18 March 2008

Resensi Buku-47: APA ITU BAPTISAN? (Rev. Robert Gibson Rayburn, Th.D.)

...Dapatkan segera...
Buku
APA ITU BAPTISAN ? :
Makna dan Cara Baptisan Kristen


oleh: Rev. Robert Gibson Rayburn, Th.D.

Penerbit : Lembaga Reformed Injili Indonesia, Jakarta, 1995

Penerjemah: Pdt. Sutjipto Subeno, M.Div. dan Ryanti Rachmadi.

Prakata : Pdt. DR. STEPHEN TONG





Deskripsi singkat dari Denny Teguh Sutandio :
Baptisan Kudus adalah salah satu dari dua sakramen yang diakui oleh Gereja Protestan sebagai sakramen yang ditetapkan sendiri oleh Tuhan Yesus kepada para murid-Nya. Sepanjang gereja mula-mula, baptisan dilaksanakan dalam dua hal : baptisan percik (menuangkan air ke atas kepala jemaat yang dibaptis) dan baptisan bayi (infant baptism). Tetapi gerakan Anabaptis yang merupakan gerakan “sempalan” dari Reformasi (sering disebut : Reformasi Radikal/Radical Reformation) telah mengubah sejarah dengan melakukan dua hal pada baptisan : baptisan dilakukan secara selam (menenggelamkan jemaat yang dibaptis ke dalam kolam baptisan) dan TIDAK membaptis anak (dengan alasan : karena anak-anak belum dapat beriman, sehingga belum layak dibaptis). Golongan Anabaptis ini mempengaruhi sebagian besar Gereja/Gerakan Baptis dan juga banyak gerakan Karismatik/Pentakosta yang bahkan mewajibkan jemaat-jemaatnya HARUS dibaptis selam. Jika jemaatnya sudah dibaptis percik, pihak gereja penganut baptisan selam mengharuskan mereka untuk dibaptis ULANG yaitu dengan diselam. Mereka mengajukan banyak argumentasi yang “seolah-olah” dari Alkitab, misalnya Yesus yang keluar dari air setelah dibaptis Yohanes Pembaptis, dikuburkan dalam baptisan, dll. Selain itu, mereka juga TIDAK mempercayai adanya baptisan anak, tetapi penyerahan anak (suatu istilah yang agak aneh). Benarkah Alkitab tidak mengajarkan adanya baptisan percik dan selam ? Dengan bahasa yang cukup sederhana dan mudah dimengerti, Rev. DR. ROBERT G. RAYBURN memaparkan ajaran baptisan percik dan baptisan anak sejak gereja mula-mula yang berdasarkan Alkitab. Selain itu, beliau juga mengkritisi semua kesalahan argumentasi dari para penganut baptisan selam serta menunjukkan fakta Alkitab (dengan mengeksegese setiap bagian Alkitab dengan teliti) tentang baptisan percik (tidak berarti baptisan harus dipercik, dan tidak boleh diselam) dan baptisan anak.







Profil Rev. DR. ROBERT GIBSON RAYBURN :
Rev. Robert Gibson Rayburn, Th.D. adalah Profesor Theologia Praktika di Covenant Theological Seminary, St. Louis, Missouri. Beliau meraih gelar Doctor of Theology (Th.D.) dari Dallas Theological Seminary.

Roma 6:15-19: HAMBA DOSA VS HAMBA KEBENARAN-1: Status dan Kondisi yang Diubahkan

Seri Eksposisi Surat Roma :
Manusia Lama Vs Manusia Baru-7


Hamba Dosa Vs Hamba Kebenaran-1 :
Status dan Kondisi yang Diubahkan


oleh: Denny Teguh Sutandio


Nats : Roma 6:15-19.

Setelah mempelajari tentang hidup yang melawan dosa di ayat 11 s/d 14, maka Paulus mulai membahas tentang status dan kondisi yang diubahkan di dalam diri orang percaya.

Karena kita tidak lagi hidup di bawah Taurat, tetapi di bawah kasih karunia, maka di ayat 14, Paulus mengingatkan kita supaya kita tidak lagi hidup di dalam dosa. Namun, apakah karena kita sudah hidup di bawah anugerah, kita masih akan berbuat dosa ? TIDAK. Paulus menjabarkan hal ini di ayat 15, “Jadi bagaimana? Apakah kita akan berbuat dosa, karena kita tidak berada di bawah hukum Taurat, tetapi di bawah kasih karunia? Sekali-kali tidak!” Pernyataan “Sekali-kali tidak” dalam terjemahan King James Version, “God forbid.” (Allah melarangnya) Ayat ini merupakan kelanjutan dari ayat 14 dengan penjelasan lebih gamblang yaitu justru karena kita dibenarkan dan diselamatkan oleh anugerah Allah di dalam penebusan Kristus, kita tidak boleh hidup di dalam dosa dan berbuat dosa. Terjemahan KJV dalam hal ini lebih tegas yaitu Allah melarang. Bukan hanya kita tidak boleh berbuat dosa, kita juga dilarang oleh Allah untuk melakukannya. Banyak orang dunia menganggap keKristenan itu agama yang terlalu menjual murah keselamatan sehingga banyak orang Kristen menurut mereka tidak berbuat baik karena ada anugerah. Anggapan itu justru keliru, karena tanpa anugerah, manusia tak mungkin sedikit pun berbuat baik. Anugerah Allah di dalam Kristus yang dikerjakan melalui karya efektif Roh Kudus memungkinkan manusia pilihan-Nya berbuat baik sesuai kehendak-Nya. Filipi 2:13 mengajarkan bahwa Allah lah yang mengerjakan kemauan bahkan pekerjaan baik sehingga kita bisa mengerjakan keselamatan kita (ayat 12). Paulus di dalam Efesus 2:10 mengajarkan bahwa Allah telah mempersiapkan pekerjaan baik bagi umat pilihan-Nya, sehingga kita perlu mengerjakan apa yang Ia kehendaki (bukan apa yang kita kehendaki). Dengan kata lain, sumber kebaikan adalah Allah sendiri dan dari-Nya lah kita dapat dan mampu berbuat baik serta tidak lagi berbuat dosa. Apa kaitan antara berbuat baik dan tidak berbuat dosa ? Secara aneh sekali, orang dunia merasa diri sudah berbuat baik, tetapi sebenarnya makin berbuat baik mereka justru makin berdosa. Mengapa ? Karena mereka berbuat baik untuk memuliakan diri mereka sendiri dan perbuatan baik mereka tidak dikerjakan di dalam Kristus. Tetapi bagaimana dengan umat pilihan-Nya di dalam Kristus ? Ketika kita berbuat baik, kita percaya bahwa Allah kita akan memimpin langkah hidup kita dan Allah Roh Kudus menegur kita ketika kita mulai berbuat dosa. Ini semua adalah tindakan providensia (pemeliharaan) Allah bagi umat-Nya, sehingga kita tidak sampai mendukakan hati-Nya. Tetapi jangan menggunakan alasan ini untuk mengatakan bahwa kita tidak diingatkan Roh Kudus sehingga kita akhirnya jatuh ke dalam dosa. Roh Kudus memang mengingatkan dan menegur kita di dalam hati, tetapi tidak berarti Ia mematikan kehendak manusia. Menyangkal diri tidak berarti kita tidak memiliki kehendak apapun, karena ketika kita tak memiliki kehendak apapun, di saat itu pula kita sedang berkehendak untuk tak memiliki kehendak. Suatu kontradiksi yang aneh ! Kembali, menyangkal diri berarti kehendak dan keinginan kita ditundukkan pada kehendak dan keinginan Allah sehingga yang kita kerjakan hanya lah kehendak-Nya dan untuk memuliakan Allah. Demikian juga, ketika kita sudah di dalam anugerah Allah dan Roh Kudus menegur kita di dalam hati, kita diminta untuk tunduk mutlak kepada-Nya. Ketika kita tidak tunduk, di saat itu pula kita berdosa, karena kita mendukakan hati-Nya.

Untuk menjelaskan ayat 15 ini, di ayat 16 Paulus mengajarkan, “Apakah kamu tidak tahu, bahwa apabila kamu menyerahkan dirimu kepada seseorang sebagai hamba untuk mentaatinya, kamu adalah hamba orang itu, yang harus kamu taati, baik dalam dosa yang memimpin kamu kepada kematian, maupun dalam ketaatan yang memimpin kamu kepada kebenaran?” Di ayat ini, Paulus sedang mengajarkan konsep hamba dan tuan. Hamba adalah seorang yang harus taat mutlak kepada tuan dan si tuan adalah penguasa hamba tersebut. Di dalam hidup ini, Paulus membagi dua macam orang yaitu hamba iblis dan hamba Kristus/kebenaran.
Pertama, hamba iblis adalah orang yang menyerahkan dirinya sendiri secara aktif kepada iblis dan dosa sebagai tuannya. Hal ini, kata Paulus, memimpin kepada kematian/maut. Dengan kata lain, ketika kita menghambakan diri kepada iblis, kita pasti mati. Bagaimana dengan kita ? Bukankah banyak orang postmodern bahkan beberapa di antaranya mengklaim diri “Kristen” tetapi juga termasuk hamba iblis ? Mengapa ? Apakah saya terlalu ekstrim ? TIDAK. Alkitab jelas mengajarkan bahwa siapa yang menjadi hamba iblis adalah mereka yang tidak tunduk kepada Allah dan Firman-Nya (hanya Alkitab). Merekalah yang pasti mati, meskipun kelihatannya hidup. Banyak dari kroni-kroni iblis seolah-olah nampak “hebat”, “sakti”, “berkuasa”, dll di mata manusia, tetapi kenyataannya mereka tidak pernah diperkenan oleh Allah. Para kroni iblis diizinkan Tuhan untuk menguji daya tahan iman kita. Ketika kita mulai tergoda dengan tipuan tersebut, kita pun ikut mati bersama mereka. Lalu, apa ciri kroni-kroni iblis ? Pertama, memutarbalikkan dan mengganti/mengubah Injil Kristus (Galatia 1:6-10). Kedua, membujuk orang supaya mengikuti dirinya dan bukan kepada Kristus (2 Timotius 4:3-4). Ketiga, memakai Firman Tuhan (tentu yang sudah diselewengkan) untuk membujuk para pengikutnya (Matius 4:6). Dan masih banyak lagi ciri para kroni iblis, tetapi satu hal esensial yang perlu diperhatikan adalah hamba iblis pasti memuja iblis dan filsafat-filsafat atheis (seperti dualisme, materialisme, humanisme, Marxisme, komunisme, pantheisme, postmodernisme/relativisme, dll).
Kedua, hamba kebenaran adalah orang yang menyerahkan dirinya secara aktif (sebagai respon terhadap pemilihan/predestinasi Allah) kepada Kristus di dalam ketaatan. Ketaatan ini mengakibatkan orang tersebut hidup di dalam kebenaran. Kata “kebenaran” di dalam ayat ini menggunakan bahasa Yunani dikaiosunē yang berarti kebenaran keadilan (righteousness). Dengan kata lain, hamba kebenaran adalah hamba-hamba Kristus yang kesukaannya menggumuli, mengerti dan mengaplikasi Firman di dalam kehidupannya sehari-hari (bandingkan Mazmur 1:1-4). Selain itu, hamba kebenaran juga meninggikan Kristus di atas segala-galanya dan memberitakan Injil. Secara singkat, hamba kebenaran adalah umat pilihan-Nya yang mencintai : Kebenaran ketimbang ketidakbenaran, Kekudusan/Kesucian ketimbang ketidakkudusan/kenajisan, Keadilan ketimbang ketidakadilan, Kejujuran ketimbang kebohongan/dusta, dll. Mengapa ? Karena mereka adalah orang-orang yang menghambakan diri kepada Sumber Kebenaran, Kesucian, Keadilan dan Kejujuran sejati. Rasul Paulus, Petrus, Yohanes, Dr. Martin Luther, Dr. John Calvin, Jonathan Edwards, Dr. Billy Graham, Dr. Stephen Tong, dll adalah para hamba Tuhan yang memberitakan Kebenaran secara bertanggungjawab, sehingga mereka layak disebut hamba kebenaran. Bagaimana dengan kita ? Apakah kita juga mencintai Kebenaran dan rindu mengaplikasikannya di dalam kehidupan kita sehari-hari ? Ketika itu menjadi komitmen kita, jalankan dan Anda akan menjadi hamba kebenaran. Tetapi ingatlah, menjadi hamba kebenaran adalah orang yang sangat sulit hidup di dalam dunia postmodern yang menggila ini, karena apa yang kita beritakan bukan berita yang menyenangkan telinga, tetapi memekakkan telinga mereka, sehingga tidak heran 2 Timotius 4:3 merupakan peringatan tajam dari Paulus kepada Timotius (dan juga kepada kita) bahwa akan datang saatnya orang tidak lagi mau mendengarkan ajaran yang sehat/benar.

Puji Tuhan ! Kita bukan lagi disebut hamba dosa, tetapi hamba kebenaran. Hal ini dipaparkan Paulus di ayat 17-18, “Tetapi syukurlah kepada Allah! Dahulu memang kamu hamba dosa, tetapi sekarang kamu dengan segenap hati telah mentaati pengajaran yang telah diteruskan kepadamu. Kamu telah dimerdekakan dari dosa dan menjadi hamba kebenaran.” Paulus mengatakan bahwa dulu kita adalah hamba dosa karena kita menghambakan diri kepadanya, tetapi puji Tuhan, anugerah Allah di dalam Kristus telah melepaskan kita dari kegelapan dosa menuju terang Allah yang ajaib. Dulu kita setia terhadap dosa dan iblis, tetapi sebagai hamba kebenaran, Paulus menuntut kita untuk setia dan taat pada Kristus dan Injil-Nya. Taat merupakan suatu tanda kita menjadi hamba kebenaran. Ketika kita taat kepada iblis, tentu kita adalah kroni-kroni/hamba-hamba iblis, tetapi ketika kita taat kepada Kristus, kita disebut hamba Kebenaran. Ada beberapa hal yang bisa kita pelajari dari kedua ayat ini, yaitu :
Pertama, status kita dimerdekakan dan diubahkan. Sungguh menarik ketika Paulus di ayat 18 mengajarkan bahwa kita telah dimerdekakan dari dosa, hal ini disambung dengan pernyataan, “dan menjadi hamba kebenaran.” Mungkin banyak orang dunia bingung dengan pernyataan ini, mengapa ? Karena mereka menyangka bahwa orang yang dimerdekakan tetapi kok masih menjadi hamba. Bukankah ide postmodern adalah ide yang menolak otoritas (anti-otoritas) ? Alkitab mengajarkan hal yang berlainan yaitu sesuatu yang paradoks. Kita telah dimerdekakan dari dosa berarti kita sudah lepas dari dosa atau kita tidak lagi terikat dengan kutuk dosa. Mengapa ? Karena kita sudah dimerdekakan di dalam penebusan Kristus. Lalu, bagaimana dengan status kita ? Alkitab mengajarkan bahwa kita yang sudah dimerdekakan bukan orang yang menganggur, tetapi kita dengan aktif menundukkan diri kembali di bawah Allah (bukan di bawah dosa). Di dalam suratnya yang pertama kepada jemaat di Korintus, Paulus mengajarkan hal yang serupa, “Sebab seorang hamba yang dipanggil oleh Tuhan dalam pelayanan-Nya, adalah orang bebas, milik Tuhan. Demikian pula orang bebas yang dipanggil Kristus, adalah hamba-Nya.” (1 Korintus 7:22) Bagaimana orang dunia mengerti antara pernyataan “orang bebas” tetapi juga “milik Tuhan” ? Mereka tidak akan mengerti kecuali kalau anugerah Allah tiba padanya dan memimpin dia menjadi anak-anak sekaligus hamba Allah di dalam Kristus. Alkitab menolak keras konsep anti-otoritas tetapi juga menolak keras otoritas yang tidak berpusat kepada Allah dan Kristus, sehingga Ia mengajarkan bahwa orang percaya bukan anti-otoritas atau bukan juga berpegang pada otoritas yang salah, tetapi kembali kepada Sumber Otoritas yaitu Allah sendiri. Dari situ lah, kita dikatakan menjadi hamba Kebenaran.
Kedua, ketaatan seorang hamba. Taat bukan sekedar mengatakan “ya” kepada perintah Allah, tetapi taat mencakup adanya totalitas penyerahan diri kita secara total kepada kehendak Allah. Hal ini ditunjukkan Paulus di dalam ayat 17 dengan mengatakan, “kamu dengan segenap hati telah mentaati pengajaran...” Kata “segenap hati” menunjukkan bahwa kita dengan seluruh totalitas kita dari dalam menaati Firman dan menjalankannya. Dengan kata lain, menaati Firman berarti menjunjung tinggi otoritas Firman dan bersedia mengkritisi semua paradigma dunia dari orang berdosa sehingga membawa mereka kembali kepada Kristus dan Firman. Jangan pernah mengklaim diri “Kristen” tetapi kita sendiri tidak mau menjunjung tinggi otoritas Alkitab, tetapi mengilahkan diri kita sendiri atau filsafat-filsafat atheis. Mari bersama-sama kita mengintrospeksi diri kita sendiri di hadapan Allah.

Apakah ketika kita sudah menjadi hamba Kebenaran kita tidak mungkin berbuat dosa ? Jawabannya TIDAK. Mengapa ? Kuasa dosa memang sudah dilepaskan dari kita oleh Kristus, tetapi kita masih bisa berbuat dosa. Meskipun demikian, kita tidak lagi terus-menerus berbuat dosa. Rasul Yohanes mengajarkan, “Setiap orang yang lahir dari Allah, tidak berbuat dosa lagi; sebab benih ilahi tetap ada di dalam dia dan ia tidak dapat berbuat dosa, karena ia lahir dari Allah.” (1 Yohanes 3:9) Kata “tidak berbuat dosa lagi” menunjukkan bahwa orang Kristen sejati masih bisa berbuat dosa (karena masih mengandung bibit dosa), tetapi mereka tak mungkin terus-menerus berbuat dosa lagi, karena mereka sudah dilahirkan dari Allah dan benih Allah tetap tinggal di dalamnya. Bibit Ilahi inilah yang memungkinkan mereka menyukai kebenaran ketimbang dosa. Tidak heran, kalau di ayat 19, Paulus mengungkapkan, “Aku mengatakan hal ini secara manusia karena kelemahan kamu. Sebab sama seperti kamu telah menyerahkan anggota-anggota tubuhmu menjadi hamba kecemaran dan kedurhakaan yang membawa kamu kepada kedurhakaan, demikian hal kamu sekarang harus menyerahkan anggota-anggota tubuhmu menjadi hamba kebenaran yang membawa kamu kepada pengudusan.” Paulus menyadari bahwa jemaat Roma tetap adalah manusia biasa yang lemah, sehingga ia memberikan semangat dan dorongan serta teguran supaya mereka tidak lagi berkubang di dalam kelemahan dosa, tetapi keluar sebagai pemenang yang hidup bagi Kristus. Bahasa Indonesia Sehari-hari (BIS) mengartikan kelemahan daging sebagai daya tangkap yang begitu lemah. Dengan kata lain, jemaat Roma memiliki kelemahan berpikir dan mengerti karena mereka banyak dipengaruhi oleh filsafat-filsafat Yunani yang dualis. Kalau kita mengerti konteks di Roma, kita akan mengetahui bahwa jemaat Roma khususnya yang berlatarbelakang Yunani adalah orang-orang yang dipengaruhi oleh filsafat-filsafat Plato, Aristoteles, dll yang tidak karuan. Plato mengajarkan dualisme, yaitu tubuh ini jahat dan jiwa ini baik, sehingga tubuh ini harus ditekan dan disiksa, sedangkan jiwa dibiarkan hidup dan menguasai tubuh. Tetapi Alkitab mengajarkan di dalam bagian ini adalah kita menghargai tubuh dan menyerahkan tubuh ini untuk memuliakan Allah/sebagai hamba Kebenaran. Paradigma Paulus melalui pewahyuan Roh Kudus membukakan kita suatu paradigma yang bertolak belakang dari dunia. Ketika dunia mengutuk tubuh, Allah Trinitas yang adalah Allah sejati menghargai tubuh dan mengharuskan umat pilihan-Nya menghargai tubuh mereka sebagai pemberian Allah yang harus dipertanggungjawabkan kelak di hadapan Allah. Jadi, tanda dari seorang hamba kebenaran selanjutnya adalah menyerahkan tubuh kita untuk dipakai bagi kemuliaan Allah.

Hari ini, setelah kita merenungkan kelima ayat ini, adakah hati kita tergerak untuk menyerahkan tubuh dan jiwa kita bagi kemuliaan-Nya ? Adakah kita berkomitmen untuk tidak lagi menggemari dosa, tetapi sebaliknya menggemari Firman Allah dan Kebenarannya ? Itulah citra diri hamba Kebenaran yang telah ditebus Kristus dari hidup yang sia-sia. Soli Deo Gloria. Amin.

Matius 9:14-17: THE OLD AND THE NEW

Ringkasan Khotbah : 12 Juni 2005

The Old & The New
oleh: Pdt. Sutjipto Subeno, M.Div.

Nats: Mat. 9: 14-17; 2 Kor. 5: 15-17



Pada bagian penutup dari sub tema separated atau pemisahan ini telah kita pahami bahwa pertanyaan para pengikut Yohanes Pembaptis dan orang Farisi tentang hal puasa sebenarnya bukan karena mereka ingin mengerti tentang konsep puasa tapi karena mereka merasa terganggu melihat para murid Tuhan Yesus tidak menjalankan puasa. Orang Farisi dan umumnya orang Yahudi bangga sebab tidak pernah satu kali pun mereka melewatkan ritual agama yang salah satunya mewajibkan untuk puasa hari Senin dan Kamis. Berbeda halnya kalau kita menjadi murid Kristus maka yang menjadi kebahagiaan dan kebanggaan itu karena Tuhan berkenan menjadikan kita sebagai sahabat mempelai laki-laki. Dalam hal ini ada kesenjangan pemikiran antara orang Farisi dan para pengikut Yohanes Pembaptis dengan pemikiran Kristus dan itulah yang menjadi tujuan atau inti dari perikop ini, yaitu pemisahan (dari bahasa Ibrani, kadosh) yang membedakan antara bagian yang lama dengan bagian yang baru.
Dari ilustrasi tentang kain tua – kain baru dan anggur tua – kirbat baru sebenarnya Tuhan Yesus ingin supaya mereka berubah menjadi ciptaan baru, ternyata tidak semudah itu sebab manusia tidak suka dengan perubahan. Manusia enggan merubah hal-hal yang sifatnya esensi atau khususnya yang menyangkut dirinya. Hati-hati inilah yang menjadi tujuan iblis, yakni supaya manusia terus hidup dalam dosa. Orang lebih suka melakukan reparasi daripada harus membongkar total segala sesuatu yang menyangkut dirinya. Akibatnya manusia kemudian mengkombinasikan antara format lama dan format baru dan terbentuklah format religiusitas manusia. Hal-hal yang menyebabkan manusia sukar untuk berubah adalah:
1. Status quo atau kemapanan
Orang yang dipisahkan untuk hidup kudus maka ia tidak hidup dalam status quo tetapi berada dalam posisi dinamis namun meskipun dinamis, ia tidak akan mudah diombang-ambingkan oleh godaan iblis karena Tuhan akan menjaga sehingga orang mempunyai akar iman yang kuat. Orang yang berada dalam kebenaran sejati pasti tidak akan mempertahankan sifat keberdosaan yang ada dalam dirinya berbeda dengan orang berdosa yang selalu ingin hidup dalam dosa, ia ingin mempertahankan apa yang sudah menjadi kebiasaan hidupnya yang lama padahal hidup yang lama itu rusak. Sungguh merupakan suatu anugerah kalau Tuhan masih berkenan memperlakukan kita sebagai anak yang menghajar orang yang dikasihi-Nya. Jadi, yang menjadi masalah bukan pada puasanya tetapi esensi iman. Maka tidaklah heran kalau orang yang mau hidup taat pada pimpinan Kristus itu menjadi minoritas. Orang yang hidup dalam status quo akan merasa nyaman karena mayoritas sehingga merasa dirinya senasib, benarkah demikian? Ternyata tidak karena kemudian orang masuk dalam kondisi lain yang lebih menakutkan, yakni:

2. Paranoia atau ketakutan
Perasaan aman dan nyaman akan terus dirasakan selama masih mayoritas tetapi ketika muncul satu saja orang yang hidup benar maka itu sanggup membuat yang mayoritas terusik. Orang mulai merasa terancam akibatnya orang mulai merancangkan hal-hal yang jahat untuk menyingkirkan bahkan menghancurkan yang minoritas tersebut. Status quo ternyata tidak menjadikan mereka aman meskipun sudah mayoritas. Hal seperti ini bukan baru terjadi sekarang tetapi terjadi juga di jaman Tuhan Yesus. Kalau dibandingkan dengan para murid Yohanes Pembaptis dan masih ditambah dengan orang Farisi dan orang Yahudi lain maka murid Tuhan Yesus hanyalah minoritas namun sanggup membuat yang mayoritas terancam akibatnya mereka kemudian memusuhi Tuhan Yesus dan para murid. Paranoia dosa membuat orang cemas ketika melihat setitik kebenaran padahal ketakutan itu sangatlah tidak beralasan. Inilah jiwa manusia berdosa. Orang paling tidak suka kalau harus dipisahkan antara benar dan salah maka kondisi paranoia ini membawa kita pada penghancuran sifat negatif manusia sampai pada titik puncak, yakni:

3. Self destruction atau penghancuran diri
Para murid Yohanes Pembaptis dan orang Farisi sebenarnya menyadari kalau dalam seluruh aspek hidup-Nya Tuhan Yesus tidak bersalah namun toh mereka tetapi ingin menghancurkan- Nya karena satu hal, yaitu Kristus menyatakan kebenaran. Bukankah sekarang juga demikian dimana setiap anak Tuhan sejati selalu dimusuhi dunia karena mereka menyatakan kebenaran. Sebelum Paulus bertobat, ia juga melakukan hal yang sama, ia membunuh orang yang menamakan diri “kelompok jalan Tuhan“ karena mereka hidup suci dan benar, mereka percaya Kristus. Separasi atau pemisahan ini menghasilkan jiwa penghancuran dalam diri manusia. Bukan sebaliknya, tidak pernah ada kejadian murid Tuhan Yesus yang mengejar-ngejar orang Farisi, bukan? Puji Tuhan, anugerah Tuhan memanggil Paulus untuk bertobat dan ia pun menyadari kalau ia telah salah menilai Kristus, ia menilai dengan menggunakan standar manusia. Dalam sejarah hanya satu kali saja Kekristenan memasuki jaman kegelapan, yaitu pada jaman perang salib tapi secara totalitas, Kekristenan selalu dimusuhi karena orang Kristen hidup benar dan suci. Tuhan tidak pernah mengajarkan pengrusakan diri oleh diri itulah sebabnya Kekristenan sangat menentang ajaran yang mensahkan orang untuk bunuh diri sebab Kekristenan justru mempunyai jiwa membangun.
Inilah paparan dunia berdosa maka tidaklah salah kalau Tuhan memberikan ilustrasi tentang kain tua dan kirbat tua yang akan menjadi hancur maka satu-satunya cara supaya manusia tidak menjadi hancur dan akhirnya dibuang, yaitu manusia harus kembali pada prinsip kebenaran sejati, yakni menjadi ciptaan baru dengan demikian kita dapat hidup:
Pertama, Memuliakan Tuhan
Dunia selalu berusaha mencampurkan antara kebenaran dan kejahatan atau yang kita kenal dengan konsep Yin Yang, yaitu hitam dan putih bercampur, di dalam kebaikan maka di sana ada kejahatan dan di dalam kejahatan maka di sana kebaikan. Namun semua itu tetap tidak menyelesaikan masalah. Kalau benar orang melakukan konsep Yin Yang seharusnya ia tidak marah dan kesal ketika orang melakukan kejahatan terhadap dirinya karena konsep Yin Yang mengajarkan meski jahat toh masih ada kebaikan di dalamnya. Perhatikan, orang yang memegang konsep Yin Yang justru disana ada jiwa balas dendam yang paling besar. Jadi, terbukti bahwa kebaikan dan kejahatan tidak dapat dicampur; separasi adalah separasi dimana kita dapat memposisikan dengan tepat kebenaran dan kejahatan kalau sudah dipisahkan. Sesuatu yang di dalamnya sudah mengandung unsur destruktif atau penghancuran maka akan sulit dikembalikan pada kebenaran, layaknya sebuah kain tua akan bertambah rusak kalau ditambal dengan kain baru yang belum susut. Andai, kain tua ini dapat berkata-kata pada tuannya maka ia pasti akan memohon untuk disimpan saja bukan diperbaiki karena perbaikan itu malah menghancurkannya dan akhirnya dibuang. Kalau kita mengerti konsep ini maka hidup ini akan menjadi lebih indah.
Sesungguhnya, manusia sadar kalau dirinya berdosa sehingga ia berusaha mereparasi namun manusia tidak menyadari bahwa reparasi itu justru semakin menghancurkan hidupnya. Tuhan Yesus mengajarkan kain baru untuk kain baru begitu juga anggur baru hanya untuk kirbat baru. Iman Kristen tidak menyelesaikan masalah hanya di permukaan saja, iman Kristen tidak tambal sulam, yakni barang bagus dikenakan ke barang yang sudah rapuh dan tua. Tidak! Akan lebih mudah merawat bagian dahan sebuah pohon yang akarnya masih baik bayangkan, kalau akarnya yang rusak maka tidak ada cara lain selain dicabut dan dibuang. Maka bukan tanpa alasan kalau Firman Tuhan melarang kita untuk tidak menjadikan orang yang tidak seiman sebagai pasangan hidup. Kalau beda karakter atau beda hobi masih memungkinkan untuk diselesaikan namun kalau beda iman maka celakalah hidup kita. Tuhan Yesus menegaskan bahwa konsep Yudaisme tidak dapat digabung dengan konsep Kekristenan. Hidup mengikut Kristus bukan mencampur format lama dengan format baru tetapi kita harus menjadi ciptaan baru karena yang lama sudah berlalu dan yang baru sudah datang. Dengan demikian hidup kita memuliakan nama Tuhan.
Kedua, Menjadi Berkat
Orang Farisi mengkritik murid Tuhan Yesus bukan bertujuan untuk menumbuhkan iman rohani mereka tapi itu dilakukan demi untuk menguntungkan diri sendiri. Orang Farisi dan murid-murid Yohanes Pembaptis merasa terganggu dengan keberadaan murid Yesus yang tidak puasa justru di saat mereka sedang puasa. Mereka menuntut murid-murid Yesus untuk toleran namun ironisnya, mereka tidak menuntut diri sendiri untuk toleran. Jikalau kita berbuat hal yang sama maka kita perlu mengevaluasi diri sebenarnya kita yang salah karena kita tidak mempunyai jiwa yang altruistik. Kristus mengajar dan sekaligus mempraktekkan ajaran-Nya dan Ia telah menjadi berkat bagi orang-orang di sekeliling-Nya, Ia mau mati untuk musuh-musuh-Nya. Jiwa Kekristenan seperti inilah yang seharusnya dimunculkan dalam diri setiap anak Tuhan yang sejati. Dunia ingin menyelesaikan kebencian yang muncul dan telah menjadi paranoia ini dengan cara mengembangkan cinta kasih. Ternyata semua itu hanyalah mimpi, dunia tidak bisa mengasihi tetapi justru malah saling membenci dan menyakiti satu dengan yang lain karena masalahnya bukan pada pada benci tapi egois. Kontras sekali manusia tidak mau menyelesaikan egoisnya bahkan mengembangkan egoisnya namun di satu sisi manusia mau menyelesaikan kebencian. Ironis sekali, bukan? Kebencian tanpa menyelesaikan egois maka yang terjadi adalah penuntutan, orang lain dituntut untuk menjadi sama seperti dirinya. Inilah dunia berdosa.
Marilah kita tengok sejenak kisah Supriono yang belakangan ini ramai dibicarakan di media. Supriono, seorang pemulung yang hidup di Jakarta, kemiskinan telah merenggut nyawa anaknya; ia tidak mampu mengobati anaknya yang sakit muntaber bahkan untuk menguburkan anaknya ia tidak mampu maka dengan cara digendong, ia membawa mayat anaknya naik kereta api dengan tujuan ke desa asalnya dengan harapan ada saudara yang akan membiayai penguburannya. Ternyata tidaklah semudah itu, orang yang curiga dengan kematian anaknya itu melaporkan ke polisi karena tidak biaya otopsi dan ia dapat memberikan penjelasan maka pihak rumah sakit memberikan surat keterangan dan membolehkannya pergi tanpa ada suatu tindakan yang dapat menolong meringankan bebannya. Maka digendongnya kembali mayat anaknya itu untuk dibawa ke desa. Pertanyaannya dimanakah rasa belas kasih dari orang-orang sekitarnya seperti pihak rumah sakit, kepolisian, orang-orang yang ada di kereta api? Manusia tidak lagi mempunyai hati yang peduli dan memperhatikan orang lain. Orang hanya peduli pada orang kalau ia menguntungkan dirinya. Kristus telah mati untuk kita bahkan ketika kita masih berdosa maka kesadaran ini harusnya menjadikan kita mempunyai jiwa yang mau berkorban. Kristus telah memberikan teladan indah, pertanyaannya sudahkah kita menjadi berkat bagi dunia?
Ketiga, Memandang dari sudut pandang Kristus
Hati-hati sebab kita seringkali melihat dunia dengan sudut pandang kita yang telah terdispersi. Orang yang menggambar hanya dengan menggunakan satu titik mata dimana titik mata diletakkan dekat dengan obyek benda maka terjadilah distorsi akibatnya gambar benda menjadi tidak jelas. Berbeda kalau kita memakai dua pandangan titik mata maka gambar akan terlihat lebih bagus dan lebih proporsional. Hal itu juga yang dilakukan oleh orang Farisi yang selalu melihat dari sudut pandang manusia, ia tidak pernah bertanya kenapa Tuhan Yesus mempunyai format demikian tentang puasa. Seorang direktur perusaahaan kalau ia mengendalikan perusahaan dari kepentingan dia sebagai pimpinan maka celakalah seluruh pekerjanya karena perusahaan itu menjadi tempat manipulasi yang hanya mementingkan diri sendiri. Seorang pemimpin yang bijaksana seharusnya mempunyai pandangan semesta, world view, yakni melihat dari kepentingan perusahaan dan pekerja secara total. Sayangnya pengertian world view ini telah disalah mengerti, sebab yang dimaksud dengan pandangan semesta disini ternyata hanyalah pandangan sempit yang mau memaksa dunia menurut pada apa yang menjadi pandangannya.
Alkitab menegaskan jangan mengukur segala sesuatu dari sudut pandang manusia tapi dari ukurlah dari sudut pandang Kristus dan menurut standar kebenaran Tuhan. Karena Dia sudah mati untuk semua orang, supaya mereka yang hidup, tidak lagi hidup untuk dirinya sendiri, tetapi untuk Dia, yang telah mati dan telah dibangkitkan untuk mereka (2Kor. 5:15). Hidup baru adalah orang yang hidup di dalam Kristus, ia melihat segala sesuatu dari sudut pandang Kristus, bukan untuk kepentingan kita tapi kepentingan Kristus dimana Kerajaan Allah diperluas di dunia. Kita yang mempunyai cara berpikir dan sudut pandang semesta mungkin akan menjadi minoritas di dunia, kita akan dibenci oleh dunia namun jangan takut, sebab yang minoritas ini justru akan ditakuti oleh mayoritas sebab inilah separasi yang Tuhan inginkan karena kita memang berbeda dengan dunia. Amin.

(Ringkasan khotbah ini belum diperiksa oleh pengkhotbah)
Sumber: