17 May 2009

AJARAN TENTANG KEMAKMURAN: Mengelabui dan Mematikan (Rev. John S. Piper, D.Theol.)

AJARAN TENTANG KEMAKMURAN:
Mengelabui dan Mematikan


oleh: Rev. John S. Piper, D.Theol.




Ketika saya membaca tentang gereja yang mengajarkan tentang kemakmuran, respons saya adalah: Seandainya saya bukan orang Kristen, saya tidak akan ingin masuk Kristen. Dengan kata lain, seandainya ini adalah pesan Yesus, mohon maaf saya tidak mau.

Memikat orang untuk mengikut Kristus supaya kaya adalah bohong dan mematikan. Ini adalah bohong karena pada waktu Yesus sendiri memanggil kita, Ia mengatakan hal-hal seperti: “Demikian pulalah tiap-tiap orang di antara kamu, yang tidak melepaskan dirinya dari segala miliknya, tidak dapat menjadi murid-Ku” (Luk. 14:33). Dan ini mematikan karena hasrat untuk menjadi kaya menjerumuskan “orang ke dalam keruntuhan dan kebinasaan” (1Tim. 6:9). Jadi inilah permohonanku kepada para pemberita Injil.
1. Jangan Mengembangkan Filsafat Gereja yang Membuat Manusia Lebih Sulit Lagi Untuk Masuk Sorga
Yesus berkata, “Betapa sulitnya bagi orang kaya untuk masuk ke dalam kerajaan Allah!” Murid-muridnya tercengang, sebagaimana banyak orang dalam gerakan “kemakmuran” seharusnya bereaksi. Yesus kemudian meneruskan yang membuat mereka bahkan lebih heran lagi dengan berkata, “lebih mudah seekor unta masuk ke lobang jarum daripada seorang kaya masuk ke dalam kerajaan Allah.” Mereka merespon dalam ketidak-percayaan: “Jika demikian, siapakah yang dapat diselamatkan?” Yesus berkata, “Bagi manusia hal itu tidak mungkin, tetapi bukan demikian bagi Allah. Sebab segala sesuatu adalah mungkin bagi Allah” (Mrk. 10:23-27).

Pertanyaan saya bagi para pendeta yang mengajarkan tentang kemakmuran adalah: Mengapa Anda ingin mengembangkan fokus gereja yang membuat sulit bagi manusia untuk masuk Sorga?


2. Jangan Mengembangkan Filsafat Gereja yang Mengobarkan Keinginan Manusia Untuk Bunuh Diri
Paulus berkata, “Memang ibadah itu kalau disertai rasa cukup, memberi keuntungan besar, sebab kita tidak membawa sesuatu apa ke dalam dunia, dan kita pun tidak dapat membawa apa-apa keluar. Asal ada makanan dan pakaian, cukuplah.” Tetapi kemudian ia memperingatkan akan keinginan untuk menjadi kaya. Dan secara implisit, ia memperingatkan para pendeta yang menimbulkan keinginan untuk menjadi kaya ketimbang menolong manusia untuk menjauhkan diri darinya. Ia memperingatkan, “Tetapi mereka yang ingin kaya terjatuh ke dalam pencobaan, ke dalam jerat, dan ke dalam berbagai-bagai nafsu yang hampa dan yang mencelakakan, yang menenggelamkan manusia ke dalam keruntuhan dan kebinasaan. Karena akar segala kejahatan adalah cinta uang. Sebab oleh memburu uanglah beberapa orang telah menyimpang dari iman dan menyiksa dirinya dengan berbagai-bagai duka” (1Tim. 6:6-10).

Jadi pertanyaan saya kepada pendeta yang mengajarkan tentang kemakmuran adalah: mengapa Anda mau mengembangkan gereja yang mendorong manusia untuk menyiksa dirinya dengan berbagai-bagai duka dan menenggelamkan dirinya ke dalam keruntuhan dan kebinasaan?


3. Jangan Mengembangkan Filsafat Gereja yang Mendorong Kerentanan Terhadap Ngengat dan Karat
Yesus memberi peringatan terhadap upaya untuk mengumpulkan harta di dunia. Yaitu, ia menyuruh kita untuk menjadi pemberi, bukan penyimpan. “Janganlah kamu mengumpulkan harta di bumi, di bumi ngengat dan karat merusakkannya dan pencuri membongkar serta mencurinya, tetapi kumpulkanlah bagimu harta di Sorga, di sorga ngengat dan karat tidak merusakkannya dan pencuri tidak membongkar serta mencurinya” (Mat. 6:19).

Memang, kita semua menyimpan sesuatu. Namun karena adanya kecenderungan untuk serakah dalam diri kita semua, mengapa kita menanggalkan fokus dari Yesus dan memutar-balikkannya?


4. Jangan Mengembangkan Filsafat Gereja yang menjadikan kerja keras sebagai jalan untuk mendapatkan kekayaan yang berlimpah
Paulus berkata kita tidak boleh mencuri. Pilihannya adalah kerja keras dengan tangan kita sendiri. Tetapi tujuan utamanya bukan semata-mata untuk menimbun atau bahkan untuk memiliki. Tujuannya adalah “memiliki untuk memberi.” “tetapi baiklah ia bekerja keras, dengan tangannya sendiri, supaya ia dapat membagikan sesuatu kepada orang yang berkekurangan” (Ef. 4:28). Ini bukanlah suatu pembenaran untuk menjadi kaya supaya dapat memberi lebih banyak lagi. Tidak ada alasan mengapa seseorang yang berpenghasilan $ 200.000 harus hidup secara berbeda daripada cara hidup orang yang berpenghasilan $ 80.000. Carilah pola hidup seperti dalam masa perang; ketatkan pengeluaran Anda; dan bagikanlah sisanya kepada orang lain.

Mengapa Anda harus mendorong orang untuk berpikir bahwa mereka harus memiliki kekayaan supaya bisa menjadi pemberi yang boros? Mengapa tidak mendorong mereka untuk hidup lebih sederhana dan menjadi pemberi yang lebih boros lagi? Bukankah itu akan menambah kemurahan mereka menjadi suatu kesaksian yang baik bahwa Kristuslah harta mereka, bukan benda yang mereka miliki?


5. Jangan Mengembangkan Filsafat Gereja yang Mengakibatkan Berkurangnya Iman Terhadap Janji-janji Tuhan Kepada Kita yang Tidak Dapat Dibeli Dengan Uang
Alasan penulis kepada bangsa Ibrani mengajarkan kepada kita untuk merasa cukup dengan apa yang ada pada kita adalah karena jika tidak maka iman kita terhadap janji Tuhan akan berkurang. Ia berkata, “Janganlah kamu menjadi hamba uang dan cukupkanlah dirimu dengan apa yang ada padamu, karena Allah telah berfirman: “Aku sekali-kali tidak akan membiarkan engkau dan Aku sekali-kali tidak akan meninggalkan engkau.” Sebab itu dengan yakin kita dapat berkata, “Tuhan adalah Penolongku, aku tidak akan takut, apakah yang dapat dilakukan manusia terhadap aku?” (Ibr. 13:5-6).

Bila Alkitab mengajarkan kepada kita untuk merasa puas dengan apa yang ada pada kita meyakini akan janji-janji Tuhan yang tidak akan pernah meninggalkan kita, mengapa kita mau mengajarkan kepada manusia untuk ingin menjadi kaya?


6. Jangan Mengembangkan Filsafat Gereja yang Mengakibatkan umat Anda merasa terhimpit
Yesus mengingatkan bahwa firman Tuhan, yang ditujukan untuk memberi kita kehidupan, dapat kehilangan efektifitasnya oleh kekayaan. FirmanNya berkata bahwa ini bagaikan benih yang tumbuh di antara semak duri yang menghimpitnya sampai mati: “Orang yang telah mendengarkan firman itu, dan dalam pertumbuhan selanjutnya mereka terhimput dengan ….kekayaan…hidup, sehingga mereka tidak menghasilkan buah yang matang” (Luk. 8:14).

Mangapa kita mau mendorong manusia untuk mengejar sesuatu yang Yesus katakan akan menghimpit kita?


7. Jangan Mengembangkan Filsafat Gereja yang Membuat Garam Menjadi Tawar dan Meletakkan Lampu Di Bawah Gantang
Hal apakah yang membuat orang Kristen menjadi garam dunia dan terang dunia? Bukanlah kekayaan. Hasrat akan kekayaan dan pengejaran akan kekayaan terasa dan kelihatan seperti dunia. Ini tidak memberi dunia sesuatu yang berbeda daripada apa yang telah diyakininya. Tragedi besar dari pengajaran tentang kemakmuran adalah bahwa seseorang tidak perlu dibangkitkan secara spiritual untuk memeluknya; cukuplah dengan serakah. Menjadi kaya dalam nama Yesus bukanlah garam dunia atau terang dunia. Dalam hal demikian, dunia hanya melihat suatu refleksi tentang dirinya sendiri. Dan kalau berhasil, orang akan mau.

Konteks dari perkataan Yesus menunjukkan kepada kita apa yang dimaksud dengan garam dan terang. Ini adalah kemauan secara sukacita untuk berkorban bagi Kristus. Beginilah sabda Yesus, “Berbahagialah kamu, jika karena Aku kamu dicela dan dianiaya dan kepadamu difitnahkan segala yang jahat. Bersukacitalah dan bergembiralah, karena upahmu besar di sorga, sebab demikian juga telah dianiaya nabi-nabi yang sebelum kamu. Kamu adalah garam dunia….Kamu adalah terang dunia” (Mat. 5:11-14).

Apa yang akan membuat dunia merasakan (garam) dan melihat (terang) Kristus dalam diri kita bukanlah bahwa kita mencintai kekayaan sama seperti mereka. Akan tetapi suatu kemauan dan kemampuan orang-orang Kristen untuk mengasihi sesama dalam penderitaan, sambil bersukacita karena upahnya adalah di Sorga bersama Yesus. Hal ini tidak dapat dimengerti oleh manusia. Ini adalah hal supernatural. Namun menarik manusia dengan janji-janji kemakmuran itu adalah hal yang natural. Ini bukanlah pesan Yesus, Ini bukan tujuan dari kematian-Nya.


Artikel ini:
Diterbitkan oleh : Desiring God Ministries (www.desiringGod.org)
Ditulis oleh : John Piper.
Seri : Taste and See
Topik : Church Leadership
Subtopik : Preaching and Teaching
Tanggal : 14 Februari 2007
Diterjemahkan oleh : Nelce Manoppo


Sumber:
http://gospeltranslations.org/wiki/Prosperity_Preaching:_Deceitful_and_Deadly/id



Profil Rev. Dr. John S. Piper:
Rev. John Stephen Piper, D.Theol. adalah Pendeta Senior di Bethlehem Baptist Church dan seorang penulis yang sangat produktif dari perpektif Calvinis. Beliau menyelesaikan gelar Bachelor of Divinity (B.D.) di Fuller Theological Seminary di Pasadena, California pada tahun 1968-1971. John melakukan studi Doctor of Theology (D.Theol.) di dalam bidang Perjanjian Baru di University of Munich, Munich, Jerman Barat pada tahun 1971-1974. Disertasinya, Love Your Enemies diterbitkan oleh Cambridge University Press dan Baker Book House.



Editor dan Pengoreksi: Denny Teguh Sutandio

Resensi Buku-72: MENGAPA AKU MENDERITA? (Prof. John D. Currid, Ph.D.)

…Dapatkan segera…




Buku
MENGAPA AKU MENDERITA?
(Penderitaan dan Kedaulatan Allah)


oleh: Prof. John D. Currid, Ph.D.

Penerbit: Visi Press, 2009

Penerjemah: Aileen P. Mamahit, M.A.R.E., M.K.
(Dosen Konseling di Seminari Alkitab Asia Tenggara—SAAT Malang)





Deskripsi dari Denny Teguh Sutandio:
Dunia kita adalah dunia yang penuh dosa dan dosa itu mengakibatkan berbagai penderitaan muncul silih berganti. Penderitaan itu menimpa semua orang. Apa sih arti penderitaan? Ada beragam opini mengenai penderitaan. Ada yang mengatakan bahwa penderitaan atau sesuatu yang jahat itu hanya merupakan akibat dari orang yang bertindak jahat, sedangkan orang baik tak mungkin mengalami penderitaan. Pendapat ini disebut oleh Dr. John D. Currid sebagai hikmat dogmatis, di mana contoh nyatanya adalah para sahabat Ayub (Ayb. 4:7-9). Konsep ini diterapkan di beberapa kalangan “Kristen” dengan ide bahwa yang mengikut Kristus pasti luput dari masalah, kaya, sukses, berkelimpahan, dll. Orang lain mengatakan bahwa penderitaan itu terjadi di luar kehendak Allah alias kebetulan saja. Benarkah pandangan-pandangan demikian?

Alkitab menyatakan bahwa penderitaan itu dialami baik oleh orang yang sungguh-sungguh percaya kepada Kristus maupun oleh orang yang tidak percaya. Lalu, apa beda penderitaan yang dialami oleh orang Kristen Vs orang non-Kristen? Melalui bukunya Mengapa Aku Menderita?, Prof. John D. Currid, Ph.D. memaparkan arti penderitaan yang dikaitkan dengan kedaulatan dan karakter Allah. Lalu, beliau memaparkan perbedaan inti antara penderitaan yang dialami oleh umat pilihan Allah Vs penderitaan yang dialami oleh orang non-Kristen. Penderitaan yang dialami oleh umat pilihan Allah bermotivasi untuk mendidik mereka di dalam kedewasaan iman sehingga mereka makin mengenal Allah sekaligus menjadi berkat bagi orang Kristen lain maupun orang non-Kristen. Sedangkan penderitaan yang dialami oleh orang yang tidak percaya bermotivasi menghancurkan mereka kelak di kekekalan (dengan kata lain, penderitaan yang dialami oleh orang yang tidak percaya adalah cicipan hukuman kekal kelak). Kemudian, di 2 bab terakhir, Dr. Currid memberikan sikap orang Kristen di dalam penderitaan, yaitu sabar di dalam menanggung penderitaan sekaligus bersukacita di dalam menanggungnya, mengapa? Karena salib itu mengarahkan kepada mahkota kemenangan yang akan kita terima kelak. Di bab terakhir, beliau memaparkan dan menguji ketidakbertanggungjawaban ajaran kemakmuran (yang diimpor dari ajaran kafir) dengan merenungkan Mazmur 73; Pengkhotbah 6:1-7; dan Pengkhotbah 7 tentang kesalahan ajaran kemakmuran dan melihat ada sesuatu yang lebih berharga daripada kemakmuran versi duniawi, yaitu: integritas dan makna hidup di dalam kehendak Allah. Biarlah melalui buku kecil ini, Allah membukakan hati dan pikiran kita tentang makna penderitaan dan kekuatan yang dahsyat dari Allah di dalam menghadapi penderitaan yang kita alami. Amin. Soli Deo Gloria.






Profil Dr. John D. Currid:
Prof. John D. Currid, Ph.D. (jcurrid@rts.edu) adalah Carl W. McMurray Professor of Old Testament di Reformed Theological Seminary, Jackson, Mississippi, U.S.A. Beliau meraih gelar Bachelor of Arts (B.A.) dari Barrington College; Master of Arts (M.A.) dari Gordon-Conwell Theological Seminary, U.S.A.; dan Doctor of Philosophy (Ph.D.) dalam bidang Syro-Palestinian Archaeology dari the Oriental Institute of the University of Chicago, U.S.A. Beliau pernah menjadi Direktur dari the Agricultural Project di Tel Halif, Israel; Field Archaeologist dari the UNESCO Project di penggalian Carthage, Tunisia; dan staf arkeolog di Tell el-Hesi dan Bethsaida, di Israel. Beliau telah menulis beberapa tafsiran Alkitab di EP Study Commentary Series dan melayani sebagai editor bagi seri tersebut. Beliau juga telah menulis dua buku dalam bidang arkeologi dan baru-baru ini telah menerbitkan buku lain tentang penderitaan. Beliau menikah dengan Nancy dan dikaruniai dua orang anak: Elizabeth dan David.

Roma 15:8-13: KESATUAN JEMAAT ALLAH-2: Kristus Sebagai Teladan dan Janji Allah

Seri Eksposisi Surat Roma:
Menjadi Berkat Bagi Sesama-4


Kesatuan Jemaat-2: Kristus Sebagai Teladan dan Janji Allah

oleh: Denny Teguh Sutandio



Nats: Roma 15:8-13



Setelah menjelaskan di ayat 4 s/d 7 bahwa sesama jemaat harus bersatu, maka Paulus menjelaskan di ayat berikutnya yaitu ayat 8 s/d 13 bahwa Kristus itulah teladan bagi kesatuan jemaat tersebut, sehingga kesatuan yang tidak meneladani Kristus bukanlah kesatuan yang Allah inginkan.


Di ayat 8, Paulus menjelaskan, “Yang aku maksudkan ialah, bahwa oleh karena kebenaran Allah Kristus telah menjadi pelayan orang-orang bersunat untuk mengokohkan janji yang telah diberikan-Nya kepada nenek moyang kita,” Di ayat ini, Paulus menegaskan di titik awal bahwa ketika kita ingin belajar arti kesatuan, maka kita harus belajar dari Kristus yang mempersatukan semua bangsa menjadi umat pilihan Allah yang menerima keselamatan. Keselamatan ini dimulai dari kaum Israel terlebih dahulu. Pernyataan “orang-orang bersunat” di dalam New International Version (NIV) diterjemahkan Jews (Yahudi). Keselamatan yang dimulai dari kaum Israel ini adalah janji Allah kepada umat-Nya melalui nenek moyang mereka. Keselamatan ini digenapi di dalam Pribadi dan karya Kristus sebagai Juruselamat mereka. Di ayat ini, Kristus dinyatakan sebagai Pelayan bagi kaum Israel. Kata “pelayan” dalam NIV diterjemahkan servant dan di dalam King James Version (KJV) diterjemahkan minister. Kata Yunani yang dipakai adalah diakonos, BUKAN doulos. Kata diakonos berarti pelayan, pembantu, atau diaken (Hasan Sutanto, 2003, hlm.197), sedangkan kata doulos berarti budak. Mengapa Kristus disebut sebagai pelayan (diakonos) bukan doulos? Karena Paulus hendak mengatakan bahwa Kristus diutus Allah untuk melayani dan menebus orang berdosa, tetapi tidak berarti Ia kehilangan natur-Nya sebagai Allah yang bisa diinjak.


Keselamatan ternyata bukan hanya untuk orang Israel, tetapi juga untuk bangsa-bangsa lain. Paulus mengajarkannya di dalam ayat 9 s/d 12 dengan mengutip Perjanjian Lama. Mari kita telusuri pengajaran-pengajaran ini.
Di ayat 9, ia mengajarkan, “dan untuk memungkinkan bangsa-bangsa, supaya mereka memuliakan Allah karena rahmat-Nya, seperti ada tertulis: "Sebab itu aku akan memuliakan Engkau di antara bangsa-bangsa dan menyanyikan mazmur bagi nama-Mu."” Ayat ini dikutip dari 2 Samuel 22:50 dan Mazmur 18:50. Mazmur 18:50, “Sebab itu aku mau menyanyikan syukur bagi-Mu di antara bangsa-bangsa, ya TUHAN, dan aku mau menyanyikan mazmur bagi nama-Mu.” Mazmur 18 ini ditulis sebagai ucapan syukur Daud setelah Allah melepaskannya dari tangan musuh dan Saul (baca ayat 1). Khususnya di ayat ini, Tuhan melalui Daud hendak mengajar kita bahwa Allah adalah Allah yang berkuasa atas semua bangsa dan semua bangsa harus menyembah-Nya. Oleh Paulus, ayat ini dikutip dan diberi arti baru tentang sentralitas Kristus sebagai Allah Pembebas manusia dari (Juruselamat) dosa. Sebagai Juruselamat atas dosa, kuasa penebusan Kristus berlaku BUKAN hanya untuk orang-orang Israel yang bertobat, tetapi juga bagi orang-orang “kafir” (Gentiles) yang bertobat. Jika kita kembali ke Roma 9-11, kita diingatkan kembali akan pengajaran Paulus bahwa keselamatan memang dimulai dari Israel lalu diteruskan ke bangsa-bangsa lain, tetapi TIDAK untuk dimonopoli oleh orang Israel lalu menghina orang-orang non Israel. Berarti di sini, Kristus adalah teladan bagi kita yang mempersatukan kita dari berbagai bangsa, suku, dan budaya menjadi satu di dalam tubuh-Nya. Inilah yang dimaksud universalitas keselamatan di dalam Kristus. Universalitas keselamatan ini BUKAN berarti keselamatan bisa ada di luar Kristus, tetapi keselamatan yang hanya ada di dalam Kristus berlaku dan dinikmati oleh semua orang percaya/pilihan Allah dari berbagai suku, bangsa, dan bahasa. Bagaimana dengan kita? Kita sering kali masih membeda-bedakan suku di dalam persekutuan tubuh Kristus. Kita mungkin masih merendahkan suku tertentu, padahal seharusnya, di dalam Kristus, tidak ada perbedaan suku dan bangsa (1Kor. 12:13; Gal. 3:28). Mari kita bertobat dari dosa pendiskriminasian ini dan melihat karya Kristus sebagai pemersatu perbedaan bangsa dan suku ini.


Di ayat 10, ia mengajarkan, “Dan selanjutnya: "Bersukacitalah, hai bangsa-bangsa, dengan umat-Nya."” Terjemahan teks Yunani dari kata “bangsa-bangsa” di ayat ini adalah “bangsa-bangsa bukan Yahudi.” (Hasan Sutanto, 2003, Perjanjian Baru Interlinear, hlm. 874) Setelah di ayat 9, Paulus mengajar tentang sentralitas Kristus yang menyelamatkan semua bangsa, maka di ayat 10 ini, Paulus mengajar bagaimana respons mereka yang telah diselamatkan, yaitu bersukacita. Uniknya, di ayat 10 ini, Paulus mengajak orang-orang dari bangsa non-Yahudi untuk bersukacita bersama dengan umat-Nya (Yahudi). Mengapa? Di sini, Paulus hendak menjelaskan bahwa keselamatan di dalam Kristus selain dinikmati oleh semua orang pilihan Allah dari berbagai bangsa juga harus disyukuri oleh mereka. Dengan kata lain, bangsa-bangsa non-Yahudi pun bisa bersyukur dan menyembah Allah yang menyelamatkan mereka di dalam Kristus, karena universalitas karya Kristus tersebut. Lebih tajam lagi, bangsa-bangsa non-Yahudi bisa bersukacita selain karena universalitas karya Kristus, juga karena karya Allah bagi umat-Nya. Jika kita memperhatikan kutipan ayat ini dari PL, yaitu Ulangan 32:43 yang berbunyi, “Bersorak-sorailah, hai bangsa-bangsa karena umat-Nya, sebab Ia membalaskan darah hamba-hamba-Nya, Ia membalas dendam kepada lawan-Nya, dan mengadakan pendamaian bagi tanah umat-Nya."” kita akan mendapatkan gambaran lebih jelas lagi bahwa karya Allah bagi umat-Nya juga menjadi berkat bagi bangsa-bangsa non-Yahudi. Di dalam sejarah PL, kita melihat gambaran jelas akan hal ini. Daniel adalah salah satu contoh hamba Tuhan yang dipakai Tuhan dengan dahsyat di zamannya, sehingga ia menjadi berkat bagi Raja Darius di mana Allah yang ia sembah yang berdaulat itu diakui oleh raja Darius (Dan. 6:1-28). Bagaimana dengan kita? Sudahkah kita menjadi saluran berkat yang menyatakan karya Allah di dalam pribadi dan hidup kita? Mungkin orang lain (non-Kristen) tidak bisa melihat Tuhan Yesus, tetapi mereka bisa melihat pribadi kita sebagai anak-anak-Nya yang mencerminkan kebenaran, kasih, keadilan, dan kekudusan Allah. Biarlah mereka melihat karya Allah yang Mahakudus, Mahakasih, dan Mahaadil itu di dalam pribadi anak-anak Tuhan. Di tengah zaman yang bengkok, gelap, dan rusak ini, biarlah kita sebagai anak-anak-Nya memiliki hati dan semangat mau melayani Tuhan dan menjadi saksi bagi-Nya, supaya nama Tuhan dipermuliakan.


Bukan hanya bersukacita, bangsa-bangsa non-Yahudi pun memuji kebesaran Allah kita. Di ayat 11, Paulus mengajarkan, “Dan lagi: "Pujilah Tuhan, hai kamu semua bangsa-bangsa, dan biarlah segala suku bangsa memuji Dia."” Kembali, “bangsa-bangsa” di dalam ayat ini diterjemahkan dari teks Yunani sebagai “bangsa-bangsa bukan Yahudi.” (ibid., hlm. 874) Kita bisa belajar dua hal dari ayat ini.
Pertama, respons yang benar setelah diselamatkan selain bersyukur adalah memuji Allah sebagai Sumber Keselamatan. Hal ini dilakukan juga oleh orang-orang non-Yahudi. Berarti, Allah menerima pujian dan penyembahan dari orang-orang non-Yahudi melalui bahasa-bahasa mereka. Tuhan TIDAK menuntut Ia harus dipuji dengan bahasa tertentu seperti yang dilakukan oleh agama mayoritas di Indonesia (sungguhan kasihan “Tuhan” seperti itu, hehehe), tetapi Ia menghendaki semua bangsa dengan semua bahasa dan budaya memuji nama-Nya atas kebesaran-Nya. Itu baru disebut bersatu secara esensi. Inti persatuan tersebut adalah memuji Allah Trinitas dengan keragaman bahasa dan budaya dari bangsa-bangsa yang ada.

Kedua, bukan hanya bangsa-bangsa non-Yahudi yang memuji-Nya, tetapi juga semua rakyat/suku bangsa (terjemahan dari teks Yunani). Berarti pujian kepada Allah bukan hanya berada di tataran bangsa, tetapi juga sampai ke pelosok-pelosok, yaitu suku bangsa atau rakyat. Dengan demikian tidak ada satu inci suku bangsa yang seharusnya tidak memuji Tuhan, karena Ia adalah Allah yang berdaulat di dunia bahkan sampai suku bangsa. Itulah persatuan yang Tuhan inginkan. Umat Tuhan yang ingin melayani Tuhan harus bersiap diri terjun ke tempat-tempat terpencil dan kecil untuk memberitakan Injil. Selain itu, Alkitab juga dicetak dengan bahasa-bahasa daerah setempat membuktikan adanya persatuan di dalam tubuh Kristus. Semua hal yang dikerjakan ini hanya membuktikan satu hal: Kristus harus dimuliakan di semua bangsa bahkan suku bangsa yang terpencil sekalipun. Sudahkah kita siap menjangkau suku-suku terpencil bagi Kristus? Pdt. Michael Densmoor, seorang misionaris dari Amerika Serikat terpanggil untuk melayani Tuhan dan memberitakan Injil untuk suku Sunda, bagaimana dengan Anda? Suku Jawa, Aceh, Tionghoa, Madura, dll banyak yang belum mendengar Injil dengan bertanggungjawab, Andakah orangnya yang Tuhan utus?


Sentralitas Kristus sebagai teladan kesatuan jemaat ini diakhiri dengan pernyataan bahwa Kristus adalah Hakim dan Pemerintah atas bangsa-bangsa. Hal ini diajarkan Paulus di ayat 12, “Dan selanjutnya kata Yesaya: "Taruk dari pangkal Isai akan terbit, dan Ia akan bangkit untuk memerintah bangsa-bangsa, dan kepada-Nyalah bangsa-bangsa akan menaruh harapan."” Ayat ini dikutip dari Yesaya 11:10 yang selengkapnya berbunyi, “Maka pada waktu itu taruk dari pangkal Isai akan berdiri sebagai panji-panji bagi bangsa-bangsa; dia akan dicari oleh suku-suku bangsa dan tempat kediamannya akan menjadi mulia.” Dari ayat ini, kita bisa belajar dua hal, yaitu:
Pertama, sentralitas Kristus sebagai Hakim dan Pemerintah. Selain sebagai Juruselamat dari dosa (bdk. ay. 9), Paulus menjabarkan sisi akhir dari Kristus yaitu sebagai Hakim dan Pemerintah. Ia memerintah atas bangsa-bangsa baik Yahudi maupun non-Yahudi. Berarti ada universalitas kekuasaan Kristus. Jika Kristus memerintah atas bangsa-bangsa, bukankah firman-Nya harus menjadi fondasi kebenaran bagi semua bangsa? Bukankah semua bangsa seharusnya tanpa kecuali harus taat mutlak kepada Kristus melalui hukum-hukum-Nya di Alkitab? Itu yang Ia inginkan. Ini bukan pemaksaan yang tanpa dasar, tetapi suatu kemutlakan yang berotoritas, berdasar, dan bertanggungjawab. Itulah yang menjadi tugas kita bersama sebagai umat pilihan-Nya di dalam Kristus menjadi garam dan terang Kristus yang membawa Kebenaran Kristus ke dalam kehidupan kita sehari-hari, khususnya di bidang politik dan hukum. Ini saya sebut sebagai kesatuan di dalam menjalankan mandat budaya (unity in doing cultural mandate). Sudahkah kita siap melakukannya?

Kedua, otoritas Kristus yang agung dan penuh kasih. Tentunya sebagai Hakim dan Pemerintah, Ia berotoritas, tetapi sering kali otoritas menjadi hal yang mengerikan. Tetapi apakah ini berlaku bagi Kristus? TIDAK! Otoritas Kristus memang absolut, tetapi Ia menjalankan otoritas-Nya bukan dengan kekejaman militer, tetapi dengan Kasih. Itulah yang membuat Yesaya mengatakan bahwa Dia akan dicari oleh bangsa-bangsa dan tempat kediaman-Nya akan menjadi mulia. Berarti otoritas Kristus tidak membuat bangsa-bangsa terpaksa ketakutan, tetapi mereka sungguh-sungguh takut dan gemetar melihat otoritas Kristus yang penuh kasih. Agama di luar Kristen menjalankan “misi” mereka ada yang menggunakan pedang dan pemaksaan (meskipun di depan umum, mereka menyangkalinya), begitu juga dengan otoritas kerajaan duniawi, tetapi hanya Satu yang menjalankan otoritas pemerintahan kerajaan bukan dengan kekejaman, melainkan dengan Kasih dan Kebenaran, yaitu Tuhan Yesus Kristus dan Kerajaan-Nya. Puji Tuhan! Hal ini telah menjadi kekuatan bagi jemaat Roma yang pada waktu itu menghadapi bengisnya kekaisaran Romawi. Biarlah ini juga menjadi kekuatan bagi kita yang hidup di zaman sekarang. Sudahkah kita bersama-sama menghadirkan Kerajaan Allah di dalam Kristus yang penuh kasih, kebenaran, keadilan, dan kesucian ini di tengah masyarakat kita yang berdosa?


Setelah menguraikan sentralitas Kristus sebagai Juruselamat dan Pemerintah, Paulus mengajar jemaat Roma (dan kita juga), “Semoga Allah, sumber pengharapan, memenuhi kamu dengan segala sukacita dan damai sejahtera dalam iman kamu, supaya oleh kekuatan Roh Kudus kamu berlimpah-limpah dalam pengharapan.” (ay. 13) Dari ayat ini, kita belajar dua hal tentang janji Allah, yaitu:
Pertama, Ia akan memenuhi kita dengan segala sukacita dan damai karena kita percaya kepada-Nya (terjemahan dari NIV dan teks Yunani). Ketika kita percaya di dalam dan kepada Kristus dan bersama-sama menunaikan mandat yang Ia percayakan kepada kita, maka Ia akan memenuhi kita dengan sukacita dan damai. Akibatnya, meskipun di dalam menjalankan mandat-Nya, kita menemui banyak rintangan, percayalah, kita dimampukan-Nya mengatasi hal itu, bahkan kita diberi-Nya sukacita sejati dan damai yang melampaui segala akal. Ada jaminan kekuatan bagi umat-Nya yang sungguh-sungguh beriman dan bergantung total kepada-Nya. Hal ini bukan hanya menjadi teori saja, saya pun sudah mengalaminya. Ketika saya melayani Tuhan di dalam dunia perkuliahan dengan mengintegrasikan iman Kristen dengan ilmu, seperti pada umumnya, beberapa dosen “Kristen” menghalangi dan bahkan mengatakan bahwa antara iman dan ilmu tidak ada hubungannya, tetapi saya tidak memperdulikan omongan yang tidak bertanggungjawab itu. Saya tetap terus melayani Tuhan, bahkan dengan sukacita dan damai, karena saya tahu kepada siapa aku percaya (2Tim. 1:12b). Allah yang saya layani, Ia lah yang akan memampukan saya dan umat Tuhan untuk melayani-Nya lebih giat lagi dan lebih bersemangat lagi demi hormat dan kemuliaan nama-Nya di dunia ini.

Kedua, kita memiliki berlimpah-limpah pengharapan di dalam Dia melalui kuasa Roh Kudus. Ketika kita bersatu percaya dan melayani Tuhan dan Kerajaan-Nya, percayalah, Ia akan memberikan kepada kita tempat pengharapan sejati di dalam-Nya melalui kuasa Roh Kudus. Ketika kita terus percaya dan melayani, di saat itu pula, kita terus memiliki tempat pengharapan yang sejati melalui kuasa Roh Kudus. Mengapa? Karena tempat pengharapan sejati itulah yang menguatkan, menghibur, dan mendorong kita makin giat lagi melayani Tuhan. Ketika semangat kita kendor, kerohanian kita menurun, biarkan Roh Kudus bekerja membakar kembali semangat dan kerohanian kita di dalam melayani Tuhan, itulah pengharapan kita satu-satunya. Sudahkah api Roh Kudus memberikan pengharapan kepada kita yang mulai kendor di dalam melayani Tuhan? Paulus mengatakan di Roma 12:11, “Janganlah hendaknya kerajinanmu kendor, biarlah rohmu menyala-nyala dan layanilah Tuhan.”


Biarlah perenungan kita kali ini menyadarkan kita akan sentralitas Kristus sebagai teladan kesatuan dan janji Allah bagi kita yang bersatu menggenapkan kehendak-Nya di bumi ini. Amin. Soli Deo Gloria.

Matius 15:1-11: CHRIST REDEEM CULTURE (Pdt. Sutjipto Subeno, M.Div.)

Ringkasan Khotbah: 12 Agustus 2007

Christ Redeem Culture
oleh: Pdt. Sutjipto Subeno, M.Div.

Nats: Mat. 15:1-11



Setiap tempat pastilah mempunyai budaya dan budaya masing-masing tempat atau daerah pastilah berbeda. Sebagai contoh, di Jepang ada budaya minum teh tetapi di Indonesia kita menganggap biasa bahkan suatu benda bisa bernilai sangat mahal karena didalamnya ditambahkan makna tertentu. Manusia mencoba merelasikan antara hal yang duniawi dengan hal spiritual akibatnya hal yang sepele yang tidak bermakna bisa menjadi bermasalah besar. Alkitab mencatat beberapa orang Farisi dan ahli Taurat datang dari Yerusalem hanya untuk menegur Tuhan Yesus tentang hal membasuh tangan yang tidak dilakukan oleh para murid sebelum makan, mereka dianggap telah melanggar adat istiadat. Bagi orang Yahudi, membasuh tangan itu menyatakan suatu penghormatan kepada Allah sebelum kita menikmati makanan. Budaya cuci tangan merupakan sesuatu yang sifatnya fisik tetapi telah diberi makna dan direlasikan dengan dunia metafisika, dihubungkan dengan Allah. Atas kejadian ini, Tuhan Yesus balik menegur mereka yang telah melanggar perintah Allah yang berbunyi: ”Hormatilah ayahmu dan ibumu” karena dengan alasan persembahan pada Allah, orang mengabaikan orang tuanya. Tuhan Yesus menegur sangat keras akan hal ini karena dalam hal ini, perintah Allah telah dikalahkan oleh adat istiadat. Timbul perdebatan yang sangat rumit bahkan timbul perpecahan dalam perpecahan dalam Kekristenan, yakni manakah yang lebih penting adat istiadat ataukah firman Tuhan.
Richard Niebuhr dalam bukunya Christ and Culture mengungkapkan lima pendekatan antara kebudayaan dan Kristus namun perhatikan, kelima pendekatan ini tidak dapat dikatakan benar secara keseluruhan, yakni:
1. Christ against culture
Kristus menghancurkan seluruh kebudayaan yang ada di dunia karena semua kebudayaan dipandang salah dan jahat. Hal ini tidaklah tepat sebab dalam banyak aspek, Kristus tetap berada dalam budaya, Kristus tetap menjalankan budaya Yahudi. Kritus melawan budaya ini seolah-olah menjadikan Kristus tinggi dan Kekristenan agung. Pandangan-pandangan radikal seperti ini akhirnya membuat Kekristenan tidak bisa lagi hidup di tengah dunia. Orang yang memegang prinsip ini, biasanya akan tersingkir dan Kristus menjadi kalah. Mereka membentuk kebudayaan sendiri, kelompok tersendiri dan hidup tersendiri. Mereka menganggap kebudayaan itu sebagai kebudayaan Kristus tetapi sesungguhnya, kebudayaan itu tidak ubahnya dengan budaya dunia yang membedakan kebudayaan mereka tidak cocok dengan kebudayaan dunia. Perhatikan, Alkitab tidak pernah mengajarkan kita untuk melawan dan menjadi anti budaya.
2. Christ of Culture
Budaya harus diisi dengan hal-hal yang berbau Kekristenan dengan demikian kebudayaan itu menjadi milik Kristus sekarang. Konsep inilah yang hari ini banyak dipakai. Orang menganggap cara ini merupakan suatu kerjasama dimana kita tidak menghancurkan budaya tetapi kita menggunakan semua budaya yang ada dengan demikian budaya yang tadinya budaya setan kini menjadi budaya Kristus. Adalah kesalahan fatal, banyak orang yang menganggap budaya itu sifatnya netral maka tergantung dari siapa yang memakainya. Budaya itu akan menjadi milik setan kalau setan yang memakainya maka budaya itu menjadi the culture of satan, atau kalau manusia yang menggunakannya akan menjadi the culture of human being, dan kalau Kristus yang memakai budaya akan menjadi the culture of Christ. Sebagai contoh, banyak musik duniawi yang diberi tambahan ayat alkitab langsung dikatakan sebagai budaya Kristus. Demikian pula halnya dengan cara berpakaian, orang menganggap sudah menjadi budaya Kristus kalau sudah memberinya dengan aksesori atau atribut ”rohani.” Orang Yahudi juga melakukan hal yang sama, budaya duniawi yang mereka pandang baik lalu dilabel dengan agama maka mereka sudah menganggapnya sebagai agama. Hari inipun masih banyak orang yang tidak mengerti apa itu agama, mereka hanya memakai adat istiadat yang diberi label agama tertentu dan menganggapnya sebagai budaya. Dalam hal ini budaya itu lebih besar sedang Kristus hanya mengikut di dalamnya.
3. Christ above Culture
Konsep ini hendak melengkapi konsep kedua namun justru menjadikan budaya itu aneh; Kristus seolah-olah hanya hidup dalam satu kultur tertentu yang mengatasi semua kultur. Islam menjadikan
kultur Timur Tengah sebagai suatu kultur agama sehingga cara berpakaian, cara makan, dan lain-lain harus mengikuti satu kultur tersebut. Dalam kondisi budaya seperti demikian maka yang menjadi pertanyaan adalah apakah budaya ini merupakan budaya yang boleh diberi label tertentu lalu dibawa ke semua tempat? Seberapa jauhkah relatifitas suatu daerah dalam budaya? Demikian halnya dengan kultur barat yang membawa Kekristenan masuk ke Indonesia membawa dampak besar. Kultur Eropa itu dianggap sebagai kultur Kristen. Dampak itu tidak hanya pada cara hidup saja tetapi juga jiwa kolonialisme itu mempengaruhi pemikiran orang-orang di Asia. Ketika orang-orang Eropa datang ke Asia. Dalam bagian ini, Kristus membangun suatu kultur yang sifatnya kaku dan spesifik yang dan semua kultur yang ada harus mengikut pada satu kultur ini. Tidak!
4. Christ and Culture in Paradox
Budaya hidup berada dalam dua dunia – Kristus punya kultur tersendiri dan dunia juga punya kultur tersendiri, kedua kultur ini berjalan secara bersamaan dimana keduanya tidak saling menganggu dan tidak saling meniadakan. Pandangan inilah yang diajarkan oleh kaum posmodern. Konsep ini menjadikan orang Kristen hidup dalam dua dunia. Ketika orang berada di dalam gereja maka ia harus langsung menyesuaikan diri dengan kultur yang dianggap sebagai kultur Kristen, orang harus berlaku sopan, jujur namun ketika berada di luar lingkungan gereja maka orang boleh liar dan berbuat sesuka hati layaknya dunia. Konsep ini dianggap relevan di abad 20 ini namun Kekristenan tidak setuju akan pandangan ini.
5. Christ Transform Culture
Dari kelima konsep yang diungkapkan oleh Niebuhr maka konsep kelima ini yang paling banyak diingat oleh orang. Kristus mentransform kultur artinya bahwa kultur itu tidak salah cuma kultur itu perlu ditransformasi. Pertanyaannya benarkah kultur bisa dirubah? Atau lebih tepatnya, Christ redeem the culture – Kristus menebus budaya berarti ada nilai yang harus dibayar. Hal ini yang lebih tepat dalam mandat budaya. Theologi Reformed umumnya, secara posisi mengikut konsep ini, yakni Christ transforming culture, Kristus mengisi kembali budaya yang sudah ada untuk dikembalikan pada apa yang seharusnya. Ada beberapa prinsip penting yang harus diperhatikan ketika mentransform, yakni: kita harus tahu mana yang harus dan mana yang tidak, mana yang mutlak dan mana yang relatif. Sesuatu yang harus dirubah maka harus dirubah – perubahan ini sifatnya esensial tetapi ada bagian-bagian tertentu yang relatif harus berproses seiring dengan berjalannya waktu. Kita harus peka ketika kita masuk dalam suatu budaya, kita tidak perlu merubah budaya yang ada sepanjang budaya itu baik dan agung. Budaya pasti punya unsur baik sebagai anugerah umum namun sayang, budaya tidak mengerti apa yang disebut dengan anugerah umum. Sangatlah disayangkan, konsep anugerah umum inipun tidak dimengerti, orang tidak mengerti bahwa pencemaran dosa menyebabkan budaya menjadi liar dan untuk dapat memilah ini dibutuhkan anugerah khusus, yakni anugerah keselamatan. Adalah tugas Kekristenan membukakan tentang kebenaran kepada mereka.
Christ Redeem Culture
Kristus tidak merombak seluruh budaya yang ada. Kristus hanya mengubah dan membongkar budaya yang salah yang sifatnya esensial dan mutlak yang menyangkut standar dan prinsip. Tuhan Yesus menegur keras budaya orang Yahudi yang begitu sombong, mereka tidak mau dekat bahkan berbicara dengan orang Samaria. Kebudayaan seperti inilah yang hendak dibongkar oleh Tuhan Yesus lalu ditransformasi dan untuk hal ini ada harga yang harus dibayar dan harganya sangat mahal. Kristus harus menebus budaya yang salah. Kekristenan percaya bahwa Allah sejati hanya satu sedangkan budaya percaya bahwa “allah“ itu banyak dimana kita boleh menyembah pada allah yang mana saja. Budaya ini tidak dapat dibenarkan dan budaya ini haruslah dilawan dan dihancurkan sebab budaya itu salah karena sifatnya esensi dan absolut. Berbeda halnya kalau budaya yang salah itu bersifat relatifis hanya menyangkut unsur luar yang sekunder maka seiring berjalannya waktu, budaya itu harus kita ubah dan hal itu tidaklah mudah dibutuhkan perjuangan dan usaha. Namun kalau budaya itu sudah menyangkut hakekat ibadah, prinsip theologi maka budaya itu mutlak harus diubah. Allah menuntut kita untuk menyembah hanya pada satu Allah saja, Allah tidak ingin kita berzinah secara rohani maka budaya yang mengkompromikan akan hal ini tidak dapat dibenarkan.
Kalau kita tidak mengerti hal ini maka kita akan menjadi bingung dimana harus berposisi, kita tidak tahu bagaimana memilah antara prinsip kebenaran dan budaya. Moralitas Kristen lebih tinggi dari moralitas dunia maka moralitas dunia haruslah tunduk pada moralitas Kristen. Dalam bagian ini, orang masih bisa jatuh bangun dan Kekristenan masih memberikan toleransi untuk orang belajar, dididik dan diajar berproses menuju pada moralitas yang agung dan perhatikan, hal ini tidaklah mempengaruhi keselamatan seseorang. Demikian juga halnya dengan hal cuci tangan, apakah hal cuci tangan dipandang sebagai hal serius yang menjadi adat istiadat pengunci yang mempengaruhi keselamatan seseorang? Tidak! Itulah sebabnya, Tuhan Yesus menegur dengan keras dan membalikkan konsep berpikir orang Yahudi yang salah.
Van Till melihat iman manusia didasarkan pada dua aspek, yaitu: 1) iman yang menggunakan pendekatan antroposentric religion, yakni segala sesuatu berpusatkan pada manusia, 2) segala sesuatu haruslah dilihat dari kedaulatan Allah dan theologi Reformed adalah satu-satunya theologi yang menuntut kedaulatan Allah haruslah berada di atas semua unsur manusia. Taurat diberikan supaya manusia mengerti isi hati Allah tetapi orang memakai taurat sebagai alat manusia untuk kepentingan humanitas. Orang yang melihat dari sudut pandang manusia pastilah beranggapan bahwa Allah tidak konsisten sebab di salah satu hukumnya, dilarang membunuh tetapi di sisi lain, Allah memerintahkan manusia untuk membunuh. Inilah natur manusia berdosa. Alkitab menyatakan Allah yang kasih itu menyediakan neraka, Allah menyediakan hukuman mati bagi orang berdosa. Dalam hal ini, kita harus melihat dari sisi Allah. Ada tiga aspek yang perlu kita perhatikan, yakni: 1) kalau membunuh itu didasarkan atas kepentingan pribadi manusia maka ia berdosa, 2) membunuh didasarkan atas kebencian, unsur interpersonal – Alkitab menegaskan bahwa membenci seseorang saja berarti sudah membunuh, hal ini menjadi hakekat atau esensi di balik tindakan, 3) membunuh merupakan pelanggaran keadilan maka hukuman yang diterapkan adalah hukuman keadilan. Alkitab sangat setuju dengan capital punishment, kalau kita melihat dari sudut manusia, kita akan merasa Tuhan itu tidak adil, Tuhan tidak berbelas kasih. Tidak! Alkitab dengan tegas menyatakan kalau Allah telah menetapkan hukuman mati maka itu tidak didasarkan atas kepentingan pribadi tetapi hal itu mutlak dan harus dilakukan karena sifatnya absolut, dan hukuman diberikan untuk menjadikan dunia lebih aman; seorang pembunuh kejam haruslah dihukum sebelum ia melakukan tindakan pembunuhan lain yang lebih kejam dan menjadikan dunia lebih hancur. Betapa bodohnya manusia kalau karena alasan mengasihi, dunia menjadi kacau dan hancur. Kebenaran dan keadilan Allah harus ditegakkan di tengah dunia berdosa.
Budaya harus balik pada Allah. Beberapa ahli budaya dan para teolog melihat kelemahan konsep Niebuhr yang melihat Kristus dan budaya secara dualisme. Yang menjadi titik permasalahan adalah agama, iman atau filsafat yang membentuk budaya ataukah sebaliknya, budaya yang membentuk agama? Apakah agama itu menjadi bagian dari sebuah budaya? Merupakan suatu kesalahan fatal, hari ini orang mengajarkan bahwa agama membentuk suatu pemikiran filsafat dan pemikiran filsafat membentuk budaya dan budaya membentuk semua implikasi budaya, seperti bahasa, agama, bangunan, cara berpakaian dan semua tatanan keadilan dan hukum, dan lain-lain. Alkitab menegaskan iman adalah mutlak, titik tertinggi; iman membentuk pola berpikir atau filosofi agama dan dari filosofi agaman ini barulah membentuk budaya dan budaya membentuk perilaku. Kalau iman kita tidak beres maka budaya pastilah akan liar. Maka dapatlah disimpulkan, iman menentukan budaya; budaya dan Kristus bukanlah dualisme. Pertanyaannya adalah seberapa jauhkah kita mengutamakan Kristus? Ketika kita men-Tuhankan Kristus dalam seluruh aspek hidup kita maka pada saat itu budaya akan terbentuk secara sendirinya dimanapun kita berada. Budaya adalah produk iman, puncak dari iman kepercayaan kita dan terkadang, budaya ini menjadikan kita berbeda dengan budaya yang ada di sekeliling kita. Hal ini akan mempengaruhi hubungan relasi kita, etos kerja, etika hidup, hubungan suami-istri, dan lain-lain. Orang yang beriman humanis maka seluruh perilakunya akan menjadi humanis. Janganlah kita terjebak dengan konsep yang dipaparkan oleh Niebuhr bahkan beberapa tokoh reformed seperti Abraham Kuyper dan Dooyewerd terpengaruh konsep Niebuhr, yakni konsep Christ transforming culture.
Perdebatan antara budaya dan Kristus seringkali terjadi sampai hari ini namun ingat, jangan perdebatkan Kristus dengan budaya sebab Kristus adalah Allah sejati, Ia tidak sebanding kalau diperdebatkan dengan budaya yang sifatnya tatanan praktis. Percaya kepada Kristus merupakan pusat iman sedang budaya hanyalah implikasi iman maka sangatlah tidak pas kalau kita menaruh budaya di posisi atas sebab budaya tidak punya dasar yang kuat. Celakanya pendidikan hari ini didasarkan pada humanitas atau evolusi dimana Allah tidak ada didalamnya akibatnya cara pandang kita akan sangat duniawi dan humanis. Hendaklah kita kembali pada natur dan atribut Kristus, yakni adil, suci, benar, mulia, manis dan sedap didengar maka budaya akan terintegrasi dengan baik dan menghasilkan budaya yang agung. Hal inilah yang disebut sebagai mandat budaya. Mandat budaya bukanlah percampuran atau sinkretisme antara Kristus dan budaya. Mandat budaya adalah setiap budaya yang harus disorot dari iman Kristen menjadikan apa yang benar dan salah menjadi terbuka di hadapan Kristus. Dunia semakin hari semakin menuju kehancuran, dunia tidak menjadi semakin baik, moralitas menjadi rusak, budaya semakin hancur – kita harus semakin kokoh dalam iman dan kebenaran, berdiri teguh di atas Firman dan tugas setiap anak Tuhan menjadi terang dan garam di tengah dunia dan berani dengan tegas menyatakan kebenaran dan menegur budaya yang salah. Amin.

(Ringkasan khotbah ini belum diperiksa oleh pengkhotbah)
Sumber: