04 September 2011

Resensi Buku-133: LETTING GOD BE JUDGE (Rev. Prof. Thomas J. Sappington, Th.D.)

Manusia diciptakan oleh Allah sebagai makhluk sosial yang harus bersosialisasi dengan orang lain. Ketika kita bersosialisasi dengan orang lain, tentu saja kita menilai orang lain, bahkan tidak jarang kita menghakimi orang lain ketika orang lain mengucapkan atau bertindak keliru. Entah itu di dalam keluarga, gereja, masyarakat, dll, kita menjumpai fenomena penghakiman tersebut. Bolehkah menghakimi?



Temukan jawabannya dalam:
Buku
LETTING GOD BE JUDGE:
Menghakimi Sesama, Menghakimi Diri Sendiri


oleh: Rev. Prof. Thomas J. Sappington, Th.D.

Penerbit: Yayasan ANDI, Yogyakarta, 2008

Penerjemah: Endah



Rev. Prof. Thomas J. Sappington, Th.D. di dalam bukunya Letting God be Judge memaparkan bahwa menghakimi orang lain adalah dosa dan dilarang oleh Alkitab. Dari tesis ini, di bab pertama, beliau memaparkan definisi menghakimi. Jika menghakimi tidak diperbolehkan di dalam Alkitab, apakah berarti kita tidak boleh menilai? Hal ini dibahas pada bab 2 yaitu perbedaan menilai secara Alkitabiah vs menghakimi yang tidak Alkitabiah dengan memberikan 8 pertanyaan kunci untuk mengukur apakah kita sedang menilai atau menghakimi. Setelah itu, beliau menguraikan tipe-tipe penghakiman yang tidak Alkitabiah, disusul di bab berikutnya (bab 4) tentang proses penghakiman tersebut. Kemudian, di bab 5, beliau memaparkan dampak negatif penghakiman yang tidak Alkitabiah tersebut bagi orang lain dan diri kita. Setelah itu, beliau memaparkan solusinya yaitu mematahkan kuasa penghakiman di bab 6 dan di bab 7, beliau memaparkan kesaksian nyata seorang yang telah mematahkan kuasa penghakiman di dalam hidupnya. Biarlah buku ini menjadi sebuah pembelajaran bagi kita agar tidak gegabah menghakimi.



Profil Dr. Thomas J. Sappington:
Rev. Prof. Thomas J. Sappington, Th.D. lahir di Brawley, California, U.S.A. pada tanggal 12 Oktober 1957. Beliau mengenal dan menerima Tuhan Yesus sebagai Juruselamat pribadinya sewaktu duduk di bangku SMP. Beliau menamatkan studi Bachelor of Arts (B.A.) dalam bidang Sosiologi di University of California, San Diego, U.S.A.; studi di Fuller Theological Seminary, Pasadena, California, U.S.A.; Master of Divinity (M.Div.) dengan predikat magna cumlaude di Trinity Evangelical Divinity School, Deerfield, Illinois, U.S.A.; dan Doctor of Theology (Th.D.) dalam bidang Perjanjian Baru di University of Toronto, Canada. Pada tahun 1993, beliau mulai melayani di Indonesia dan mulai melayani sebagai dosen tetap di Sekolah Tinggi Theologi Injili Indonesia (STII) Yogyakarta. Sejak saat itu, beliau mengajar program S-1, S-2 (M.Th.), dan S-3 (D.Min.) di STII Yogyakarta, program S-2 (M.A. Misiologi) di STII: Jakarta, Medan, dan Surabaya. Beliau menikah dengan Katy tanggal 15 Desember 1979 dan dikaruniai 3 orang anak: Chris, Joel, dan Amanda.

Bagian 10: "(KARENA ENGKAULAH YANG EMPUNYA KERAJAAN DAN KUASA DAN KEMULIAAN SAMPAI SELAMA-LAMANYA. AMIN.)"

TUHAN, AJARLAH KAMI BERDOA-10

(Seri Pengajaran Doa Bapa Kami):

(Karena Engkaulah yang empunya Kerajaan dan kuasa dan kemuliaan sampai selama-lamanya. Amin.)

(Mat. 6:13c)

oleh: Denny Teguh Sutandio

Kalau kita memperhatikan Alkitab terjemahan Indonesia, kalimat ini diberikan tanda kurung, karena memang dalam teks aslinya, kalimat ini tidak ada.[1] Namun demikian, meskipun kalimat ini tidak ada di dalam teks aslinya, kalimat ini tetap memiliki signifikansi bagi kita. Kalimat ini merupakan doksologi (pemujaan kepada Allah) penting di dalam suatu doa, karena melalui pencantuman kalimat ini, kita diajar suatu prinsip menarik tentang doa, yaitu doa yang berkenan di hadapan Allah adalah doa yang dimulai dan diakhiri dengan memuliakan nama-Nya. Bagaimana kita memuliakan nama-Nya di dalam doa? Di akhir kalimat Doa Bapa Kami, dikatakan bahwa karena Allah Bapa yang memiliki Kerajaan, kuasa, dan kemuliaan sampai selama-lamanya. Di sini, kita belajar 4 prinsip memuliakan Allah di dalam doa:

1. Melihat Allah (Bapa) Sebagai Raja yang Memerintah

Memuliakan Allah di dalam doa dimulai dari pengakuan dan kepercayaan bahwa Allah kita adalah Raja yang memerintah. Di dalam Alkitab khususnya Perjanjian Baru, kita diajar prinsip bahwa Kerajaan Allah bukan lagi mengenai tempat tertentu, tetapi suatu kondisi di mana Allah memerintah di sana.[2] Dan Kerajaan Allah dimulai di dalam Pribadi dan karya Kristus. Perhatikan apa yang Kristus firmankan sendiri, “Tetapi jika Aku mengusir setan dengan kuasa Allah, maka sesungguhnya Kerajaan Allah sudah datang kepadamu.” (Luk. 11:20; bdk. Mat. 12:28) Diberitakannya Kerajaan Allah identik dengan diberitakannya Pribadi dan karya Kristus.

Allah yang memerintah berarti Allah yang menetapkan standar hukum dan perintah untuk kita taati di dalam kasih. Namun, bagaimana dengan kita yang katanya mengaku percaya bahwa Allah itu memerintah? Benarkah Allah yang memerintah itu benar-benar memerintah hidup kita melalui firman-Nya yang menjadi standar/pedoman kita dalam berpikir, berkata, dan bertindak? Bukankah kita sering kali menjadikan diri kita yang menjadi pedoman kebenaran bagi diri kita sendiri? Biarlah ini menjadi introspeksi bagi kita.

2. Melihat Allah (Bapa) Sebagai Raja yang Berkuasa

Selain memerintah, Allah juga adalah Raja yang berkuasa atas segala sesuatu, termasuk hidup umat-Nya. Apa bedanya Allah yang memerintah dengan Allah yang berkuasa? Allah yang memerintah adalah Allah yang menetapkan standar hukum dan perintah untuk kita taati di dalam kasih; Allah yang berkuasa adalah Allah yang memiliki kuasa untuk menuntun dan mengubah hidup kita agar taat kepada Allah dan firman-Nya.[3] Di sini, kita belajar poin menarik tentang Allah kita yang Mahadahsyat itu. Allah kita bukan Allah yang menetapkan perintah baku yang membelenggu, tetapi Allah menetapkan perintah itu untuk kita taati di dalam kasih dan Ia juga yang menuntun kita untuk menaati firman-Nya itu melalui karya Roh Kudus yang melahirbarukan kita di dalam proses pengudusan. Allah yang sama juga berkuasa untuk menghukum mereka yang tidak taat.

Bandingkan Allah yang kita percayai dengan “Allah” yang dipercaya dalam agama-agama lain yang digambarkan sebagai sosok “Allah” yang memberi perintah melalui “nabi”-Nya dan membiarkan para pengikutnya menjalankan perintah-perintah-“Nya” itu dengan sendirinya (tanpa ada bantuan) ditambah hukuman bagi mereka yang tidak menjalankan. Dengan kata lain, di dalam agama ini, hanya ada tuntutan, perintah, dan hukuman yang membelenggu, sedangkan di dalam Kekristenan, kita menemukan keindahan yang tak tertandingi, ada perintah, tuntutan, namun juga ada kasih dan pertolongan Roh Kudus yang menuntun kita untuk menaati firman-Nya, namun tetap ada hukuman bagi kita yang tidak taat.

3. Melihat Allah (Bapa) Sebagai Raja yang Mulia

Karena Dia adalah Raja yang memerintah dan berkuasa, maka Dia juga disebut sebagai Raja yang mulia. Dia disebut mulia karena Dia pantas dimuliakan dan dipuji. Mengapa? Karena apa yang telah dikerjakan-Nya atas alam semesta dan manusia khususnya umat pilihan-Nya itu adalah tindakan yang super dahsyat yang hanya bisa dikerjakan oleh Allah yang berpribadi dan berdaulat. Jika Allah tidak berpribadi, mana mungkin Ia dapat mencipta manusia yang berpribadi? Jika Allah tidak berdaulat, mungkinkah Ia dapat mencipta alam semesta ini tanpa bertabrakan satu sama lain? Justru karena Dia berpribadi dan berdaulat, segala hal di alam semesta dan kehidupan umat-Nya dapat dijelaskan dengan tepat, meskipun tidak dapat dijelaskan dengan sempurna. Di sini, saya mengaitkan kemuliaan Allah dengan keagungan dan kedahsyatan karya Allah di dalam penciptaan, penebusan, dan penyempurnaan kelak.

4. Melihat Allah (Bapa) Sebagai Raja Selama-lamanya.

Seorang raja/presiden/kepala negara merupakan sosok yang memerintah, berkuasa, dan mulia, namun apakah yang membedakan Allah kita yang Mahadahsyat itu dengan para raja/presiden/dll? Perbedaan yang paling penting: Allah kita adalah Raja yang memerintah, berkuasa, mulia SAMPAI SELAMA-LAMANYA! Ada unsur kekekalan di dalam diri Allah sebagai Raja yang tak akan dapat disaingi oleh raja/presiden/kepala negara siapa pun di dunia ini! (bdk. Luk. 1:33; Rm. 9:5; 1Tim. 1:17)

Unsur kekekalan Allah sebagai Raja ini mengajar kita bahwa meskipun sosok raja dunia meninggal, percayalah Allah kita tidak akan pernah meninggal. Saya teringat akan apa yang dikatakan Yesaya di dalam Yesaya 6:1, “Dalam tahun matinya raja Uzia aku melihat Tuhan duduk di atas takhta yang tinggi dan menjulang, dan ujung jubah-Nya memenuhi Bait Suci.” Di sini, Yesaya langsung mengontraskan dua kekuasaan raja: raja Uzia yang telah mati vs Allah sebagai Raja yang tetap duduk di atas takhta yang tinggi dan menjulang (tidak mungkin bisa mati).

Melalui hal ini, kita mendapat penghiburan bahwa hanya Allah saja yang patut kita percayai, karena Ia tidak akan pernah bisa mati, digagalkan manusia, dll. Biarlah Allah itulah yang menjadi pusat hidup kita. Amin.



[1] English Standard Version (ESV), International Standard Version (ISV), New International Version (NIV), dan Revised Standard Version (RSV) tidak mencantumkan kalimat ini.

[2] Bdk. uraian “datanglah Kerajaan-Mu” di Matius 6:10.

[3] Allah bukan hanya mampu memerintah dengan berfirman, “Jadilah terang.” (Kej. 1:3), tetapi Ia sendiri mampu berkuasa menciptakan segala sesuatu dari yang tidak ada (misalnya terang itu sendiri). Dengan kata lain, Allah yang berkuasa meskipun dapat diidentikkan dengan Allah yang memerintah, namun Allah yang berkuasa sebenarnya lebih “tinggi” dan “luas” daripada Allah yang memerintah.