18 March 2008

Matius 9:14-17: THE OLD AND THE NEW

Ringkasan Khotbah : 12 Juni 2005

The Old & The New
oleh: Pdt. Sutjipto Subeno, M.Div.

Nats: Mat. 9: 14-17; 2 Kor. 5: 15-17



Pada bagian penutup dari sub tema separated atau pemisahan ini telah kita pahami bahwa pertanyaan para pengikut Yohanes Pembaptis dan orang Farisi tentang hal puasa sebenarnya bukan karena mereka ingin mengerti tentang konsep puasa tapi karena mereka merasa terganggu melihat para murid Tuhan Yesus tidak menjalankan puasa. Orang Farisi dan umumnya orang Yahudi bangga sebab tidak pernah satu kali pun mereka melewatkan ritual agama yang salah satunya mewajibkan untuk puasa hari Senin dan Kamis. Berbeda halnya kalau kita menjadi murid Kristus maka yang menjadi kebahagiaan dan kebanggaan itu karena Tuhan berkenan menjadikan kita sebagai sahabat mempelai laki-laki. Dalam hal ini ada kesenjangan pemikiran antara orang Farisi dan para pengikut Yohanes Pembaptis dengan pemikiran Kristus dan itulah yang menjadi tujuan atau inti dari perikop ini, yaitu pemisahan (dari bahasa Ibrani, kadosh) yang membedakan antara bagian yang lama dengan bagian yang baru.
Dari ilustrasi tentang kain tua – kain baru dan anggur tua – kirbat baru sebenarnya Tuhan Yesus ingin supaya mereka berubah menjadi ciptaan baru, ternyata tidak semudah itu sebab manusia tidak suka dengan perubahan. Manusia enggan merubah hal-hal yang sifatnya esensi atau khususnya yang menyangkut dirinya. Hati-hati inilah yang menjadi tujuan iblis, yakni supaya manusia terus hidup dalam dosa. Orang lebih suka melakukan reparasi daripada harus membongkar total segala sesuatu yang menyangkut dirinya. Akibatnya manusia kemudian mengkombinasikan antara format lama dan format baru dan terbentuklah format religiusitas manusia. Hal-hal yang menyebabkan manusia sukar untuk berubah adalah:
1. Status quo atau kemapanan
Orang yang dipisahkan untuk hidup kudus maka ia tidak hidup dalam status quo tetapi berada dalam posisi dinamis namun meskipun dinamis, ia tidak akan mudah diombang-ambingkan oleh godaan iblis karena Tuhan akan menjaga sehingga orang mempunyai akar iman yang kuat. Orang yang berada dalam kebenaran sejati pasti tidak akan mempertahankan sifat keberdosaan yang ada dalam dirinya berbeda dengan orang berdosa yang selalu ingin hidup dalam dosa, ia ingin mempertahankan apa yang sudah menjadi kebiasaan hidupnya yang lama padahal hidup yang lama itu rusak. Sungguh merupakan suatu anugerah kalau Tuhan masih berkenan memperlakukan kita sebagai anak yang menghajar orang yang dikasihi-Nya. Jadi, yang menjadi masalah bukan pada puasanya tetapi esensi iman. Maka tidaklah heran kalau orang yang mau hidup taat pada pimpinan Kristus itu menjadi minoritas. Orang yang hidup dalam status quo akan merasa nyaman karena mayoritas sehingga merasa dirinya senasib, benarkah demikian? Ternyata tidak karena kemudian orang masuk dalam kondisi lain yang lebih menakutkan, yakni:

2. Paranoia atau ketakutan
Perasaan aman dan nyaman akan terus dirasakan selama masih mayoritas tetapi ketika muncul satu saja orang yang hidup benar maka itu sanggup membuat yang mayoritas terusik. Orang mulai merasa terancam akibatnya orang mulai merancangkan hal-hal yang jahat untuk menyingkirkan bahkan menghancurkan yang minoritas tersebut. Status quo ternyata tidak menjadikan mereka aman meskipun sudah mayoritas. Hal seperti ini bukan baru terjadi sekarang tetapi terjadi juga di jaman Tuhan Yesus. Kalau dibandingkan dengan para murid Yohanes Pembaptis dan masih ditambah dengan orang Farisi dan orang Yahudi lain maka murid Tuhan Yesus hanyalah minoritas namun sanggup membuat yang mayoritas terancam akibatnya mereka kemudian memusuhi Tuhan Yesus dan para murid. Paranoia dosa membuat orang cemas ketika melihat setitik kebenaran padahal ketakutan itu sangatlah tidak beralasan. Inilah jiwa manusia berdosa. Orang paling tidak suka kalau harus dipisahkan antara benar dan salah maka kondisi paranoia ini membawa kita pada penghancuran sifat negatif manusia sampai pada titik puncak, yakni:

3. Self destruction atau penghancuran diri
Para murid Yohanes Pembaptis dan orang Farisi sebenarnya menyadari kalau dalam seluruh aspek hidup-Nya Tuhan Yesus tidak bersalah namun toh mereka tetapi ingin menghancurkan- Nya karena satu hal, yaitu Kristus menyatakan kebenaran. Bukankah sekarang juga demikian dimana setiap anak Tuhan sejati selalu dimusuhi dunia karena mereka menyatakan kebenaran. Sebelum Paulus bertobat, ia juga melakukan hal yang sama, ia membunuh orang yang menamakan diri “kelompok jalan Tuhan“ karena mereka hidup suci dan benar, mereka percaya Kristus. Separasi atau pemisahan ini menghasilkan jiwa penghancuran dalam diri manusia. Bukan sebaliknya, tidak pernah ada kejadian murid Tuhan Yesus yang mengejar-ngejar orang Farisi, bukan? Puji Tuhan, anugerah Tuhan memanggil Paulus untuk bertobat dan ia pun menyadari kalau ia telah salah menilai Kristus, ia menilai dengan menggunakan standar manusia. Dalam sejarah hanya satu kali saja Kekristenan memasuki jaman kegelapan, yaitu pada jaman perang salib tapi secara totalitas, Kekristenan selalu dimusuhi karena orang Kristen hidup benar dan suci. Tuhan tidak pernah mengajarkan pengrusakan diri oleh diri itulah sebabnya Kekristenan sangat menentang ajaran yang mensahkan orang untuk bunuh diri sebab Kekristenan justru mempunyai jiwa membangun.
Inilah paparan dunia berdosa maka tidaklah salah kalau Tuhan memberikan ilustrasi tentang kain tua dan kirbat tua yang akan menjadi hancur maka satu-satunya cara supaya manusia tidak menjadi hancur dan akhirnya dibuang, yaitu manusia harus kembali pada prinsip kebenaran sejati, yakni menjadi ciptaan baru dengan demikian kita dapat hidup:
Pertama, Memuliakan Tuhan
Dunia selalu berusaha mencampurkan antara kebenaran dan kejahatan atau yang kita kenal dengan konsep Yin Yang, yaitu hitam dan putih bercampur, di dalam kebaikan maka di sana ada kejahatan dan di dalam kejahatan maka di sana kebaikan. Namun semua itu tetap tidak menyelesaikan masalah. Kalau benar orang melakukan konsep Yin Yang seharusnya ia tidak marah dan kesal ketika orang melakukan kejahatan terhadap dirinya karena konsep Yin Yang mengajarkan meski jahat toh masih ada kebaikan di dalamnya. Perhatikan, orang yang memegang konsep Yin Yang justru disana ada jiwa balas dendam yang paling besar. Jadi, terbukti bahwa kebaikan dan kejahatan tidak dapat dicampur; separasi adalah separasi dimana kita dapat memposisikan dengan tepat kebenaran dan kejahatan kalau sudah dipisahkan. Sesuatu yang di dalamnya sudah mengandung unsur destruktif atau penghancuran maka akan sulit dikembalikan pada kebenaran, layaknya sebuah kain tua akan bertambah rusak kalau ditambal dengan kain baru yang belum susut. Andai, kain tua ini dapat berkata-kata pada tuannya maka ia pasti akan memohon untuk disimpan saja bukan diperbaiki karena perbaikan itu malah menghancurkannya dan akhirnya dibuang. Kalau kita mengerti konsep ini maka hidup ini akan menjadi lebih indah.
Sesungguhnya, manusia sadar kalau dirinya berdosa sehingga ia berusaha mereparasi namun manusia tidak menyadari bahwa reparasi itu justru semakin menghancurkan hidupnya. Tuhan Yesus mengajarkan kain baru untuk kain baru begitu juga anggur baru hanya untuk kirbat baru. Iman Kristen tidak menyelesaikan masalah hanya di permukaan saja, iman Kristen tidak tambal sulam, yakni barang bagus dikenakan ke barang yang sudah rapuh dan tua. Tidak! Akan lebih mudah merawat bagian dahan sebuah pohon yang akarnya masih baik bayangkan, kalau akarnya yang rusak maka tidak ada cara lain selain dicabut dan dibuang. Maka bukan tanpa alasan kalau Firman Tuhan melarang kita untuk tidak menjadikan orang yang tidak seiman sebagai pasangan hidup. Kalau beda karakter atau beda hobi masih memungkinkan untuk diselesaikan namun kalau beda iman maka celakalah hidup kita. Tuhan Yesus menegaskan bahwa konsep Yudaisme tidak dapat digabung dengan konsep Kekristenan. Hidup mengikut Kristus bukan mencampur format lama dengan format baru tetapi kita harus menjadi ciptaan baru karena yang lama sudah berlalu dan yang baru sudah datang. Dengan demikian hidup kita memuliakan nama Tuhan.
Kedua, Menjadi Berkat
Orang Farisi mengkritik murid Tuhan Yesus bukan bertujuan untuk menumbuhkan iman rohani mereka tapi itu dilakukan demi untuk menguntungkan diri sendiri. Orang Farisi dan murid-murid Yohanes Pembaptis merasa terganggu dengan keberadaan murid Yesus yang tidak puasa justru di saat mereka sedang puasa. Mereka menuntut murid-murid Yesus untuk toleran namun ironisnya, mereka tidak menuntut diri sendiri untuk toleran. Jikalau kita berbuat hal yang sama maka kita perlu mengevaluasi diri sebenarnya kita yang salah karena kita tidak mempunyai jiwa yang altruistik. Kristus mengajar dan sekaligus mempraktekkan ajaran-Nya dan Ia telah menjadi berkat bagi orang-orang di sekeliling-Nya, Ia mau mati untuk musuh-musuh-Nya. Jiwa Kekristenan seperti inilah yang seharusnya dimunculkan dalam diri setiap anak Tuhan yang sejati. Dunia ingin menyelesaikan kebencian yang muncul dan telah menjadi paranoia ini dengan cara mengembangkan cinta kasih. Ternyata semua itu hanyalah mimpi, dunia tidak bisa mengasihi tetapi justru malah saling membenci dan menyakiti satu dengan yang lain karena masalahnya bukan pada pada benci tapi egois. Kontras sekali manusia tidak mau menyelesaikan egoisnya bahkan mengembangkan egoisnya namun di satu sisi manusia mau menyelesaikan kebencian. Ironis sekali, bukan? Kebencian tanpa menyelesaikan egois maka yang terjadi adalah penuntutan, orang lain dituntut untuk menjadi sama seperti dirinya. Inilah dunia berdosa.
Marilah kita tengok sejenak kisah Supriono yang belakangan ini ramai dibicarakan di media. Supriono, seorang pemulung yang hidup di Jakarta, kemiskinan telah merenggut nyawa anaknya; ia tidak mampu mengobati anaknya yang sakit muntaber bahkan untuk menguburkan anaknya ia tidak mampu maka dengan cara digendong, ia membawa mayat anaknya naik kereta api dengan tujuan ke desa asalnya dengan harapan ada saudara yang akan membiayai penguburannya. Ternyata tidaklah semudah itu, orang yang curiga dengan kematian anaknya itu melaporkan ke polisi karena tidak biaya otopsi dan ia dapat memberikan penjelasan maka pihak rumah sakit memberikan surat keterangan dan membolehkannya pergi tanpa ada suatu tindakan yang dapat menolong meringankan bebannya. Maka digendongnya kembali mayat anaknya itu untuk dibawa ke desa. Pertanyaannya dimanakah rasa belas kasih dari orang-orang sekitarnya seperti pihak rumah sakit, kepolisian, orang-orang yang ada di kereta api? Manusia tidak lagi mempunyai hati yang peduli dan memperhatikan orang lain. Orang hanya peduli pada orang kalau ia menguntungkan dirinya. Kristus telah mati untuk kita bahkan ketika kita masih berdosa maka kesadaran ini harusnya menjadikan kita mempunyai jiwa yang mau berkorban. Kristus telah memberikan teladan indah, pertanyaannya sudahkah kita menjadi berkat bagi dunia?
Ketiga, Memandang dari sudut pandang Kristus
Hati-hati sebab kita seringkali melihat dunia dengan sudut pandang kita yang telah terdispersi. Orang yang menggambar hanya dengan menggunakan satu titik mata dimana titik mata diletakkan dekat dengan obyek benda maka terjadilah distorsi akibatnya gambar benda menjadi tidak jelas. Berbeda kalau kita memakai dua pandangan titik mata maka gambar akan terlihat lebih bagus dan lebih proporsional. Hal itu juga yang dilakukan oleh orang Farisi yang selalu melihat dari sudut pandang manusia, ia tidak pernah bertanya kenapa Tuhan Yesus mempunyai format demikian tentang puasa. Seorang direktur perusaahaan kalau ia mengendalikan perusahaan dari kepentingan dia sebagai pimpinan maka celakalah seluruh pekerjanya karena perusahaan itu menjadi tempat manipulasi yang hanya mementingkan diri sendiri. Seorang pemimpin yang bijaksana seharusnya mempunyai pandangan semesta, world view, yakni melihat dari kepentingan perusahaan dan pekerja secara total. Sayangnya pengertian world view ini telah disalah mengerti, sebab yang dimaksud dengan pandangan semesta disini ternyata hanyalah pandangan sempit yang mau memaksa dunia menurut pada apa yang menjadi pandangannya.
Alkitab menegaskan jangan mengukur segala sesuatu dari sudut pandang manusia tapi dari ukurlah dari sudut pandang Kristus dan menurut standar kebenaran Tuhan. Karena Dia sudah mati untuk semua orang, supaya mereka yang hidup, tidak lagi hidup untuk dirinya sendiri, tetapi untuk Dia, yang telah mati dan telah dibangkitkan untuk mereka (2Kor. 5:15). Hidup baru adalah orang yang hidup di dalam Kristus, ia melihat segala sesuatu dari sudut pandang Kristus, bukan untuk kepentingan kita tapi kepentingan Kristus dimana Kerajaan Allah diperluas di dunia. Kita yang mempunyai cara berpikir dan sudut pandang semesta mungkin akan menjadi minoritas di dunia, kita akan dibenci oleh dunia namun jangan takut, sebab yang minoritas ini justru akan ditakuti oleh mayoritas sebab inilah separasi yang Tuhan inginkan karena kita memang berbeda dengan dunia. Amin.

(Ringkasan khotbah ini belum diperiksa oleh pengkhotbah)
Sumber:

No comments: