03 January 2008

Matius 8:5-13 : THE LORDSHIP IN ROMANS GOVERNANCE

Ringkasan Khotbah : 19 Desember 2004

The Lordship in Romans Governance

oleh : Pdt. Sutjipto Subeno, M.Div.
Nats: Mat. 8:5-13


Kita telah memahami bahwa tema Injil Matius adalah Kristus sebagai Raja dan Dia menghadirkan Kerajaan Sorga di tengah-tengah dunia. Layaknya, sebuah negara maka dalam Kerajaan Sorga pun ada hukum yang harus ditaati oleh setiap orang yang menjadi warga Kerajaan Sorga (Mat. 5-7). Kristus Sang Raja itu sendiri telah memberikan teladan yang indah pada setiap kita bagaimana mengimplikasikan hukum Kerajaan Sorga tersebut (Mat. 8-9) dengan demikian orang tahu dan merasakan indahnya hukum Kerajaan Sorga kalau kita menjalankan dan melakukannya. Namun orang Yahudi tidak suka ketika Yesus sedang mengimplikasikan hukum Kerajaan Sorga sebab Yesus menyembuhkan orang-orang yang mereka benci, yaitu: 1) orang kusta – orang yang dikutuk Tuhan, 2) hamba seorang perwira Romawi – bangsa Romawi membuat hidup bangsa Israel menderita sebab mereka menjajah bangsa Israel, 3) ibu mertua Petrus – seorang wanita dianggap sebagai warga kelas dua yang tidak dihargai.
Ketika Tuhan Yesus masuk ke Kapernaum, datang seorang perwira Romawi, memohon supaya Tuhan Yesus menyembuhkan hambanya yang lumpuh dan sangat menderita. Hal tersebut tidak lazim, sebab kedatangan perwira Romawi itu biasanya untuk urusan kriminal seperti menginterograsi, menangkap, dan lain-lain. Banyak orang yang mengkaitkan bagian ini dengan iman akan tetapi kalau kita perhatikan tatanan Injil Matius maka bagian ini merupakan bagian implikasi Kerajaan Sorga. Jadi, inti permasalahannya bukan soal kesembuhannya karena kesembuhan hanyalah masalah sekunder karena intinya adalah bagaimana kesembuhan itu dijalankan dan bagaimana relasinya sehingga dapat mendatangkan kesembuhan tersebut. Dunia melihat kesembuhan dari kacamata egoisme manusia maka tidaklah heran kalau kemudian orang berpikir bagaimana caranya beriman supaya disembuhkan.
Memang kisah ini berkaitan dengan kesembuhan tetapi tidak berurusan dengan iman dan hal ini sekaligus mematahkan konsep bahwa kesembuhan seseorang sangat terkait dengan imannya, yaitu orang yang tidak disembuhkan berarti ia kurang beriman. Salah! Apakah hamba perwira Romawi yang tergeletak sakit lumpuh itu seorang yang beriman pada Kristus? Tidak! Yang beriman adalah tuannya, yaitu si perwira Romawi dan kemungkinan si hamba ini tidak mengenal Kristus sebab di Alkitab dicatat hamba tersebut tergeletak di rumah tuannya. Hamba ini tidak mempunyai kesempatan untuk bertemu Tuhan Yesus namun toh ia mendapat kesembuhan. Ingat, tidak ada hubungan sama sekali antara si tuan yang beriman dengan hamba yang disembuhkan karena kalau memang benar demikian: Bukankah Pendeta yang menyembuhkan itu beriman lalu kenapa saya tidak sembuh? Ironisnya, justru kitalah yang disalahkan kalau kita tidak sembuh karena dianggap kurang beriman. Memang betul, ada unsur iman di dalamnya namun titik pointnya bukan disana. Melalui perwira Romawi ini, Matius ingin memaparkan tentang the Lordship of Christ yang berkenan memberikan kesembuhan.
Perwira Romawi ini berbeda dengan orang Romawi pada umumnya, ia sangat peduli dan perhatian pada hambanya, ia rela berjalan jauh demi untuk mengupayakan kesembuhan hambanya. Perwira ini tahu kepada siapa ia harus datang dan bagaimana ia harus bersikap. Melalui kisah hamba perwira Romawi yang disembuhkan, Matius telah membukakan suatu dimensi baru dengan format yang berbeda, yakni untuk mengerti siapa Tuan yang adalah Tuhan bukan hanya melalui kepapahan/kehidupan yang menderita, bukan juga ketika orang berada dalam kondisi sakit dan tidak ada harapan seperti seorang sakit kusta. Hal pertama dan utama yang paling penting ketika kita datang pada Tuhan adalah menyadari bahwa kita manusia berdosa dengan demikian kita dapat meresponi anugerah dengan tepat. Orang sombong yang merasa diri tahu banyak hal sangat sulit bertemu Ketuhanan Kristus sejati. Yang menjadi pertanyaan, kalau kita tidak sakit dan tidak menderita dan kita seorang yang mempunyai kedudukan apakah itu akan membuat kita sulit memahami Ketuhanan Kritus? Tidak! Kalau pada bagian pertama digambarkan ada seorang yang dirinya sendiri sedang sakit kusta lalu ia datang kepada Kristus dan ia disembuhkan maka penyakit kusta ini merupakan gambaran dari manusia berdosa. Itulah sebabnya, Matius mengambil contoh yang kedua, yakni seorang perwira, seorang yang mempunyai kedudukan dan tidak sakit dengan demikian kita dapat memahami Ketuhanan Kristus, Lordship of Christ dari dimensi yang berbeda.
Tuhan ingin mengajarkan pada kita bagaimana seharusnya memahami konsep urutan/ordo dengan benar, siapa yang seharusnya menjadi Tuan di dalam hidup kita. Perwira Romawi ini sangat mengerti ordo, dia tahu kalau ia hanyalah seorang bawahan. Perwira Romawi ini mengontraskan dirinya, seorang atasan sekaligus bawahan (Luk. 8:9). Inilah suatu gambaran seorang yang menyadari betul akan ordo, siapa dirinya di hadapan Tuannya; ia tahu apa arti sebuah perintah maka ketika perintah itu datang, ia harus menjalankannya, tidak ada diskusi apalagi pertanyaan, “Mengapa, Tuan?“ Bayangkan, kalau dalam medan peperangan terjadi diskusi antara jenderal dengan prajuritnya. Bagaimana dengan kita? Sudahkah anda menyadari bahwa kita hanyalah seorang hamba, seorang bawahan di hadapan Tuhan meskipun di dunia, kita adalah seorang atasan? Sebagai seorang atasan, tentunya kita ingin supaya bawahan kita itu taat pada kita namun apakah kita sudah taat pada Tuhan yang menjadi Tuan atas hidup kita? Sebagai anak Tuhan sejati, kita harus men-Tuhan-kan Kristus dalam hidup kita dan untuk itu kita harus menyadari tiga hal penting, yaitu:
I. Kerendahan Hati
Di hadapan Kristus, Sang Raja pemilik seluruh alam semesta ini, kita hanyalah seorang hamba meskipun di dunia, kita bisa memerintahkan apa saja dan orang bawahan kita akan menuruti semua yang kita perintahkan. Perwira Romawi ini sangat dihormati sekaligus ditakuti oleh rakyat termasuk bangsa Israel namun demikian demi kesembuhan hambanya, ia mau datang dan memohon kepada Tuhan Yesus. Inilah jiwa seorang yang rendah hati. Biarlah kita seperti perwira Romawi ini yang menyadari bahwa dirinya bukanlah siapa-siapa, dia tidak layak menerima Tuhan di dalam rumahnya karena itu: “Katakan saja sepatah kata, maka hambaku itu akan sembuh....“ Hari ini, kesombongan membuat orang sulit menerima Kristus dalam hidupnya karena orang telah terbiasa dengan memerintah segala sesuatu. Tuhan Yesus heran melihat kerendahan hati perwira Romawi ini dan Ia memuji iman perwira Romawi ini sebaliknya kepada orang banyak yang mengikuti-Nya, Tuhan Yesus menegur dengan keras: “Banyak orang akan datang dari Timur dan Barat dan duduk makan bersama-sama dengan Abraham, Ishak dan Yakub di dalam Kerajaan Sorga sedangkan anak-anak Kerajaan itu akan dicampakkan ke dalam kegelapan yang paling gelap, disanalah akan terdapat ratap dan kertak gigi“ (Luk. 8:10-12).
Sebagai orang Kristen, kita sudah cukup puas karena telah mendapatkan anugerah, kita telah dipilih menjadi bagian warga Kerajaan Sorga. Kita tidak tahu kalau sesungguhnya kita telah kehilangan inti yang paling penting, yaitu ketaatan. Memang benar, Tuhan telah memberikan kuasa pada setiap anak-anak-Nya tapi ingat, hal itu janganlah menjadikan kita sombong. Ingat, kita hanyalah seorang hamba, seorang bawahan yang harus taat pada semua perintah Kristus yang menjadi Tuan atas hidup kita. Dan hanya seorang yang berjiwa rendah hatilah yang dapat memandang dan menjadikan Kristus sebagai Tuan atas segala tuan. Bukan hal yang mudah, mempunyai jiwa yang rendah hati karena dunia telah melatih kita sedemikian rupa supaya kita menjadi seorang yang egois dan menjadi tuan atas segala sesuatu maka tidaklah heran kalau kita menjumpai seorang Kristen yang sombong dan tidak berjiwa rendah hati. Hari ini, banyak orang tak terkecuali orang Kristen yang hanya mau berkat saja tapi mereka tidak mau taat pada perintah Kristus. Biarlah di dalam hidup kita menjadikan Kristus sebagai Tuan yang bertahta dan memimpin hidup kita.

II. Ketaatan Mutlak
Konsep otoritas yang Alkitab ajarkan selalu bertentangan dengan dunia ajarkan. Dunia modern menentang keras sistem perbudakan. Dunia modern anti dengan segala bentuk otoritas dan jajaran pemerintahan, dunia anti dengan segala macam legalitas. Ironisnya, orang paling suka memerintah. Kontradiktif! Kalau kita tidak suka dengan otorisasi maka seharusnya kita pun tidak berhak memerintah siapapun. Orang yang tidak suka dengan segala bentuk otorisasi seharusnya dia belajar taat. Orang yang tidak suka diatur mestinya menjadikan dirinya lebih rela untuk diatur. Namun kenyataannya tidaklah demikian. Karena sesungguhnya orang yang benci dengan otorisasi itu menginginkan dirinyalah sebagai the final authority, yaitu otoritas terakhir ada di tangannya. Orang demikian adalah orang yang egois, ia hanya mau menjadi tuan yang mengatur segala sesuatu tapi tidak mau diatur. Bayangkan, kalau di dunia banyak orang-orang egois, dunia akan menjadi kacau, chaos karena semua manusia menjadi manusia independen yang tidak mau tunduk pada otoritas. Memahami konsep otoritas tidaklah mudah karenanya kita harus kembali pada konsep otoritas sesuai dengan kebenaran Alkitab. Alkitab tidak pernah melarang dan anti pada sistim perbudakan karena perbudakan adalah prinsip yang sangat baik dalam hidup. Bukan perbudakan yang Tuhan tentang tapi Tuhan menentang tuan yang jahat. Janganlah menentang sistim yang Tuhan sudah tetapkan karena hal itu malah akan membuat relasi kita dengan Tuhan menjadi rusak.
Struktur militer merupakan adaptasi dari struktur perbudakan dimana seorang bawahan harus taat pada atasan. Struktur perbudakan merupakan struktur yang terbaik tapi struktur perbudakan harus dalam kesucian, kebenaran, kebajikan dan keadilan. Sayang, dunia modern tidak mau menerima konsep perbudakan sebab manusia yang sombong ini tidak suka kalau diperintah oleh orang lain apalagi kalau disuruh taat mutlak pada Tuhan. Hendaklah kita menyadari bahwa kita hanyalah seorang hamba yang harus taat mutlak pada perintah Tuannya. Gambaran otorisasi yang ditunjukkan oleh perwira Romawi sangatlah indah: “Tuan, katakan saja sepatah kata, maka hambaku itu akan sembuh.“ Betapa indahnya hidup kita kalau hidup kita ada dalam pimpinan tangan Tuhan.

III. Penyerahan Mutlak
Perwira Romawi ini telah dididik sedemikian rupa untuk taat pada ordo kemiliteran. Perwira Romawi ini menyadari bahwa nasib seorang bawahan ada di tangan sang pemimpin maka berbahagialah mereka yang mempunyai seorang pemimpin yang baik karena hidupnya akan terjamin. Beriman berarti berserah sepenuhnya pada sesuatu yang menjadi obyek iman kita. Sayangnya, seringkali orang tidak sadar siapa yang layak menjadi obyek iman kita. Beriman pada Kristus merupakan jalan yang terbaik. Kalau perwira Romawi ini dapat beriman pada Kristus, pastilah sebelumnya ia telah mensurvei tentang siapa Kristus dan pastilah juga ia telah membandingkan dengan semua atasannya, yaitu jenderal-jenderal yang lain dan akhirnya sampailah ia pada kesimpulan bahwa Kristus Yesus adalah Tuan atas segala tuan. Perwira Romawi ini sangat menyadari bahwa semua atasannya tersebut hanyalah manusia biasa yang sangat terbatas dan hanya berserah kepada Kristus saja maka hidup kita akan terjamin. Sayang, banyak orang tidak mau percaya akan hal ini akibatnya orang beriman dan percaya pada dirinya sendiri, self faith. Maka janganlah kaget kalau kita menjumpai orang yang mempunyai rasa percaya diri yang berlebihan. Orang tidak menyadari akibat kalau beriman pada diri sendiri adalah kehancuran. Siapakah kita manusia ini? Apakah diri yang terbatas ini layak dipercaya? Dapatkah anda menjamin hidup anda sendiri sedang nasib kita sendiri saja kita tidak tahu. Kita tidak cukup bijak mengambil keputusan karena keputusan yang kita ambil terkadang salah. Manusia sangat terbatas.
Alkitab mencatat perwira ini mempunyai iman yang besar. Iman sejati adalah ketaatan mutlak pada obyek iman maka pada saat itu juga berkatalah Yesus: “Pulanglah dan jadilah kepadamu seperti yang engkau percaya“ maka pada waktu yang bersamaan Tuhan Yesus berbicara, hambanya yang berada jauh di rumah menjadi sembuh. Hidup beriman pada Kristus itu melampaui semua tatanan di seluruh alam semesta. Yang menjadi pertanyaan: kepada siapa anda akan pertaruhkan hidup anda? Betulkah kita percaya pada Kristus? Betulkah kita telah menjadikan Kristus sebagai Tuan atas hidup kita? Sudahkah kita bersandar mutlak pada pimpinan Kristus? Serahkanlah hidupmu hanya ke dalam tangan pimpinan Tuhan maka kita akan merasakan keindahan dipimpin Tuhan. Gambaran perwira Romawi ini menjadi teladan sempurna dari seorang yang memiliki kesadaran akan kerendahan hati, kesadaran akan arti sebuah perintah yang menuntut ketaatan mutlak dan kesadaran hidup dalam anugerah. Kiranya, teladan sempurna dari perwira Romawi ini terefleksi dalam hidup kita dan menjadi berkat bagi orang lain. Amin.

(Ringkasan khotbah ini belum diperiksa oleh pengkhotbah)
Sumber :

Roma 4:18-22 : IMAN YANG BERKEMENANGAN-1

Seri Eksposisi Surat Roma :
Fokus Iman-6


Iman yang Berkemenangan-1

oleh : Denny Teguh Sutandio


Nats : Roma 4:18-22.

Setelah Paulus menjelaskan lebih dalam lagi bahwa anak-anak Tuhan dibenarkan bukan hanya dibenarkan melalui iman tetapi iman yang dianugerahkan dari Allah, maka ia melanjutkan penjelasannya tentang pengharapan iman ketika masalah datang dengan mengambil contoh Abraham.

Pada ayat 18a, Paulus mengatakan, “Sebab sekalipun tidak ada dasar untuk berharap, namun Abraham berharap juga dan percaya,” King James Version menerjemahkan, “Who against hope believed in hope,” International Standard Version (ISV) menerjemahkan, “Hoping in spite of hopeless circumstances,” Dari ayat ini, Paulus ingin menjelaskan bahwa Abraham tidak memiliki sesuatu yang dapat dibanggakan sehingga ia dapat dibenarkan di hadapan Allah atau dengan kata lain ia tak memiliki dasar untuk berharap apapun, tetapi karena imannya (yang dianugerahkan oleh Allah), Abraham memiliki pengharapan (bisa diterjemahkan iman/faith) yang melampaui segala situasi yang dihadapinya. Hal ini sesuai dengan terjemahan ISV yang mengatakan bahwa Abraham berharap kepada janji Allah meskipun di dalam kondisi/keadaan yang tidak berpengharapan. Dengan kata lain, iman sejati pada Allah berani menerobos segala ketidakmungkinan manusia, karena Allah kita adalah Allah yang Mahakuasa, tidak terbatas dan Berdaulat yang sanggup melampaui apa yang dipikirkan oleh manusia yang terbatas. Kalau kita melihat sebentar riwayat Paulus, hal serupa dapat kita jumpai. Ketika Paulus melayani Tuhan di tempat yang sulit sekalipun, imannya yang diteguhkan Tuhan sanggup menerobos segala kesulitan manusia. Apa yang dipercaya oleh Abraham ? Ayat 18b menjelaskan, “ia akan menjadi bapa banyak bangsa, menurut yang telah difirmankan: "Demikianlah banyaknya nanti keturunanmu."” Iman sejati yang dimiliki Abraham mengakibatkan dia disebut bapa orang beriman. Tetapi seringkali iman yang banyak orang “Kristen” miliki masih jauh dari apa yang Abraham teladankan bagi kita. Artinya, banyak orang “Kristen” beriman kepada “Tuhan” karena ingin mendapatkan sesuatu, padahal Abraham ketika beriman di dalam Tuhan tidak ingin mendapatkan apapun, bahkan rela mengorbankan apapun (termasuk anaknya sendiri, Ishak) bagi Tuhan. Berarti, iman sejati bukan meminta apapun kepada Tuhan tetapi menyerahkan apapun untuk kemuliaan Tuhan. Kalau iman berarti berani berkorban bagi Tuhan, apakah kita akan rugi ? TIDAK. Tidak berarti pernyataan ini mengajarkan bahwa uang kita seluruhnya diberikan bagi pekerjaan Tuhan, sehingga kita tidak boleh makan, hidup, tinggal, dll. Itu pernyataan yang ekstrim. Yang saya maksudkan adalah kita berani menyerahkan apapun yang menjadi kesenangan kita bagi pekerjaan Tuhan. Kalau kita memiliki uang banyak, kita rela memberikan persepuluhan dan persembahan bagi pekerjaan Tuhan. Ketika kita berani memberi, percayalah, kita tidak akan rugi, tetapi untung. Untung ini jangan dilihat dari sudut materi, tetapi untung/kaya secara rohani, yaitu di dalam kebajikan dan pengenalan akan Allah.

Kalau di ayat 18, Paulus menyebut Abraham tetap berharap meskipun di dalam kondisi yang tidak berpengharapan, maka di ayat 19, Paulus menjelaskan kondisi yang tidak berpengharapan (secara manusiawi) yang dihadapi oleh Abraham, “Imannya tidak menjadi lemah, walaupun ia mengetahui, bahwa tubuhnya sudah sangat lemah, karena usianya telah kira-kira seratus tahun, dan bahwa rahim Sara telah tertutup.” Ayat ini merujuk kepada kisah Abraham di dalam Kejadian 17:17. Mari kita menyimak kisah ini secara lengkap. Pada Kejadian 17:16, Allah berjanji akan memberikan seorang anak laki-laki kepada Abraham dan di ayat 17-18, Abraham meresponinya dengan tertawa, berkata dalam hati sambil meragukan Allah, lalu berkata bahwa biarlah Ismael (yang telah lebih dulu lahir ; bandingkan Kejadian 16) diperkenan di hadapan Allah. Tetapi di ayat 19 dan 21, Allah meresponi pertanyaan Abraham dengan mengikat perjanjian-Nya kepada Ishak dan keturunannya. Seringkali di dalam kehidupan keKristenan, ketika Allah berkata sesuatu, kita seringkali meresponinya dengan tidak percaya, baru setelah Ia menegaskan janji-Nya, kita baru mempercayai janji Allah. Hal seperti inilah yang dihadapi Abraham. Ketika Allah baru menegaskan janji-Nya melalui Ishak, maka Abraham baru percaya. Setelah itu, Abraham taat (baca pasal-pasal selanjutnya). Dengan kata lain, Abraham dapat beriman (dan orang-orang pilihan Allah dapat beriman) setelah Allah menyatakan diri-Nya. Inilah kaitan antara wahyu Allah dan iman. Wahyu Allah kepada manusia (secara khusus, wahyu khusus di dalam Kristus dan Alkitab) digenapkan oleh Roh Kudus di dalam hati umat pilihan sehingga mereka dapat beriman. Iman tanpa adanya wahyu Allah sejati adalah iman yang palsu. Iman inilah yang nantinya mengakibatkan umat pilihan berani menghadapi marabahaya, karena mereka percaya di dalam Allah yang menyelamatkan mereka meskipun mereka harus menanggung banyak kesulitan, aniaya dan penderitaan. Hal ini diungkapkan oleh Paulus di dalam ayat 20, “Tetapi terhadap janji Allah ia tidak bimbang karena ketidakpercayaan, malah ia diperkuat dalam imannya dan ia memuliakan Allah,” Justru di dalam kelemahan, penderitaan, masalah, dll, ada kuasa Allah di situ yang menguatkan kita dan tentunya iman kita menjadi kuat. Paulus juga mengalami pengalaman yang sama ketika menderita suatu penyakit dan ia telah berdoa 3x kepada Tuhan, maka Tuhan menjawab, “Cukuplah kasih karunia-Ku bagimu, sebab justru dalam kelemahanlah kuasa-Ku menjadi sempurna.” (2 Korintus 12:9) Dan lebih dalam lagi, Paulus sendiri meresponi jawaban Tuhan dengan mengajar, “Sebab itu terlebih suka aku bermegah atas kelemahanku, supaya kuasa Kristus turun menaungi aku.” Sama seperti Abraham, Paulus juga mengalami hal yang sama, ketika ada masalah menimpa, Paulus tidak bimbang akan penyertaan dan kasih setia Allah, tetapi justru imannya diperkuat dan semakin memuliakan Allah. Bagaimana dengan kita ? Ketika kita mengalami masalah yang berat sekalipun, seringkali kita melupakan Allah dan mempertanyakan Allah yang baik yang mengizinkan kejahatan. Ketika kita berada di dalam masalah yang berat sekalipun, kita tidak seharusnya melupakan-Nya, tetapi justru semakin mendekat kepada-Nya dan beriman serta memuliakan Allah, karena kita percaya di dalam Allah yang sanggup mengubah masalah dan penderitaan menjadi sukacita yang mendidik dan mengajar kita tentang arti mengikut-Nya. Hal ini memang tidak masuk akal di dalam pikiran manusia, tetapi masuk akal di dalam pikiran Allah, karena pikiran-Nya tidak sama dengan pikiran kita yang terbatas. Dan lagi, Ia menginginkan anak-anak-Nya memiliki pikiran-Nya di dalam Alkitab, sehingga di dalam menghadapi segala masalah, kita dapat berharap dan beriman hanya di dalam Dia yang memberi kekuatan kepada kita, seperti yang juga diajarkan Paulus di dalam Filipi 4:13, “Segala perkara dapat kutanggung di dalam Dia yang memberi kekuatan kepadaku.

Di ayat 20, Paulus menyebut Abraham memuliakan Allah di dalam kondisi yang tidak berpengharapan, lalu pertanyaannya memuliakan Allah dengan alasan apa ? Banyak orang “Kristen” selalu diajar untuk memuliakan Allah, tetapi tanpa alasan dan dasar yang tepat. Oleh karena itu, di ayat 21, Paulus melanjutkan, “dengan penuh keyakinan, bahwa Allah berkuasa untuk melaksanakan apa yang telah Ia janjikan.” KJV menerjemahkan, “And being fully persuaded that, what he had promised, he was able also to perform.” Kata “keyakinan” atau persuaded dalam bahasa asli (Yunani)nya adalah plērophoreō yang berarti completely assure (sepenuhnya dijamin). Jadi, Abraham dapat memuliakan Allah dengan iman dan keyakinan yang penuh bahwa Allah mampu melakukan apa yang telah Ia janjikan. Dengan kata lain, Abraham memuliakan Allah karena ia percaya kepada/di dalam Allah yang Mahakuasa. Geneva Bible Translation Notes menambahkan keterangan pada ayat ini, “A description of true faith.” Di sini, Paulus ingin mengajarkan tentang kaitan antara percaya/iman dengan memuliakan Allah dan keMahakuasaan Allah. Iman yang adalah anugerah Allah membuat orang-orang pilihan-Nya dapat memuliakan Allah dan semakin hari semakin beriman lagi di dalam keMahakuasaan Allah. Tidak berarti iman ini adalah iman yang buta seperti yang banyak didengungkan oleh banyak pemimpin gereja kontemporer bahwa iman dapat mengubah segala sesuatu. Tetapi iman di dalam Allah yang Mahakuasa adalah suatu sikap penyerahan diri secara total kepada rencana dan kehendak-Nya yang berdaulat. Pdt. Dr. Stephen Tong mengajarkan bahwa keMahakuasaan Allah berkaitan erat dengan kedaulatan Allah. Oleh karena itu, beriman di dalam keMahakuasaan-Nya juga berkaitan erat dengan iman di dalam kedaulatan Allah yang sanggup melakukan apapun sesuai dengan rencana, natur dan kehendak-Nya. Puji Tuhan, kita memiliki Allah yang dapat diandalkan. Ketika dunia kita sedang menawarkan janji-janji palsu yang belum tentu dapat ditepati, maka kita memiliki Pribadi Allah yang 100% dapat diandalkan karena Ia adalah setia, adil, dan jujur. Dari mana kita mendapatkan pernyataan ini ? Dari pemenuhan janji-janji Allah bagi umat-Nya, sejak zaman Adam dan Hawa sampai sekarang, janji-janji-Nya pasti selalu ditepati-Nya karena di dalam Allah tidak ada dusta. Di dalam janji-janji-Nya inilah, kita memiliki iman yang berkemenangan (victorius faith). Artinya, iman kita bukan iman yang dikondisikan, tetapi iman yang melampaui kondisi natural manusia karena iman kita didasarkan pada Allah yang tidak terbatas.

Karena iman yang berkemenangan inilah, maka Abraham dibenarkan di hadapan Allah (ayat 22). Kita juga dapat memiliki iman yang berkemenangan seperti Abraham ketika kita tidak lagi berharap kepada manusia apalagi diri sendiri yang terbatas, tetapi hanya di dalam dan kepada Allah yang tidak terbatas, Mahakuasa dan berdaulat yang memberi kekuatan dan menolong kita melewati bayang-bayang maut, seperti kata Daud, “TUHAN adalah gembalaku, takkan kekurangan aku. Ia membaringkan aku di padang yang berumput hijau, Ia membimbing aku ke air yang tenang; Ia menyegarkan jiwaku. Ia menuntun aku di jalan yang benar oleh karena nama-Nya. Sekalipun aku berjalan dalam lembah kekelaman, aku tidak takut bahaya, sebab Engkau besertaku; gada-Mu dan tongkat-Mu, itulah yang menghibur aku.” (Mazmur 23:1-4). Ingatlah, ketika kita beriman di dalam-Nya, terimalah segala resiko dan tanggung jawab yang harus kita terima yaitu menderita bagi-Nya (Matius 16:24), tetapi jangan kecewa, ada tangan Tuhan selalu menguatkan kita di dalam penderitaan yang kita tanggung. Sudahkah kita mengalami iman yang berkemenangan bersama Tuhan ? Amin. Soli Deo Gloria.

Resensi Buku-36 : TEOLOGI SISTEMATIKA-1 : DOKTRIN ALLAH (Prof. DR. LOUIS BERKHOF)

...Dapatkan segera...
Buku
TEOLOGI SISTEMATIKA-1 : DOKTRIN ALLAH

oleh : Prof. DR. LOUIS BERKHOF

Penerbit : Momentum Christian Literature, Lembaga Reformed Injili Indonesia (LRII), 1993

Penerjemah : Ev. Drs. Yudha Thianto.

Prakata : Pdt. DR. STEPHEN TONG





Pengantar dari Denny Teguh Sutandio :
Di dalam buku ini, DR. LOUIS BERKHOF memaparkan secara jelas tentang doktrin Allah di dalam prinsip theologia Reformed yang meliputi keberadaan Allah, kemungkinan pengenalan akan Allah, atribut Allah (dikomunikasikan kepada manusia/communicable attributes dan tidak dikomunikasikan kepada manusia/incommunicable attributes), nama Allah, Allah Tritunggal, ketetapan Allah, Predestinasi (ditetapkan dari semula), doktrin Penciptaan (secara umum dan dunia spiritual) dan Providensia (pemeliharaan Allah). Buku TEOLOGI SISTEMATIKA dari DR. LOUIS BERKHOF yang telah dipakai di banyak seminari-seminari theologia di Amerika Serikat kiranya boleh mendidik dan membina iman Kristen berkaitan dengan doktrin Allah secara bertanggungjawab.





Profil DR. LOUIS BERKHOF :
Prof. DR. LOUIS BERKHOF lahir di Emmen, Drenthe, the Netherlands dan beliau kemudian beremigrasi dengan keluarganya ke Grand Rapids, Michigan pada tahun 1882. Beliau lulus dari Calvin Theological Seminary pada tahun 1900 dan menerima panggilan untuk menjadi seorang pendeta di Allendale, Michigan First Christian Reformed Church. Pada tahun 1902, beliau menempuh pendidikan di Princeton University selama 2 tahun mendapatkan gelar Bachelor of Divinity (B.D.). Kemudian beliau menerima jabatan pendeta di Oakdale Park Church di Grand Rapids.
Pada tahun 1906, beliau ditunjuk menjadi staf pengajar di Calvin Theological Seminary. Beliau adalah seorang guru yang berbakat dan penulis yang rajin, di antara keduapuluhdua bukunya adalah Theologia Sistematika, yang telah diterjemahkan ke dalam beberapa bahasa. Pada tahun 1900, Berkhof menikah dengan Reka Dijkhuis (meninggal tahun 1928) dan memiliki empat orang anak, yaitu : Grace Meyer, William, Jean Stuk, dan John. Kemudian, beliau menikah dengan Dena Heyns-Joldersma (meninggal tahun 1984), yang mempunyai 2 orang anak perempuan, Joanne Heyns De Jong dan Wilma Heyns Brouwer.