06 September 2008

YESUS MENURUT PARA AHLI (Pdt. Ir. Victor Mangapul Sagala, D.Th.)

Yesus Menurut Para Ahli

oleh: Pdt. Ir. Victor Mangapul Sagala, D.Th.



Sekalipun Alkitab, khususnya keempat Injil telah menulis dengan jelas siapa Yesus, bahwa Dia adalah Allah yang patut dipuji dan dipuja, namun cukup banyak ahli (scholars) memiliki pandangan yang sangat berbeda dengan apa yang diajarkan oleh Alkitab. Sebagai contoh, izinkan saya mengutip pandangan beberapa theolog tertentu, yang disebut sebagai theolog liberal, khususnya theolog abad lalu yang banyak memiliki pandangan yang sangat negatif terhadap Yesus. Jika kita membaca dan mengamati tulisan-tulisan mereka, maka kita dapat menyimpulkan bahwa mereka telah meninggalkan pengajaran Alkitab dan membangun pandangan sendiri yang seringkali bersifat spekulatif.

Mengapa theolog-theolog tersebut menolak pengajaran Alkitab? Alasan mereka adalah karena penulis-penulis Alkitab tidak menulis Yesus yang sesungguhnya (the real Jesus), tapi mereka telah memoles Yesus sesuai dengan kehendak mereka yang cenderung terlalu meninggikan Yesus. Tuduhan seperti itu khususnya ditujukan kepada Injil Yohanes yang menegaskan bahwa Yesus, yang disebut dengan Firman itu, bukan saja sejak kekekalan telah bersama-sama dengan Allah, tetapi Dia sendiri adalah Allah. (Yoh.1:1) Itulah sebabnya mereka memberi istilah “Yesus sejarah” (the historical Jesus) dan “Kristus yang diimani” (Christ of faith). Mereka menolak Kristus yang diimani oleh para rasul, tapi menerima Yesus sejarah. Namun demikian, bicara soal Yesus sejarah, juga masih menjadi masalah bagi mereka. Yesus sejarah yang mana?

Marilah kita melihat beberapa dari pandangan theolog tersebut. Kita mulai dengan Adolf Harnack yang menegaskan bahwa kita tidak dapat membangun doktrin Kristologi dari Injil. Mengapa? Menurut Harnack, Injil tidak bicara mengenai Yesus, tetapi mengenai Bapa. Harnack menulis, “The Gospel, as Jesus proclaimed it, has to do with the Father only and not with the Son.” Di pihak lain, H. J. Holtzmann berbeda dengan Harnack, karena dia mengakui adanya pengajaran Yesus dalam Injil. Namun demikian, Holtzmann tidak mengakui keAllahan Yesus. Karena baginya Injil tidak mengajarkan Yesus sebagai Allah, tetapi hanya sebagai manusia saja. Holtzmann menulis, “This Gospel describes a purely human Jesus for whom no claims to divinity are made.” Pandangan negatif lainnya diberikan oleh David F. Strauss yang mengatakan, “Jesus was a legendary figure whose historicity was debatable.”

Setelah melihat beberapa pandangan tersebut di atas, kelihatannya, kurang lengkap jika kita tidak menyebut pandangan theolog yang satu ini, yaitu Rudolph Bultmann. Diakui atau tidak, disadari atau tidak, Bultmann telah banyak mempengaruhi theolog-theolog sejagad, termasuk theolog Indonesia. Bultmann juga menolak Yesus yang disaksikan Alkitab. Bagi Bultmann, Yesus yang disaksikan Alkitab adalah Kristus yang diimani para Rasul, bukan Yesus yang sesungguhnya. Karena itu, perlu diragukan. Bultmann menegaskan: “It is impossible to recapture Jesus as He moved in Galilee and Jerusalem and to know precisely what took place in the years AD 30-33.”

Dengan mengatakan demikian, itu tidak berarti bahwa Bultmann secara mutlak menolak pengakuan tentang Yesus. Dia tetap mengakui Yesus, tetapi bukan Yesus dalam Alkitab yang menurutnya telah dipoles oleh para Rasul. Bultmann menegaskan: “The mere thatness is sufficient.” Barangkali pandangan yang paling negatif dari semuanya adalah pandangan G. A. Wells, di mana bagi Wells, Yesus tidak pernah ada. “Did Jesus ever exist?”, demikian dia memberi judul kepada bukunya. Menurut Wells, “Jesus was a mythical figure arising out of Paul's mystical experience, for whom an earthly 'history' had later to be invented.”

Apa gunanya kita mengutip pandangan-pandangan tersebut di atas? Tentu saja bukan untuk diikuti, karena secara jelas pandangan tersebut tidak berdasarkan kepada kesetiaan kepada pandangan kitab Suci, Alkitab. Kiranya pandangan seperti itu juga jangan dibiarkan untuk menggoncangkan iman kita. Alasan kita yang pertama adalah karena kita ingin secara jujur dan terbuka menunjukkan kenyataan adanya pandangan seperti itu. Untuk apa? Supaya kita tidak bertheologi seperti orang yang sedang memakai kaca mata kuda. Maksud saya, ada orang memahami theologi tertentu, karena memang hanya pandangan seperti itulah yang diketahuinya. Hanya itu pilihan yang ada di depannya. Dengan perkataan lain, orang tersebut digiring dan dipaksa hanya melihat ke satu arah dan tidak diberi kesempatan untuk melihat adanya kemungkinan arah lain. Dengan demikian, pandangan seperti itu belum tahan uji. Selanjutnya, penting sekali kita mengamati kenyataan ini: bila pengajaran Alkitab tidak lagi berotoritas, maka semua orang dapat membangun teorinya sendiri. Jika demikian halnya, apa lagi dasar menilai pandangan tersebut? Rasio? Subjektivitas pribadi?

Apakah semua ahli memiliki pandangan demikian? Jika demikian halnya, maka sebaiknya tidak perlu belajar theologi sampai tingkat sedemikian. Belajar theologi, cukuplah seadanya, tidak perlu tinggi-tinggi; karena buat apa belajar theologi kalau akhirnya merusak iman sendiri serta umat Allah lainnya? Bukankah Tuhan Yesus pernah menegaskan agar tidak menjadi batu sandungan bagi orang lain? Memang ada yang beranggapan demikian. Karena itu, mereka akan menolak dan ‘alergi’ terhadap orang-orang yang belajar sampai ke tingkat tertentu, yang menurut mereka sudah terlalu ilmiah dan tidak memiliki iman lagi.

Tapi dalam kenyataannya, tidaklah demikian. Sesungguhnya, saya ingin menegaskan bahwa meski cukup banyak pandangan yang sedemikian radikal yg meragukan serta menolak pengajaran Alkitab, kita bersyukur karena banyak ahli theologi lainnya yang percaya dan menerima kesaksian Alkitab. Kita dapat menyebut sederetan nama besar yang sangat ahli dan sedemikian berpengaruh namun tetap setia kepada pengajaran Alkitab. Sebagai contoh: J. B. Lightfoot, H. P. Liddon, A. E. J. Rawlinson, Vincent Taylor, Oscar Cullmann, C.K. Barrett, Rudolph Schnackenburg, Raymond Brown, Graham Stanton, Peter Stuhlmacher, I. H. Marshall, F. F. Bruce, N. T. Wright, Ralph Martin, R. T. France, G. E. Ladd, D. A. Carson, John Stott, Luke Timothy Johnson, Donald Bloesch, Millard J. Erickson, dan banyak lainnya lagi. Orang-orang tersebut di atas menerima pengajaran Alkitab bahwa Yesus adalah pribadi yang sangat mulia, di mana kemuliaan-Nya sama dengan kemuliaan yang dimiliki oleh Allah Bapa di dalam Perjanjian Lama. Karena itu, mereka dengan segenap hati menyembah pribadi Yesus serta mengajarkan hal yang sama melalui buku atau berbagai artikel yang mereka tulis.

Saya sengaja menyebut cukup banyak nama yang sangat ahli dan telah dikenal di seluruh dunia. Hal itu saya lakukan untuk menyangkali pandangan yang mengatakan bahwa seolah-olah hanya orang-orang bodoh dan kaum fundamentalis lah yang mempercayai Alkitab, apa adanya. Dalam kenyataannya, tidaklah demikian. Sikap meragukan serta menolak atau percaya dan menerima Alkitab ternyata adalah masalah sikap hati dan iman, BUKAN MASALAH BODOH ATAU PINTAR. Artinya, jika hati dan pikirannya sudah ditetapkan untuk menganut satu pemahaman tertentu, apa pun kata Alkitab serta para ahli lainnya, hal itu tidak terlalu berarti baginya. Sebaliknya, jika dengan iman, orang belajar dan membuka diri kepada pernyataan-pernyataan Alkitab, maka orang tersebut –tidak bisa tidak– akan dibawa kepada pengenalan dan penyembahan kepada Yesus.

Saya bersyukur, dalam rangka melengkapi bahan disertasi, pada waktu yang lalu, saya mendapat kesempatan mengadakan penelitian selama 6 (enam bulan) di Tyndale House, Cambridge, Inggis. Dalam masa itu saya menikmati persekutuan yang sangat indah dengan para scholar yang datang dari berbagai penjuru dunia. Sungguh, saya tidak melewatkan kesempatan yang sangat berharga itu. Dalam setiap kesempatan yang ada, saya berusaha keras untuk berdiskusi secara pribadi dengan mereka, termasuk dengan beberapa orang yang namanya telah saya sebutkan di atas. Selain mengalami persekutuan informal setiap harinya, yaitu ketika acara tea/coffee time di pagi dan sore hari, para ahli tersebut juga mengadakan ibadah persekutuan sekali seminggu. Dalam salah satu ibadah yang dipimpin oleh David I. Brewer (salah seorang tim peneliti tetap di Tyndale House), dia memulainya dengan sebuah kalimat yang sangat berkesan bagi saya: “It is good to be a scholar but it is better to be a believer.”

Kiranya kita semua juga secara bersama-sama mencintai kebenaran sebagaimana diajarkan oleh Alkitab; karena itu, kita semakin ahli. Tetapi lebih dari situ, kiranya semua itu membawa kita semakin beriman kepada-Nya dan memiliki ambisi suci untuk terus menerus memuliakan nama-Nya. Hidup di dalam Dia dan hidup hanya bagi Dia.
Soli Deo Gloria.


Sumber: Tabloid Reformata Juli 2005.



Disarikan dari: www.mangapulsagala.com



Profil Pdt. Dr. V. Mangapul Sagala:
Pdt. Ir. Victor Mangapul Sagala, D.Th. adalah pendeta yang melayani di Persekutuan Antar Universitas (PERKANTAS) dan dosen Perjanjian Baru di Sekolah Tinggi Theologi Reformed Injili Indonesia (STTRII) Jakarta dan STT lain. Beliau lahir di Bonandolok, Samosir, 19 Mei 1956. Beliau menyelesaikan studi Master of Divinity (M.Div.), Master of Theology (M.Th.), dan Doctor of Theology (D.Th.) di Trinity Theological College, Singapore. Beliau menjalani studi riset selama 6 (enam bulan) di Cambridge, Inggris. Beliau menikah dengan Dra. Junicke br. Siahaan dan dikaruniai lima orang anak: Billy (1988), Abdiel (1991), si kembar Stefan & Filip (1993), Ekharisti (1995).

Pengalaman Internasional:
- Asian Evangelists Coference. Singapura, 7-12 Juli 1985
- International Conference for Itenerant Evangelists (ICIE), Amsterdam 12-21 Juli 1986
- IFES Conference, Amsterdam 4-11 Juli 03
- SBL: Seminar of Biblical Literature, International Meeting: Cambridge, Inggris: 21-25 Juli 2003.

Karya Tulis yang telah diterbitkan:
1. Pemimpin Pujian yang Kreatif
2. Superioritas dan Keistimewaan Alkitab
3. Petunjuk Praktis Menggali Alkitab
4. Kristus Pasti Datang Kembali
5. Roh Kudus dan Karunia Roh
6. Bagaimana Kristen Berpacaran
7. Pekabaran Injil Secara Pribadi