19 April 2009

Roma 14:10-12: KONSEP MENGHAKIMI-4: Jangan Menghakimi dan Bertanggungjawablah

Seri Eksposisi Surat Roma:
Aplikasi Doktrin-17


Konsep Menghakimi-4: Jangan Menghakimi dan Bertanggungjawablah

oleh: Denny Teguh Sutandio



Nats: Roma 14:10-12.



Setelah kita hidup untuk Tuhan, lalu apa yang harus kita lakukan? Di ayat 10-12, Paulus membawa kita kepada pengertian lebih jelas lagi, yaitu untuk bertanggungjawab.


Di ayat 10, Paulus mengungkapkan, “Tetapi engkau, mengapakah engkau menghakimi saudaramu? Atau mengapakah engkau menghina saudaramu? Sebab kita semua harus menghadap takhta pengadilan Allah.” Menyambung ayat sebelumnya, maka Paulus mengingatkan jemaat Roma bahwa jika jemaat Roma harus hidup untuk Tuhan karena Kristus yang telah mati dan hidup serta menjadi Tuhan atas mereka, maka hendaklah mereka tidak menghakimi saudara mereka dan bahkan tidak menghina mereka, karena kita semua harus menghadap takhta pengadilan Allah. Dari ayat ini, kita bisa belajar 2 hal penting:
Pertama, bentuk negatif, jangan menghakimi dan menghina saudaramu. Kata “menghakimi” dalam ayat ini bahasa aslinya sama dengan ayat 4 yaitu bisa diterjemahkan menghukum (punish). Terjemahan dari bahasa Yunaninya adalah mengkritik (Hasan Sutanto, 2003, Perjanjian Baru Interlinear, hlm. 870). Lalu, kata “menghina” dalam New International Version (NIV) diterjemahkan look down (=menganggap rendah). English Standard Version (ESV) dan Analytical-Literal Translation (ALT) menerjemahkannya despise (=merendahkan/membenci). Bahasa Indonesia Sehari-hari (BIS) menerjemahkannya, “menganggap dia rendah”. Kedua kata kerja yang dipakai oleh Paulus ini di dalam struktur bahasa Yunani menggunakan bentuk aktif dan present (sekarang). Berarti setelah kita mengerti bahwa kita hidup untuk Tuhan, berarti secara aktif, kita tidak lagi menghakimi bahkan menghina/menganggap rendah saudara kita yang lain. Di sini, kita belajar akan arti menghormati. Menghormati TIDAK berarti kompromi. Menghormati saudara seiman berarti kita saling mengasihi sesama saudara seiman di atas dasar Kebenaran. Sebaliknya, dengan kita menghakimi (mengkritik) dan menghina saudara seiman yang lain, kita sebenarnya tidak mengasihi mereka dan bahkan kita memiliki kesombongan tersendiri. Berhati-hatilah ketika kita mengkritik orang lain. Sebuah kritikan yang baik bukan menjatuhkan, tetapi membangun. Kita boleh mengkritik ajaran yang salah, tetapi ketika kita mengkritik, berikan jawaban yang benar yang membangun. Selain itu, kritikan yang beres juga didasari oleh semangat cinta kasih yang mengajar, bukan oleh ambisi emosional. Jika kita mengkritik ajaran atau orang yang tidak beres sudah dengan cinta kasih yang mengajar dan membangun, tetapi orang yang kita kritik tetap mengeraskan hati dan tidak mau menerima kritikan kita, kita sebaiknya menghentikan kritikan kita. Tidak ada gunanya terus mendesak orang yang kita kritik dengan kritikan kita, karena itu tidak membuat dia bertobat, malahan dia akan marah dan menghina kita. Saya bukan hanya berteori, saya sudah mempraktikkannya. Ketika saya mengkritik teman saya, saya mengkritiknya bukan untuk menjatuhkan, tetapi benar-benar ingin memperbaiki terutama ajaran yang dia percayai, tetapi ketika teman saya tidak mau menerima, ya, saya diamkan dan saya tidak akan mengungkit lagi. Hal kedua tentang kritikan yaitu self-critic (mengkritik diri). Kadang kala kita terlalu mudah mengkritik orang lain yang salah, tetapi jika kita yang salah, kita menutupi seindah mungkin supaya tidak ketahuan. Kita mudah melihat karakter orang lain lalu membandingkannya dengan kita. Atau mungkin juga ketika kita ingin berteman dengan seseorang, kita melihat karakter orang lain, jika karakter orang tersebut baik, kita baru berteman. Sepintas ada benarnya, tetapi banyak yang salah. Mengapa? Ada dua alasan: Pertama, karena orang ini terus mengukur diri lebih baik dan hanya mau berteman dengan orang yang cocok dengannya. Kedua, orang ini terus mengukur orang lain dibandingkan dirinya, tetapi herannya tidak mau mengukur karakternya sendiri. Perhatikan. Biasanya karakter orang yang seperti ini justru lebih parah dari orang lain yang ia ukur/hakimi, karena orang seperti ini malu mengakui kelemahan karakternya, sehingga ia mencari pelampiasan dengan melihat dan membandingkan karakter orang lain. Berhati-hatilah jika Anda atau kita termasuk orang seperti ini. Bertobatlah.
Bukan hanya menghakimi/mengkritik, Paulus juga menyinggung masalah “menghina” atau menganggap rendah orang lain. Biasanya, orang yang sudah “pintar” mengkritik orang lain, tahap berikutnya, ia akan menghina atau menganggap rendah orang yang tidak sesuai dengan dirinya (dalam hal-hal sekunder). Misalnya, dalam cara berpakaian. Si X adalah orang kota yang katanya mengerti mode pakaian lalu melihat pakaian si Y yang baginya “kacau” (Jawa: “amburadul”), lalu menghina Y bahwa Y seperti orang desa saja. Padahal jika ditelusuri, biasanya, orang yang ia kritik sebenarnya memiliki karakter (atau sesuatu) lebih baik dari dirinya (si pengkritik). Jika kita praktikkan di dalam contoh tadi, mungkin saja secara konsep nilai, pakaian si X yang katanya modern sebenarnya lebih hancur daripada pakaian si Y. Mengapa? Karena pakaian si Y yang menurut si X “kacau” sebenarnya memiliki nilai yang lebih daripada si X, masalahnya adalah si X memakai ukuran zaman sekarang untuk menilai pakaian si Y. Dengan kata lain, ketika kita menghina orang lain, kita memakai standar ukuran kita atau lingkungan kita sendiri, tanpa memperdulikan konsep nilai yang disertai Kebenaran. Padahal standar ukuran kita atau lingkungan/zaman kita sendiri itu belum tentu benar, karena zaman dan kita sendiri itu fana (tidak kekal), sehingga bisa berubah. Oleh karena itu, untuk hal-hal sekunder, jangan menghakimi apalagi menghina saudara seiman kita.

Kedua, bentuk positif, menghadap takhta pengadilan Allah. Mengapa kita tidak boleh menghakimi dan menghina saudara seiman kita? Paulus menjelaskan alasannya yaitu kita semua harus menghadap takhta pengadilan Allah. ISV, NIV, dan terjemahan dari bahasa Yunani menerjemahkannya sebagai berdiri di hadapan/depan takhta pengadilan Allah. Ketika seseorang berdiri di depan takhta pengadilan Allah, tidak ada yang bisa disembunyikan, karena Allah adalah Allah yang Mahatahu. Di saat itulah, kita mengerti bahwa ukuran apa pun yang kita pakai untuk menilai/mengkritik dan menghina orang lain akan terbuka dengan jelas di depan takhta pengadilan Allah. Berhati-hatilah, semua motivasi kita yang dulu kita tutupi akan terbuka dengan jelas kelak ketika kita berdiri di depan takhta pengadilan Allah. Tuhan tidak melihat apa pun yang nampak pada diri kita. Tuhan tidak pernah menilai kita “baik” hanya karena kita rajin ke gereja, membaca Alkitab, dll. Tuhan melihat kedalaman hati kita. Ia melihat hati dan motivasi kita yang terdalam (1Sam. 16:7b). Hati dan motivasi manusia tidak bisa dibohongi dan itulah yang diselidiki dan diuji oleh Tuhan. Hari ini, ketika firman Tuhan mengingatkan kita akan keharusan kita menghadap takhta pengadilan-Nya, marilah kita uji motivasi dan hati kita, sudahkah kita memiliki hati yang sungguh-sungguh murni di hadapan-Nya? Sudahkah kita mengasihi Allah lebih dari apa dan siapa pun di dunia ini?


Di ayat 11, Paulus mengutip Perjanjian Lama di Yesaya 45:23 untuk menyatakan ulang bahwa semua orang harus menghadap takhta pengadilan Allah. Kutipan ini agak sedikit berbeda dengan Yesaya 45:23 di kalimat pertama. Sedikit perbedaan ini TIDAK menandakan adanya pertentangan/kontradiksi, tetapi menunjukkan adanya penekanan Paulus. Kutipan Paulus itu berbunyi, “Demi Aku hidup, demikianlah firman Tuhan, semua orang akan bertekuk lutut di hadapan-Ku dan semua orang akan memuliakan Allah.” Yesaya 45:23 berbunyi, “Demi Aku sendiri Aku telah bersumpah, dari mulut-Ku telah keluar kebenaran, suatu firman yang tidak dapat ditarik kembali: dan semua orang akan bertekuk lutut di hadapan-Ku, dan akan bersumpah setia dalam segala bahasa,” Perhatikan sedikit perbedaan kalimat yang saya garis bawahi antara kutipan Paulus dengan teks Yesaya 45:23. Dr. John Gill di dalam tafsirannya John Gill’s Exposition of the Entire mengamati sedikit perbedaan ini dan menyatakan bahwa “Demi Aku hidup” yang dinyatakan Paulus sebenarnya berarti bahwa Allah bersumpah demi hidup-Nya sendiri. Ini berarti ada jaminan dari Allah sendiri tentang keMahakuasaan-Nya yang tidak bisa dibandingkan dengan siapa pun. KeMahakuasaan-Nya ditunjukkan dengan keluarnya kebenaran dari mulut-Nya yang mengakibatkan semua bangsa akan bertekuk lutut di hadapan-Nya. Di sini, Paulus mengingatkan jemaat Roma akan perkataan nabi Yesaya bahwa pengadilan Allah adalah pengadilan yang adil dan bersih, karena Ia adalah Allah yang Mahakuasa dan Benar (Truth). Pengadilan dunia bisa disuap dengan uang, kuasa, dll, tetapi pengadilan Allah tidak bisa disuap, karena Allah adalah Allah yang Berdaulat, Mahaadil, Mahakuasa, Mahakudus, dan Benar adanya. Jika kita sudah mengerti konsep pengadilan Allah ini, biarlah kita didasarkan akan keberdosaan kita, lalu kita kembali bertobat setiap hari kepada Tuhan. Hidup Kristen adalah hidup pertobatan terus-menerus, karena kita percaya itulah proses kita menuju kepada penyempurnaan akhir kelak, di mana kita menjadi serupa dengan gambaran Kakak Sulung kita, yaitu Tuhan Yesus.


Setelah memberikan penjelasan tentang pengadilan Allah, Paulus menutup penjelasannya dari ayat-ayat sebelumnya dengan kesimpulan di ayat 12, “Demikianlah setiap orang di antara kita akan memberi pertanggungan jawab tentang dirinya sendiri kepada Allah.” Pengadilan Allah menyiratkan kepada kita akan pentingnya pertanggungjawaban. Tuhan Yesus sendiri juga mengajar hal serupa di dalam Matius 12:36, “Setiap kata sia-sia yang diucapkan orang harus dipertanggungjawabkannya pada hari penghakiman.” Perkataan Tuhan Yesus ini lebih tajam, yaitu langsung mengaitkan konsep pertanggungjawaban dengan hari penghakiman. Kita bertanggungjawab kepada Tuhan kelak di hari penghakiman, di mana Ia, “…telah siap sedia menghakimi orang yang hidup dan yang mati.” (1Ptr. 4:5) Jangan mempermainkan hari penghakiman Tuhan.

Lalu, siapa yang harus bertanggungjawab dan apa yang perlu kita pertanggungjawabkan? Paulus menjelaskan bahwa yang harus bertanggungjawab di hadapan Allah nantinya adalah setiap orang di antara kita (NIV menerjemahkannya: setiap kita). Berarti, tidak ada pengecualian, semua orang tanpa pandang bulu harus bertanggungjawab di hadapan Allah. Meskipun orang berdosa bisa lolos dari pengadilan dunia (karena sogokan uang yang banyak), maka percayalah, di hadapan pengadilan Allah, ia TIDAK akan pernah bisa lolos. Waspadalah! Lalu, yang perlu kita pertanggungjawabkan adalah segala sesuatu tentang DIRI KITA SENDIRI kepada Allah. Di sini, kita perlu memperhatikan. Allah tidak menuntut kita menghakimi dosa orang lain di hadapan-Nya. Ia menuntut KITA PRIBADI yang bertanggungjawab atas apa pun yang telah kita pikir dan kerjakan. Alasan inilah yang dipakai Paulus untuk menyadarkan jemaat Roma untuk tidak menghakimi dan menghina orang lain. Orang yang terus menghakimi dosa orang lain pasti lupa melihat kelemahan diri yang sebenarnya sama saja atau bahkan lebih parah dari orang lain. Mulai sekarang, terus introspeksi diri kita masing-masing, karena kelak, kita harus mempertanggungjawabkan DIRI KITA SENDIRI di hadapan-Nya. Setelah kita mengintrospeksi diri kita masing-masing, akuilah dosa itu di hadapan-Nya sekarang dan minta ampun kepada-Nya, serta berkomitmenlah untuk TIDAK akan pernah mengulanginya lagi, karena itu mendukakan hati-Nya. Seorang yang mencintai Allah lebih dari apa dan siapa pun, ia akan tidak tega melihat Allah sedih. Adakah kita memiliki kerinduan itu?


Biarlah melalui perenungan 3 ayat ini menyadarkan kita akan pentingnya pertanggungjawaban atas apa yang telah kita perbuat kelak di hadapan-Nya. Siapkah kita kelak bertanggungjawab atas apa yang telah kita pikir dan lakukan? Biarlah hati dan motivasi kita terus-menerus dimurnikan oleh Roh Kudus melalui firman Tuhan. Amin. Soli Deo Gloria.

Matius 14:1-12: THE POWER OF THE KINGDOM (Pdt. Sutjipto Subeno, M.Div.)

Ringkasan Khotbah: 10 Juni 2007

The Power of the Kingdom
oleh: Pdt. Sutjipto Subeno, M.Div.
Nats: Mat. 14:1-12


Hari ini kita akan merenungkan Matius pasalnya yang ke-14 yang mempunyai inti tema the power of the Kingdom. Sepintas, kalau kita membaca perikopnya yang pertama, yakni tentang Yohanes Pembaptis dibunuh maka sepertinya tidak berkaitan dengan inti tema dan sepertinya antara kisah yang satu dengan kisah yang lain tidak terkait. Hati-hati, judul perikop terkadang memudahkan kita untuk memahami konteks Alkitab namun terkadang menyelewengkan kita dari inti tema. Kisah tentang Yohanes Pembaptis dibunuh menjadi pembuka yang memudahkan kita untuk memahami inti tema dan memudahkan kita memahami tiga perikop selanjutnya.
Injil Matius 14:1-12 ini berbentuk sastra berbingkai, artinya dalam cerita terdapat cerita. Kisah ini dimulai dari Herodes yang mendengar berita tentang pelayanan Tuhan Yesus dan uniknya, Herodes langsung mengkaitkannya dengan Yohanes Pembaptis yang telah ia bunuh. Kenapa Herodes melihat Yesus Kristus sebagai cerminan dari Yohanes Pembaptis? Untuk memahaminya, ada baiknya kita melihat latar belakang dari Herodes. Herodes bukanlah orang Yahudi asli, ia orang Idumea keturunan Edom dan dengan cara licik, ia berhasil menjadi raja Yudea. Herodes membangun Bait Allah untuk menarik simpati orang-orang Yahudi dan menjadikannya sebagai raja. Herodes bukanlah seorang pecinta Taurat, ia memanipulasi Taurat bahkan demi karir politiknya maka tidaklah heran kalau konsep pernikahan itu menjadi rusak; Herodes mengambil Herodias, istri Filipus, saudaranya sendiri. Yohanes Pembaptis yang tahu pelanggaran kebenaran ini, menegur Herodes dan Herodias; mereka pun menjadi marah. Terdapat gejolak dalam diri Herodes, di satu sisi, ia ingin membunuh Yohanes Pembaptis tapi di sisi lain, ia takut sebab Yohanes Pembaptis mempunyai banyak pengikut dan tentu saja, Herodes akan kehilangan pendukung maka Yohanes Pembaptis pun dipenjara. Herodias yang menyimpan dendam memakai Salome sebagai alat supaya ia meminta meminta hadiah kepala Yohanes Pembaptis di atas talam sebagai hadiah yang dijanjikan Herodes. Peristiwa ini begitu mencekam pikiran Herodes maka ketika ia mendengar berita tentang Tuhan Yesus, pikiran Herodes langsung tertuju pada Yohanes Pembaptis.
Jadi, jelaslah Matius 14:1-12 bukan sekedar berita tentang kematian Yohanes Pembaptis tetapi Firman Tuhan membukakan tentang reaksi Herodes ketika ia mendengar berita tentang Tuhan Yesus. Disini kita melihat pertempuran dari dua kekuatan besar, yakni kekuatan duniawi dan kekuatan kuasa Kristus. Ada beberapa aspek yang perlu kita perhatikan, yakni:
1. Kuasa kebajikan diatas kuasa kefasikan
Adalah sifat manusia berdosa yang marah ketika ditegur dosanya. Herodes marah karena teguran keras dari Yohanes Pembaptis akan dosa-dosanya sebab ia merasa dirinya adalah raja yang berkuasa dan siapakah Yohanes Pembaptis sehingga berani menegurnya. Herodes pikir dengan kematian Yohanes Pembaptis maka ia akan aman. Ternyata, Herodes salah, kematian Yohanes Pembaptis tidak menghentikan berita kebenaran. Berita yang sama: “Bertobatlah, Kerajaan Allah sudah dekat“ kembali terdengar Herodes dari mulut Tuhan Yesus. Tuhan Yesus dengan keras menegur manusia akan dosa, kebenaran dan penghakiman. Berita kebenaran ini menggetarkan hati Herodes seorang yang memiliki segala kekuatan kuasa dunia. Manusia lupa bahwa kuasa yang ia miliki malah membuat manusia makin terjerat ke dalam dosa dan berakibat pada kematian kekal. Manusia pikir kalau ia mempunyai kuasa besar maka ia akan mempunyai pengaruh di dunia. Tidak! Ada kuasa lain yang lebih besar, yaitu kuasa kebenaran sejati.
Sebesar-besarnya orang memiliki kuasa, sekaya-kayanya orang, ia akan tetap gemetar ketika ia mendengar berita kebenaran yang dibawa oleh Yesus Kristus dan Yohanes Pembaptis. Kristus tidak mempunyai kekuasaan ataupun kekuatan seperti raja Herodes, Ia tidak mempunyai istana, Ia tidak pernah duduk di singgasana, dan Ia tidak memakai jubah indah atau mahkota layaknya seorang raja. Tidak! Sekali-kalinya jubah ungu yang pernah Ia kenakan ketika Ia oleh Herodes sebagai penghinaan dan mahkota yang Ia kenakan bukanlah mahkota yang indah tetapi mahkota duri. Namun ada satu kekuatan yang Kristus memiliki yang dapat menggetarkan raja Herodes yang besar, yakni Kristus mempunyai kekuasan kebenaran. Kristus adalah Raja sejati, Dia adalah Raja di atas segala raja. What is the true power? Sekuat-kuatnya manusia, sekaya-kayanya manusia dan kuasa sebesar apapun yang dimiliki manusia, tidak dapat membuatnya lepas dari jerat dosa.
Hari ini, dunia dengan segala cara berusaha membuang berita kebenaran. Sadarkah kita bahwa semakin kita melawan kebenaran justru itu menjadikan makin berdosa. Hidup di kota metropolis dimana globalisasi menjadikan manusia egois dan humanis itu menjadi salah satu penyebab menjadikan manusia tidak peka akan dosa, manusia semakin terjerat ke dalam dosa. Berbeda halnya hidup di kota kecil dimana kritik sosial dan tekanan dari masyarakat turut andil menjaga manusia tidak berbuat dosa, manusia lebih takut untuk melakukan perbuatan yang melanggar asusila maupun hukum.
Ironisnya, hari ini gereja yang seharusnya menegur dosa dan memberitakan kebenaran, justru menjadi takut. Tuhan memanggil kita untuk dua hal, yakni: 1) menyadarkan kita betapa dahsyat kekuatan kuasa kebenaran dibanding dengan kuasa dunia. Setiap orang berdosa pasti akan gemetar ketika ia mendengar berita kebenaran dan ditegur dosanya. Berita seperti inilah yang dibutuhkan oleh dunia berdosa. Satu-satunya kekuatan besar yang dapat kita miliki adalah ketika orang kembali dan hidup dalam kebenaran. Jelaslah, perikop ini bukan sekedar berita tentang kematian Yohanes Pembaptis tetapi perikop ini membukakan pada kita bagaimana Herodes yang gemetar ketika ia mendengar berita kebenaran yang dibawa oleh Kristus. Sehebat apapun manusia, dia akan gemetar ketika kebenaran itu sampai ke hadapannya. The true power is the power of truth; 2) Adalah tugas setiap anak Tuhan untuk memberitakan kebenaran dan menyadarkan orang akan dosa dan penghakiman. Orang Kristen adalah wakil Kristus di tengah dunia berdosa. Ingat, Tuhan akan marah kalau kita tidak memberitakan berita kebenaran. Berita Injil telah diselewengkan sedemikian rupa, yakni hidup berkelimpahan, sehat, dan kaya. Tidak! Berita Injil sejati adalah menegur orang akan dosa dan membawa manusia kembali pada kebenaran. Adalah anugerah kalau orang sadar akan dosa dan orang mau bertobat dan mau kembali pada kebenaran. Daud ketika ditegur dosanya, ia langsung gemetar, menangis dan bertobat – Tuhan pun mengampuni dosanya. Berbeda dengan Saul, ketika ditegur dosanya, ia tidak mau kembali pada Firman sebaliknya buruk muka cermin dibelah. Inilah dunia berdosa, orang justru menjadi marah dan melawan ketika ditegur akan dosa. Reaksi ini wajar malahan kalau orang masih bereaksi ketika ditegur dosanya, berarti ia masih ada pengharapan bagi dia untuk bertobat. Sebaliknya, orang yang bersikap dingin ketika mendengar berita kebenaran maka itulah titik kematiannya. Hanya dengan membawa seseorang bertobat maka disana ada keselamatan sejati.
2. Kuasa Sorga diatas kuasa dunia
Yohanes Pembaptis adalah orang yang sangat berkarisma dan berkuasa, ia sangat dihormat oleh orang Yahudi bahkan orang Farisi, ribuan orang bertobat dan meminta diri dibaptis. Namun, Yohanes Pembaptis tidak satu kali pun membuat mujizat namun toh berita kebenaran yang diteriakkan oleh Yohanes Pembaptis mampu menggetarkan Herodes. Dan kini, Herodes berhadapan dengan Kristus yang mempunyai kuasa lebih besar dibanding Yohanes Pembaptis dan kuasa itu membuat raja Herodes yang besar itu takut dan gemetar (ay.2). Seharusnya Herodes sadar akan keberadaan dirinya, who i am? Herodes bukanlah siapa-siapa di hadapan Tuhan. Ironisnya, banyak orang Kristen hari ini tidak menyadari kekuatan kuasa Kristus dalam hidup mereka. Dunia terus mencari kuasa seperti Herodes, yakni kuasa yang materialis, kuasa yang humanis, kuasa yang hanya mengejar unsur kedagingan dan kenikmatan dunia semata. Celakanya, dunia menganggap kuasa dunia itu sebagai kuasa terbesar. Tidak! Hendaklah kita belajar dari kuasa Kristus. Herodes mempunyai kuasa kedagingan, kuasa kemiliteran, kuasa kematerian dan kuasa lain yang sifatnya dosa namun ketika ia berhadapan dengan kuasa kebenaran maka semua kuasa yang ia miliki tidaklah berarti.
Kristus membawa kuasa kebenaran – kuasa Kerajaan sorga dan tidak ada kuasa dunia yang dapat melawan kuasa Kristus. Orang Kristen sejati yang hidup benar di dalam Kristus mempunyai kuasa kebenaran jauh lebih besar dari semua kuasa dunia dan kuasa setan. Jelaslah, mengusir setan bukan karunia tetapi mengusir setan merupakan hak setiap orang Kristen. Inilah kuasa terbesar yang Allah sediakan. Kalau kita ada di dalam Kristus, siapakah lawan kita? Jangan takut dengan segala kuasa dunia dan kuasa setan sebab semua semua kuasa itu tidaklah lebih besar dari kuasa Kerajaan Sorga yang dimiliki oleh orang percaya. Kita lebih dari sekedar seorang pemenang karena kita adalah anak Tuhan. Pertanyaannya benarkah kita anak Tuhan sejati? Seorang anak Tuhan sejati tidak menggunakan segala kuasa yang ada untuk egois diri, segala kuasa yang ada bukan untuk berbuat dosa tetapi kuasa itu untuk menyatakan kebenaran Allah dan menyadarkan orang akan dosa. Betapa indah hidup kita kalau kita berjalan dalam pimpinan-Nya. Kalau Tuhan di pihak kita, tidak ada siapapun yang berani melawan kita? Jangan pikir kalau kita dapat melawan Allah dan menang; melawan Tuhan akan berakibat kematian. Ingat, hanya kepada Tuhan sajalah kita harus menyembah, jangan takut pada segala kuasa dunia sebab tidak ada kuasa lain yang lebih besar dari kuasa Kristus. Manusia, iblis dan malaikat harus tunduk pada Kristus Sang Raja. Ingat, kalau bukan Kristus yang menyerahkan diri maka tidak ada kuasa manapun yang dapat menangkap Dia. Jadi, dalam seluruh perjalanan sejarah terbukti apa yang menjadi kehendak kedaulatan Allah tidak dapat diganggu oleh manusia. Dengan segala cara, iblis berusaha menghambat apa yang menjadi kehendak Allah namun semua itu sia-sia. Kekuasaan tertinggi ada di tangan Kristus. Sebaliknya, ketika kita berjalan dengan mengandalkan diri sendiri maka kita akan jatuh dan hancur dalam kebinasaan. Kuasa Kristus itulah yang menggetarkan Herodes – semua kuasa yang dimiliki Herodes bukanlah apa-apa dibanding kuasa Kristus. Inilah kuasa sejati. Hendaklah kita mengevaluasi diri, selama kita hidup, kita tunduk pada kuasa siapakah? Cara Tuhan bekerja memimpin seseorang dengan kuat kuasa-Nya yang dahsyat itu membuat orang berdosa takut dan gemetar. Sangatlah disayangkan, banyak orang Kristen tidak menyadari kuasa ini akibatnya mereka ikut pada kuasa dunia. Sadarlah, kita memiliki kuasa kebenaran, kuasa Kerajaan Sorga yang lebih besar dibanding dengan semua kuasa dunia.
3. Kuasa ketaatan diatas kuasa egoisitas
Herodes pastilah sangat traumatik akibat perbuatannya pada Yohanes Pembaptis. Traumatik ini membuat pola berpikirnya rusak total akibatnya ia melihat Yesus sebagai Yohanes Pembaptis. Dosa membuat seluruh struktur berpikir manusia menjadi rusak total. Dapatlah dikatakan orang dunia yang katanya pandai tetapi sesungguhnya ia bodoh. Knowledge is the interpretation to reality not reality itself. Yang disebut sebagai pengetahuan adalah cara melihat suatu realita, kalau kita gagal melihat realita yang sesungguhnya berarti kita telah gagal melihat realita yang sesungguhnya. Hal inilah yang terjadi dalam diri Herodes, ia tidak dapat melihat realita Yesus, ia melihat Yesus sebagai Yohanes Pembaptis karena pikirannya telah terpola tentang Yohanes Pembaptis. Mind set yang rusak itu seperti orang yang memakai kacamata hijau maka semua yang ia lihat akan berwarna hijau padahal realitanya tidaklah demikian. Francis Schaeffer menegaskan I do what I think and I think what I believe, apa yang kita lakukan adalah hasil dari apa yang kita pikir dan apa yang kita pikir adalah hasil dari kepercayaan kita. Jelaslah, kalau kepercayaan kita salah maka semua yang kita pikir pasti salah sebaliknya kalau kepercayaan kita benar maka seluruh yang kita pikir pasti benar. Dapatlah disimpulkan, letak permasalahan bukan pada pengetahuan tetapi bagaimana orang melihat dan memahami pengetahuan. Ini menjadi rentetan yang saling berkait dan tidak dapat dilepaskan.
Celakalah hidup kita kalau kita masuk dalam cengkeraman iblis, sulit bagi kita untuk lepas dari cengkeramannya. Perhatikan, semakin kita takut pada perbuatan jahat, takut dengan segala cara setan maka kita masuk dalam situasi traumatik. Realita bukanlah sekedar urusan psikologi. Tidak! Traumatik ini sudah masuk dalam wilayah theologi, yakni iman – apa yang menjadi kepercayaan kita. Satu-satunya cara adalah merombak total seluruh pemikiran kita dan kembali pada kebenaran sejati. Semakin hari dunia tidak menjadi semakin baik, dunia makin menegakkan kebenaran pribadi dan yang disebut sebagai hak asasi. Ketika manusia menegakkan kebenaran relatif, masing-masing pribadi merasa diri benar dan celakanya, setiap orang ingin menegakkan kebenaran yang ia anggap benar maka dapatlah dibayangkan betapa kacau dunia ini. Dunia harus berhenti menegakkan hak asasi dan mulai mengejar kewajiban asasi. Kalau setiap orang ingin menegakkan hak asasinya pasti ia akan melanggar hak asasi orang lain dan tentang hal ini, Firman Tuhan telah menegaskan bahwa hak itu hanya milik Tuhan semata. Tugas kita adalah menjalankan kewajiban; setiap orang yang menjalankan kewajibannya masing-masing maka hak itu pasti terpenuhi dengan sendirinya. Bayangkan, kalau seorang presiden menuntut haknya sebagai presiden dan lembaga pemerintahan yang lain juga menuntut haknya dan tak ketinggalan rakyat pun menuntut haknya maka kacaulah negara itu. Suatu negara akan makmur dan tenteram kalau setiap orang menjalankan kewajibannya masing-masing. Namun sangatlah disayangkan, dunia tidak memahami konsep ini, setiap orang ribut memperjuang-kan hak akibatnya kekacauanlah yang terjadi dan orang menjadi traumatik dan paranoid; orang akan selalu menaruh curiga pada apapun dan siapapun.
Yang menjadi pertanyaan adalah kenapa orang lebih takut pada kuasa dunia dan tidak takut pada kuasa kebenaran yang mempunyai kekuatan lebih besar dari dunia? Janganlah pikiran kita dicengkeram oleh dunia, kita akan dibayangi oleh rasa takut ketika berhadapan dunia. Ingat, kita adalah anak Tuhan dan anak Tuhan sejati mempunyai kuasa jauh lebih besar dari kuasa dunia. Perikop ini telah membukakan pada kita kontrasnya antara kuasa Kristus dan kuasa dunia. Berbahagialah kita yang berjalan dalam pimpinan Tuhan yang memberikan kuasa Kerajaan Sorga itu pada setiap anak-Nya yang taat kepada-Nya. Maukah kita berjalan bersama dengan Dia? Amin.

(Ringkasan khotbah ini belum diperiksa oleh pengkhotbah)
Sumber:

MENGHAYATI PARADOKS DALAM KEHIDUPAN KRISTEN (Pdt. Billy Kristanto, Dipl.Mus., M.C.S., Ph.D.-Cand.)

MENGHAYATI PARADOKS DALAM KEHIDUPAN KRISTEN

oleh: Pdt. Billy Kristanto, Dipl.Mus., M.C.S., Ph.D. (Cand.)



Seperti sudah kita bahas dalam tulisan-tulisan sebelumnya, iman Kristen akrab dengan pengenalan kebenaran yang sifatnya paradoxical. Pengertian kita akan dua natur Kristus misalnya adalah salah satu pengertian yang paradoksikal yang kita terima dari Firman Tuhan sendiri. Paradoks: kekal – dapat mati, tidak terbatas – terbatas, Mahatahu – tidak Mahatahu, dlsb. Kita harus menerima dengan rendah hati bahwa ada tegangan antitesis yang tidak dapat dijelaskan sepenuhnya oleh rasio manusia. Namun ini bukan berarti kepercayaan iman Kristen adalah sesuatu yang irrasional. Justru di sini kita mengakui dengan rendah hati keterbatasan rasio kita yang tidak dapat menampung pengenalan akan Allah sebagaimana Allah mengenal diri-Nya sendiri.

Kebenaran paradoksikal yang lain, seperti yang juga sedang kita bahas adalah paradoks antara God’s decretive/sovereign will dan God’s moral/preceptive will. Kita sudah mengambil contoh bahwa kekerasan hati Firaun misalnya, sekaligus ditetapkan (baca: dikehendaki dari perspektif kehendak kedaulatan Allah) dan tidak dikehendaki (baca: melanggar kehendak umum/moral Allah). Kedua hal ini sulit untuk kita pahami sepenuhnya karena sepertinya ada dua macam kehendak Allah yang saling bertentangan di sini: di satu sisi Allah yang menetapkan dan menghendaki itu terjadi, di sisi yang lain Allah tidak menghendakinya. Setiap theologi yang baik dan jujur harus berusaha untuk menyelami serta menjelaskan misteri paradoksikal ini.

Ada beberapa alternatif tentunya:
Pertama, kita menghilangkan/meniadakan kehendak ketetapan Allah dan hanya membicarakan kehendak moral Allah saja. Diterapkan dalam ketetapan Allah atas penyelamatan manusia misalnya theologi seperti ini akan mencoba untuk menghindari semua pernyataan Alkitab yang mengajarkan tentang Allah yang menetapkan. Seperti kita sudah pernah bahas, kecenderungan seperti agaknya berbau liberal karena tidak bersedia menerima keseluruhan pengajaran yang dinyatakan dalam Alkitab, sebaliknya hanya mau menerima apa yang dapat dijelaskan oleh rasio pribadi saja. Alternativ kedua, pada dasarnya dengan prinsip yang sama, menghilangkan dan tidak mempedulikan bagian Alkitab yang membicarakan kehendak moral/umum Allah dan hanya memperhatikan kehendak kedaulatan Allah. Variasi yang kedua ini agaknya jarang kita jumpai. Variasi yang ketiga dan keempat, sebenarnya memiliki kemiripan dengan variasi pertama dan kedua, namun lebih halus sifatnya, yaitu: berusaha untuk mengharmoniskan tegangan tersebut dengan melakukan subordinasi kehendak Allah. Kemungkinannya adalah: meletakkan kehendak kedaulatan Allah di bawah kehendak moral Allah (variasi ketiga), atau meletakkan kehendak moral Allah di bawah kehendak kedaulatan Allah (variasi keempat).

Aplikasi variasi 3: semua pengertian tentang kehendak kedaulatan Allah dibaca di bawah terang kehendak moral Allah, yaitu misalnya Allah memilih orang untuk diselamatkan (doktrin predestinasi), dapat dijelaskan dengan mengatakan bahwa Allah memilih karena Dia telah mengetahui akhirnya siapa yang mau bertobat siapa yang tidak. Berdasarkan pra-pengetahuan Allah ini, Ia menetapkan pemilihan-Nya atas siapa yang diselamatkan. Jalan ini misalnya diambil oleh theologi Arminianism. Kesulitan theologi seperti ini adalah: kita sedang memisahkan pra-pengetahuan Allah (God's foreknowledge) dengan penetapan Allah (God's foreordain). Lagipula theologi seperti ini berbenturan langsung dengan ayat Alkitab yang menyatakan: “bukan kamu yang memilih Aku, tetapi Akulah yang memilih kamu” (Yoh. 15:16). Pengertian pada variasi 3 ini berbenturan dengan penyataan Yesus Kristus karena jika Allah memilih manusia karena Dia mengetahui bahwa manusia tersebut pada akhirnya percaya kepada-Nya, maka ini berarti bukan Allah yang terlebih dahulu memilih manusia, melainkan manusia yang terlebih dahulu memilih Allah, sedangkan pilihan Allah adalah konsekuensi logis dari pilihan manusia. Melihat ketetapan Allah sebagai konsekuensi logis pilihan manusia adalah sebuah doktrin yang buruk karena tidak menghargai Allah sebagai Allah.

Aplikasi variasi 4: semua pengertian tentang kehendak moral/umum Allah dibaca di bawah terang kehendak kedaulatan Allah. Contohnya seperti yang dikembangkan dalam pengertian anthropopathis seperti yang pernah kita jelaskan di posting yang lalu. Setiap pengertian “Allah menyesal” ditafsir di bawah terang ketidak-berubahan Allah (yang juga diajarkan oleh Alkitab). Atau dengan mengartikan semua kata “semua” dalam panggilan keselamatan Allah sebagai “semua orang pilihan.” Dalam pemahaman subordinasi ini, sama seperti pada variasi 3, selalu ada akibat penekanan pada yang satu dengan mengorbankan yang lain. Pada variasi 4 selalu ada kecenderungan untuk kurang peka terhadap God's preceptive will. Penekanan akan God's sovereign will at the expense of God's preceptive will ini memiliki kecenderungan fatalisme atau Hyper-Calvinisme, kalau pun bukan secara teori (pada dasarnya orang tidak suka menyebut dirinya Hyper, apalagi menyebut diri fatalis), maka secara praktis; kalau bukan consciously, subconsciously. Persoalan dari theologi ‘Reformed’ yang seperti ini adalah karena penekanannya yang tidak seimbang pada kehendak kedaulatan Allah, akan mengakibatkan suatu spiritualitas yang tidak peka terhadap kekurangan dan kelemahan.

Konsekuensi seperti ini sangat logis dan mudah untuk dijelaskan: ketika saya tidak memberikan tempat yang selayaknya untuk merenungkan God’s preceptive will, maka konsep penetapan Allah yang berkembang dalam pikiran saya lambat-laun akan berubah menjadi – pinjam istilah Van Tillian – determinasi impersonal. Doktrin lambat laun dimengerti sebagai rumusan-rumusan dan bukannya suatu ekspresi iman atau testimonia pergumulan dalam relasi pribadi dengan Allah (yang juga pribadi). Ketika kita membicarakan personalitas Allah, tidak mungkin tidak (atau kurang) membicarakan God's preceptive will. Konsep determinasi belaka tidak membuat theologi Reformed unik, karena determinasi juga banyak diterima dalam kepercayaan yang lain, juga dalam filsafat Yunani kuno. Keunikan theologi Reformed justru karena memberikan warna personal yang sangat kuat dalam doktrin penetapan ini. Dan membicarakan personalitas Allah, sekali lagi, tidak bisa tanpa menekankan God’s preceptive will.

Kita masih berada di aplikasi variasi 4. Tidak mengherankan jika ada orang menyebut diri ‘Reformed’ tapi doanya suam-suam (doa toh tidak mengubah Tuhan), malas menginjili (Tuhan sudah menetapkan semuanya dan rencana Tuhan tidak ada yang gagal), kurang ada pergumulan dengan pribadi Allah (tidak ada waktu, sibuk menggumulkan rumusan logis doktrin-doktrin ‘Reformed’), menjadikan doktrin hanya sebatas pengetahuan yang tidak merubah hidup (mengapa mesti merubah hidup jika saya melihat doktrin atau pengetahuan akan Allah sebagai obyek seperti diajarkan ‘nabi’ Descartes), sangat kurang dalam kerendahan hati (saya adalah orang pilihan [mengenai kamu saya agaknya kurang jelas]), dan ...... (kita masih bisa terus memperpanjang kelemahan-kelemahan yang ada yang dapat ditimbulkan dari kecenderungan determinasi impersonal ini). Gambaran-gambaran di atas agaknya sangat karikatural, tapi saya percaya kita tidak kebal terhadap kelemahan-kelemahan tsb. A good Reformed theology always encourages self-criticism; otherwise it is unfaithful to the semper reformanda spirit. Pada intinya, theologi pada variasi 4 ini sangat rentan terhadap kondisi status quo dengan mengatas-namakan (again, consciously or subconsciously) “kehendak kedaulatan Allah.” Status quo di sini bisa berupa ketidakpekaan terhadap kelemahan Gereja/komunitas sendiri, ketidakpekaan terhadap ketidak-sempurnaan pribadi, ketidakpekaan terhadap perlunya pertumbuhan yang terus menerus, merasa diri cukup (dalam pengertian yang negatif [self-satisfied]), tidak perlu merasa diperlengkapi oleh orang lain, tidak merasa perlu belajar dari orang lain, hanya mau mengajar orang lain dsb. Dampak theologi seperti ini sebenarnya cukup menakutkan bagi spiritualitas kita, dan bagi saya pribadi, kelemahan ‘kecil’ doktrinal seperti ini sebenarnya jauh lebih berbahaya daripada doktrin yang sangat kacau dari ajaran bidat. Karena kekacauan pada ajaran bidat langsung kita sadari, kelemahan ‘kecil’ seperti ini sangat gampang menemukan tempat dalam hati dan pikiran kita. Di sini kita melihat jalan subordinasi merupakan pilihan yang tidak bijaksana – sekalipun tampak lebih logis dan lebih mudah dijelaskan – namun sebenarnya tidak memuat keseluruhan kekayaan Alkitab, yang sudah jelas tidak dapat dipaksakan ke dalam logika rasionalisme yang sangat terbatas kemampuannya.

Lalu bagaimana kita menjelaskan sifat paradoks dari God's sovereign and preceptive will ini jika bukan dengan jalan subordinasi? Kembali kepada doktrin Kristus tentang dua natur, di situ kita tidak melihat paradoks ini di-subordinasi. Tidak. Kita melihat kedua hal ini secara paradoks tanpa perlu melakukan subordinasi. Apakah ada tension (tegangan) di sini? Harus kita akui: ya, ada.
- Apakah tension ini kontradiksi?
+ Tidak.

- Lalu apa?
+ Paradoks.

- Ah! Anda hanya main-main istilah saja.
+ Tidak, saya tidak sedang main-main istilah.

- Kalau begitu harus ada penjelasan, karena kita tidak mungkin kita berhenti dalam pemahaman ini bukan?
+ Ya, saya sependapat dengan apa yang Anda katakan. Jika kita kembali kepada doktrin Kristus, di situ kita membaca rumusan Chalcedon bahwa dua natur itu “without confusion, without change, without division, without separation.” Dan lagi: “The distinction of the natures is in no way taken away by their union, but rather the distinctive properties of each nature are preserved. [Both natures] unite into one person and one hypostasis. They are not separated or divided into two persons but [they form] one and the same Son, Only-begotten, God, Word, Lord Jesus Christ, just as the prophets of old [have spoken] concerning him and as the Lord Jesus Christ himself has taught us and as the creed of the fathers has delivered to us.”
Perhatikan bahwa sekalipun keduanya bersatu dalam Pribadi Kristus namun tidak bercampur. Keduanya berbeda, namun bukan keterpisahan, dengan kata lain: bukan kontradiksi.

- Tetapi dalam theologi Lutheran diajarkan communicatio idiomatum, yaitu ada komunikasi di antara kedua properties/natur Kristus itu.
+ Anda benar, namun keunikan theologi Reformed justru adalah mempertahankan ketidakbercampuran kedua natur tersebut, sebagaimana dinyatakan dalam Chalcedon.

- Apakah itu tidak berarti keterpisahan?
+ Sama sekali tidak, itu justru mempertahankan keunikan masing-masing property/natur yang tidak boleh dicampur satu terhadap yang lain sehingga “the distinctive properties of each nature are preserved.” Prinsip ini dapat kita terapkan secara analog dalam pengertian God's sovereign and preceptive will dan bukan tanpa alasan. Kita dapat melihat kehendak Allah sebagai kehendak Allah yang dinyatakan “en Christo.” Atau, jika Anda tidak menyukai pendekatan ini, ada pendekatan yang lain, yaitu: kedekatan antara sifat paradoks God's sovereign and perceptive will dengan paradoks nature ilahi dan nature manusia Kristus yang dimengerti sebagai paradoks perspektif kekekalan dan perspektif kesementaraan.

- Hmm, saya bisa melihat kaitan keduanya, tapi Anda masih belum menjelaskan bagaimana kita harus MENGHAYATI PARADOKS TERSEBUT!
+ Sabar, orang sabar dikasihi Tuhan. Dan, kalau boleh jangan sering-sering pakai huruf capital seperti di atas itu, meskipun mata saya minus, tapi saya bisa membaca cukup jelas tulisan dng huruf kecil, dan Anda pakai tanda seru lagi. Tolong consider jantung saya .....

- Satu lagi, saya agaknya kurang puas dengan pendekatan historical theologi saja. Saya perlu dukungan dari Alkitab, karena saya pemegang prinsip SOLA SCRIPTURA! Maaf .... sola scriptura, maksud saya.
+ Jika kita merenungkan Alkitab, di situ kita melihat bagaimana kedua natur Kristus itu bukan dijelaskan dalam subordinasi, melainkan diperlihatkan dalam waktu yang bergantian. Ketika Dia lapar, kita menyaksikan natur manusia-Nya, sementara natur ilahi-Nya seolah terselubung, tidak nampak pada waktu itu. Sementara pada saat yang lain, ketika Dia mendemonstrasikan kuasa mujizat-Nya, yang mencapai puncak pada peristiwa kebangkitan- Nya, kita menyaksikan dengan jelas natur keilahian-Nya, natur manusia seolah berada di belakang. Alkitab menyatakan kedua perspektif ini secara bergantian dalam satu Pribadi Kristus. Hal yang sama dapat kita pelajari juga berkenaan dengan kehendak kedaulatan Allah dan kehendak moral Allah. Alkitab menyatakannya dengan bergantian. Ada waktu untuk perspektif kehendak kedaulatan Allah, ada waktu untuk kehendak moral Allah.

- Mengana harus demikian? Mengapa tidak sekaligus saja? Dalam waktu yang sama?
+ Karena kita masih berada dalam kesementaraan dalam batasan ruang dan waktu. Jika Anda mempunyai satu coin dengan dua sisi, Anda tidak dapat melihat kedua sisi itu secara sekaligus pada waktu yang sama dan tempat yang sama. Anda harus berpindah posisi untuk melihat sisi yang satunya, dan ketika Anda berpindah posisi, Anda membutuhkan waktu yang lain. Inilah keterbatasan kita sebagai manusia yang harus kita terima. Kecuali ...

- Kecuali apa?
+ Kecuali Anda mau menjadi seperti Allah (Kej. 3:5) yang dapat melihat semua perspektif secara sekaligus, tanpa membutuhkan waktu dan tanpa perlu berpindah tempat.

- Hmm ... bad recommendation! Jadi saya harus menerima keterbatasan itu, yang hanya bisa melihat satu perspektif saja pada suatu waktu tertentu?
+ Jika Anda masih mengakui keterciptaan Anda, demikianlah halnya.

- Lalu bagaimana dengan perspektif yang lain?
+ Allah akan menyediakan saat/waktu yang lain. Itulah keindahan perjalanan kehidupan kita mengikut Tuhan, ada waktu untuk menanam, ada waktu untuk mencabut; ada waktu untuk merombak, ada waktu untuk membangun; ada waktu untuk mengasihi, ada waktu untuk membenci; ada waktu untuk menangis, ada waktu untuk tertawa. Dapatkah Anda menangis sekaligus tertawa?

- Hmmm .... itu gendeng bin edan namanya!
+ Karena itu paradoks tidak dapat ditampung dalam satu waktu sekaligus. Perhatikan bahwa Sang Pengkhotbah menyelesaikan paradoxical tension itu pada waktunya masing-masing. Dan kalau kita mengaitkannya dengan ayat ke-11 di situ dikatakan bahwa “Ia (Allah) membuat segala sesuatu indah pada waktunya (waktu-Nya).” Di dalam bahasa aslinya kita dapat menerjemahkan dengan pada “waktunya” ataupun “waktu-Nya.” Kedua macam terjemahan itu saling melengkapi sebenarnya. Indah pada “waktunya” berarti setiap waktu itu, entah waktu dukacita, entah waktu sukacita, entah waktu merobek atau waktu menjahit, setiap waktu itu indah pada “waktunya” masing-masing, dan ini karena waktu itu adalah “waktu-Nya” (God's appointed time). Setiap waktu kita menyelami perspektif tunggal, sekalipun hanya satu perspektif adalah waktu yang indah jika itu dikaitkan dengan kairos yang dari Allah. Kita tidak perlu serakah dengan keseluruhan perspektif dalam suatu waktu sekaligus, karena itu hanya membuktikan bahwa kita tidak peka dengan kairos yang dikehendaki Allah.
Ada waktu, ada saat saya menyoroti kehidupan saya dari perspektif kedaulatan Allah: di situ saya terhibur karena tahu dengan pasti Allah memelihara hidup saya dengan setia, bahkan di dalam kegagalan pun saya tidak perlu berputus asa dan tidak lagi berpengharapan karena segala sesuatu mendatangkan kebaikan bagi saya. Saya tidak perlu panik jika saya tidak segera menyaksikan pertumbuhan dalam diri orang lain, karena Allah yang mengatur semuanya itu, saya tidak perlu berusaha menolong Allah karena saya tahu rencana Allah tidak mungkin ada yang gagal.
Ada waktu saya menyoroti kehidupan saya dari perspektif kehendak moral Allah: saya harus bergumul untuk mencari wajah Allah, bergumul tidak melepaskan Allah kecuali Dia memberkati saya, menegur diri dan menyesal ketika kegagalan dan kejatuhan rohani menimpa hidup saya, ketakutan jika Allah tidak lagi hadir dalam kehadiran-Nya yang memberkati, bergumul untuk mendapatkan kepenuhan Roh Kudus agar kesaksian hidup kita berkuasa dan bukan digerakkan oleh kedagingan.

- Apakah ini tidak berbenturan dengan kehendak kedaulatan Allah?
+ Sama sekali tidak, justru menyatakan kelincahan bergerak dalam perspektif yang berbeda-beda dan terutama: kelincahan peka akan saat-Nya. Di dalam hal ini kita harus puas diri jika kita menyampaikan message kepada orang lain hanya satu sisi saja, asalkan itu adalah saat-Nya. Justru keliru jika di dalam khotbah misalnya, kita selalu mengatakan: “di satu sisi .... di sisi yang lain ...” Dialektika paradoks dalam khotbah adalah theori homiletik yang buruk, karena pada dasarnya tidak mempercayai kairos Allah. Kita harus puas dengan pemberitaan yang one-sided seperti ini, asalkan, ada saat yang lain untuk menyatakan sisi yang satunya. Ini juga bedanya penyampaian message seperti terjadi dalam khotbah dengan pengajaran dalam kelas. Dalam kelas kita boleh mengajarkan sebisa mungkin kekayaan perspektif, namun dalam renungan tidak, kita harus puas dengan message yang dipercayakan Tuhan pada saat itu.

- Lalu bagaimana jika orang menuduh saya one-sided dan menganggap saya kurang kompleks pikirannya?
+ Tidak ada panggilan bagi kita untuk membuktikan bahwa pikiran kita kompleks. Kecenderungan seperti itu jangan-jangan timbul dari dosa kecongkakan.

- Bagaimana jika orang langsung menanggapi message yang saya sampaikan dengan menyajikan sisi paradoks yang lain? Ini akan mempermalukan saya bukan?
+ Kita juga tidak dipanggil untuk mencari kehormatan bagi diri sendiri, melainkan untuk memiliki hati yang luas yang dapat menerima kelimpahan pekerjaan Tuhan yg juga dinyatakan melalui diri orang lain yang dipakai-Nya, asalkan: orang tersebut juga mengetahui saat-Nya. Kita perlu dengan rendah hati belajar bahwa saya tidak memainkan seluruh orchestra seorang diri, melainkan bersama dengan anggota tubuh Kristus yang lain kita menyaksikan keindahan simfoni kemuliaan Allah dalam dunia ini. God is our great Conductor, we are His musicians.




Sumber:
http://groups.yahoo.com/group/METAMORPHE




Profil Pdt. Billy Kristanto :
Pdt. Billy Kristanto, Dipl.Mus., M.C.S., Ph.D. (Cand.) lahir pada tahun 1970 di Surabaya. Sejak di sekolah minggu mengambil bagian dalam pelayanan musik gerejawi. Setelah lulus SMA melanjutkan study musik di Hochschule der Künste di Berlin majoring in harpsichord (Cembalo) di bawah Prof. Mitzi Meyerson (1990-96).
Setelah menamatkan studi musik di Hochschule der Künste di Berlin pada tahun 1996 Pdt. Billy Kristanto melanjutkan post-graduate studi di Koninklijk Conservatorium (Royal Conservatory). Beliau melayani sebagai Penginjil Musik di Gereja Reformed Injili Indonesia (GRII) Jakarta sejak Februari 1999 and pada tahun yang sama memulai studi theologi di Institut Reformed. Setelah lulus pada tahun 2002 dengan mendapatkan gelar Master of Christian Studies (M.C.S.) beliau menjabat sebagai Dekan School of Church Music di Institut Reformed Jakarta. Ditahbiskan menjadi pendeta sinode GRII di tahun 2005 beliau saat ini menggembalakan jemaat MRII Berlin, MRII Hamburg, PRII Munich, dan Persekutuan Reformed Stockholm. Saat ini beliau sedang menyelesaikan studi doktoral (Ph.D.–Cand.) di bidang musikologi di Universitas Heidelberg, Jerman. Beliau menikah dengan Suzianty Herawati dan dikaruniai dua orang anak, Pristine Gottlob Kristanto dan Fidelle Gottlieb Kristanto.