28 April 2007

Matius 1:1-6 : THE GENEOLOGY-2


Ringkasan Khotbah : 01 Februari 2004

The Geneology (2)
oleh :Pdt. Sutjipto Subeno, M.Div.

Nats: Mat. 1:1-6




Pada umumnya orang tidak suka akan silsilah bahkan cenderung tidak peduli. Hal ini disebabkan karena: 1) orang tidak mengerti kegunaan silsilah sehingga menganggapnya tidak berarti, 2) orang tidak mengenal sebagian besar nama-nama yang tercantum dalam silsilah tersebut. Berbeda kalau kita mengenal setiap nama pastilah silsilah menjadi menarik. Matius menempatkan nama Abraham di posisi signifikan dari keseluruhan silsilah yang dicatatnya karena Matius ingin menegakkan kembali topik “Kerajaan Allah“, The Kingdom of Heaven. Dalam hal ini Matius tidak menggunakan istilah kerajaan Allah tetapi kerajaan surga karena orang Yahudi takut berdosa jika menyebut nama Allah dengan sembarang. Inilah ironisnya manusia yang mempunyai perasaan takut akan Tuhan tapi ketika rasa takut itu mulai hilang orang menjadi tidak peduli apapun.
Akan tetapi dunia modern mulai menampakkan gejala untuk bertindak secara hati-hati dalam melakukan apapun akibatnya orang cenderung untuk tidak berbuat apapun. Padahal berhati-hati dan tidak berbuat merupakan dua hal yang berbeda. Orang yang tidak menggunakan atau tidak melakukan apapun membuktikan satu hal, yaitu manusia ingin lari dari realita. Everything is empty, nothing but nothing, segala sesuatu hampa, manusia hidup di dalam kekosongan itulah yang diajarkan dunia modern sekarang. Dunia selalu memasukkan konsep nihilisme dalam kehidupan nyata seperti yang kita jumpai di dunia arsitektur dengan trend minimalis.
Istilah surga bagi setiap orang mempunyai pengertian berbeda-beda. Bagi orang Indonesia surga berbeda dengan Allah; surga adalah tempat Allah bertahta dan kaum Tionghoa biasa menyebut surga dengan “thien“ (langit). Namun kaum Tionghoa tidak memahami bahwa “thien“ mempunyai pribadi, yakni Tuhan yang berkuasa, Tuhan yang bisa marah ketika melihat umatNya melanggar perintah. Akibatnya mereka mengganti Tuhan yang berkepribadian tersebut dengan orang-orang yang dihormati maka muncullah penyembahan terhadap nenek moyang yang telah meninggal, seperti Kwan Im, Lao Tze, Konfusius, dll. Konsep ini sangat mempengaruhi kehidupan mereka sehari-hari maka wajarlah kalau mereka melihat surga seperti halnya di dunia; kalau di dunia orang punya rumah, uang, kendaraan, dll maka di surgapun demikian juga. Manusia sulit menerima konsep kekekalan dan kesementaraan.
Konsep “kerajaan“ yang dimaksudkan Matius dan yang dituliskannya dalam silsilah bukanlah bersifat sementara melainkan bersifat kekal. Silsilah tidak dapat dilepaskan dari sejarah yang berkait dengan kekekalan maka orang yang tidak mengerti silsilah pasti kehilangan konsep kekekalan. Semakin modern, dunia semakin tidak peduli silsilah bahkan ingin meniadakan silsilah dengan alasan sepele, yaitu tidak mau repot. Dengan kecanggihan teknologi sekarang, alasan tersebut sangatlah tidak masuk akal karena dibandingkan jaman dulu dimana orang harus berjalan berhari-hari hanya untuk mencatatkan diri masuk dalam silsilah menunjukkan mereka sangat menghargai pentingnya silsilah.
Matius ingin supaya para pembacanya tidak melihat silsilah hanya sekedar catatan urutan nama belaka tetapi di balik silsilah ada rencana kekal Allah, the geneology of the Kingdom of God. Hanya orang-orang tertentu yang dianggap Matius mempunyai integritas sempurna sajalah yang masuk dalam silsilah dan penulisan itupun bukan secara sembarangan; ada Roh Kudus yang memimpin. Maka bukanlah suatu kebetulan kalau Matius membagi silsilah Kristus menjadi 3 bagian dimana di setiap bagiannya ada 14 keturunan. Kata “memperanakkan“ dalam bahasa Indonesia tidak sama dengan “melahirkan anak“. Silsilah ditulis agar manusia mempunyai:
1. Kesadaran Sejarah Adanya kekekalan dalam sejarah seharusnya menyadarkan manusia bahwa pergerakan sejarah berada di bawah kendali Allah, yakni demi untuk menggenapkan kerajaanNya di dunia. Sampai hari ini orang Israel masih memperhatikan silsilah yang disebut toledoth. Secara struktur orang Israel sudah kehilangan silsilah sejak mereka dibuang ke Babel dan terserak lagi tahun 70 AD, yaitu ketika jenderal Titus menghancurkan orang Israel. Sejak itulah bangsa Israel mulai terpencar ke seluruh dunia hingga tahun 1948 mulai terbentuk kembali. Meskipun demikian bangsa Israel tidak pernah lupa sejarah, mereka tetap menyusun toledoth/silsilah. Itulah sebabnya ketika nama Abraham tertulis dalam silsilah, mereka langsung mengingat sejarah yang terjadi. Setiap nama menyadarkan kita: 1) Allah sedang menggenap-kan rencanaNya dan 2) manusia mengalami proses sejarah. Hanya manusia yang dapat menghubungkan antara waktu dengan kekekalan.
Dunia modern mulai dipengaruhi oleh filsafat rasionalistik bahwa tidak ada kehidupan lain setelah kematian. Akibatnya, manusia tidak takut akan pertanggung jawaban hidup sehingga manusia bertingkah laku dengan sembarangan. Manusia menurunkan derajatnya sedemikian rupa dan hampir sama seperti binatang. Maka muncullah filosofi humanimal gabungan dari kata human-animal, yakni menyamakan tingkah laku binatang seperti manusia dan sebaliknya. Pemikiran ini sangatlah rendah dan merusak moral manusia, itulah sebabnya orang sulit memahami konsep kekekalan. Hanya manusia, satu-satunya makhluk di dunia yang mempunyai kualitas moral yang terkait dengan proses kekekalan. Kalau kita menyadari akan hal ini maka kita tidak akan melewati hari dengan sia-sia. Alkitab membedakan antara kairos, yakni waktu yang berjalan begitu saja dan kronos, yakni ada makna di dalam waktu yang dilalui. Ingat, kita tidak dapat mengulang sejarah karena itu isilah setiap momen dengan hal-hal bermakna, yaitu demi untuk kemuliaanNya.
2. Kesadaran Ordo Kata “memperanakkan“ disini bukan berarti melahirkan anak. Kata “memperanakkan“ ditulis berulang; Abraham memperanakkan Ishak, Ishak memperanakkan Yakub, dst sehingga setiap nama disebut sebanyak dua kali, berarti ada meaning yang sangat besar. Ingat, setiap kata dalam Alkitab bukan ditulis secara sembarangan tapi setiap kata sarat dengan makna. Dari kata “memperanakkan“ kita dapat melihat posisi seseorang yang berkaitan dengan ordo/urutan struktur vertikal. Kita harus menyadari keberadaan posisi kita, yakni siapa yang berada di atas dan siapa yang berada di bawah dengan demikian kita tidak kehilangan posisi.
Manusia modern tidak suka dengan adanya ordo dan menggantinya dengan networking/jeja-ring yakni posisi yang sejajar. Manusia tidak suka diatur oleh siapapun juga bahkan Tuhan sekalipun; manusia hanya mau mengatur tapi tidak mau diatur. Seorang yang bijak adalah orang yang mau diatur sebelum ia mengatur orang lain. Andaikan, dunia mengerti konsep ordo dengan tepat maka pastilah seluruh tatanan dunia akan terjaga rapi. Namun, dunia tidak suka dengan adanya ordo dan kedaulatan akibatnya dunia makin menuju kehancuran. Hendaklah kita sebagai anak Tuhan sadar akan posisi kita; belajar tunduk pada orang yang berada di atas kita dan tidak semena-mena dengan mereka yang berada di bawah kita, seperti Daud tidak mau membunuh Saul meski ada kesempatan karena ia tahu bagaimanapun juga Saul adalah orang yang harus ia taati. Adanya ordo/urutan inilah yang membuat manusia tidak menyukai silsilah.
3. Kesadaran Pertanggung jawaban Hidup Adalah salah kalau orang menganggap kematian sebagai akhir dari segala-galanya. Tidak! Ada catatan yang harus dipertanggung jawabkan selama hidup kita di dunia; ada catatan sejarah yang membuktikan kalau kita pernah ada di dunia. Kalau kita ada di dunia, berarti tidak akan pernah dapat ditiadakan lalu bagaimana keberadaan kita menjadi sesuatu yang bermakna? Hanya manusia berakal budi yang dapat berpikir tentang “ada/being“ dan hal ini menjadi pergumulan manusia sejak abad pertengahan hingga kini. Para filsuf seperti Heidegger, Nietzsche, dll mengemukakan bahwa “ada“ berarti adanya sesuatu yang “tidak ada“.
“Keberadaan“ selalu menjadi perdebatan manusia di dunia karena manusia tidak dapat menghindar dari keberadaan dirinya. If you are exist and you always be exist, eternally exist. Alkitab menegaskan hidup tanpa makna seperti bunga rumput yang hari ini ada dan besok hilang (Yes. 5:24). Manusia berbeda dengan binatang ataupun rumput kering; keberadaan manusia tidak dapat dihilangkan atau dilupakan begitu saja, dia harus mempertanggung jawabkan setiap yang apa yang dilakukannya selama hidupnya di dunia. Sekali dia ada berarti dia sudah ada dalam sejarah dan silsilah akan mencatatnya sehingga setiap orang dapat melihat hidup kita. Hidup kita lebih mendekat pada kekudusan dan kesalehan ataukah lebih mendekat pada kerusakan moral; hidup kita hanya untuk mengejar keegoisan diri ataukah hidup yang menjadi berkat bagi banyak orang. Ingat, pertanggung jawaban hidup bukan hanya ada di dalam sejarah saja melainkan di dalam kekekalan.
4. Kesadaran ada Rencana Allah sejak Kekekalan Konsep kesadaran sejarah, kesadaran ordo dan kesadaran akan adanya pertanggung jawaban masih dapat diterima khalayak umum sebagai suatu realita termasuk orang ateis. Matius melihat silsilah dari sudut pandang masa lampau tapi orang hanya melihat atau menilai dari sudut luarnya saja seperti kesuksesan, kekayaan , jabatan, dll. Ada kesuksean lain yang tidak dapat dilihat manusia, yaitu bagaimana seseorang mempersiapkan hidupnya di dalam kekekalan. Silsilah bukan sekedar sebuah proses kebetulan dalam sejarah; silsilah tidak dapat dirancang atau direncanakan oleh manusia akan tetapi ada otoritas yang lebih tinggi yang mengharuskan silsilah terjadi. Manusia bisa memilih melawan atau taat kehendak Tuhan, seperti memilih sekolah, pekerjaan bahkan agama meskipun secara prinsip Alkitab hanya seseorang yang Tuhan pilih saja yang dapat melihat keselamatan kekal. Hanya satu hal, manusia tidak dapat memilih, yaitu tentang kelahirannya; orang tidak dapat memilih di keluarga siapa ia akan dilahirkan.
Melalui silsilah, kedaulatan Allah yang dinyatakan. Matius ingin menunjukkan bahwa keberadaan kita sudah ada dalam rencana kekal Allah. Tidak ada satu manusiapun yang berhak memilih tempat kelahirannya, termasuk Abraham, Ishak, Yakub, Yehuda, Peres dan nama-nama lain yang tercantum dalam silsilah Yesus Kristus (Mat. 1:1-17). Keberadaan mereka ditetapkan berdasarkan rencana kekal Allah begitu juga dengan perpanjangan umur Hizkia. Silsilah merupakan manifestasi bahwa Allah itu hidup dan Allah bekerja sehingga harus kita sadari keberadaan manusia di dunia bukan karena kebetulan tapi telah direncanakan. Dalam pergerakan sejarah, manusia hanya ada dua pilihan, sebagai pemeran utama atau hanya figuran. Dalam sejarah kerajaan Allah kita harus mengerti dan memahami silsilah sebagai rencana kekal Allah. Dimanakah posisi kita, sebagai pemain utama atau hanya sekedar figuran yang sekedar lewat dan kemudian dilupakan? Ingat, hidup manusia di dunia sangat terbatas maka celakalah kalau kita gagal menghubungkan antara keberadaan kita dengan rencana kekal Allah. Bertobatlah kerajaan Allah sudah dekat.
5. Kesadaran Iman Silsilah kerajaan Allah tidak disusun berdasarkan silsilah lahir. Hanya anak Tuhan yang beriman sejati saja yang dicantum dalam injil Matius; mereka dianggap mempunyai catatan sejarah yang sempurna. Puji Tuhan, Alkitab mencatat sejarah iman secara mendetail sehingga kita dapat meneladaninya. Orang yang mengerti kehendak Tuhan adalah orang yang mempunyai iman yang sejati. Alkitab mencatat berbahagialah engkau yang pergi memberitakan kabar baik sehingga orang dapat percaya; kita akan mendapatkan sukacita sejati ketika ada satu orang bertobat. Karena itu kita harus pergi untuk melaksanakan amanat Agung yang Kristus perintahkan (Mat. 28:19-20) maka silsilah kerajaan Allah tidak akan musnah. Silsilah yang bermakna bukanlah silsilah yang ada nama kita di dunia tapi silsilah sejati adalah ketika ada nama kita di kerajaan Allah.
Kalau kita berada dalam kesadaran iman, mengerti iman yang sejati dan kita tahu berada dalam jalur rencana kekal Allah maka tugas dan tanggung jawab kitalah untuk melanjutkan silsilah kerajaan Allah di dunia. Kesadaran inilah yang membuat Yohanes Pembaptis bisa berkata, “Bertobatlah kerajaan Allah sudah dekat“ dan Tuhan Yesus memberikan amanat AgungNya sehingga silsilah kerajaan Allah tidak berhenti begitu saja. Masih banyak orang di dunia yang hidup dalam kehancuran dan tidak berpengharapan, itu menjadi tugas kita sebagai orang Kristen membawa mereka kepada pengharapan sejati dalam Tuhan. Betapa sukacita hati kita jika melalui kita orang boleh diselamatkan dan hidup kita menjadi berkat bagi banyak orang. Amin

(Ringkasan khotbah ini belum diperiksa oleh pengkhotbah)

Sumber :
http://www.grii-andhika.org/ringkasan_kotbah/2004/20040201.htm

Roma 1:16-17 : INJIL : KUASA ALLAH YANG MENYELAMATKAN dan MEMIMPIN IMAN

Seri Eksposisi Surat Roma :
Hamba Kristus dan Fokus Injil-5


Injil : Kuasa Allah yang Menyelamatkan dan Memimpin Iman

oleh : Denny Teguh Sutandio


Nats : Roma 1:16-17



Setelah kita merenungkan dua ayat sebelumnya, yaitu di ayat 14-15, tentang dua kerinduan Paulus yaitu mengasihi jiwa dan memberitakan Injil, maka selanjutnya di ayat 16—17, Paulus mengajarkan, “Sebab aku mempunyai keyakinan yang kokoh dalam Injil, karena Injil adalah kekuatan Allah yang menyelamatkan setiap orang yang percaya, pertama-tama orang Yahudi, tetapi juga orang Yunani. Sebab di dalamnya nyata kebenaran Allah, yang bertolak dari iman dan memimpin kepada iman, seperti ada tertulis: "Orang benar akan hidup oleh iman.” Di dalam kedua ayat ini, Paulus menjelaskan alasan mengapa di ayat 15, ia berkeinginan untuk memberitakan Injil kepada jemaat di Roma, yaitu karena Injil adalah kekuatan Allah. Di dalam ayat 16, Paulus dengan berani memproklamasikan bahwa dirinya tidak malu akan Injil (KJV : “For I am not ashamed of the gospel of Christ”). Terjemahan King James Version ini lebih sesuai dengan naskah aslinya di mana kata ashamed dalam naskah Yunaninya, epaischunomai yang berarti to feel shamed for something. Sungguh menarik sekali akan apa yang Paulus nyatakan, mengingat dulunya Paulus adalah seorang yang membenci Kristus dan para pengikut-Nya. Tetapi setelah dirinya diperbaharui oleh-Nya, ia tidak lagi malu akan Injil bahkan rela mati demi Injil. Inilah jiwa seorang hamba Kristus. Di dalam zaman postmodern ini, banyak sekali orang “Kristen” yang menamakan diri pengikut “Kristus” tetapi herannya tidak suka membicarakan dan memberitakan tentang Injil, salah satunya adalah karena malu. KeKristenan menurut mereka hanya salah satu agama di antara banyak agama, sehingga tidak keunikan dan finalitasnya. Tidak heran, mengapa di abad postmodern yang “memutlakkan” kerelatifan, jiwa membawa dan memberitakan Injil menjadi berkurang di kalangan banyak orang “Kristen” apalagi mereka yang mengklaim diri dengan bangganya sedang “melayani tuhan” ?! Benarkah seorang yang aktif di dalam gereja dan terlibat di dalam “pelayanan” tidak lagi mau memberitakan Injil ? Tentu tidak benar. Mereka boleh saja mengklaim diri sedang “melayani tuhan”, tetapi sebenarnya yang mereka layani adalah diri mereka sendiri, sama sekali bukan Tuhan, mengapa ? Karena seorang yang melayani Tuhan menempatkan diri di bawah Tuhan, menjadi hamba/budak-Nya yang siap diperintah oleh Sang Tuan, yaitu Tuhan Yesus sendiri. Kita harus dan perlu belajar semangat menjadi hamba dari teladan Paulus yang menghambakan diri secara total kepada Kristus dan men-Tuhan-kan Kristus, sehingga ia tidak malu sedikitpun akan Injil. Paulus tahu di mana titik keunikan dan finalitas Injil, sehingga ia tidak malu akan finalitas Injil yang ia beritakan. Berbeda total dengan banyak orang “Kristen” yang hari-hari tidak berbeda dengan orang-orang dunia yang merelatifkan segala sesuatu termasuk merelatifkan Kebenaran di dalam Kristus dan Alkitab.

Titik finalitas Injil yang dipercaya oleh Paulus, dipaparkannya di dalam pernyataan, “karena Injil adalah kekuatan Allah yang menyelamatkan setiap orang yang percaya, pertama-tama orang Yahudi, tetapi juga orang Yunani.” Injil bukan membuat orang sakit menjadi sembuh, atau membuat orang miskin menjadi kaya, atau bahkan membantu orang-orang miskin, itu sama sekali bukan Injil, tetapi “injil” murahan/palsu yang Paulus kutuk habis di dalam Galatia 1:6-10. Injil Kristus sejati yang Paulus tekankan tetap berintikan kepada Kristus, karya pengorbanan-Nya di kayu salib dan pengampunan serta penebusan dosa. Injil tidak boleh dipisahkan dengan penebusan dan karya Kristus. Di dalam pernyataan ini, Paulus mengartkan Injil adalah kekuatan Allah yang menyelamatkan. Mari kita merenungkan dua prinsip penting di dalam pernyataan ini. Pertama, Injil adalah kekuatan Allah. Kata “Injil” dalam bahasa Yunani euaggelion yang berarti good message atau kabar sukacita/baik dan kata “kekuatan” diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris, power dan dalam bahasa Yunani, dunamis yang dapat diterjemahkan mighty, miracle, power, ability, dll. Ini berarti Injil yang berarti kabar sukacita itu adalah kekuatan/kuasa Allah sendiri. Mengapa disebut kuasa Allah ? Karena di dalam Injil, Allah menyatakan kedaulatan-Nya yang melampaui logika yaitu mengutus Kristus yang bernatur 100% Allah dan 100% manusia (bandingkan Roma 1:3-4). Logika ini benar-benar tidak masuk akal di mata dunia, karena apa yang Allah anggap baik selalu dianggap tidak baik oleh manusia, itu namanya supralogika (atau melampaui logika manusia). Selain penciptaan, Allah memakai sarana Injil sebagai kuasa-Nya, sehingga tidak ada hal yang perlu ditambahkan untuk melengkapi apa yang telah Allah sediakan. Dengan kata lain, Injil saja sudah cukup tidak perlu ditambahi oleh buku-buku atau kitab-kitab “suci” manapun untuk menyatakan keseluruhan Pribadi Allah. Itulah finalitas Injil yang berkuasa. Tetapi Injil yang berkuasa tidak berhenti sampai di sini, maka dari itu Paulus melanjutkan pernyataan bahwa Injil adalah kekuatan Allah yang menyelamatkan (poin kedua). Maksud Injil diberikan bukan untuk menyombongkan diri, tetapi untuk menyelamatkan. Injil itu diberikan oleh Allah melalui anugerah-Nya untuk membawa manusia pilihan-Nya yang sudah berdosa kembali direkatkan hubungannya dengan Allah yang Mahakudus. Matthew Henry di dalam tafsirannya Matthew Henry’s Concise Commentary menyatakan, “In these verses the apostle opens the design of the whole epistle, in which he brings forward a charge of sinfulness against all flesh; declares the only method of deliverance from condemnation, by faith in the mercy of God, through Jesus Christ; and then builds upon it purity of heart, grateful obedience, and earnest desires to improve in all those Christian graces and tempers, which nothing but a lively faith in Christ can bring forth.” Matthew Henry mengajarkan dan mengingatkan kita bahwa satu-satunya jalan kita dibebaskan dari belenggu kutuk dosa adalah melalui iman di dalam anugerah Allah, melalui Yesus Kristus. Itulah Injil Kristus sejati membawa manusia pilihan-Nya yang sudah jatuh ke dalam dosa untuk direkatkan kembali hubungannya dengan Allah yang Mahakudus. Kristus itu satu-satunya jalan. Sekali lagi, fokus Injil sejati adalah Kristus, sedangkan “injil-injil” palsu berfokus kepada manusia dan tentunya ide di baliknya adalah setan sebagai bapa pendusta. Setiap Injil yang tidak berfokus kepada Kristus, pasti 100% bukan Injil tetapi “injil” palsu dan setiap pengajar “injil” palsu selalu mencari keuntungan dan kemuliaan bagi diri sendiri (Galatia 1:10). Renungkanlah hal ini. Injil sejati membawa manusia mengenal Allah yang sejati di dalam Kristus melalui karya Roh Kudus. Injil sejati memerdekakan manusia dari dosa, sebagaimana Tuhan Yesus berfirman, “Jikalau kamu tetap dalam firman-Ku, kamu benar-benar adalah murid-Ku dan kamu akan mengetahui kebenaran, dan kebenaran itu akan memerdekakan kamu.” (Yohanes 8:31-32) Kembali, oleh Paulus, di dalam 2 Timotius 1:10, ia menyatakan bahwa kuasa Injil, “telah mematahkan kuasa maut dan mendatangkan hidup yang tidak dapat binasa.” Inilah kekekalan sifat Injil Kristus. Injil bukan saja mematahkan kuasa maut tetapi mendatangkan hidup yang kekal, sebagaimana Kristus sendiri berfirman di dalam Yohanes 3:16, “Karena begitu besar kasih Allah akan dunia ini, sehingga Ia telah mengaruniakan Anak-Nya yang tunggal, supaya setiap orang yang percaya kepada-Nya tidak binasa, melainkan beroleh hidup yang kekal.” Injil Kristus menjamin setiap manusia pilihan-Nya yang percaya di dalam-Nya tidak binasa selama-lamanya. Inilah jaminan keselamatan anak-anak Tuhan yang kekal dan tidak dapat hilang. Itulah sebabnya di dalam theologia Reformed, Calvin mengajarkan bahwa keselamatan di dalam Kristus tidak dapat hilang. Karena theologia Reformed sangat mempercayai providensia Allah melalui janji-Nya yang memelihara setiap orang pilihan-Nya yang percaya di dalam-Nya. Mengapa Injil juga bisa mendatangkan hidup yang kekal ? Karena Injil adalah kekuatan Allah. Kalau Injil itu kekuatan Allah, maka otomatis Allah yang Kekal juga menjamin setiap anak-anak-Nya pasti memperoleh hidup kekal bersama-Nya karena mempercayai Injil tersebut.

Kemudian, pada pernyataan selanjutnya di ayat 16, Paulus menjelaskan siapa yang diselamatkan oleh Injil, yaitu mereka yang percaya baik orang Yahudi maupun orang Yunani. Lalu, mungkin di dalam benak kita muncul pertanyaan, mengapa hanya dua macam golongan orang yang muncul di dalam pernyataan ini ? Kembali, kita harus melihat konteks di kota Roma yang terdiri dari mayoritas kedua orang dari bangsa ini. Untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan, maka Bahasa Indonesia Sehari-hari (BIS) mengganti kata “juga orang Yunani” dengan kata, “dan bangsa lain juga.” Perhatikan urutannya. Paulus mengungkapkan bahwa Injil adalah kekuatan Allah yang menyelamatkan pertama-tama : orang Yahudi baru kedua : orang-orang dari bangsa lain. Mengapa harus orang-orang Yahudi dahulu ? Karena keselamatan memang diperuntukkan terlebih dahulu bagi orang-orang Yahudi yang telah menerima Taurat. Taurat adalah penyataan diri Allah yang menjadi teladan dan pemimpin moral, etika, dll bagi umat Israel, tetapi melalui Taurat, mereka bukannya tidak sadar akan keberdosaan dan kelemahan mereka, malahan membanggakan diri sebagai ahli Taurat yang sudah menghafal Taurat, tetapi tidak menjalankannya. Oleh karena itu, di dalam Matius 23, dengan sengit Tuhan Yesus melawan dan menegur kemunafikan banyak ahli Taurat dan orang Farisi yang mengaku menghafal Taurat, tetapi perbuatannya tidak sesuai dengan Taurat. Di dalam rencana Allah, Ia tahu bahwa meskipun Taurat diberikan sebagai penuntun moral dan etika bangsa Israel, tidak ada satu orangpun yang sanggup menjalankannya, oleh karena itu, Bapa mengutus Kristus sebagai satu-satunya wakil untuk menggenapkan seluruh hukum Taurat supaya kebenaran Kristus dapat dilimpahkan kepada kita sehingga kita pun dapat dibenarkan melalui iman di dalam karya Kristus. Paulus sangat mengasihi orang Yahudi karena dulunya ia adalah penganut Yudaisme yang kolot. Inilah hutang Injil yang ia ungkapkan di dalam Roma 1:14. Ia sangat berhutang Injil khususnya kepada orang-orang Yahudi yang belum mendengar tentang Injil, padahal Injil itu yang dinubuatkan dan ditunjukkan oleh Taurat dan kitab-kitab Perjanjian Lama. Kedua, Paulus juga berkata bahwa Injil adalah kekuatan Allah yang menyelamatkan orang-orang Yunani atau bangsa lain juga. Ini berarti wilayah kuasa Allah di dalam Injil tidak terbatas hanya bagi orang-orang Yahudi saja, tetapi juga orang-orang dari bangsa lain yang percaya. Mungkin sekali lagi kita bertanya, “Apakah orang itu harus percaya terlebih dahulu akan Injil, baru Injil itu menyelamatkan dirinya ?” Tentu, pertanyaan ini timbul dari ajaran Arminianisme yang menitikberatkan pada kehendak bebas manusia. Pertanyaan ini tidak patut untuk dipertanyakan, karena jelas, jawabannya tidak. Urutan di dalam ayat ini sangat jelas, Injil adalah kekuatan Allah yang menyelamatkan setiap orang yang percaya. Bukan karena percaya dahulu, baru Injil menyelamatkan, tetapi Injil dahulu yang berkuasa menyelamatkan umat pilihan-Nya setelah Roh Kudus melahirbarukan mereka, baru mereka dapat meresponi berita Injil dengan bertobat dan percaya di dalam-Nya. Lalu, siapakah “orang yang percaya” di dalam ayat ini ? Apakah orang yang percaya adalah orang-orang yang tiba-tiba percaya di dalam-Nya atas kesadaran sendiri ? Tidak. “Orang yang percaya” dalam ayat ini sama dengan pernyataan “orang yang percaya kepada-Nya” di dalam Yohanes 3:16 di mana kata “percaya” sama-sama menggunakan bahasa Yunani pisteuō yang berarti mempercayakan diri ke dalam. Orang yang percaya jika dikaitkan dengan Yohanes 3 secara keseluruhan maka orang yang percaya pasti berarti orang-orang yang diperanakkan dari Allah atau orang-orang yang telah dipilih oleh Allah sebelumnya. Orang percaya tidak bisa dilepaskan dari umat pilihan-Nya, karena tidak mungkin orang dapat beriman di dalam Kristus tanpa Allah sendiri yang pertama kali berinisiatif mengerjakan seluruh proses keselamatan, dengan mengefektifkan karya penebusan Kristus di dalam hati umat pilihan-Nya melalui tindakan aktif Roh Kudus. Sehingga kuasa Injil hanya berlaku efektif bagi umat-umat pilihan-Nya yang pasti beriman di dalam-Nya.

Kedua, apakah kuasa Injil hanya berhenti pada kuasa untuk menyelamatkan saja ? Tidak. Pada ayat 17, Paulus mengungkapkan, “Sebab di dalamnya nyata kebenaran Allah, yang bertolak dari iman dan memimpin kepada iman, seperti ada tertulis: "Orang benar akan hidup oleh iman."”Kuasa Injil tidak berhenti hanya untuk menyelamatkan tetapi memimpin iman. Paulus mengungkapkan bahwa di dalam Injil dan Injil itu sendiri adalah kebenaran Allah. Kata “kebenaran” diterjemahkan ke dalam bahasa Yunani dikaiosunē yang berarti pembenaran/justification. Apakah kebenaran atau pembenaran Allah itu ? Terjemahan Bahasa Indonesia Sehari-hari (BIS) di dalam ayat 17 ini mengartikan, “Sebab dengan Kabar Baik itu Allah menunjukkan bagaimana caranya hubungan manusia dengan Allah menjadi baik kembali; caranya ialah dengan percaya kepada Allah, dari mula sampai akhir. Itu sama seperti yang tertulis dalam Alkitab, "Orang yang percaya kepada Allah sehingga hubungannya dengan Allah menjadi baik kembali, orang itu akan hidup!"”Pembenaran Allah yang dimaksud adalah bagaimana cara Allah merekatkan hubungan manusia dengan-Nya melalui Kristus yang di dalamnya kita harus percayai dan taati secara mutlak dari awal sampai akhir. Itulah yang Injil kerjakan yaitu membenarkan manusia berdosa melalui karya Allah Anak dan juga memimpin iman. Di sini, Paulus mengaitkan konsep kebenaran/pembenaran Allah dengan konsep iman. Iman sejati tidak bisa dilepaskan dari kebenaran/pembenaran Allah. Dengan kata lain, iman harus terus-menerus berpaut kepada dan berada di dalam kebenaran Allah (Kristus) sebagai Obyek sekaligus Subyek Iman. Saya memberikan dua istilah bagi Tuhan yaitu sebagai Subyek dan Obyek Iman. Hal ini sesuai dengan pemaparan Paulus di dalam ayat 17 ini, di mana kebenaran Allah memimpin iman yang mula-mula kepada iman pada akhirnya. Di sini ada perjalanan iman. Pdt. Dr. Stephen Tong memberikan empat macam iman, yaitu pertama, iman natural (benih iman yang telah Allah tanamkan di dalam diri setiap orang tanpa kecuali), kedua, iman di dalam Kristus Yesus (iman eksklusif bagi umat pilihan-Nya), ketiga, karunia iman di dalam pelayanan, dan keempat, iman yang bergantung kepada Tuhan. Nah, di dalam ayat 17 ini, iman yang dimaksudkan tentu iman macam kedua. Allah adalah Pemberi atau Sumber/Subyek Iman yang memberikan iman sejati di dalam Kristus kepada umat pilihan-Nya. Ini berarti iman adalah anugerah Allah, sesuai jawaban dari pertanyaan Katekismus Singkat Westminster pasal 86 tentang “Apakah yang dimaksud dengan iman di dalam Yesus Kristus ?” yang mengatakan, “Iman di dalam Yesus Kristus adalah suatu anugerah yang menyelamatkan, yang dengannya kita menerima dan bersandar hanya kepada-Nya untuk keselamatan, sebagaimana yang Dia tawarkan kepada kita di dalam Injil.” Iman bukan hasil usaha kita sendiri, tetapi anugerah Allah. Starr Meade di dalam bukunya “Membentuk Hati, Mendidik Akal Budi” mengajarkan, “Allah menghendaki kita untuk beriman kepada Tuhan Yesus Kristus agar terhindar dari kutuk yang layak diterima dosa kita. Apa yang telah Yesus lakukan untuk menggantikan kita itulah yang menyelamatkan kita. Iman adalah cara kita untuk menggapai dan menerima bagi diri kita sendiri apa yang telah dilakukan-Nya. Iman di dalam Kristus bukanlah sesuatu yang kita kerjakan sendiri. Seandainya demikian, pasti kita dapat berkata bahwa kita selamat oleh karena sesuatu yang kita lakukan. Iman di dalam Kristus adalah karunia dari Allah... Allah menuntut iman dari kita, kemudian Dia sendirilah yang mengaruniakan iman itu supaya kita dapat terlepas dari kutuk-Nya.” (Meade, 2004, halaman 383) Iman ini mengakibatkan anak-anak-Nya tidak terlebih dahulu berusaha keras untuk menggapai iman dan perkenanan Allah, tetapi menyerahkan keseluruhan hidup mereka kepada Tuhan yang menganugerahkan iman. Dengan kata lain, di dalam tahap iman awal/mula-mula ini, Allah bertindak aktif 100% menganugerahkan iman dan manusia pilihan-Nya bertindak pasif 100% hanya sebagai penerima anugerah iman dari Allah. Mengapa manusia pilihan-Nya harus bertindak pasif 100% ? Karena mereka tidak pernah sanggup dapat melepaskan diri dari dosa apalagi dapat memilih iman yang benar di dalam Kristus. Kerusakan total manusia mengakibatkan manusia tidak dapat memiliki keinginan dan motivasi yang beres dan memuliakan Allah. Hati, pikiran, keinginan, emosi, perkataan, sikap dan seluruh keberadaan mereka rusak total akibat dosa seperti noda teh atau minuman soda yang mengenai baju yang kita pakai. Kalau kita mau membersihkan noda kotor di baju kita, apakah baju itu dapat membersihkan dirinya sendiri ? TIDAK. Hanya sesuatu atau Pribadi di luar baju itu yang dapat melakukannya, itulah manusia yang menggunakan deterjen pemutih untuk menghilangkan noda tersebut. Demikian pula, noda itu adalah dosa dan baju itu adalah diri kita. Apakah mungkin jika baju itu dapat membersihkan noda yang menempel padanya ? Tidak. Demikian juga, manusia yang berdosa tidak mungkin dapat lepas dari masalah dosanya. Satu-satunya jalan keluar adalah membiarkan Allah menganugerahkan iman kepada kita di dalam Kristus yang telah menebus dan menyelamatkan kita dari dosa. Inilah yang saya sebut sebagai tindakan manusia pilihan-Nya yang pasif (tindakan manusia hanya pasif menerima). Lalu, apakah iman hanya berhenti sampai di sini saja ? Tidak. Karena iman bukan saja berhenti pada iman yang merupakan anugerah Allah untuk keselamatan, tetapi iman itu terus bertumbuh. Itu adalah pertumbuhan iman. Iman yang terus berhenti hanya di tataran untuk keselamatan dari dosa saja, itu bukan iman yang bertumbuh. Iman yang bertumbuh adalah iman yang berada di dalam proses terus-menerus bersama dan di dalam jalur Allah melalui firman dan Roh-Nya yang kudus. Di sini, saya mengaitkan konsep progressive faith dengan progressive sanctification and progressive knowledge in Christ. Iman yang terus-menerus pasti berkait dengan pengudusan terus-menerus ditambah pengetahuan terus-menerus di dalam Kristus (progressive knowledge in Christ). Iman yang bertumbuh adalah iman yang terus-menerus menghendaki hidup kudus sebagaimana Allah yang memanggil umat-Nya adalah Allah yang Kudus, dan kemudian, iman itu juga bertumbuh di dalam pengetahuan yang melimpah di dalam Kristus. Aspek afeksi dan rasio harus berjalan secara seimbang di dalam iman yang bertumbuh. Pertumbuhan iman inilah yang diajarkan oleh Paulus di dalam suratnya kepada jemaat di Efesus pasal 4 ayat 13-15, “sampai kita semua telah mencapai kesatuan iman dan pengetahuan yang benar tentang Anak Allah, kedewasaan penuh, dan tingkat pertumbuhan yang sesuai dengan kepenuhan Kristus, sehingga kita bukan lagi anak-anak, yang diombang-ambingkan oleh rupa-rupa angin pengajaran, oleh permainan palsu manusia dalam kelicikan mereka yang menyesatkan, tetapi dengan teguh berpegang kepada kebenaran di dalam kasih kita bertumbuh di dalam segala hal ke arah Dia, Kristus, yang adalah Kepala.” Kata “iman” baik di dalam Roma 1:17 dan Efesus 4:13 memiliki arti yang sama di mana kata ini diterjemahkan ke dalam bahasa Yunani pistis yang berarti kesetiaan/fidelity. Jadi, iman yang bertumbuh sama dengan sebuah kesetiaan yang terus-menerus kepada Allah dan firman-Nya sehingga, kata Paulus, kita tidak mudah diombang-ambingkan oleh angin pengajaran yang menyesatkan kita, tetapi dengan teguh berpegang kepada kebenaran di dalam kasih yang bertumbuh di dalam Kristus sebagai Kepala.Melalui Efesus 4:13-15, kita belajar beberapa aspek dari iman yang bertumbuh, yaitu pengetahuan yang benar tentang Anak Allah, kedewasaan penuh yang bertumbuh dan adanya kasih. Aspek pengetahuan (knowledge) tidak pernah dihilangkan dari konsep pertumbuhan iman, tetapi herannya banyak gereja kontemporer yang pop justru menghilangkannya dan mengatakan bahwa “roh kudus” melawan rasio. Iman yang bertumbuh tanpa melibatkan unsur penundukkan pengetahuan kita di bawah Kristus (pengetahuan yang benar tentang Kristus), maka iman itu pasti berhenti dan seperti iman anak-anak yang selalu ingin minum susu (suka hal-hal yang mudah dimakan/diserap, tetapi tidak mau makanan yang keras sebagai gizi untuk bertumbuh). Tetapi tidak berarti iman yang bertumbuh hanya berhubungan dengan pengetahuan yang bertumbuh, melainkan juga berhubungan dengan afeksi rohani yang terus bertumbuh. Afeksi ini meliputi kekudusan rohani kita, peka terhadap gerakan Roh Kudus yang mencerahkan hati dan pikiran kita, dll yang memimpin kita untuk tumbuh dewasa di dalam iman di dalam Kristus. Afeksi ini dapat dibuktikan tatkala kita menghadapi penderitaan, penganiayaan, pengucilan dari masyarakat, penghinaan, pemfitnahan, dll. Di situlah baru kita dapat merasakan bahwa iman kita dapat bertumbuh, tatkala kita peka akan gerakan Roh-Nya yang memimpin hati dan pikiran kita untuk tetap taat dan setia kepada-Nya. Di dalam afeksi yang bertumbuh, ada penundukkan diri secara mutlak di bawah Kristus, sehingga iman kita dapat terus bertumbuh dan kita terus-menerus menjadi sempurna menuju ke arah Kakak Sulung kita, Tuhan Yesus Kristus. Lalu, apakah di dalam iman “tahap” kedua ini mengandung 100% unsur jasa baik manusia ? TIDAK. Iman selama-lamanya tetap adalah anugerah Allah. Tetapi pada “tahap” kedua dari iman ini, iman dapat bertumbuh melalui pengenalan akan Allah dan firman-Nya. Dengan kata lain, manusia tidak lagi pasif dikontrol oleh Allah seperti robot, tetapi manusia bertindak aktif beriman di dalam-Nya, setia kepada-Nya sesuai pimpinan dan tuntunan dari Roh Allah dan Firman-Nya. Di sini, ada tanggung jawab manusia (pilihan-Nya), meskipun tidak berarti iman pada “tahap” pertama tidak menuntut tanggung jawab manusia. Ini yang saya sebut sebagai Tuhan sebagai Obyek Iman (tempat di mana kita melabuhkan iman kita satu-satunya).
Oleh karena itulah, di akhir ayat ini, Paulus menyimpulkan, “Orang benar akan hidup oleh iman.” Siapakah “orang benar” di dalam kesimpulan ini ? Tentu mereka yang sudah dibenarkan Allah di dalam Kristus (umat pilihan-Nya), sehingga mereka pasti dapat hidup oleh iman. Mengapa mereka bisa hidup oleh iman ? Tentu karena Allah yang memimpin dan menuntun hidup mereka sehingga mereka tetap beriman. Adam Clarke di dalam Adam Clarke’s Commentary on the Bible memaparkan dua arti dari pernyataan “orang benar akan hidup oleh iman” yaitu, pertama, “That the just or righteous man cannot live a holy and useful life without exercising continual faith in our Lord Jesus: which is strictly true; for He only who has brought him into that state of salvation can preserve him in it; and he stands by faith.” Dan kedua, “It is contended by some able critics that the words of the original text should be pointed thus: ‘ο δε δικαιος εκ πιστεως, ζησεται. The just by faith, shall live; that is, he alone that is justified by faith shall be saved: which is also true; as it is impossible to get salvation in any other way.” Dalam pengertian pertama, “orang benar akan hidup oleh iman” berarti orang benar tidak dapat hidup kudus atau memiliki kehidupan yang berarti jika tidak melatih iman yang terus-menerus di dalam Tuhan kita Yesus. Jadi, iman yang tidak bertumbuh tidak mungkin menghasilkan kekudusan hidup dan makna hidup sejati. Seperti yang sudah saya kemukakan di atas, bahwa iman yang bertumbuh adalah iman yang salah satunya berhubungan dengan pengudusan terus-menerus. Dalam pengertian kedua, Adam Clarke memaparkan bahwa sebenarnya terjemahan ini bukan “orang benar akan hidup oleh iman” tetapi “orang benar oleh iman akan hidup” sebagaimana Habakuk 2:4 memaparkan, “tetapi orang yang benar itu akan hidup oleh percayanya.” Jadi, intinya bukan hidup oleh iman, tetapi orang benar oleh iman dapat hidup (dan diselamatkan). Orang benar dapat hidup ketika beriman, sedangkan jika mereka tidak beriman, mereka pasti tidak dapat hidup, karena iman sesungguhnya bukan kepercayaan diri tetapi mempercayakan diri dan setia kepada Allah sebagai satu-satunya Sumber Hidup. Albert Barnes di dalam Albert Barnes’ Note on the Bible memaparkan, “In Habakkuk this means to be made happy, or blessed; shall find comfort, and support, and deliverance. So in the gospel the blessings of salvation are represented as life, eternal life. Sin is represented as death, and man by nature is represented as dead in trespasses and sins, Eph 2:1. The gospel restores to life and salvation, Joh 3:36; Joh 5:29, Joh 5:40; Joh 6:33, Joh 6:51, Joh 6:53; Joh 20:31; Act 2:28; Rom 5:18; Rom 8:6.” Hidup ini berarti hidup yang diberkati dan bersukacita, menemukan kenyamanan. Jadi, ketika orang benar oleh imannya dapat hidup berarti orang itu oleh imannya dapat menemukan kesukacitaan sejati, berkat sejati, kedamaian sejati dan hidup kekal. Inilah efek/akibat iman yang didapatkan oleh umat pilihan-Nya ketika mereka sungguh-sungguh beriman di dalam Kristus. Mereka mungkin sering mengalami aniaya karena nama Kristus, tetapi mereka tetap bersukacita di dalam iman mereka yang tidak bisa digantikan oleh kesuksesan materi atau kesenangan duniawi lainnya.

Hari ini, sudahkah kita menemukan Subyek dan Obyek iman sejati sehingga kita dapat hidup di dalamnya ? Sudahkah iman kita bertumbuh dan dibangun di atas Kristus dan firman-Nya ? Maukah kita kembali kepada Kristus saat ini, mengenal-Nya dan memuliakan-Nya melalui hati, pikiran, perkataan dan perbuatan kita yang telah dikuduskan-Nya ? Amin.

TANGGAPAN SINGKAT TERHADAP BUKU "MISQUOTING JESUS"--penulis : Bart D. Ehrman (oleh : Ev. Yakub Tri Handoko, Th.M.)

TANGGAPAN SINGKAT TERHADAP BUKU “MISQUOTING JESUS” (penulis : BART D. EHRMAN)

oleh : Ev. Yakub Tri Handoko, Th.M.



ISI BUKU SECARA UMUM
Sebenarnya tidak ada yang baru dalam buku ini. Sudah banyak theolog yang menyusun buku sejenis, walaupun sikap mereka cenderung berbeda dengan Ehrman. Tetapi tekad Ehrman untuk membawa isu ini ke level jemaat awam dapat dikategorikan sebagai hal baru.

Secara sederhana, Ehrman ingin menunjukkan Alkitab tidak bisa diandalkan. Alasan yang diangkat ada dua. Pertama, para penulis naskah asli Alkitab (autografa) kemungkinan melakukan beberapa kesalahan. Kedua, para penyalin Alkitab melakukan berbagai kesalahan/pengubahan, baik yang disengaja maupun tidak. Di antara dua alasan tersebut, Ehrman hanya memfokuskan pada alasan yang kedua.

Alur berpikir Ehrman dapat digambarkan sebagai berikut :
1. Yang disebut firman Allah adalah autografa Alkitab.
2. Autografa sudah tidak ada lagi.
3. Yang tersisa adalah salinan-salinan Alkitab yang saling berbeda.
4. Usaha untuk menentukan autografa berdasarkan perbandingan salinan-salinan tidak bisa diandalkan.

Kesimpulan : Alkitab sekarang bukanlah firman Allah yang tidak bisa salah.


ANALISIS KRITIS
Kita perlu mengakui pandangan Ehrman bahwa yang disebut firman Allah yang tidak mungkin salah memang hanya terbatas pada autografa Alkitab. Salinan, terjemahan ataupun tafsiran kadangkala menunjukkan beberapa kesalahan. Dia juga benar bahwa autografa Alkitab sudah tidak ada lagi (salinan Perjanjian Baru tertua yang kita miliki ditulis tahun 125 M). Dia juga benar soal ribuan salinan yang saling berbeda. Sayangnya, Ehrman tidak mampu mengambil kesimpulan yang benar dari hal-hal tersebut.

Tidak adanya autografa Alkitab seharusnya tidak boleh terlalu meresahkan kita. Pertama, semua buku kuno—baik yang dianggap kitab suci maupun buku sekuler—yang pernah ada di dunia ini sudah tidak memiliki autografa lagi. Kita hanya memiliki salinan-salinannya saja. Seandainya Alkitab diragukan hanya gara-gara tidak menyisakan autografa, maka sikap yang sama seharusnya diterapkan pada semua kitab yang lain.

Kedua, dibandingkan dengan buku-buku kuno lain yang juga tidak memiliki autografa, salinan-salinan Alkitab justru lebih bisa dipercaya. Para cendekiawan biasanya menerapkan uji kualitas yang disebut bibliographical test. Berdasarkan kriteria ini, suatu buku kuno dianggap bisa dipercaya kalau memiliki salinan-salinan :
1. Yang jarak waktu antara penyalinan dengan penulisan aslinya semakin dekat. Semakin dekat dengan waktu penulisan maka salinan tersebut mengalami proses penyalinan yang jumlahnya semakin sedikit, sehingga jumlah kesalahan yang ditimbulkan dari penyalinan tersebut juga relatif lebih sedikit.
2. Yang jumlahnya banyak. Dengan memiliki jumlah salinan yang banyak maka kita memiliki banyak bahan/pertimbangan untuk menentukan mana yang lebih sesuai dengan autografa.

Hasil penerapan bibliographical test terhadap Perjanjian Baru dan buku-buku kuno lainnya menunjukkan bahwa salinan Perjanjian Baru memiliki jarak waktu yang terpendek dengan waktu penulisannya. Salinan Perjanjian Baru juga memiliki jumlah yang paling banyak. Lihat penjelasan di bawah ini :
· Buku Iliad ditulis oleh Homer pada tahun 800 SM (salinan tertua : c. 400 SM ; interval waktu : c. 400 tahun ; jumlah salinan : 643).
· Buku History ditulis oleh Herodotus pada tahun 480-425 SM (salinan tertua : c. 900 M ; interval waktu : 1350 tahun ; jumlah salinan : 8).
· Buku History ditulis oleh Thucydides pada tahun 460-400 SM (salinan tertua : c. 900 M ; interval waktu : c. 1300 tahun ; jumlah salinan : 8).
· Buku yang ditulis oleh Plato pada tahun 400 SM (salinan tertua : c. 900 M ; interval waktu : c. 1300 tahun ; jumlah salinan : 7).
· Buku yang ditulis oleh Demosthenes pada tahun 300 SM (salinan tertua : c. 1100 M ; interval waktu : c. 1400 tahun ; jumlah salinan : 200)
· Buku Gallic Wars ditulis oleh Caesar pada tahun 100-44 SM (salinan tertua : 900 M ; interval waktu : c. 1000 tahun ; jumlah salinan : 10)
· Buku History of Rome ditulis oleh Livy pada tahun 59 SM-17 M (salinan tertua : abad IV (partial), abad X (mostly) ; interval waktu : c. 400 tahun (partial), c. 1000 tahun (mostly) ; jumlah salinan : 1 partial, 19 copies).
· Buku Annals ditulis oleh Tacitus pada tahun 100 M (salinan tertua : c. 1100 M ; interval waktu : c. 1000 tahun ; jumlah salinan : 20)
· Buku Natural History ditulis oleh Pliny Secundus pada tahun 61-113 M (salinan tertua : c. 850 M ; interval waktu : c. 750 M ; jumlah salinan : 7)
· Perjanjian Baru ditulis pada tahun 50-100 M (salinan tertua : c. 114 (fragmen), c. 200 (buku), c. 250 (mostly), c. 325 (lengkap) ; interval waktu : +50 tahun (fragmen), 100 tahun (buku), 150 tahun (mostly), 225 tahun (lengkap) ; jumlah salinan : 5366)


Kita bisa menyimpulkan, seandainya Perjanjian Baru diragukan hanya gara-gara tidak memiliki autografa, maka kita juga harus meragukan semua buku kuno yang lain, karena kualitas dan jumlah salinan mereka mereka sangat jauh di bawah salinan-salinan Perjanjian Baru. Sekali lagi, yang terpenting bukanlah memiliki autografa atau tidak, namun seberapa bagus dan banyak salinan yang kita miliki.

Ketiga, berdasarkan salinan-salinan yang ada, para cendekiawan berusaha merekonstruksi autografa Alkitab (menentukan salinan mana yang lebih sesuai dengan yang asli) melalui kritik teks (textual criticism). Mereka menerapkan kriteria tertentu untuk menentukan salinan mana yang lebih bisa dipercaya. Misalnya usia salinan, kualitas salinan, karakteristik tata bahasa penulis Alkitab, konteks dari ayat yang diselidiki, dsb.

Kritik teks sudah berkembang sedemikian rupa, sehingga mayoritas cendekiawan telah mencapai persetujuan tentang banyak bagian di dalam Alkitab. Beberapa ayat memang masih diperdebatkan, namun di antara ayat-ayat ini tidak ada yang memengaruhi ajaran Kristen yang pokok. Buku Misquoting Jesus terlalu melebih-lebihkan beberapa ayat yang belum bisa dipastikan ada di dalam autografa atau tidak, seolah-olah ayat-ayat itu sangat memengaruhi runtuh atau berdirinya ajaran Kristen.

Beberapa teks yang dipermasalahkan dalam buku Misquoting Jesus juga tidak boleh dilihat secara berlebihan seolah-olah hal tersebut cukup untuk meragukan otoritas Alkitab secara keseluruhan. Sebagai contoh, seandainya 1 Yohanes 5:7b-8 tidak ada dalam autografa (beberapa terjemahan kuno dan salinan Alkitab yang tertua tidak memiliki bagian ini), maka kita masih memiliki ayat-ayat lain yang sangat kuat untuk mendukung doktrin Tritunggal. Begitu pula dengan Yohanes 8:11. Seandainya teks ini tidak ada dalam autografa (salinan kuno tidak memiliki kisah ini ; salinan yang lebih muda yang memiliki bagian ini meletakkannya di tempat yang berbeda-beda), maka hikmat dan kasih Kristus kepada orang berdosa masih bisa dilihat dengan jelas di bagian Perjanjian Baru yang lain.


KONKLUSI
Saya setuju dengan semangat Ehrman untuk menyelidiki Alkitab sampai pada autografanya karena hanya autografa Alkitab yang diilhamkan Allah dan bersifat tidak mungkin salah. Bagaimanapun, hal ini tidak berarti bahwa kita boleh merendahkan Alkitab terjemahan modern. Semua terjemahan tersebut dibuat oleh para ahli Alkitab yang juga telah belajar kritik teks. Sesuai dengan segmen pembaca yang ditargetkan, para penerjemah Alkitab telah berusaha semampu mungkin untuk merekonstruksi autografa sekaligus menerjemahkannya ke dalam bahasa populer yang bisa dimengerti oleh orang awam (khusus untuk terjemahan King James Version kita memang harus mengakui bahwa ketika terjemahan ini dibuat, banyak salinan kuno yang belum ditemukan). Dalam hal ini, para hamba Tuhan memiliki peranan sentral dalam membimbing jemaat untuk memilih terjemahan yang paling baik (saya sendiri merekomendasikan terjemahan Revised Standard Version dan New American Standard Bible bagi mereka yang bisa bahasa Inggris dan senang menyelidiki Alkitab).

Hal terakhir, soal keyakinan Ehrman bahwa para penulis Alkitab mungkin melakukan beberapa kesalahan sehingga ada kontradiksi dalam Alkitab. Tentang pendapat ini, kita harus dengan tegas menolaknya. Sayangnya, kita tidak memiliki banyak ruang untuk membahas hal ini secara detail. Kita juga harus menolak pandangan Ehrman yang menilai Alkitab hanya sebagai hasil karya manusia yang bisa salah. Allah memang menggerakkan para penulis Alkitab dan Ia menggunakan keunikan mereka masing-masing, namun Allah tetap menjaga mereka sehingga apa yang akhirnya ditulis adalah apa yang dinafaskan Allah (2 Tim. 3:16) dan didorong oleh Roh Kudus (2 Pet. 1:21). Sekali lagi, penolakan ini untuk sementara hanya bisa dinyatakan saja di sini tanpa disertai argumentasi-argumentasi yang mendukungnya. Lain waktu kalau Tuhan berkehendak, kita akan membahas hal ini secara khusus.


Sumber : Majalah Rohani Populer BAHANA Vol. 192, April 2007

Diketik ulang dan sedikit diedit oleh : Denny Teguh Sutandio



Profil Ev. Yakub Tri Handoko :
Ev. Yakub Tri Handoko, Th.M. adalah hamba Tuhan yang melayani di Gereja Kristus Rahmani Indonesia (GKRI) Exodus, Surabaya. Beliau juga adalah dosen apologetika di Sekolah Theologia Reformed Injili Surabaya (STRIS) Ngagel, Surabaya. Beliau meraih gelar Sarjana Theologia (S.Th.) dari Sekolah Tinggi Alkitab Surabaya (STAS), gelar Master of Arts (M.A.) dan Master of Theology (Th.M.) dari International Theological Seminary, USA (President : Rev. Prof. Joseph Tong, Ph.D., adik kandung Pdt. Dr. Stephen Tong). Selain itu, beliau juga menjadi dosen di STT Injili Abdi Allah, Pacet.