10 July 2011

Bagian 2: "DIKUDUSKANLAH NAMA-MU"

TUHAN, AJARLAH KAMI BERDOA
(Seri Pengajaran Doa Bapa Kami):

“Dikuduskanlah nama-Mu”
(Mat. 6:9b)

oleh: Denny Teguh Sutandio






Setelah kita mengerti bahwa kita berdoa kepada Bapa di Sorga, maka kita diajar oleh Kristus untuk langsung mengingat akan hal-hal berkaitan dengan Allah. Hal pertama yang berkaitan dengan Allah yang diajarkan Kristus adalah nama Allah yang kudus. “Dikuduskanlah” di dalam ayat 9 ini di dalam bahasa Yunani hagiasthētō menggunakan bentuk perintah (imperative), aorist, pasif, dan orang ketiga tunggal. Berarti, di dalam doa, Kristus memerintahkan kita untuk terus mengingat akan nama Allah yang kudus.

Apa arti “dikuduskan”? Apakah ini berarti sebelum doa ini dipanjatkan, nama Allah tidak kudus, lalu Ia meminta kita untuk menguduskan-Nya? TIDAK! Allah adalah Allah yang Kudus yang tidak perlu dikuduskan oleh siapa pun termasuk oleh manusia yang sendirinya tidak kudus! Lalu, apa artinya? Dikuduskan berarti dibuat kudus (bukan dijadikan kudus).

Kemudian, yang harus dikuduskan adalah nama Allah. Di dalam bahasa Yunani, kata “nama” ini adalah onoma (berbentuk: kata benda, nominatif, neuter, dan tunggal) yang berarti nama. Di dalam Alkitab, nama Allah identik dengan Pribadi Allah. Ketika Allah menyatakan diri-Nya kepada Musa sebagai “Aku adalah Aku” (Kel. 3:14), Ia hendak mengajar Musa bahwa Dia adalah Allah yang berada pada diri-Nya sendiri yang melampaui ruang dan waktu yang berdaulat mutlak. Di dalam ayat berikutnya, Allah menyatakan diri-Nya kepada Musa untuk nantinya dikatakan kepada bangsa Israel yang akan dibebaskannya, “TUHAN, Allah nenek moyangmu, Allah Abraham, Allah Ishak dan Allah Yakub, telah mengutus aku kepadamu: itulah nama-Ku untuk selama-lamanya dan itulah sebutan-Ku turun-temurun.” (Kel. 3:15) Dalam bahasa Ibrani, kata “nama” di Keluaran 3:15 ini adalah shêm dan di dalam Septuaginta diterjemahkan onoma. Dari Keluaran 3:15 ini, kita belajar bahwa nama Allah langsung dikaitkan dengan Pribadi Allah yang mengikat perjanjian dengan umat-Nya dan setia dengan perjanjian-Nya itu.

Perintah untuk menguduskan nama Allah ini identik dengan perintah dari Allah yang sama agar jangan menyebut nama-Nya dengan sembarangan di Keluaran 20:7, “Jangan menyebut nama TUHAN, Allahmu, dengan sembarangan, sebab TUHAN akan memandang bersalah orang yang menyebut nama-Nya dengan sembarangan.”

Di dalam Perjanjian Baru, kata “nama” bisa merujuk pada nama secara umum (misalnya: Mat. 10:2; Mrk. 14:32; Luk. 8:30, 41; 10:20; Ibr. 1:4; Why. 9:11) atau khusus digabungkan dengan Allah atau Yesus (Mat. 6:9; Luk. 1:49; Rm. 2:24; 2Tes. 1:12; Ibr. 2:12; 13:15; Why. 2:13; 11:18). Dan uniknya ketika kata nama digabungkan dengan Allah/Yesus, “nama” itu selalu diikuti dengan kata sifat dan kata kerja khusus: kudus (Luk. 1:49), dihujat (Rm. 2:24), dimuliakan (2Tes. 1:12), diberitakan (Ibr. 2:12), berpegang akan (Why. 2:12), dan takut akan (Why. 11:18).

Dengan kata lain, dengan mengucapkan “dikuduskanlah nama-Mu”, Kristus mengajar kita:
1. Melihat Allah sebagai Pribadi yang Kudus
Kata “kudus” di Matius 6:9 ini dalam bahasa Yunani hagiasthētō yang berasal dari akar kata hagiazō yang bisa berarti to dedicate to the service of and to loyalty to deity (=untuk mempersembahkan bagi pelayanan dan kesetiaan kepada Allah). Di sini, kita belajar bahwa kudus langsung dikaitkan dengan pribadi Allah.
Di atas telah dijelaskan bahwa nama Allah pasti berkaitan dengan pribadi-Nya, sehingga dengan menguduskan nama-Nya, kita menguduskan Allah sendiri yang memang Mahakudus itu. Melihat Allah sebagai Mahakudus berarti menempatkan Allah di tempat yang seharusnya. Dia adalah Allah yang Mahakudus yang harus disembah dan dipermuliakan oleh semua manusia di bumi ini dan semua malaikat, sehingga para Serafim berkata, “Kudus, kudus, kuduslah TUHAN semesta alam, seluruh bumi penuh kemuliaan-Nya!” (Yes. 6:3)

2. Menyadari Status Kita Sebagai Manusia Berdosa
Mengenal Allah yang Mahakudus di saat yang sama juga menyadarkan kita bahwa kita adalah manusia berdosa. Di dalam Alkitab, kita mendapatkan gambaran ini. Ketika para Serafim memuji Allah di Yesaya 6:3 dan terjadi fenomena yang menggetarkan (ay. 4), maka Alkitab mencatat respons Yesaya, “Celakalah aku! aku binasa! Sebab aku ini seorang yang najis bibir, dan aku tinggal di tengah-tengah bangsa yang najis bibir, namun mataku telah melihat Sang Raja, yakni TUHAN semesta alam.” (ay. 5)
Fakta bahwa Allah itu Mahakudus mengakibatkan Yesaya langsung menyadari bahwa dirinya adalah orang berdosa yang tinggal di tengah-tengah bangsa yang berdosa. Kita pun sebagai umat-Nya yang telah ditebus Kristus pun harus menyadari bahwa meskipun kita telah ditebus Kristus, kita tetap dapat berdosa (posse peccare), namun dosa tidak mengikat kita lagi.

3. Menyadari Bahwa Allah yang Mahakudus Mengampuni Dosa-dosa Umat-Nya
Menyadari bahwa kita adalah manusia berdosa harus disusul oleh fakta bahwa Allah mengampuni dosa-dosa kita. Perhatikan kembali kasus Yesaya di Yesaya 6. Setelah Yesaya menyadari dosanya, Alkitab mencatat tindakan seorang Serafim itu di ayat 6-7, “Tetapi seorang dari pada Serafim itu terbang mendapatkan aku; di tangannya ada bara, yang diambilnya dengan sepit dari atas mezbah. Ia menyentuhkannya kepada mulutku serta berkata: "Lihat, ini telah menyentuh bibirmu, maka kesalahanmu telah dihapus dan dosamu telah diampuni."” Meskipun konteksnya adalah Allah memanggil Yesaya, namun cerita di atas dapat menjadi teladan kepada kita bahwa Allah yang Mahakudus mengampuni dosa umat-Nya.
Di sini, kita belajar bahwa Allah yang Mahakudus memang membenci dosa, tetapi Ia tidak pernah membenci manusia yang berdosa, sehingga Ia rela menebus dosa manusia dengan mengutus Putra Tunggal-Nya, Tuhan Yesus Kristus untuk menebus dosa umat-Nya. Allah yang Mahakudus juga adalah Mahakasih.

4. Menyadari Bahwa Sebagai Umat Tebusan-Nya, Kita Harus Hidup Kudus Sebagaimana Allah itu Kudus.
Setelah kita diampuni dosanya dan ditebus oleh Kristus, maka adalah kewajiban kita untuk meresponi cinta kasih Allah yang Mahakudus itu dengan hidup kudus. Bagaimana cara hidup kudus?
Di dalam Perjanjian Lama, Allah mengajar kita bahwa hidup kudus dilakukan dengan menjalani hidup yang kudus sebagai umat-Nya yang tidak melakukan apa yang dilarang-Nya, dll. Di Imamat 11:44-45 (diulang kembali di 19:2 dan 20:26), Allah berfirman, “Sebab Akulah TUHAN, Allahmu, maka haruslah kamu menguduskan dirimu dan haruslah kamu kudus, sebab Aku ini kudus, dan janganlah kamu menajiskan dirimu dengan setiap binatang yang mengeriap dan merayap di atas bumi. Sebab Akulah TUHAN yang telah menuntun kamu keluar dari tanah Mesir, supaya menjadi Allahmu; jadilah kudus, sebab Aku ini kudus.” Dan ketika kita meneliti tiga kali Allah berfirman kepada umat Israel agar umat-Nya hidup kudus sebagaimana Dia itu kudus di dalam kitab Imamat, hal itu langsung dikaitkan dengan perintah-Nya dan status-Nya sebagai umat Allah (Im. 11:44; 19:3-37; 20:1-25). Ini berarti Allah ingin hidup umat-Nya yang telah dikuduskan-Nya benar-benar merefleksikan kekudusan-Nya dengan hidup kudus yang berbeda dari hidup orang dunia (bdk. Im. 20:26).
Bagaimana dengan pengajaran Perjanjian Baru? Di dalam Perjanjian Baru, pertama-tama, Alkitab mengajar kita bahwa kita sebagai umat-Nya telah dikuduskan oleh Allah sendiri, sebagaimana doa Tuhan Yesus kepada Allah Bapa, “Kuduskanlah mereka dalam kebenaran; firman-Mu adalah kebenaran.” (Yoh. 17:17; konteks “mereka” di sini jelas adalah para murid-Nya) Secara status, kita telah dikuduskan oleh Kebenaran (Yun.: alētheia) yaitu firman Allah. Status dikuduskan ini mengakibatkan kita dapat hidup kudus, sebagaimana yang diajarkan oleh Petrus di dalam 1 Petrus 1:15-16, “hendaklah kamu menjadi kudus di dalam seluruh hidupmu sama seperti Dia yang kudus, yang telah memanggil kamu, sebab ada tertulis: Kuduslah kamu, sebab Aku kudus.”

Lalu, Petrus mengajar bagaimana umat-Nya dapat hidup kudus, “Hiduplah sebagai anak-anak yang taat dan jangan turuti hawa nafsu yang menguasai kamu pada waktu kebodohanmu” (1Ptr. 1:14) Dengan kata lain, ketika umat-Nya mau hidup kudus, Petrus mengajar kita bahwa:
a) Kita harus menjadi anak-anak (Yun.: tekna) yang taat
Kekudusan Allah yang menguduskan umat-Nya memungkinkan umat-Nya hidup kudus dengan menaati firman-Nya seperti seorang anak yang taat. Bagaimana cara umat-Nya taat pada firman-Nya? Caranya adalah dengan mengubah seluruh aspek kehidupan mereka (hati, pikiran, perkataan, dan tindakan) seturut firman-Nya (bdk. Ef. 5:1-6:20; Kol. 3:5-4:6).

b) Kita jangan dituntun[1] oleh nafsu-nafsu pada masa ketidaktahuan.
Karena kita adalah anak-anak Allah yang taat pada firman-Nya (yang bisa diterjemahkan: dituntun oleh firman-Nya), maka kita dituntut untuk jangan mau dituntun oleh nafsu-nafsu duniawi pada masa ketidaktahuan. Frasa “jangan turuti” di dalam 1 Petrus 1:14 menurut struktur bahasa Yunani lebih tepat diterjemahkan, “jangan disesuaikan/dijadikan serupa/dituntun” karena kata Yunani yang dipakai adalah suschēmatizomenoi yang akar katanya adalah schēma yang berarti pola/mode/lingkungan/dll.[2] Kata Yunani ini juga dipakai di Roma 12:2 yang bisa diterjemahkan: dijadikan serupa dengan dunia.
Melalui penggunaan kata kerja pasif di dalam ayat ini, Petrus mengajar kita agar kita jangan dituntun oleh nafsu-nafsu (kata ini bahasa Yunaninya berbentuk jamak)[3] atau jangan sampai nafsu-nafsu menuntun hidup kita, sehingga kita nantinya jatuh ke dalam nafsu-nafsu tersebut.


Bagaimana dengan kita? Biarlah kekudusan Allah menguasai iman, doa, dan seluruh aspek kehidupan kita, agar kita makin memuliakan Allah selama-lamanya. Amin.





Catatan Kaki:
[1] Hasan Sutanto, Perjanjian Baru Interlinear Yunani-Indonesia dan Konkordansi Perjanjian Baru (PBIK) Jilid I (Jakarta: Lembaga Alkitab Indonesia, 2006), hlm. 1227.
[2] Beberapa Alkitab terjemahan Inggris menerjemahkannya: “do not be conformed to” (English Standard Version, New American Standard Bible, dan Revised Standard Version) dan “do not conform” (New International Version).
[3] English Standard Version (ESV) dan Revised Standard Version (RSV) menerjemahkannya: passions (nafsu-nafsu); King James Version (KJV) dan New American Standard Bible (NASB) menerjemahkannya: lusts (nafsu-nafsu); Young’s Literal Tranlation (YLT) menerjemahkannya: desires (hasrat-hasrat); dan New International Version (NIV) menerjemahkannya: evil desires (keinginan-keinginan jahat).



Book Description-125: ATHEISM REMIX (Prof. R. Albert Mohler, Jr., Ph.D.)

Have you heard about Richard Dawkins and his book, The God Delusion? He is one of the proponents of New Atheism in this postmodern era. What is New Atheism? Is New Atheism same with Atheism in modern era? What are the characteristics of New Atheism? Who are the proponents? As a Christian, how should we react to New Atheism?



Find the answers in the:

Book
ATHEISM REMIX:
A Christian Confronts the New Atheists


by: Prof. R. Albert Mohler, Jr., Ph.D.

Publisher: CrossWay, 2008




All about New Atheism are explained by Prof. R. Albert Mohler, Jr., Ph.D. in his book Atheism Remix. In Chapter 1 and 2, Dr. Al Mohler explains the origin of New Atheism, difference between Atheism and New Atheism, the proponents of New Atheism, and eight characteristics of New Atheism assault Theism (especially Christianity). In Chapter 3, he explains that Theism is more rational than New Atheism. In order to defending that concept, he quotes two resources of Christian philosophers who reject New Atheism, i.e. Prof. Dr. Alister McGrath and Prof. Alvin Plantinga, Ph.D. In the final chapter, he explains another reaction from “Christians” toward New Atheism, that is, accomodating New Atheism. Furthermore, Dr. Mohler explains that that reaction is not true Christian/Evangelical reaction toward New Atheism, because that reaction is a compromising reaction which is not Biblical! Therefore, Dr. Mohler provides a better reaction toward New Atheism, that is, preaching the Gospel to people who are New Atheist.





Endorsement:
“Thoughtful and insightful, this readable work illuminates for scholars, pastors, and students alike the key issues that must be addressed in order to engage the thinking of Dawkins, Harris, Hitchens, and others. I applaud Albert Mohler for his clarity and conviction in helping us understand that biblical theism is the only true alternative to the New Atheism. I gladly recommend this book!”
Prof. David S. Dockery, Ph.D.
(the 15th president of Union University; studied in University of Alabama, Birmingham and received masters from: Grace Theological Seminary, Southwestern Baptist Theological Seminary, and Texas Christian University; and Doctor of Philosophy—Ph.D. in Humanities from University of Texas)

“Instead of becoming just one more voice in the rising debate between Christians and the New Atheists, Dr. Mohler has chosen to provide us with masterful coverage of the dominant writers on both sides. I know of no other introduction to this crucial debate that is as comprehensive and clear in such brief compass. Mohler tells us what’s going on, shows us how much depends on the outcome of this titanic cultural shift, and provides guidance to the resources Christians need to challenge the New Atheism root and branch.”
Rev. Prof. Donald A. Carson, Ph.D.
(Research Professor of New Testament at Trinity Evangelical Divinity School in Deerfield, Illinois, U.S.A.; Bachelor of Science—B.S. in chemistry from McGill University; Master of Divinity—M.Div. from Central Baptist Seminary in Toronto; and Ph.D. in New Testament from Cambridge University)

“The New Atheism needs a clear-headed, straightforward analysis. Atheism Remix does this, and does it well. Al Mohler is clear and concise in his critique, and the readability of this book makes it accessible to a wide audience. This is a fine introduction and overview of the self-proclaimed ‘Four Horsemen’ of atheism. They are examined and exposed for the vacuous arguments they offer.”
Prof. Daniel L. Akin, Ph.D.
(the president of Southeastern Baptist Theological Seminary and also as Professor of Preaching and Theology; Bachelor of Arts—B.A. in Biblical Studies from Criswell College; M.Div. from Southwestern Baptist Theological Seminary; and Ph.D. in Humanities from University of Texas at Arlington)



Biography of the author:
Prof. R. Albert Mohler, Jr., Ph.D. is the ninth president of Southern Baptist Theological Seminary in Louisville, Kentucky and also as the Joseph Emerson Brown Professor of Christian Theology. Mohler hosts The Albert Mohler Program, a nationwide radio show devoted to engaging contemporary culture with his Bible-based beliefs. He is a member of the board of James Dobson’s Focus on the Family and a member of the governing body of the Council on Biblical Manhood and Womanhood. Mohler formed Together for the Gospel with Ligon Duncan, Mark Dever and C. J. Mahaney. Mohler received Bachelor of Arts (B.A.) from Samford University, Alabama; Master of Divinity (M.Div.) and Doctor of Philosophy (Ph.D.) in Systematic and Historical Theology from The Southern Baptist Theological Seminary. He is married to the former Mary Kahler, with whom he has two children, Katie and Christopher. His writings have been published throughout the United States and Europe. He has contributed to several books including Hell Under Fire: Modern Scholarship Reinvents Eternal Punishment, Here We Stand: A Call From Confessing Evangelicals and The Coming Evangelical Crisis. He served as General Editor of The Gods of the Age or the God of the Ages: Essays by Carl F. H. Henry and served from 1985 to 1993 as Associate Editor of Preaching, a journal for evangelical preachers. He currently serves as Editor-in-Chief of The Southern Baptist Journal of Theology.