Pada bab ini, saya akan membagi ke dalam dua prinsip, pertama, prinsip pembentukan pola paradigma yang bertanggungjawab (theologia sistematika), dan kedua disusul dengan prinsip-prinsip penafsiran Alkitab sesuai dengan theologia sistematika yang telah disusun.
Pertama, kita akan membahas tentang pengajaran-pengajaran theologia sistematika sebelum kita masuk ke dalam prinsip mengerti Alkitab. Pengajaran theologia sistematika ini hanya mungkin diintegrasikan dengan cara penafsiran Alkitab yang bertanggungjawab ketika pengajaran ini dibangun di atas pengertian theologia Reformed yang konsisten.
1. Doktrin Alkitab (Bibliologi)
Di dalam theologia Reformed, Alkitab dipercaya adalah satu-satunya wahyu Allah yang tertinggi dan final (2 Timotius 3:16) yang tidak mungkin bersalah dalam naskah asli/autographa-nya (infallibility and inerrancy of the Bible). Hal ini berakar dari semboyan Reformasi dari Dr. Martin Luther, yaitu Sola Scriptura (hanya Alkitab). Theologia Reformed juga mempercayai bahwa Doktrin Alkitab (Bibliologi) sebagai Prolegomena atau doktrin yang mendasari semua doktrin Kristen. Jadi, semua pembahasan doktrin dari suatu arus theologia Kristen dilihat dari bagaimana arus theologia Kristen itu memandang Alkitab. Ketika kaum liberal mempercayai bahwa Alkitab itu murni buatan manusia, maka seluruh doktrin yang mereka bangun juga berdasarkan konsep kebersalahan Alkitab, sehingga tidak heran para pemuja “theologia” religionum/social “gospel” yang bersumber dari “theologia” liberal mendewakan humanisme dan kontekstualisasi yang salah agar kepercayaan Kristen dapat dikompromikan dengan mudah (menghilangkan esensi Kristen). Selain prolegomena, theologia Reformed juga mempercayai adanya suatu pengertian yang holistik dari Alkitab, di mana seluruh kitab-kitab di dalam Alkitab dari PL sampai dengan PB adalah kitab-kitab yang memberikan penjelasan yang menyeluruh dan saling melengkapi, sehingga ketika kita menemukan adanya kekurangjelasan dalam satu kitab tertentu, kita dapat membuka bagian kitab lainnya untuk mendapatkan penjelasannya. Ketika theologia Reformed memegang pendapat ini, maka jarang sekali para theolog Reformed membuat spekulasi theologia hanya dari satu bagian Alkitab, biasanya mereka akan mengintegrasikannya dengan seluruh berita di dalam kitab-kitab di dalam Alkitab. Untuk penjelasan bagian ini akan dijelaskan pada Bab 4 ini pada prinsip kedua.
2. Doktrin Allah
Tentang doktrin Allah, theologia Reformed dengan sangat konsisten mengajarkan prinsip kedaulatan Allah (the Sovereignty of God) dengan memegang prinsip bahwa segala sesuatu adalah dari Allah, oleh Allah dan bagi Allah saja kemuliaan sampai selama-lamanya (Roma 11:36). Oleh sebab itu, theologia Reformed dapat disebut sebagai theology from above yang berusaha melihat segala sesuatu BUKAN dari perspektif manusia berdosa, tetapi dari perspektif Allah di dalam Alkitab. Itu sebabnya, di dalam seluruh arus theologia Kristen, hanya theologia Reformed yang lebih mendekati Alkitab (tidak berarti theologia Reformed identik dengan Alkitab), karena kekonsistenan theologia Reformed dalam melihat segala sesuatu. Kalau ada orang “Kristen” yang tidak pernah belajar theologia sama sekali, lalu berani mengatakan bahwa theologia Reformed itu sombong dan tidak mengasihi, berhati-hatilah terhadap orang “Kristen” yang sok tahu ini. Kembali, mengapa theologia Reformed berani menegakkan kedaulatan Allah secara konsisten di dalam seluruh arus pemikirannya ? Karena hanya theologia Reformed melihat Allah sebagai Allah, Tuhan, Pencipta dan Pemilik seluruh alam semesta dan manusia adalah ciptaan-Nya yang hanya merupakan derivasi (turunan) dari atribut Allah yang dapat dikomunikasikan (communicable attribute), misalnya, adil, kasih, jujur, baik, dll. Allah adalah Tuhan yang memiliki dunia ini, sehingga Ia berdaulat dan berhak mengatur dan memimpin hidup manusia sesuai dengan apa yang dikehendaki-Nya. Di sini, posisi manusia hanya taat mutlak akan pimpinan-Nya. Perbedaan ini disebut oleh Pdt. Dr. Stephen Tong sebagai perbedaan kualitatif (qualitative difference). Perbedaan kualitatif ini memang bersumber dari Alkitab, tetapi hanya dapat digali oleh theologia Reformed. Oleh karena itu, tidak usah heran, banyak theolog atau hamba Tuhan yang bertheologia Injili (yang cenderung Arminian, lawan Reformed/Calvinisme) yang akhirnya dapat dengan mudah diperdaya oleh Gerakan Zaman Baru—GZB (New Age Movement) yang beridekan humanisme dan pantheisme, sehingga dengan berani mengajarkan bahwa di dalam diri manusia terkandung unsur positif, bahkan ada seorang pemimpin gereja Karismatik yang berani mengajarkan bahwa manusia adalah little gods (ilah-ilah kecil). Lalu, seorang direktur dari John Robert Power di Surabaya ternyata adalah seorang “penginjil” perempuan di sebuah gereja Karismatik “terbesar” di Surabaya. Mereka bisa masuk ke dalam racun GZB ini karena doktrin Allah mereka tidak kuat dan begitu kacau, karena mereka secara implisit mempercayai bahwa Allah bisa berubah atau mengubah rencana-Nya sesuai kondisi manusia.
3. Doktrin Manusia dan Dosa (Christian Antropology)
Theologia Reformed yang konsisten mengajarkan bahwa manusia itu diciptakan segambar dan serupa dengan Allah yang menurunkan sifat-sifat Allah yang kasih, suci, baik, adil, jujur, dll (atribut-atribut Allah yang dapat dikomunikasikan), sehingga manusia dapat berpotensi menjadi seperti Allah (tetapi tetap sebagai makhluk yang terbatas, diciptakan dan berdosa). Lalu, theologia Reformed mempercayai bahwa manusia itu terdiri dari tubuh dan jiwa (pandangan dikotomi), di mana kedua hal ini saling berhubungan dan menyatu. Ketika tubuh dan jiwa dipisahkan, maka manusia itu pasti mati. Tetapi saya sangat heran, ada seorang “pemimpin gereja” yang melakukan bisnis “minyak urapan” hobi “bersaksi” bahwa roh/jiwanya turun naik “surga” (tentu, terlepas dari tubuhnya). Ini jelas tidak sesuai dengan prinsip Alkitab, jangan percaya akan hal yang aneh ini. Mengenai penjelasan pandangan dikotomi, Anda dapat membaca sendiri buklet Doktrin Manusia dan Dosa yang ditulis oleh Pdt. Thomy J. Matakupan dan Ev. Julio Kristano (Momentum, 2005). Kembali, di dalam theologia Reformed yang mempercayai ketidakbersalahan Alkitab secara konsisten, manusia yang telah diciptakan segambar dan serupa dengan Allah ini telah jatuh ke dalam dosa dan dosa ini mengakibatkan seluruh potensi diri manusia menjadi rusak total (Total Depravity), sehingga tidak ada satu inci diri manusia yang tidak berdosa (Roma 3:23). Dosa inilah mengakibatkan hubungan antara manusia dengan Allah terputus, begitu pula hubungan antara manusia dengan alam, binatang dan sesama manusia juga terputus. Tidak heran, di dalam dunia ini muncul berbagai macam masalah, mulai dari timbulnya penyakit yang aneh, bencana banjir, tanah longsor, tsunami, dll, itu semua akibat dosa. Tetapi tidak berarti setiap penyakit, bencana alam pasti dari dosa. Yang saya maksudkan adalah dosa mengakibatkan penyakit, bencana alam, dll. Dosa ini dapat dibagi menjadi dua bagian, yaitu dosa asal (original sin) yang diwariskan dari Adam (Roma 5:12-14), lalu ada dosa aktual, yaitu dosa yang kita kerjakan sendiri. Dalam kondisi ini, manusia hanya memiliki satu kecenderungan : tidak bisa tidak berdosa (artinya ingin terus-menerus berdosa).
4. Doktrin Keselamatan (Soteriologi)
Konsep anugerah adalah konsep utama yang telah ditegakkan dari Paulus, Bapa gereja Augustinus, Dr. Martin Luther sampai John Calvin dan mempengaruhi semua theologia Reformasi dan Reformed. Di dalam hal ini, John Calvin, dengan memegang prinsip dari Paulus, menegakkan konsep kedaulatan Allah lah yang dengan lebih tepat mengartikan konsep hanya anugerah (sola gratia) ketimbang Luther. Mengapa ? Karena di dalam theologia Reformed, konsep anugerah langsung dikaitkan dengan kedaulatan Allah, sebaliknya di dalam theologia Reformasi agak kurang menekankan kaitan anugerah Allah dengan kedaulatan Allah, sehingga beberapa gereja Lutheran mulai mengkompromikan theologia mereka dengan theologia Injili yang Arminian. Mengapa menurut saya, theologia Reformed saja yang lebih tepat memahami anugerah Allah ? Karena hanya theologia Reformed mengaitkan konsep kedaulatan Allah dengan anugerah Allah ditambah ketidakmampuan manusia secara total, sehingga manusia pasti membutuhkan-Nya. Konsep anugerah ini jelas mempengaruhi doktrin keselamatan dan kehidupan Kristen sehari-hari. Di dalam doktrin keselamatan, theologia Reformed mempercayai bahwa sebelum dunia dijadikan, Allah telah memilih kita tanpa memandang jasa baik kita, tetapi murni atas kerelaan kehendak-Nya yang berdaulat (Efesus 1:3-6). Lalu, setelah Allah memilih kita untuk menerima keselamatan yang telah direncanakan-Nya, Bapa mengutus Putra untuk menggenapkan karya keselamatan itu dengan mati di kayu salib untuk menebus dosa manusia, kemudian Roh Kudus diutus untuk menyempurnakan karya keselamatan itu dengan mengefektifkan karya penebusan Kristus ke dalam hati setiap umat pilihan-Nya dengan memberikan iman di dalam Kristus. Hanya theologia Reformed yang konsisten mengajarkan peranan setiap Allah Tritunggal di dalam proses keselamatan. Lalu, Allah yang memulai keselamatan ini akan menjaga umat pilihan-Nya sampai akhir sehingga mereka tidak pernah mungkin dapat meninggalkan Kristus untuk selama-lamanya. Konsep ini jelas konsisten dengan seluruh berita Alkitab (Yohanes 3:16 ; 6:40,44,47 ; 10:27-30 ; Roma 8:33-35). Tetapi herannya konsep ini ditolak mentah-mentah oleh theologia Injili yang cenderung Arminian dan juga theologia Katolik Roma yang mengatakan bahwa ketika orang tersebut murtad, maka keselamatannya bisa hilang. Ini jelas tidak konsisten, mengapa ? Kembali, problematika kekekalan keselamatan berkaitan erat dengan kekekalan diri Allah dan pemeliharaan-Nya. Kalau pandangan Arminian yang mengatakan bahwa keselamatan umat pilihan Allah bisa hilang akibat murtad itu adalah pandangan yang “benar”, maka kaum Arminian secara implisit ingin mengajarkan konsep Deisme (yang mengajarkan bahwa setelah Allah menciptakan dunia ini, maka Ia tidak memelihara dunia ini) dan dengan jelas merendahkan posisi Allah di bawah posisi manusia yang “berotoritas”. Mengapa demikian ? Karena dengan mengatakan bahwa keselamatan umat pilihan Allah bisa hilang, otomatis sedang menghina Allah bahwa Ia tak sanggup lagi berbuat apa-apa terhadap keselamatan umat pilihan-Nya ketika mereka memilih untuk murtad. Ini tentu bukan Allah sejati tetapi “ilah” buatan para theolog Arminian dan Katolik yang tidak lebih dari suatu idealisme utopia yang tidak pernah diajarkan oleh Alkitab, tetapi mirip seperti pandangan L. Feuerbach bahwa “Allah” itu diciptakan menurut gambar dan rupa manusia. Di dalam kehidupan Kristen sehari-hari, konsep anugerah harus menjadi konsep yang tertanam di dalam hati dan pikiran kita, sehingga apapun yang telah Ia berikan kepada kita baik itu kepintaran, kemampuan berbicara, dll, itu murni adalah anugerah Allah, lalu pergunakanlah itu hanya bagi kemuliaan-Nya saja.
5. Doktrin Kristus (Kristologi)
Theologia Reformed mengikuti pandangan dari Rasul Paulus sendiri (Roma 1:3-4), para bapa gereja yang setia, Luther dan John Calvin memegang pernyataan bahwa Kristus itu bernatur 100% Allah dan 100% manusia (dwi natur/dua sifat di dalam satu Pribadi Kristus yang tidak terbagi, terpecah, tercampur). Hal ini telah dirumuskan dalam pengakuan iman gerejawi yang bertanggungjawab, baik Chalcedon, dll. Tetapi yang agak berbeda, theologia Reformed memiliki pandangan lain terhadap pribadi Kristus yang tidak dianut oleh arus theologia Kristen apapun, yaitu Kristus itu sebagai Nabi, Imam dan Raja. Sebagai Nabi (di atas segala nabi), Ia memberitakan firman Allah tentang kerajaan Allah kepada manusia dan kedatangan-Nya membuktikan Kerajaan Allah telah hadir di bumi ini (Kerajaan Allah pada waktu sekarang/yang telah ditegakkan), sebagai Imam (di atas segala imam), Ia mengorbankan diri-Nya sendiri sebagai penebusan dosa bagi umat manusia yang berdosa (Ia berbeda dengan para imam di dalam Perjanjian Lama yang mengorbankan binatang sebagai korban penebus dosa) dan sebagai Raja, Ia memerintah alam semesta ini sebagai Tuhan yang berdaulat dan berkuasa penuh (Matius 28:18) serta Ia akan datang kembali untuk kedua kalinya untuk mendirikan Kerajaan-Nya (Kerajaan Allah yang akan datang).
6. Doktrin Roh Kudus (Pneumatologi)
Roh Kudus BUKAN Kuasa Allah, tetapi Roh Kudus adalah Pribadi Allah sendiri yaitu Oknum/Pribadi Ketiga dari Allah Trinitas. Di dalam ordo/urutan keselamatan, Roh Kudus berfungsi mengefektifkan karya penebusan Kristus ke dalam hati setiap umat pilihan-Nya sehingga mereka bisa percaya di dalam Kristus dan bertobat. Tanpa ada karya Roh Kudus ini, tak mungkin manusia dapat beriman dan mengaku Kristus sebagai Tuhan (1 Korintus 12:3). Menghujat Roh Kudus sama halnya dengan menghujat fungsi dan peranannya, oleh karena itu tindakan ini tidak ada ampun (Matius 12:32). Lalu, theologia Reformed seperti Alkitab juga mempercayai bahwa Roh Kudus diutus untuk, “menginsafkan dunia akan dosa, kebenaran dan penghakiman” (Yohanes 16:8). Kalau ada orang yang berani mengajar tentang Roh Kudus, tetapi terlepas dari (bahkan bertentangan total dengan) prinsip ini, berhati-hatilah terhadap para pengajar itu, karena dapat dipastikan mereka adalah para pengajar palsu meskipun berjubah “Kristen” bahkan “pendeta” atau “pemimpin gereja”.
7. Doktrin Gereja (Ekklesiologi)
Gereja bukanlah gedungnya, tetapi orang-orangnya. Jadi, ketika orang-orang Kristen disebut Bait Roh Kudus/Allah (1 Korintus 3:16), maka gereja yang merupakan kumpulan orang-orang pilihan Allah pun dapat disebut Bait Allah tetapi dengan pengertian theologis. Kalau gereja bukanlah gedungnya, maka kita tidak perlu berlomba-lomba membangun gedung gereja sebagus dan semewah mungkin, tetapi kita tidak perlu jatuh ke dalam ekstrim lainnya, yaitu membiarkan bangunan gereja tidak terawat, berdebu, bau, dll. Kedua hal itu sama-sama salah. Gereja dapat dibagi menjadi dua, yaitu, gereja yang kelihatan (visible church), gereja yang kelihatan dalam bentuk gedung, misalnya, GRII, GKA, GKRI, GKT, GKI, GBI, dll dan kedua, gereja yang tidak kelihatan (invisible church) yang meliputi semua orang Kristen sejati dari berbagai zaman, tempat dan kondisi. Lalu, kalau gereja adalah kumpulan orang-orang pilihan Allah, apakah berarti semua anggota gereja pasti diselamatkan ? Kalau gereja itu dalam pengertian gereja yang tidak kelihatan (orang-orang Kristen sejati), maka pasti diselamatkan, tetapi jika dalam pengertian keanggotaan formal gereja yang kelihatan, maka mereka belum tentu diselamatkan (karena banyak orang yang pergi ke gereja bahkan mengaku diri “melayani tuhan” terbukti bahwa mereka bukan termasuk umat pilihan Allah).
Di dalam doktrin gereja, theologia Reformasi dan Reformed menegaskan bahwa gereja yang sehat adalah gereja yang mengerjakan dua tugas yaitu mengajar doktrin dan melakukan sakramen (dalam hal ini, hanya dua, yaitu Perjamuan Kudus dan Baptisan Kudus saja). Khususnya, di dalam theologia Reformed, mandat gereja dibagi menjadi tiga, yaitu mandat theologis (mengajar doktrin kepada jemaat-jemaat gereja), mandat Injil (memberitakan Injil) dan mandat budaya (anak-anak Tuhan menjadi garam dan terang bagi masyarakat dunia di dalam setiap aspek hidup, baik politik, ekonomi, sosial, pendidikan, hukum, dll). Di dalam theologia Reformed, gereja-gereja Reformed menjalankan baptisan anak (infant baptism) dengan paradigma dasar bahwa baptisan bukan hal yang menyelamatkan, tetapi respon terhadap anugerah Allah yang mendahului iman seseorang. Prinsip ini konsisten di dalam seluruh Alkitab, di mana di dalam PL, Allah mengadakan perjanjian (covenant) melalui sunat sejak kecil (tanpa perlu mempertanyakan apakah anak kecil itu beriman dahulu atau belum), maka di dalam PB, perjanjian itu berupa baptisan. Selain itu, gereja-gereja Reformed memegang sistem pemerintahan gereja Presbyterial/Presbyterian. Prof. Dr. Louis Berkhof di dalam bukunya Teologi Sistematika : Doktrin Gereja mengungkapkan tentang sistem pemerintahan gereja Reformed ini,
Gereja Reformed tidak mengklaim bahwa sistem mereka mengenai pemerintahan Gereja ditentukan oleh setiap detilnya oleh Firman Tuhan, tetapi gereja Reformed menekankan bahwa prinsip dasarnya diperoleh secara langsung dari Alkitab. Mereka tidak mengklaim adanya jus divinum secara rinci, tetapi hanya untuk prinsip dasar yang umum saja dari sistem ini, dan mereka siap untuk mengakui bahwa banyak hal-hal khusus ditentukan oleh pertimbangan kebijaksanaan manusia...
Berikut ini kita lihat prinsip-prinsipnya yang paling mendasar :
1. Kristus adalah Kepala Gereja dan Sumber dari Segala Otoritas
...Reformed mempertahankan pendapat bahwa Kristus satu-satunya Kepala Gereja...
Alkitab mengajarkan kepada kita bahwa Kristus adalah Kepala atas segala sesuatu. Ia adala hTuhan dari alam semesta, bukan sekedar sebagai Pribadi kedua dalam Tritunggal, tetapi jjuga dalam keadaan-Nya sebagai Pengantara, Mat 28:18 ; Ef 1:20-22 ; Flp 2:10,11 ; Why 17:14 ; 19:16.Dalam pengertian yang sangat khusus, Ia adalah Kepala Gereja di mana Gereja adalah tubuh-Nya...Alkitab dengan jelas mengajarkan bahwa Kristus adalah Kepala Gereja, bukan saja dalam hubungannya yang vital dengan Gereja, tetapi juga sebagai Legislator dan Raja. Dalam pengertian organik dan vital, Ia adalah Kepala yang utama, walaupun tidak secara eksklusif, dari Gereja yang tidak nampak yang membentuk tubuh-Nya secara spiritual. Ia juga kepala bagi Gereja yang nampak bukan hanya dalam pengertian organik saja, tetapi juga dalam pengertian bahwa Ia adalah pemegang otoritas dan memerintah atasnya, Mat 16:18,19 ; 23:8,10 ; Yoh 13:13 ; 1 Kor 12:5 ; Ef 1:20-23 ; 4:4,5,11,12 ; 5:23,24...
2. Kristus Melaksanakan Otoritas-Nya dengan Memakai Firman Kerajaan-Nya.
Pemerintahan Kristus tidaklah persis sama dengan pemerintahan raja-raja dunia. Ia tidak memerintah Gereja dengan paksaan, tetapi secara subjektif melalui Roh-Nya yang bekerja dalam Gereja dan secara objektif melalui Firman Tuhan sebagai standar otoritas... Karena Kristus adalah satu-satunya Penguasa Gereja yang berdaulat, maka firman-Nya adalah satu-satunya hukum dalam arti yang paling mutlak. Karena itu semua kekuasaan tiranis tidak boleh ada dalam Gereja...
3. Kristus sebagai Raja Melimpahkan Kekuasaan kepada Gereja.
...sebagai tambahan para pejabat Gereja menerima suatu kuasa yang diperlukan oleh mereka untuk melaksanakan tugas mereka dalam Gereja milik Kristus. Mereka memiliki kuasa yang umum yang dilimpahkan kepada Gereja, dan juga menerima otoritas dan kuasa sebagai pejabat langsung dari Kristus. Mereka adalah wakil, bukan sekedar sebagai pelaksana atau delegasi dari jemaat...
4. Kristus Memperlengkapi para Pelaksana yang Ditunjuk untuk Melaksanakan Hal-hal Khusus.
Kendatipun Kristus memberikan kuasa kepada Gereja secara keseluruhan, Ia juga menghendaki agar pelaksanannya dilakukan oleh orang-orang tertentu secra khusus. Mereka harus memelihara doktrin, ibadah dan disiplin. Para pejabat Gereja adalah wakil bagi umat yang dipilih berdasarkan pemungutan suara. Tetapi, bukan berarti bahwa mereka menerima otoritas dari umat. Sebab panggilan ini adalah panggilan batiniah yang diberikan oleh Tuhan sendiri. Dari Tuhan juga para pejabat itu menerima otoritas, dan kepada-Nya mereka harus bertanggungjawab...
5. Kekuatan Gereja Terutama Terletak pada Pemerintahan dalam Gereja Lokal.
... (Berkhof, 1997, pp. 57-63)
8. Doktrin Akhir Zaman (Eskatologi)
Terakhir, theologia Reformed memegang konsep Amillenialisme di dalam doktrin Akhir Zamannya. Di mana, pernyataan “Kerajaan 1000 Tahun” bukan dimengerti secara harafiah, tetapi simbolis. Oleh karena itu, theologia Reformed sangat berhati-hati dalam menafsirkan Kitab Wahyu, karena kitab ini berisikan simbol-simbol yang ditulis oleh Rasul Yohanes untuk dikirimkan kepada jemaat-jemaat Kristen yang mengalami penganiayaan. Di dalam Doktrin Akhir Zaman, Prof. Anthony A. Hoekema, Th.D. membagi dua konsep kerajaan Allah dan Eskatologi yaitu Kerajaan Allah dan Eskatologi yang telah ditegakkan dan Kerajaan Allah dan Eskatologi yang akan datang. Inilah paradoksikal di dalam iman Kristen yang sungguh iman. Kerajaan Allah yang telah ditegakkan adalah Kerajaan Allah yang hadir ketika Kristus berinkarnasi ke dalam dunia sampai Ia mati dan bangkit yang membuktikan kemenangan-Nya atas kuasa dosa, iblis dan maut, lalu Kerajaan Allah ini terus berlangsung sampai akhir (Kerajaan Allah yang akan datang), di mana anak-anak-Nya akan menikmati berkat yang telah dijanjikan-Nya yaitu tidak ada air mata, tidak ada penyakit, dll. Konsep paradoks ini berimplikasi di dalam kehidupan Kristen yaitu mendorong kita untuk tidak terlena dalam menikmati berkat-berkat pemeliharaan Allah yang telah diberikan-Nya pada zaman sekarang, lalu mendorong kita juga untuk giat bagi pekerjaan Allah meskipun harus menderita aniaya, karena kita memiliki pengharapan yang pasti bahwa Allah pasti mengalahkan iblis dan dunia yang jahat ini.
Sebelum kita masuk ke dalam prinsip penafsiran Alkitab, kita perlu mengetahui cara mengintegrasikan prinsip-prinsip theologia sistematika dengan menafsirkan Alkitab ?
1. mempelajari theologia sistematika secara teliti sebagai dasar.
Dasar untuk mempelajari sekaligus menyelidiki Alkitab adalah mempelajari theologia sistematika yaitu sebuah sistematika (susunan) doktrin/ajaran atau theologia atau iman Kristen (merupakan anugerah Allah), misalnya doktrin Allah, Kristus, Roh Kudus, dll (sudah dijelaskan pada poin pertama di atas). Dasar ini harus dipakai untuk menyelidiki Alkitab. Kalau dasar ini sudah kacau dan tidak dibangun dengan pengertian iman yang beres, maka secara otomatis cara menafsirkan dan menyelidiki Alkitab pun akan semakin kacau (hal ini sudah dibahas pada Bab 2 dan 3).
2. theologia sistematika sebagai “kacamata” dan alat untuk mengadakan penyelidikan Alkitab (mengerti theologia Biblika).
Setelah kita mengetahui theologia sistematika sebagai dasar yang beres, kita harus memakai dasar ini untuk menyelidiki Alkitab. Misalnya, di dalam theologia Reformed/Calvinis, kita mempercayai adanya kedaulatan Allah, di mana Allah yang Berdaulat tidak mungkin dibatasi oleh waktu, berubah-ubah, dll (berbeda dengan doktrin Allah yang diajarkan oleh “theologia” Arminian/anti-Calvinis), maka prinsip ini akan menentukan bagaimana seorang penganut theologia Reformed menafsirkan Alkitab (lihat Bab 2). Kalau kita tidak menggunakan theologia sistematika sebagai dasar dan “kacamata” ini, si penafsir Alkitab akan kebingungan dalam menyelidiki dan menafsirkan Alkitab, lalu kalau sudah bingung dan kacau, mereka akan sembarangan menafsirkan Alkitab menurut kehendaknya sendiri. Inilah yang kerapkali gemar dilakukan oleh banyak “hamba Tuhan” dari mayoritas gereja-gereja Karismatik/Pentakosta yang tidak pernah menempuh pendidikan theologia yang beres, langsung naik mimbar dan berkhotbah (atau sekolah theologia di mana dosen-dosennya pun tidak pernah sekolah theologia ð Pdt. Budi Asali menyebutnya, “orang buta menuntun orang buta”). Hal ini juga terjadi pada beberapa “hamba Tuhan” penganut “theologia” liberal/religionum (pluralisme agama) dari banyak gereja-gereja Protestan mainline (seperti GKI, GKJW, GPIB, HKBP, dll) yang notabene sudah menempuh pendidikan theologia, tetapi sayangnya hati dan imannya tidak sungguh-sungguh mempercayai ketidakbersalahan Alkitab (belajar theologia seharusnya meliputi dua hal, hati yang taat dan pikiran yang disucikan).
Kedua, setelah mengerti cara pengintegrasian theologia sistematika dengan theologia Biblika, kita akan melanjutkan dengan prinsip penafsiran Alkitab yang bertanggungjawab sesuai prinsip-prinsip theologia sistematika di atas.
Berikut adalah prinsip-prinsip dalam penafsiran Alkitab yang bertanggungjawab.
1. Memperhatikan Konteks yang Ada
Kalau kita membaca buku apapun hendaklah kita memperhatikan konteks penulisan buku itu supaya kita tidak sembarangan menafsirkan maksud penulis yang sebenarnya. Apalagi ketika kita mulai membaca dan menafsirkan Alkitab, prinsip pertama yang tidak boleh dilupakan adalah memperhatikan konteks yang ada. Setiap ayat dan pasal di dalam suatu kitab di dalam Alkitab memiliki banyak konteks. Misalnya, ketika di dalam Ibrani 4:12, penulis Ibrani mengajarkan, “Sebab firman Allah hidup dan kuat dan lebih tajam dari pada pedang bermata dua manapun; ia menusuk amat dalam sampai memisahkan jiwa dan roh, sendi-sendi dan sumsum; ia sanggup membedakan pertimbangan dan pikiran hati kita.”, jangan langsung gegabah menafsirkan bahwa penulis Ibrani mengajarkan tentang pemisahan antara jiwa dan roh. Konteks penulisan ayat ini adalah tentang begitu dahsyatnya kuasa Firman Allah sehingga mampu menembusi kedalaman manusia. Pdt. Thomy J. Matakupan dan Ev. Julio Kristano di dalam buklet Doktrin Manusia dan Dosa (2005) memaparkan, “Penulis Surat Ibrani di dalam bagian ini sebenarnya lebih menekankan daya dan kuasa firman yang menembus jauh ke dalam sehingga manusia tidak dapat bersembunyi.” (p. 7)
2. Memperhatikan Latar Belakang Penulisan Kitab
Setelah kita memperhatikan konteks yang ada, selanjutnya kita harus juga memperhatikan latar belakang penulisan masing-masing kitab di dalam Alkitab, karena setiap kitab ditulis oleh para penulis dengan latar belakang tertentu, misalnya di dalam penganiayaan, dll. Saya akan memberikan dua contoh. Contoh pertama, Roma 10:9 berkata, “Sebab jika kamu mengaku dengan mulutmu, bahwa Yesus adalah Tuhan, dan percaya dalam hatimu, bahwa Allah telah membangkitkan Dia dari antara orang mati, maka kamu akan diselamatkan.” Pdt. Dr. Stephen Tong pernah mengatakan bahwa ayat ini dengan mudah dicomot oleh banyak penginjil untuk dijadikan dasar dalam memberitakan Injil, lalu berkata, “Ayo coba katakan Yesus, Yesus, maka kamu akan diselamatkan.” Ini adalah penafsiran Alkitab yang dipaksakan. Benarkah arti ayat ini ? Lalu, apakah Paulus bertentangan dengan Tuhan Yesus di dalam Matius 7:21 mengajarkan, “Bukan setiap orang yang berseru kepada-Ku: Tuhan, Tuhan! akan masuk ke dalam Kerajaan Sorga, melainkan dia yang melakukan kehendak Bapa-Ku yang di sorga.” ? Ini akibatnya menafsirkan Alkitab tanpa melihat latar belakang. Surat Roma ditulis oleh Rasul Paulus untuk dikirimkan kepada jemaat-jemaat Kristen di Roma yang mengalami penganiayaan dan penderitaan, di mana pada waktu itu mereka diancam jika mereka menyembah Allah di luar Kaisar yang dianggap sebagai “Allah”, mereka akan dibunuh. Oleh karena itu, mengapa di dalam ayat 9 di dalam Roma 10 ini, Paulus mengatakan bahwa jika mereka mengaku dengan mulut mereka bahwa Yesus adalah Tuhan dan percaya dalam hati mereka, mereka akan diselamatkan, karena dengan menyebut Yesus sebagai Tuhan, mereka pasti menerima resiko hukuman mati dari Kerajaan Romawi.
Kedua, Rasul Paulus berkata di dalam Galatia 1:6-7, “Aku heran, bahwa kamu begitu lekas berbalik dari pada Dia, yang oleh kasih karunia Kristus telah memanggil kamu, dan mengikuti suatu injil lain, yang sebenarnya bukan Injil. Hanya ada orang yang mengacaukan kamu dan yang bermaksud untuk memutarbalikkan Injil Kristus.” Lalu, muncul pertanyaan “injil lain” apakah yang Paulus maksudkan ? Kalau kita memperhatikan latar belakangnya, maka kita akan mengerti mengapa Paulus menulis kedua ayat tersebut. Dari buku Handbook the Bible, kita dapat mengerti latar belakang ini,
“...Tidak lama setelah kunjungan pertama Rasul Paulus, guru-guru Yahudi yang lainnya tiba di Galatia. Rasul Paulus mengajarkan bahwa untuk dapat menerima pengampunan Allah dan karunia hidup baru diperlukan pertobatan dan iman. Tetapi guru-guru itu bersikeras mengharuskan orang bukan Yahudi yang telah bertobat agar disunat juga dan menaati hukum Yahudi — dengan kata lain harus menjadi orang Yahudi — untuk dapat diselamatkan...” (“Handbook to the Bible,” 2002)
Dengan kata lain, “injil lain” ini adalah “injil” palsu yang diberitakan oleh guru-guru Yahudi dengan Yudaismenya.
3. Memperbandingkan Berbagai Terjemahan Alkitab (Khususnya dengan bahasa Ibrani dan Yunani)
Setelah mempertimbangkan konteks dan latar belakang, sekarang kita akan mencoba masuk ke dalam tahap ketiga yaitu memperbandingkan berbagai terjemahan Alkitab (dari berbagai bahasa, entah itu Indonesia, Mandarin, Jawa, Madura, Batak, Inggris, Latin, dll). Mengapa ini perlu dilakukan ? Karena kita mempercayai ketidakbersalahan Alkitab hanya di dalam naskah asli/autographanya, sehingga terjemahan-terjemahan yang disalin dari Alkitab mengandung beberapa kelemahan arti (meskipun tidak 100% mempengaruhi isi Alkitab). Kita sebagai orang Kristen harus tetap percaya bahwa terjemahan-terjemahan Alkitab dijaga oleh Tuhan sehingga tidak menyimpang dari arti aslinya, tetapi karena keterbatasan terjemahan, kita tetap perlu memperbandingkan berbagai terjemahan Alkitab untuk mendapatkan makna aslinya yang lebih jelas, khususnya memperbandingkan langsung dengan terjemahan asli Alkitab dalam bahasa Ibrani (PL) maupun bahasa Yunani (PB). Misalnya, Paulus di dalam Roma 1:16 berkata, “Sebab aku mempunyai keyakinan yang kokoh dalam Injil, karena Injil adalah kekuatan Allah yang menyelamatkan setiap orang yang percaya, pertama-tama orang Yahudi, tetapi juga orang Yunani.” (TB), di dalam terjemahan Alkitab Bahasa Indonesia Sehari-hari (BIS), “Saya percaya sekali akan Kabar Baik itu, karena kabar itu adalah kekuatan Allah untuk menyelamatkan semua orang yang percaya; pertama-tama orang Yahudi, dan bangsa lain juga.” dan Alkitab terjemahan King James Version (KJV) mengartikannya, “For I am not ashamed of the gospel of Christ: for it is the power of God unto salvation to every one that believeth; to the Jew first, and also to the Greek.” Terjemahan Baru dan BIS dalam hal ini kurang jelas mengartikan maksud dari “mempunyai keyakinan yang kokoh dalam Injil”, sedangkan KJV lebih tepat menerjemahkannya, “For I am not ashamed of the gospel of Christ:...” (=Sebab aku tidak malu akan Injil Kristus). Kata “ashamed” lebih sesuai dengan kata dalam bahasa Yunaninya epaischunomai yang berarti to feel shame for something (merasa malu akan sesuatu). Dari perbedaan kata ini, kita dapat menemukan makna yang mendalam yaitu Paulus yang berkeyakinan kokoh ini benar-benar tidak malu akan Injil Kristus, meskipun harus mengalami penganiayaan sekalipun, karena hal ini senada dengan ungkapan Paulus sendiri di dalam suratnya yang kedua kepada Timotius pasal 1 ayat 12, “Itulah sebabnya aku menderita semuanya ini, tetapi aku tidak malu; karena aku tahu kepada siapa aku percaya dan aku yakin bahwa Dia berkuasa memeliharakan apa yang telah dipercayakan-Nya kepadaku hingga pada hari Tuhan.”
Contoh kedua, di dalam Roma 3:23, Paulus berkata, “Karena semua orang telah berbuat dosa dan telah kehilangan kemuliaan Allah,” (TB) Alkitab BIS menerjemahkannya, “Semua orang sudah berdosa dan jauh dari Allah yang hendak menyelamatkan mereka.” dan Alkitab KJV menerjemahkannya, “For all have sinned, and come short of the glory of God;” Kata “kehilangan kemuliaan Allah” di dalam Terjemahan Baru (TB) dapat mengakibatkan tafsiran yang aneh yaitu kemuliaan Allah benar-benar hilang dalam diri manusia, ini adalah pandangan dari theologia Lutheran yang mengajarkan bahwa peta teladan Allah sudah hilang ketika manusia jatuh ke dalam dosa. Padahal arti sebenarnya, bukan “kehilangan kemuliaan Allah” tetapi “jauh dari Allah” (BIS) atau “come short of the glory of God” (KJV) yang berasal dari bahasa Yunaninya hustereō yang berarti fall short (=tidak mencukupi), fall, lack (=kekurangan), dll. Dalam hal ini, theologia Reformed yang ditegakkan oleh John Calvin tepat sekali mengartikan bahwa ketika manusia jatuh ke dalam dosa, peta teladan Allah tidak hilang, tetapi hanya rusak total atau mengurangi kemuliaan Allah. Di sini, theologia Reformed menunjukkan ketelitiannya di dalam menafsirkan Alkitab.
4. Memperhatikan Bentuk Sastra/Genre yang Digunakan
Kemudian, setelah membandingkan berbagai terjemahan Alkitab, kita juga harus memperhatikan bentuk sastra atau genre yang dipakai di dalam setiap kitab di dalam Alkitab. Setiap kitab di dalam Alkitab memiliki keunikan tersendiri, di mana ada yang berisi nyanyian (seperti Mazmur), puisi (Amsal), cerita, surat pastoral (Roma, Galatia, Efesus, dll), simbol-simbol (Wahyu), dll. Masing-masing bentuk ini harus diperlakukan dengan tepat, sehingga tidak terjadi kebingungan. Jika kita menafsirkan kitab Wahyu, janganlah menggunakan pendekatan yang harafiah/literal (seperti para penganut Premillenialisme/Dispensasionalisme). Itu akan berakibat fatal dan kita akan salah langkah untuk nantinya mengerti simbol-simbol seperti kuda merah (Wahyu 6:4), dll yang adalah suatu kebahayaan jika kita menafsirkan hal ini benar-benar kuda berwarna merah. Misalnya, kalau kita menggunakan penafsiran literal untuk menafsirkan kitab Wahyu khususnya dalam menafsirkan tentang angka 666 di dalam Wahyu 13:18, maka pengajaran yang dihasilkan adalah langsung mewaspadai setiap angka 666 baik di dalam plat nomor kendaraan, label harga, dll dan mencap itu adalah antikristus. Angka 666 adalah bilangan manusia, jadi, angka ini dapat menunjuk kepada pribadi tertentu. Kalau di dalam konteks penulisan Rasul Yohanes ini, maka angka 666 menunjuk kepada “Kerajaan Romawi dan penyembahan Kaisar” (“Handbook to the Bible,” 2002) Yang jelas, angka 666 ini menunjuk kepada antikristus. Pdt. Thomy J. Matakupan pernah menafsirkan ayat ini sebagai berikut : angka 6 menunjuk kepada manusia (karena manusia diciptakan oleh Allah pada hari keenam) dan angka 6 ini disebutkan tiga kali yang menunjukkan Allah (Allah Trinitas), maka angka ini berarti manusia yang ingin menjadi seperti Allah, atau lebih tepatnya Antikristus yang menggantikan posisi Kristus sebagai Allah. Apakah ini menunjuk kepada suatu pribadi tertentu, misalnya, Paus, dll ? Alkitab tidak membicarakannya, karena Yohanes menulis kitab Wahyu bukan hanya untuk orang-orang di zaman sekarang, tetapi dikhususkan untuk orang-orang Kristen pada waktu itu.
5. Memperhatikan Kaitan Antara Satu Kitab Dengan Kitab-kitab Lain
Setelah itu, kita juga memperhatikan kaitan erat antara satu kitab dengan kitab lainnya. Mengapa ? Karena kita percaya bahwa Alkitab itu tidak mungkin bertentangan satu dengan yang lainnya dan Alkitab itu menafsirkan dirinya sendiri. Kedua konsep ini mengarahkan kita untuk mencoba membandingkan satu kitab yang diselidiki dengan kitab lainnya. Misalnya, ketika di dalam Yakobus 2:14-26, ditemukan kata intinya yaitu “iman”, maka kita dapat membandingkan pengertian kata ini dengan kitab-kitab yang ditulis oleh rasul lainnya, misalnya Paulus (Efesus 2:8-10), Petrus (1 Petrus 5:9 ; 2 Petrus 1:1), penulis Ibrani (Ibrani 11:1), dll, lalu dengan kitab-kitab PL (Kejadian 12 dan 17) dan diintegrasikan dengan seluruh kitab di dalam Alkitab. Kalau kita ingin mengerti konsep Injil ketika kita menyelidiki surat Roma, maka kita harus memperbandingkan pengertian Injil di dalam Roma dengan surat-surat Paulus lainnya, misalnya Galatia, Efesus, Filipi, Kolose, dll, lalu dikaitkan dengan surat-surat pastoral dari Petrus (1 dan 2 Petrus), Rasul Yohanes, dll, ditambahkan tipologi Injil di dalam PL. Jadi, di dalam menyelidiki dan memperbandingkan dengan kitab-kitab lain di dalam Alkitab, pertama-tama kita harus memperbandingkannya dengan kitab yang ditulis oleh penulis yang sama (misalnya ketika kita menyelidiki Surat Roma, kita dapat memperbandingkannya dengan Surat Galatia, Efesus, Filipi, dll), kemudian juga memperbandingkan dengan surat-surat yang ditulis oleh penulis yang berbeda (misalnya, 1 dan 2 Petrus, surat 1, 2, dan 3 Yohanes, Kitab Wahyu, dll), ditambah juga memperbandingkannya dengan kitab-kitab di dalam Perjanjian Lama dan akhirnya kita dapat mengintegrasikan semuanya dalam pengertian yang lebih dalam dan jelas. Apakah ini untuk keperluan akademis ? Tidak. Ini sangat penting agar kita dapat mengerti Alkitab bukan secara parsial/sebagian, tetapi menyeluruh/holistic, dan kita nantinya dapat mengaplikasikan ke dalam kehidupan Kristen kita sehari-hari.
6. Memperhatikan Tafsiran-tafsiran Alkitab yang Ada
Keenam, kita juga memperhatikan tafsiran-tafsiran Alkitab yang telah ditulis oleh para penafsir Alkitab yang bertanggungjawab. Hal ini diletakkan pada prinsip keenam, karena ini hanya sebagai pembanding dan juga penambah pengetahuan bagi kita saja. Apakah ini mutlak perlu ? Tidak, tetapi tetap perlu untuk dibaca dan diperbandingkan. Kita tidak boleh mengambil dua sikap ekstrim, yaitu, pertama, menolak semua tafsiran Alkitab yang pernah ditulis baik oleh para bapa gereja, theolog dan para penafsir Alkitab, karena kita percaya bahwa Roh Kudus lah yang menafsirkan Alkitab. Di sisi lain, kita juga tidak boleh terus-menerus mempercayai 100% terhadap buku-buku tafsiran Alkitab yang ada meskipun ditulis oleh para theolog dan penafsir Alkitab tersohor, lalu kita kelihatan akademis karena suka mengutip pendapat orang lain. Buku-buku tafsiran Alkitab itu baik, tetapi tidak boleh menggantikan posisi Alkitab sebagai wahyu Allah yang tidak bersalah. Saya akan memberikan contoh, Paulus di dalam Roma 1:17 berkata, “Orang benar akan hidup oleh iman.” Kalau sepintas kita membaca pernyataan ini, kita dapat menafsirkan bahwa orang benar yang hidup akan hidup oleh imannya, tetapi benarkah tafsiran demikian ? Albert Barnes dalam Albert Barnes’ Notes on the Bible mengungkapkan, “The Syriac renders it in a similar manner, “The just by faith shall live.”” Artinya, orang benar melalui iman baru dikatakan hidup. Kalau kita kurang memperhatikan beberapa tafsiran Alkitab seperti ini, kita akan kehilangan makna ini.
7. Mengaplikasikan ke dalam Kehidupan Kristen Sehari-hari
Terakhir, penafsiran Alkitab bukan hanya untuk kepentingan akademis di seminari theologia, tetapi juga untuk diaplikasikan. Percuma saja kita mahir di dalam menafsirkan Alkitab sampai menyelidiki bahasa asli Alkitab, tetapi di dalam tafsiran itu kita lupa untuk mengaplikasikannya ke dalam kehidupan sehari-hari. Ini adalah kelemahan dari banyak buku tafsiran Alkitab yang ditulis hanya untuk menambah pengetahuan theologis, penemuan ilmiah, sastra, dll tanpa mengaplikasikannya ke dalam kehidupan Kristen sehari-hari. Hermeneutika tanpa implikasi adalah suatu kesia-siaan, karena ketika kita menafsirkan Alkitab, kita ingin terus-menerus belajar tentang firman dan kebenaran-Nya yang terus-menerus mengoreksi dan menuntun jalan hidup kita.
Setelah kita mempelajari cara dan prinsip penafsiran Alkitab, marilah kita bukan hanya menambah pengetahuan saja, tetapi setiap anak Tuhan diharapkan dapat mengaplikasikannya ke dalam kehidupan sehari-hari agar nama Tuhan dipermuliakan selama-lamanya. Soli Deo Gloria. Solus Christus.