04 August 2010

EKSPOSISI 1 KORINTUS 7:32-34 (Ev. Yakub Tri Handoko, Th.M.)

EKSPOSISI 1 KORINTUS 7:32-34

oleh: Ev. Yakub Tri Handoko, Th.M.



Nats: 1 Korintus 7:32-34



Di ayat 29-31 Paulus sudah mengajarkan agar orang percaya tidak terikat dengan hal-hal yang bernilai sementara, misalnya pernikahan, kebahagiaan-kesedihan, kepemilikan dan benda-benda duniawi. Kita diingatkan bahwa semua itu akan berlalu seiring dengan dunia yang juga sedang berlalu. Waktu yang pendek selama menanti akhir jaman ini harus dihidupi dengan fokus hidup yang eskatologis (menantikan kedatangan Kristus kedua kali).

Di ayat 32-34 Paulus masih membahas isu yang sama, namun kali ini ia berusaha untuk lebih spesifik. Hal-hal duniawi yang sementara bukan hanya akan berlalu, tetapi hal itu juga berpotensi untuk merusak fokus kita dalam menantikan Kristus. Secara khusus Paulus menyinggung tentang pernikahan, karena hal itulah yang sedang menjadi inti pembahasan di seluruh pasal 7. Apa yang ingin disampaikan Paulus di bagian ini konsisten dengan pandangannya bahwa tidak menikah adalah lebih baik daripada menikah (7:6, 8, 38, 40), walaupun ia tetap tidak menganggap perkawinan sebagai dosa (7:7, 9, 28, 38-39). Orang yang menikah bukan hanya akan ditimpa kesusahan badani yang besar (7:28b), tetapi fokus hidupnya yang eskatologis dapat terganggu (7:32-34). Ayat 32-34 menunjukkan bahwa secara umum kualitas penantian eskatologis orang yang menikah akan berbeda dengan yang tidak menikah.

Mula-mula Paulus menyatakan harapannya agar jemaat Korintus bebas dari kekuatiran (amerimnos, ayat 32a). Selanjutnya ia menjelaskan perbedaan antara orang yang tidak menikah dengan yang menikah sehubungan dengan fokus merimnaō (bisa “menguatirkan” atau “memperhatikan”) mereka. Perhatian/kekuatiran orang yang tidak menikah adalah perkara-perkara Tuhan (dibahas di ay. 32b dan 34c), sedangkan yang menikah adalah perkara duniawi (dibahas ay. 32a dan 34b).


Tujuan Nasehat: Supaya Tidak Hidup Dalam Kekuatiran (ay. 32a)
Dalam bagian ini Paulus menyatakan keinginan hatinya (“aku ingin”). Walaupun ini adalah keinginan pribadi Paulus, tetapi manfaatnya justru untuk jemaat Korintus (“supaya kamu...”). Ia ingin agar mereka hidup bebas dari kekuatiran. Ini menunjukkan bahwa Paulus sedang memikirkan kepentingan mereka (bdk. 7:35 “semuanya ini kukatakan untuk kepentingan kamu sendiri”). Kepentingan yang dimaksud Paulus bukan dalam arti kenyamanan atau kesenangan. Kepentingan ini lebih mengarah pada keuntungan secara rohani. Bagian selanjutnya (ay. 32b-35) menjelaskan bahwa tujuan nasehat ini adalah eskatologis, yaitu mempersiapkan jemaat untuk berfokus kepada kedatangan Kristus tanpa terganggu dengan hal-hal lain. Paulus tidak sedang membicarakan tentang enak atau tidaknya menikah. Fokusnya adalah hidup bagi Kristus (kristologis), bukan kenyamanan hidup manusia (anthroposentris). Kata Yunani di balik “hidup tanpa kekuatiran” (LAI:TB) adalah amerimnos. Kata ini dipakai di apokrifa (Keb. Sal. 6:15; 7:23) dan Matius 28:14b (lit. “membuat kamu tanpa kekuatiran”). Dari penggunaan ini terlihat bahwa kata amerimnos memiliki makna negatif.

Bagaimanapun, kata kerja merimnaō yang dipakai Paulus di ayat 32-b-34 bisa memiliki makna negatif atau positif. Jika bermakna positif, kata merimnaō diterjemahkan “memperhatikan” (Flp. 2:20; 1Kor. 12:25; 2Kor. 11:28), sedangkan jika sebaliknya dipakai terjemahan “menguatirkan” (Flp. 4:6). Berdasarkan keberagaman arti kata ini, para penafsir berbeda pendapat dalam memahami nasehat Paulus di 1 Korintus 7:32-34. Apakah kata merimnaō dalam bagian ini semua bermakna negatif (Barret), ada yang positif ada yang negatif (Garland) atau semua positif (Fee)? Jika mengikuti pandangan Barret, maka “memusatkan perhatian pada perkara Tuhan” juga bermakna negatif dan merupakan sindiran Paulus terhadap sikap jemaat Korintus yang mengabaikan seks demi kerohanian. Jika mengikuti Garland, maka memperhatikan perkara Tuhan adalah positif, sedangkan memperhatikan perkara duniawi adalah negatif. Jika Fee benar, maka dua hal tersebut sama-sama positif.

Dari tiga kemungkinan ini, yang terakhir tampaknya lebih tepat. Paulus tidak menganggap bahwa memperhatikan pasangan (ay. 33-34a, 34c) adalah sesuatu yang negatif. Ia bahkan melarang suami-istri saling menjauhi secara seksual (ay. 2-5). Di tempat lain ia memerintahkan suami untuk mengasihi isteri seperti Kristus mengasihi jemaat (Ef. 5:25-31). Sama seperti pandangan Paulus di 1 Korintus 7:29-31 yang tidak melarang orang Kristen menikah, bersedih, bergembira, membeli atau menggunakan sesuatu sejauh hal-hal itu tidak mengikat orang percaya, begitu pula di 1 Korintus 7:32-34 Paulus tidak melarang orang percaya memperhatikan suami/istrinya. Yang menjadi inti persoalan adalah bahaya “perhatian yang terbagi-bagi” (ay. 34a). Jadi, yang disorot bukanlah “memilih yang mana”, tetapi “mengutamakan yang mana”.


Perhatian Orang yang Tidak Menikah (ay. 32b, 34b)
Paulus memakai beberapa sebutan untuk mereka yang tidak memiliki suami/isteri. Di ayat 32b ia memakai agamos (“tidak kawin”, ayat 32b), gunē agamos (“wanita tidak kawin”, ayat 34b) dan parthenos (“gadis”, ayat 34b). Seperti yang sudah dibahas pada bagian-bagian sebelumnya, kata agamos bisa merujuk pada semua orang yang tidak memiliki pasangan, termasuk janda dan duda (7:8). Kata parthenos bisa merujuk pada semua wanita yang belum menikah, termasuk yang berada dalam tahap pertunangan (7:25, 27). Pada dasarnya di ayat 32-34 Paulus hanya membedakan dua golongan orang: yang sedang memiliki pasangan dan yang tidak. Agamos (termasuk janda) dan parthenos masuk dalam kategori yang terakhir.

Orang yang tidak menikah memusatkan perhatian (merimnaō) pada perkara Tuhan (ay. 32b, 33b). Penggunaan bentuk jamak “perkara” (ta, KJV/NASB “the things”; NIV/RSV “the affairs”) menunjukkan bahwa Paulus sedang memikirkan beberapa (banyak) hal. Ada beberapa hal yang dapat dikategorikan sebagai memperhatikan perkara-perkara Tuhan (merimnaō ta tou kuriou). Penjelasan selanjutnya di ayat 32b dan 33b membuktikan hal itu. Supaya jemaat Korintus tidak menebak-nebak apa yang dia maksud dengan “memperhatikan perkara-perkara Tuhan”, Paulus lalu memberikan keterangan tambahan. Penjelasan seperti ini sangat diperlukan, mengingat jemaat Korintus sudah memiliki konsep yang salah tentang kerohanian (menganggap seks sebagai dosa yang harus dijauhi).

Penjelasan pertama adalah “bagaimana Tuhan berkenan kepadanya” (ay. 32b). Sesuai teks Yunani yang ada, bagian ini seharusnya diterjemahkan “bagaimana ia menyenangkan Tuhan”. Di tempat lain Paulus berkali-kali mengajarkan bahwa orang Kristen harus menyenangkan Tuhan selama menghidupi keselamatan yang Tuhan sudah karuniakan kepada mereka (Rm. 8:8; 2Kor. 5:9; Kol. 1:10; 1Tes. 2:15; 4:1). Nasehat ini memang berlaku bagi semua orang, tetapi tidak semua orang menjadikan hal ini sebagai prioritas hidup. Karena orang-orang yang tidak menikah secara umum tidak terlalu terikat dengan banyak hal lain, maka mereka lebih dapat memfokuskan diri untuk menyenangkan Tuhan.

Penjelasan kedua yang masih terkait dengan poin di atas adalah “supaya tubuh dan jiwa mereka kudus” (ay. 34b). Kekudusan yang dimaksud Paulus di sini bukan dalam arti menjauhi hubungan seks antara suami-istri (bdk. 7:2-5). Kekudusan ini juga bukan dalam arti posisi setiap orang Kristen di dalam Kristus (bdk. 1:2). Kekudusan di sini lebih mengarah pada arti “pengkhususan”. Ada beberapa argumen yang mengarah pada tafsiran ini: (1) di 7:14 Paulus sudah menyinggung tentang “kudus” dalam arti “dikhususkan oleh Allah”; (2) konteks 7:32-34 berbicara tentang fokus hidup yang khusus untuk Tuhan.

Penekanan Paulus di ayat 34b terletak pada frase “tubuh dan jiwa”, bukan pada kata “kudus”. Setiap orang Kristen harus kudus (1Tes. 5:23; bdk. Rm. 6:12, 19; 12:1; 1Kor. 6:13, 19–20; 2Kor. 7:1; Flp. 1:20; 1Tes. 4:4), tetapi tidak semua orang menjadikan itu sebagai fokus hidup satu-satunya. Frase “tubuh dan jiwa” di 1 Korintus 7:34b (versi Inggris “body and spirit”) berguna untuk menekankan ide “totalitas”. Secara umum orang yang tidak menikah bisa lebih total dalam mengejar kekudusan (dalam arti mengkhususkan hidup bagi Tuhan). Waktu dan perhatiannya terhadap hal-hal rohani tidak terbagi-bagi untuk hal-hal lain. Paulus tidak hanya bisa memberikan nasehat, tetapi ia sendiri sudah mengalami apa yang dia ajarkan. Berbeda dengan para rasul lain yang memiliki isteri dan membawa isteri mereka dalam perjalanan misi (9:5), Paulus dan Barnabas tidak perlu merisaukan isteri. Dengan demikian mereka lebih mudah untuk bekerja keras membiayai pelayanan mereka sendiri (9:6). Keputusan mereka untuk tidak mau menerima tunjangan dari jemaat (9:18) mungkin akan lebih sulit diambil jika mereka harus membiayai keluarga mereka, belum lagi situasi pelayanan Paulus yang penuh dengan bahaya dan penderitaan (2Kor. 11:23-27).


Perhatian Orang yang Menikah (ay. 33-34a, 34c)
Paulus juga menjelaskan tentang orang yang menikah. Di ayat 33-34a ia melihat dari perspektif suami, sedangkan di ayat 34c dari pihak isteri. Orang yang menikah memusatkan perhatian pada perkara duniawi (merimnaō ta tou kosmo, ayat 33, 34c). Seperti sudah dijelaskan sebelumnya, frase ini tidak bermakna negatif. Orang percaya tidak dituntut untuk keluar dari dunia nyata (5:10) maupun mengisolasi diri secara total dari semua persoalan dunia (7:29-31). Setiap orang bahkan diharuskan untuk bekerja supaya bisa memenuhi kebutuhan hidupnya sendiri (2Tes. 3:10-11). Perkara duniawi di sini harus dipahami sebagai hal-hal yang bersifat sementara (perkawinan, harta, benda, dsb.). Hal-hal ini pada dirinya sendiri adalah netral, tetapi bisa menjadi jerat bagi kita. Uang tidak dosa, tetapi kita harus waspada supaya tidak menjadi hamba uang (Mat. 6:21; 1Tim 6:10). Jabatan tidak berdosa, tetapi kita perlu berhati-hati dengan virus gila hormat (Mat. 23:5-7).

Untuk memperjelas apa yang dimaksud dengan “memperhatikan perkara duniawi”, Paulus lalu menambahkan keterangan “bagaimana menyenangkan pasangan” (ay. 33, 34c). Memperhatikan pasangan jelas bukanlah dosa. Suami-isteri harus tetap memenuhi kebutuhan seksual pasangan (7:2-5). Suami-isteri tidak boleh bercerai (7:10-11). Perceraian hanya dimungkinkan jika berasal dari inisiatif pihak yang non-Kristen, tetapi hal ini pun bukanlah pilihan yang paling ideal (7:12-16). Suami-isteri tetap terikat selama hidup mereka (7:39). Paulus tidak melarang suami-isteri saling memperhatikan. Yang dipersoalkan adalah perhatian yang terbagi-bagi (merizō, ayat 34a). Kata Yunani merizō memang memiliki akar kata (bukan kata dasar) yang sama dengan merimnaō. Orang yang kuatir (merimnaō dalam arti negatif) adalah orang yang memiliki alternatif lebih dari satu. Jika ia hanya memiliki satu kemungkinan atau pilihan, maka ia pasti tidak akan kuatir.

Para penafsir meyakini bahwa Paulus sedang memikirkan Ulangan 6:4-5 (Mat. 22:37//Mrk. 12:30//Luk. 10:27). Tuntutan untuk mengasihi Allah dengan totalitas hidup kita bukanlah sesuatu yang mudah. Ada banyak hal yang sering kali mencuri perhatian kita sehingga kita tidak bisa total dalam mengasihi Tuhan, termasuk pasangan kita. Ketika seseorang memperhatikan pasangannya, sangat mungkin perhatian itu terlalu berlebihan sehingga mengganggu perhatiannya pada hal-hal rohani. Nasehat Paulus ini sekaligus menyiratkan pandangannya bahwa suami-isteri memang harus saling memperhatikan. Suami harus berkorban bagi isteri (Ef. 5:25-27) dan memperhatikannya (Ef. 5:28-29). Perhatian ini bahkan secara umum sangat besar sehingga berpotensi merusak fokus hidup seseorang kepada Kristus. Jika suami-isteri tidak perlu saling memperhatikan, maka Paulus juga tidak perlu merisaukan hal itu bisa mengganggu perhatian kepada Tuhan. Siapa yang diberi karunia khusus untuk menikah (7:7), maka orang itu harus memperhatikan pasangannya sedemikian rupa, tetapi tidak boleh mengalahkan perhatiannya pada perkara-perkara Tuhan.


Penutup
Ajaran Paulus di 1 Korintus 7:32-34 tidak berarti bahwa semua orang yang menikah pasti tidak memperhatikan perkara Tuhan. Perkawinan hanyalah salah satu dari sekian banyak perkara-perkara duniawi yang dapat merusak fokus hidup kita. Isunya bukanlah menikah atau tidak, tetapi apakah pernikahan itu mengganggu fokus eskatologis kita. Jika seseorang tidak menikah namun fokus hidupnya terletak pada uang atau karir, maka hal itu sama saja.

Sebaliknya, seseorang yang menikah bisa jadi justru tetap bisa memiliki fokus yang benar. Nasehat Paulus ini mengajarkan bahwa orang yang tidak menikah seharusnya lebih bisa fokus untuk memperhatikan hal-hal yang bernilai kekal. Mereka seharusnya bisa bekerja bagi Tuhan lebih keras daripada orang-orang yang menikah. Begitu pula bagi yang sudah menikah, mereka tetap harus memenuhi kewajiban perkawinan, tetapi pada saat yang sama mereka tetap harus berfokus pada kedatangan Kristus yang kedua kali. Kita bahkan harus membimbing pasangan dan anak-anak untuk memiliki fokus hidup yang sama. #




Sumber:
Mimbar GKRI Exodus, 9 Agustus 2009
http://www.gkri-exodus.org/image-upload/1Korintus%2007%20ayat%2032-34.pdf