01 May 2010

Bahasa Roh Menurut Calvin dan Implikasinya bagi Gereja Masa Kini (Pdt. Timotius Fu, M.Th.)

BAHASA ROH MENURUT CALVIN DAN IMPLIKASINYA BAGI GEREJA MASA KINI

oleh: Pdt. Drs. Timotius Fu, M.Div., M.Th.




Beberapa tahun lalu, saya berkesempatan mengikuti sebuah seminar theologi yang dipimpin oleh seorang pendeta terkenal dari Amerika Serikat. Sebelum seminar dimulai, sekitar 2000 peserta yang hadir diajak terlebih dahulu mengikuti acara Praise and Worship. Setelah menyanyi beberapa pujian, tiba-tiba musik diperlambat dan pembawa acara mengangkat tangan, menutup mata, dan mulutnya mengeluarkan “komat-kamit” suku kata-suku kata yang tidak dimengerti oleh seorang pun. Kontan, sebagian besar peserta mulai mengikuti apa yang dilakukan oleh pembawa acara tersebut. Akibatnya, suasana jadi ribut dengan bahasa-bahasa aneh, teriakan-teriakan yang liar, serta sebagian peserta terlihat menangis atau ketawa tidak terkendali. Setelah “pertunjukan” tersebut berlangsung sekitar 20 menit, pembawa acara mengumumkan bahwa tiba saatnya para peserta mengusir segala kuasa gelap dan gangguan lainnya dari dalam ruang pertemuan, dan untuk itu semua yang hadir harus melakukannya dengan “berbahasa roh.”1 Di bawah komando sang pembawa acara, kembali ruangan kebaktian menjadi ribut dan kacau, masing-masing mengeluarkan bunyi-bunyian aneh yang bagi mereka adalah “bahasa roh” yang dipakai untuk mengusir Setan dan para pengikutnya dari ruangan tersebut.

Menyaksikan fenomena seperti itu, perasaan saya bercampur baur, ada rasa takut sehingga bulu kuduk berdiri, ada rasa canggung karena menjadi orang “aneh” di tengah-tengah mereka, dan ada rasa ingin tahu apa yang selanjutnya akan terjadi. Dalam kondisi itu muncul dalam pikiran saya sebuah seri pertanyaan: “Seandainya John Calvin masih hidup dan hadir dalam kebaktian ini, bagaimana reaksinya? Apakah dia akan menerima dan mempraktikkan hal yang sama? Atau dia akan menentang, bahkan mengajarkan fenomena tersebut sebagai tindakan yang tidak alkitabiah?”

Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan di atas, tulisan ini disajikan dengan harapan agar kita semua memiliki pandangan yang tepat tentang natur dari karunia bahasa roh serta implikasinya bagi kehidupan bergereja masa kini.




PENGAJARAN CALVIN TENTANG BAHASA ROH
Natur Bahasa Roh
Calvin secara konsisten menafsirkan fenomena bahasa roh sebagai kemampuan untuk berbicara dalam bahasa asing yang sama sekali tidak pernah dipelajari oleh pembicara sebelumnya. Hal ini terlihat jelas dari komentarnya atas peristiwa dan pengajaran mengenai karunia bahasa roh yang tercatat dalam Alkitab, baik di Kisah Para Rasul maupun 1 Korintus 12-14.

Mengomentari fenomena berbahasa roh yang terjadi pada hari Pentakosta, ia menulis:
He showeth that the effect did appear presently, and also to use their tongues were to be framed and applied. But because Luke setteth down shortly after, that strangers out of divers countries hear the apostles speaking in their own tongue. . . . I suppose that it doth manifestly appear hereby that the apostles had the variety and understanding to tongues given them, that they might speak unto the Greek in Greek, unto the Italians in the Italian tongue, and that they might have true communication (and conference) with their hearers.2

Hal yang sama diungkapkan dalam khotbahnya di hari Pentakosta:
How then were the Apostles, having always been isolated as foolish and unlearned people in this corner of Judea, able to publish the Gospel to all the world, unless God accomplished what He had previously promised: namely, that He would be known by all tongues and by all nations?3

Terhadap kejadian serupa yang tercatat di rumah Kornelius (Kis. 10), Calvin hanya memberi dua kalimat untuk menjelaskan natur dari bahasa roh, yakni: “He expresseth what gifts of the Spirit were poured out upon them, and therewithal he noteth the use; to wit, that they had variety of tongues given them, so that they did glorify God with many tongues.”4

Penafsiran yang sama ditunjukkan Calvin ketika ia mengomentari pengajaran rasul Paulus di 1 Korintus 12-14. Secara spesifik ia menuliskan bahwa “in the use of the word tongue, there is not a pleonasm (a figure of speech – involving a redundancy of expression). . . . The term denotes a foreign language.”5 Selanjutnya, berulang kali—dalam bagian Alkitab ini—ia mengartikan karunia bahasa roh sebagai kemampuan yang diberikan kepada Roh Kudus kepada seseorang untuk berbahasa asing tanpa terlebih dahulu mempelajarinya, misalnya: “karunia untuk berkatakata dengan bahasa roh” (12:10) ditafsirkan sebagai kemampuan untuk berbicara bahasa bangsa asing;6 “berdoa dengan bahasa roh” (14:14) diartikan sebagai “to frame a prayer in a foreign language”;7 dan bahasa roh bagi orang percaya di kota Korintus yang dianalogikan dengan bahasa Ibrani dan Yunani bagi Calvin dan orang sezamannya.8

Dengan penafsiran di atas, Calvin menyangkal kemungkinan untuk menafsirkan praktik bahasa roh sebagai suatu kepenuhan Roh Kudus yang menghasilkan fenomena ecstatic dengan mengucapkan bunyi-bunyian atau suku kata-suku kata yang sepenuhnya bukan bahasa manusia, sehingga menjadi asing bagi segala bangsa.9

Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa bagi Calvin, karunia berbahasa roh dalam Alkitab hanya memiliki satu makna, yakni sebuah karya Roh Kudus atas orang percaya sehingga mampu berbahasa asing tanpa terlebih dahulu mempelajarinya. Selanjutnya, pandangan ini yang mewakili pandangan Calvin dalam tulisan ini.


Fungsi Bahasa Roh
Di mata Calvin, bahasa roh adalah sebuah karunia yang diberikan oleh Roh Kudus kepada orang percaya.10 Namun, karunia ini—sama seperti karunia yang lainnya juga—tidak serta merta diberikan kepada semua orang11 pada setiap saat, tetapi hanya diberikan oleh Roh Kudus dalam kondisi tertentu dengan tujuan tertentu.12 Sesuai dengan keyakinannya, semua karunia roh diberikan Roh Kudus kepada orang percaya dengan satu tujuan utama, yakni untuk membangun tubuh Kristus, sehingga penerapan karunia apa pun kalau bukan bertujuan membangun tubuh Kristus adalah pelanggaran dari tujuan Roh Kudus memberikan karuniakarunia tersebut.13

Sesuai dengan penjelasan di atas, karunia bahasa roh juga harus dipraktikkan demi pembangunan tubuh Kristus, yakni: pertama, karunia bahasa roh diberikan dalam hubungan yang sangat erat dengan pekabaran Injil. Tujuan karunia bahasa roh dalam aspek ini secara khusus ditemukan dalam catatan di Kisah Para Rasul. Pada saat itu, para rasul atau pekabar Injil di abad pertama mengalami keterbatasan karena faktor bahasa. Dengan memberikan kemampuan berbahasa asing kepada para rasul, Allah telah menghilangkan salah satu penghalang utama pekabaran Injil. Hal ini dapat dibaca lewat komentarnya atas peristiwa para murid berbahasa roh pada hari Pentakosta:
The diversity of tongues did hinder the gospel from being spread abroad any farther; so that, if the preachers of the gospel had spoken one language only, all men would have thought that Christ had been shut up in the small corner of Jewry.14

Dalam khotbahnya di hari Pentakosta, ia juga mengungkapkan bahwa Roh Kudus memberikan manifestasi bahasa roh kepada para rasul dengan dua tujuan, yakni agar Injil dapat disampaikan kepada segala bangsa dalam bahasa mereka masing-masing dan agar konsep yang salah bahwa keselamatan hanya disediakan bagi bangsa Yahudi dapat dibuang, seperti yang dapat dibaca lewat kutipan berikut ini:
It is true that it is said that all will speak the Hebrew language in order to join in a true faith, but the truth is better declared to us when it is said that all believers, from whatever region they may be, will cry, “Abba, Father,”invoking God with one accord; although there may be diversity of language. That, then, is how the Spirit of God wished to display His power in these tongues, in order that the Name of God might be invoked by all and that we might together be made partakers of this covenant of salvation which belonged only to the Jews until the wall was torn down.15

Pendapat di atas diperkuat dengan pernyataan dari rasul Paulus bahwa “karunia bahasa roh adalah tanda, bukan untuk orang yang beriman, tetapi untuk orang yang tidak beriman” (1Kor. 14:22). Bagi Calvin, kalimat di atas berarti karunia ini berfungsi sebagai sebuah mukjizat untuk dipertunjukkan kepada orang yang belum percaya agar mereka diyakinkan untuk menerima Injil, seperti yang dapat dibaca dari tulisannya:
The advantages derived from tongues were various. They provided against necessity— that diversity of tongues might not prevent the Apostles from disseminating the gospel over the whole world: there was, consequently, no nation with which they could not hold fellowship.16

Hasil dari pekabaran Injil adalah bangsa-bangsa yang datang dari aneka ragam latar belakang dan bahasa dapat bersatu di hadapan Tuhan, seperti yang tertuang dalam pikirannya: “But God did furnish the apostles with the diversity of tongues now, that he may bring and call home, into a blessed unity, men which wander here and there.”17

Konsep yang sama diungkapkannya ketika mengomentari kejadian di rumah Kornelius (Kis. 10:46) dengan mengatakan bahwa “that the tongues were given them . . . seeing the gospel to be preached to strangers and to men of another language.”18

Kedua, praktik bahasa roh dalam pertemuan jemaat. Bagi Calvin, bahasa roh—sama dengan karunia yang lain—memiliki satu tujuan utama, yakni untuk membangun jemaat19 dan membawa berkat bagi semua orang (for the common benefit).20 Supaya dapat membangun jemaat, maka semua bentuk praktik bahasa roh harus dapat dimengerti oleh orang-orang yang hadir dalam pertemuan ibadah tersebut, seperti yang dapat dibaca dalam tulisannya:
For the gift of tongues was conferred— not for the mere purpose of uttering a sound, but, on the contrary, with the view of making a communication. For how ridiculous a thing it would be, that the tongue of a Roman should be framed by the Spirit of God to pronounce Greek words, which were altogether unknown to the speaker, as parrots, magpies, and crows, ar taught to mimic human voices!21

Sesuai dengan pengajaran rasul Paulus di 1 Korintus 12-14, Calvin menerapkan prinsip bahwa dalam setiap pengajaran yang menggunakan bahasa roh harus diterjemahkan ke dalam bahasa yang dimengerti oleh semua pendengar; dan seandainya tidak ada penerjemah, maka tidak seorang pun diizinkan berbicara dengan bahasa roh dalam pertemuan ibadah.22 Baginya, karunia bahasa roh yang dipadukan dengan karunia menerjemahkan menghasilkan karunia bernubuat, seperti ungkapannya: “For if interpretation is added, there will then be prophecy.”23

Sebaliknya, praktik bahasa roh yang tidak diterjemahkan dalam sebuah pertemuan ibadah merupakan sebuah pelanggaran atau penyalahgunaan, yang digambarkan Calvin dengan berbagai istilah berikut: (1) Misdirected ambition: sebuah ambisi untuk menyombongkan diri24 atau mempertontonkan kehebatan pribadi dalam barbahasa asing di balik praktik berbahasa roh di hadapan umum;25 untuk hal ini Calvin menyebut bahasa roh sebagai empty vauntings.26 (2) Speaking to no purpose: sebuah praktik berbahasa asing yang tidak membawa manfaat apa pun bagi pendengar, yang menurut Calvin bahwa “thy voice will not reach either to God or man, but will vanish into air.”27 (3) Speaking as a barbarian: sebuah manifestasi bahasa roh yang membingungkan para pendengar karena pada dasarnya tidak ada seorang pun yang mengerti;28 para pendengar pada gilirannya nanti akan menghina mereka yang berbahasa roh, yang oleh Calvin digambarkan sebagai “how foolish then it is and preposterous in a man, to utter in an assembly a voice which the hearer understand nothing – in which he perceives no token from which he may learn what the person means!”29

Ketiga, praktik bahasa roh dalam doa orang percaya. Sehubungan dengan hal ini, Calvin berpegang kepada prinsip bahwa semua doa harus diucapkan dalam bahasa yang dapat dimengerti. Baginya, doa tanpa pengertian tidak mungkin diterima oleh Allah, seperti yang dapat dibaca dalam tulisannya: “But this must be fully admitted: that it is by no means possible, either in public prayer or in private, that the tongue without the heart is accepted by God.”30 Di bagian lain, ia menulis bahwa berdoa dalam bahasa roh namun tanpa pengertian adalah sebuah pelanggaran atas fungsi dan tujuan dari karunia tersebut, sehingga tindakan tersebut merupakan sesuatu yang tidak berkenan kepada Allah.31 Ia bahkan mengritik gereja Katolik Roma yang saat itu mempraktikkan hal ini, menurutnya:
It is also plain that public prayers are not to be couched in Greek among the Latins, nor in Latin among the French or English (as hitherto has been everywhere practiced), but in vulgar tongue, so that all present may understand them, since they ought to be used for the edification of the whole Church, which cannot be in the least degree benefited by a sound not understood.32

Hal yang sama juga diajarkannya mengenai doa pribadi ketika ia menulis bahwa “the tongue is not even necessary to private prayer.”33 Namun, ia memberikan sebuah pengecualian penggunaan bahasa roh dalam doa, yakni ketika seseorang dalam kondisi yang sedemikian rupa sehingga tidak mampu mengucapkan kata-kata dan secara spontan mengeluarkan bahasa roh atau bahasa tubuh lainnya. Tetapi, dalam kondisi demikian pun, orang tersebut tidak boleh kehilangan pengendalian atas pikiran dan pengertian, seperti yang ia tuliskan:
For although the best prayers are sometimes without utterances, yet when the feeling of the mind is overpowering, the tongue spontaneously breaks forth into utterance, and our other members in gesture. Hence that dubious muttering of Hannah (1Sam. 1:13), something similar to which is experienced by all saints when concise and abrupt expressions escape from them..34




IMPLIKASI DARI PENGAJARAN CALVIN BAGI GEREJA MASA KINI
Tidak dapat disangkal bahwa sejarah gereja mencatat Calvin sebagai salah satu “bintang yang paling bersinar di tengah-tengah masa kegelapan gereja.”Buah pemikiran dan karyanya telah menjadi salah satu acuan utama kehidupan bergereja sepanjang masa, salah satunya adalah berhubungan dengan pengajarannya tentang karunia bahasa roh.

Pemaparan pengajaran di atas membawa beberapa implikasi praktis bagi kalangan orang percaya hari ini. Pertama, karunia bahasa roh tidak berfungsi sebagai penentu tingkat spiritualitas seseorang. Zaman ini, terdapat kelompok-kelompok tertentu yang mengajarkan bahwa kemampuan berbahasa roh merupakan tanda tingginya tingkat kerohanian seseorang,35 bahkan tidak sedikit yang menjadikannya sebagai prasyarat untuk menerima keselamatan.36 Pandangan demikian telah dianulir oleh pengajaran Calvin yang menyatakan bahwa karunia bahasa roh hanya memiliki dua fungsi, yakni sebagai alat untuk mengabarkan Injil dan sebagai alat untuk membangun jemaat. Dengan kata lain, dalam pandangannya, bahasa roh tidak ada hubungan dengan tingkat spiritualitas seseorang. Baginya, tingkat spiritualitas seseorang ditentukan oleh ada tidaknya ia menyatu dengan Yesus Kristus dalam semua aspek kehidupan sehari-hari, seperti yang dapat dibaca dari tafsirannya terhadap perumpamaan tentang pohon anggur dan carang-carangnya:
Now, there are three principal parts; first, that we have no power of doing good but what comes from himself; secondly, that we, having a root in him, are dressed and pruned by the Father; thirdly, that he removes the unfruitful branches, that they may be thrown into the fire and burned.37

Selanjutnya, berbicara tentang pruning, ia menulis:
By these words, he shows that believers need incessant culture, that they may be prevented from degenerating. . . . When he says that the vines are pruned, that they may yield more abundant fruit, he shows what ought to be the progress of believers in the course of true religions.38

Masih dalam konteks yang sama, ia menyimpulkan bahwa:
Christ has no other object in view than to keep us as a hen keepeth her chickens under her wings (Matth. xxiii. 37), lest our indifference should carry us away, and make us fly to our destruction. In order to prove that he did not begin the work of our salvation for the purpose of leaving it imperfect in the middle of the course, he promises that his Spirit will always be efficacious in us, if we do not prevent him.39

Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa spiritualitas dapat diumpamakan dengan carang-carang yang bergantung sepenuhnya kepada pohon untuk mendapatkan makanan, perawatan, dan perlindungan agar dapat menghasilkan banyak buah.

Pandangan Calvin di atas juga didukung oleh beberapa penulis modern. Di antaranya adalah Dallas Willard yang mengartikan spiritualitas sebagai sebuah renovation of the heart, sebuah proses di mana seseorang menerima kehidupan yang baru dari Yesus Kristus dan secara konstan hidup di dalam hadirat-Nya untuk menerima makanan rohani bagi setiap hari.40

Pernyataan yang senada juga diungkapkan oleh R. Paul Stevens dan Michael Green yang mengartikan spiritualitas sebagai sebuah kehidupan yang dipenuhi dengan pengalaman bersama Allah, sehingga orang-orang percaya dapat menemukan Allah dalam setiap aspek kehidupan, termasuk di dalamnya pekerjaan, hubungan dengan sesama, dan kehidupan di gereja serta dunia.41 Bagi mereka, spiritualitas yang sejati hanya dapat dicapai dengan ketaatan kepada pengajaran Alkitab dan sebuah hati yang takut akan Allah.42

Sementara itu, Barry L. Callen mengungkapkan bahwa spiritualitas Kristen lebih dari sekadar usaha mencari Tuhan lewat pengajaran dan liturgi keagamaan, melainkan sebuah hati yang terpanggil dan siap untuk mengiring Tuhan dan terbuka untuk dipimpin oleh Roh Kudus dalam kehidupan setiap hari,
For the church to be authentically Christian, spiritual as God intends, the primary influences must be an intentional alliance with Jesus Christ and a genuine openness to the power of the Holy Spirit. . . . The Spirit wants to move the church beyond the spiritual deadness of mere religion.43

Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa spiritualitas Kristen yang sejati ditemukan di dalam hubungan yang erat dan konstan dengan Yesus Kristus, dengan firman Allah, dengan ketaatan kepada pengajaran Allah. Karunia bahasa roh mutlak tidak dapat membawa orang percaya kepada tingkat tersebut karena Roh Kudus tidak memberikan karunia ini untuk mencapai tujuan tersebut.

Kedua, manifestasi karunia bahasa roh dalam pertemuan jemaat harus dilaksanakan dalam konteks membangun jemaat. Calvin tidak pernah melarang orang berbahasa roh, namun ia selalu memegang prinsip bahwa dalam pertemuan jemaat, karunia bahasa roh harus dipraktikkan untuk kebaikan semua yang hadir serta berjalan dengan tertib dan lancar. Hal ini tentu bertolak belakang dengan apa yang terjadi dalam pertemuan atau kebaktian di kalangan tertentu.

Hari ini tidak sulit ditemukan kelompok orang percaya, atas nama sebuah puji dan sembah dalam ibadah, secara simultan mengucapkan (lebih tepat meneriakkan) kalimat-kalimat dalam suku kata yang tidak dapat dimengerti manusia (unintelligible) dalam suasana yang kacau dan tidak terkendali. Adakah manfaat dari fenomena tersebut? Jawabannya adalah tidak, baik bagi yang mempraktikkan atau yang menyaksikan, karena pada dasarnya apa yang diucapkan tidak dimengerti oleh siapa pun juga. Jika ada orang yang mengaku bahwa sewaktu atau setelah mempraktikkan apa yang mereka sebut sebagai bahasa roh tersebut, mereka merasa “lebih dekat kepada Allah, lebih rohani, lebih sukacita, atau melihat kemuliaan Allah,” semua pengakuan tersebut tentu tidak dapat dipertanggungjawabkan secara alkitabiah, karena Alkitab tidak pernah mengajarkan bahwa bahasa roh berfungsi untuk hasil-hasil yang disebutkan di atas. Jadi, apa yang sudah dilakukan di atas bukan hanya tidak membawa berkat, sebaliknya Calvin sudah memperingatkan bahwa mereka sangat mungkin dianggap sebagai orang yang memiliki misdirected ambition untuk menampilkan sebuah pertunjukan rohani agar dinilai lebih hebat, lebih suci, atau lebih rohani.

Sedangkan, bagi para pendengar atau mereka yang tidak mempraktikkan, kejadian tersebut alih-alih membawa berkat atau manfaat, sebaliknya tentu menciptakan sebuah kebingungan yang besar, karena pada dasarnya mereka sama sekali tidak mengerti apa yang sedang diucapkan atau apa yang sedang terjadi. Kejadian seperti itulah yang digambarkan oleh Calvin sebagai praktik speaking to no purpose atau speaking as a barbarian. Dengan kata lain, apa yang sedang terjadi sebenarnya merupakan sebuah penyalahgunaan atau penyimpangan dari karunia yang diberikan oleh Roh Kudus,44 sehingga kebaktian atau ibadah yang dipenuhi dengan fenomena seperti itu tentu bukan hal yang berkenan kepada Tuhan.

Ketiga, karunia bahasa roh tidak berperan di dalam gerakan kebangunan rohani. Pembahasan mengenai Calvin tidak pernah lepas dari konteks Reformasi gereja pada abad ke-16. Dalam catatan sejarah gereja, gerakan Reformasi gereja merupakan sebuah kebangunan rohani yang tidak tertandingi, baik dari segi luasnya pengaruh maupun pembaharuan spiritualitas orang percaya. Uniknya, selama proses gerakan ini tidak tercatat sedikit pun peran karunia bahasa roh di dalamnya.45 Kenyataan di atas seharusnya tidak membuat kita heran karena pada dasarnya karunia bahasa roh diberikan oleh Roh Kudus bukan untuk tujuan kebangunan rohani, seperti yang dijelaskan lewat pengajaran Calvin di atas serta kenyataan bahwa sejarah tidak merekam sedikit pun jejak praktik bahasa roh dalam kehidupannya.

Memang, hari ini cukup banyak gereja yang mengalami “kebangunan rohani”46 mengaku bahwa sumber kebangunan tersebut adalah karunia bahasa roh. Namun, pengakuan tersebut perlu diimbangi dengan kenyataan bahwa tidak semua gereja yang berbahasa roh mengalami kebangunan rohani dan sebaliknya tidak semua gereja yang mengalami kebangunan rohani berbahasa roh. Lagi pula, tidak sedikit “kebangunan rohani” yang dimaksud lebih difokuskan kepada hal-hal lahiriah, seperti bertambahnya pengunjung kebaktian, jumlah persembahan, atau kesuksesan lahiriah lainnya; yang tentu bukan tolok ukur yang sebenarnya bagi sebuah kebangunan rohani yang sejati.


KESIMPULAN
Berdasarkan pembahasan di atas, penulis menyimpulkan beberapa hal:
Pertama, natur bahasa roh yang dikaruniakan Roh Kudus kepada orang percaya adalah kemampuan seseorang untuk mengucapkan bahasa asing tanpa terlebih dahulu mempelajarinya. Bahasa asing yang dimaksud adalah bahasa manusia yang dapat dimengerti oleh pemakai aslinya.

Kedua, Roh Kudus memberikan karunia ini dengan dua tujuan: sebagai alat untuk mengabarkan Injil dan sebagai alat untuk membangun jemaat. Oleh sebab itu, setiap aplikasi dari karunia ini harus diterapkan dalam koridor dua tujuan pemberian di atas.

Ketiga, karunia bahasa roh dapat disalahgunakan, baik untuk tujuan menyombongkan diri dengan menjadikan karunia berbahasa roh sebagai bahan pertunjukan maupun dalam bentuk “kebodohan,” yakni mengucapkan kata-kata yang tidak dimengerti baik oleh pembicara maupun pendengar, sehingga apa yang dilakukan tidak mencapai tujuan apa pun juga serta tidak membawa manfaat kepada siapa pun juga.

Keempat, karunia bahasa roh tidak dapat dijadikan baik sebagai tolok ukur tingkat kerohanian—apalagi sebagai prasyarat keselamatan—seseorang, maupun alat untuk mencapai kebangunan rohani sebuah Gereja, karena karunia ini diberikan bukan untuk tujuan tersebut.



Catatan kaki:
1. “Bahasa roh” versi orang-orang yang mempraktikkannya dalam pertemuan tersebut.
2. Commentaries (Grand Rapids: Baker, 1984) 18.78-79.
3. “First Sermon on Pentecost”dalam John Calvin: Selections from His Writings (ed. John Dillenberger; Missoula: Scholars, 1975), hlm. 564.
4. Commentaries 18.453.
5. Commentaries 20.435 [penekanan oleh Calvin].
6. Ibid., hlm. 403.
7. Ibid., hlm. 444.
8. Ibid., hlm. 459.
9. Calvin secara eksplisit mengungkapkan hal ini dengan menjelaskan bahwa istilah “another tongue”(yang diterjemahkan menjadi bahasa roh) berasal dari kata hetera glossa yang berarti a foreign or not known language—bahasa yang tidak dimengerti; bukan agnoste glossa yang berarti an unknown language—bahasa yang tidak dikenal (lih. catatan kaki no. 1 di Ibid., hlm.435).
10. Terbukti dari tulisannya yang menyebut fenomena ini sebagai “gift of the Spirit”(Commentaries 19.210; Commentaries 20.453).
11. Mengenai hal ini, ia menulis: “In the same place he affirmeth that it is a special gift, wherewith all men are not endued” (Commentaries 18.77).
12. Ibid., hlm. 453.
13. Institutes III.2.9.
14. Commentaries 18.75.
15. “First Sermon on Pentecost”, hlm. 564.
16. Commentaries 20.454.
17. Commentaries 18.75.
18. Commentaries 18.453.
19. Seperti yang ditulisnya: “In short, let us simply have an eye to this as our end—that edification may redound to the Church”(Commentaries 20.437).
20. Ibid., hlm.436.
21. Ibid., hlm. 445.
22. Ibid., hlm. 458-459.
23. Ibid., hlm. 437.
24. Ibid., hlm. 442.
25. Calvin ingin supaya orang yang berbahasa roh berdoa agar di tengah-tengah terdapat orang lain yang diberi karunia untuk menerjemahkan, kalau tidak, “let him abstain in the meantime from ostentation” (Ibid., hlm.443).
26. Ibid., hlm. 436.
27. Ibid., hlm. 440.
28. Calvin menulis: “For all hear a sound, but they do not understand what is said” (Ibid., hlm.435).
29. Ibid., hlm. 441.
30. “Concerning Prayer, Together with an Explanation of the Lord’s Prayer” dalam John Calvin: Selections from His Writings, hlm. 316.
31. Yakni: “The principle we must always hold is, that in all prayer, public or private, the tongue without the mind must be displeasing to God” (Institutes III.20.33).
32. Ibid.
33. Ibid.
34. Ibid.
35. Seperti pernyataan Larry Christenson, “Moving from theological to practical consideration, however, this pattern in its entirely— including speaking in tongues— can prove extremely helpful. For many people it has been a key to a deeper walk with the Lord, more power for serving Him, and for being an effective witness” (Speaking in Tongues and Its Significance for the Church [London: Fountain Trust, 1968], hlm. 54). Roberts Liardon juga menyuarakan hal yang sama dengan mengatakan bahwa bahasa roh akan membuat orang percaya menjadi lebih kuat, lebih peka secara rohani, terbangun imannya, mulutnya disucikan, rohnya disegarkan, dan mendapatkan kuasa untuk menjadi saksi (Mengapa Iblis Tidak Ingin Kita Berdoa dalam Bahasa Roh? [Jakarta: Metanoia, 2000], hlm. 33-37).
36. Terdapat kelompok tertentu yang mengajarkan bahwa setiap orang yang ingin diselamatkan harus terlebih dahulu menerima baptisan Roh Kudus yang ditandai dengan kemampuan berbahasa roh. Ini berarti bahwa bahasa roh adalah prasyarat keselamatan seseorang. Kalau ini benar, berarti Calvin dan banyak tokoh iman lainnya tidak diselamatkan karena tidak berbahasa roh sewaktu menerima baptisan Roh Kudus.
37. Commentaries 18.107.
38. Ibid., hlm. 108.
39. Ibid., hlm. 109.
40. Dalam hal ini, Willard menulis, “Man does not live on bread alone. Those are, of course words from Jesus. And this is truly the way of the heart or spirit. If we want to live fully, we must live with him at that interior level. And he gives this life as a gift. The spiritual renovation, the spiritual which comes from Jesus is nothing less than an invasion of natural human reality by a supernatural life from God. We can live by nourishing ourselves constantly on his presence, here and now, beyond his death and ours” (Renovation of the Heart [Leicester: InterVarsity, 2002], hlm. 5).
41. Dalam hal ini, Stevens dan Green menulis: “Spirituality, as we are defining here, is our lived experience of God in the multiple contexts of life in which the seeking Father finds us. This experience of God enables us to discover the transcendent meaning of everyday life including our work, relationships, life in the church and world” (Living the Story: Biblical Spirituality for Everyday Christians [Grand Rapids: Eerdmans, 2003] x).
42. Ibid., hlm. x-xii.
43. Authentic Spirituality: Moving Beyond Mere Religion (Grand Rapids: Baker, 2001), hlm. 19.
44. Atau bahkan tidak sedikit orang menganggap itu sebagai manifestasi dari kuasa gelap atau fenomena psikologis dari orang yang jiwanya terganggu (lih. E. Glenn Hinson, “The Significance of Glossolalia in the History of Christianity”dalam Speaking in Tongues: A Guide to Research on Glossolalia [ed. Watson E. Mills; Grand Rapids: Eerdmans, 1986], hlm. 189-193).
45. George W. Dollar menulis bahwa “Actually, speaking in tongues played no part in the Reformation movement” (“Church History and the Tongues Movement,” Bibliotheca Sacra 120/480 [October, 1963] hlm. 318).
46. Penulis sengaja menambahkan tanda kutip pada istilah “kebangunan rohani” karena banyak Gereja secara keliru mengidentikkan kebangunan rohani sebagai pertumbuhan kuantitas pengunjung kebaktian, kesuksesan hidup anggota jemaat, dan manifestasi mujizat di antara orang percaya.





Sumber:
VERITAS 10/1 (April 2009), hlm. 59-71




Profil Pdt. Timotius Fu:
Pdt. Drs. Timotius Fu, M.Div., M.Th. adalah dosen Theologi Sistematika dan Praktika di Seminari Alkitab Asia Tenggara (SAAT) Malang. Beliau menyelesaikan studi Doktorandus (Drs.) di Universitas Negeri Tanjungpura, Pontianak; Master of Divinity (M.Div.) di Singapore Bible College, Singapore; dan Master of Theology (M.Th.) di Seminari Alkitab Asia Tenggara, Malang.




Editor dan Pengoreksi: Denny Teguh Sutandio.

Eksposisi 1 Korintus 6:1-4 (Ev. Yakub Tri Handoko, Th.M.)

EKSPOSISI 1 KORINTUS 6:1-4

oleh: Ev. Yakub Tri Handoko, Th.M.



Nats: 1 Korintus 6:1-4



1 Korintus 6:1-11 sudah tidak menyinggung tentang percabulan. Bagian ini memperkenalkan isu yang berbeda dengan di pasal 5:1-13. Walaupun demikian, kaitan antara dua perikop ini masih terlihat dari ide tentang penghakiman. Jemaat memiliki hak untuk menghakimi mereka yang ada dalam jemaat (5:12-13), namun mereka ternyata gagal menggunakan hak tersebut. Mereka justru melibatkan orang-orang dunia untuk menghakimi masalah internal dalam jemaat (6:1). Jika kita memperhatikan 1 Korintus 6:1-11 secara seksama maka kita akan mendapati bahwa fokus pembahasan Paulus bukan terletak pada masalah perselisihan antara jemaat, tetapi lebih pada kesalahan mereka dalam menyikapi perselisihan itu. Adanya perselisihan memang merupakan kesalahan (6:7), tetapi yang lebih salah lagi adalah kesalahan dalam menyikapi hal itu, yaitu melibatkan orang dunia untuk menyelesaikan masalah antar jemaat (6:1, 5-6).

Terhadap kesalahan di atas Paulus memberikan larangan yang tegas kepada jemaat supaya mereka jangan mencari keadilan pada orang-orang dunia (6:1). Ia lalu memberikan serentetan alasan bagi larangan tersebut (6:2-11). Kali ini kita hanya akan menyoroti alasan pertama yang dia berikan. Alasan ini berkaitan dengan status orang percaya di akhir zaman (6:2-4). Kita akan menghakimi dunia (6:2) dan para malaikat (6:3-4). Berdasarkan status ini maka sangat tidak masuk akal jika jemaat Korintus justru menjadikan orang dunia sebagai hakim atas mereka. Kitalah yang akan menghakimi mereka, bukan sebaliknya.




Larangan untuk Mencari Keadilan Pada Orang Dunia (ay. 1)
Dalam kalimat Yunani kata yang muncul pertama kali di ayat 1 adalah kata “berani” (tolma). Peletakkan seperti ini menyiratkan penekanan dan secara tepat mengekspresikan perasaan Paulus. Dia seakan-akan ingin mengatakan, “beraninya kamu.....?” Di mata Paulus kesalahan jemaat di pasal 6:1-11 merupakan dosa yang serius. Paulus bahkan secara tegas menyatakan bahwa dia sedang memalukan mereka (6:5a), padahal di bagian sebelumnya (ketika jemaat Korintus mengkritik Paulus) dia tidak ingin memalukan mereka (4:14).

Persoalan di pasal 6:1-11 bermula dari adanya perselisihan antar orang percaya (LAI:TB). Kata yang diterjemahkan “berselisih dengan orang lain” oleh LAI:TB secara harfiah berarti “memiliki kasus dengan yang lain” (pragma ecōn pros ton heteron). Ini merupakan istilah teknis di bidang hukum untuk sebuah perkara legal. Paulus tidak memberi penjelasan apapun tentang kasus yang dipersoalkan, karena yang dia tekankan terutama memang bukan perselisihan ini, tetapi bagaimana jemaat secara salah telah meresponi perselisihan tersebut.

Karena tidak ada penjelasan yang detil tentang kasus ini, para penafsir mencoba menawarkan berbagai dugaan. Sebagian menganggap bahwa kasus di sini adalah seputar percabulan: orang yang kawin dengan ibu tiri (5:1) dituntut ke pengadilan oleh ayahnya sendiri. Alasan yang diberikan lebih didasarkan pada posisi pasal 6:1-11 yang terletak di tengah-tengah dua perikop yang sama-sama membicarakan tentang dosa percabulan (5:1-13 dan 6:12-20).

Walaupun dugaan ini menarik, namun kita harus menolak dengan tegas: (1) dosa percabulan di 6:12-20 berkaitan dengan perempuan cabul (6:16), bukan ibu tiri; (2) jika kasus ini seputar percabulan, maka nasehat Paulus di 6:7b agar jemaat bersedia mengalah dan memilih untuk dirugikan menjadi tidak masuk akal; (3) dosa percabulan di 5:1-13 di mata Paulus adalah sangat serius (5:1), sedangkan kasus di 6:1-11 dia anggap perkara yang tidak berarti (6:2b) atau biasa (6:4). Jika kita harus menebak kasus hukum yang ada, maka kasus ini kemungkinan besar berkaitan dengan materi: (1) nasehat Paulus agar jemaat memilih untuk dirugikan (6:7b) tampaknya berkaitan dengan masalah harta; (2) rujukan tentang warisan rohani di 6:9 (“tidak akan mendapat bagian dalam Kerajaan Allah..,”) sangat mungkin berkaitan dengan persoalan materi.

Ketika mereka memiliki masalah hukum seputar harta, mereka “mencari keadilan” (krinō) pada orang-orang yang tidak benar. Kata Yunani ini bisa memiliki beragam arti. Dalam konteks ini tampaknya lebih tepat diterjemahkan “membawa ke pengadilan” (KJV/ASV/NASB/RSV “go to law”; NIV “take it...for judgment”; bdk. Mat. 5:40 “mengadukan”). Terjemahan LAI:TB “mencari keadilan” dalam hal ini bisa menimbulkan kesan yang salah. Pernyataan Paulus di 6:8 secara jelas menunjukkan bahwa jemaat bertindak tidak adil. Jadi, mereka hanya membawa kasus itu ke pengadilan, tetapi bukan untuk mencari keadilan.

Makna di atas sesuai dengan penggunaan kata “pada/di hadapan orang-orang yang tidak benar” (epi tōn adikōn) di bagian selanjutnya. Kata adikos di sini bukan sekadar menunjukkan bahwa hakim di pengadilan adalah orang yang tidak percaya (6:6b “...pada orang-orang yang tidak percaya”), namun mereka juga orang-orang yang tidak adil. Ada beberapa alasan yang mendukung tafsiran ini: (1) kata adikos hanya muncul 3x dalam tulisan Paulus; di Roma 3:5 dan 1 Korintus 6:9 kata ini tanpa keraguan berarti “tidak adil”; (2) kata adikein di 1 Korintus 6:8 berarti “melakukan ketidakadilan”; (3) jika Paulus hanya melihat hakim tersebut sebagai orang non-Kristen saja, maka dia kemungkinan akan mempertahankan pemakaian ungkapan “mereka yang di luar jemaat” yang dia sudah pakai sebelumnya (5:12-13). Jadi, kesalahan jemaat bukan hanya membawa masalah internal mereka kepada orang non-Kristen, tetapi juga pada mereka yang bertindak tidak adil. Jelas maksud mereka lebih ke arah pembelaan, bukan pencarian kebenaran.

Kita tidak perlu terkejut dengan sikap Paulus yang sedikit negatif terhadap pengadilan pada waktu itu. Secara umum gambaran tentang hakim yang tidak adil dan dapat dibeli dengan uang bukanlah fenomena yang asing (bdk. Luk. 18:2, 6; Yak. 2:6; 5:6). Paulus sendiri pernah berurusan dengan Felix dan Festus yang sebenarnya bisa memberi keadilan kepadanya tetapi mereka tetap memenjarakan dia untuk kepentingan pribadi mereka (Kis. 24:26-27). Para penulis kafir kuno waktu itu juga tidak sedikit yang menyinggung tentang keadilan di ruang pengadilan. Benarlah perkataan pengkhotbah, “Ada lagi yang kulihat di bawah matahari: di tempat pengadilan, di situpun terdapat ketidakadilan, dan di tempat keadilan, di situpun terdapat ketidakadilan” (Pkh. 3:16).

Jemaat Korintus seharusnya membawa masalah mereka “di hadapan orang-orang kudus” (epi tōn hagiōn). Tradisi Yahudi memberi larangan yang tegas untuk membawa persoalan antar orang Yahudi kepada orang non-Yahudi. Persoalan mereka diselesaikan dalam sebuah pertemuan di synagoge. Tradisi ini tetap dipegang Paulus, namun dengan alasan yang berbeda (lih. pembahasan di ay. 2-4). Paulus sendiri sudah menjelaskan bahwa jemaat secara bersama-sama dapat menjalankan penghakiman (5:1-13). Yesus pun sebelumnya mengajarkan agar perselisihan dalam jemaat dibereskan sendiri di antara mereka melalui prosedur tertentu (Mat. 18:15-20).

Yang dimaksud “orang-orang kudus” di bagian ini bukanlah mereka yang kekudusannya sudah sempurna. Tidak ada orang di dunia ini yang bisa mencapai hal tersebut (1Yoh. 1:8, 10). “Kudus” di sini harus dipahami daam konteks status orang percaya di hadapan Allah (bdk. 1:2). Jemaat Korintus jelas melakukan berbagai dosa, beberapa di antaranya bahkan sangat memalukan. Bagaimanaun, mereka sudah percaya kepada Yesus sehingga status mereka sebagai orang berdosa telah diubah menjadi orang kudus.

Larangan Paulus untuk membawa suatu kasus ke pengadilan dunia tidak berkontradiksi dengan upaya hukum yang dia lakukan selama pelayananya (Kis. 16:37-39; 25:10-12). Apa yang dia lakukan berkaitan dengan tindakan pidana (penganiayaan). Ini bukan masalah untung-rugi sebagaimana kasus di 1 Korintus 6:1-11. Di samping itu, upaya hukum yang dilakukan Paulus adalah antara orang percaya (Paulus) dengan mereka yang tidak percaya (para penganiaya). Di tempat lain Paulus bahkan menasehati orang-orang Kristen untuk menghormati pemerintah yang diberi wewenang untuk menjalankan hukuman (Rm. 13).




Alasan Bagi Larangan: Status Orang Percaya Di Akhir Zaman (ay. 2-4)
Larangan Paulus di ayat 1 memang berkaitan dengan figur hakim yang tidak adil (adikos), namun alasan dia melarang jemaat Korintus membawa suatu kasus ke pengadilan terutama bukan terletak pada hal itu. Dia lebih menyoroti status eskatologis orang percaya. Dalam hal ini dia menyinggung dua kebenaran penting.


Orang kudus akan menghakimi dunia (ay. 2)
Tindakan seorang jemaat yang menyeret sesama saudara seiman untuk dihakimi orang dunia merupakan tindakan yang bertentangan dengan status orang percaya di akhir zaman. Mereka nanti akan menghakimi dunia, sehingga sangat tidak pantas jika mereka sekarang justru meminta dunia untuk menghakimi mereka. Memang orang percaya sekarang tidak berhak menghakimi dunia (5:12-13), tetapi hal itu tidak berarti bahwa kita boleh menyerahkan diri untuk dihakimi oleh dunia. Kitalah yang akan menghakimi mereka, bukan sebaliknya!

Konsep tentang orang-orang kudus yang akan menghakimi dunia berasal dari pengharapan PL. Daniel 7:22 menyatakan bahwa Allah akan memberikan penghakiman (LAI:TB “keadilan”) kepada orang-orang kudus. Sekilas kebenaran ini sangat membingungkan, karena penghakiman atas dunia adalah hak prerogatif Allah (Yoh. 5:22; Rm. 3:6). Jika kita memperhatikan teks-teks yang mendukung gagasan tentang posisi orang percaya di akhir zaman sebagai hakim, maka kita akan mendapati bahwa wewenang penghakiman ini disejajarkan dengan pemerintahan. Daniel 7:22 “sampai Yang Lanjut Usianya itu datang dan keadilan [lit. “penghakiman”] diberikan kepada orang-orang kudus milik Yang Mahatinggi dan waktunya datang orang-orang kudus itu memegang pemerintahan”. Wahyu 20:4 “...kepada mereka diserahkan kuasa untuk menghakimi...mereka hidup kembali dan memerintah sebagai raja bersama-sama dengan Kristus untuk masa seribu tahun”. Karena kita akan memerintah bersama dengan Kristus (2Tim. 2:12; Why. 22:5) yang akan menghakimi dunia, maka dalam taraf tertentu kita juga berpartisipasi dalam penghakiman itu.

Kaitan antara dua hal ini tentu tidak mengagetkan orang-orang Yahudi, karena PL sering kali mengaitkan posisi seorang sebagai hakim dengan pemerintahan atau seorang raja dengan penghakiman (Rat. 1:1; Mzm. 2:10; Yes. 16:5; Dan. 9:12).

Jika orang-orang kudus pasti akan menghakimi dunia, maka jemaat Korintus seharusnya sanggup mengurus “perkara-perkara yang tidak berarti” (kritērion elacistōn, ay. 2b). Terjemahan LAI:TB tampaknya mengikuti NIV dan RSV yang memakai “trivial cases”. Sesuai kata Yunani yang dipakai, frase di atas seharusnya diterjemahkan “perkara-perkara yang paling kecil” (KJV/ASV/NASB). Paulus tidak sedang menggampangkan semua masalah yang ada. Dia hanya ingin mengajarkan bahwa dibandingkan dengan kemuliaan orang percaya nanti, maka semua perkara duniawi adalah hal-hal yang sama sekali tidak berarti. Dalam Lukas 16:9 dan 11 semua harta duniawi disebut sebagai “mamon yang tidak sesungguhnya” (terjemahan LAI:TB “mamon yang tidak jujur” di sini tidak tepat). Bukankah kita sering kali berselisih tentang hal-hal yang sifatnya sementara, misalnya uang, jabatan, popularitas, posisi, dsb., yang tidak ada artinya jika dibandingkan dengan kemuliaan surgawi kelak?


Orang kudus akan menghakimi para malaikat (ay. 3-4)
Para penafsir berdebat tentang identitas dari malaikat yang akan dihakimi: seluruh malaikat atau malaikat yang jatuh saja. Perdebatan ini sulit untuk diselesaikan, karena Paulus lebih menyoroti posisi eskhatologis orang kudus dibandingkan dengan malaikat. Dia tidak memberi penjelasan apapun tentang identitas malaikat yang dia maksud. PL juga tidak memberi rujukan yang ekspisit tentang hal ini. Konsep seperti itu memang banyak dibahas dalam berbagai tulisan apokaliptis Yahudi, tetapi kita kesulitan menemukan dukungan yang jelas dari PL. Berdasarkan beragam teks Alkitab yang mengajarkan bahwa Allah akan menghakimi para malaikat yang jatuh, maka kita bisa mengatakan bahwa orang-orang kudus yang memerintah bersama Allah juga termasuk yang menghakimi para malaikat itu. Di sisi lain, Alkitab tampaknya memang mengajarkan bahwa manusia lebih daripada semua malaikat. Manusia adalah yang termulia di antara semua ciptaan (Mzm. 8), sekalipun dalam teks ini tidak ada indikasi yang jelas bahwa “ciptaan” mencakup para malaikat. Ibrani 2:16 menyatakan bahwa Allah mengasihi keturunan Abraham daripada para malaikat. Allah tidak menebus malaikat yang jatuh ke dalam dosa, tetapi hanya umat pilihan. Para malaikat bahkan sangat ingin mengetahui kabar baik tersebut (1Ptr. 1:12) dan mereka diutus sebagai roh-roh yang melayani orang percaya (Ibr. 1:14).

Jika orang-orang kudus akan menghakimi para malaikat (ay. 3a), maka mereka seharusnya mampu menangani “perkara-perkara biasa dalam hidup kita sehari-hari” (ay. 3b). Terjemahan yang sangat panjang ini dalam bahasa Yunani hanya memakai satu kata: biōtika. Kata ini memiliki arti yang luas yang berkaitan dengan hal-hal dalam kehidupan sehari-hari (2Tim. 2:4; 1Yoh. 2:16; 3:17). Seorang penulis kuno menggunakan kata ini untuk hal-hal yang dapat diselesaikan sendiri di rumah (dikontraskan dengan hal-hal lain yang serius yang perlu dibawa ke pengadilan). Melalui pemakaian kata ini Paulus ingin mengajarkan bahwa dibandingkan dengan status eskhatologis orang percaya yang sangat mulia, semua perkara yang mereka persoalkan secara hukum hanyalah hal-hal yang sepele, tidak perlu dibawa ke luar dari jemaat.

Di ayat 4 Paulus memaparkan sebuah pengandaian (bdk. kata “jika”): jika ada biōtika, apakah jemaat Korintus akan memilih “mereka yang tidak berarti dalam jemaat” sebagai hakim? Para penafsir berbeda pendapat tentang nuansa dalam kalimat ini. Apakah Paulus sedang memberikan seruan (NIV/KJV) atau pertanyaan (ASV/NASB/RSV/LAI:TB)? Jika ini seruan, maka Paulus sedang menyindir jemaat Korintus yang tidak sanggup mengurusi perkara di antara mereka untuk menyerahkan perkara itu pada mereka yang terkecil dalam jemaat. Jika ini adalah pertanyaan, maka Paulus sedang mengharapkan jawaban tidak dari jemaat: mereka tidak akan menyerahkan biōtika kepada mereka yang tidak berarti dalam jemaat! Dari dua kemungkinan ini, yang pertama lebih bisa diterima: (1) Paulus memang sedang menyindir para pemimpin yang merasa berhikmat (pasal 1-3) tetapi kenyataannya tidak ada yang berhikmat (bdk. 6:5); (2) surat 1 Korintus penuh dengan sindiran ironis (bdk. 4:8).

Para penafsir juga berdebat tentang “mereka yang tidak berarti dalam jemaat”. Apakah Paulus memikirkan “para hakim yang dianggap kecil oleh jemaat” (bdk. RSV “those who are least esteemed by the church”) atau sebagian jemaat yang posisinya tidak berarti dalam jemaat (KJV/ASV/NIV/NASB)? Sebagian penafsir memilih alternatif ke-1, karena alternatif ke-2 dianggap tidak sesuai dengan sikap Paulus yang mengganggap semua jemaat penting (1Kor. 12:21-25). Kita sebaiknya memilih alternatif ke-2. Paulus tidak sedang meremehkan jemaat tertentu, tetapi dia sedang menyindir mereka yang merasa diri berhikmat dalam jemaat (1Kor 1-3). Paulus menasehati mereka untuk menyerahkan perkara biasa pada sebagian jemaat yang menurut mereka mungkin dianggap tidak berhikmat. Kalau semua orang kudus (termasuk mereka yang dianggap tidak berarti dalam jemaat), maka orang-orang seperti itu pun seharusnya juga mampu menangani masalah-masalah sehari-hari yang sepele. Kegagalan para pemimpin di Korintus dalam menyelesaikan perselisihan di antara mereka merupakan bukti bahwa mereka tidak sepintar yang mereka kira. Orang percaya yang tidak berhikmat menurut ukuran dunia ini pun bisa, tetapi mereka ternyata gagal. #




Sumber:
Mimbar GKRI Exodus, 14 Desember 2008
(http://www.gkri-exodus.org/image-upload/1Korintus%2006%20ayat%2001-06.pdf)

Kesaksian Jim Caviezel, Pemeran Yesus dalam "The Passion of the Christ"

KESAKSIAN JIM CAVIEZEL, PEMERAN YESUS DALAM “THE PASSION OF THE CHRIST”



Jim Caviezel adalah aktor Hollywood yang memerankan Tuhan Yesus dalam Film “The Passion of the Christ”. Berikut refleksi atas perannya di film itu.

JIM CAVIEZEL ADALAH SEORANG AKTOR BIASA DENGAN PERAN-PERAN KECIL DALAM FILM-FILM YANG JUGA TIDAK BESAR. PERAN TERBAIK YANG PERNAH DIMILIKINYA (SEBELUM THE PASSION) ADALAH SEBUAH FILM PERANG YANG BERJUDUL “THE THIN RED LINE”. ITUPUN HANYA SALAH SATU PERAN DARI BEGITU BANYAK AKTOR BESAR YANG BERPERAN DALAM FILM KOLOSAL ITU.

Dalam Thin Red Line, Jim berperan sebagai prajurit yang berkorban demi menolong teman-temannya yang terluka dan terkepung musuh, ia berlari memancing musuh kearah yang lain walaupun ia tahu ia akan mati, dan akhirnya musuhpun mengepung dan membunuhnya. Kharisma kebaikan, keramahan, dan rela berkorbannya ini menarik perhatian Mel Gibson, yang sedang mencari aktor yang tepat untuk memerankan konsep film yang sudah lama disimpannya, menunggu orang yang tepat untuk memerankannya.

“Saya terkejut suatu hari dikirimkan naskah sebagai peran utama dalam sebuah film besar. Belum pernah saya bermain dalam film besar apalagi sebagai peran utama. Tapi yang membuat saya lebih terkejut lagi adalah ketika tahu peran yang harus saya mainkan. Ayolah…, Dia ini Tuhan, siapa yang bisa mengetahui apa yang ada dalam pikiran Tuhan dan memerankannya? Mereka pasti bercanda.

Besok paginya saya mendapat sebuah telepon, “Hallo ini, Mel”. Kata suara dari telpon tersebut. “Mel siapa?”, Tanya saya bingung. Saya tidak menyangka kalau itu Mel Gibson, salah satu aktor dan sutradara Hollywood yang terbesar. Mel kemudian meminta kami bertemu, dan saya menyanggupinya.

Saat kami bertemu, Mel kemudian menjelaskan panjang lebar tentang film yang akan dibuatnya. Film tentang Tuhan Yesus yang berbeda dari film2 lain yang pernah dibuat tentang Dia. Mel juga menyatakan bahwa akan sangat sulit dalam memerankan film ini, salah satunya saya harus belajar bahasa dan dialek alamik, bahasa yang digunakan pada masa itu.

Dan Mel kemudian menatap tajam saya, dan mengatakan sebuah resiko terbesar yang mungkin akan saya hadapi. Katanya bila saya memerankan film ini, mungkin akan menjadi akhir dari karir saya sebagai aktor di Hollywood.

Sebagai manusia biasa saya menjadi gentar dengan resiko tersebut. Memang biasanya aktor pemeran Yesus di Hollywood, tidak akan dipakai lagi dalam film-film lain. Ditambah kemungkinan film ini akan dibenci oleh sekelompok orang Yahudi yang berpengaruh besar dalam bisnis pertunjukan di Hollywood . Sehingga habislah seluruh karir saya dalam dunia perfilman.

Dalam kesenyapan menanti keputusan saya apakah jadi bermain dalam film itu, saya katakan padanya. “Mel apakah engkau memilihku karena inisial namaku juga sama dengan Jesus Christ (Jim Caviezel), dan umurku sekarang 33 tahun, sama dengan umur Yesus Kristus saat Ia disalibkan?” Mel menggeleng setengah terperengah, terkejut, menurutnya ini menjadi agak menakutkan. Dia tidak tahu akan hal itu, ataupun terluput dari perhatiannya. Dia memilih saya murni karena peran saya di “Thin Red Line”. Baiklah Mel, aku rasa itu bukan sebuah kebetulan, ini tanda panggilanku, semua orang harus memikul salibnya. Bila ia tidak mau memikulnya maka ia akan hancur tertindih salib itu. Aku tanggung resikonya, mari kita buat film ini!

Maka saya pun ikut terjun dalam proyek film tersebut. Dalam persiapan karakter selama berbulan-bulan saya terus bertanya-tanya, dapatkah saya melakukannya? Keraguan meliputi saya sepanjang waktu. Apa yang seorang Anak Tuhan pikirkan, rasakan, dan lakukan. Pertanyaan-pertanyaan tersebut membingungkan saya, karena begitu banya referensi mengenai Dia dari sudut pandang berbeda-beda.

Akhirnya hanya satu yang bisa saya lakukan, seperti yang Yesus banyak lakukan yaitu lebih banyak berdoa. Memohon tuntunan-Nya melakukan semua ini. Karena siapalah saya ini memerankan Dia yang begitu besar. Masa lalu saya bukan seorang yang dalam hubungan dengan-Nya. Saya memang lahir dari keluarga Katolik yang taat, kebiasaan-kebiasaan baik dalam keluarga memang terus mengikuti dan menjadi dasar yang baik dalam diri saya.

Saya hanyalah seorang pemuda yang bermain bola basket dalam liga SMA dan kampus, yang bermimpi menjadi seorang pemain NBA yang besar. Namun cedera engkel menghentikan karir saya sebagai atlit bola basket. Saya sempat kecewa pada Tuhan, karena cedera itu, seperti hancur seluruh hidup saya.

Saya kemudian mencoba peruntungan dalam casting-casting, sebuah peran sangat kecil membawa saya pada sebuah harapan bahwa seni peran munkin menjadi jalan hidup saya. Kemudian saya mendalami seni peran dengan masuk dalam akademi seni peran, sambil sehari-hari saya terus mengejar casting.

Dan kini saya telah berada dipuncak peran saya. Benar Tuhan, Engkau yang telah merencanakan semuanya, dan membawaku sampai di sini. Engkau yang mengalihkanku dari karir di bola basket, menuntunku menjadi aktor, dan membuatku sampai pada titik ini. Karena Engkau yang telah memilihku, maka apa pun yang akan terjadi, terjadilah sesuai kehendak-Mu.

Saya tidak membayangkan tantangan film ini jauh lebih sulit dari pada bayangan saya.

Di make-up selama 8 jam setiap hari tanpa boleh bergerak dan tetap berdiri, saya adalah orang satu-satunya di lokasi syuting yang hampir tidak pernah duduk. Sungguh tersiksa menyaksikan kru yang lain duduk-duduk santai sambil minum kopi. Kostum kasar yang sangat tidak nyaman, menyebabkan gatal-gatal sepanjang hari syuting membuat saya sangat tertekan. Salib yang digunakan, diusahakan seasli mungkin seperti yang dipikul oleh Yesus saat itu. Saat mereka meletakkan salib itu dipundak saya, saya kaget dan berteriak kesakitan, mereka mengira itu akting yang sangat baik, padahal saya sungguh-sungguh terkejut. Salib itu terlalu berat, tidak mungkin orang biasa memikulnya, namun saya mencobanya dengan sekuat tenaga.

Yang terjadi kemudian setelah dicoba berjalan, bahu saya copot, dan tubuh saya tertimpa salib yang sangat berat itu. Dan sayapun melolong kesakitan, minta pertolongan. Para kru mengira itu akting yang luar biasa, mereka tidak tahu kalau saya dalam kecelakaan sebenarnya. Saat saya memulai memaki, menyumpah dan hampir pingsan karena tidak tahan dengan sakitnya, maka merekapun terkejut, sadar apa yang sesungguhnya terjadi dan segera memberikan saya perawatan medis.

Sungguh saya merasa seperti setan karena memaki dan menyumpah seperti itu, namun saya hanya manusia biasa yang tidak biasa menahannya. Saat dalam pemulihan dan penyembuhan, Mel datang pada saya. Ia bertanya apakah saya ingin melanjutkan film ini, ia berkata ia sangat mengerti kalau saya menolak untuk melanjutkan film itu. Saya bekata pada Mel, saya tidak tahu kalau salib yang dipikul Tuhan Yesus seberat dan semenyakitkan seperti itu. Tapi kalau Tuhan Yesus mau memikul salib itu bagi saya, maka saya akan sangat malu kalau tidak memikulnya walau sebagian kecil saja. Mari kita teruskan film ini. Maka mereka mengganti salib itu dengan ukuran yang lebih kecil dan dengan bahan yang lebih ringan, agar bahu saya tidak terlepas lagi, dan mengulang seluruh adegan pemikulan salib itu. Jadi yang penonton lihat didalam film itu merupakan salib yang lebih kecil dari aslinya.

Bagian syuting selanjutnya adalah bagian yang mungkin paling mengerikan, baik bagi penonton dan juga bagi saya, yaitu syuting penyambukan Yesus. Saya gemetar menghadapi adegan itu, Karena cambuk yang digunakan itu sungguhan. Sementara punggung saya hanya dilindungi papan setebal 3 cm. Suatu waktu para pemeran prajurit Roma itu mencambuk dan mengenai bagian sisi tubuh saya yang tidak terlindungi papan. Saya tersengat, berteriak kesakitan, bergulingan di tanah sambil memaki orang yang mencambuk saya. Semua kru kaget dan segera mengerubungi saya untuk memberi pertolongan.

Tapi bagian paling sulit, bahkan hampir gagal dibuat yaitu pada bagian penyaliban. Lokasi syuting di Italia sangat dingin, sedingin musim salju, para kru dan figuran harus manggunakan mantel yang sangat tebal untuk menahan dingin. Sementara saya harus telanjang dan tergantung diatas kayu salib, diatas bukit yang tertinggi disitu. Angin dari bukit itu bertiup seperti ribuan pisau menghujam tubuh saya. Saya terkena hypothermia (penyakit kedinginan yang biasa mematikan), seluruh tubuh saya lumpuh tak bisa bergerak, mulut saya gemetar bergoncang tak terkendalikan. Mereka harus menghentikan syuting, karena nyawa saya jadi taruhannya.

Semua tekanan, tantangan, kecelakaan dan penyakit membawa saya sungguh depresi. Adegan-adegan tersebut telah membawa saya kepada batas kemanusiaan saya. Dari adegan-keadegan lain semua kru hanya menonton dan menunggu saya sampai pada batas kemanusiaan saya, saat saya tidak mampu lagi baru mereka menghentikan adegan itu. Ini semua membawa saya pada batas-batas fisik dan jiwa saya sebagai manusia. Saya sungguh hampir gila dan tidak tahan dengan semua itu, sehingga sering kali saya harus lari jauh dari tempat syuting untuk berdoa. Hanya untuk berdoa, berseru pada Tuhan kalau saya tidak mampu lagi, memohon Dia agar memberi kekuatan bagi saya untuk melanjutkan semuanya ini. Saya tidak bisa, masih tidak bisa membayangkan bagaimana Yesus sendiri melalui semua itu, bagaimana menderitanya Dia. Dia bukan sekadar mati, tetapi mengalami penderitaan luar biasa yang panjang dan sangat menyakitkan, bagi fisik maupun jiwa-Nya.

Dan peristiwa terakhir yang merupakan mujizat dalam pembuatan film itu adalah saat saya ada diatas kayu salib. Saat itu tempat syuting mendung gelap karena badai akan datang, kilat sambung menyambung diatas kami. Tapi Mel tidak menghentikan pengambilan gambar, karena memang cuaca saat itu sedang ideal sama seperti yang seharusnya terjadi seperti yang diceritakan. Saya ketakutan tergantung diatas kayu salib itu, disamping kami ada dibukit yang tinggi, saya adalah objek yang paling tinggi, untuk dapat dihantam oleh halilintar. Baru saja saya berpikir ingin segera turun karena takut pada petir, sebuah sakit yang luar biasa menghantam saya beserta cahaya silau dan suara menggelegar sangat kencang (setan tidak senang dengan adanya pembuatan film seperti ini). Dan sayapun tidak sadarkan diri.

Yang saya tahu kemudian banyak orang yang memanggil-manggil meneriakkan nama saya, saat saya membuka mata semua kru telah berkumpul disekeliling saya, sambil berteriak-teriak “dia sadar! dia sadar!” (dalam kondisi seperti ini mustahil bagi manusia untuk bisa selamat dari hamtaman petir yang berkekuatan berjuta-juta volt kekuatan listrik, tapi perlindungan Tuhan terjadi di sini).

“Apa yang telah terjadi?” Tanya saya. Mereka bercerita bahwa sebuah halilintar telah menghantam saya diatas salib itu, sehingga mereka segera menurunkan saya dari situ. Tubuh saya menghitam karena hangus, dan rambut saya berasap, berubah menjadi model Don King. Sungguh sebuah mujizat kalau saya selamat dari peristiwa itu.

Melihat dan merenungkan semua itu sering kali saya bertanya, “Tuhan, apakah Engkau menginginkan film ini dibuat? Mengapa semua kesulitan ini terjadi, apakah Engkau menginginkan film ini untuk dihentikan”? Namun saya terus berjalan, kita harus melakukan apa yang harus kita lakukan. Selama itu benar, kita harus terus melangkah. Semuanya itu adalah ujian terhadap iman kita, agar kita tetap dekat pada-Nya, supaya iman kita tetap kuat dalam ujian.

Orang-orang bertanya bagaimana perasaan saya saat ditempat syuting itu memerankan Yesus. Oh… itu sangat luar biasa… mengagumkan… tidak dapat saya ungkapkan dengan kata-kata. Selama syuting film itu ada sebuah hadirat Tuhan yang kuat melingkupi kami semua, seakan-akan Tuhan sendiri berada di situ, menjadi sutradara atau merasuki saya memerankan diri-Nya sendiri.

Itu adalah pengalaman yang tak terkatakan. Semua yang ikut terlibat dalam film itu mengalami lawatan Tuhan dan perubahan dalam hidupnya, tidak ada yang terkecuali. Pemeran salah satu prajurit Roma yang mencambuki saya itu adalah seorang muslim, setelah adegan tersebut, ia menangis dan menerima Yesus sebagai Tuhannya. Adegan itu begitu menyentuhnya. Itu sungguh luar biasa. Padahal awalnya mereka datang hanya karena untuk panggilan profesi dan pekerjaan saja, demi uang. Namun pengalaman dalam film itu mengubahkan kami semua, pengalaman yang tidak akan terlupakan.

Dan Tuhan sungguh baik, walaupun memang film itu menjadi kontroversi. Tapi ternyata ramalan bahwa karir saya berhenti tidak terbukti. Berkat Tuhan tetap mengalir dalam pekerjaan saya sebagai aktor. Walaupun saya harus memilah-milah dan membatasi tawaran peran sejak saya memerankan film ini.

Saya harap mereka yang menonton The Passion of Jesus Christ, tidak melihat saya sebagai aktornya. Saya hanyalah manusia biasa yang bekerja sebagai aktor, jangan kemudian melihat saya dalam sebuah film lain kemudian mengaitkannya dengan peran saya dalam The Passion dan menjadi kecewa.

Tetap pandang hanya pada Yesus saja, dan jangan lihat yang lain. Sejak banyak bergumul berdoa dalam film itu, berdoa menjadi kebiasaan yang tak terpisahkan dalam hidup saya. Film itu telah menyentuh dan mengubah hidup saya, saya berharap juga hal yang sama terjadi pada hidup anda. Amin.

“TUHAN YESUS MEMBERKATI KITA SEMUA”



Sumber:
http://sityb.wordpress.com/2009/09/08/kesaksian-jim-caviezel-pemeran-yesus-dalam-the-passion-of-the-christ/