28 February 2008

ADA APA DENGAN CINTA? (Ev. Yadi S. Lima, M.Div.)

Ada Apa Dengan Cinta:
Sebuah Refleksi atas Ajaran Cinta dalam Yohanes 15: 9 – 17

oleh: Ev. Yadi S. Lima, M.Div.
(Pembina Pemuda di Gereja Reformed Injili Indonesia--GRII Pondok Indah, Jakarta dan dosen di Institut Reformed, Jakarta; Master of Divinity dari Institut Reformed, Jakarta)



Tiap orang Kristen sudah tahu bahwa Tuhan memerintahkan kita untuk mengasihi. Dalam khotbah bulan lalu saya menekankan bahwa perintah Tuhan ini bersifat timbal-balik. Yesus bukan memerintahkan kita untuk menjadi ‘Juara Satu Mengasihi’ atau menjadi ‘Jagoan Mengasihi’. Ia memerintahkan kita untuk saling mengasihi. ‘Saling’ di sini berbicara mengenai keterkaitan, matriks inter-relasi, transaksi cinta di antara orang-orang percaya. Ia tidak menyuruh tiap individu untuk melatih kemampuan mengasihi agar makin tinggi levelnya. Ini bukan perintah yang berbasis individu, tetapi komunitas. Yesus menyuruh murid-murid-Nya (plural) untuk menjadi komunitas yang transaksi sosialnya bernafaskan kasih. Kasih itu bukan hanya terletak dalam hati tiap murid, tetapi di dalam ketersalingan tindakan, perkataan, dan niat yang ditransaksikan satu sama lain. Kasih itu terwujud dalam keselarasan tiap sel tubuh Kristus dalam menikmati dan memancarkan kemuliaan Tuhannya. Perintah ini adalah perintah untuk menjadi satu tubuh – Tubuh Kristus. Perintah Yesus untuk mengasihi adalah perintah yang diberikan agar kita menjadi Gereja. “To love each other as Jesus does, as the Father does, is to be a Church.”

Yesus berkata, “Tinggallah dalam kasih-Ku itu.” Bagaimanakah ‘tinggal dalam kasih-Nya’ itu? Yesus berkata, “Dengan menaati perintah-perintah-Ku.” Perintah yang mana yang Ia maksudkan di sini? Saya percaya ‘perintah’ yang Yesus maksudkan adalah perintah Bapa yang ditaati-Nya saat dalam konteks ini. Bagaimana saya menyimpulkan begini? Karena Kristus mengatakan, “Jikalau kamu menuruti perintah-Ku, kamu akan tinggal di dalam kasih-Ku, seperti Aku menuruti perintah Bapa-Ku dan tinggal di dalam kasih-Nya.” Apakah perintah Bapa yang sedang ditaati Kristus dalam konteks ini? (Perintah yang dengan melakukannya Kristus tinggal dalam kasih Bapa). Kristus kemudian menjawab, “Inilah perintah-Ku, yaitu supaya kamu saling mengasihi, seperti Aku telah mengasihi kamu (ayat 12).” Seperti apakah Kristus telah mengasihi kita? Jawabannya ada di ayat 9: "Seperti Bapa telah mengasihi Aku, demikianlah juga Aku telah mengasihi kamu.” Jadi kita harus saling mengasihi sebagaimana Bapa mengasihi Kristus. Kenyataan ini sering dilupakan. Kita lebih sering menekankan bahwa teladan kasih yang Kristus berikan adalah: “Tidak ada kasih yang lebih besar dari pada kasih seorang yang memberikan nyawanya untuk sahabat-sahabatnya (ayat 13),” sementara kenyataan bahwa Kristus juga mengasihi kita sebagaimana Bapa mengasihi-Nya (ayat 9) kita lupakan. Menekankan teladan Kasih Kristus yang berkorban bagi kita menghasilkan kasih di antara murid-murid Kristus masa kini yang secara radikal berbeda dengan kasih yang dipraktekkan dunia. Seperti apakah ‘kasih’ yang dipraktekkan dunia? Mengasihi diri sendiri. Tiap-tiap orang mengasihi dirinya sendiri, bekerja-sama demi kepentingan masing-masing (tak ada sahabat abadi, tak ada musuh abadi, yang abadi hanyalah kepentingan masing-masing), lalu keluarlah hal-hal yang baik daripadanya. Kita pada dasarnya egois! Jatuhnya Negara-negara komunis di penghujung abad ke-20 menjadi bukti nyata kesalahan asumsi Marx tentang sifat manusia. Karl Marx mengasumsikan bahwa manusia pada dasarnya bersifat altruistik (suka berkorban dan berbuat baik kepada sesama – suka charity). Asumsi ini tidak jalan dalam lingkup global. Lebih dari 200 tahun sejak revolusi industri asumsi Adam Smith bahwa ekonomi digerakkan oleh prinsipself-interest (tiap-tiap orang sesungguhnya hanya mau mencari kepentingannya sendiri saja) kelihatannya lebih realistis. Transaksi menjadi lebih kondusif ketika orang dibebaskan dan dilindungi untuk secara bebas berkompetisi mencari kepentingan dan kebahagiaannya sendiri. Lihat saja kesuksesan kapitalisme Barat. Banyak orang terbunuh ketika mencoba menyeberangi tembok Berlin dari Timur ke Barat. Tetapi tak ada yang berminat untuk melakukan sebaliknya! Nobody beats the (free) market! Satu sisi perintah Yesus di sini, “Hendaklah kalian saling mengasihi sebagaimana Aku mengasihi kalian – dengan berkorban sampai mati,” adalah antitesis dari apa yang secara de facto dipraktekkan dunia. Masalahnya, apakah ini realistis? Marx mengasumsikan tiap manusia bersifat altruis (rela berkorban demi kasih pada sesama) dan ia membangun filsafat yang benar-benar dipraktekkan oleh sepertiga umat manusia di dunia di bawah kepemimpinan Lenin, Mao, Castro, dkk, hanya untuk membuktikan bahwa asumsi ini adalah keliru. Adakah tempat bagi perintah Yesus ini dalam masyarakat? Mimpi utopiakah ini?

Ini hal yang krusial. Sisi pertama perintah Yesus (‘saling mengasihi dengan berkorban’) tidak dapat dipisahkan dari sisi yang lainnya (‘saling mengasihisebagaimana Bapa mengasihi Kristus dan Kristus tinggal dalam kasih Bapa’). Bagian pertama sangat ditekankan di dalam Protestanisme Barat dengan doktrin penalsubstitution, sedangkan bagian kedua dapat kita pahami dalam ajaran yang lebih kuno dalam sejarah doktrin, yaitu: perichoresis di antara pribadi Allah Tritunggal. Yang belakangan ini lebih banyak berkembang dalam teologia Orthodox Timur. Pengakuaniman Nicea mengajarkan bahwa di antara pribadi Tritunggal ada kesaling-meresapan yang tuntas, ada unity di dalam Tritunggal – jadi kita tidak menyembah ‘tiga Allah’ (atau lebih tepatnya: ‘dua Allah’ - sebagaimana dipahami oleh para penganut bidatArianisme). Tetapi unity ini juga tidak mencampur-leburkan Pribadi Bapa dari Anak dan dari Roh hingga tak dapat dibedakan seperti dipahami oleh bidat Sabelianisme. Pendek kata: distinctio sed non separatio – tidak tercampur, tidak terpisah. Dibedakan, tetapi tidak dipisahkan. Ada ruang untuk keunikan sejati tiap pribadi, tetapi ada keintimanrelasi yang radikal dan kekal di antara Ketiga-Nya. Misteri relasi cinta yang paradigmatis bagi komunitas tubuh Kristus. Yesus memerintahkan murid-murid-Nyauntuk saling mengasihi sebagaimana Allah Tritunggal saling mengasihi dalam kesatuannya yang kekal. Tambahan lagi, kesatuan tubuh Kristus ini tidak berhenti pada dirinya sendiri. Kesatuan tubuh Kristus ini dimaksudkan untuk menyatukan kita dengan Bapa (bnd. Yoh 17:21 “…supaya mereka semua menjadi satu, sama seperti Engkau, ya Bapa, di dalam Aku dan Aku di dalam Engkau, agar mereka juga di dalam Kita, supaya dunia percaya, bahwa Engkaulah yang telah mengutus Aku.”)

Sedari kekekalan Allah menginginkan kita untuk bersekutu satu sama lain, sama seperti Allah Tritunggal saling bersekutu dalam diri-Nya sendiri didalam kekekalan. Manusia diciptakan untuk menikmati dan mempermuliakan Tuhan (Westminster Shorter Catechism Q/A #1) di dalam komunitas (Kej. 1:27; 2:18). Salah satu kesalahpahaman kaum fundamentalis Injili adalah mereka melihat perintah mempermuliakan Tuhan di dalam ciptaan, kenyataan kejatuhan dalam dosa, dan keselamatan yang diberikan Tuhan melalui penebusan Kristus, semuanya di dalam kerangka individualisme. Aku yang melakukan dosa dan terbelenggu dosa, aku yang diselamatkan Tuhan dari dosa, dan akhirnya aku yang harus mempermuliakanTuhan, lalu kita jatuh-bangun dalam realitas dunia berdosa yang membuat ketatan kepada Tuhan seperti mission impossible juga sebagai seorang individu. Penekanan tak sadar yang kelewatan kepada individualitas ini mereduksi berita keselamatan Tuhanhanya untuk menyingkirkan takut akan kematian dan hukuman neraka, serta menceraikan mandat budaya dari mandat Injil. Individualisme membuat berita Injilterlepas dari tujuan kultural dan mediasi kulturalnya (dalam kasus kaum fundamentalisme injili). Seolah-olah penebusan yang dilakukan Kristus hanya berlaku padalingkup pribadi, tingkah-laku, atau ‘hal-hal rohani’ saja. Injil Kristus sesungguhnya merupakan berita sukacita bagi segala mahluk! Keseluruhan alam semesta yang diciptakan dengan luar biasa indah oleh Tuhan inilah yang ditebus, dipulihkan dari kerusakan akibat dosa manusia dalam pekerjaan Kristus. Inilah yang dimaksudkan Paulus sewaktu ia menuliskannya dalam Roma 8:19-21, “…dengan sangat rindu seluruh mahluk menantikan saat anak-anak Allah dinyatakan. Karena seluruh mahluk telah ditaklukkan kepada kesia-siaan, bukan oleh kehendaknya sendiri, tetapi oleh kehendak Dia yang telah menaklukkannya, tetapi dalam pengharapan, karena mahluk itu sendiri juga akan dimerdekakan dari perbudakan kebinasaan dan masuk ke dalam kemerdekaan kemuliaan anak-anak Allah.” Seluruh ciptaan. Jelas bukan terbatas pada individu-individu saja.

Seluruh jejaring makna yang melimpah dengan kehidupan (dan di dalamnya ada aspek aritmetis, geometris, fisis, biologis, sensitif, analitik, linguistik, inter-relasi sosial, ekonomi, estetis, hukum, etis, dan gereja) inilah yang mau dipulihkan oleh Tuhan di dalam rencana besar penebusan-Nya. Sampai di sini jelas sudah bahwa tiap individu orang percaya tidak berhenti sampai keputusannya untuk ‘menerima Yesus sebagai satu-satunya juru selamat pribadinya’. Tidak berhenti sampai ia mengaku sebagai orang Kristen. Pemberitaan Injil jelas berbeda dengan kristenisasi - yang sudah puas saat seseorang masuk Kristen saja. Berita Injil itu integral – satu paket – dengan keseluruhan realitas.

Yesus datang untuk mempersatukan kita satu sama lain di dalam kasih, ke dalam diri-Nya (menjadi satu tubuh Kristus) dan dengan demikian kita disatukan dalam saturelasi cinta dengan Bapa Pencipta langit dan bumi. Komunitas kasih gereja menjadi analogi dari komunitas kasih Allah Tritunggal. Maka tidaklah heran jika momenpaling sakral dalam ibadah orang Kristen adalah Perjamuan Kudus. Dengan menyantap roti dan anggur kita dipersatukan secara ‘mistis’ (atau kalau anda merasalebih nyaman, silakan pakai istilah: ‘secara rohani’) dengan Yesus Kristus. Kekristenan adalah tentang pembentukan komunitas suci tubuh Kristus. Di sinilah kita melihat sentralitas perintah saling mengasihi dalam kehidupan Kristiani kita.

Sampai di sini anda mungkin bertanya, “Jadi bagaimana kita melakukan perintah ini secara nyata?” Buat apa menjelaskan ruwet-ruwet begini kalau kesimpulanakhirnya sama saja: “Kita harus mengasihi!” Mungkin metafora yang Kristus berikan dapat memperjelas. Ia ingin murid-muridnya menjadi sahabat. Tuhan ingin kitamenjadi sekumpulan sahabat dengan memperlakukan kita (hamba-hamba) sebagai sahabat-sahabat-Nya (Yoh. 15:14-15). Sahabat itu tidak mengenal perbedaanstatus pendidikan, status sosial, warna kulit, bahkan agama! Setiap manusia adalah manusia bagi sesamanya. Saya suka cara Richard Mouw dalam bukunya, Calvinism in the Las Vegas Airport menyatakan bagaimana ia melihat dirinya: “I am first and foremost a human being. But I find being a Christian to be the best way for me to be a human being ...” Inilah tujuan Kristus datang dalam dunia: Untuk menjadikan kita sekumpulansahabat yang saling mengasihi, dan melalui sahabat-sahabat-Nya inilah Kristus memulai penebusan radikal-Nya bagi seluruh ciptaan.

Pondok Indah, 3 Februari 2008


Sumber:
http://groups.yahoo.com/group/METAMORPHE/message/7065