25 October 2007

Roma 3:21-24 : DOSA DAN ANUGERAH PEMBENARAN

Seri Eksposisi Surat Roma :
Kasih dan Keadilan Allah-7


Dosa dan Anugerah Pembenaran

oleh : Denny Teguh Sutandio


Nats : Roma 3:21-24.

Setelah Paulus memaparkan tentang hubungan hukum Taurat dan dosa, ia selanjutnya memberikan jalan keluar satu-satunya bagi penyelesaian dosa itu.

Pada ayat 21, Paulus berkata, “Tetapi sekarang, tanpa hukum Taurat kebenaran Allah telah dinyatakan, seperti yang disaksikan dalam Kitab Taurat dan Kitab-kitab para nabi,” International Standard Version (ISV) menerjemahkan, “But now, apart from the law, God's righteousness is revealed and is attested by the Law and the Prophets-” Lalu, New International Version menerjemahkan hal yang hampir mirip, yaitu, “But now a righteousness from God, apart from law, has been made known, to which the Law and the Prophets testify.” Berarti melalui ayat ini Paulus ingin mengajarkan bahwa kebenaran keadilan (Yunani : dikaiosune) Allah tidak hanya sebatas Hukum Taurat, tetapi melebihi Hukum Taurat dan ini telah disaksikan dalam Kitab Taurat dan Kitab-kitab para Nabi. Meskipun melebihi Hukum Taurat, tidak berarti kebenaran keadilan Allah sama sekali tidak memerlukan Taurat. Dalam hal ini, terjemahan Bahasa Indonesia Sehari-hari (BIS) yang mengartikan bahwa kebenaran keadilan Allah tanpa Hukum Taurat sama sekali (“Tetapi sekarang Allah sudah menunjukkan jalan bagaimana manusia berbaik dengan Dia; dan caranya itu tidak ada sangkut pautnya dengan hukum agama Yahudi.”) adalah salah. Begitu pula terjemahan King James Version yang menerjemahkannya dengan kata without (=tanpa) pada frase, “But now the righteousness of God without the law is manifested” adalah salah, karena kata without ini menunjukkan bahwa kebenaran keadilan Allah tidak ada di dalam Taurat, padahal konsep ini salah. Oleh karena itu, di awal penjelasan ayat ini, saya memilih terjemahan ISV (identik dengan terjemahan English Standard Version/ESV) dan NIV karena terjemahan-terjemahan ini cocok dengan bahasa asli (Yunani)nya chōris yang dapat berarti apart from (terlepas dari/selain). Kembali, kalau kita melihat sejarahnya, maka kita dapat mengerti bahwa pada mulanya Allah yang mencipta manusia juga mengadakan perjanjian KEPADA (bukan DENGAN) manusia bahwa ketika mereka taat kepada-Nya, maka mereka akan diberkati dan diselamatkan, tetapi jika tidak, mereka akan dihukum. Apakah ini berarti Allah mengutamakan tindakan baik manusia ? TIDAK. Ketika Allah menyatakan perintah itu, Ia sangat mengetahui bahwa manusia tak mungkin dapat menaati-Nya, sehingga dengan mengeluarkan perintah ketaatan kepada manusia, Ia hendak menyadarkan manusia bahwa mereka itu terbatas, dicipta dan pasti dapat jatuh ke dalam dosa. Adanya dosa yang merupakan ketidaktaatan manusia mengakibatkan perjanjian dari Allah ini rusak dan akhirnya Allah harus menghukum mereka. Tetapi, di sisi lain Allah begitu mengasihi mereka dan sangat mengetahui bahwa mereka tak mungkin sanggup melepaskan diri dari ikatan dosa. Oleh karena itu, dari kekekalan, Ia telah menetapkan Kristus untuk menebus dosa manusia (Kejadian 3:15). Tetapi realisasi rencana-Nya ini belum kelihatan sampai genap waktunya. Sebelum Kristus diutus, Allah mewahyukan Taurat sebagai Penuntun tingkah laku bagi umat pilihan-Nya, Israel sehingga mereka tidak menyimpang ke kanan dan ke kiri atau mengikuti ilah-ilah asing di sekitar mereka. Tetapi sayangnya, bangsa Israel tegar tengkuk, sebentar mereka taat kepada Tuhan, selanjutnya mereka tidak taat, sehingga mereka harus dihukum oleh Allah melalui bangsa-bangsa lain yang menawan mereka di tempat pembuangan. Di dalam pembuangan, bangsa Israel menangis dan bertobat serta minta ampun kepada Tuhan, maka Ia melepaskan mereka, tetapi setelah itu mereka kumat kembali, tidak taat kepada Tuhan, sehingga mereka dihukum oleh Allah lagi. Hal ini terus berlanjut, sampai sebelum Kristus berinkarnasi, ada suatu momen di mana bangsa Israel benar-benar bertobat dan memegang perjanjian Taurat. Tetapi sayangnya, pertobatan mereka tidak tulus, karena mereka bertobat sambil menambah jasa baik, yaitu dengan menambah-nambahi Taurat dengan peraturan-peraturan yang memberatkan, padahal inti Taurat adalah kasih (Matius 22:37-40). Mereka mengira bahwa dengan menjalankan semua yang diatur di dalam Taurat, maka mereka pasti selamat. Oleh karena itu, Paulus dengan jeli dan teliti mengaitkan dan menjelaskan bahwa kebenaran keadilan Allah bukan terbatas pada Taurat, tetapi melebihi Taurat. Dengan kata lain, bukan dengan menjalankan Taurat, manusia diselamatkan dan mengenal Allah yang sejati. Mengikuti kesalahpahaman interpretasi para ahli Taurat, banyak agama dunia juga mengajarkan bahwa dengan menjalankan syariat-syariat tertentu, manusia diselamatkan. Benarkah demikian ? TIDAK. Mengapa ? Karena manusia yang berdosa sangat tidak masuk akal dapat berbuat baik (di mana perbuatan baiknya itu sendiri dicemari oleh dosa) untuk diselamatkan. Tidak ada jalan lain, manusia baru dapat mengenal Allah sejati dan diselamatkan ketika mereka mengenal kebenaran keadilan Allah yang sejati karena hanya Allah lah Sumber Hidup dan Keselamatan manusia. Lalu, apakah wujud kebenaran keadilan Allah itu ?

Pada ayat 22, Paulus menjelaskan wujud kebenaran keadilan itu, “yaitu kebenaran Allah karena iman dalam Yesus Kristus bagi semua orang yang percaya. Sebab tidak ada perbedaan.” Paulus dengan teliti menjelaskan bahwa inti kebenaran keadilan Allah sebenarnya adalah kasih yang diwujudnyatakan di dalam Pribadi Yesus Kristus yang menganugerahkan iman kepada umat pilihan-Nya yang percaya. Dengan kata lain, dengan terang Perjanjian Baru, kita baru dapat mengerti bahwa inti Taurat dan kitab para Nabi di dalam Perjanjian Lama sebenarnya sedang menubuatkan Kristus dan karya-Nya yang menebus dosa manusia pilihan-Nya. Dan karya Kristus inilah yang menjadikan kita yang percaya dibenarkan oleh Allah dan dijadikan benar dan adil oleh-Nya. Siapa yang disebut “semua orang yang percaya” ? Apakah berarti semua orang yang mengaku percaya baru dianugerahkan iman oleh Allah ? TIDAK. Di dalam memahami satu ayat Alkitab, kita harus mengerti keseluruhan prinsip Alkitab. Di dalam ayat ini, kata “semua orang percaya” harus dimengerti sebagai umat pilihan yang telah dipilih dan ditetapkan-Nya yang percaya di dalam Kristus (Efesus 1:4-5). Ini berarti anugerah Allah selalu mendahului respon manusia bahkan respon manusia untuk percaya. Inilah yang diajarkan oleh Alkitab dan ditegaskan oleh theologia Reformed ! Umat pilihan-Nya yang telah dianugerahkan iman di dalam Kristus inilah yang baru dapat mengenal Pribadi Allah yang sesungguhnya dan sejati, karena Kristus adalah gambar Allah yang tidak kelihatan (Kolose 1:15) dan di dalam-Nya berdiam seluruh kepenuhan Allah (Kolose 1:19). Kemudian, bagaimana dengan orang yang tidak percaya ? Apakah mereka pasti binasa ? Bukankah berarti Allah itu tidak adil ? Inilah yang terus dipertanyakan dan diajarkan oleh “theologia” Arminian yang sebagian besar dianut oleh banyak theolog Injili, Pentakosta, dan Karismatik bahwa di dalam pikiran mereka, Allah harus menyelamatkan semua orang karena Allah itu Mahakasih. Ketimpangan ajaran ini disebabkan karena kekurangmengertian tentang atribut-atribut Allah yang bukan hanya Mahakasih, tetapi juga Mahaadil dan Mahakudus ! Allah memang Mahakasih, tetapi Dia juga Mahaadil. Di dalam keadilan-Nya, Ia harus membukakan realita, “Tidak ada seorangpun yang berakal budi, tidak ada seorangpun yang mencari Allah.” (Roma 3:11). Mengapa manusia tidak dapat mencari Allah ? Hal ini dijelaskan Paulus di dalam ayat selanjutnya.

Pada ayat 23 dengan kalimat pembuka di ayat 22b, Paulus memaparkan alasan manusia tidak dapat mencari Allah, “Karena semua orang telah berbuat dosa dan telah kehilangan kemuliaan Allah,” Terjemahan King James Version (KJV) mengartikan lebih tepat, “For all have sinned, and come short of the glory of God;” Terjemahan NIV mengganti kata come short di dalam KJV ini menjadi fall short. Dari kedua terjemahan ini, ayat ini berarti bahwa alasan manusia tidak dapat mencari Allah adalah karena semua manusia telah berbuat dosa dan mengurangi kemuliaan Allah. Ada beberapa konsep yang dapat kita pelajari dari ayat ini. Pertama, kata “karena”. Kata ini disisipkan pada awal ayat 23 yang menunjukkan bahwa penyebab segala sesuatu yang jahat adalah karena manusia itu berdosa. Bencana alam yang terjadi dewasa ini akibat dari dosa manusia. Ini mengajar kita untuk tidak terpaku pada fenomena, tetapi melihat dan mengerti esensi dari segala peristiwa buruk maupun baik. Kedua, kata “semua orang”. Kata ini berarti semua orang tanpa kecuali baik pria wanita, tua muda, besar kecil, tuan hamba, dll sudah berbuat dosa. Dengan kata lain, dosa sudah meracuni seluruh umat manusia tanpa kecuali. Untuk lebih memperjelas, Paulus mengutarakan maksudnya, “Tetapi karunia Allah tidaklah sama dengan pelanggaran Adam. Sebab, jika karena pelanggaran satu orang semua orang telah jatuh di dalam kuasa maut,… Sebab penghakiman atas satu pelanggaran itu telah mengakibatkan penghukuman,… Sebab itu, sama seperti oleh satu pelanggaran semua orang beroleh penghukuman,… Jadi sama seperti oleh ketidaktaatan satu orang semua orang telah menjadi orang berdosa,” (Roma 5:15-16,18-19). Di sini, Paulus mengemukakan fakta bahwa di dalam Adam, semua manusia yang hidup otomatis sudah berdosa (dosa asal) yang nantinya pasti melahirkan dosa aktual yang dikerjakan sehari-hari di dalam kehidupan mereka. Ketiga, berbuat dosa berkaitan dengan hilangnya atau kurangnya kemuliaan Allah. Kalau manusia dunia berpikir bahwa ketika kita bersalah, maka rupa dan nama kita lah yang tercoreng. Tetapi di dalam Alkitab, Allah menyatakan hal yang sangat berbeda yaitu ketika manusia berdosa, yang sebenarnya tercoreng adalah kemuliaan dan nama Allah, mengapa ? Karena manusia diciptakan segambar dan serupa dengan Allah, sehingga ketika manusia berdosa, mereka sedang mencoreng dan mencemari dengan mengurangi kemuliaan Allah. Bagaimana dengan kita? Kita seringkali tidak sengaja (lebih banyak disengaja) mencoreng nama Allah dengan tidak taat atau bahkan mengadopsi teori-teori psikologi dan filsafat atheis yang melawan Allah untuk menjadi prinsip “iman” kita. Ketika kita mencoba melarikan diri dari Allah dengan “melacurkan” iman kita, kita sedang mencoreng nama dan kemuliaan-Nya yang agung di dalam gambar dan rupa kita. Karena semua manusia telah mencoreng nama dan kemuliaan-Nya, maka Allah harus menghukum mereka. Tetapi di sisi lain, Allah tetap mengasihi mereka, karena mereka diciptakan menurut peta teladan-Nya. Oleh karena itu, Ia harus menyediakan jalan lain yang telah ditetapkan-Nya dari semula. Jalan apakah itu ?

Di dalam ayat 24, Paulus menjelaskan jalan yang telah disediakan Allah sebagai wujud kasih-Nya, yaitu, “dan oleh kasih karunia telah dibenarkan dengan cuma-cuma karena penebusan dalam Kristus Yesus.” Kata “dibenarkan” dalam bahasa Yunaninya bisa berarti dijadikan benar/adil. Dengan kata lain, kita yang tidak benar dan otomatis tidak adil, dijadikan benar dan adil oleh Allah melalui anugerah penebusan di dalam Kristus Yesus. Berarti, jalan yang disediakan Allah sebagai wujud kasih-Nya adalah anugerah-Nya yang membebaskan dan menebus umat pilihan-Nya di dalam Kristus Yesus. Mengapa harus melalui penebusan Kristus, manusia dapat diselamatkan ? Mengapa Allah sendiri yang tidak langsung menghapus dosa manusia ? TIDAK. Allah memang mampu menghapus dosa manusia, tetapi itu berlawanan dengan natur-Nya yang Mahakudus yang membenci dosa. Oleh karena itu, tidak ada jalan lain, bukan melalui jasa baik manusia diselamatkan, tetapi hanya melalui anugerah Allah di dalam Kristus yang menebus dan menyelamatkan, manusia pilihan-Nya dapat dibebaskan dari kutuk dosa, iblis dan maut serta masuk Surga. Siapakah yang mampu menjadikan manusia berdosa benar dan adil ? Nabi kah ? TIDAK. Hanya satu-satunya Pribadi yang mampu membenarkan manusia, Dialah Kristus Yesus. Bagaimana caranya kita dibenarkan di dalam Kristus ? Dengan cara mengimputasikan dosa kita kepada-Nya untuk ditanggung-Nya di kayu salib dan kebenaran-Nya yang menaati kehendak Allah Bapa diimputasikan kepada umat pilihan-Nya di dalam iman, sehingga umat pilihan-Nya melalui pengimputasian kebenaran Kristus ini mampu mengerjakan dan menggenapkan kehendak Kerajaan Allah di muka bumi ini. Biarlah kita yang telah dibenarkan ini terus-menerus menghargai anugerah ini dengan mensyukurinya dan memberitakannya kepada mereka yang belum menerima Kristus.

Setelah kita merenungkan poin ini, sadarkah kita bahwa kita sebenarnya hina dan layak mati karena semua dosa kita ? Lalu, adakah kita sadar bahwa dosa kita tak mungkin dapat diselesaikan dengan kemampuan kita ? Kalau kita menyadarinya, maka segeralah bertobat dan datanglah kepada Kristus yang telah membenarkan umat pilihan-Nya. Biarlah segala puji, hormat dan kemuliaan hanya bagi nama Allah Trinitas. Soli Deo Gloria. Amin.

Matius 4:18-22: THE KINGDOM AND THE WORKERS-3

Ringkasan Khotbah : 26 September 2004

The Kingdom & the Workers 3

oleh : Pdt. Sutjipto Subeno, M.Div.
Nats: Mat. 4:18-22



Menggenapkan Kerajaan Allah di dunia tidak Yesus lakukan seorang diri saja meskipun secara Ilahi, Dia mampu dan hasilnya pasti jauh lebih baik dan sempurna dibandingkan kalau kita turut mengerjakannya. Kristus merekrut para murid untuk turut ambil bagian dalam menggenapkan Kerajaan Allah di dunia; Dia tidak lagi menyebut kita hamba tapi Ia menyebut kita sahabat karena seorang sahabat memahami apa yang menjadi kehendak sahabat-Nya. Dan cara Tuhan memilih dan memanggil orang-orang yang hendak Dia jadikan sebagai rekan sekerja berlawanan dengan cara manusia begitu juga dengan kriteria yang ditetapkan Tuhan berbeda dengan standar yang ditetapkan manusia. Standar dan syarat-syarat yang manusia anggap sangat penting bagi Tuhan Yesus nothing, tidaklah berarti apa-apa sebaliknya yang oleh manusia dianggap tidak penting justru bagi-Nya dianggap sangat penting. Terbukti orang-orang yang Yesus panggil untuk dijadikan murid adalah orang-orang yang berasal dari kalangan bawah yang dipandang hina dan remeh pada jaman itu. Andreas, Petrus, Yohanes dan Yakobus hanyalah seorang nelayan, Matius hanyalah seorang pemungut cukai, dan masih banyak lagi murid Kristus lain yang berasal dari kalangan bawah.
Hendaklah kita meneladani Kristus dan merubah konsep kita yang salah dengan demikian kita tidak salah menilai orang lain. Mata manusia hanya melihat penampilan luar tapi Tuhan melihat hati. Samuel melihat Eliab lebih cocok menjadi seorang raja karena perawakannya yang gagah tapi Tuhan berbeda, Ia justru memilih Daud yang kecil dan kemerah-merahan. Cara Tuhan menetapkan nilai lebih agung dari manusia. Manusia hanya bisa melihat segala sesuatu yang berkaitan dengan keterbatasan dirinya sedang Tuhan melihat segala sesuatu di dalam seluruh kerangka kerajaan-Nya. Manusia seringkali hanya berpikir secara pragmatis, yaitu apa yang menjadi kebutuhan dunia saat ini dan yang menguntungkan maka dengan segala daya orang akan mengusahakan dan mengejarnya. Akibatnya, orang tidak mencapai kesuksesan dengan tuntas karena bidang yang seharusnya menjadi keahliannya malahan tidak dapat dikerjakan dengan maksimal. Sangatlah disayangkan, kalau demi untuk mendapatkan nilai matematika baik maka sepanjang hari itu dihabiskan untuk mempelajari bidang yang sebenarnya tidak dia kuasai demi untuk mendapatkan nilai yang lebih baik. Sebaliknya mungkin di bidang lain, misalnya: musik atau bahasa seharusnya ia sangat berpotensi justru tidak dapat berkembang. Cara Tuhan berbeda, itulah sebabnya Tuhan Yesus memilih Petrus seorang nelayan bukan Kayafas si ahli Taurat atau orang-orang pandai lain pada jaman itu.
Yesus berkata kepada mereka: “Mari, ikutlah Aku, dan kamu akan Kujadikan penjala manusia“ (Mat. 4:19). Perkataan Tuhan Yesus mengandung makna yang sangat dalam, kenapa Tuhan memanggil, bagaimana Tuhan memanggil dan apa implikasi dari panggilan Tuhan? Dan dalam kalimat ini mengandung tiga segmen: pertama, “Mari“ atau “Come“ (bhs Inggris); kedua, Ikutlah Aku, follow Me; ketiga, Kujadikan penjala manusia, I will make you a fisher of man. Melalui tiga segmen ini Kristus hendak menyatakan bagaimana cara Dia memanggil murid dan siapa yang akan dipakai untuk turut ambil bagian dalam Kerajaan-Nya. Terlebih dahulu kita akan memahami segmen pertama dari ketiga segmen, yaitu “Come,...“ dalam bahasa Indonesia lebih tepatnya adalah “Kesini,...“Perhatikan, Tuhan mengatakan kalimat ini pada mereka yang nantinya menjadi orang-orang yang berada di lingkaran dalam Tuhan Yesus, inner circle, yaitu Petrus, Yohanes dan Yakobus adalah kecuali satu orang, yakni Andreas. Kristus menempatkan diri-Nya pada positioning yang tepat, “Kesini,...“ dengan demikian orang menyadari siapa yang berhadapan dengan dirinya dan bagaimana relasi dirinya dengan orang yang memanggil tersebut. Kristus tidak pernah menyebut diri-Nya Anak Allah tapi Ia selalu menyebut diri-Nya sebagai Anak Manusia. Hal inilah dipakai untuk menyerang Kekristenan, yaitu bahwa Kristus bukanlah Allah. Ironi! Manusia seharusnya sulit melihat Yesus sebagai Anak Manusia karena banyak hal yang Dia lakukan tidak dapat dilakukan oleh manusia. Pengakuan bahwa Yesus adalah Anak Allah adalah sah kalau keluar dari mulut orang lain.
I. Supremasi Kerajaan.
Kristus menggunakan otoritas tertinggi, yaitu otoritas Kerajaan Sorga pada saat Ia memanggil murid, “Mari, ikutlah Aku, dan kamu akan Kujadikan penjala manusia“. Kristus menggunakan struktur ordo yang begitu kuat di dalam melakukan tindakan relasi. Di dunia barat, siapapun boleh mengundang tanpa memandang usia, seorang anak muda dapat mengatakan,“Come,...“ pada seorang yang lebih tua. Berbeda di dunia timur, seorang anak yang baru beranjak dewasa tidak dapat mengatakan hal demikian pada seorang yang sudah berusia. Menurut tradisi Yahudi, seorang dikatakan dewasa ketika berumur 30 tahun dan usia Tuhan Yesus 30 tahun saat Ia memilih para murid dan orang belum banyak mengenal Dia. Tuhan Yesus mau menunjukkan pada mereka bahwa panggilan-Nya adalah panggilan Kerajaan Allah bukan panggilan yang sifatnya kerjasama. Kingdom Authority, otoritas Kerajaan Sorga ini sangatlah penting karena untuk menggenapkan Kerajaan Allah di tengah alam semesta ini merupakan pekerjaan besar, yaitu pekerjaan yang bersangkut paut dengan kehidupan manusia di sepanjang jaman dan tanpa pertolongan Tuhan, manusia tidak dapat mengerjakannya. Karena itu Yesus memanggil dengan menggunakan otoritas Kerajaan Surga sehingga tidak ada tawar menawar, bargain. Bukankah di dunia sekuler pun kita tidak diberikan kesempatan untuk bargain bahkan tidak diperbolehkan tawar menawar saat mendapat tugas penting? Kini, apalagi tugas yang Tuhan berikan merupakan pekerjaan yang maha penting karena menyangkut kehidupan manusia maka mutlak, kita harus melakukannya.
II. Anugerah Illahi
Pekerjaan yang maha penting ini diserahkan kepada manusia yang secara kategori tidak mempunyai kualifikasi yang cukup memadai. Orang yang melakukan tawar menawar, bargain justru akan menjadikan dirinya sombong karena ia merasa dirinya yang paling dibutuhkan dan cuma ia satu-satunya yang dapat mengerjakan pekerjaan penting tersebut. Merupakan suatu paradoxical karena di satu sisi pekerjaan ini menyangkut seluruh umat manusia di dunia yang berlingkup besar namun dikerjakan oleh orang-orang yang “tidak berkualifikasi“ seperti kita. Andai Tuhan menuntut kualifikasi seperti halnya yang dilakukan di dunia sekuler maka tidak ada seorang pun yang lolos dari kualifikasi menurut standar Tuhan. Kita seharusnya patut bersyukur dan bersukacita karena Ia berkenan memakai kita untuk mengerjakan pekerjaan Kerajaan Sorga yang sangat mahal harganya karena menyangkut nyawa manusia.
Namun kita harus menyadari kalau Tuhan memanggil kita menjadi murid itu merupakan anugerah terlalu besar, tidak semua orang dipilih-Nya untuk turut ambil bagian dalam Kerajaan Allah karena itu janganlah engkau menyombongkan diri. Kita mempunyai tugas lebih penting dari semua pekerjaan apapun yang ada di dunia yang sifatnya sekuler. Hal itu seharusnya menyadarkan kita akan konsep nilai bahwa ada pekerjaan yang lebih bernilai yang harus kita kerjakan. Siapakah kita sehingga Tuhan berkenan memakai kita menjadi pekerja-Nya? Ingat, kita bukanlah siapa-siapa sehingga kalau Tuhan berkenan memilih kita menjadi pekerja-Nya maka kita harus mengerjakannya dengan sebaik-baiknya dan kita harus menuntut diri untuk terus bertumbuh dan para murid menyadari hal ini, mereka bukanlah tidak layak tapi Tuhan justru mau memakai manusia yang tidak layak ini untuk menggenapkan Kerajaan-Nya di dunia.
III. Ketaatan Hamba
Untuk melakukan pekerjaan yang sangat penting ini, kualitas pertama yang Tuhan tuntut dari seorang murid adalah ketaatan, obedience. Dan hal yang paling sulit saat merekrut orang adalah kita tidak mengetahui apakah ia seorang yang taat atau tidak? Mencari orang yang berkualifikasi sekaligus orang yang mau taat tidaklah mudah karena umumnya, orang yang pandai akan sulit untuk taat sebaliknya orang yang mau taat biasanya adalah orang yang tidak mempunyai kemampuan atau kepandaian. Secara manusia, mereka adalah orang-orang yang dibuang oleh masyarakat, mereka dipandang sangat hina namun cara pandang Yesus berbeda, Ia melihat dengan bijaksana sejati bahwa mereka mempunyai potensi dan kapasitas yang sangat besar. Orang sulit memahami bagaimana cara Tuhan bekerja sehingga dapat mengubahkan hidup manusia hal itu juga menyebabkan kesulitan bagi kebanyakan orang pada umumnya bagaimana seorang nelayan seperti Petrus dapat mempertobatkan tiga ribu orang dan mereka meminta diri dibaptis. Alkitab menegaskan hal Kerajaan Sorga ini dengan keras. Alkitab tidak memakai konsep demokrasi karena salah satu kelemahan sistim demokrasi adalah keputusan berada di tangan suara terbanyak sehingga orang-orang yang tidak mempunyai kemampuan di bidangnya berhak mengambil keputusan. Seorang filsuf Romawi, Markus Aurelius, tidak menyetujui adanya sistim demokrasi karena orang-orang “grass root“, orang-orang kelas akar rumput yang dalam hal ini tidak mempunyai pengertian atau kemampuan turut menentukan dan mengambil suatu keputusan. Dan sebagai gantinya, ia mengusulkan philosopher – king, yakni seorang pemimpin haruslah juga seorang yang bijaksana dan menguasai filsafat dengan demikian diharapkan ia dapat memilih dengan tepat orang-orang yang duduk dalam kepemimpinan. Sekali lagi saya tegaskan, konsep dunia berlawanan dengan konsep Tuhan meskipun konsep philosopher king ini sangat baik namun Tuhan Yesus tidak memakai konsep tersebut.
Kita harus menyadari panggilan Tuhan sebagai suatu anugerah. Manusia humanis tidak suka dengan doktrin predestinasi, yaitu Allah telah memilih kita sebelum dunia dijadikan karena ini berarti ia tidak mempunyai pilihan lain selain pilihan dari Tuhan. Maka tidaklah heran, orang sukar sekali melakukan perintah Tuhan yang tertulis dalam Alkitab seperti “Hai, istri tunduklah pada suamimu...“ (Ef. 5:22) atau “Hai, suami kasihilah isterimu sebagaimana Kristus telah mengasihi jemaat..“ (Ef. 5:25). Konsep ordo ini nampak jelas dalam Allah Tritunggal. Secara natur, Allah Bapa, Allah Anak, dan Allah Roh Kudus sama namun secara ordo, tidak sama. Allah Roh Kudus harus tunduk pada Allah Anak karena Roh Kudus tidak akan mengerjakan apapun selain yang diperintahkan oleh Allah Anak dan Allah Anak harus tunduk pada Allah Bapa, Kristus tidak melakukan apapun yang dari diri-Nya sendiri. Jadi, otoritas tertinggi berada di tangan Allah Bapa karena itu dalam diri Allah Tritunggal tidak akan terjadi konflik kebenaran, kepemimpinan maupun otoritas. Inilah paradoxical relation, secara natur sama tapi secara ordo berbeda.
Manusia sudah dikuasai konsep humanisme dimana segala sesuatu harus sesuai logika akibatnya manusia selalu melawan konsep Tuhan. Sebagai contoh, Alkitab tidak pernah menentang perbudakan bahkan Alkitab mencatat ketika Onesiforus melarikan diri, Paulus mendidik dan mengembalikan dia pada tuannya. Dunia sudah mengalami pergeseran makna akibatnya orang tidak menyadari status dirinya yang hanya seorang budak. Di hadapan Tuhan kita adalah seorang budak atau hamba. Karena itu anugerah terlalu besar diberikan pada kita kalau kita yang adalah budak dipilih-Nya untuk turut ambil bagian dalam Kerajaan Allah dan seorang budak tidak mempunyai hak apapun, ia harus tunduk dan taat mutlak pada tuannya. Hari ini yang menjadi kekuatiran adalah orang Kristen tidak mempunyai jiwa taat dan mereka mau taat kalau ia diuntungkan. Itu bukanlah ketaatan. Tuhan tidak suka dengan seorang yang mempunyai jiwa pemberontak. Syarat utama menjadi murid Tuhan adalah ketaatan mutlak. Tentang hal mengikut, Tuhan Yesus menegaskan bahwa setiap orang yang mau mengikut Aku, ia harus menyangkal dirinya, memikul salibnya setiap hari dan mengikut Aku (Luk. 9:23) dan setiap orang yang siap untuk membajak tetapi menoleh kebelakang, tidak layak untuk Kerajaan Allah (Luk. 9:62).
Gereja Tuhan harus berdiri di atas kebenaran. Kebenaran inilah yang akan mengikis orang-orang yang tidak punya motivasi benar. Tuhan Yesus berkata, “Kesini,...“ yang menjadi pertanyaan adalah hari ini berapa banyak orang yang meresponi panggilan-Nya? Orang selalu berpikir untung-rugi ketika hendak mengikut Dia dan yang dilihat manusia selalu kerugian karena manusia berpikir dengan menggunakan logikanya yang terbatas. Orang tidak dapat melihat kemuliaan Sorga di balik penderitaan; orang tidak memahami penderitaan di dunia hanyalah bersifat sementara. Maka tidaklah heran kalau mayoritas orang menolak Dia. Namun tidak demikian halnya dengan Petrus, Andreas, Yohanes dan Yakobus, mereka langsung meninggalkan semua kesibukannya dan mengikut Dia. Tuhan sudah memilih dan memanggil kita untuk turut ambil bagian dalam menggenapkan Kerajaan Allah di dunia, maukah engkau meninggalkan semua ego dan berkata, “Tuhan, aku mau taat pimpinan-Mu dan biarlah kehendak-Mu saja yang jadi“. Biarlah itu menjadi tekad dan doa kita. Amin.

(Ringkasan khotbah ini belum diperiksa oleh pengkhotbah)
Sumber :

Resensi Buku-27 : THE DEFENSE OF THE FAITH (Rev. Prof. Cornelius Van Til, Ph.D.)

...Dapatkan segera...
Buku
THE VAN TIL COLLECTION : THE DEFENSE OF THE FAITH

oleh : Rev. Prof. Cornelius Van Til, Ph.D.

Penerbit : Presbyterian and Reformed Publishing Company, Phillipsburg, New Jersey 08865, 1967 (Third Edition)





As attacks on Christianity become more numerous and pronounced, Dr. Cornelius Van Til’s classic treatment on apologetics endures as crucial reading for our time. Designed to stop secularists in their tracks, it is the kind of seminal work that serious defenders of the faith cannot afford to ignore.

After laying a foundation in the Christian views of God, man, salvation, the world, and the knowledge, Van Til explores the roles of authority, reason, and theistic proof, while contrasting Roman Catholic, Arminian, and Reformed methods of defending the faith. “Nothing short of the Christ of the Scriptures, as presented in historic Reformed theology, can challenge men to forsake their sin and establish them in truth and life,” writes Van Til. “The natural man must be shown that on his presupposition or assumption of man’s autonomy human predication has no meaning at all.”





Profil Dr. Cornelius Van Til :
Rev. Prof. Cornelius Van Til, Ph.D. (3 Mei 1895 – 17 April 1987) yang lahir di Grootegast, Belanda, adalah seorang filsuf Kristen, theolog Reformed dan presuppositional apologist. Pada usia 10 tahun, beliau pindah bersama keluarganya ke Highland, Indiana. Keluarga Van Til menjadi anggota Gereja Kristen Reformed (Christian Reformed Church), dan Cornelius bersekolah di sekolah yang berhubungan dengan denominasi ini, the Calvin Preparatory School, Calvin College dan (selama satu tahun) Calvin Theological Seminary, semuanya di Grand Rapids, Michigan. Beliau beralih ke Princeton Theological Seminary untuk menyelesaikan pendidikan theologianya dan meraih gelar Master of Theology (Th.M.) di tempat ini pada tahun 1925. Secara bersamaan, beliau belajar filsafat di Princeton University dan menyelesaikan gelar Doctor of Philosophy (Ph.D.) pada tahun 1927. Disertasinya berjudul “God and the Absolute,” membandingkan pandangan theologia Reformed tentang Allah dengan kemutlakan akan filsafat Idealisme. Pada bulan September, 1925, Van Til menikah dengan Rena Klooster dan memiliki seorang anak laki-laki, Earl. Rena meninggal pada tahun 1978.
Van Til menggembalakan sebuah gereja Kristen Reformed (Christian Reformed church) di Spring Lake, Michigan, mengambil cuti untuk mengajar apologetika di Princeton Seminary selama tahun ajaran 1928-1929. Pihak seminari menawarkan beliau menjadi ketua jurusan Apologetika pada akhir tahun tersebut, tetapi beliau menolak tawaran itu dan kembali ke Spring Lake. Beliau sungguh-sungguh cenderung tetap di dalam penggembalaan, dan beliau tidak ingin untuk bekerja sama dalam penyusunan kembali seminari yang diamanatkan oleh General Assembly of the Presbyterian Church, U.S.A.