26 September 2010

JADUL IS THE BEST??? (Denny Teguh Sutandio)

JADUL IS THE BEST???

oleh: Denny Teguh Sutandio



“Janganlah kamu menjadi serupa dengan dunia ini, tetapi berubahlah oleh pembaharuan budimu, sehingga kamu dapat membedakan manakah kehendak Allah: apa yang baik, yang berkenan kepada Allah dan yang sempurna.”
(Rm. 12:2)




Surat Paulus kepada jemaat di Roma ini merupakan surat Paulus yang dapat dikatakan magnum opus dari Paulus tentang pokok-pokok iman Kristen yang paling komprehensif yang mengajarkan: dosa dan keselamatan melalui anugerah Allah di dalam Kristus. Hal ini ditandai dengan 11 pasal dari Roma 1 s/d 11 dipakai untuk menguraikan pokok-pokok penting iman Kristen tersebut. Namun Paulus bukan seorang yang hanya pandai berteori, ia juga berusaha mengaplikasikan apa yang diajarkannya dan prinsip-prinsip aplikasi tersebut diuraikannya di pasal 12 s/d 16. Setelah ditutup dengan segala kemuliaan hanya bagi Allah Trinitas di pasal 11 ayat 36, maka di pasal 12, ia memulai prinsip aplikasinya dengan konsep ibadah sejati, yaitu dengan mempersembahkan tubuh kita sebagai persembahan yang total kepada Allah. Cukupkah sampai di situ? TIDAK! Di ayat 2, Paulus melanjutkannya dengan mengajar bahwa agar kita tidak menjadi serupa dengan dunia ini, tetapi diubah oleh pembaharuan akal budi kita. Jika kita membaca ayat 2 dalam terjemahan Indonesia, maka kita menafsirkannya bahwa kita lah yang aktif untuk tidak serupa dengan dunia dan mengubah akal budi kita, namun jika kita selidiki teks Yunaninya, maka hal itu bertolak belakang, di mana teks Yunaninya menggunakan bentuk pasif. “Janganlah kamu menjadi serupa dengan dunia ini” di dalam teks Yunaninya seharusnya: “Janganlah kamu dijadikan serupa dengan dunia ini”, lalu “berubahlah oleh pembaharuan budimu” seharusnya: “kamu diubah oleh pembaharuan pemikiran” (Hasan Sutanto, Perjanjian Baru Interlinear Yunani-Indonesia, 2006, hlm. 862). Bentuk aktif pada kalimat pertama menandakan bahwa dunialah yang mencoba meracuni kita, sehingga kita jangan mau dibodohi oleh arus filsafat dan gaya hidup dunia. Lalu disusul dengan pernyataan bahwa kita harus diubah oleh pembaharuan akal budi. Pertanyaan selanjutnya, siapa yang mengubah pembaharuan akal budi kita? Tentu saja Allah! Dengan bahasa yang singkat namun jelas, The Bible Exposition Commentary: New Testament menafsirkannya, “The world wants to control your mind, but God wants to transform your mind (see Eph. 4:17-24; Col. 3:1-11).” Penafsiran ini sangat tajam, karena membedakan: dunia ingin MENGONTROL pikiran kita (secara tidak sadar), sedangkan Allah ingin MENGUBAH/MENTRANSFORMASI pikiran kita (secara sadar).


Melalui apakah dunia kita ingin mengontrol pikiran kita? Dengan beragam filsafat, ajaran, dan tradisi manusia yang melawan kedaulatan Allah dan firman-Nya. Pada kesempatan ini, saya hanya akan menspesifikkan satu cara dunia kita mengontrol pikiran orang Kristen, yaitu TRADISI. Tradisi secara definisi berarti adat kebiasaan turun-temurun dari nenek moyang (Kamus Besar Bahasa Indonesia, 1990, hlm. 959). Kalau kita memperhatikan definisi ini, sepintas tradisi itu benar, namun di dalam perspektif iman Kristen, tradisi itu TIDAK 100% salah dan juga TIDAK 100% benar. Ketika kita membuang tradisi, itu sikap yang salah, karena itu tidak menghargai sumbangsih sejarah ke dalam kehidupan kita sekarang, namun di sisi lain, memberhalakan tradisi dan menganggapnya sebagai “Tuhan” itu juga salah, karena itu termasuk dosa! Dosa mengakibatkan segala sesuatu menjadi kabur dan apa yang tidak dimutlakkan menjadi sesuatu yang dimutlakkan. Hal ini sangat nampak pada pemberhalaan tradisi oleh mayoritas orang dari dunia Timur. Penekanan tradisi ini jika ditelusuri berasal dari Konfusianisme yang mengajarkan pentingnya tradisi untuk mendidik moral kepada orang-orang di zamannya (bdk. Hillary Rodrigues, “Chinese Religions” dalam World Religions: A Guide to the Essentials, ed. Thomas A. Robinson dan Hillary Rodrigues, hlm. 255, 259). Hal ini tentu tidak salah, mengingat tujuan Kong Hu Cu mengajar pentingnya tradisi yaitu untuk mengajar moral. Namun perkembangan selanjutnya mengajar kita bahwa kebudayaan dan agama Tiongkok menyerap ide Kong Hu Cu dan mengekstremkannya (mungkin juga dipengaruhi oleh mistisisme sebagai salah satu kepercayaan orang Tionghoa), sehingga tidak heran kita melihat beberapa atau mungkin banyak orang Tionghoa yang begitu memberhalakan tradisi, bahkan tidak sedikit orang Kristen ikut-ikutan. Contoh yang jelas-jelas kelihatan adalah mereka menyembah (jasad) orang yang sudah meninggal di depan kubur. Mereka berkata bahwa itu hanya wujud menghormati, namun pertanyaannya adalah mengapa menghormati ditandai dengan sikap membungkukkan badan? Sikap membungkukkan badan itu adalah sikap menyembah. Contoh lain yang tidak terlalu kentara yaitu orangtua (bahkan beberapa di antaranya mengaku diri “Kristen” bahkan pergi ke gereja Reformed pula) mengindoktrinasi anaknya bahwa HANYA orangtua yang paling mengerti anak dan setiap keinginan orangtua HARUS ditaati.


Dari konsep inilah, terbentuklah suatu konsep nyeleneh: jadul is the best! Sebenarnya istilah ini saya pinjam dari seorang teman gereja saya, Sdr. Indra Oei waktu dia mengomentari salah satu status saya di Facebook. Namun lama-kelamaan, saya memikir ulang dan mencoba menajamkan istilah ini. Apa ciri-ciri para penganut konsep “jadul is the best”? (para penganut konsep ini adalah orang-orang jadul {=jaman dahulu} yang berusia 40 tahun ke atas atau atau orang-orang yang berusia di bawah 40 tahun namun dengan konsep seperti orang yang berusia di atas 40 tahun)
Pertama, mereka selalu menekankan bahwa hal-hal terdahulu itu adalah hal yang paling benar. Standar kebenarannya adalah waktu (usia). Kita bisa melihat contoh praktisnya ketika kita mencoba memberitakan Injil kepada orang-orang tua. Mengutip Ev. Yakub Tri Handoko, Th.M., beberapa orang tua itu selalu berkata bahwa Kekristenan itu muncul lebih muda dari agamanya (Budha atau Kong Hu Cu atau sejenisnya), jadi yang paling benar adalah agama mereka. Lalu, Ev. Yakub Tri Handoko bertanya, apakah sebelum agamanya ada, apakah ada agama lain yang lebih dulu ada? Orang tua itu yang mengerti sejarah akan menjawab, ADA. Kemudian, Ev. Yakub bertanya lagi, mengapa orang tua ini menganut agamanya sekarang dan TIDAK menganut agama yang lebih dulu dari agamanya tersebut? Si orang tua ini menjawab, “Ya, karena agama yang saya anut sekarang ini lebih benar.” Dari contoh ini, kita telah melihat ketidakkonsistenan standar kebenaran dari si orang tua ini: di satu sisi, standar kebenaran di awal pembicaraan tersebut adalah waktu, namun setelah dipertajam lagi oleh Ev. Yakub Tri Handoko, ia menyangkal teori pertamanya lalu memunculkan teorinya yang kedua, yaitu kebenaran TIDAK diukur berdasarkan waktu. Cape dech… Benar-benar aneh ya. Makin tua bukan makin cerdas dan bijaksana, tetapi makin aneh! HahahaJ Itulah wujud dunia kita (dan orang tua) yang tidak mengenal dan tidak beriman di dalam Kristus.

Kedua, mereka selalu membandingkan zaman sekarang dengan zaman dahulu. Karena standar kebenaran penganut konsep ini adalah waktu, maka tidak heran, biasanya mereka gemar membandingkan zaman sekarang dengan zaman dahulu, lalu mengambil kesimpulan zaman dahulu lebih beres daripada zaman sekarang. Di dalam Kekristenan, ada golongan Kekristenan yang terlalu ekstrem mengagungkan lagu-lagu dan musik-musik zaman dahulu, lalu mengatakan bahwa lagu-lagu dan musik-musik zaman dahulu lebih bermutu. Di satu sisi, kita melihat konsep ini ada benarnya (separuh kebenaran). Kalau kita memperhatikan fakta di zaman sekarang vs di zaman dahulu, kita memang mengakui bahwa manusia makin modern bukan hidup makin beres, tetapi makin kacau. Contoh, free-sex lebih banyak terjadi di zaman sekarang ketimbang di zaman dahulu. Contoh lain, banyak lagu-lagu rohani Kristen di zaman dahulu memang lebih bermutu secara isinya ketimbang beberapa (atau mungkin banyak?) lagu rohani kontemporer yang populer zaman sekarang yang kebanyakan bertujuan market-oriented. Namun hal ini TIDAK berarti zaman dahulu itu segala-galanya. Kalau kita belajar dari sejarah, maka kita belajar bahwa justru zaman dahulu itu embahnya hal-hal (ajaran dan praktik) yang tidak beres yang terjadi di zaman sekarang. Mengapa ada orang di zaman sekarang yang masih takut buang air kecil di bawah pohon besar? Tentu ini dipengaruhi oleh tradisi di zaman dahulu yang menganut mistisisme atau panentheisme yang mengajarkan bahwa “Allah” itu hadir di dalam setiap bagian dari alam (atau dinamisme). Berkenaan dengan lagu rohani, Pdt. Dr. Stephen Tong sendiri mengakui bahwa TIDAK semua lagu klasik/himne itu benar semua dan TIDAK semua lagu rohani kontemporer itu salah semua.

Ketiga, mereka selalu menjelekkan zaman sekarang (anti zaman sekarang). Ciri terakhir yang paling ekstrem dari penganut konsep ini adalah mereka dengan bangganya membanggakan zaman dahulu dan secara membabibuta menjelekkan zaman sekarang. Namun sambil mengatakan hal tersebut, tiba-tiba HPnya berbunyi tanda panggilan masuk, lalu orang ini mengambil hand-free-nya untuk dikenakan di telinganya. Aneh bukan? Sambil anti terhadap zaman sekarang sambil menggunakan produk zaman sekarang (misalnya: HP, hand-free, mobil terkini, laptop, rekreasi ke tempat modern {seperti: Hawaii, dll}, bahkan BlackBerry). Kalau para penganut konsep ini mau konsisten dengan konsepnya sendiri, maka seharusnya mereka TIDAK usah menggunakan HP apalagi menggunakan hand-free, lalu belilah mobil-mobil yang tidak menggunakan AC, tidak perlu berekreasi ke Hawaii, dll. Biarlah mereka menyadari keanehan dan ketidakmasukakalan konsep mereka.


Bagaimana sikap orang Kristen terhadap konsep jadul is the best?
Pertama, Allah adalah Pencipta waktu, berada di dalam waktu, sekaligus melampaui waktu. Di dalam Kejadian 1:5, Allah berfirman, “Dan Allah menamai terang itu siang, dan gelap itu malam. Jadilah petang dan jadilah pagi, itulah hari pertama.” Di sini, kita belajar bahwa Allahlah yang pertama kali menciptakan waktu dengan pertama-tama membedakan siang dengan malam. Waktu tersebut diciptakan Allah bukan untuk Allah namun untuk dunia. Hal ini Allah maksudkan untuk mengajar kita bahwa dunia kita ini terbatas oleh waktu (dan ruang). Selain menciptakan waktu, Ia juga bisa berada di dalam waktu. Inkarnasi Kristus (Allah menjadi manusia tanpa meninggalkan natur Ilahi-Nya) menunjukkan God is in history (Allah ada dalam sejarah). Allah ada di dalam sejarah/waktu membuktikan adanya pemeliharaan (providensia) dan campur tangan Allah secara langsung di dalam sejarah/waktu di dunia ini. Namun di bagian lain, Allah yang sama adalah Allah yang melampaui waktu (omnipresent/Mahahadir). Allah yang Mahahadir adalah Allah yang bisa hadir kapan saja dan di mana saja sesuai dengan kehendak-Nya yang berdaulat. Ketiga pemikiran relasi Allah dengan waktu ini HANYA bisa terjadi pada Allah sebagai Pribadi yang bereksistensi (berada). “Tuhan” yang tak berpribadi atau bahkan yang hanya sebatas hukum alam mampu menciptakan, berada di dalam, dan melampaui waktu, karena “Tuhan” tersebut adalah sesuatu yang MATI! Sungguh mengasihankan orang yang percaya pada hukum alam atau “Tuhan” yang tak berpribadi, karena secara otomatis, hidup orang ini tidak bermakna.

Kedua, standar kebenaran: Allah. Dari konsep relasi Allah dengan waktu, maka kita belajar satu prinsip penting bahwa standar kebenaran sejati adalah Allah. Mengapa? Karena hanya Allah dan kebenaran-Nya yang bersifat kekal yang melampaui ruang dan waktu. Kebenaran-Nya itu termaktub di dalam Alkitab. Dengan kata lain, benarkah Alkitab itu sesuatu yang jadul? TIDAK! Mengutip perkataan Pdt. Prof. Joseph Tong, Ph.D. di dalam catatan di Seminar: The Battle of The Bible: Current Controversy on the Bible and Its Authority kemarin (25 September 2010), berkenaan dengan inspirasi dari Allah, Alkitab itu bersifat organis, yaitu: mengandung pribadi (personhood of the Word) dan bersifat relasional dan personal. Karena bersifat relasional dan personal, maka tentu saja Alkitab TIDAK pernah dikatakan jadul, namun melintasi waktu. Artinya, Alkitab itu bukan hanya berlaku di zaman dahulu saja, namun juga berlaku sampai sekarang. Dengan kata lain, Alkitab itu selalu up-to-date, karena isinya adalah wahyu Allah. Semakin banyak orang zaman sekarang yang mengkritik Alkitab dan membuktikannya salah melalui bukti-bukti yang diklaimnya akademis dan ilmiah, mereka sebenarnya hendak membuang Alkitab, lalu menggantikannya dengan standar diri sendiri sebagai “kebenaran” yang sendirinya tidak bisa dipercaya. Aneh bukan? Mengutip Pdt. Sutjipto Subeno, M.Div., konsep ini berarti: diri sendiri beriman kepada diri sendiri yang sendirinya tidak bisa dipercaya sebagai kebenaran. Inilah logika yang tidak logis (Pdt. Sutjipto menyebutnya: illogical logic).

Bandingkan kebenaran dari Allah dengan kebenaran yang diukur dari pikiran, perasaan, pengalaman, atau bahkan yang konyol (meskipun kelihatan “logis”): WAKTU. Mereka tidak menyadari bahwa standar kebenaran yang mereka adalah suatu standar relatif yang bisa salah dan berubah-ubah. Jika saya “beriman” kepada konsep X di zaman A, maka konsep X tersebut pasti diubah/berubah ketika zaman beralih dari A ke B. Lalu, jika kita terus mengikuti kebenaran sesuai dengan waktu, sampai kapan kita baru menetapkan standar kebenaran kita? Apakah sampai menunggu kita meninggal, baru kita menetapkan standar kebenaran? Aneh bukan? Inilah keanehan orang yang terus ikut arus zaman, seperti ikan MATI!

Ketiga, ujilah segala sesuatu sesuai dengan kebenaran Allah. Karena kita percaya bahwa standar kebenaran adalah Allah dan firman-Nya, maka sudah seharusnya kita sebagai umat pilihan Tuhan menaati firman-Nya. Dengan menaati dan bersumber pada firman-Nya yang tak mungkin bersalah, kita menguji segala sesuatu di dunia kita dengan bijaksana dan kritis. Hal-hal di zaman dahulu maupun di zaman sekarang harus diuji di bawah terang Alkitab. Pengujian ini menunjukkan bahwa kebenaran sejati TIDAK mungkin bisa dikalahkan oleh “kebenaran” picisan sekaligus kebenaran di luar Allah dan kebenaran-Nya yang sejati di dalam Alkitab tidak layak dijadikan standar baku. Pengujian kritis ini dilakukan dengan dua hal:
Pertama, menerima yang benar. Ketika kita mendapati hal-hal di zaman dahulu yang beres dan sesuai dengan Alkitab, terimalah itu sebagai kebenaran, karena kita percaya bahwa segala kebenaran adalah kebenaran Allah (all truth is God’s truth). Bahkan ketika kita menerima dan mempelajari hal-hal di zaman dahulu, kita makin bijaksana, karena mayoritas hal di zaman dahulu lebih mengajar kita tentang pentingnya etika, dll. Misalnya, beberapa filsafat dari filsuf Yunani kuno (Socrates, Plato, dan Aristoteles) dan filsafat dari Timur (seperti: Konfusianisme dan Taoisme) ada yang benar. Demikian halnya dengan hal-hal di zaman sekarang yang menekankan perubahan (dengan tindakan ekstremnya: perubahan yang tambah kacau). Jika kita tidak berubah, itu menunjukkan kita bukan manusia, karena manusia semakin lama pasti memiliki sifat perubahan entah itu kerohanian, fisik, karakter, dll.
Kedua, menolak yang tidak benar. Penolakan tersebut didasarkan pada ketidaksesuaian dengan Alkitab dan kekontradiksian konsep-konsep di luar Alkitab. Di antara filsafat-filsafat di atas yang mengandung beberapa unsur kebenaran, tentu juga mengandung unsur-unsur yang tidak benar. Hal-hal yang tidak benar yang melawan Alkitab itulah yang harus ditolak, misalnya: penyembahan nenek moyang (meskipun diklaim oleh beberapa orang bahwa itu hanya “menghormati”), percaya pada banyak ilah, dll. Demikian juga berlaku bagi hal-hal di zaman sekarang yang menekankan perubahan tanpa batas dan tanpa aturan. Konsep ini jelas salah, karena kita berubah pun harus sesuai dengan kebenaran Allah (misalnya, diubah oleh pembaharuan akal budi di Roma 12:2). Selain itu, kita juga melihat adanya kekontradiksian konsep-konsep di luar Alkitab. Misalnya, jika ada orang tua yang meneriakkan anti zaman sekarang, coba ceklah gaya hidupnya, biasanya mereka sambil meneriakkan anti zaman sekarang, tetapi anehnya juga menggunakan HP, dll yang adalah produk zaman sekarang. Contoh lain, jika ada anak muda yang meneriakkan anti-otoritas, di saat yang sama, ia sedang meneriakkan otoritas diri yang harus didengarkan perkataannya oleh orang lain. Coba Anda tidak mendengarkan teriakannya itu, dia pasti marah. Jadi, istilahnya: anti-otoritas yang tidak pernah anti terhadap otoritas!


Melalui 3 sikap iman Kristen terhadap konsep jadul is the best, maka diharapkan orang Kristen makin lama makin bijaksana menghadapi tradisi dan waktu, kemudian meletakkan di bawah terang firman Tuhan untuk menguji kebenarannya. Amin. Soli Deo Gloria.

KOINONIA-3: Koinonia dan Ibadah-2 (Pdt. Joshua Lie, M.Phil., Ph.D.-Cand.)

KOINONIA-3:
Koinonia dan Ibadah-2


oleh: Pdt. Joshua Lie, M.Phil., Ph.D. (Cand.)



Nats: Yohanes 4




“Tetapi saatnya akan datang dan sudah tiba sekarang, bahwa penyembah-penyembah benar akan menyembah Bapa dalam roh dan kebenaran; sebab Bapa menghendaki penyembah-penyembah demikian. Allah itu Roh dan barangsiapa menyembah Dia, harus menyembah-Nya dalam roh dan kebenaran.” (4:23-24)

Ibadah merupakan pusat kehidupan manusia seperti poros sebuah roda. Berkenaan dengan penyembahan yang benar kepada Allah, Tuhan Yesus menegaskan soal waktu bukan tempat. Saatnya akan tiba dan sudah tiba sekarang. Dalam Injil Yohanes, “saat” menunjuk pada saat kematian dan kebangkitan Yesus (12:27; 17:1). Kematian dan kebangkitan Yesus Kristus menjadikan Gerizim dan Yerusalem tidak lagi sebagai poros bagi kehidupan umat Allah.

Dalam perjanjian yang lama (bdk. Ul. 12), tempat di mana beribadah merupakan hal yang penting. Namun ketika saatnya tiba, tempat tidak lagi menjadi suatu yang utama. Kematian dan kebangkitan Yesus merupakan saat penggenapan bagi ibadah yang sejati, yaitu menyembah Allah dalam Roh dan kebenaran.

Roh menunjuk pada Roh Kudus. Yohanes menyaksikan Roh turun atas Yesus (1:29-34). Kepada Nikodemus, Yesus menegaskan perlunya lahir dari Roh (3:5-8). Menyembah dalam Roh berarti menyembah dalam Roh yang melahirkan kembali, Roh yang menghibur, Roh yang memimpin dalam kebenaran (14:7; 15:26).

Menyembah Allah dalam kebenaran sejalan dengan penegasan Injil Yohanes tentang kebenaran. Bagi Yohanes, kebenaran menyatakan realitas yang digenapi oleh Yesus. Hukum disampaikan melalui Musa, tetapi anugerah dan kebenaran dinyatakan oleh Yesus Kristus (1:17). Ayat ini tidak bermaksud bahwa Musa salah, melainkan kebenaran adalah penggenapan dan kepenuhan penyataan Allah melalui Anak-Nya yang tunggal, Yesus Kristus. Ia adalah kebenaran itu sendiri. Kebenaran menunjuk pula kepada firman-Nya. Beribadah dalam kebenaran sejalan dengan realitas baru yang digenapi oleh Yesus Kristus.

Ibadah dalam Roh dan kebenaran berakar pada hakekat Allah itu sendiri. Allah adalah Roh (4:24). Ketika Alkitab menyatakan Allah adalah Roh bukan sekadar menunjuk pada ketiadaan tubuh melainkan menunjuk pada kuasa dan hakekat Allah.

“Akulah Dia, yang sedang berkata-kata dengan engkau” (4:26)

Perempuan Samaria kini menyadari bahwa Yesus bukan sekadar seorang nabi. Cukup banyak nabi yang ia kenal. Tidak asing baginya bertemu dengan seorang nabi. Namun kali ini, ia menyadari bahwa Yesus adalah Mesias (Kristus). Selama ini, ia dan bangsanya bukan hanya mempunyai nabi bahkan lima allah yang diwariskan oleh nenek moyang mereka. Berhadapan dengan Yesus, Mesias, perempuan Samaria diperhadapkan dengan “suami” yang sebenarnya.

Sebagaimana orang Yahudi, perempuan Samaria mewakili bangsanya menyatakan kerinduannya akan kedatangan Mesias. Namun tidak disangkanya, kini ia berhadapan dengan Mesias. Mesias yang bukan sekadar nabi, tapi sekaligus korban yang sempurna bagi penebusan dosa. Mesias yang melalui kematian dan kebangkitan-Nya memberikan jalan penggenapan bagi ibadah yang sejati.

“Makananku ialah melakukan kehendak Dia yang mengutus Aku dan menyelesaikan pekerjaan-Nya” (4:34)

Ibadah yang sejati bukan saja memberikan identitas yang baru di dalam Mesias, tetapi juga memberikan arah yang baru. Bagi perempuan Samaria, pertemuannya dengan Yesus menantangnya untuk mengenali dirinya bukan berdasarkan tempat tetapi berdasarkan karunia Allah. Para murid sekembalinya mereka dari mencari makanan ditantang untuk memikirkan kembali arti makanan bagi mereka.

Jikalau tempat memberikan identitas dan rasa aman bagi perempuan Samaria, bagi para murid, makanan diperlukan untuk bisa tetap hidup dan melanjutkan perjalanan sehingga tidak berada di tempat yang tidak menyenangkan seperti Samaria. Namun perkataan Tuhan Yesus mengingatkan mereka arti makanan dalam kaitan dengan ibadah yang sejati.

Makanan tanpa kesadaran akan ibadah yang benar akan menghasilkan kekacauan seperti yang tampak dalam jemaat Korintus. Makanan tanpa menyembah Allah dalam Roh dan kebenaran hanya akan menjadi sumber pemenuhan diri sendiri. Makanan bagi setiap orang yang menyembah Allah dalam Roh dan kebenaran berdasarkan kematian dan kebangkitan Yesus Kristus menjadi kekuatan sebagaimana dilaksanakan dalam Perjamuan Kudus.

Makanan tidak lagi sebagai pemisah antara sesama manusia seperti awal peristiwa ini. Minuman telah menjadi persoalan yang berasal dari keterpisahan Yahudi dan Samaria. Kita dipanggil untuk menggemakan perkataan Tuhan Yesus bahwa “Makananku ialah melakukan kehendak Dia yang mengutus Aku dan menyelesaikan pekerjaan-Nya.”

“Aku berkata kepadamu: Lihatlah sekelilingmu dan pandanglah ladang-ladang yang sudah menguning dan matang untuk dituai” (4:35)

Tempat bukan lagi pengikat. Tempat adalah ladang yang siap untuk dituai. Perempuan Samaria yang awalnya begitu sukar memberikan minum kepada Yesus, seorang Yahudi, kini dengan sukacita mengabarkan Mesias yang ditemuinya kepada kaum sebangsanya.

Ibadah dalam Roh dan kebenaran berdasarkan kematian dan kebangkitan Yesus Kristus memulihkan hidup kita. Ibadah tidak berakhir pada diri kita, tetapi meneruskannya menjadi misi kerajaan Allah. Beberapa waktu lalu, saya berkesempatan turut dalam retreat “Practicing Resurrection” yang diadakan oleh CINO and Russet Farm. Mereka tidak sekadar menyampaikan ceramah dan membahas tema dengan perkataan namun juga dengan mempraktekkan dalam semua rangkaian acara retreat.

Kini kita beribadah dalam penggenapan waktu setelah kematian dan kebangkitan Yesus Kristus. Kita dimungkinkan beribadah dalam Roh dan kebenaran. Ibadah yang sejati menghasilkan air hidup yang mengalir sampai pada hidup yang kekal.



Sumber:
http://www.wkristenonline.org/index.php?option=com_content&view=article&id=41:yohanes-4-koinonia-dan-ibadah-bagian-kedua&catid=28:koinonia&Itemid=42



Profil Pdt. Joshua Lie:
Pdt. Joshua Lie, S.Th., M.Phil., Ph.D. (Cand.) adalah Pendiri Reformational Worldview Foundation (RWF) dan dosen di Sekolah Tinggi Theologi Amanat Agung (STTAA) Jakarta. Beliau menyelesaikan studi Sarjana Theologi (S.Th.) di Seminari Alkitab Asia Tenggara (SAAT) Malang; Master of Philosophy (M.Phil.) di Institute for Christian Studies (ICS), Toronto, Canada; dan sedang studi Doctor of Philosophy (Ph.D.) di ICS.



Editor dan Pengoreksi: Denny Teguh Sutandio