19 August 2008

Matius 10:39-42: CHRISTIANITY AND PERSECUTION: The Reward

Ringkasan Khotbah: 30 April 2006

Christianity & Persecution: The Reward

oleh: Pdt. Sutjipto Subeno, M.Div.

Nats: Mat. 10:39-42


Pendahuluan
Alkitab membukakan kebenaran bahwa seorang pengikut Kristus itu seperti domba di tengah serigala. Seorang anak Tuhan yang sejati akan mengalami kesulitan, penderitaan dan aniaya sebab dunia berdosa tidak suka akan kebenaran dan kesulitan yang kita alami itu bukan hanya terjadi satu kali saja tetapi berulang-ulang kali (Mat. 10:23). David F. Wells, dalam buku No Place for Truth menyatakan bahwa pada dasarnya, dunia dan seluruh aspeknya dipengaruhi oleh dua hal: 1) manajemen marketing, 2) psikologi. Orang ketika hendak mengerjakan sesuatu atau mengambil suatu keputusan maka yang ada dalam pikirannya adalah bagaimana mendapatkan keuntungan sebanyak-banyaknya dan sistem yang dipakai adalah sistem marketing dunia yang didasari oleh konsep psikologi. Bidang teknik dan medis yang seharusnya tidak berhubungan dengan marketing dan psikologi pun hari ini pun memakai sistem marketing dan psikologi untuk mendapatkan keuntungan. Itulah sebabnya, kita melihat dunia bisnis menguasai sebagian besar belahan dunia dan cara menilai dan menghargai seseorang pun mulai bergeser, orang hanya dilihat dari tampilan luarnya saja. Hari ini, orang lebih menghargai seorang businessman meskipun ia korupsi daripada profesi lain, seperti researcher atau peneliti. Munculnya psikologi karena didasari oleh keinginan untuk melawan konsep theologi dan sebagian besar tokoh pencetusnya adalah seorang atheis.
Aspek religius pun tak luput dari sistem marketing dan psikologi. Kekristenan tidak beda dengan dunia modern. Kekristenan mulai menyeleweng dari ajaran Firman, berita tentang penganiayaan mulai dihilangkan dan sebagai gantinya, orang diiming-imingi dengan kesehatan dan hidup berkelimpahan. Kekristenan sejati berbicara tentang kebenaran, kejujuran dan integritas hidup itulah sebabnya, sejak awal Tuhan membukakan kebenaran termasuk semua resiko yang harus ditanggung ketika kita memutuskan untuk menjadi murid Kristus. Iman Kristen harus kembali pada kebenaran sejati. Biarlah sebagai anak Tuhan sejati kita meneladani Kristus yang menjalankan prinsip kebenaran meski untuk itu Dia harus dimusuhi, Dia rela berkorban.
Janganlah takut ataupun kuatir ditengah-tengah penderitaan dan penganiayaan yang kita alami, Tuhan tidak membiarkan begitu saja tetapi ada upah, reward yang Tuhan telah sediakan. Mat. 10:39 merupakan kunci penting untuk kita memahami tentang upah. Ayat 39 dapat diterjemahkan sebagai berikut: barangsiapa mencari selamat untuk dirinya, ia akan kehilangan keselamatan nyawanya; barangsiapa rela kehilangan keselamatannya dalam nama Kristus, ia justru akan mendapatkan keselamatan hidup itu. Kata “mencari, to find“ berasal dari bahasa asli “eurisko“ dan penulisannya menggunakan tenses auris participle, dimana tenses ini berkait dengan ontologi, yakni sesuatu yang berbicara secara hakekat. Secara gamblang ayat 39 dapat dikatakan: kalau hanya mau cari selamat, matilah kau, artinya bukan hanya satu kali orang mencari selamat tetapi secara natur atau pada hakekatnya atau “dari sananya“ orang selalu mencari selamat; dengan kata lain, sepanjang hidupnya, orang selalu mencari selamat. Yang menjadi pertanyaan apa yang kita lakukan ketika berada dalam penganiayaan? Apakah kita hanya mau mencari selamat saja ataukah kita masih tetap mempertahankan integritas dan hidup dalam kebenaran?
I. Hidup dalam Kebenaran Sejati
Tuhan menuntut suatu integritas hidup dalam diri setiap anak-Nya yang sejati; barangsiapa hidup dalam Kristus ia harus hidup sama seperti Kristus telah hidup. Allah yang kita sembah adalah Allah yang agung dan mulia, Allah yang konsisten karena itu, Dia layak untuk dijadikan sebagai sandaran hidup kita. Ironisnya, orang ingin mempunyai Allah yang benar namun orang tidak mau hidup benar. Tuhan menegaskan barangsiapa tidak mau hidup dalam kebenaran maka ia tidak akan hidup. Karena itu, carilah dahulu Kerajaan Allah dan kebenaran-Nya maka semuanya akan ditambahkan kepada-Mu (Mat. 6:33). Hidup Kristen adalah hidup yang memperjuangkan righteouness, yakni hidup benar di hadapan Allah Sang Kebenaran sejati, truth. Pertanyaannya sekarang adalah kenapa harus mengikut pada Allah sejati? Kenapa kita harus hidup benar? Bukankah hidup benar itu justru menyulitkan? Kenapa kita tidak mencari aman saja? Adalah kesimpulan salah kalau orang mengatakan bahwa menjadi anak Tuhan, hidup kita akan menjadi lebih susah sehingga orang memilih untuk tidak mengikut Tuhan. Salah! Memang, dunia dapat memberikan kekayaan dan kenikmatan tapi semu belaka dan sifatnya hanya sementara; kita akan berakhir dalam kebinasaan kekal. Sebaliknya, ketika mengikut Kristus mungkin kita akan dianiaya namun itu hanya berlangsung sementara sebab kemudian kita akan peroleh sukacita kekal. Hati-hati dengan akal licik si iblis yang sengaja menjebak manusia dengan kenikmatan semu yang sifatnya sementara dan sekali masuk dalam jerat iblis maka sulit untuk lepas.
Ilustrasi berikut ini untuk memudahkan kita memahami akal licik si iblis yang menjerat dan memperbudak hidup manusia. Ada seorang anak sedang bermain-main dan tanpa sengaja, ia memecahkan gelas ibunya. Ia merasa ketakutan maka ia menyembunyikan perbuatannya dengan membersihkan pecahan gelas tersebut. Ternyata, semua perbuatannya dilihat oleh si kakak maka itu dijadikan kunci untuk menjebak adiknya maka setiap kali si adik tidak mau melakukan apa yang diperintahkan si kakak maka si kakak mengancam akan memberitahukan tentang gelas pecah pada ibu. Begitu juga dengan hidup kita, sekali kita masuk dalam jeratan iblis maka akan sulit bagi kita untuk lepas dari ikatan belenggunya. Hanya Kristus yang dapat melepaskan kita dari jerat iblis dan untuk kelepasan ini juga dibutuhkan suatu pengorbanan besar dari diri kita. Bukanlah hal yang mudah bagi seseorang untuk dapat lepas dari jeratan narkotika; untuk dapat lolos dari ketergantungan dan bandar narkoba dibutuhkan suatu pengorbanan. Sekali masuk dalam jebakan iblis maka sulit untuk keluar dari jebakan iblis. Jangan pernah berpikir ketika kita mencari aman dengan mengorbankan integritas kita maka itu akan membuat hidup kita merasa nyaman. Salah! Hidup kita akan menjadi lebih sengsara.
Kenyamanan hidup itu justru kita dapatkan ketika kita hidup dalam kebenaran dan di situlah kita mendapat kekuatan. Dengan kekuatan dari Tuhan kita mempunyai keberanian untuk menantang jaman ini. Ingat, waktu yang telah berlalu tidak dapat diputar kembali karena itu, hendaklah kita menjaga hidup kita tetap berintegritas dengan menjadikan Kristus sebagai yang terutama dalam hidup kita. Dengan mencari Kerajaan Allah dan kebenaran-Nya terlebih barulah kita dapat memahami seluruh aspek dalam hidup kita termasuk konsep reward. Di satu pihak, orang menyadari bahwa kembali pada kebenaran Allah akan membuat hidup kita stabil akan tetapi yang menjadi pertanyaan adalah bagaimana kita dapat hidup stabil ketika kita dianiaya? Tuhan menegaskan ketika kita rela berkorban, menyerahkan hidup bagi Tuhan maka disana kita justru akan memperoleh hidup.
II. Pengalaman Iman Sejati
Hidup dalam kebenaran sejati akan membawa kita masuk dalam pengalaman iman bersama Tuhan. Jadi, sangatlah mengherankan seorang yang mengaku sebagai anak Tuhan tetapi tidak mempunyai pengalaman hidup berjalan dalam pimpinan Tuhan. Pengenalannya akan Tuhan hanya sebatas pengetahuan saja. Biarlah kita mengevaluasi diri sudahkan kita mempunyai pengalaman iman bersama Tuhan? Alkitab menegaskan hidup Kristen adalah hidup yang mengalami pengalaman iman di dalam kebenaran bersama Tuhan. Hari ini, banyak orang yang ingin mempunyai pengalaman hidup bersama dengan Tuhan tetapi celakanya, bukan pengalaman bersama Tuhan Sang Kebenaran sejati yang dirasakan tetapi pengalaman iman bersama “allah“ lain. Dan hari ini, orang berani mengklaim dirinya adalah “Allah“ karena merasa sudah mengalami pengalaman bersama “allah“ karena dulu ia sakit sekarang sembuh, dulu miskin dan sekarang kaya. Tidak! Itu bukan Allah sejati tetapi lebih tepatnya adalah iblis sebab orang yang mau menjadi seperti Tuhan adalah pengikut iblis. Hati-hati, iblis dapat memberikan kuasa, iblis juga dapat menyembuhkan, iblis dapat memberikan kekayaan karena itu, hendaklah kita peka sehingga kita dapat membedakan apakah pengalaman iman yang kita alami itu pengalaman iman bersama Tuhan ataukah pengalaman iman bersama hantu. Itu bukan prinsip kebenaran Tuhan. Orang yang telah menyerahkan hidupnya pada iblis pasti tidak akan mengalami kesulitan, iblis tidak akan mengkutak-kutik pengikutnya. Seperti seorang yang telah menjadi anggota suatu mafia tertentu pastilah ia tidak akan diganggu oleh si mafia tersebut. Orang tidak menyadari kalau sesungguhnya ia telah mati rohani.
Pengalaman iman bersama Tuhan seharusnya membawa kita makin dekat Tuhan, kita dapat melihat menerobos jauh ke depan. Semua aniaya dan siksa yang kita alami itu tidaklah sia-sia sebab disana ada pahala, ada upah yang menanti bagi orang benar dan disana kita juga melihat keadilan Tuhan dinyatakan (Mzm. 58:12). Biarlah hal ini bukan hanya sekedar kita mengerti sebatas pengetahuan belaka tetapi biarlah kita mengalami pengalaman hidup bersama Tuhan dan kita dipakai menjadi saksi untuk menguatkan mereka yang lemah iman. Tuhan kita adalah Tuhan yang hidup dan Dia tidak dapat dipermainkan. Tuhan juga tidak akan tinggal diam ketika anak-anak-Nya yang hidup dalam kebenaran dipermainkan oleh dunia. Tuhan menegaskan bahwa pembalasan itu adalah hak-Ku, jadi, ketika dunia menganiaya, janganlah kita menjadi takut sebab keadilan Tuhan akan dinyatakan di bumi. Tuhan tidak akan membiarkan orang-orang benar dianiaya secara membabi buta, Tuhan juga tidak akan membiarkan hidup anak-Nya itu lepas dari pemeliharaan-Nya. Tidak! Tuhan justru ingin supaya kita mempunyai pengalaman iman bersama dengan Dia dengan demikian kita dapat merasakan pimpinan dan pemeliharaan Tuhan yang indah atas kita.
III. Iman Sejati
Kebenaran sejati membawa kita pada pengalaman sejati dan pengalaman ini menjadikan kita mempunyai iman sejati. Iman sejati menjadi kacamata, point of view ketika kita melihat segala sesuatu yang terjadi di dunia. Dunia beriman pada sesuatu yang dilihatnya sebagai keuntungan sebaliknya, apa yang dianggap keuntungan oleh dunia justru dipandang sebagai kerugian. Alkitab menegaskan janganlah kita melihat fenomena dunia tetapi kita harus melihat dari sudut pandang Tuhan. Demikian halnya dengan konsep upah. Mat. 10:42 mengajarkan hal yang indah tentang bagaimana seharusnya kita memberikan reward pada seseorang, yaitu ketika memberi maka ada tiga aspek yang perlu kita perhatikan: 1) air murni bukan susu, 2) banyaknya hanya secangkir bukan sejerigen, 3) diberikan pada orang kecil. Yang dimaksud dengan orang kecil disini bisa mempunyai pengertian anak kecil, orang yang berperawakan kecil atau orang yang berstatus sosial rendah.
Berbeda dengan dunia, orang akan sangat menghargai kalau kita memberikan barang yang berharga dan mahal, bukan air yang tidak bernilai; orang juga melihat kuantitas, orang tidak akan cukup puas jika mendapatkan sedikit; dan orang juga memberikan barang-barang itu bukan untuk orang yang kecil tetapi sebaliknya, barang yang berharga dengan jumlah yang cukup banyak itu diberikan pada orang yang dipandang penting. Apa yang kita berikan, berapa yang kita berikan dan kepada siapa kita berikan itu menentukan bagaimana kita melihat suatu apresiasi pada seseorang. Dunia akan terkagum-kagum dan hormat pada orang yang memberikan barang yang bernilai dengan jumlah banyak dan diberikan pada orang hebat. Inilah cara manusia menilai, inilah cara dunia memahami konsep reward.
Iman Kristen menilai sesuatu bukan melihat secara fenomena tetapi secara esensial. Tuhan sangat menghargai dan memuji seorang janda miskin yang memberikan persembahan 2 peser daripada seorang kaya yang memberikan jumlah banyak tetapi dengan motivasi tidak benar. Tuhan tidak melihat angka tetapi Tuhan melihat janda ini memberikan seluruh apa yang dia punya (100%), seluruh hasil kerjanya hari itu untuk Tuhan dan Tuhan melihat motivasi dari janda miskin ini memberi karena ia mengasihi Tuhan. Sedangkan orang kaya ini hanya memberikan sedikit sebab secara presentasi, pemberiannya itu sangat sedikit bila dibanding dengan seluruh harta yang ada padanya.
Kata upah, reward (bahasa Yunani, misthos) dalam PB muncul sebanyak 28 kali dan Injil Matius paling banyak membicarakan masalah upah, kata upah ini muncul sebanyak 9 kali. Hal ini dapat kita mengerti sebab Injil Matius berbicara tentang dan kepada orang Yahudi yang materialis. Bukan suatu kebetulan kalau Injil Matius ini diberikan pada kita sebab Tuhan ingin supaya kita mempunyai konsep yang benar tentang upah dan cara kita memberikan penghargaan pada seseorang. Semua itu harus dilihat dari sudut pandang iman dengan demikian kita kembali pada kebenaran sejati dan kita dapat merasakan pengalaman iman bersama Tuhan.
Antara hidup dalam kebenaran Allah – pengalaman iman sejati bersama Tuhan – mempunyai iman sejati itu saling berkait erat seperti sebuah lingkaran. kita melihat segala sesuatu dari sudut pandang Tuhan dan iman yang benar akan membuat kita semakin diproses dalam kebenaran dan kita semakin bertumbuh dalam pengenalan kita akan Tuhan. Ini menjadi sebuah lingkaran yang saling berkait erat. Biarlah hidup Kekristenan kita, christian life terus diproses untuk menuju pada kesempurnaan seperti Kristus yang menjadi teladan kita adalah sempurna. Amin.

(Ringkasan khotbah ini belum diperiksa oleh pengkhotbah)

Sumber:

http://www.grii-andhika.org/ringkasan_kotbah/2006/20060430.htm

Roma 10:4: "ISRAEL" SEJATI ATAU PALSU-8: Sentralitas Kristus

Seri Eksposisi Surat Roma:
Doktrin Predestinasi-7


“Israel” Sejati atau Palsu-8: Sentralitas Kristus

oleh: Denny Teguh Sutandio


Nats: Roma 10:4


Setelah mempelajari tentang alasan konkrit mengapa kaum Israel gagal disebut umat pilihan Allah dan harapan Paulus agar Israel juga diselamatkan di pasal 10 ayat 1 s/d 3, maka Paulus melanjutkan pembahasannya tentang Kristus sebagai kegenapan hukum Taurat di ayat 4.

Setelah menjelaskan tiga kata “kebenaran” yang diulang di ayat 3 yang sesungguhnya adalah inti dari banyak orang Israel yang tidak diselamatkan, yaitu mereka tidak mengetahui kebenaran Allah dan mereka mendirikan kebenaran mereka sendiri lalu tidak takluk kepada Allah, maka Paulus langsung menjelaskan bahwa seseorang dibenarkan bukan berdasarkan perbuatan baik, tetapi hanya melalui iman di dalam Pribadi Kristus, “Sebab Kristus adalah kegenapan hukum Taurat, sehingga kebenaran diperoleh tiap-tiap orang yang percaya.” (ayat 4). Di dalam ayat ini, Paulus langsung menunjuk bahwa Hukum Taurat sebenarnya mengarah dan berpusat kepada Kristus. Kata “kegenapan” di dalam American Standard Version (ASV), English Standard Version (ESV), Geneva Bible, King James Version (KJV) dan New King James Version (NKJV) diterjemahkan end (=akhir), dan dalam terjemahan International Standard Version (ISV) adalah culmination (=titik tertinggi). Kata ini dalam bahasa Yunani adalah telos yang bisa berarti goal, result, etc (tujuan, hasil, dll). Pdt. Hasan Sutanto, D.Th. di dalam Perjanjian Baru Interlinear (2003) menafsirkan kata ini sebagai “kesudahan dan tujuan” (hlm 853). Selain itu, kata ini juga bisa diterjemahkan: akhir; kesimpulan; tujuan; hasil; akhirnya; sepenuhnya; sisanya; bea’. Kata ini muncul sebanyak 40x di dalam Perjanjian Baru. (Sutanto, Konkordansi Perjanjian Baru, 2003, hlm 750) Dari penyelidikan arti kata ini, kita mendapatkan gambaran pengertian tentang hubungan Kristus dan Taurat, yaitu:
Pertama, Kristus adalah Tujuan Hukum (Taurat). Hukum (Taurat) diwahyukan Allah bagi umat Israel sebagai hukum yang mengatur kehidupan dan iman orang Israel. Taurat itu berupa 5 kitab Musa, yaitu Kejadian, Keluaran, Imamat, Bilangan dan Ulangan. Bagi Dr. Martin Luther, hukum Taurat berfungsi untuk menunjukkan dosa manusia melalui hukum Allah. Seharusnya bangsa Israel menyadari bahwa Taurat diwahyukan agar mereka menyadari keberdosaan mereka dan menyerahkan pengharapan dan iman mereka kepada dan di dalam Allah mereka, tetapi bagaimana kenyataannya? Bangsa ini bukan bangsa yang taat dan setia, tetapi bangsa yang tegar tengkuk. Di dalam kitab Keluaran (Taurat) saja, Allah menyebut bangsa Israel sebagai bangsa yang tegar tengkuk sebanyak 3x, yaitu: Keluaran 32:9; 33:3, 5. Di dalam kitab Ulangan (Taurat) pun, kembali Allah menyebut Israel sebagai bangsa yang tegar tengkuk juga sebanyak 3x, yaitu: Ulangan 9:6,13; 10:16. Di 2 Tawarikh 30:8, Hizkia berkata, “Sekarang, janganlah tegar tengkuk seperti nenek moyangmu. Serahkanlah dirimu kepada TUHAN dan datanglah ke tempat kudus yang telah dikuduskan-Nya untuk selama-lamanya, serta beribadahlah kepada TUHAN, Allahmu, supaya murka-Nya yang menyala-nyala undur dari padamu.” Di dalam Yesaya 48:4, Tuhan berfirman, “Oleh karena Aku tahu, bahwa engkau tegar tengkuk, keras kepala dan berkepala batu,…” Sungguh unik sekali, dua dari 5 kitab Taurat justru membukakan realita Israel sebagai bangsa yang tegar tengkuk. Ini membuktikan bahwa meskipun Taurat diwahyukan kepada Israel, mereka tidak pernah sungguh-sungguh mengertinya, melainkan mereka menganggap Taurat itu sebagai bahan pelajaran yang perlu ditaati tanpa perlu dimengerti esensinya. Di abad postmodern ini, hal serupa terjadi juga di dalam Kekristenan. Banyak pemimpin gereja mengaku dengan mulutnya bahwa mereka percaya pada Alkitab dan Kristus, tetapi realitanya doktrin dan kelakuan mereka sama sekali tidak sesuai dengan Alkitab. Mereka berkhotbah sesuatu yang seolah-olah dari Alkitab, tetapi tanpa mengerti esensi utamanya. Tidak heran, jika ada seorang “pemimpin gereja” yang menulis artikel yang membuktikan bahwa Kristus tidak bangkit, meskipun dia pernah sekolah “theologia” bahkan bergelar Doktor “Theologia”. Alkitab dan theologia hanya diselidiki secara akademis, tetapi tidak “mendarat” di dalam aplikasi dan pengalaman rohani sejati bersama Tuhan. Ini bahayanya akademis! Kembali, di dalam pewahyuan progresif (progressive revelation), Tuhan membukakan kepada kita bahwa Taurat yang diwahyukan kepada Israel sebenarnya mengarah kepada Kristus. Semua upacara korban di dalam kitab Imamat dan Ulangan, dll mengarah kepada penebusan Kristus. Bahkan seluruh Perjanjian Lama (PL) mengarah kepada Perjanjian Baru (PB) di dalam Kristus. Ini membuktikan adanya benang merah di dalam seluruh Alkitab dari PL sampai dengan PB. Memisahkan PL dan PB dari Alkitab berarti tidak menghargai Alkitab. Selain itu, ingin mengerti PL tanpa melalui PB adalah sia-sia.
Kedua, Kristus adalah Penyempurna Taurat. John Calvin di dalam tafsirannya mengutip perkataan Erasmus yang menafsirkan kata ini sebagai perfection (kesempurnaan). Dengan kata lain, Kristus menyempurnakan apa yang tertulis di dalam Taurat. Di dalam Injil Matius 5:17, Tuhan Yesus sendiri bersabda, “Janganlah kamu menyangka, bahwa Aku datang untuk meniadakan hukum Taurat atau kitab para nabi. Aku datang bukan untuk meniadakannya, melainkan untuk menggenapinya.” Ayat ini sering salah ditafsirkan oleh orang Islam bahwa karena Kristus tidak meniadakan Taurat, maka Ia juga menyetujui bahwa makan babi itu haram, dll. Tafsiran ini jelas sesat, karena tidak memperhatikan konteks (budaya postmodern di dalam penafsiran). Bagaimana tafsiran yang benar? Kata “menggenapi” di dalam ayat ini di dalam KJV diterjemahkan fulfill (=memenuhi, menyelesaikan, dll). Bahasa Indonesia Sehari-hari (BIS) sedikit memberikan penjelasan tambahan, “menunjukkan arti yang sesungguhnya.” Ini berarti Kristus yang menggenapi Taurat adalah Kristus yang sebenarnya hendak menunjukkan arti yang sebenarnya tentang Taurat yang sudah diselewengkan oleh banyak pemimpin Yahudi. Hal ini bisa kita jumpai di ayat-ayat setelah ayat ini, yaitu mulai ayat 21 sampai dengan ayat 48 (perluasannya sampai dengan akhir pasal 7). Di dalam ayat-ayat tersebut, Kristus mengutip perkataan Taurat, lalu disambung dengan perkataan-Nya yang menjelaskan esensinya, “tetapi Aku berkata kepadamu, ...” Misalnya, di dalam ayat 21, Kristus mengutip Taurat, “Kamu telah mendengar yang difirmankan kepada nenek moyang kita: Jangan membunuh; siapa yang membunuh harus dihukum.”, lalu disambung dengan penjelasan-Nya tentang makna sesungguhnya di ayat 22 s/d 26, “Tetapi Aku berkata kepadamu: Setiap orang yang marah terhadap saudaranya harus dihukum; siapa yang berkata kepada saudaranya: Kafir! harus dihadapkan ke Mahkamah Agama dan siapa yang berkata: Jahil! harus diserahkan ke dalam neraka yang menyala-nyala. Sebab itu, jika engkau mempersembahkan persembahanmu di atas mezbah dan engkau teringat akan sesuatu yang ada dalam hati saudaramu terhadap engkau, tinggalkanlah persembahanmu di depan mezbah itu dan pergilah berdamai dahulu dengan saudaramu, lalu kembali untuk mempersembahkan persembahanmu itu. Segeralah berdamai dengan lawanmu selama engkau bersama-sama dengan dia di tengah jalan, supaya lawanmu itu jangan menyerahkan engkau kepada hakim dan hakim itu menyerahkan engkau kepada pembantunya dan engkau dilemparkan ke dalam penjara. Aku berkata kepadamu: Sesungguhnya engkau tidak akan keluar dari sana, sebelum engkau membayar hutangmu sampai lunas.” Dari ayat 21 s/d 48, Kristus membukakan realita bahwa esensi utama dari Taurat BUKAN pada perbuatan, tetapi pada hati. Dari hati yang bersih, akan keluar perkataan dan tindakan yang bersih. Lalu, pertanyaannya, mengapa Kristus dapat disebut Penyempurna Taurat? Siapakah Dia? Bagaimana dengan Mohammad yang merasa diri sebagai “Roh Kudus” di dalam Alkitab, lalu mengatakan bahwa Alkitab itu kurang ‘lengkap’? Kristus dapat disebut Penyempurna Taurat karena Ia adalah Allah Pribadi Kedua yang diutus langsung dari Allah Bapa untuk menebus dan menyelamatkan umat-Nya yang berdosa (Yohanes 3:16). Karena Allah yang mewahyukan Taurat, tetapi Taurat telah diselewengkan, maka Ia mengutus Kristus melalui inkarnasi (Allah menjadi manusia tanpa meninggalkan natur Ilahi-Nya) untuk menjelaskan ulang (re-interpret) Taurat. Hanya Allah saja yang mampu menjelaskan maksud-Nya mewahyukan Taurat. Dengan demikian, barangsiapa, entah itu “nabi”, “orang suci” atau siapapun yang mengklaim diri berhak menafsirkan Taurat atau mengatakan Alkitab itu salah, terkutuklah dia, seperti perkataan Paulus di dalam Galatia 1:8, “Tetapi sekalipun kami atau seorang malaikat dari sorga yang memberitakan kepada kamu suatu injil yang berbeda dengan Injil yang telah kami beritakan kepadamu, terkutuklah dia.” Allah di Surga pasti menghukum mereka yang tidak percaya kepada Kristus (Yohanes 3:18b).
Karena Kristus adalah Tujuan dan Penyempurna Taurat, maka setiap orang yang percaya kepada dan di dalam-Nya juga mendapat status yang dibenarkan. Di dalam struktur bahasa Yunani, kata “percaya” memakai bentuk pasif. Artinya, umat pilihan-Nya yang percaya (pasif) kepada Kristus mendapatkan status yang dibenarkan. Bentuk pasif ini berarti iman umat pilihan-Nya bukanlah iman yang aktif yang berasal dari keinginan hatinya (pandangan Arminianisme), tetapi mutlak merupakan anugerah Allah. Sehingga, seseorang baru bisa beriman di dalam Kristus, setelah Roh Kudus melahirbarukan mereka (1 Korintus 12:3b). Kepercayaan ini dialamatkan kepada dan di dalam Kristus yang telah melakukan segala yang tertulis di dalam Taurat (=menyempurnakan Taurat) bahkan sampai mati di kayu salib demi menebus dosa manusia pilihan-Nya dan bangkit kembali serta naik ke Surga, sehingga kebenaran yang telah ditunaikan-Nya di atas kayu salib diimputasikan bagi setiap umat pilihan-Nya yang masih berdosa. Di dalam pasal sebelumnya di surat Roma, Paulus berkata, “Akan tetapi Allah menunjukkan kasih-Nya kepada kita, oleh karena Kristus telah mati untuk kita, ketika kita masih berdosa.” (Roma 5:8) Ini berarti ketika kita masih berdosa, dari kekekalan, Allah Bapa telah merencanakan untuk mengutus Putra Tunggal-Nya, Tuhan Yesus Kristus untuk menebus dosa umat pilihan-Nya yang berdosa. Berarti, pembenaran orang-orang percaya MUTLAK bukan karena perbuatan baik (ataupun dengan dalih “beriman”), tetapi murni dari anugerah Allah, karena Allah telah berinisiatif menyelamatkan manusia bahkan pada saat manusia sudah/masih berdosa (tanpa melihat apakah suatu saat manusia tertentu akan bertobat—pandangan Arminianisme). Anugerah keselamatan inilah yang diterima oleh umat-Nya sebagai status yang dibenarkan. Status manusia (pilihan-Nya) yang berdosa bisa dibenarkan di hadapan Allah karena penebusan Kristus yang bersifat mengganti (substitusi), mendamaikan (rekonsiliasi) dan memuaskan/meredakan murka Allah/korban (propisiasi).

Bagaimana dengan kita? Kita sudah dibenarkan karena penebusan Kristus. Tindakan penyelamatan Allah di dalam Kristus adalah tindakan teragung dan terdahsyat bagi umat pilihan-Nya. Sudahkah kita bersyukur atas anugerah-Nya bagi kita? Sudahkah kita setia dan taat menjalankan perintah Taurat bukan untuk diselamatkan tetapi sebagai respon kita telah diselamatkan? Pdt. Daniel Lucas Lukito, Th.D. membedakan dua macam anugerah khusus di dalam Kekristenan yaitu saving grace (=anugerah yang menyelamatkan) dan living grace (=anugerah yang hidup). Setelah kita diselamatkan di dalam penebusan Kristus melalui saving grace, maukah kita mewujudnyatakan living grace itu di dalam kehidupan kita sehari-hari? Biarlah perenungan kita tentang satu ayat ini saja mencerahkan pemikiran kita tentang sentralitas Kristus sebagai Tujuan dan Penyempurna Taurat. Amin. Soli Deo Gloria.