27 August 2008

Matius 11:1-6: KRISTUS SEBAGAI PUSAT HIDUP-1

Ringkasan Khotbah : 07 Mei 2006
Kristus sebagai Pusat Hidup (1)
oleh: Pdt. Sutjipto Subeno, M.Div.
Nats: Mat. 11:1-6



Pendahuluan
Matius 11:1 merupakan ayat jembatan maka ayat ini dapat diletakkan di pasal 10 atau pasal 11. Lembaga Alkitab Indonesia (LAI) meletakkannya di pasal 10 tapi Alkitab versi Inggris meletakkan di pasal 11. Namun secara keseluruhan tema dari Matius pasal 11 ini merupakan kelanjutan dari pasal 10 yang telah kita renungkan sebelumnya, yakni seorang pengikut Kristus itu seperti domba di tengah serigala. Perhatikan, Tuhan tidak pernah janji akan memberikan hidup aman, nyaman, tidak ada beban dan kesulitan pada para pengikut-Nya. Tidak! Namun demikian ketika kita menjadi murid Kristus bukan berarti kita akan selalu mengalami kesulitan dan aniaya. Tidak! Atau sebaliknya, menjadi pengikut Kristus, hidup kita selalu aman dan nyaman. Tidak! Melalui Injil Matius 11 ini, Tuhan ingin supaya kita memutar fokus hidup kita pada Kristus, melihat Kristus sebagai Raja maka disitu kita akan mendapat kekuatan dari Tuhan sehingga kita dapat menghadapi dunia yang penuh dengan tantangan.
Dalam menafsirkan ayat harus dikaitkan dengan keseluruhan konteks dengan demikian kita tidak menjadi sesat. Mat. 11:1 jika diletakkan di pasal ke-10 maka orang hanya melihat Kristus sebatas pekerjaan-Nya saja, the work of Christ, yakni sebagai pengajar dan pemberita Injil. Orang terjebak dalam suatu rumusan belaka; orang hanya melihat dan memperdebatkan pengajaran atau doktrin yang diajarkan Kristus dan yang terpenting, yaitu pribadi Kristus justru dihilangkan dari ajaran-Nya. Iman Kristen bukan sekedar ritual atau praktek keagamaan tetapi iman Kristen adalah pribadi Kristus sekaligus semua pengajaran-Nya. Mat. 11:1 lebih tepat jika diletakkan di pasal 11. Dalam bagian ini pengajaran Kristus bukan disoroti ke pengajaran-Nya tetapi dari pekerjaan Kristus, Yohanes mengajak para murid untuk melihat kepada pribadi Kristus. Ketika Tuhan Yesus mengajar dari satu kota ke kota lain maka pada saat itu, Yohanes Pembaptis yang berada dalam penjara mengikuti semua yang dilakukan oleh Tuhan Yesus. Yohanes Pembaptis menyuruh para murid untuk bertanya pada Kristus: “Engkaukah yang akan datang itu atau haruskah kami menantikan orang lain?“ Atau dengan kata lain Yohanes Pembaptis ingin para muridnya menanyakan pada Yesus, apakah Yesus seorang Mesias atau bukan? Pertanyaan Yohanes Pembaptis merupakan pertanyaan Mesianis. Hal ini sangat penting untuk kita pahami, yakni ajaran tidak boleh dilepaskan dari pribadi Kristus.
Di dunia tidak ada satu pun manusia yang sempurna termasuk para pendiri agama. Setiap manusia pasti mempunyai banyak kelemahan karena manusia telah berdosa maka manusia berdosa tidak dapat dijadikan teladan sempurna. Karena itulah, para tokoh pendiri agama lebih menekankan pada pengajarannya, bukan pribadinya bahkan mereka sendiri pun bertanya-tanya apakah mereka juga diselamatkan. Dan kalau para tokoh agama ini mau jujur, sesungguhnya ajaran mereka itupun mempunyai banyak kelemahan jika dibandingkan dengan kebenaran asasi yang menyangkut unsur kekekalan, universal, integritas dan moral. Ajaran dan pribadi Kristus tidak saling bertentangan, Kristus menjadi teladan sempurna dari seluruh ajaran yang Dia sendiri ajarkan. Kristus adalah Sang Kebenaran sejati, Akulah jalan, kebenaran dan hidup...(Yoh. 14:6) jadi, ajaran-Nya bukan sekedar teori tetapi kebenaran. Iman Kristen harus kembali pada Kristus, Raja atas segala raja sebagai pusat hidup dan warga Kerajaan Sorga, kita harus taat pada Sang Raja.
Yohanes Pembaptis meminta pada muridnya untuk menanyakan kepada Kristus: “Engkaukah yang akan datang itu atau haruskah kami menantikan orang lain?“ Sepintas pertanyaan ini adalah pertanyaan biasa. Akan tetapi kalau kita yang mendapat pertanyaan seperti yang diajukan oleh Yohanes Pembaptis maka apakah jawabmu? Apakah kita akan menjawab: Ya, Yesus adalah Mesias ataukah kita akan menjawab: tidak, Dia bukan Mesias. Jawaban ini menuntut pertanggung jawaban total dari kita sebab dari jawaban kita dapatlah diketahui sampai sebatas manakah kita memahami iman Kristen. Pertanyaan sekarang adalah kenapa pertanyaan ini diajukan oleh Yohanes Pembaptis? Beberapa penafsiran menyatakan:
Pertama, Yohanes Pembaptis mengalami keragu-raguan dan kemungkinan juga, umurnya tidak panjang lagi sehingga ia butuh suatu kepastian tentang Mesias. Kalau kita melihat hanya sebatas satu ayat itu saja tanpa memperhatikan keseluruhan konteks maka penafsiran ini sangatlah logis. Inilah akibatnya kalau kita sembarang menafsir ayat. Sesungguhnya, Yohanes Pembaptis tahu persis kalau Kristus adalah Mesias. Yohanes Pembaptis bertemu Yesus bukan pada suatu waktu atau tempat yang tidak biasa. Tidak! Pertemuan antara Yesus dan Yohanes ini terjadi sangat wajar. Hari itu, seperti biasa Yohanes Pembaptis membaptiskan banyak orang lalu muncullah Seorang yang sangat sederhana, anak seorang tukang kayu atau dapat dikatakan “seorang gembel“ datang di tengah-tengah kerumunan orang banyak itu dan minta dibaptiskan. Berbeda halnya kalau yang datang hari itu adalah raja Herodes, datang dengan kereta kudanya yang megah dan dikawal dengan pasukan berjumlah banyak pastilah semua orang dapat mengenali dia sebagai orang penting.
Kedatangan Tuhan Yesus hari itu tidaklah demikian, semua terjadi seperti biasa, tidak ada tanda-tanda kebesaran apapun; Dia datang dengan pakaian sederhana, berjalan kaki dan seorang diri namun Yohanes Pembaptis langsung mengenal Dia sebagai Mesias. Ketika Tuhan Yesus meminta dibaptis olehnya, Yohanes Pembaptis langsung mencegah Dia dan berkata: “Akulah yang perlu dibaptiskan oleh-Mu....“ Tidak hanya itu, untuk membuka tali kasut-Nya pun aku tidak layak. Sejak awal, sebagai seorang nabi, Yohanes Pembaptis sudah tahu kalau Kristus adalah Mesias dan ia yang menjadi pembuka jalan, forerider. Bahkan tidak hanya di situ saja, Allah dari sorga langsung mengkonfirmasi: “Inilah Anak yang Ku-kasihi, kepada-Nyalah Aku berkenan.“ Kejadian seperti ini tidak pernah terjadi pada siapapun juga ketika orang lain dibaptis. Jadi, penafsiran yang menyatakan Yohanes Pembaptis meragukan pribadi Kristus itu kurang tepat.
Kedua, Yohanes Pembaptis mengalami penganiayaan yang sangat berat di penjara maka kemungkinan pikirannya sedikit terganggu sehingga dia perlu mempertanyakan kembali pernyataannya. Yohanes Pembaptis hidup di jaman kepemimpinan Raja Herodes yang sangat kejam, ia tidak segan-segan untuk membunuh orang yang melawan dia atau orang yang tidak sejalan dengan pemikirannya. Hari itu, kalau dia dapat menjadi Raja Yahudi itupun didapatkan dengan cara licik karena seharusnya dia tidak berhak untuk menjadi raja atas orang Yahudi sebab dia bukan orang Yahudi asli. Tidak hanya kelakuannya saja yang bejat, moralnya pun sangat rusak dan hal inilah yang dikritik keras oleh Yohanes Pembaptis. Maka wajarlah kalau kemudian muncul penafsiran yang menyatakan bahwa Yohanes Pembaptis dianiaya dengan sangat berat karena sikap Yohanes Pembaptis yang selalu melawan Herodes. Penganiayaan yang berat tersebut mengakibatkan dia mengalami gangguan kejiwaan. Konklusi ini memang logis tapi itu bukan menjadi jawaban Alkitab. Orang dapat memaparkan kondisi sedemikian rupa namun hal itu tidak dapat kita jadikan sebagai kesimpulan. Kalau kita mau menelusur dengan teliti maka kita menjumpai Herodes yang sangat sedih ketika anak perempuannya meminta kepala Yohanes Pembaptis tetapi karena ia telah bersumpah maka ia pun menuruti apa yang menjadi permintaan dari anaknya tersebut (Mat. 14). Herodes sangat takut ketika ia harus menjalankan eksekusi tersebut, karena Herodes tahu, Yohanes Pembaptis bukan orang biasa, ia mempunyai ribuan pengikut. Dari sini, kita tahu sekarang kalau Herodes tidak akan berani menyentuh Yohanes Pembaptis. Dari Alkitab kita tahu, meski Yohanes di penjara, ia masih dapat bercakap-cakap dengan para murid-muridnya, ia dapat mengikuti seluruh apa yang dikerjakan oleh Tuhan Yesus, ia masih dapat mengajar dengan demikian hubungannya dengan murid-muridnya dapat terjaga dengan baik. Jadi, penafsiran kedua kurang tepat.
Ketiga, para Reformator menafsirkan kalau pertanyaan yang diajukan oleh Yohanes Pembaptis ini bukan untuk dirinya tetapi ditujukan untuk para muridnya, yaitu supaya para muridnya itu mendapat pernyataan langsung dari Kristus kalau Yesus adalah Mesias.
Ada tiga aspek yang Yohanes Pembaptis ingin para murid berubah:
1. Ke-Mesias-an Kristus. Yohanes Pembaptis menyuruh para murid untuk menyampaikan pertanyaan pada Kristus: “Engkaukah yang akan datang itu atau haruskah kami menantikan orang lain?“ Pertanyaan ini membuat para murid harus bertemu langsung dengan Tuhan Yesus dan mereka mendapat jawaban langsung dari Tuhan Yesus tentang siapa diri-Nya yang sesungguhnya – Kristus adalah Mesias. Memang, tidak salah kalau kita “mengidolakan“ seseorang karena kita merasa dia telah berjasa dalam membangun iman tetapi merupakan suatu kesalahan fatal kalau iman berhenti pada batas manusia yang kita hormati tersebut sebab kalau orang yang kita hormati itu meninggal maka iman kitapun ikut mati. Yohanes Pembaptis menyadari akan gejala ini maka ia ingin supaya murid-murid-Nya mendengar dan memperoleh pernyataan langsung dari Kristus. Yohanes juga ingin supaya para muridnya memutar fokus imannya kepada Mesias yang sejati dan bukan pada dirinya. Biarlah iman kita tidak berhenti pada pribadi satu orang saja dan biarlah iman kita tidak berhenti di batas pengalaman-pengalaman tertentu tapi hendaklah Kristus yang menjadi pusat hidup kita dan hanya kepada-Nya saja, Raja di atas segala raja itu kita harus taat.
2. Tanda Kristus. Dari peristiwa ini kita melihat ada percakapan secara tidak langsung antara Tuhan Yesus dengan Yohanes Pembaptis dimana sebagai perantara media adalah murid-murid Yohanes Pembaptis. Tuhan Yesus tidak langsung menjawab pertanyaan Yohanes Pembaptis. Tuhan Yesus ingin membangun iman para murid Yohanes ini maka Yesus menjawab: “Pergi dan katakanlah kepada Yohanes apa yang kamu dengar dan kamu lihat:...(Yoh. 11:4-6). Artinya para murid telah melihat dan mendengar tentang semua hal yang dilakukan oleh Tuhan Yesus seperti: orang buta melihat, orang lumpuh berjalan, orang kusta menjadi tahir, orang tuli mendengar, orang mati dibangkitkan dan kepada orang miskin mendapat kabar baik maka dari sana mereka dapat menarik sebuah kesimpulan dan kesimpulan itulah yang harus mereka laporkan kepada Yohanes. Inilah iman, yaitu mereka mengalami sendiri dan membuktikan dengan mata kepala mereka sendiri bahwa Kristus Yesus adalah Mesias. Namun sangatlah disayangkan, hari ini ayat 5 ditafsirkan dengan sembrono karena orang melepaskan dari konteks keseluruhan. Orang menafsirkan kalau menjadi pengikut Kristus maka segala sakit penyakit akan disembuhkan. Penafsiran yang salah! Berhati-hatilah pada akhir jaman, banyak orang yang mengaku sebagai mesias. Pertanyaan yang diajukan Yohanes adalah dalam konteks mempertanyakan tentang siapa Kristus. Tanda diberikan supaya orang mengenal bahwa Kristus adalah Mesias namun orang tidak mengerti tanda tetapi orang mengikut Yesus karena mereka kenyang (Yoh. 6:25-29). Maka tidaklah heran setelah orang mengalami pengalaman iman yang spektakuler, mereka justru terjebak ke dalam pengalaman itu dan lupa kalau ada Kristus yang bekerja dibalik mujizat itu.
3. Pusat Iman. Setelah murid-murid Yohanes pergi, Kristus membukakan pada para murid-Nya tentang Yohanes Pembaptis (Yoh. 11:7-11). Tuhan Yesus menyetarakan Yohanes Pembaptis dengan nabi Elia. Dan hal ini pasti didengar oleh Yohanes. Bagi orang Yahudi, Elia adalah seorang tokoh sekaligus seorang nabi besar. Seorang diri, Elia berhasil mengalahkan 400 nabi Baal, selain itu, Elia adalah satu-satunya nabi yang tidak mati, ia diangkat ke sorga dengan kereta berapi. Dengan kata lain, Tuhan Yesus mau menegaskan kalau Yohanes Pembaptis adalah seorang nabi besar tidak beda dengan nabi Elia. Namun di ayat 11, Tuhan menyatakan: Sesungguhnya di antara mereka yang dilahirkan oleh perempuan tidak pernah tampil seorang yang lebih besar daripada Yohanes Pembaptis, namun yang terkecil dalam Kerajaan Sorga lebih besar dari padanya. Gambaran kontras ini bukan untuk merendahkan Yohanes Pembaptis. Tidak! Tuhan Yesus membandingkan antara diri-Nya dengan Yohanes. Kata “yang terkecil“ disana adalah Tuhan Yesus. Yohanes tahu, dirinya bukanlah yang terbesar tetapi Kristuslah yang terbesar: “Lihatlah Dia, ecce hommo; Dia harus makin besar dan aku makin kecil, Dia harus makin bertambah, aku harus makin berkurang.“ Inilah jiwa seorang Yohanes Pembaptis, nabi besar. Sadarlah, ketika kita berpaling pada Kristus maka justru disanalah kita akan mendapat kekuatan sorgawi untuk menghadapi segala tantangan jaman.
Bukanlah hal yang mudah bagi orang untuk berpindah dari satu kepercayaan ke kepercayaan lain, kecuali ia tahu pasti kalau kepercayaan barunya itu jauh lebih agung dan lebih benar barulah ia berpindah. Begitu juga yang dialami oleh murid Yohanes bukan hal mudah untuk berpaling kepada Kristus. Biarlah kita dipakai menjadi saksi Kristus yang menyatakan kepada dunia bahwa kepercayaan kita kepada Kristus itu jauh lebih agung dibandingkan dengan kepercayaan lain yang ada di dunia sebab tidak hanya ajaran-Nya yang adalah kebenaran sejati tetapi pribadi Kristus itu sendiri adalah Sang Kebenaran; Dia adalah Raja di atas segala raja. Biarlah ketika kita berada dalam penderitaan aniaya, kita tahu semua yang kita lakukan itu tidak sia-sia karena kita memandang pada Kristus yang menjadi pusat iman kita. Amin.

(Ringkasan khotbah ini belum diperiksa oleh pengkhotbah)
Sumber:

Roma 10:5-8: "ISRAEL" SEJATI ATAU PALSU-9: Sentralitas Kristus dan Pembenaran Melalui Iman

Seri Eksposisi Surat Roma:
Doktrin Predestinasi-8


“Israel” Sejati atau Palsu-9:
Sentralitas Kristus dan Pembenaran Melalui Iman

oleh: Denny Teguh Sutandio


Nats: Roma 10:5-8


Setelah mempelajari tentang Kristus sebagai kegenapan hukum Taurat dan pembenaran melalui iman di ayat 4, maka Paulus menjelaskan lebih dalam lagi tentang arti dibenarkan melalui iman di ayat 5 s/d 8.

Pada ayat 4, Paulus menjelaskan bahwa Kristus lah yang menggenapi Hukum (Taurat) dan oleh karena itulah, umat pilihan-Nya yang percaya dibenarkan melalui tindakan Kristus yang telah menunaikan seluruh ketentuan Hukum (Taurat), karena mereka sendiri tidak mampu menunaikan seluruh ketentuan Hukum (Taurat). Hal ini bukanlah ajaran baru, karena di dalam Perjanjian Lama, Allah telah mengajarkannya melalui Musa. Hal ini ditunjukkan oleh Paulus di ayat 5 di mana, “Sebab Musa menulis tentang kebenaran karena hukum Taurat: "Orang yang melakukannya, akan hidup karenanya."” Apa yang Paulus kutip diambil dari Imamat 18:5 yang berbunyi, “Sesungguhnya kamu harus berpegang pada ketetapan-Ku dan peraturan-Ku. Orang yang melakukannya, akan hidup karenanya; Akulah TUHAN.” Ayat ini berada di dalam konteks ketika TUHAN mewahyukan hukum-Nya tentang perkawinan yang kudus. Sebelum ayat ini, di ayat 1-4, TUHAN sudah memberi peringatan kepada Israel untuk tidak menaati kebiasaan orang-orang Mesir dan Kanaan, tetapi Israel harus melakukan peraturan Allah dan harus berpegang pada ketetapan-Nya dengan hidup menurut semuanya itu. Ayat 4 ditegaskan kembali dengan ayat 5 sebagai alasan yaitu justru dengan berpegang pada ketetapan Allah dan peraturan-Nya, maka orang yang melakukannya akan hidup. Ayat ini sungguh menarik. Seolah-olah, Roma 10:5 bertentangan dengan ayat 4, karena di ayat 4, Paulus mengajarkan pembenaran oleh iman, sedangkan di ayat 5, seolah-olah mengajarkan pembenaran melalui perbuatan baik. Benarkah ada kontradiksi di dalam kedua ayat ini? TIDAK! Justru, kedua ayat ini saling menguatkan. Ketika seseorang beriman di dalam Kristus, ia memiliki jaminan keselamatan karena anugerah-Nya, dan setelah itu, umat-Nya harus menghidupi hidup sesuai dengan ketentuan Hukum Allah. Kita harus menaati hukum Allah karena kita telah dibenarkan oleh Kristus yang telah menggenapi seluruh ketentuan Taurat. Dengan kata lain, dibenarkan melalui iman tidak bisa dilepaskan dari hidup melaksanakan Hukum Allah. Seringkali beberapa orang Kristen diajar bahwa setelah kita diselamatkan, kita boleh berbuat apa saja, karena sekali selamat tetap selamat. Doktrin sekali selamat tetap selamat (Perseverance of the Saints) TIDAK boleh dijadikan acuan agar kita boleh hidup sembrono, justru membuat kita semakin setia dan taat kepada-Nya dengan menjalankan hukum-Nya. Ini bukan hanya diajarkan oleh Perjanjian Baru, sejak Perjanjian Lama pun, TUHAN sudah mengajarkan hal ini. TUHAN pertama kali memanggil Abraham dan Israel untuk menjadi umat pilihan-Nya, setelah itu IA mewahyukan firman-Nya sebagai hukum-Nya yang memimpin dan menuntun umat-Nya itu untuk hidup dan IA sendiri menjamin bahwa barangsiapa yang melakukan seluruh hukum-Nya, mereka akan hidup. Tetapi apakah ada yang sanggup melakukan seluruh hukum-Nya? TIDAK! Kalau pun manusia bisa melakukan hukum (Taurat), mereka tidak melakukannya secara keseluruhan, tetapi sebagian, karena mereka kadangkala tidak membunuh, tetapi mencuri. Tentang hal ini, Yakobus berkata, “Sebab barangsiapa menuruti seluruh hukum itu, tetapi mengabaikan satu bagian dari padanya, ia bersalah terhadap seluruhnya. Sebab Ia yang mengatakan: "Jangan berzinah", Ia mengatakan juga: "Jangan membunuh". Jadi jika kamu tidak berzinah tetapi membunuh, maka kamu menjadi pelanggar hukum juga.” (Yakobus 2:10-11) Jadi, jelaslah, tidak ada satu orang pun yang sanggup menunaikan seluruh hukum Taurat. Oleh karena itulah, Paulus di ayat 4 mengatakan bahwa Kristus itu lah yang telah menunaikan seluruh Taurat, sehingga kita sebagai umat pilihan-Nya di dalam Kristus sanggup menunaikan Hukum Taurat karena Kristus. Jadi, ayat 4 dan 5 tidak bertentangan.

Karena kita dibenarkan hanya melalui iman (dan sama sekali bukan karena perbuatan baik), maka kita berani mengamini apa yang Kristus kerjakan. Hal ini dijelaskan Paulus di ayat 6 dan 7, “Tetapi kebenaran karena iman berkata demikian: "Jangan katakan di dalam hatimu: Siapakah akan naik ke sorga?", yaitu: untuk membawa Yesus turun, atau: "Siapakah akan turun ke jurang maut?", yaitu: untuk membawa Kristus naik dari antara orang mati.” Kedua ayat ini diambil dari Ulangan 30:12-13 yang berkata, “Tidak di langit tempatnya, sehingga engkau berkata: Siapakah yang akan naik ke langit untuk mengambilnya bagi kita dan memperdengarkannya kepada kita, supaya kita melakukannya? Juga tidak di seberang laut tempatnya, sehingga engkau berkata: Siapakah yang akan menyeberang ke seberang laut untuk mengambilnya bagi kita dan memperdengarkannya kepada kita, supaya kita melakukannya?” Kedua ayat ini berada di dalam konteks tentang penjelasan pentingnya Firman Tuhan yang tidak sukar, yaitu Firman Tuhan yang tidak jauh di atas, juga tidak jauh ke seberang. Di sini, Paulus menjelaskan arti firman Allah di dalam Ulangan ini. Ulangan 30:12 ditafsirkan Paulus sebagai “membawa Yesus turun” dan ayat 13 ditafsirkan Paulus sebagai “membawa Kristus naik dari antara orang mati”. Uniknya, kedua tafsiran Paulus atas dua ayat PL ini di dalam banyak terjemahan Inggris (King James Version—KJV, New King James Version­­­­­­­­­­­­­­­­­­­­­­—­NKJV, Amerian Standard Version—ASV, International Standard Version—ISV, English Standard Version—ESV, Analytical-Literal Translation—ALT, English Majority Text Version—EMTV, Geneva Bible, Good News Bible—GNB, God’s Word—GW, Literal Translation of the Holy Bible) dan Bahasa Indonesia Sehari-hari (BIS) diberikan tanda kurung. Ini menunjukkan tafsiran dan penjabaran Paulus atas PL. Kedua ayat dalam PL ini ditafsirkan Paulus sebagai kaitan dengan peristiwa kematian, kebangkitan dan kenaikan Kristus ke Surga. Berarti kebenaran melalui iman bukanlah kebenaran yang sia-sia yang berasal dari diri sendiri, tetapi dari Allah yang telah mengutus Kristus sebagai sumber pembenaran kita oleh anugerah-Nya di dalam iman. Kematian, kebangkitan dan kenaikan Kristus ke Surga membuktikan kemenangan-Nya atas maut dan ditunaikannya seluruh tugas-Nya, sehingga Ia layak mendapatkan puji, hormat dan sembah dari umat-Nya dan semua orang. Di sini, kita kembali melihat bahwa tesis di ayat 4 yang mengatakan bahwa Kristus telah menggenapi Taurat dan umat-Nya mendapatkan status yang dibenarkan melalui iman di dalam-Nya mendapat legitimasi sah, yaitu melalui kematian, kebangkitan dan kenaikan-Nya ke Surga. Semua hal ini membuat kita sadar bahwa keselamatan dan status yang dibenarkan bukan didapat karena jasa baik kita, tetapi karena anugerah-Nya melalui iman, oleh karena itu, sudah sepatutnya kita bersyukur selalu dengan melakukan Hukum Allah dan memberitakan Injil kepada mereka yang belum percaya.

Bahkan kebenaran oleh iman bukan hanya berkisar tentang kematian, kebangkitan dan kenaikan Kristus ke Surga, tetapi juga berpusat pada Pribadi Kristus yang berinkarnasi itu sendiri (bdk. Roma 10:4), seperti dijelaskan Paulus di ayat 8, “Tetapi apakah katanya? Ini: "Firman itu dekat kepadamu, yakni di dalam mulutmu dan di dalam hatimu." Itulah firman iman, yang kami beritakan.” Ayat ini dikutip dari Ulangan 30:14, “Tetapi firman ini sangat dekat kepadamu, yakni di dalam mulutmu dan di dalam hatimu, untuk dilakukan.” Firman yang sangat dekat kepadamu (di dalam konteks Ulangan, adalah Israel) yakni di dalam mulut dan hati umat Israel ditafsirkan oleh Paulus sebagai firman iman yang diberitakan Paulus, yaitu Kristus. Kristus adalah Firman Allah (tidak berarti DIA bukan Pribadi Allah) yang menjelma menjadi manusia (Yohanes 1:1, 14), sehingga manusia dapat mengenal Allah sejati. Di dalam theologia Reformed, inkarnasi Kristus merupakan wahyu khusus Allah secara tidak tertulis HANYA kepada umat pilihan-Nya. Melalui Kristus, manusia pilihan-Nya dapat mengenal Pribadi Allah yang benar dan sejati serta beribadah kepada-Nya dengan pengertian yang benar di dalam Kristus melalui Roh Kudus. Kalau di zaman PL, umat-Nya menantikan Mesias, maka kita yang hidup setelah Perjanjian Baru (PB) bersyukur karena kita telah melihat dengan iman dan percaya di dalam-Nya sebagai Tuhan dan Juruselamat, sehingga iman kita justru semakin dikuatkan dan pengharapan kita semakin jelas. Kehadiran Kristus sebagai Pusat iman dan pembenaran serta keselamatan kita membuat kita tidak henti-hentinya bersyukur dan terus-menerus menjadikan Dia sebagai Pusat dan Tuhan dalam hidup kita. Hidup Kristen bukan hidup yang sia-sia, sembrono, tanpa arah, tetapi hidup Kristen justru sangat berarti, mengapa? Karena Kristus lah yang memberikan arti hidup itu kepada umat-Nya, melalui penebusan dan karya Roh Kudus yang diutus-Nya untuk mendampingi kita di dalam perjalanan hidup. Hidup yang men-Tuhan-kan Kristus (mengutip perkataan Pdt. Sutjipto Subeno) itulah merupakan respon yang benar setelah kita diselamatkan dan dibenarkan melalui anugerah Allah di dalam iman.

Melalui perenungan keempat ayat ini, sudahkah kita hidup menjadikan Kristus sebagai Allah dan Tuhan dalam hidup kita sebagai respon ucapan syukur kita karena kita telah diselamatkan? Ingatlah, Allah telah menyatakan diri-Nya di dalam Kristus bagi umat-Nya, siapkah kita menyatakan Kristus itu melalui pemberitaan Injil dan kelakuan hidup kita sehari-hari? Kiranya Roh Kudus memimpin langkah kita setiap hari di dalam menunaikan apa yang Tuhan inginkan bagi kita. Amin. Soli Deo Gloria.