06 May 2009

Matius 14:22-23: THE POWER OF FAITH (Pdt. Sutjipto Subeno, M.Div.)

Ringkasan Khotbah: 08 Juli 2007

The Power of Faith
oleh: Pdt. Sutjipto Subeno, M.Div.

Nats: Mat. 14:22-23




Sebelumnya kita telah memahami kuasa belas kasihan yang dilakukan oleh Kristus; Ia harus berkorban demi orang lain mendapat berkat. Tuhan Yesus harus memecah-mecahkan roti puluhan ribu kali demi orang banyak itu makan sampai kenyang. Orang tidak pernah mengerti penderitaan Kristus sebaliknya mereka justru berpikir egois dan materialis dengan menjadikan Yesus sebagai raja. Tuhan Yesus tahu apa yang menjadi pemikiran orang banyak itu tak terkecuali para murid pun berpikir hal yang sama. Terbukti, pada detik terakhir Tuhan Yesus mau naik ke kayu salib, para murid, orang yang katanya paling dekat dengan Tuhan Yesus masih berpikir duniawi, mereka saling berebut posisi, ingin duduk di sebelah Tuhan Yesus dan demi keinginannya tercapai, mereka menggunakan ibu mereka yang masih mempunyai ikatan saudara dengan ibu Yesus. Peristiwa 5 roti 2 ikan ini tentunya membuat para murid merasakan suatu kebahagiaan tersendiri, euforia dimana merek ikut berbagian di dalamnya dan orang mengenal mereka sebagai murid Kristus karena itulah, Tuhan Yesus pun langsung meminta orang banyak itu untuk pulang dan menyuruh para murid pergi ke seberang.
Mat. 14:21-23 merupakan ayat jembatan yang bisa diletakkan pada perikop sebelum atau sesudahnya dan dalam hal ini, Lembaga Alkitab Indonesia meletakkannya pada perikop ’Yesus berjalan di atas air.’ Di satu sisi, ayat, pasal dan judul dalam Alkitab ini memudahkan kita namun di sisi lain, menjadi suatu titik kelemahan – orang tidak dapat melihat konteks secara keseluruhan. Teks asli Alkitab itu sendiri tidak ada ayat, pasal maupun judul dan kalau kita ingin mendapatkan kekayaan pengertian yang limpah dari Firman Tuhan.
Kisah ketiga ini dimulai dengan Tuhan Yesus memerintahkan murid-murid-Nya untuk pergi ke seberang dan di tengah-tengah perjalanan, badai mengombang-ambingkan perahu mereka. Catatan waktu menunjukkan mulai Tuhan Yesus memberi makan orang banyak sampai Tuhan Yesus menemui mereka kira-kira jam tiga malam, itu berarti para murid diombang-ambingkan oleh gelombang dan angin sakal selama kurang lebih 6 sampai 7 jam lamanya perahu mereka berputar di laut tanpa mereka tahu harus berbuat apa. Alkitab mencatat Tuhan Yesus menunjukkan kuasa-Nya yang begitu dahsyat dan hari ini kita akan merenungkan tentang kuasa dari iman sejati, the power of faith. Untuk memahami hal ini maka kita harus terlebih dahulu mengerti apakah iman sejati itu.
Setelah para murid merasakan euforia yang dahsyat, Tuhan Yesus membawa mereka masuk dalam badai, hal ini dimaksudkan supaya:
1. Sadar akan realita
Seringkali berkat-berkat Tuhan menjadikan orang lupa, orang seperti melayang-layang; euforia, yakni suatu perasaan sukacita yang berlebihan membuat orang tidak dapat melihat realita maka Tuhan membawa pada suatu kondisi yang helpless. Angin dan badai tentulah bukan hal yang asing bagi para murid, mengingat profesi mereka adalah seorang nelayan dari danau Galilea maka dapatlah dikatakan mereka adalah seorang nelayan yang ahli. Namun hari itu, mereka baru sadar bahwa mereka bukanlah siapa-siapa. Kalau sebelumnya mereka ikut merasa bangga karena mereka turut dalam mujizat yang Tuhan Yesus lakukan maka hari itu, mereka dibukakan untuk sadar akan realita. Hati-hati dengan segala kebohongan yang dunia tawarkan hari ini yang menjadikan kita tidak realistis. Dunia mencoba menipu kita dengan ajaran positive thinking yang hari ini ramai orang bicarakan. Positive thinking menjadikan kita tidak realistis, kita dibawa masuk dalam virtual reality, yakni suatu keadaan dimana kesemuan dianggap riil.
Sadarkah kita bahwa dunia ini semakin menuju pada kehancuran dan kita berada di dalamnya – kita berada dalam dunia berdosa dan terkutuk. Hati-hati dengan positive thinking yang dikembangkan oleh Robert Schuler maupun Norman Vincent Pale atau Napoleon Hills dengan imaginary thinking-nya atau Anthony Robbins yang mencetuskan unlimited power. Adalah ajaran yang salah yang menyatakan bahwa realita itu tergantung dari apa yang kita pikir. Kalau kita berpikir sakit maka itu menjadikan kita sakit, kalau kita berpikir miskin, maka kita akan menjadi miskin. Kesulitan atau kesenangan, kaya atau miskin, sehat atau sakit bukan tergantung dari apa yang kita pikir. Tidak! Semua realita yang negatif seperti sakit, bencana alam, kemiskinan, dan lain-lain tetap exist meskipun kita tidak berpikir. Konsep think it and get it menjadikan kita tidak bisa riil melihat realita.
Tuhan ingin supaya kita sadar akan realita itulah sebab Tuhan membawa kita masuk dalam berbagai kesulitan dan penderitaan. Hal ini seharusnya menyadarkan kita bahwa kita bukanlah siapa-siapa di hadapan Tuhan. Sehebat-hebatnya manusia, ia tidak berdaya dihadapan Tuhan. Bencana alam tsunami membuktikan kalau kita sangatlah kecil dan terbatas di hadapan Tuhan – tidak ada seorang pun manusia yang berhak menyombongkan diri. Iman sejati dimulai dari kesadaran bahwa kita bukanlah siapa-siapa di hadapan Tuhan.
Para murid Kristus dapatlah dikatakan sebagai seorang nelayan yang ahli, mereka tahu pasti akan kondisi dan situasi tentang laut khususnya danau Galilea tempat mereka biasa melaut tetapi hari itu, mereka sadar bahwa di hadapan Tuhan mereka bukanlah siapa-siapa. Dalam peristiwa yang lain, Alkitab mencatat para murid beberapa kali mengalami peristiwa serupa, yakni mereka dihantam badai. Tuhan Yesus tahu akan segala kekuatiran dan ketakutan yang dialami oleh para murid dan Tuhan Yesus ’sengaja’ biarkan mereka masuk dalam berbagai-bagai tantangan. Disini, barulah kita menyadari bahwa manusia tidak layak kita jadikan sebagai obyek iman. kita membutuhkan iman kepercayaan sejati yang tidak mudah digoyahkan.
2. Mengenal Kristus
Tuhan Yesus datang menjumpai para murid setelah kurang lebih enam sampai tujuh jam lamanya mereka diombang-ambingkan oleh angin sakal – Tuhan Yesus berjalan di atas air. Namun perhatikan, para murid justru menyangka Tuhan Yesus itu hantu. Reaksi spontan yang ditunjukkan para murid ini menunjukkan apa yang menjadi konsep pemikiran mereka; i do what i think and i think what i believe. Orang tidak berpikir tentang Tuhan tetapi justru yang ada dalam pemikiran manusia berdosa adalah hantu. Sangatlah menyedihkan, hari ini orang justru lebih takut hantu daripada Tuhan – orang tidak dapat lagi membedakan mana Tuhan dan mana hantu. Dunia telah terbiasa membalikkan sesuatu kebenaran. Orang begitu takut mengatakan kebenaran karena mereka takut dibenci oleh dunia dan dianggap tidak normal. Salah! Kelakuan dunia yang selalu berpikir tentang hantu dapatlah dikatakan sebagai kelakuan yang tidak normal. Sebagai anak Tuhan, kita harusnya berani menyatakan kebenaran di tengah dunia berdosa ini. Disinilah diperlukan iman sejati.
a. Kunci iman sejati adalah kita tahu siapa yang menjadi obyek iman sejati. Dahulu Saulus pernah salah akan obyek imannya, kini Paulus tahu dengan pasti siapa yang menjadi obyek imannya, ia membedakan dengan tuntas siapakah Allah sejati. Iman sejati bukanlah iman yang asal percaya tetapi iman sejati harus kembali pada obyek iman yang benar. Hati-hati dengan segala tipuan iblis yang sengaja membawa manusia masuk kedalam konsep plural – iblis sengaja membalikkan konsep kebenaran. Kisah yang dicatat dan yang kita renungkan hari ini merupakan gambaran yang sangat riil dimana setiap kita dituntut untuk mengenal Tuhan yang menjadi obyek iman kita dengan baik. Obyek iman sejati perlu kejelasan pengertian sehingga subyek iman tidak salah sasaran. Pengenalan akan Allah membutuhkan menjadi tuntutan penting bagi hidup kita.
b. Alkitab juga mencatat bagaimana reaksi Petrus, si sanguin ini, ia meminta supaya ia dapat berjalan di atas air – reaksi Petrus begitu tiba-tiba pastilah tidak berpikir akan sebab akibatnya dengan permintaannya tersebut. Tuhan Yesus memakai Petrus sebagai alat peraga untuk menunjukkan pada kita tentang iman sejati yang berproses. Petrus mengalami mujizat yang dahsyat, ia dapat berjalan di atas air. Yang menjadi pertanyaan adalah kalau Petrus dapat berjalan di atas air, apakah ini karena keinginannya atau karena sabda Tuhan? Inilah yang menjadi titik iman. Perhatikan, kalau Petrus dapat berjalan di atas air itu karena Tuhan yang berfirman: “Datanglah!“ Alam pun tunduk dan taat pada perintah Kristus Raja pemilik alam semesta ini dan selama Petrus percaya dan beriman pada Kristus maka mujizat itu terjadi – ia berjalan di atas air.
Anak Tuhan yang sejati seharusnya memiliki iman sejati, taat dan tunduk mutlak pada apa yang menjadi Firman Tuhan maka segala hal yang kelihatan mustahil secara logika, bagi Tuhan tidak ada yang mustahil. Ketika Petrus berjalan di atas air, selama itu pula angin dan badai terus menerpa tetapi selama Petrus percaya penuh pada Kristus, ia tidak jatuh tapi ketika dirasakan tiupan angin, ia pun mulai takut dan saat itu juga tenggelamlah Petrus. Ironis memang, kalau tadi angin dan badai begitu kuat menghantam tapi tidak ia rasakan tetapi kini justru makin dekat pada Yesus, ia mulai merasakan tiupan angin dan mulai takut. Ketakutan Petrus cuma satu, yakni ia takut mati. Ketakutan membuat perasaan aman terhadap diri sendiri mulai muncul; orang berorientasi pada dirinya sendiri. Kepercayaan hanya ada dua point, yakni percaya mutlak pada Kristus atau pada diri sendiri. Setiap kita melangkah seharusnya yang menjadi pertanyaan adalah apakah kita berani melangkah dengan melihat pada Kristus ataukah justru kita takut mati? Ketika perasaan takut mulai muncul dan kita mulai berorientasi pada diri maka kita telah lepas dari Kristus, itulah kecelakaan terbesar dalam diri kita.
Melalui kejadian ini, Tuhan Yesus mau membukakan pada kita tentang iman sejati dan iman palsu. Hari ini, orang begitu percaya pada diri sendiri dan menjadikan diri sebagai obyek iman. Salah! Paulus telah memberikan pelajaran berharga bagi kita, dulu dia pernah salah meletakkan diri sebagai obyek imannya sampai Tuhan hancurkan dia barulah dia menyadari bahwa sekarang dia tidak lagi menghiraukan nyawanya sedikitpun asal ia mencapai garis akhir, yakni pelayanan yang ditugaskan oleh Tuhan Yesus untuk memberi kesaksian tentang Injil kasih karunia Allah (kis. 4:24). Hendaklah setiap kita mengevaluasi diri, sudahkah kita beriman mutlak pada Kristus Yesus? Dunia semakin hari semakin hancur, lalu kita mau meletakkan hidup kita dengan berpegang pada siapa? Satu-satunya sandaran yang teguh adalah Tuhan Yesus, Dia tidak pernah berubah meski dunia ini berubah. Hanya kembali pada Kristuslah kita akan menikmati kuasa kekuatan iman sejati, the power of faith. Kuasa iman bukan berdasar pada apa yang menjadi keinginan kita. Tidak! Kuasa iman itu terjadi ketika kita taat mutlak pada Firman-Nya. Percayalah, betapa sukacita hidup kita ketika kita taat pada pimpinan-Nya. Janganlah kita berorientasi pada diri tetapi hendaklah kita kembali pada obyek iman sejati.
3. Kembali pada obyek iman yang sejati
Alkitab mencatat ketika rasa takut itu mulai menerpa Petrus dan ia mulai tenggelam, ia langsung berseru dan datang pada Tuhan untuk meminta pertolongan dari Tuhan. Pada saat kita jatuh, itulah waktunya kita untuk bertobat dan kembali pada Kristus. Namun manusia begitu sombong tidak mau mengakui kesalahan dan kembali pada Tuhan tetapi kita malah membela diri maka saat itu kecelakaan fatal dalam diri kita. Hari ini banyak orang yang justru menyalahkan dan memaki-maki Tuhan ketika ia berada dalam kesulitan. Petrus memberikan suatu pelajaran yang berharga bagi kita, di saat ketakutan dan kekuatiran itu mulai muncul, ia berseru pada Tuhan dan Kristus pun mengulurkan tangan-Nya untuk menolong. Lalu mereka naik ke perahu dan angin pun reda dan perhatikan, para murid yang tadinya menyangka Yesus sebagai hantu, sekarang keluar pernyataan iman dari mulut mereka: “Sesungguhnya, Engkau Anak Allah.“ Ingat, pada jaman itu orang Yahudi akan dihukum mati kalau ia mengakui: Yesus sebagai Anak Allah. Mereka disadarkan bahwa Allah telah menyatakan diri-Nya. Kristus ingin supaya para murid hanya berorientasi pada Kristus bukan pada angin sakal. Tanda adalah tanda tetapi orientasi bukanlah pada tanda.
Ketika orang banyak itu makan sampai kenyang, mereka tidak pernah peduli siapa yang memberi mereka makan, mereka tidak pernah mengerti siapakah Kristus yang sejati. Iman bisa menghasilkan banyak mujizat dan banyak kuasa tetapi iman bukanlah ekstensi tetapi iman membicarakan obyek, yakni Kristus Anak Allah. Pertanyaannya adalah apa yang menjadi orientasi iman kita? Hendaklah setiap kita kembali pada obyek iman sejati bukan pada apa yang menjadi ekstensi iman – bukan pada tandanya. Hari ini begitu banyak orang yang menginginkan dan menekankan mujizat. Hati-hati, iblis juga dapat membuat mujizat tetapi perhatikan, mujizat yang dikerjakan adalah mujizat yang mementingkan diri dan untuk kemuliaan diri. Mujizat sejati harus kembali untuk kemuliaan Tuhan. “Sesungguhnya, Engkau adalah Anak Allah“ biarlah hal ini menjadi pengakuan iman kita. Bersandarlah mutlak hanya pada Kristus maka kuasa iman itu akan beserta, memimpin setiap langkah hidup kita.
Sadarkah kita kalau setiap kita sudah mendapatkan mujizat terbesar dalam hidup kita, yakni kembalinya kita pada Kristus. Bukan karena kehebatan, kekayaan atau kepandaian kita kalau kita dapat bertobat. Sebab terbukti banyak orang yang katanya hebat tetapi tidak mau kembali pada Kristus. Pertobatan kita merupakan mujizat terbesar sepanjang hidup kita. Cobalah renungkan hidup kita sampai detik ini, betapa banyak mujizat Tuhan yang dinyatakan atas kita, setiap langkah Ia pimpin maka janganlah engkau takut, Tuhan pasti akan menyertai ketika kita berada dalam kesulitan. Ketika Musa dalam keadaan terjepit di antara ribuan prajurit dan laut merah maka Tuhan memberikan jalan keluar yang sangat ajaib. Secara logika, hal itu mustahil tetapi Musa taat dan laut pun terbelah menjadi dua. Masih banyak pekerjaan Allah yang sangat ajaib yang dicatat dalam Alkitab. Inilah kuasa iman yang sejati; semua itu dilakukan bukan untuk kepentingan kita tetapi ketaatan kepada Tuhan yang memungkinkan kita mengalami mujizat Tuhan. Biarlah kita sebagai subyek iman kembali pada obyek iman yang sejati maka hal itu akan membawa kita pada kuasa iman yang sejati. Amin.

(Ringkasan khotbah ini belum diperiksa oleh pengkhotbah)
Sumber: