau menegur anak orang kaya yang bisanya bermalas-malasan? Sikap yang lurus ini adalah sikap dari orang benar. Be righteous, bersikaplah adil kepada semua orang maka engkau akan menjadi lebih mirip Tuhan. Tuhan Yesus waktu di dunia tidak pernah menolak orang yang berdosa paling besar. Berapa besar dosa mereka, jika mereka datang kepada Kristus, Kristus tidak menghina mereka, Kristus menerima mereka. Tapi Yesus tidak pernah menerima dosa yang paling kecil sekalipun. Inilah keadilan dan kebenaran Kristus yang terus menerus menjadi Tuhan, teladan dan standar bagi seluruh dunia selama-lamanya. Bandingkan Yesus dengan pendiri-pendiri agama yang lain, tidak ada yang dapat dibandingkan dengan Tuhan Yesus.

Ketiga, orang yang righteous adalah orang yang mengisi hidupnya dengan kebenaran. Sehingga dia melakukan segala sesuatu berdasarkan kebenaran. Dia tidak sembarangan, karena dia memiliki prinsip kebenaran. Saya terus berkhotbah, karena mau membentuk suatu generasi yang benar, mau mengisi kebenaran ke dalam hatimu. Di dalam kantong jiwamu, ada tempat untuk mengisi kebenaran. Tetapi banyak orang tidak mengisi kantong itu, melainkan mengisi kantong yang lain, yaitu kantong nafsu. Tidak ada hal yang bisa kita berikan untuk bisa memuaskan nafsu yang tidak pernah puas. Tuhan memberikan seks sebagai kenikmatan yang terbesar bagi tubuh jasmani, di dalam jalur yang benar. Jikalau engkau mengisi kantong kebenaran terlebih dulu, tidak mungkin Tuhan meninggalkanmu, Dia juga akan memberikan kepadamu kenikmatan jasmani di dalam jalur yang benar. Isilah dulu kantong kebenaran sampai penuh, engkau akan memiliki pengendalian diri untuk menikmati seks di dalam jalur yang benar, dan engkau akan menikmati seks lebih daripada makhluk apapun. Mari kita belajar menjadi pemuda pemudi yang terus mengisi pengertian kebenaran, kita akan mengerti hal-hal yang melampaui pengetahuan alam. Kita akan mengerti pengertian supra natural tentang makna hidup, pengertian supra natural akan kekekalan, dan relevansinya terhadap hidup kita yang sementara ini. Akibatnya kita juga akan mengerti pengertian supra natural akan etika, moralitas dan tanggung jawab kita kepada Sang Pencipta. Pengertian-pengertian ini dan kebenaran yang diisi membuat kita menjadi orang yang benar, lurus, jujur, dan bertanggung jawab.

Keempat, orang yang benar adalah orang yang mempunyai ketegasan terhadap dosa. Kalau ada orang main-main dengan kelakuan yang tidak senonoh, dengan semacam usulan yang tidak beres, dia akan menjadi marah, dan dia akan tolak. Dia mempunyai sifat melawan, menolak, meniadakan yang tidak benar. Itulah sikap yang benar dari orang benar. Saat ini kita sangat mengharapkan ada orang-orang seperti ini di Indonesia untuk menjadi presiden, menteri, dan pejabat pemerintah. Ini adalah sifat dari peta dan teladan Allah. Pemuda-pemudi jangan mempunyai ambisi untuk menjadi orang penting, orang besar, tetapi setelah jadi orang penting, tidak dapat memberikan teladan hidup yang baik untuk menjadi contoh bagi yang lebih muda. Jika demikian, engkau adalah orang yang gagal. Apa gunanya engkau menjadi paling besar dan penting, tidak ada gunanya kalau tidak disertai moral yang tinggi. Biarlah engkau juga memiliki moral yang tinggi, sehingga semua pengikut mengatakan, dia patut dihormati dan dia patut duduk di tempat yang tinggi itu. Tetapi orang berjiwa kerdil, bukan orang yang mencari moral yang tinggi, dia mencari posisi yang tinggi, bagaimana jadi orang penting dan punya kuasa besar. Orang yang duduk di posisi yang tinggi, tetapi tidak bermoral akan mempermalukan diri sendiri. Orang yang punya gelar yang tinggi, tetapi tidak mempunyai bobot akan mempermalukan dirinya sendiri. Sebaliknya, orang yang berbobot, tetapi tidak ada gelar, tidak apa-apa. Berbobot tidak bergelar, sayang sedikit. Bergelar tidak berbobot, sangat memalukan.

Kelima, seorang yang benar adalah seorang yang menuntut diri dan mau hidup di dalam kesucian, kerohanian yang tertinggi. Orang yang selalu menuntut diri untuk hidup di dalam standar kesucian yang tertinggi. Orang yang tidak mau dosa mengotori hidupnya. Orang benar akan senantiasa menjaga agar kehidupannya tidak dipengaruhi dan dicemari dosa. Hidupnya memiliki kompas, dia tidak gampang dipengaruhi, dirayu, digoda, atau dijerumuskan ke dalam dosa. Kalau engkau melihat ada orang miskin diperlakukan tidak adil oleh orang kaya, lalu engkau menjadi marah, kemarahan itu adalah reaksi daripada sifat righteous, dikaiosune, yang ada di dalam dirimu.

Orang benar (righteous) memiliki kelima sifat ini di dalam dirinya. Seorang yang menghidupkan atau melaksanakan peta dan teladan Allah, dia melakukan segala prinsip keadilan, di dalam lingkungan dia sendiri. Di dalam rumah tangga, masyarakat, tempat bekerja, persekutuan, dan gereja, belajar jadi orang yang menjalankan keadilan. Orang yang righteous, setiap saat dia mau mengerjakan sesuatu, keadilan dan kebenaran Tuhan yang diutamakan. Sehingga semua penyelewengan langsung diketemukan dan dia peka apakah dia sendiri melanggar atau tidak. Orang yang peka akan pelanggaran diri, dia tidak gampang terjerumus ke dalam dosa. Orang yang tidak peka, yang tahunya keuntungan dan ambisi diri, dia tidak bisa menyangkal diri, dia menjual diri, lalu mendapatkan keuntungan yang sedikit. Akhirnya dia akan menghancurkan reputasi, hari depan, rencana Tuhan di dalam dirinya sendiri.

Di cerita Tiongkok ada seorang yang namanya Bao Jing Tian, yang terkenal dari generasi ke generasi, karena dia seorang hakim sangat adil, tidak memandang bulu, dan keputusannya selalu tepat luar biasa. Orang Reformed mengatakan hal itu sebagai common grace (anugerah umum). Orang Cina mengatakan dia mengambil keputusan seperti dewa. Maksudnya, keputusannya selalu tepat dan bijaksana, karena mempunyai kepekaan akan keadilan. Semoga Tuhan memberikan kita kepekaan akan keadilan, sehingga kita mengambil keputusan sesuai dengan keadilan kebenaran Tuhan, sebagai salah satu sifat dari peta dan teladan Allah di dalam hati kita. Jika kita adalah orang Kristen, ada 3 tahap di dalam mengambil keputusan. Tahap pertama adalah, peka akan kompas di dalam hati. Kedua, sesuaikan dengan ajaran seluruh Kitab Suci. Ketiga, taat pada pimpinan Roh Kudus. Dengan ketiga prinsip ini, kemana saja kita akan jadi orang yang beres, menjadi berkat bagi orang lain, dan menjadi pertolongan bagi orang lain yang memerlukan petunjuk. Dengarlah nasihat-nasihat yang baik, terimalah prinsip-prinsip yang benar, bentuklah dirimu dengan kepekaan keadilan, selalu cari semua prinsip dan unsur Alkitab untuk mendukung dirimu, peka pada pimpinan Roh Kudus di dalam seluruh hidupmu. Sehingga engkau menjadi orang yang benar dan adil (righteous) demi memuliakan Tuhan. Amin.

Bagian 11

Manusia: Peta Teladan Allah-11:
Allah yang Mahakuasa


“Kebajikan, Kesucian, dan Keadilan Tuhan”


Dulu saya sehat sekali, sekarang tidak lagi. Itu berarti waktu menggeser kita. Sepertinya kita didorong dan kita pasif; ataukah kita yang sedang menggeser waktu ke belakang? Pikirkan relasi keberadaan Anda dengan keberadaan waktu! Apa yang bisa kita kerjakan sekarang mungkin tidak lagi bisa kita kerjakan 10 tahun yang akan datang. Saat itu Anda menyesal mengapa tidak mengerjakannya waktu itu. Tidak ada siapapun yang bisa menolong kita ketika kita kehilangan kesempatan. Itu sebabnya dalam Alkitab ada 3 hal yang senantiasa terkait menjadi satu, yaitu waktu, moral, dan bijaksana. Relasi seperti ini tidak ada dalam filsafat Gerika. Di dalam filsafat klasik Gerika ada 3 hal yang dijadikan satu, yaitu: bijaksana, moral, dan bahagia. Jadi bijaksana yang sungguh mengakibatkan moral yang baik, dan moral yang baik mengakibatkan bahagia yang sejati. Alkitab mengajarkan bahwa orang bijak adalah orang yang pandai mempergunakan waktu dan melakukan moral yang sejati. Ini semua adalah perbedaan antara Alkitab dan pemikiran manusia yang sudah jatuh di dalam dosa. Kitab Suci memberikan pengajaran yang tertinggi. Kita tidak boleh mengandalkan kebenaran yang berasal dari rasio manusia setelah jatuh dalam dosa, tetapi berdasarkan pencerahan dari Sumber Kebenaran dan Kebenaran itu sendiri.

Di dalam Roma 7 dikatakan bahwa Taurat diberikan supaya manusia mengetahui kesucian, keadilan, dan kebajikan Tuhan Allah. Allah itu Mahasuci, Mahaadil dan Mahabaik. Ketiga hal ini menjadi inti Taurat. Dan ketiga hal dari Taurat ini menjadi pengertian manusia tentang Tuhan Allah. Taurat mencerminkan ketidaksanggupan kita melakukan kehendak Allah dan mencerminkan kejatuhan kita dari status yang ditetapkan oleh Allah, ketidakmungkinan kita untuk mencapai target yang ditetapkan oleh Allah, sehingga akhirnya kita mengetahui yang Allah kehendaki agar kita menjadi orang yang suci, adil, dan baik. Kesucian, keadilan, dan kebaikan adalah diri Tuhan Allah sendiri. Ini adalah target yang sekaligus sumber, bukan sekedar sebuah ide, bukan suatu ideologi ciptaan manusia. Kita dicipta oleh Allah yang suci, adil, dan baik. Semua agama mempunyai ide yang tertinggi, dan ide yang tertinggi menjadi standar moral. Semua agama mempunyai target ultimat bagi kebajikan manusia, tetapi mereka tidak tahu yang disebut target itu sebenarnya sekaligus adalah Sumber. Kalau “target” adalah titik terakhir, “sumber” adalah titik paling mula. Maka di sini kita melihat suatu garis yang mewakili proses. Maka kita sadar bahwa hanya Allah yang berhak mengatakan, “Akulah Alfa dan Omega.”

Ketika Tuhan mengatakan, “Akulah Alfa, Akulah yang Awal,” itu berarti Dia sumber, sehingga tidak ada sesuatu pun yang berasal dari diri Anda sendiri. Kepintaran maupun kesehatan kita berasal dari Sumber, bukan dari diri kita sendiri. Kemuliaan harus kita kembalikan hanya kepada Tuhan yang menjadi Sumber Pemberi Anugerah. Kita juga tidak boleh lupa bahwa Tuhan, Pemberi Anugerah, mau kita hidup bertarget, bersasaran, dengan standar yang harus kita capai. Yang disebut “mimpi itu tiba, berarti engkau membayangkan, engkau berjuang mencapainya, dan ingin mendapatkan sesuatu di akhir perjuanganmu.” Di dalam kita berharap untuk bisa mencapai sesuatu, harapan itu menjadi sumber dan sekaligus merupakan potensi yang merangsang seseorang untuk mengaktualisasikan diri mencapai hasil akhir. Dan Allah mengatakan, “Aku bukan hanya yang Awal, tetapi juga yang Akhir. Akulah Alfa dan Omega.”


Asal-Usul Kebajikan
Dari mana konsep kebajikan yang bisa manusia miliki? Ketika manusia ingin mencapai kebajikan ultimat (summum bonum), kebajikan itu siapa? Kebajikan yang ultimat (tertinggi) itu sebenarnya adalah diri Tuhan Allah, yang menjadi Sumber dan sekaligus menjadi Sasaran terakhir bagi hidup kita. Sasaran terakhir itu menjadi tujuan, menjadi sesuatu yang kita ingin dapatkan, seperti melepaskan panah menuju target. Tidak tercapainya target dalam bahasa Gerika adalah hamartia (artinya: dosa). Jangan hanya mengerti dosa sebagai perbuatan salah yang kita lakukan, itu terlalu dangkal. Banyak ahli hukum di dunia mulai dari mengerti hukum, membuat hukum, lalu menghukum orang lain. Ketika mengerti seluk-beluk hukum, lalu menjadi ahli melanggar hukum sambil tidak mau dihukum. Banyak orang belajar hukum belum tentu motivasinya mau menegakkan keadilan, mungkin karena ingin mendapatkan gaji besar. Manusia menuntut kebenaran, tapi akhirnya memperalat kebenaran hanya untuk mencari profit dalam pelayanan egosentris (berpusat pada kepentingan diri). Itu sebabnya setiap orang yang melibatkan diri dalam satu wilayah yang tinggi sekali nilainya dengan motivasi yang mempunyai egosenter (pusat pada kepentingan diri) sebagai titik tolak atau dorongan, orang itu sudah tidak memiliki kebajikan. Seorang hakim yang tidak melakukan keadilan, dia adalah penginjak, perobek, perusak keadilan. God-centered people (orang-orang yang berpusat pada Allah) menyadari bahwa Sumbernya adalah Tuhan dan targetnya juga Tuhan. Seorang dokter Kristen berbeda bukan karena ia pergi ke gereja tiap minggu, tetapi karena ia mempunyai Weltanschauung (wawasan dunia) Kristen, apa yang diwahyukan oleh Tuhan, untuk menjadi suatu motivasi seorang berprofesi dokter. Inilah pengertian Theologi Reformed. Di dalam kehidupan kita tidak ada satu inci di mana Tuhan tidak bertakhta (Abraham Kuyper), sehingga kita menaklukkan seluruh hidup kita kepada Tuhan, dan berkata, “Engkaulah Allahku, Engkaulah Tuhanku, tuanku. Aturlah hidupku, milikilah hidupku dan pimpinlah hidupku.” Itulah orang Kristen.

Sumber kita adalah Kebajikan dan kita dicipta menurut peta teladan Allah, sehingga kita diberi benih kebajikan dalam hati kita. Kita senang melihat orang yang bersih hatinya dan kita tidak senang melihat orang berliku-liku, tidak pernah sungguh-sungguh jujur. Seorang ayah minta anaknya menemui tamu yang datang ke rumah untuk mengatakan dia tidak ada di rumah. Anak itu dengan polosnya berkata, “Baru saja papa berkata bahwa dia tidak ada.” Anak ini menurut, ia menyampaikan perkataan papanya, tetapi papanya marah sekali. Marah, karena tujuan papanya bukan supaya dia menyampaikan secara jujur, tetapi supaya tamunya yang menagih hutang pulang. Anak kecil ini tidak mengerti, terlalu polos. Polos dianggap bodoh. Maka, anak kecil itu mulai berpikir bahwa “Polos itu sama dengan bodoh.” Akhirnya pendidikan tidak berjalan, karena pendidikan berlawanan antara di dalam kata dengan di dalam fakta.

Lebih dari 200 tahun yang lalu terjadi revolusi besar di Perancis. Dalam Revolusi Perancis, ada pemikir-pemikir penting, termasuk d’Alembert, Diderot, La Mettrie, Voltaire, dan Jean-Jacques Rousseau. Para filsuf Encyclopedic school (Arus pikir Encyclopedic) itu sangat menghina gereja. Mereka mengatakan, gereja adalah suatu sistem yang diperalat oleh kelompok pemimpin agama untuk mencari keuntungan bagi diri mereka sendiri. Maka mereka berusaha membongkar semua dosa-dosa uskup, pendeta, dan para pimpinan gereja. Lalu mereka meluncurkan suatu kalimat, kalimat itu menggunakan istilah summum bonum (the highest good). Summum akhirnya menjadi istilah summit. Bonum berarti kebajikan atau kebahagiaan yang paling tinggi. Hal ini menjadi salah satu hal yang paling dituntut oleh manusia dari zaman ke zaman. Dalam setiap zaman, manusia akan memikirkan apa itu yang terbaik, bagaimana menjadi orang terbaik, bagaimana mencapai kebaikan yang terbaik, bagaimana menjadi orang yang lebih baik daripada yang lain, dan menjadi yang sungguh-sungguh baik. Summum bonum itu menjadi sasaran semua agama; menjadi sasaran semua etika, moral, kebudayaan, dan pikiran para filsuf. Di dalam teori Revolusi Perancis, mereka mengatakan: “Yang disebut summum bonum itu selalu diperalat, karena sebenarnya mereka tidak mencapai, hanya memperalat istilah summum bonum untuk mencapai profit pribadi, profit egoisme.” Maka summum bonum harus didefinisikan kembali, yaitu sesuatu kebajikan yang tidak boleh dipakai menjadi suatu alat untuk menuju tujuan yang lain. Orang yang datang ke gereja bukan untuk mencari Tuhan tetapi untuk mencari untung, maka keagamaan menjadi hal yang paling rendah, dan profit menjadi ilah mereka. Mereka memakai nama Allah, berdoa kepada Allah untuk mencapai sesuatu yang rendah sekali. Hal seperti ini telah dibongkar oleh orang Perancis lebih dari 200 tahun yang lalu. Mereka mengatakan, semua agama yang mempunyai motivasi yang tidak baik harus keluar dari panggung kebudayaan manusia. Dunia tidak mungkin damai kecuali memakai usus dari uskup yang terakhir untuk mencekik mati Paus terakhir, baru ada damai di dalam dunia. Pada saat itu orang dunia, orang berbudaya, orang cendekiawan menghina agama sampai serendah-rendahnya, karena banyak orang memperalat agama untuk mencari profit untuk diri sendiri. Mereka melihat orang dunia jauh lebih baik dari orang yang masuk gereja dan para pemimpin gereja. Muncullah kalimat, “Jangan lupa, di belakang toga pendeta tersimpan dosa lebih banyak daripada orang biasa.”

Summum bonum tidak boleh menjadi alat. Summum bonum harus selalu menjadi titik terakhir yang dituntut. Jadi summum bonum bukan media, bukan alat, juga bukan penghubung. Summum bonum di dalam dirinya sendiri adalah tujuan akhir. Maka, jika Anda mencari kebajikan tertinggi, Anda mau bertemu dengan sommum bonum itu sendiri. Summum bonum adalah sifat ilahi. Summum bonum adalah sumber di mana kita dicipta menurut peta teladan itu, sekaligus adalah target yang dituju. Menuju berarti belum mencapai. Suatu kali Tuhan berkata kepada seorang pemuda, “Engkau sudah tidak jauh dari Kerajaan Sorga.” Tidak jauh berarti belum sampai. Banyak kecelakaan pesawat terjadi justru ketika sudah begitu dekat dengan landasan. Sudah begitu dekat tidak berarti sudah sampai. Ketika Anda mengatakan, “Saya mau percaya Tuhan,” mau percaya berarti belum percaya. Mau percaya hanyalah sebuah keinginan, tetapi belum menyatakan realita sesungguhnya.

Kalau summum bonum itu sumber, dan Allah adalah Alfa sekaligus Omega, berarti summum bonum itu juga target. Itu berarti seumur hidup saya harus menuntutnya, mengejarnya, supaya bisa mencapai, atau mendekatinya. Tetapi itu bukan berarti saya sudah menjadi orang yang paling baik. Itu sebabnya kita harus terus-menerus mengejar menuju kesempurnaan. Itulah theologi Reformed.

Theologi Reformed tidak mengatakan kita mungkin mencapai kesempurnaan sepanjang dalam dunia ini, tetapi theologi Reformed juga mengajar kita bisa menjadi orang sempurna di dalam dunia ini, karena orang sempurna justru adalah orang yang tidak sadar dan tidak merasa diri sudah sempurna. Ini paradoks. Orang yang makin sempurna makin merasa diri kurang sempurna; orang yang makin rohani makin merasa diri kurang rohani; orang yang makin pintar merasa diri kurang pintar; orang yang makin baik selalu merasa diri kurang baik. Barangsiapa menganggap diri sudah cukup baik, pasti dia kurang baik. Orang yang menganggap diri tidak sempurna mungkin dia lebih sempurna dari orang lain. Ini teori dan ajaran kebenaran yang disebut sebagai paradoxical truth.


Bagaimana Mengerti Arti Kebajikan?
Pertama, orang yang baik adalah orang yang tidak egois. Jika seseorang senantiasa mementingkan diri dan tidak menghiraukan orang lain, ia akan memonopoli semua keuntungan dan merampas hak orang lain. Wang Mingdao, 26 tahun dikurung dalam suatu penjara dan diberikan sinar berpuluh-puluh ribu watt, sehingga sarafnya tegang dan kacau, lalu dipaksa minta pengampunan dari pemerintah Komunis. Setelah berpuluh-puluh ribu watt lampu disorot kepadanya berhari-hari, akhirnya dalam keadaan tidak sadar dia tanda tangan. Setelah tanda tangan, dia tidak lagi disorot, dia boleh tidur, dan dibebaskan. Setelah keluar, dia baru tahu bahwa yang dia tanda tangani adalah surat permintaan pengampunan kepada Komunis dan surat itu sudah masuk ke seluruh surat kabar di Beijing. Dia mengatakan, “Saya mau kembali masuk penjara. Saya tidak mau kebebasan. Ini penipuan, saya diperalat untuk menjadi propaganda Komunisme.” Selama 26 tahun lagi dia masuk penjara, ketika bebas, usianya sudah 78 atau 79 tahun. Di penjara tidak boleh ada Kitab Suci sehingga dia terus menghafal ayat-ayat yang pernah dia baca. Dia menulis satu makalah pendek, tidak lebih dari 800 huruf. Di dalamnya terdapat kalimat: “Seorang Kristen yang baik, waktu lihat ada keuntungan, jangan lari ke depan. Mundur sedikit, biar orang lain dapat. Orang Kristen yang baik, waktu lihat ada bahaya, lari ke depan, jangan sampai orang lain kena bahaya.” Berapa banyak orang Kristen tidak pernah mengerti kedua kalimat ini? Selalu di depan ketika ada keuntungan dan lari paling dulu ketika ada bahaya. Yang lebih ironis, orang-orang seperti ini menjadi majelis, bahkan pendeta. Hai orang beriman, nyatakanlah itu dalam kelakuan! Bagi Confucius, gentleman berarti orang yang mengerti kebenaran, sementara orang kerdil mencari profit. Gentleman membicarakan keadilan, orang kerdil membicarakan kesenangan diri. Mengapa sudah menjadi majelis atau penatua masih sibuk dengan keuntungan diri dan kalau ada bahaya lari paling cepat. Kebajikan adalah ketika seorang tidak egois dan mau mengutamakan kepentingan orang lain.

Kedua, orang baik mau mengerti orang lain. Orang yang baik suka damai. Ada orang-orang yang suka ribut, suka berdebat, suka meruncingkan segala perbedaan pendapat agar menjadi suatu pertikaian, suka mendendam yang tidak habis-habis. Orang seperti ini di mana saja tidak cocok. Tenang dan berdamai dengan orang lain, memang bukanlah hal yang mudah, tetapi itulah yang Tuhan inginkan. Kita harus belajar menjadi orang baik. Ketika ada orang membenci kita, kita perlu mendoakan dia, karena itu adalah kelemahannya. Dengan demikian kita tidak membenci dia, karena dengan demikian kita merendahkan derajat kita dan jatuh ke dalam kelemahan yang sama. Tuhan Yesus mengajar kita untuk mengasihi musuh kita. Itulah kebajikan.

Ketiga, orang yang baik selalu menaruh pengharapan dan selalu sabar menunggu saat penuaian. Paulus berkata, “Jikalau engkau melakukan suatu hal yang baik, jangan kecewa. Bersabarlah, tunggu sampai hari itu tiba. Engkau akan menuai buah yang baik.” Inilah bagaimana kebajikan yang diintegrasikan dengan proses waktu. Waktu itu begitu serius dan menyiksa. Menunggu adalah siksaan yang luar biasa. Tetapi Paulus berkata, “Tunggulah, ketika engkau sudah menanamkan benih yang baik, sudah melakukan sesuatu yang baik, seperti benih ditanam, tunggu, dia tumbuh perlahan. Engkau terasa seperti disiksa, tetapi makin pelan, makin akan menghasilkan buah yang baik sekali.” Orang yang sabar seperti menerima siksaan waktu, tetapi akhirnya melihat buah itu betul-betul dihasilkan, ini namanya orang baik. Kebaikan, keadilan, dan kesucian Tuhan tidak bisa difragmentasikan. Tuhan yang baik adalah baik di dalam kesucian-Nya, Tuhan yang baik adalah Tuhan yang baik di dalam keadilan-Nya. Tuhan yang adil adalah adil di dalam kebaikan-Nya. Tuhan yang adil adalah adil dalam kesucian-Nya. Tuhan yang suci adalah suci dalam kebaikan-Nya, suci dalam keadilan-Nya. Jika Anda melaksanakan hidup yang baik, maka kebajikan itu menjadi sumber dan sekaligus target. Dengan demikian, kita tidak akan menjadi orang yang egois.

Terakhir, orang baik mau selalu menanam sesuatu dan dengan tidak mengharapkan imbalan. Memberi, melayani, berbagian, mengorbankan diri, dan menyangkal diri, adalah jiwa pelayanan. Ini disebut baik. Bisa memberi lebih berbahagia daripada bisa menerima. Agar lilin terus bercahaya, dia harus melelehkan diri sedikit demi sedikit. Tidak mungkin orang mau melakukan kebaikan tetapi tidak mau menyangkal diri, tidak mau merugikan diri, dan tidak mau berkorban diri. Kiranya kita melakukan segala kebajikan di hadapan orang, agar Bapa di sorga dipermuliakan. Dengan demikian kita menyatakan peta teladan Tuhan melalui hidup kita masing-masing. Amin.