28 October 2007

PENCIPTAAN DAN KASIH ALLAH (G. I. Jeffrey Siauw, S.T., M.Div.)

PENCIPTAAN DAN KASIH ALLAH

oleh : G. I. Jeffrey Siauw, S.T., M.Div.


Kisah penciptaan manusia dalam Kejadian 1-2, bisa dibaca dari berbagai sudut pandang. Saya biasa membacanya dari sudut kedaulatan dan kemuliaan Allah, bahwa segala yang di dalam dunia adalah dari Allah dan harus kembali memuliakan Allah. Tetapi ketika saya mencoba membacanya lagi dari sudut kebaikan dan keindahan Allah, saya kembali terkagum-kagum.

Dunia yang belum berbentuk dan kosong itu, perlahan-lahan dibentuk dan diisi oleh Tuhan. Seperti seorang artis yang melukis, seperti seorang desainer yang merancang, tetapi juga seperti seorang bapa yang menyediakan keperluan anaknya, demikianlah Allah menjadikan dunia ini.

Dunia yang belum berbentuk dan kosong tidak mungkin ditinggali oleh manusia. Maka Tuhan membentuk dan mengisinya, mempercantiknya begitu indah, sampai semuanya siap, kemudian ‘menghadiahkannya’ kepada manusia.

Orang Babel punya dongeng yang mengisahkan bahwa manusia dijadikan oleh dewa untuk megerjakan pekerjaan-pekerjaan yang tidak disukai oleh dewa, salah satunya adalah menyiapkan makanan bagi mereka.

Tetapi Tuhan menjadikan kita, justru Dia yang menyediakan makanan bahkan segala yang kita perlukan! Bukan hanya ‘bentuk’ dunia seperti terang dan gelap, langit dan bumi, darat dan lautan, lalu ‘isi’ dunia seperti benda-benda angkasa, tumbuh-tumbuhan, hewan-hewan udara, laut dan darat, tetapi juga menjadikan sesama manusia bagi kita. Kalimat demi kalimat dalam kisah penciptaan itu menunjukkan betapa pedulinya Allah pada kita. Allah memberkati manusia, Allah memberikan tugas untuk menguasai semuanya, Allah menyediakan kebutuhan manusia, dan Allah memikirkan keadaan manusia (“tidak baik kalau manusia itu seorang diri saja”).
Coba saudara baca lagi kisah penciptaan itu, dan lihat bagaimana perasaan dan antusiasme Allah waktu memelihara dan memperhatikan kita. Tidak salah kalau sebuah lagu mengatakan “seperti bapa sayang anaknya, demikianlah Engkau mengasihiku”.

Setiap hari penciptaan selalu dimulai dengan “Berfirmanlah Allah:…” lalu ditutup dengan “Allah melihat bahwa semuanya itu baik”. ‘Baik’ untuk siapa? ‘Baik’ untuk Allah dan ‘baik’ untuk kita! Yang sangat mengharukan adalah kebaikan bagi kita adalah kebaikan di mata Allah. Adalah kesukacitaan dan kebaikan di mata Allah, melihat apa yang baik terjadi bagi kita. Oh alangkah tidak layaknya kita!

Tetapi Tuhan belum selesai.... diberikan pula AnakNya yang tunggal bagi kita.
Maka semakin merenungkan kebaikan Tuhan, membuat kita semakin tertunduk dan memuji “Oh alangkah besarnya kasih Allah bagiku yang tidak layak!”

Sumber : Jeffrey Siauw’s blogspot



Profil G. I. Jeffrey Siauw :
G. I. Jeffrey Siauw, S.T., M.Div. lahir di Jakarta, 11 Oktober 1973. Beliau menikah dengan Yudith Corina.Beliau menempuh pendidikan Teknik Industri di Universitas Trisakti, Jakarta dan meraih gelar Sarjana Teknik (S.T.) pada tahun 1997. Kemudian, beliau melanjutkan pendidikan theologia di Institut Reformed, Jakarta (1998-2002) dan meraih gelar Master of Divinity (M.Div.). Pada waktu masih menjadi mahasiswa di Universitas Trisakti, pernah aktif melayani di Komisi Remaja GKI Pakuwon, Gereja Kristus Jembatan Hitam dan Persekutuan Oikumene Trisakti. Pada bulan Februari 2001 – Januari 2002 (praktek pelayanan 1 tahun), beliau melayani di Mimbar Reformed Injili Indonesia (MRII) Matraman dan Gereja Reformed Injili Indonesia (GRII) Pusat, sekaligus mengajar di Institut Reformed dan Sekolah Theologia Reformed Injili Jakarta (STRIJ). Pada bulan Februari 2002 - Januari 2003, beliau menjadi Penginjil di Mimbar Reformed Injili Indonesia Beijing dan pada Januari 2003 – September 2004, beliau menjadi Misionaris dari Care for China Ministry (CCM). Sejak April 2004 – Sekarang, beliau melayani sebagai Guru Injil (G. I.) di Gereja Kristus Yesus (GKY) Jemaat Green Ville, Jakarta, khususnya sebagai : Pembina Komisi Pemuda 1 (Pemuda di bawah usia 25 tahun) dan Pembina Komisi Remaja 2 (Remaja SMA).

27 October 2007

Refleksi Reformasi 2007 (2) : REFORMED SPIRIT AND EPISTEMOLOGY-2 (Denny Teguh Sutandio)

Refleksi Hari Reformasi 2007 (2)



REFORMED SPIRIT AND EPISTEMOLOGY-2 :
Dr. Martin Luther Vs Desiderius Erasmus


oleh : Denny Teguh Sutandio



Pendahuluan dan Latar Belakang
Thomas Aquinas di Abad Pertengahan yang berusaha mengkompromikan keKristenan dengan menjadikan Kristen dan Alkitab di bawah “otoritas” filsafat Yunani (Alkitab hanya sebagai pelengkap doktrin filsafat Yunani yang kurang lengkap) telah mempengaruhi gereja, dalam hal ini gereja Katolik Roma, sehingga upaya pengkompromian ini terus terjadi bahkan secara ekstrim, Johann Tetzel menjual surat indulgensia atau surat pengampunan dosa di mana setiap jemaat yang ingin agar siapapun yang dikasihinya yang sudah meninggal langsung ke “surga”, mereka dapat membeli surat tersebut, dan setiap uang yang berdenting di kotak pembelian surat tersebut, nyawa orang yang meninggal tersebut langsung berpindah ke “surga”. Hal inilah yang menyulut terjadinya Reformasi oleh seorang mantan uskup ordo Augustinian, Dr. Martin Luther. Selain itu, pada zaman sebelum Reformasi, Kepausan mengalami suatu pukulan yang serius terhadap kehormatannya ketika istananya dipindahkan ke Avignon, Prancis dan jabatan kepausan kemudian dilemahkan oleh Perpecahan Besar, di mana dua, dan kemudian tiga, Paus mengklaim menjadi penerus sejati Rasul Petrus. Ketika Reformasi berlangsung, timbullah ajaran aneh dari Desiderius Erasmus Roterodamus yang menentang ajaran Luther dengan menekankan superioritas manusia. Siapakah mereka berdua dan apa yang mereka ajarkan ? Lalu, ditinjau dari perspektif Alkitab yang berotoritas, apakah ajaran mereka berdua beres atau tidak ? Pada renungan bagian ini, kita akan menyelidiki sekilas mengenai Luther dan Erasmus serta ajaran-ajarannya, lalu kita akan mengakhirinya dengan meninjau kritis ajaran-ajaran mereka.



Dr. Martin Luther : Profil Singkat dan Ajaran-ajarannya
Reformasi, bagi Prof. W. Andrew Hoffecker, Ph.D. di dalam salah satu artikelnya : Penemuan Kembali Akar Alkitabiah : Reformasi di dalam buku Membangun Wawasan Dunia Kristen Volume 1 : Allah, Manusia, dan Pengetahuan, adalah “pemulihan spiritual ide-ide Alkitabiah. ...para pemimpinnya menolak mentalitas sintesis yang telah mendominasi pemikiran Kristen selama berabad-abad.” (Hoffecker, 2006, p. 127) Meskipun reformasi sudah pernah terjadi sebelumnya (John Knox, dll), tetapi Reformasi Luther berusaha secara tegas menolak semua unsur-unsur antroposentris sebagai otoritas kebenaran, lalu berpegang hanya kepada Alkitab sebagai satu-satunya dasar kebenaran yang paling absolut. Di dalam bukunya, Babylonian Captivity of the Church, Dr. Martin Luther menegaskan, “Alkitab adalah kebun anggur kita, dan di sana kita semua harus bekerja dan berjerih lelah.” (seperti dikutip dalam Hoffecker, 2006, p. 129) Dari semangat inilah, marilah kita menyelidiki profil singkat Luther dan ajaran-ajarannya yang sering disalahmengerti oleh banyak orang.

Dr. Martin Luther (10
November 1483 – 18 Februari 1546) adalah seorang mantan rahib Jerman, imam, profesor, theolog dan reformator gereja. Beliau dilahirkan tanggal 10 November 1483 di Eisleben, Jerman dari ayah, Hans dan ibu, Margarethe Luther (Ziegler). Keluarganya pindah ke Mansfeld pada tahun 1484, di mana ayahnya bekerja dan kemudian mengusahakan pertambangan tembaga. Ayahnya, Hans Luther mengirimkan anaknya ini untuk studi hukum. Pada tahun 1501, pada usia 17 tahun, beliau masuk ke University of Erfurt di mana beliau memainkan kecapi dan dijuluki “filsuf”. Beliau meraih gelar Bachelor of Arts (B.A.) pada tahun 1502 dan Master of Arts (M.A.) pada tahun 1505, menempati tempat kedua dari 17 kandidat. Sesuai keinginan ayahnya, Luther mendaftarkan diri di dalam sekolah hukum di universitas yang sama. Tetapi Tuhan berkehendak lain. Melalui kematian seorang kawannya secara mendadak dan lolosnya dia dari sambaran kilat dalam suatu badai guruh pada musim panas tahun 1505, Luther akhirnya berkomitmen ingin menjadi rahib. Komitmennya itu diwujudnyatakannya dengan meninggalkan sekolah hukum, menjual buku-bukunya dan memasuki biara Augustinian di Erfurt pada tanggal 17 Juli 1505.

Pada tahun 1507, Luther ditahbiskan menjadi imam, melanjutkan studinya dan menjadi guru besar bidang theologia di Universitas Wittenberg, Jerman. Beliau meraih gelar Bachelor dalam studi Biblika (Biblical studies) pada tanggal 9
Maret 1508, dan gelar Bachelor lainnya dalam Sentences oleh Peter Lombard pada tahun 1509. Pada tanggal 19 Oktober 1512, Luther dianugerahi gelar Doctor of Theology, dan dua hari setelah itu, beliau diangkat menjadi senat di dalam fakultas theologia di Universitas Wittenberg. Beliau juga memimpin 11 biara dan dikenal sebagai pengkhotbah yang penuh kuasa dan bertalenta untuk mengkomunikasikan dengan efektif pesan sederhana Alkitab.

Pada tahun 1510-1520, beliau mengajar Mazmur, Surat Ibrani, Roma dan Galatia. Pada tahun 1516, sementara mengajar surat Roma, beliau memahami untuk pertama kalinya pengajaran Paulus tentang pembenaran oleh iman dengan cara yang sangat pribadi, karena sebelumnya Luther menyangka bahwa dengan hidup membiara (menyiksa diri, berpuasa, beramal, dll) dapat memperkenan Allah yang murka. Setahun sesudahnya, karena pandangannya bahwa keselamatan dihasilkan oleh iman kepada Kristus, Luther menantang klaim Gereja Katolik Roma yang pada waktu itu mengeluarkan surat indulgensia sebagai pengampunan dosa atas usul biarawan Dominikan, Johann Tetzel. Perlu diketahui, surat indulgensia adalah surat yang dibeli dengan sejumlah uang, membebaskan seseorang dari kewajiban melakukan suatu perbuatan melalui sakramen pertobatan. Surat ini bermula pada waktu Perang Salib, di mana orang-orang kaya yang membeli surat ini, karena mereka tidak mau ikut berperang. Pada waktu itu, dijanjikan bahwa setiap orang yang ikut berperang maupun ikut menyokong dana dengan membeli surat ini tidak akan dihukum atas dosa-dosanya dalam api penyucian (purgatori). Pada zaman Luther, hasil penjualan indulgensia dipergunakan untuk membangun katedral Basilica Santo Petrus di Roma. Pada zaman sekarang, gereja-gereja Katolik (akibat pengaruh Luther) dalam Konstitusi Apostolik Indulgentiarum Doctrina (1967), Paus Paulus VI membatasi indulgensi penuh dan menekankan pentingnya pertobatan pribadi dalam hati. (O’Collins dan Farrugia, 1996, p. 115)

Penentangannya terhadap praktek-praktek yang bertentangan dengan Alkitab ini mengakibatkan pada tanggal 31 Oktober 1517, Luther memakukan 95 tesisnya pada pintu gereja di Wittenberg. Terhadap tesis-tesisnya itu, beberapa menanggapinya secara positif dan mengakibatkan terjadinya perubahan yang revolusioner pada gereja. Tesis kunci Luther adalah nomer 62, “Perbendaharaan (harta karun) yang sejati dari gereja adalah Injil suci kemuliaan dan anugerah Allah.” (seperti dikutip dalam Hoffecker, 2006, p. 131) Beberapa tesis Luther lain menegaskan : kerusakan manusia, perlunya pertobatan seumur hidup dan anugerah Allah yang sepenuhnya dan cuma-cuma dalam Kristus. Sebaliknya, ada tanggapan negatif dari pihak kepausan, yaitu Luther diekskomunikasikan oleh Paus Leo X dan dicap sebagai pelanggar hukum oleh keputusan kaisar setelah suatu pertemuan yang dramatis di hadapan Kaisar Charles V di Diet of Worms. Bahkan oleh Paus Leo X, Luther disebut, “a drunken German who wrote the Theses” (=orang Jerman yang mabuk yang menulis Tesis). (
http://en.wikipedia.org/wiki/Martin_Luther)

Ide-ide Luther mulai mendapat bentuk yang pasti pada tahun 1520 dengan tiga prinsipnya yang menjadi semboyan theologia Reformasi :
Pertama, Sola Scriptura : sebagai Firman Allah yang diilhamkan, Alkitab adalah satu-satunya dasar otoritatif bagi semua doktrin.
Kedua, Sola Gratia berkaitan dengan Sola Fide : keselamatan hanya dihasilkan oleh anugerah Allah yang berdaulat dalam mengutus Kristus. Keselamatan seluruhnya adalah hasil anugerah Allah, dan kita memperoleh keselamatan bukan oleh usaha atau perbuatan kita sendiri, tetapi hanya atas dasar iman kepada provisi Allah.
Ketiga, Keimaman bagi semua orang percaya : setiap orang menjadi imam bagi dirinya sendiri dan mempunyai akses langsung kepada Allah melalui Kristus, karena Kristus adalah Imam Besar Agung kita yang menggantikan semua imam manusia, sehingga melalui iman kita kepada Kristus, kita berdiri di hadapan Allah sebagai imam kita sendiri dan tidak memerlukan lembaga manusia mana pun untuk bersyafaat bagi kita.

Ajaran-ajaran Dr. Martin Luther :
Pertama, tentang manusia dan dosa. Bagi Luther, masalah dosa berakar pada ketidakpercayaan Adam, yang artinya : gambar Allah setelah kejatuhan “begitu ternoda dan dikaburkan oleh dosa” dan “begitu berkusta dan najis” sehingga kita hampir tidak dapat memahaminya → “Gambar Allah hampir seluruhnya hilang” (Commentary on Genesis). Lalu, Luther mengajarkan bahwa dosa yang terbesar adalah kesombongan yang berarti ketidakbersediaan kita untuk mengakui kondisi kita yang telah jatuh dan berdosa. Sebagai akibat dosa, Luther mengajarkan bahwa manusia tidak lagi mempunyai kebebasan moral, di mana satu-satunya kehendak “bebas” yang sesungguhnya adalah bebas melakukan apa yang baik. Hal ini tercantum di dalam buku Luther, The Bondage of the Will.
Kedua, tentang keselamatan. Anugerah Allah, bagi Luther, secara mutlak esensial bagi keselamatan dan hanya oleh anugerah Allah, kita mampu melakukan kebaikan moral.

Dr. Martin Luther juga menulis tiga bukunya yang penting pada tahun 1520 :
Pertama, An Appeal to the Rulling Class : seruan lantang kepada para petinggi Jerman untuk mereformasi gereja (menyerang struktur hierarkis gereja) dengan meruntuhkan “tiga tembok” yang telah didirikan oleh kaum “Romanis” untuk memperkuat kendali para rohaniwan terhadap gereja, yaitu : adanya kelas imam yang lebih tinggi daripada kelas orang-orang percaya biasa/awam (sebaliknya, Luther mengajarkan adanya keimaman bagi semua orang percaya), keutamaan Paus sebagai penafsir Alkitab (sebaliknya, Luther mengajarkan bahwa setiap orang percaya wajib memajukan imannya dengan membaca Alkitab bagi dirinya sendiri dan tidak bergantung pada Paus) dan hanya Paus yang dapat mengadakan konsili untuk mereformasi gereja (sebagai respon, Luther mendesak penguasa sekuler dan kaum ningrat Jerman untuk mengadakan konsili umum untuk memulai reformasi).
Kedua, The Babylonian Captivity of the Church yang menentang dua hal, yaitu : penempatan sakramen gereja di bawha kendali total para rohaniwan, yang mirip seperti orang-orang Babel yang menawan orang-orang Yahudi pada abad ke-6 SM (sebaliknya, Luther mengajarkan bahwa Kristus hanya melembagakan dua sakramen selama pelayanan-Nya di bumi, yaitu baptisan dan perjamuan kudus), nilai satu-satunya dari suatu sakramen terletak dalam hubungannya dengan jasa-jasa yang terkumpul yang disalurkan melalui para rohanian yang melakukan sakramen (sebaliknya, Luther menegaskan bahwa nilai dari sakramen-sakramen terletak pada janji-janji Allah yang memberikan anugerah-Nya menurut iman orang percaya tersebut kepada janji Firman Allah. Oleh karena itu, sakramen penting karena mengkomunikasikan anugerah Allah kepada orang-orang yang ambil bagian dalam sakramen, tetapi yang lebih penting lagi adalah pengakuan dosa dan hidup saleh.
Ketiga, Freedom of the Christian Man adalah buku Luther terbaik dalam meringkaskan theologianya, yaitu pernyataan klasik Reformasi tentang natur kehidupan Kristen khususnya tentang hubungan atnara hukum dan iman dalam pengalaman Kristen : manusia ditebus bukan karena perbuatan baik mereka sendiri tetapi karena kematian Kristus bagi mereka di atas salib. Mereka yang menerima Kristus sebagai Tuhan dan Juruselamat, mereka menerima Kebenaran Kristus yang diimputasikan kepada mereka dan pada saat yang sama, mereka terikat pada sesamanya oleh hukum kasih. Beberapa orang Katolik menyerang Luther bahwa bagi Luther, perbuatan baik tidak penting. Tetapi benarkah demikian ? TIDAK ! Perbuatan baik, bagi Luther, adalah hasil dari pembenaran, yang dilakukan orang-orang Kristen dari keinginan spontan untuk menaati kehendak Allah.

Setelah diekskomunikasikan, Luther tinggal di benteng (castle) Wartburg dan beliau menerjemahkan Alkitab ke dalam bahasa Jerman agar Alkitab mudah dibaca oleh orang-orang biasa/awam. Usaha ini dimulainya sendiri pada tahun 1521 selama dia tinggal di benteng (castle)
Wartburg, dan menerbitkan Perjanjian Baru pada September 1522. Dan dalam kerjasamanya dengan Johannes Bugenhagen, Justus Jonas, Caspar Creuziger, Philipp Melanchthon, Matthäus Aurogallus, dan George Rörer, beliau menyelesaikan penerjemahan seluruh Alkitab pada 1534. Alkitab Luther memiliki kontribusi terhadap munculnya bahasa Jerman modern dan dianggap sebagai sebuah peristiwa penting dalam literatur Jerman. Edisi 1534 ini juga berpengaruh pada penerjemahan William Tyndale, sebuah pertanda dari terjemahan Alkitab King James.

Pada sore hari, di hari Selasa, 13 Juni 1525, Dr. Martin Luther menikah dengan Katharina von Bora, salah satu dari 9 suster yang berpihak kepada Luther. Dari pernikahannya, mereka dikaruniai tiga anak pria dan tiga anak wanita :
· Hans, lahir : 7 Juni
1526, studi hukum, menjadi pejabat pengadilan, dan meninggal pada tahun 1575.
· Elizabeth, lahir : 10
Desember 1527, meninggal sebelum waktunya pada tanggal 3 Agustus 1528.
· Magdalena, lahir : 5 Mei
1529, meninggal dalam lengan ayahnya pada tanggal 20 September 1542.
· Martin, Jr., lahir : 9
November 1531, belajar theologia tetapi tidak pernah mendapat panggilan pastoral tetap sebelum kematiannya pada tahun 1565.
· Paul, lahir : 28
Januari 1533, menjadi seorang dokter umum. Dia menjadi ayah dari 6 anaknya sebelum kematiannya pada tanggal 8 Maret 1593 dan garis pria dari keluarga Luther berlanjut melaluinya sampai John Ernest, berakhir pada tahun 1759.
· Margaretha, lahir : 17 Desember
1534, menikah dengan, George von Kunheim dari keluarga bangsawan Prussia yang kaya, tetapi meninggal pada tahun 1570 di usia 36 tahun.

Luther juga menggubah satu buah lagu yang sampai saat ini masih dinyanyikan di dalam gereja-gereja Protestan yang beres, yaitu A Mighty Fortress is Our God (Puji-pujian Kristen menerjemahkannya : Allah Jadi Benteng yang Kukuh).

Luther juga menyusun doktrin-doktrin tentang gereja, sakramen, dll dalam buku-bukunya Small Catechism (Katekismus Kecil) dan Large Catechism (Katekismus Besar). Salah satu doktrinnya tentang Perjamuan Kudus agak berbeda dari Katolik, tetapi memiliki sedikit kemiripan. Bagi Katolik, ketika jemaat memakan roti dan meminum anggur Perjamuan Kudus, mereka benar-benar makan tubuh dan minum darah Kristus (disebut Transubstansiasi), tetapi bagi Luther, ketika jemaat memakan roti dan meminum anggur Perjamuan Kudus, Kristus berada di atas/menaungi roti dan anggur itu. Pandangan Luther ditentang oleh Ulrich Zwingli, seorang reformator gereja lainnya, dengan mengajarkan bahwa roti dan anggur Perjamuan Kudus hanya simbol/lambang saja. Antara Luther dan Zwingli terjadi perdebatan. Luther menyebut pandangan Zwingli sebagai pandangan Perjamuan Kudus yang tidak bermakna (karena hanya simbol), sedangkan Zwingli menyerang Luther sebagai kanibalisme.

Perjuangan Luther memimpin reformasi secara tegas adalah perjuangan yang tidak murah. Luther begitu mengorbankan hidupnya untuk sebuah kebenaran. Itulah citra hamba Tuhan sejati. Hamba Tuhan yang malas atau enggan berkorban bagi kebenaran adalah hamba Tuhan pengecut yang takut mati. Belajarlah dari Luther, hamba Tuhan yang berani mati demi kebenaran sejati. Sejarah mencatat Luther, karena sejarah mengetahui betapa berjasanya Luther di dalam mereformasi gereja. Akhir-akhir ini, saya mendengar kabar bahwa beberapa gereja Katolik mengadakan diskusi dengan pihak Lutheran untuk menyamakan doktrin (meskipun tentunya gereja Katolik tetap memegang doktrin Mariologinya dan tidak mau mengubahnya, walaupun itu bertentangan dengan Alkitab).



Desiderius Erasmus Roterodamus : Profil Singkat dan Ajaran-ajarannya Serta Kritik Terhadap Ajarannya
Setiap kebenaran ketika diberitakan pasti menuai dua akibat, yaitu ada yang menerima dan mengimaninya, dan sebaliknya, ada yang menolaknya. Bagi mereka yang menerimanya berarti mereka adalah kaum pilihan Allah yang telah ditetapkan-Nya untuk menjadi anak-anak-Nya, sedangkan mereka yang menolaknya memang telah ditetapkan-Nya untuk dibinasakan. Sekarang, mari kita akan melihat siapa saja yang menolak pengajaran Luther ini.

Desiderius Erasmus Roterodamus (kadang-kadang dikenal sebagai Desiderius Erasmus dari Rotterdam/Desiderius Erasmus of Rotterdam) adalah seorang humanis dan theolog Belanda. Nama ilmiahnya diambil dari tiga elemen : kata benda Latin, desiderium (artinya keinginan/desire) ; kata sifat Yunani, erasmios (artinya yang dicintai/beloved ; dalam bentuk Easmus, juga nama seorang santo) ; dan bentuk kata sifat dari Latin bagi kota Rotterdam (Roterodamus = ‘of Rotterdam’). Erasmus adalah sarjana/ilmuwan klasik yang menulis dalam gaya Latin “asli”. Meskipun bekas seorang Katolik Roma di seluruh masa hidupnya, dia adalah pengkritik apa yang dianggapnya sebagai ekses dari Gereja Katolik Roma. Dengan menggunakan teknik humanisnya, dia mempersiapkan edisi baru Perjanjian Baru dari Latin dan Yunani yang menimbulkan pertanyaan yang akan berpengaruh di masa Reformasi. Dia juga menulis
The Praise of Folly, Handbook of a Christian Knight, On Civility in Children, Copia: Foundations of the Abundant Style, dan banyak karya lainnya.

Erasmus dilahirkan (mungkin, dengan nama Gerrit Gerritszoon) di Rotterdam pada tanggal 27 Oktober 1466 atau 1469 (tahun kelahirannya secara tepat tidak diketahui ; menurut sejarahwan Johan Huizinga, Erasmus dilahirkan pada malam hari tanggal 27-28 Oktober, dan dia biasanya merayakan ulang tahunnya pada 28 Oktober).

Pada tahun 1488 atau 1492, dia ditahbiskan menjadi imam Katolik dan dengan enggan mengambil janji sebagai Pastor (Canon) Augustinian di Stein pada kira-kira usia 25 tahun, tetapi dia tidak pernah kelihatan secara aktif bekerja sebagai imam, dan monastisisme (menekankan hidup membiara) adalah satu dari objek utama serangannya di dalam serangannya selama hidup pada ekses-ekses gereja. Segera setelah penahbisannya, Erasmus memperoleh kesempatannya untuk meninggalkan biara ketika menawarkan pos/tempat bagi sekretaris Bishop Cambray, Henry of Bergen. Dia akhirnya diberikan dispensasi sementara karena kesehatannya yang memburuk, tidak disukai oleh rahib-rahib, dan mencintai studi humanistik. Paus Leo X kemudian membuat dispensasinya menjadi tetap/permanen.

Pada tahun 1495, dengan persetujuan dan gaji dari bishop, Erasmus pergi untuk studi di University of Paris, di
Collège de Montaigu, pusat dari mereformasi semangat besar, di bawah pengarahan seorang asketis, Jan Standonck, yang kekerasannya dikeluhkan oleh Erasmus. Universitas ini kemudian adalah pusat utama studi skolastis, tetapi sudah berada di bawah pengaruh humanisme. Pusat utama aktivitasnya adalah di Paris, Leuven (Louvain), Inggris, dan Basel. Waktunya di Inggris adalah produktif dalam membuat persahabatan abadi dengan para pemimpin pemikiran Inggris di hari yang menggemparkan dari Raja Henry VIII, yaitu : John Colet, Thomas More, John Fisher, Thomas Linacre and William Grocyn. Di University of Cambridge, dia adalah the Lady Margaret’s Professor of Divinity dan memilih menghabiskan sisa hidupnya sebagai profesor Inggris. Dia tinggal di Queen’s College, Cambridge, dan mungkin dia telah menjadi seorang alumni.

Setelah kembalinya dari Inggris, Erasmus memutuskan untuk menjadi ahli Yunani, yang akan memudahkannya untuk belajar theologia pada level yang lebih mendalam dan mempersiapkan edisi baru dari terjemahan Jerome’s Bible. Walaupun kekurangan uang, Erasmus sukses dalam belajar Yunani melalui studi intensif dan terus-menerus selama tiga tahun, secara terus-menerus meminta teman-temannya untuk mengirimkannya buku-buku dan uang untuk guru-guru di dalam surat-suratnya.

Meskipun tidak menyetujui gereja Katolik Roma, ia pun juga tidak setuju dengan Luther. Hal ini disebabkan oleh pengaruh humanisme yang dipelajarinya. Kita akan melihat dari ketidaksetujuannya dengan Luther dalam beberapa hal :
Pertama, Erasmus setuju dengan poin utama di dalam kritik Lutheran terhadap Gereja. Dia juga menaruh respek besar terhadap Martin Luther, dan Luther selalu menunjukkan kekaguman akan pembelajaran yang lebih baik dari Erasmus. Luther menunjukkan kekaguman yang tak terhingga pada semua yang telah dikerjakan Erasmus tentang tujuan dari keKristenan yang logis dan masuk akal dan mendesaknya untuk bergabung dalam Lutheran. Tetapi Erasmus menolak dengan halus untuk memasukkan dirinya di dalam Lutheran, karena dia beralasan bahwa dengan melakukan hal itu, itu akan membahayakan posisinya sebagai seorang pemimpin di dalam gerakan untuk pengetahuan murni yang mana dia anggap sebagai tujuannya dalam hidup. Hanya sebagai seorang ilmuwan/sarjana yang independen (tidak bergantung), dia berharap dapat mempengaruhi reformasi agama. Ketika Erasmus ragu-ragu untuk mendukung Luther, Luther yang jujur merasa bahwa Erasmus sedang menghindari tanggung jawab baik karena sifat pengecutnya atau tidak mempunyai tujuan. Erasmus, bagaimanapun juga, menghormati perubahan apapun dalam doktrin dan percaya bahwa ada ruangan yang di dalamnya terdapat formula-formula untuk reformasi yang paling dihargainya.
Kedua, Kebebasan Kehendak (Freedom of the Will). Dua kali dalam serangkaian diskusi besar, dia membiarkan dirinya untuk memasuki bidang kontroversi doktrinal, sebuah bidang asing baik bai natur dan prakteknya yang lalu. Salah satu topiknya yang adalah poin yang gawat/sangat penting adalah kebebasan kehendak (freedom of the will). Di dalam bukunya
De libero arbitrio diatribe sive collatio (1524), Erasmus mengecam pandangan Lutheran akan kehendak bebas. Dia percaya seperti yang dipercayai oleh Pelagianisme bahwa manusia memiliki kehendak bebas yang baik. Sebagai respon, Luther menulis bukunya De servo arbitrio (On the Bondage of the Will) (1525) yang menyerang pandangan Erasmus dan menyatakan bahwa Erasmus bukanlah seorang Kristen. Ketika kota Basel dengan pasti dan resmi menganut Reformasi pada tahun 1529, Erasmus berpindah dari sana dan tinggal di kota kekaisaran Freiburg im Breisgau.
Ketiga, Sakramen. Pada tahun 1530, Erasmus menerbitkan edisi baru dari buku ulasan orthodoks dari Algerus melawan bidat Berengar of Tours di abad ke-11. Dia menambahkan dedikasi, menegaskan kepercayaannya di dalam realita tubuh Kristus pada saat penyucian di dalam Ekaristi.

Erasmus menulis baik yang berhubungan dengan hal gereja dan general human interest (minat manusia pada umumnya). Tulisannya yang lebih serius dimulai dengan the Enchiridion militis Christiani, the "Handbook of the Christian Soldier" (
1503) (yang diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris beberapa tahun kemudian oleh William Tyndale muda). Di dalam karya singkatnya itu, Erasmus meringkaskan pandangan-pandangan akan kehidupan Kristen yang normal. Baginya, kejahatan utama dari sebuah masa tertentu adalah formalisme yang disetujui oleh pernyataan/gerakan tradisi tana pengertian akan dasar mereka di dalam pengajaran Kristus. Bentuk-bentuk tersebut dapat mengajar jiwa bagaimana untuk menyembah Allah, atau mereka boleh menutupi atau memadamkan semangat. Dalam analisanya akan bahaya formalisme, Erasmus membicarakan monastisisme, penyembahan orang-orang suci (saint worship), perang, semangat kelas dan kelemahan “masyarakat”, tetapi bukunya Enchiridion lebih seperti sebuah khotbah ketimbang sindirannya. Karya terbaiknya adalah The Praise of Folly (diterbitkan di dalam dua judul : Moriae encomium {Yunani, diLatinkan} dan Laus stultitiae {Latin}), sebuah serangan sindiran terhadap tradisi Gereja Katolik dan tahyul-tahyul populer, ditulis pada tahun 1509, diterbitkan pada tahun 1511 dan dipersembahkan bagi temannya, Sir Thomas More. Bukunya yang lain The Institutio principis Christiani (Basel, 1516) (Education of a Christian Prince) diterbitkan pada tahun 1516, ditulis sebagai sebuah saran bagi raja muda, Charles dari Spanyol, kemudian Charles V, Kaisar Roma (Holy Roman Emperor). Di dalam bukunya, Erasmus memaparkan bahwa seorang pangeran memerlukan pendidikan lengkap untuk memerintah dengan adil dan murah hati dan mencegah agar jangan terjadi sumber penindasan.

Erasmus meninggal pada tahun 1536 di Basel dan dikuburkan di
Münster cathedral, di kota yang sama. Menurut tradisi, kata-katanya yang terakhir adalah "lieve God", bahasa Belanda dari Dear God (Allah yang terhormat). Karya terpentingnya di akhir hidupnya adalah Ecclesiastes atau “Gospel Preacher” (Basel, 1536), yang memberi komentar tentang fungsi berkhotbah.



Perbandingan Luther Vs Erasmus
Jika kita lihat dari sejarah di atas, kita menjumpai adanya kemiripan antara Luther dan Erasmus, yaitu mereka berdua mereformasi gereja. Tetapi di antara kemiripan ini, saya menemukan perbedaan presuposisi/motivasi dan efeknya.
Pertama, Luther mereformasi gereja pada saat itu untuk kembali kepada Alkitab, sedangkan Erasmus mereformasi gereja karena pengaruh humanisme. Presuposisi dasar kedua orang ini dalam mereformasi gereja sangat berbeda. Luther mereformasi gereja dari sudut pandang kedaulatan Allah, yaitu agar gereja bukan menegakkan otoritas manusia, tetapi menegakkan otoritas Alkitab. Beberapa orang “Kristen” yang dipengaruhi Reformasi lalu dipengaruhi oleh Katolik di sebuah milis menolak mentah-mentah doktrin Sola Scriptura, karena baginya Alkitab tidak mengajarkan Sola Scriptura, dan kanonisasi Alkitab pun disusun berdasarkan tradisi gereja, sehingga tradisi gereja melengkapi Alkitab (idenya mirip seperti Aquinas). Tetapi sambil mengeluarkan pernyataan ini, ia juga mempercayai bahwa Alkitab itu Firman Allah. Sungguh tidak masuk bahwa Alkitab yang adalah Firman Allah bisa salah. Di dalam proses kanonisasi Alkitab, memang para bapa gereja menentukan kitab mana yang termasuk di dalam Alkitab, tetapi di balik semuanya, Roh Kudus lah yang bekerja yang memimpin dan menuntun mereka sehingga mereka sanggup memilah kitab-kitab mana yang termasuk di dalam Alkitab berdasarkan beberapa kriteria-kriteria yaitu : kitab tersebut ditulis sendiri oleh para rasul dan nabi, kitab tersebut berotoritas di gereja mula-mula dan kitab-kitab tersebut memiliki konsistensi pengajaran dalam iman, etika, dll. Saya bertanya, kalau bukan Allah di balik arsitek kanonisasi ini, siapa manusia yang sanggup melakukan hal yang rumit ini ? Bagaimana dengan Erasmus ? Erasmus juga mereformasi gereja, tetapi motivasi dasarnya bukan tunduk di bawah Alkitab, melainkan memakai humanisme yang tidak setuju pada otoritas. Hal ini sudah ditunjukkannya ketika ia ditahbiskan menjadi imam Augustinian, tetapi ia tidak sungguh-sungguh menjadi imam. Pengaruh humanisme telah mencengkeramnya. Meskipun demikian, di dalam salah satunya buku tentang pendidikan seorang pangeran (lihat atas), dia memiliki sumbangsih positif yaitu seorang pangeran atau pejabat harus dididik secara lengkap agar dapat memerintah dengan adil dan murah hati serta mencegah agar tidak terjadi penindasan. Konsep ini beres dan harus diteladani.
Kedua, akibatnya Erasmus ketika ditawari bergabung dengan Luther, Erasmus menolak karena hal itu akan mengancam pamornya sebagai pemimpin intelektual humanis. Betapa konyolnya seorang yang mengaku “melayani Tuhan” tetapi tidak mau bersatu untuk mengembalikan gereja kembali kepada Alkitab, tetapi membawa ambisi pribadinya. Erasmus bisa bertindak egois dan keblinger seperti demikian, dikarenakan pengaruh humanisme yang meracuni dirinya, sehingga dia melihat dirinya begitu tinggi dan berotoritas.



Penutup
Setelah menjelaskan tentang semangat Reformasi di dalam diri Dr. Martin Luther dan musuh Kebenaran, Desiderius Esasmus, sadarkah kita bahwa Kebenaran itu begitu agung dan jauh melampaui rasio manusia yang terbatas ? Di zaman postmodern yang mengilahkan relativisme, masihkah ada Luther-Luther kecil yang meneriakkan gereja dan dunia untuk kembali kepada Kristus dan Alkitab, BUKAN kepada humanisme (seperti Thomas Aquinas maupun Desiderius Erasmus ? Bersyukurlah, jika Luther-Luther kecil masih ada, karena itu tandanya bahwa Tuhan mengasihi umat-Nya yang tersesat. Tetapi menangislah dan segera bertobat, jika tidak ada lagi Luther-Luther kecil, karena itu tandanya bahwa Tuhan hendak membinasakan gereja-Nya. Sekali lagi, biarlah peringatan Rasul Paulus ini menjadi pelajaran bagi kita, “...sekalipun kami atau seorang malaikat dari sorga yang memberitakan kepada kamu suatu injil yang berbeda dengan Injil yang telah kami beritakan kepadamu, terkutuklah dia.” (Galatia 1:8)

Kiranya Tuhan memberkati kita melalui perenungan Firman-Nya sehingga kita makin lama makin bertumbuh di dalam anugerah dan firman-Nya. Soli Deo Gloria. Solus Christus.




Daftar Kepustakaan :
Erasmus. (2007). Retrieved on October 20, 2007 from
http://en.wikipedia.org/wiki/Erasmus.
Hoffecker, W. Andrew, Ph.D. dan Gary Scott Smith, Ph.D. (Ed.). (2006). Membangun Wawasan Dunia Kristen (Volume 1 : Allah, Manusia dan Pengetahuan). (Peter Suwadi Wong, Trans.). Surabaya : Momentum Christian Literature.

Martin Luther. (2006). Retrieved on September 5, 2006 from http://en.wikipedia.org/wiki/Martin_Luther.

O’Collins, Gerald, S.J. dan Edward G. Farrugia, S.J. (1996). Kamus Teologi. Yogyakarta : Kanisius.

25 October 2007

Roma 3:21-24 : DOSA DAN ANUGERAH PEMBENARAN

Seri Eksposisi Surat Roma :
Kasih dan Keadilan Allah-7


Dosa dan Anugerah Pembenaran

oleh : Denny Teguh Sutandio


Nats : Roma 3:21-24.

Setelah Paulus memaparkan tentang hubungan hukum Taurat dan dosa, ia selanjutnya memberikan jalan keluar satu-satunya bagi penyelesaian dosa itu.

Pada ayat 21, Paulus berkata, “Tetapi sekarang, tanpa hukum Taurat kebenaran Allah telah dinyatakan, seperti yang disaksikan dalam Kitab Taurat dan Kitab-kitab para nabi,” International Standard Version (ISV) menerjemahkan, “But now, apart from the law, God's righteousness is revealed and is attested by the Law and the Prophets-” Lalu, New International Version menerjemahkan hal yang hampir mirip, yaitu, “But now a righteousness from God, apart from law, has been made known, to which the Law and the Prophets testify.” Berarti melalui ayat ini Paulus ingin mengajarkan bahwa kebenaran keadilan (Yunani : dikaiosune) Allah tidak hanya sebatas Hukum Taurat, tetapi melebihi Hukum Taurat dan ini telah disaksikan dalam Kitab Taurat dan Kitab-kitab para Nabi. Meskipun melebihi Hukum Taurat, tidak berarti kebenaran keadilan Allah sama sekali tidak memerlukan Taurat. Dalam hal ini, terjemahan Bahasa Indonesia Sehari-hari (BIS) yang mengartikan bahwa kebenaran keadilan Allah tanpa Hukum Taurat sama sekali (“Tetapi sekarang Allah sudah menunjukkan jalan bagaimana manusia berbaik dengan Dia; dan caranya itu tidak ada sangkut pautnya dengan hukum agama Yahudi.”) adalah salah. Begitu pula terjemahan King James Version yang menerjemahkannya dengan kata without (=tanpa) pada frase, “But now the righteousness of God without the law is manifested” adalah salah, karena kata without ini menunjukkan bahwa kebenaran keadilan Allah tidak ada di dalam Taurat, padahal konsep ini salah. Oleh karena itu, di awal penjelasan ayat ini, saya memilih terjemahan ISV (identik dengan terjemahan English Standard Version/ESV) dan NIV karena terjemahan-terjemahan ini cocok dengan bahasa asli (Yunani)nya chōris yang dapat berarti apart from (terlepas dari/selain). Kembali, kalau kita melihat sejarahnya, maka kita dapat mengerti bahwa pada mulanya Allah yang mencipta manusia juga mengadakan perjanjian KEPADA (bukan DENGAN) manusia bahwa ketika mereka taat kepada-Nya, maka mereka akan diberkati dan diselamatkan, tetapi jika tidak, mereka akan dihukum. Apakah ini berarti Allah mengutamakan tindakan baik manusia ? TIDAK. Ketika Allah menyatakan perintah itu, Ia sangat mengetahui bahwa manusia tak mungkin dapat menaati-Nya, sehingga dengan mengeluarkan perintah ketaatan kepada manusia, Ia hendak menyadarkan manusia bahwa mereka itu terbatas, dicipta dan pasti dapat jatuh ke dalam dosa. Adanya dosa yang merupakan ketidaktaatan manusia mengakibatkan perjanjian dari Allah ini rusak dan akhirnya Allah harus menghukum mereka. Tetapi, di sisi lain Allah begitu mengasihi mereka dan sangat mengetahui bahwa mereka tak mungkin sanggup melepaskan diri dari ikatan dosa. Oleh karena itu, dari kekekalan, Ia telah menetapkan Kristus untuk menebus dosa manusia (Kejadian 3:15). Tetapi realisasi rencana-Nya ini belum kelihatan sampai genap waktunya. Sebelum Kristus diutus, Allah mewahyukan Taurat sebagai Penuntun tingkah laku bagi umat pilihan-Nya, Israel sehingga mereka tidak menyimpang ke kanan dan ke kiri atau mengikuti ilah-ilah asing di sekitar mereka. Tetapi sayangnya, bangsa Israel tegar tengkuk, sebentar mereka taat kepada Tuhan, selanjutnya mereka tidak taat, sehingga mereka harus dihukum oleh Allah melalui bangsa-bangsa lain yang menawan mereka di tempat pembuangan. Di dalam pembuangan, bangsa Israel menangis dan bertobat serta minta ampun kepada Tuhan, maka Ia melepaskan mereka, tetapi setelah itu mereka kumat kembali, tidak taat kepada Tuhan, sehingga mereka dihukum oleh Allah lagi. Hal ini terus berlanjut, sampai sebelum Kristus berinkarnasi, ada suatu momen di mana bangsa Israel benar-benar bertobat dan memegang perjanjian Taurat. Tetapi sayangnya, pertobatan mereka tidak tulus, karena mereka bertobat sambil menambah jasa baik, yaitu dengan menambah-nambahi Taurat dengan peraturan-peraturan yang memberatkan, padahal inti Taurat adalah kasih (Matius 22:37-40). Mereka mengira bahwa dengan menjalankan semua yang diatur di dalam Taurat, maka mereka pasti selamat. Oleh karena itu, Paulus dengan jeli dan teliti mengaitkan dan menjelaskan bahwa kebenaran keadilan Allah bukan terbatas pada Taurat, tetapi melebihi Taurat. Dengan kata lain, bukan dengan menjalankan Taurat, manusia diselamatkan dan mengenal Allah yang sejati. Mengikuti kesalahpahaman interpretasi para ahli Taurat, banyak agama dunia juga mengajarkan bahwa dengan menjalankan syariat-syariat tertentu, manusia diselamatkan. Benarkah demikian ? TIDAK. Mengapa ? Karena manusia yang berdosa sangat tidak masuk akal dapat berbuat baik (di mana perbuatan baiknya itu sendiri dicemari oleh dosa) untuk diselamatkan. Tidak ada jalan lain, manusia baru dapat mengenal Allah sejati dan diselamatkan ketika mereka mengenal kebenaran keadilan Allah yang sejati karena hanya Allah lah Sumber Hidup dan Keselamatan manusia. Lalu, apakah wujud kebenaran keadilan Allah itu ?

Pada ayat 22, Paulus menjelaskan wujud kebenaran keadilan itu, “yaitu kebenaran Allah karena iman dalam Yesus Kristus bagi semua orang yang percaya. Sebab tidak ada perbedaan.” Paulus dengan teliti menjelaskan bahwa inti kebenaran keadilan Allah sebenarnya adalah kasih yang diwujudnyatakan di dalam Pribadi Yesus Kristus yang menganugerahkan iman kepada umat pilihan-Nya yang percaya. Dengan kata lain, dengan terang Perjanjian Baru, kita baru dapat mengerti bahwa inti Taurat dan kitab para Nabi di dalam Perjanjian Lama sebenarnya sedang menubuatkan Kristus dan karya-Nya yang menebus dosa manusia pilihan-Nya. Dan karya Kristus inilah yang menjadikan kita yang percaya dibenarkan oleh Allah dan dijadikan benar dan adil oleh-Nya. Siapa yang disebut “semua orang yang percaya” ? Apakah berarti semua orang yang mengaku percaya baru dianugerahkan iman oleh Allah ? TIDAK. Di dalam memahami satu ayat Alkitab, kita harus mengerti keseluruhan prinsip Alkitab. Di dalam ayat ini, kata “semua orang percaya” harus dimengerti sebagai umat pilihan yang telah dipilih dan ditetapkan-Nya yang percaya di dalam Kristus (Efesus 1:4-5). Ini berarti anugerah Allah selalu mendahului respon manusia bahkan respon manusia untuk percaya. Inilah yang diajarkan oleh Alkitab dan ditegaskan oleh theologia Reformed ! Umat pilihan-Nya yang telah dianugerahkan iman di dalam Kristus inilah yang baru dapat mengenal Pribadi Allah yang sesungguhnya dan sejati, karena Kristus adalah gambar Allah yang tidak kelihatan (Kolose 1:15) dan di dalam-Nya berdiam seluruh kepenuhan Allah (Kolose 1:19). Kemudian, bagaimana dengan orang yang tidak percaya ? Apakah mereka pasti binasa ? Bukankah berarti Allah itu tidak adil ? Inilah yang terus dipertanyakan dan diajarkan oleh “theologia” Arminian yang sebagian besar dianut oleh banyak theolog Injili, Pentakosta, dan Karismatik bahwa di dalam pikiran mereka, Allah harus menyelamatkan semua orang karena Allah itu Mahakasih. Ketimpangan ajaran ini disebabkan karena kekurangmengertian tentang atribut-atribut Allah yang bukan hanya Mahakasih, tetapi juga Mahaadil dan Mahakudus ! Allah memang Mahakasih, tetapi Dia juga Mahaadil. Di dalam keadilan-Nya, Ia harus membukakan realita, “Tidak ada seorangpun yang berakal budi, tidak ada seorangpun yang mencari Allah.” (Roma 3:11). Mengapa manusia tidak dapat mencari Allah ? Hal ini dijelaskan Paulus di dalam ayat selanjutnya.

Pada ayat 23 dengan kalimat pembuka di ayat 22b, Paulus memaparkan alasan manusia tidak dapat mencari Allah, “Karena semua orang telah berbuat dosa dan telah kehilangan kemuliaan Allah,” Terjemahan King James Version (KJV) mengartikan lebih tepat, “For all have sinned, and come short of the glory of God;” Terjemahan NIV mengganti kata come short di dalam KJV ini menjadi fall short. Dari kedua terjemahan ini, ayat ini berarti bahwa alasan manusia tidak dapat mencari Allah adalah karena semua manusia telah berbuat dosa dan mengurangi kemuliaan Allah. Ada beberapa konsep yang dapat kita pelajari dari ayat ini. Pertama, kata “karena”. Kata ini disisipkan pada awal ayat 23 yang menunjukkan bahwa penyebab segala sesuatu yang jahat adalah karena manusia itu berdosa. Bencana alam yang terjadi dewasa ini akibat dari dosa manusia. Ini mengajar kita untuk tidak terpaku pada fenomena, tetapi melihat dan mengerti esensi dari segala peristiwa buruk maupun baik. Kedua, kata “semua orang”. Kata ini berarti semua orang tanpa kecuali baik pria wanita, tua muda, besar kecil, tuan hamba, dll sudah berbuat dosa. Dengan kata lain, dosa sudah meracuni seluruh umat manusia tanpa kecuali. Untuk lebih memperjelas, Paulus mengutarakan maksudnya, “Tetapi karunia Allah tidaklah sama dengan pelanggaran Adam. Sebab, jika karena pelanggaran satu orang semua orang telah jatuh di dalam kuasa maut,… Sebab penghakiman atas satu pelanggaran itu telah mengakibatkan penghukuman,… Sebab itu, sama seperti oleh satu pelanggaran semua orang beroleh penghukuman,… Jadi sama seperti oleh ketidaktaatan satu orang semua orang telah menjadi orang berdosa,” (Roma 5:15-16,18-19). Di sini, Paulus mengemukakan fakta bahwa di dalam Adam, semua manusia yang hidup otomatis sudah berdosa (dosa asal) yang nantinya pasti melahirkan dosa aktual yang dikerjakan sehari-hari di dalam kehidupan mereka. Ketiga, berbuat dosa berkaitan dengan hilangnya atau kurangnya kemuliaan Allah. Kalau manusia dunia berpikir bahwa ketika kita bersalah, maka rupa dan nama kita lah yang tercoreng. Tetapi di dalam Alkitab, Allah menyatakan hal yang sangat berbeda yaitu ketika manusia berdosa, yang sebenarnya tercoreng adalah kemuliaan dan nama Allah, mengapa ? Karena manusia diciptakan segambar dan serupa dengan Allah, sehingga ketika manusia berdosa, mereka sedang mencoreng dan mencemari dengan mengurangi kemuliaan Allah. Bagaimana dengan kita? Kita seringkali tidak sengaja (lebih banyak disengaja) mencoreng nama Allah dengan tidak taat atau bahkan mengadopsi teori-teori psikologi dan filsafat atheis yang melawan Allah untuk menjadi prinsip “iman” kita. Ketika kita mencoba melarikan diri dari Allah dengan “melacurkan” iman kita, kita sedang mencoreng nama dan kemuliaan-Nya yang agung di dalam gambar dan rupa kita. Karena semua manusia telah mencoreng nama dan kemuliaan-Nya, maka Allah harus menghukum mereka. Tetapi di sisi lain, Allah tetap mengasihi mereka, karena mereka diciptakan menurut peta teladan-Nya. Oleh karena itu, Ia harus menyediakan jalan lain yang telah ditetapkan-Nya dari semula. Jalan apakah itu ?

Di dalam ayat 24, Paulus menjelaskan jalan yang telah disediakan Allah sebagai wujud kasih-Nya, yaitu, “dan oleh kasih karunia telah dibenarkan dengan cuma-cuma karena penebusan dalam Kristus Yesus.” Kata “dibenarkan” dalam bahasa Yunaninya bisa berarti dijadikan benar/adil. Dengan kata lain, kita yang tidak benar dan otomatis tidak adil, dijadikan benar dan adil oleh Allah melalui anugerah penebusan di dalam Kristus Yesus. Berarti, jalan yang disediakan Allah sebagai wujud kasih-Nya adalah anugerah-Nya yang membebaskan dan menebus umat pilihan-Nya di dalam Kristus Yesus. Mengapa harus melalui penebusan Kristus, manusia dapat diselamatkan ? Mengapa Allah sendiri yang tidak langsung menghapus dosa manusia ? TIDAK. Allah memang mampu menghapus dosa manusia, tetapi itu berlawanan dengan natur-Nya yang Mahakudus yang membenci dosa. Oleh karena itu, tidak ada jalan lain, bukan melalui jasa baik manusia diselamatkan, tetapi hanya melalui anugerah Allah di dalam Kristus yang menebus dan menyelamatkan, manusia pilihan-Nya dapat dibebaskan dari kutuk dosa, iblis dan maut serta masuk Surga. Siapakah yang mampu menjadikan manusia berdosa benar dan adil ? Nabi kah ? TIDAK. Hanya satu-satunya Pribadi yang mampu membenarkan manusia, Dialah Kristus Yesus. Bagaimana caranya kita dibenarkan di dalam Kristus ? Dengan cara mengimputasikan dosa kita kepada-Nya untuk ditanggung-Nya di kayu salib dan kebenaran-Nya yang menaati kehendak Allah Bapa diimputasikan kepada umat pilihan-Nya di dalam iman, sehingga umat pilihan-Nya melalui pengimputasian kebenaran Kristus ini mampu mengerjakan dan menggenapkan kehendak Kerajaan Allah di muka bumi ini. Biarlah kita yang telah dibenarkan ini terus-menerus menghargai anugerah ini dengan mensyukurinya dan memberitakannya kepada mereka yang belum menerima Kristus.

Setelah kita merenungkan poin ini, sadarkah kita bahwa kita sebenarnya hina dan layak mati karena semua dosa kita ? Lalu, adakah kita sadar bahwa dosa kita tak mungkin dapat diselesaikan dengan kemampuan kita ? Kalau kita menyadarinya, maka segeralah bertobat dan datanglah kepada Kristus yang telah membenarkan umat pilihan-Nya. Biarlah segala puji, hormat dan kemuliaan hanya bagi nama Allah Trinitas. Soli Deo Gloria. Amin.

Matius 4:18-22: THE KINGDOM AND THE WORKERS-3

Ringkasan Khotbah : 26 September 2004

The Kingdom & the Workers 3

oleh : Pdt. Sutjipto Subeno, M.Div.
Nats: Mat. 4:18-22



Menggenapkan Kerajaan Allah di dunia tidak Yesus lakukan seorang diri saja meskipun secara Ilahi, Dia mampu dan hasilnya pasti jauh lebih baik dan sempurna dibandingkan kalau kita turut mengerjakannya. Kristus merekrut para murid untuk turut ambil bagian dalam menggenapkan Kerajaan Allah di dunia; Dia tidak lagi menyebut kita hamba tapi Ia menyebut kita sahabat karena seorang sahabat memahami apa yang menjadi kehendak sahabat-Nya. Dan cara Tuhan memilih dan memanggil orang-orang yang hendak Dia jadikan sebagai rekan sekerja berlawanan dengan cara manusia begitu juga dengan kriteria yang ditetapkan Tuhan berbeda dengan standar yang ditetapkan manusia. Standar dan syarat-syarat yang manusia anggap sangat penting bagi Tuhan Yesus nothing, tidaklah berarti apa-apa sebaliknya yang oleh manusia dianggap tidak penting justru bagi-Nya dianggap sangat penting. Terbukti orang-orang yang Yesus panggil untuk dijadikan murid adalah orang-orang yang berasal dari kalangan bawah yang dipandang hina dan remeh pada jaman itu. Andreas, Petrus, Yohanes dan Yakobus hanyalah seorang nelayan, Matius hanyalah seorang pemungut cukai, dan masih banyak lagi murid Kristus lain yang berasal dari kalangan bawah.
Hendaklah kita meneladani Kristus dan merubah konsep kita yang salah dengan demikian kita tidak salah menilai orang lain. Mata manusia hanya melihat penampilan luar tapi Tuhan melihat hati. Samuel melihat Eliab lebih cocok menjadi seorang raja karena perawakannya yang gagah tapi Tuhan berbeda, Ia justru memilih Daud yang kecil dan kemerah-merahan. Cara Tuhan menetapkan nilai lebih agung dari manusia. Manusia hanya bisa melihat segala sesuatu yang berkaitan dengan keterbatasan dirinya sedang Tuhan melihat segala sesuatu di dalam seluruh kerangka kerajaan-Nya. Manusia seringkali hanya berpikir secara pragmatis, yaitu apa yang menjadi kebutuhan dunia saat ini dan yang menguntungkan maka dengan segala daya orang akan mengusahakan dan mengejarnya. Akibatnya, orang tidak mencapai kesuksesan dengan tuntas karena bidang yang seharusnya menjadi keahliannya malahan tidak dapat dikerjakan dengan maksimal. Sangatlah disayangkan, kalau demi untuk mendapatkan nilai matematika baik maka sepanjang hari itu dihabiskan untuk mempelajari bidang yang sebenarnya tidak dia kuasai demi untuk mendapatkan nilai yang lebih baik. Sebaliknya mungkin di bidang lain, misalnya: musik atau bahasa seharusnya ia sangat berpotensi justru tidak dapat berkembang. Cara Tuhan berbeda, itulah sebabnya Tuhan Yesus memilih Petrus seorang nelayan bukan Kayafas si ahli Taurat atau orang-orang pandai lain pada jaman itu.
Yesus berkata kepada mereka: “Mari, ikutlah Aku, dan kamu akan Kujadikan penjala manusia“ (Mat. 4:19). Perkataan Tuhan Yesus mengandung makna yang sangat dalam, kenapa Tuhan memanggil, bagaimana Tuhan memanggil dan apa implikasi dari panggilan Tuhan? Dan dalam kalimat ini mengandung tiga segmen: pertama, “Mari“ atau “Come“ (bhs Inggris); kedua, Ikutlah Aku, follow Me; ketiga, Kujadikan penjala manusia, I will make you a fisher of man. Melalui tiga segmen ini Kristus hendak menyatakan bagaimana cara Dia memanggil murid dan siapa yang akan dipakai untuk turut ambil bagian dalam Kerajaan-Nya. Terlebih dahulu kita akan memahami segmen pertama dari ketiga segmen, yaitu “Come,...“ dalam bahasa Indonesia lebih tepatnya adalah “Kesini,...“Perhatikan, Tuhan mengatakan kalimat ini pada mereka yang nantinya menjadi orang-orang yang berada di lingkaran dalam Tuhan Yesus, inner circle, yaitu Petrus, Yohanes dan Yakobus adalah kecuali satu orang, yakni Andreas. Kristus menempatkan diri-Nya pada positioning yang tepat, “Kesini,...“ dengan demikian orang menyadari siapa yang berhadapan dengan dirinya dan bagaimana relasi dirinya dengan orang yang memanggil tersebut. Kristus tidak pernah menyebut diri-Nya Anak Allah tapi Ia selalu menyebut diri-Nya sebagai Anak Manusia. Hal inilah dipakai untuk menyerang Kekristenan, yaitu bahwa Kristus bukanlah Allah. Ironi! Manusia seharusnya sulit melihat Yesus sebagai Anak Manusia karena banyak hal yang Dia lakukan tidak dapat dilakukan oleh manusia. Pengakuan bahwa Yesus adalah Anak Allah adalah sah kalau keluar dari mulut orang lain.
I. Supremasi Kerajaan.
Kristus menggunakan otoritas tertinggi, yaitu otoritas Kerajaan Sorga pada saat Ia memanggil murid, “Mari, ikutlah Aku, dan kamu akan Kujadikan penjala manusia“. Kristus menggunakan struktur ordo yang begitu kuat di dalam melakukan tindakan relasi. Di dunia barat, siapapun boleh mengundang tanpa memandang usia, seorang anak muda dapat mengatakan,“Come,...“ pada seorang yang lebih tua. Berbeda di dunia timur, seorang anak yang baru beranjak dewasa tidak dapat mengatakan hal demikian pada seorang yang sudah berusia. Menurut tradisi Yahudi, seorang dikatakan dewasa ketika berumur 30 tahun dan usia Tuhan Yesus 30 tahun saat Ia memilih para murid dan orang belum banyak mengenal Dia. Tuhan Yesus mau menunjukkan pada mereka bahwa panggilan-Nya adalah panggilan Kerajaan Allah bukan panggilan yang sifatnya kerjasama. Kingdom Authority, otoritas Kerajaan Sorga ini sangatlah penting karena untuk menggenapkan Kerajaan Allah di tengah alam semesta ini merupakan pekerjaan besar, yaitu pekerjaan yang bersangkut paut dengan kehidupan manusia di sepanjang jaman dan tanpa pertolongan Tuhan, manusia tidak dapat mengerjakannya. Karena itu Yesus memanggil dengan menggunakan otoritas Kerajaan Surga sehingga tidak ada tawar menawar, bargain. Bukankah di dunia sekuler pun kita tidak diberikan kesempatan untuk bargain bahkan tidak diperbolehkan tawar menawar saat mendapat tugas penting? Kini, apalagi tugas yang Tuhan berikan merupakan pekerjaan yang maha penting karena menyangkut kehidupan manusia maka mutlak, kita harus melakukannya.
II. Anugerah Illahi
Pekerjaan yang maha penting ini diserahkan kepada manusia yang secara kategori tidak mempunyai kualifikasi yang cukup memadai. Orang yang melakukan tawar menawar, bargain justru akan menjadikan dirinya sombong karena ia merasa dirinya yang paling dibutuhkan dan cuma ia satu-satunya yang dapat mengerjakan pekerjaan penting tersebut. Merupakan suatu paradoxical karena di satu sisi pekerjaan ini menyangkut seluruh umat manusia di dunia yang berlingkup besar namun dikerjakan oleh orang-orang yang “tidak berkualifikasi“ seperti kita. Andai Tuhan menuntut kualifikasi seperti halnya yang dilakukan di dunia sekuler maka tidak ada seorang pun yang lolos dari kualifikasi menurut standar Tuhan. Kita seharusnya patut bersyukur dan bersukacita karena Ia berkenan memakai kita untuk mengerjakan pekerjaan Kerajaan Sorga yang sangat mahal harganya karena menyangkut nyawa manusia.
Namun kita harus menyadari kalau Tuhan memanggil kita menjadi murid itu merupakan anugerah terlalu besar, tidak semua orang dipilih-Nya untuk turut ambil bagian dalam Kerajaan Allah karena itu janganlah engkau menyombongkan diri. Kita mempunyai tugas lebih penting dari semua pekerjaan apapun yang ada di dunia yang sifatnya sekuler. Hal itu seharusnya menyadarkan kita akan konsep nilai bahwa ada pekerjaan yang lebih bernilai yang harus kita kerjakan. Siapakah kita sehingga Tuhan berkenan memakai kita menjadi pekerja-Nya? Ingat, kita bukanlah siapa-siapa sehingga kalau Tuhan berkenan memilih kita menjadi pekerja-Nya maka kita harus mengerjakannya dengan sebaik-baiknya dan kita harus menuntut diri untuk terus bertumbuh dan para murid menyadari hal ini, mereka bukanlah tidak layak tapi Tuhan justru mau memakai manusia yang tidak layak ini untuk menggenapkan Kerajaan-Nya di dunia.
III. Ketaatan Hamba
Untuk melakukan pekerjaan yang sangat penting ini, kualitas pertama yang Tuhan tuntut dari seorang murid adalah ketaatan, obedience. Dan hal yang paling sulit saat merekrut orang adalah kita tidak mengetahui apakah ia seorang yang taat atau tidak? Mencari orang yang berkualifikasi sekaligus orang yang mau taat tidaklah mudah karena umumnya, orang yang pandai akan sulit untuk taat sebaliknya orang yang mau taat biasanya adalah orang yang tidak mempunyai kemampuan atau kepandaian. Secara manusia, mereka adalah orang-orang yang dibuang oleh masyarakat, mereka dipandang sangat hina namun cara pandang Yesus berbeda, Ia melihat dengan bijaksana sejati bahwa mereka mempunyai potensi dan kapasitas yang sangat besar. Orang sulit memahami bagaimana cara Tuhan bekerja sehingga dapat mengubahkan hidup manusia hal itu juga menyebabkan kesulitan bagi kebanyakan orang pada umumnya bagaimana seorang nelayan seperti Petrus dapat mempertobatkan tiga ribu orang dan mereka meminta diri dibaptis. Alkitab menegaskan hal Kerajaan Sorga ini dengan keras. Alkitab tidak memakai konsep demokrasi karena salah satu kelemahan sistim demokrasi adalah keputusan berada di tangan suara terbanyak sehingga orang-orang yang tidak mempunyai kemampuan di bidangnya berhak mengambil keputusan. Seorang filsuf Romawi, Markus Aurelius, tidak menyetujui adanya sistim demokrasi karena orang-orang “grass root“, orang-orang kelas akar rumput yang dalam hal ini tidak mempunyai pengertian atau kemampuan turut menentukan dan mengambil suatu keputusan. Dan sebagai gantinya, ia mengusulkan philosopher – king, yakni seorang pemimpin haruslah juga seorang yang bijaksana dan menguasai filsafat dengan demikian diharapkan ia dapat memilih dengan tepat orang-orang yang duduk dalam kepemimpinan. Sekali lagi saya tegaskan, konsep dunia berlawanan dengan konsep Tuhan meskipun konsep philosopher king ini sangat baik namun Tuhan Yesus tidak memakai konsep tersebut.
Kita harus menyadari panggilan Tuhan sebagai suatu anugerah. Manusia humanis tidak suka dengan doktrin predestinasi, yaitu Allah telah memilih kita sebelum dunia dijadikan karena ini berarti ia tidak mempunyai pilihan lain selain pilihan dari Tuhan. Maka tidaklah heran, orang sukar sekali melakukan perintah Tuhan yang tertulis dalam Alkitab seperti “Hai, istri tunduklah pada suamimu...“ (Ef. 5:22) atau “Hai, suami kasihilah isterimu sebagaimana Kristus telah mengasihi jemaat..“ (Ef. 5:25). Konsep ordo ini nampak jelas dalam Allah Tritunggal. Secara natur, Allah Bapa, Allah Anak, dan Allah Roh Kudus sama namun secara ordo, tidak sama. Allah Roh Kudus harus tunduk pada Allah Anak karena Roh Kudus tidak akan mengerjakan apapun selain yang diperintahkan oleh Allah Anak dan Allah Anak harus tunduk pada Allah Bapa, Kristus tidak melakukan apapun yang dari diri-Nya sendiri. Jadi, otoritas tertinggi berada di tangan Allah Bapa karena itu dalam diri Allah Tritunggal tidak akan terjadi konflik kebenaran, kepemimpinan maupun otoritas. Inilah paradoxical relation, secara natur sama tapi secara ordo berbeda.
Manusia sudah dikuasai konsep humanisme dimana segala sesuatu harus sesuai logika akibatnya manusia selalu melawan konsep Tuhan. Sebagai contoh, Alkitab tidak pernah menentang perbudakan bahkan Alkitab mencatat ketika Onesiforus melarikan diri, Paulus mendidik dan mengembalikan dia pada tuannya. Dunia sudah mengalami pergeseran makna akibatnya orang tidak menyadari status dirinya yang hanya seorang budak. Di hadapan Tuhan kita adalah seorang budak atau hamba. Karena itu anugerah terlalu besar diberikan pada kita kalau kita yang adalah budak dipilih-Nya untuk turut ambil bagian dalam Kerajaan Allah dan seorang budak tidak mempunyai hak apapun, ia harus tunduk dan taat mutlak pada tuannya. Hari ini yang menjadi kekuatiran adalah orang Kristen tidak mempunyai jiwa taat dan mereka mau taat kalau ia diuntungkan. Itu bukanlah ketaatan. Tuhan tidak suka dengan seorang yang mempunyai jiwa pemberontak. Syarat utama menjadi murid Tuhan adalah ketaatan mutlak. Tentang hal mengikut, Tuhan Yesus menegaskan bahwa setiap orang yang mau mengikut Aku, ia harus menyangkal dirinya, memikul salibnya setiap hari dan mengikut Aku (Luk. 9:23) dan setiap orang yang siap untuk membajak tetapi menoleh kebelakang, tidak layak untuk Kerajaan Allah (Luk. 9:62).
Gereja Tuhan harus berdiri di atas kebenaran. Kebenaran inilah yang akan mengikis orang-orang yang tidak punya motivasi benar. Tuhan Yesus berkata, “Kesini,...“ yang menjadi pertanyaan adalah hari ini berapa banyak orang yang meresponi panggilan-Nya? Orang selalu berpikir untung-rugi ketika hendak mengikut Dia dan yang dilihat manusia selalu kerugian karena manusia berpikir dengan menggunakan logikanya yang terbatas. Orang tidak dapat melihat kemuliaan Sorga di balik penderitaan; orang tidak memahami penderitaan di dunia hanyalah bersifat sementara. Maka tidaklah heran kalau mayoritas orang menolak Dia. Namun tidak demikian halnya dengan Petrus, Andreas, Yohanes dan Yakobus, mereka langsung meninggalkan semua kesibukannya dan mengikut Dia. Tuhan sudah memilih dan memanggil kita untuk turut ambil bagian dalam menggenapkan Kerajaan Allah di dunia, maukah engkau meninggalkan semua ego dan berkata, “Tuhan, aku mau taat pimpinan-Mu dan biarlah kehendak-Mu saja yang jadi“. Biarlah itu menjadi tekad dan doa kita. Amin.

(Ringkasan khotbah ini belum diperiksa oleh pengkhotbah)
Sumber :

Resensi Buku-27 : THE DEFENSE OF THE FAITH (Rev. Prof. Cornelius Van Til, Ph.D.)

...Dapatkan segera...
Buku
THE VAN TIL COLLECTION : THE DEFENSE OF THE FAITH

oleh : Rev. Prof. Cornelius Van Til, Ph.D.

Penerbit : Presbyterian and Reformed Publishing Company, Phillipsburg, New Jersey 08865, 1967 (Third Edition)





As attacks on Christianity become more numerous and pronounced, Dr. Cornelius Van Til’s classic treatment on apologetics endures as crucial reading for our time. Designed to stop secularists in their tracks, it is the kind of seminal work that serious defenders of the faith cannot afford to ignore.

After laying a foundation in the Christian views of God, man, salvation, the world, and the knowledge, Van Til explores the roles of authority, reason, and theistic proof, while contrasting Roman Catholic, Arminian, and Reformed methods of defending the faith. “Nothing short of the Christ of the Scriptures, as presented in historic Reformed theology, can challenge men to forsake their sin and establish them in truth and life,” writes Van Til. “The natural man must be shown that on his presupposition or assumption of man’s autonomy human predication has no meaning at all.”





Profil Dr. Cornelius Van Til :
Rev. Prof. Cornelius Van Til, Ph.D. (3 Mei 1895 – 17 April 1987) yang lahir di Grootegast, Belanda, adalah seorang filsuf Kristen, theolog Reformed dan presuppositional apologist. Pada usia 10 tahun, beliau pindah bersama keluarganya ke Highland, Indiana. Keluarga Van Til menjadi anggota Gereja Kristen Reformed (Christian Reformed Church), dan Cornelius bersekolah di sekolah yang berhubungan dengan denominasi ini, the Calvin Preparatory School, Calvin College dan (selama satu tahun) Calvin Theological Seminary, semuanya di Grand Rapids, Michigan. Beliau beralih ke Princeton Theological Seminary untuk menyelesaikan pendidikan theologianya dan meraih gelar Master of Theology (Th.M.) di tempat ini pada tahun 1925. Secara bersamaan, beliau belajar filsafat di Princeton University dan menyelesaikan gelar Doctor of Philosophy (Ph.D.) pada tahun 1927. Disertasinya berjudul “God and the Absolute,” membandingkan pandangan theologia Reformed tentang Allah dengan kemutlakan akan filsafat Idealisme. Pada bulan September, 1925, Van Til menikah dengan Rena Klooster dan memiliki seorang anak laki-laki, Earl. Rena meninggal pada tahun 1978.
Van Til menggembalakan sebuah gereja Kristen Reformed (Christian Reformed church) di Spring Lake, Michigan, mengambil cuti untuk mengajar apologetika di Princeton Seminary selama tahun ajaran 1928-1929. Pihak seminari menawarkan beliau menjadi ketua jurusan Apologetika pada akhir tahun tersebut, tetapi beliau menolak tawaran itu dan kembali ke Spring Lake. Beliau sungguh-sungguh cenderung tetap di dalam penggembalaan, dan beliau tidak ingin untuk bekerja sama dalam penyusunan kembali seminari yang diamanatkan oleh General Assembly of the Presbyterian Church, U.S.A.

21 October 2007

Refleksi Reformasi 2007 (1) : REFORMED SPIRIT AND EPISTEMOLOGY-1 (Denny Teguh Sutandio)

Refleksi Hari Reformasi 2007 (1)



REFORMED SPIRIT AND EPISTEMOLOGY-1

oleh : Denny Teguh Sutandio



2 Tim 4:1 Di hadapan Allah dan Kristus Yesus yang akan menghakimi orang yang hidup dan yang mati, aku berpesan dengan sungguh-sungguh kepadamu demi penyataan-Nya dan demi Kerajaan-Nya:
2 Tim 4:2 Beritakanlah firman, siap sedialah baik atau tidak baik waktunya, nyatakanlah apa yang salah, tegorlah dan nasihatilah dengan segala kesabaran dan pengajaran.
(2 Timotius 4:1-2)



Pendahuluan
Kepada anak rohaninya, Timotius, Rasul Paulus berpesan dengan sungguh-sungguh di hadapan Allah dan Kristus Yesus yang akan menghakimi orang yang hidup dan mati untuk memberitakan Firman, bersiap sedia baik atau tidak baik waktunya, menegur (KJV : reprove), memarahi (KJV : rebuke) yang salah dan menasehati/mendorong (KJV : exhort) dengan segala kesabaran pengajaran. Mengapa ? Kalau kita melihat 1 pasal sebelumnya yaitu di pasal 3 ayat 2a, Paulus sudah mengajarkan bahwa pada hari-hari terakhir (last days), manusia akan menjadi hamba diri (humanisme) dan hamba uang (materialisme). Bukan hanya itu, di ayat berikutnya, sejak ayat 2b s/d 9, kita mempelajari implikasi praktis dari ayat 2a, sehingga kita semakin jelas mengapa Paulus berpesan kepada Timotius di pasal 4 ayat 1-2 untuk sungguh-sungguh memberitakan Firman, menegur, memarahi dan menasehati mereka yang salah dengan kesabaran pengajaran, yaitu karena manusia semakin lama semakin melarikan diri dari Kebenaran Firman (hal ini ditegaskan kembali di 2 Timotius 4 ayat 3-4).

Dunia di mana Timotius hidup adalah dunia yang sama dengan dunia postmodern yang kita hidupi sekarang. Bahkan kalau boleh dibilang, dunia postmodern sekarang lebih parah ketimbang dunia di mana Timotius hidup. Dunia postmodern adalah benar-benar realisasi praktis dari 2 Timotius 4:3-4 di mana banyak orang tidak mau lagi mendengarkan ajaran yang beres/bertanggungjawab, berani mengumpulkan guru-guru untuk mengajarkan apa yang mereka senangi dengan cara : memalingkan telinga dari kebenaran dan membukanya bagi dongeng/mitos (King James Version : fables ; dalam bahasa Yunani berarti myth). Bukan hanya itu saja, filsafat postmodern disisipi dengan spiritualitas Timur, yaitu Gerakan Zaman Baru (New Age Movement) yang diprakarsai oleh Hinduisme, Buddhisme, Orientalisme Tiongkok, dll. Kedua ajaran ini merasuki keKristenan dengan berbagai ajaran yang tidak bertanggungjawab. Sebagai orang Kristen yang beres, bagaimana kita dapat teguh berdiri di dalam Kristus dan mengatasi kedua ajaran ini ? Tidak ada jalan lain, kecuali kembali kepada semangat Reformasi.



Reformed Spirit (God-Centered Theology) and Reformed Epistemology
Semangat Reformasi adalah semangat mulia dari hamba-Nya, Dr. Martin Luther (1483-1546) untuk mereformasi gereja agar sesuai dengan kebenaran Alkitab. Semangat ini diteruskan oleh John Calvin, di mana Calvin adalah bapak theologia Reformed. Theologia Reformasi dan Reformed sama-sama memiliki pengajaran yang berpusat kepada kedaulatan dan anugerah Allah dan bukan kepada kehendak “bebas” manusia. Sehingga theologia Reformed dapat disebut theology from above (theologia dari atas), artinya theologia ini berpusat kepada Allah (God-centered theology). Kalau kita memperhatikan sejarah berdirinya gerakan Reformasi, kita akan mengerti bahwa gerakan Reformasi dan Reformed berada di suatu zaman Renaissance (tahun 1400-1600), “kelahiran kembali dalam pembelajaran dan pencarian pengetahuan sekuler.” (John D. Currid, Membangun Wawasan Dunia Kristen-1, 2006, p. 149). Ketika Abad Pertengahan yang berusaha mensintesiskan filsafat Yunani dan Alkitab lalu ditambah pengaruh Renaissance yang menekankan otoritas dan superioritas (rasio) manusia, Tuhan membangkitkan para hamba-Nya yang setia kepada firman-Nya, dari Augustinus, Dr. Martin Luther, John Calvin, dll untuk mengembalikan keKristenan kepada Kebenaran final yang tertinggi, Alkitab (back to the Bible). Sola Scriptura berarti kita sebagai umat pilihan-Nya di dalam Kristus menjadikan Alkitab sebagai satu-satunya standar kebenaran Allah yang final dan ultimat bagi iman dan kehidupan kita sehari-hari. Selain itu, Luther juga menekankan Sola Gratia (hanya melalui anugerah), artinya keselamatan di dalam Kristus hanya melalui anugerah Allah yang mengaruniakan Putra Tunggal-Nya, Tuhan Yesus Kristus untuk menebus dosa-dosa manusia. Kemudian, Luther juga mengajarkan Sola Fide (hanya melalui iman), artinya keselamatan di dalam Kristus hanya melalui iman di dalam Kristus yang merupakan anugerah Allah. Mengapa hanya melalui iman ? Karena hanya melalui iman di dalam Kristus yang merupakan anugerah Allah, kita yang berdosa diimputasikan kebenaran dari ketaatan dan kebenaran Kristus melalui penebusan-Nya di kayu salib. Atau dengan kata lain, kita dijadikan benar/dibenarkan oleh Allah di dalam Kristus melalui Roh Kudus. Terakhir, ketiga Sola ini berpusat kepada Soli Deo Gloria (segala kemuliaan hanya bagi Allah). Soli Deo Gloria bukan hanya berkenaan dengan keselamatan, tetapi juga berimplikasi di dalam iman, doktrin dan kehidupan sehari-hari yang menjadikan Allah sebagai Tuhan, Raja dan Penguasa Hidup sejati. Keempat semangat Reformasi ini sangat sesuai dengan ajaran Alkitab dari Paulus, “Sebab segala sesuatu adalah dari Dia, dan oleh Dia, dan kepada Dia: Bagi Dialah kemuliaan sampai selama-lamanya!” (Roma 11:36) Inilah dasar epistemologi Reformasi dan Reformed yang bersumber dari Allah, oleh Allah dan semuanya hanya untuk kemuliaan Allah saja. Ketika seseorang kembali kepada dasar epistemologi yang bertanggungjawab di dalam wahyu khusus Allah, Alkitab, maka kita bisa melihat dunia sekeliling kita dengan perspektif kedaulatan Allah dan kita berusaha untuk mengembalikan dunia kita kembali kepada Allah dengan cara menebusnya.

Oleh karena itulah, di dalam waktu menjelang hari Reformasi, 31 Oktober, selama 3 minggu berturut-turut, kita akan merenungkan tiga subtema pengenalan tokoh dan ajaran dari Augustinus (Vs Pelagius dan Thomas Aquinas), Dr. Martin Luther (Vs D. Erasmus), dan John Calvin (Vs Jacobus Arminius). Ketiga tokoh ini dianggap sebagai tokoh Kristen yang berpengaruh dan setia kepada pengajaran Alkitab. Lalu, kita akan mencoba menyelidiki para “musuh” Kebenaran yang mencoba menggusur Allah dari tahta-Nya dan menggantikannya dengan otoritas rasio manusia, kemudian, bagaimana kita menghadapi dan menantang mereka (dan para pengikutnya) agar mereka juga kembali kepada Alkitab.



Bapa Gereja Augustinus : Profil Singkat dan Ajaran-ajarannya
Bapa Gereja Aurelius Augustinus (13
November 354–28 Agustus 430), menurut Prof. Charles S. MacKenzie, Ph.D. di dalam salah satu artikelnya, Jeda Alkitabiah : Trinitarianisme Augustinus di dalam buku Membangun Wawasan Dunia Kristen Volume 1 : Allah, Manusia, dan Pengetahuan (Momentum, 2006), adalah “seorang tokoh besar yang memberikan karakter formatif bagi banyak pemikiran Kristen.” (MacKenzie, 2006, p. 89) Augustinus dilahirkan pada tahun 354 di Tagaster, Aljazair dari seorang ayah, Patricius yang tidak mempedulikan moralitas dan seorang ibu, Monica, seorang Kristen yang berbakti.

Pada masa mudanya, Augustinus memiliki kegemaran-kegemaran, seperti atletik, sangat kompetitif, dan ahli melempar umban. Yang lebih parahnya, ia juga memiliki kebiasaan-kebiasaan buruk, antara lain : berjudi, bertengkar, berkelahi, berdusta, mencuri, dan hidup tidak tertib. Kebiasaan buruk ini mulai terlihat jelas pada usia remajanya di mana gairah seks dan sensualitasnya (percabulan) berkembang. Percabulannya semakin berkembang ketika di usia 16 tahun, ia memiliki seorang wanita simpanan di Kartago dan wanita itu melahirkan anak, Adeodatus. Bukan hanya terpengaruh oleh gairah seks, ia juga terpengaruh oleh banyak filsafat dunia. Filsafat pertama yang mempengaruhinya adalah Manichaeanisme yang didirikan oleh Mani dari Babilonia yang mengajarkan tentang dualisme (=kerajaan terang yang kosmis berperang melawan kerajaan kegelapan yang kosmis) dan bahwa keselamatan datang dari pemikiran (rasio) yang benar dan penolakan asketis terhadap selera dan nafsu jasmaniah. Para penganutnya dibagi menjadi dua golongan : yang sedikit (=orang-orang pilihan : menjalani kehidupan monastis yang keras/bertarak) dan yang banyak (=ditetapkan menjadi pendengar : hanya menerima doktrin-doktrin secara intelektual). Augustinus menjadi pendengar Manichaeanisme. Kemudian, ia berpindah ajaran, dan pada usia 30 tahun, ketika pindah dari Kartago ke Roma, ia menjadi seorang skeptis dan terpengaruh oleh Neo-Platonisme (revisi dari filsafat Plato). Setahun kemudian, ia pindah ke Milan dan menjadi guru retorika. Ketika ia tidak mengajar, ia mulai mempelajari Neo-Platonisme yang mengajarkan : (1) Allah adalah Keberadaan yang murni dan sempurna. (2) Dari Allah memancar akal budi yang universal, kemudian satu jiwa dunia, dan akhirnya alam materi. (3) Manusia naik kepada Allah dengan menjalani suatu kehidupan asketis yang ketat dan melibatkan diri dalam meditasi mistis sebagai satu jalan keselamatan.

Tetapi puji Tuhan, Ia tidak membiarkan hamba-Nya tersesat begitu lama, sehingga Ia memakai ibunya, Monica untuk mendorong Augustinus untuk menghadiri gereja, dan akhirnya Augustinus mau menghadiri gereja dan mulai mendengar khotbah-khotbah dari Uskup Ambrose dari Milan. Sejak saat itu, ia mulai bertobat dan meninggalkan wanita simpanannya. Pada Juli 386, pada usia 32 tahun, seorang kawan Augustinus bertanya kepadanya untuk menantangnya, “Apa yang sedang saya lakukan di atas bumi ini ?” Setelah kawannya pulang, ia keluar ke tamannya dan mendengar suara seorang anak kecil bermain dan berkata, “Ambil dan bacalah.” Lalu, Augustinus menemukan kitab yang terdekat, Alkitab dan membuka secara acak Roma 13:13-14. Pada saat itulah, Augustinus sungguh-sungguh bertobat. Pada Paskah berikutnya, ia dibaptis oleh Ambrose di Milan.

Augustinus lalu kembali ke Afrika dan menjadi Uskup di Hippo, Afrika Utara selama 35 tahun. Buku-buku yang ditulisnya berjumlah 230, lebih dari 50 jilid buku tebal, tiga di antaranya yang paling penting : Confessions (otobiografi, seperti catatan harian, perjalanan spiritual Augustinus sampai kepada Kristus {terdiri dari 100.000 kata}), On the Trinity (yang meneguhkan dan menerangkan natur Trinitarian Allah dari Konsili Nicea) dan The City of God (menjelaskan bahwa Roma jatuh di tangan kaum Barbar karena Romawi terlambat menjadi Kristen).

Ketika pertama kalinya menjadi Kristen, Augustinus menggabungkan pemikiran Yunani dan Alkitabiah tetapi puji Tuhan, semakin ia mendalami Alkitab, ia semakin bertumbuh dalam pemahamannya akan Alkitab, lalu semakin membedakan antara pengajaran Alkitab dan ide-ide Yunani, dan terakhir, ia mengkritik keras pandangan-pandangan Yunani dari sudut pandang Alkitab. Bagi Augustinus, Alkitab secara verbal diinspirasikan oleh Allah. (Confessions 13.4-32) Inilah semangat Sola Scriptura Augustinus yang sayangnya tidak diikuti oleh gereja-gereja di luar Protestan.

Bukan hanya Sola Scriptura saja, Augustinus juga menekankan semangat dan doktrin penting, yaitu iman mencari pemahaman (fides quaerens intellectum atau credo ut intelligam). Artinya, ketika seseorang beriman di dalam Allah, maka orang itu baru mencari pemahaman yang sesuai dengan imannya. Inilah iman Kristen yang berbeda dengan “iman” dunia modern dan postmodern yang meninggikan otoritas manusia. Apa yang Augustinus tekankan ini sesuai dengan Alkitab di dalam Ibrani 11:3, “Karena iman kita mengerti, bahwa alam semesta telah dijadikan oleh firman Allah, sehingga apa yang kita lihat telah terjadi dari apa yang tidak dapat kita lihat.” Ayat ini sudah sangat jelas mengajarkan bahwa hanya melalui iman (mempercayakan diri di dalam Allah), kita baru dapat mengerti tentang Allah, firman-Nya dan ciptaan-ciptaan-Nya. Inilah dasar epistemologi iman Kristen, yaitu dari iman, kita mencari pemahaman yang memperkuat iman kita lagi, dst (circular understanding).

Dari dasar Alkitab dan iman inilah, kita akan mengkaji tiga doktrin Augustinus yaitu tentang Allah, manusia dan dosa, dan keselamatan.

Pertama, Transendensi Allah, Providensia Allah dan Allah Trinitas. Ketika dibelenggu oleh filsafat Yunani baik dari Parmenides tentang being dan Heraclitus tentang becoming, Augustinus menjadi bingung mencari hubungan keduanya. Apalagi ditambah dengan filsafat Manichaeanisme yang mengajarkan dualisme, Augustinus bingung bagaimana hasil akhir peperangan antara terang dan gelap itu. Tetapi puji Tuhan, Roh Kudus menganugerahkan iman dan pengertian kepadanya, sehingga ia menemukan Kebenaran sejati. Ia percaya bahwa Allah itu transenden dan Pencipta segala sesuatu dari tidak ada (creatio ex nihilo). Artinya, alam semesta tidak mandiri tetapi mempunyai sumber dan sasarannya di dalam Allah, yang transenden terhadap segala sesuatu. Lalu, Ia yang mencipta juga adalah Allah yang memelihara segala sesuatu. Di dalam providensia (pemeliharaan)-Nya, Ia mempredestinasikan sebagian orang untuk diselamatkan dengan menempatkan orang-orang percaya dan Roh Kudus di sekeliling mereka sehingga mereka dapat beriman kepada Kristus. Dalam hal ini, ia menolak pengajaran baik dari Plato yang mengajarkan bahwa Demiurge membuat dunia ini dari bentuk-bentuk dan materi-materi yang ada, maupun dari Neo-Platonisme yang mengajarkan bahwa dunia ini adalah pancaran/aliran dari Allah (yang impersonal/tidak berpribadi). Tentang Trinitas, ia percaya bahwa masing-masing Pribadi Allah : Bapa, Anak dan Roh Kudus adalah Allah yang kekal, berbeda masing-masing pribadinya, dan setara kedudukannya. Roh Kudus keluar dari Bapa dan Anak (Filioque). Ia menolak bidat-bidat, seperti Modalisme dari Sabelius pada abad ke-3, dan Arianisme yang mengajarkan Allah yang Esa (Roh Kudus di bawah Anak dan Anak di bawah Bapa). Lalu, apa signifikansi Trinitas bagi Augustinus ? Augustinus menyadari ada dua signifikansi penting dari pengertian Trinitas ini yaitu : (1) Trinitas menyelesaikan masalah being dan becoming. Baginya, becoming itu lambang Roh Kudus yang mengatur segala sesuatu secara providensial dan being adalah lambang Allah Bapa yang transenden terhadap segala sesuatu. Di antara keduanya, Allah Anak, yaitu Tuhan Yesus Kristus menjadi jembatan Ilahi yang berinkarnasi ; (2) Trinitas juga mempersatukan segala realitas dan memelihara rasa ketertiban yang dinamis dan kreatif dalam alam semesta di mana Allah Bapa sebagai esensi Ilahi, dasar dari segala being, Allah Roh Kudus menopang, mendukung, dan memberi eksistensi yang berkesinambungan kepada segala ciptaan, kepada dunia becoming dan Allah Anak yang menghubungkan segala realitas (kelihatan maupun tidak kelihatan).

Kedua, Manusia dan Dosa. Bagi Augustinus, manusia adalah satu kesatuan antara tubuh dan jiwa di mana sebelum berdosa, Adam mempunyai kebebasan untuk berkehendak dan melakukan apa yang benar (Latin : posse non peccare et posse peccare ; artinya : mampu tidak berdosa dan mampu berdosa). Tetapi dosa mengakibatkan manusia rusak total. Bagi Augustinus, kejatuhan manusia ke dalam dosa muncul dari ketidakpercayaan, merupakan suatu produk kehendak (yang merupakan ekspresi otonom dari manusia batiniah), dan dihasilkan dari keinginan dan pilihan bebas manusia untuk menaruh dirinya sendiri mendahului Allah (disebut dosa kesombongan). Dan akibatnya : manusia kehilangan kebebasan dan kuasanya, sehingga dosa memperbudak kehendaknya dan merusakkan penilaiannya dan akhirnya, penilaian moralnya menjadi rusak.

Ketiga, Keselamatan. Tidak ada jalan lain bagi permasalahan dosa, kecuali anugerah Allah yang mengerjakan keselamatan manusia. Bagi Augustinus, anugerah Allah adalah suatu infusi kasih ke dalam diri manusia oleh Roh Kudus yang menciptakan kembali dan memperbarui sumber Allah dalam diri manusia. Anugerah-Nya ini mulai bekerja dengan membebaskan manusia dari kebutaan intelektual manusia (masalah moral) melalui kelahiran kembali dari afeksi dan hasrat mereka sehingga mereka mengasihi Allah karena adanya anugerah Allah yang kuat dan tidak dapat ditolak. Inilah dasar ajaran bagi theologia Reformed/Calvin : Irresistible Grace (Anugerah yang Tidak Dapat Ditolak).

Berbeda dari Augustinus, seorang yang bernama Pelagius dan Thomas Aquinas menolak ajaran Augustinus dan menggantikannya dengan ajaran yang menekankan pada otoritas manusia. Kita akan melihat profil dan ajaran singkat dari kedua tokoh ini.



Profil Singkat dan Ajaran-ajaran Pelagius dan Thomas Aquinas
Setiap kebenaran ketika diberitakan pasti menuai dua akibat, yaitu ada yang menerima dan mengimaninya, dan sebaliknya, ada yang menolaknya. Bagi mereka yang menerimanya berarti mereka adalah kaum pilihan Allah yang telah ditetapkan-Nya untuk menjadi anak-anak-Nya, sedangkan mereka yang menolaknya memang telah ditetapkan-Nya untuk dibinasakan. Sekarang, mari kita akan melihat siapa saja yang menolak pengajaran Augustinus ini.

Pelagius adalah seorang biarawan Inggris yang datang ke Roma pada tahun 390 M. Dia mengajar : (1) Adam dijadikan sebagai makhluk yang fana dan akan mati entah dia berdosa atau tidak. (2) Dosa Adam hanya melukai dirinya sendiri saja dan bukan seluruh umat manusia. (3) Anak-anak yang baru lahir berada dalam keadaan yang sama dengan Adam. (4) Seluruh umat manusia tidak mati karena dosa dan kematian Adam, atau bangkit karena kebangkitan Kristus. (5) Manusia dapat diselamatkan dengan menaati hukum dan mempercayai Injil. (6) Sebelum kedatangan Kristus, manusia dapat menjalani hidup yang tidak berdosa.

Pandangan Pelagius ini dikutuk dalam dua konsili gereja mula-mula yaitu : Konsili Kartago pada tahun 418 M dengan mengajarkan bahwa anugerah Allah mutlak diperlukan untuk keselamatan maupun untuk hidup yang benar dan terakhir, Konsili Efesus pada tahun 431 M.

Di mana letak kesalahannya ?
Pertama, Pelagius menolak dosa asal manusia yang jelas-jelas ditekankan oleh Alkitab baik di Roma 3:9-20 ; 5:12-14 ; dll.
Kedua, Pelagius menambahi Injil dengan hukum sebagai syarat diselamatkan, padahal hal ini sudah jelas-jelas diajarkan oleh Paulus : keselamatan hanya melalui anugerah di dalam iman (Efesus 2:8-9) dan Injil sejati harus diberitakan, bukan “injil-injil” yang lain/different gospel (Galatia 1:6-10).
Terakhir, Pelagius dengan jelas menolak finalitas karya penebusan Kristus dan kebangkitan-Nya yang menjadi dasar kebangkitan umat pilihan-Nya kelak. Padahal hal ini diajarkan oleh Paulus di dalam 1 Korintus 15.

Anehnya, setelah ajaran Pelagius dikutuk di dalam dua konsili gereja mula-mula, manusia berdosa tidak pernah jera menciptakan ajaran-ajaran yang menyeleweng dari Alkitab, akhirnya dengan berkompromi, seorang yang bernama Luis Molina pada tahun 1590-1600 menciptakan sebuah konsep yang dinamakan Semi-Pelagianisme. (http://en.wikipedia.org/wiki/Semi-Pelagianism) Ajaran ini mensistesiskan pandangan Augustinianisme dan Pelagianisme dengan mengajarkan : meskipun manusia alamiah telah dirusakkan oleh dosa, ia masih mampu bekerja sama dengan Allah dalam penebusan (keselamatan : kerja sama manusia dengan Allah). Dengan kata lain, sebagai ringkasannya :

Augustinian mengajarkan : manusia alamiah mati secara rohani.
Pelagian mengajarkan : manusia alamiah hidup dan baik.
Semi-Pelagian (sebagai sintesis keduanya) mengajarkan : manusia alamiah sakit.

Para penganut Semi-Pelagian adalah John Cassianus, Vincent Lerins, Faustus, dll.

Di mana letak kesalahan Semi-Pelagian ? Semi-Pelagian terlalu merendahkan makna dosa, padahal Alkitab dengan jelas dan tegas mengajarkan, “Kamu dahulu sudah mati karena pelanggaran-pelanggaran dan dosa-dosamu.” (Efesus 2:1) Roma 6:23a juga mengajarkan, “Sebab upah dosa ialah maut;” Dengan sengaja mengerdilkan makna dosa, maka tidak heran, Semi-Pelagian mengajarkan bahwa manusia bisa joint-venture dengan Allah di dalam karya keselamatan. Di minggu terakhir dari ketiga sesi renungan ini, kita akan menyelidiki bahwa Semi-Pelagianisme nanti mempengaruhi Arminianisme yang mempengaruhi banyak (tidak semua) gereja-gereja Injili, Katolik Roma, dan Karismatik/Pentakosta yang mayoritas lebih menitikberatkan pada pengalaman pribadi, hukum gereja, dll ketimbang pemberitaan Injil murni dan kedaulatan anugerah Allah.


Selain Pelagianisme dan Semi-Pelagianisme, Thomistis (pengikut Thomas Aquinas) adalah para “musuh” Kebenaran Firman. Thomas Aquinas (1225-1274) adalah tokoh yang cukup berpengaruh dalam keKristenan, meskipun tidak berpengaruh secara positif. Aquinas adalah sosok tokoh dan dianggap Santo oleh Gereja Katolik Roma pada tanggal 18 Juli 1323 oleh Paus Yohanes XXII di
Avignon. (http://en.wikipedia.org/wiki/Thomas_Aquinas) Aquinas dilahirkan pada tahun 1225 ketika Skolastisisme mulai berkembang. Ajaran ini dipengaruhi oleh ide-ide Yunani dan mengajarkan : segala pengetahuan bisa ditata dalam suatu cara yang teratur dan mendetail dan rasiolah sarana yang tertinggi untuk memperoleh pengetahuan, meskipun rasio harus ditambah dengan penyataan Alkitabiah. Aquinas mempelajari kurikulum tradisional dari 7 seni liberal di Naples dan kemudian lulus dari Universitas Paris. Ia menjadi profesor theologia dalam ordo Dominikan yang didirikan pada abad ke-13. Aquinas menulis lebih dari 40 buku, 3 di antaranya yang paling terkenal adalah : Summa Contra Gentiles (A Summary Against the Gentiles : buku pegangan theologia apologetika bagi para misionaris untuk menobatkan orang kafir), Summa Theologica (A Summary of Theology : buku pelajaran theologia sistematika yang secara kuat mempengaruhi Gereja Katolik Roma) dan tafsiran-tafsiran tentang buku-buku karya Aristoteles. Ia mendapat gelar Doktor Gereja pada tahun 1567.

Aquinas sering disebut sebagai bapak “theologia” natural. Ia dijuluki demikian karena ke“cerdas”annya mensistesiskan filsafat-filsafat Yunani (sebagai pusat) dengan Alkitab (melayani filsafat Yunani). Aquinas dulu belajar Aristoteles dari gurunya di Universitas Paris, Albertus Magnus, akhirnya sampai menjadi profesor theologia pun, Aquinas tetap mengadopsi langsung ide-ide Aristoteles sebagai pusat untuk disesuaikan (lebih tepatnya : dicocok-cocokkan) dengan Alkitab.

Tentang Allah, menurut Prof. W. Andrew Hoffecker, Ph.D. di dalam salah satu artikelnya, Skolastisisme Abad Pertengahan : Sintesis Thomistis di dalam buku Membangun Wawasan Dunia Kristen Volume 1 : Allah, Manusia dan Pengetahuan, Allah Aquinas kadang-kadang dirujuk sebagai penggerak yang tidak digerakkan yang “dibaptis”. (Hoffecker, 2006, p. 110) Ide Penggerak yang tidak digerakkan diimpor dari filsafat Aristoteles. Lalu, ide ini “dibaptis” dalam nama “yesus” dengan memberi ciri-ciri Alkitabiah kepada kekuatan impersonal dari “allah” Aristoteles sehingga Allah menjadi Penggerak yang tidak digerakkan. Keunikan Allah, menurut Aquinas, berakar dalam esensi-Nya yang adalah to be (“berada”), sementara keberadaan lainnya dalam ciptaan eksis karena kebergantungan mereka pada penyebab yang lebih tinggi yang bersumber dari Allah. Karena menekankan Allah adalah kekal, penyebab pertama, dan kebaikan yang berdaulat, ia menolak bahwa Allah itu seperti manusia dalam pengertian universal apapun. Ia mengajarkan bahwa kita mengenal Allah hanya melalui analogi. “Untuk menghindari kekeliruan memahami Allah seperti makhluk-makhluk ciptaan-Nya, Thomas mengedepankan suatu prinsip Abad Pertengahan yang populer yang disebut via negativa. ‘Jalan negasi’ ini menyangkal bahwa kita dapat mengetahui esensi Allah, yaitu apa Dia itu. Hanya Allah yang mengetahui itu. Karena esensi Allah bersifat transenden, Allah tak terselidiki oleh manusia. Karena itu, jika mau mengenal Dia, kita harus memulai dengan menyangkal kualitas-kualitas yang kita tahu tidak pantas bagi Allah. Misalnya, kita tahu bahwa Allah adalah bukan material. Ia juga adalah tidak terbatas, tidak dapat berubah, tidak tunduk pada waktu.” (pp. 112-113) Lebih aneh lagi, alasan di balik gayanya yang mengedepankan via negativa ini adalah supaya kita semakin dekat mengenal Dia karena kita menyingkirkan unsur-unsur yang membuat Allah sama dengan keberadaan-keberadaan lainnya dari pemikiran kita. Ia juga mengajarkan bahwa providensia Allah tetap berimplikasi pada predestinasi Allah di mana Ia memilih sebagian orang untuk diselamatkan dan meninggalkan sebagian lainnya kepada hidup yang binasa. (p. 114)

Tentang manusia dan dosa, Aquinas menggabungkan ide-ide Aristotelian, Augustinian dan Pelagian. Penegasan fundamentalnya adalah bahwa manusia adalah persatuan antara tubuh dan jiwa dalam pengertian Aristotelian. Bagi Aquinas, jiwa adalah bentuk dari tubuh, dan manusia yang dikaruniai dengan rasio mempunyai jenis jiwa yang tertinggi. Tetapi ia juga mengakui bahwa di atas manusia masih ada malaikat dan di atas malaikat masih ada Allah. Dalam hal dosa, ia juga percaya adanya dosa asal yang diteruskan dari generasi ke generasi yang mengeluarkan dampak yang kuat pada kehendak manusia, menghasilkan nafsu yang kuat, hasrat yang kuat dan tidak teratur, lalu akhirnya menghasilkan dosa aktual. Tetapi pengertian dosa asal versi Aquinas tidak sama dengan pengajaran Alkitab. Aquinas mengajarkan bahwa sebelum kejatuhan, manusia dapat melakukan empat kebajikan natural (yaitu : kebijaksanaan, keadilan, pengendalian diri, dan keberanian) yang diuraikan oleh para filsuf Yunani, dan tiga kebajikan supranatural (yaitu : iman, pengharapan dan kasih). Dosa asal membuat manusia tidak mampu menjalankan iman, pengharapan dan kasih, tetapi mereka mampu melakukan empat kebajikan natural itu, sehingga ia menyimpulkan bahwa meskipun natur Adam yang rusak diwariskan kepada keturunannya, kekuatan rasional manusia tersebut tidak berkurang. Ia juga mengajarkan bahwa kehendak manusia tidak rusak secara total, sehingga kita secara moral bebas dan mampu melakukan sejumlah kebaikan, meskipun terbatas. Selain rasio, Aquinas juga dengan terus terang menerima perasaan indrawi sebagai titik tolak yang sah bagi pengetahuan. Baginya, hal-hal material adalah objek-objek primer bagi akal budi manusia. (Hoffecker, 2006, p. 260) Ia mempercayai bahwa metafisika natural yaitu investigasi rasional tentang sesuatu di balik realitas fisis adalah layak dan itu dapat dilakukan dengan menggunakan indra. Jadi, menurutnya, rasio ditambah pengalaman indrawi manusia sanggup menghasilkan pengetahuan. Cara kerjanya adalah (1) rasio memulai dengan data-data dari pengalaman indrawi langsung, (2) merefleksikan pengalaman itu, dan (3) sampai pada suatu kesimpulan yang mutual bahwa bereksistensi satu Allah yang transenden terhadap realitas fisis yang diketahui oleh indra. Ia juga membagi dua langkah dalam mengenal Allah, yaitu dimulai dari keyakinan intelektual bahwa Allah ada, lalu dilanjutkan dengan persetujuan akal budi terhadap pernyataan bahwa ada satu Allah, kemudian disusul dengan langkah kedua yaitu tindakan yang sangat pribadi untuk menempatkan keyakinan atau penyandaran kita pada Allah.

Tentang keselamatan, Aquinas mempercayai bahwa karena setiap orang mewarisi dosa asal dan melakukan dosa aktual, maka penebusan dimungkinkan melalui anugerah Allah yang bebas dan tidak layak diterima. Tetapi anehnya, ia membedakan dua jenis anugerah yang kelihatan berkontradiksi. Anugerah pertama adalah anugerah operatif yang adalah pertolongan ilahi yang diberikan kepada manusia di mana “Allah adalah satu-satunya penggerak”, tetapi ketika Ia juga menggerakkan jiwa manusia (penerima pasif), manusia juga menjadi penggerakkan (partisipan aktif dalam keselamatan), sehingga timbullah doktrin Aquinas yaitu keselamatan dihasilkan oleh jiwa di samping juga oleh Allah. (Summa Theologica 111.2) Selain keselamatan, ia juga mengajarkan adanya pembenaran bersifat subyektif, di mana Allah menjadikan manusia benar dengan menginfusikan anugerah ke dalam diri mereka (melalui sakramen-sakramen). Ia juga percaya bahwa ada sebagian orang Kristen yang disebut orang-orang “kudus” yang melakukan hal-hal yang lebih dari yang diperintahkan di dalam Hukum Allah, misalnya dengan melakukan tiga kaul, yaitu kemiskinan, kesucian, dan ketaatan. Karena itu, mereka mendapatkan pahala-pahala dan orang-orang “kudus” ini nantinya menjadi sarana doa selain Allah, seperti yang jelas-jelas disebutkan dalam doa kepada Santa Anna oleh Dr. Martin Luther ketika dulu ia diterpa oleh angin ribut dan hujan. Orang-orang berdosa dapat menerima anugerah melalui ketujuh sakramen, yaitu baptisan, peneguhan, Perjamuan Kudus, pertobatan, pentahbisan, perkawinan, dan pengurapan. Oleh karena itu, bagi Aquinas dan theologia Katolik Roma, sakramen-sakramen dipandang sebagai mujizat-mujizat (meskipun beberapa orang Katolik menyangkali hal ini). Selain itu, Aquinas juga membedakan dua macam orang, yaitu orang yang hidup membiara/askese disebut religius karena mereka mengikuti suatu panggilan yang lebih tinggi daripada orang-orang yang terlibat dalam kehidupan sehari-hari. Ternyata, dualisme Yunani dari Plato pun direalisasikan oleh Aquinas dan dianut oleh mayoritas Katolik Roma dan beberapa orang “Kristen” di dalam gereja Protestan sekalipun.

Apa kelemahan-kelemahan ajaran Aquinas dan bagaimana solusinya ?
Pertama, Aquinas mengembangkan theologia “Kristen” dengan mensintesiskan filsafat Yunani dengan Alkitab. Meskipun ia mengakui bahwa filsafat Yunani harus dilengkapi dengan Alkitab, tetapi ia tetap bersikukuh pada “kebenaran” filsafat Yunani yang meninggika rasio. Aquinas berbeda dengan Augustinus. Augustinus pernah belajar filsafat Yunani, khususnya dari Plato dan Neo-Platonisme, bahkan ketika ia pertama kali menjadi Kristen, ia juga mirip seperti Aquinas yang mensintesiskan filsafat Yunani dengan Alkitab, tetapi Augustinus sangat berbeda dengan Aquinas, di mana setelah Augustinus mendalami Alkitab, ia semakin sadar bahwa Alkitab sangat berbeda jauh dari filsafat Yunani, sehingga ia mati-matian mengkritik pandangan Yunani yang tak mampu menghubungkan being dan becoming serta membawa orang Kristen kembali kepada Alkitab. Bahkan Pdt. Dr. Stephen Tong pernah menuturkan bahwa Augustinus pernah berkata bahwa apabila salah satu pengajarannya di dalam buku-bukunya ada yang melawan Alkitab, ia menganjurkan agar buku itu dibuang/ditinggalkan dan Alkitab yang dipegang. Augustinus lebih mempercayai wahyu khusus Allah ini ketimbang doktrinnya sendiri. Inilah citra hamba Tuhan sejati. Sedangkan Aquinas yang dulu pernah belajar filsafat Aristoteles, setelah menjadi Kristen bahkan menjadi uskup dan ditetapkan menjadi “santo”, ia tak pernah mendalami Alkitab dengan bertanggungjawab, tetapi ia malahan mengkompromikan Alkitab dengan filsafat Aristoteles, bahkan menempatkan Alkitab hanya sebagai pelengkap “kebenaran” filsafat Aristoteles. Inilah kegagalan fatal “theologia” yang antroposentris. Mereka membangun “theologia” dan dasar iman dari rasio murni, yang tentu hampir mirip seperti rasionalisme. Aquinas tidak mungkin bisa berkata seperti Augustinus yang mengatakan bahwa Alkitab saja yang harus dipegang, karena Aquinas sendiri membangun dasar presuposisinya bukan dari Alkitab, tetapi dari filsafat Aristoteles. Jika demikian, maka Aquinas secara tidak sadar sedang merendahkan Alkitab dan meninggikan superioritas manusia. Lalu, silahkan pikirkan sendiri, apakah layak Aquinas disebut sebagai profesor “theologia” ?

Kedua, seperti yang dipaparkan oleh Dr. Hoffecker, Aquinas membangun epistemologinya dari rasio, sehingga motonya : “Saya mengerti supaya saya bisa percaya.” (intelligo ut credam) (Hoffecker, 2006, p. 261) Dari epistemologi ini, ia mengkonstruksi argumen-argumen rasional untuk membuktikan eksistensi Allah. Usaha inilah disebut “theologia” natural. Presuposisi Thomas Aquinas yang dimulai dari rasio diikuti oleh banyak orang “Kristen” bahkan banyak theolog Injili sekalipun. Mereka mencoba membuktikan kebangkitan Kristus dari fakta-fakta historis kepada orang-orang non-Kristen. Mereka juga mencoba membuktikan bukti-bukti ilmiah otentisitas Alkitab. Tidak berarti itu semua salah, tetapi itu semua bukanlah dasar presuposisi iman Kristen yang bertanggungjawab. Kelemahan fatal presuposisi ini adalah ketika fakta-fakta ilmiah itu sudah berubah dan ada kesalahan sedikit, maka iman Kristen gugur, padahal iman Kristen BUKAN dibangun di atas bukti-bukti ilmiah. Mengapa fakta-fakta ilmiah bisa berubah ? Apakah ini membuktikan ketidakbenaran iman Kristen ? Misalnya, mayat Musa tidak dapat ditemukan, apakah ini berarti Musa tidak pernah meninggal ? TIDAK. Mayat Musa tidak dapat ditemukan, karena Allah yang menginginkan hal itu terjadi, supaya manusia tidak memberhalakan Musa. Bahkan malaikat Allah, Mikhael pernah bertengkar dengan setan mengenai mayat Musa. Demikian juga dengan naskah asli Alkitab (autographa). Banyak “theolog” liberal yang mempengaruhi social “gospel” (“theologia” religionum) mempertanyakan naskah asli Alkitab lalu menyimpulkan bahwa Alkitab bukanlah firman Allah, tetapi hanya salah satu firman Allah yang bisa mengandung kesalahan. Kalau naskah asli Alkitab hilang dan yang ada hanyalah terjemahan-terjemahan, berarti Alkitab sudah didistorsi dan tidak valid lagi. Benarkah anggapan ini ? TIDAK ! Naskah asli Alkitab sengaja diizinkan hilang oleh Tuhan agar manusia tidak memberhalakan naskah asli lalu tidak memperhatikan esensi pengajaran Allah di dalam Alkitab. Hal ini mirip dengan satu agama yang mewajibkan para penganutnya “memberhalakan” tempat/negara tertentu yang dianggap “suci” karena negara itu didiami oleh “nabi suci” mereka. Mereka lebih memperhatikan fenomena ketimbang esensi. Itulah kecenderungan manusia berdosa yang sudah dibuktikan oleh beberapa orang “Kristen” Katolik Roma yang terlalu memberhalakan tempat-tempat suci Tuhan Yesus dengan mendirikan gereja di Betlehem, mencium kandang di mana Kristus dilahirkan, dll.
Presuposisi Aquinas berbeda jauh dari moto Augustinus : “Saya percaya supaya saya bisa mengerti.” (Credo ut intelligam) Presuposisi Augustinus ini (sesuai dengan Ibrani 11:3) menjadi dasar presuposisi baik Dr. Martin Luther, John Calvin bahkan sampai kepada Rev. Prof. Cornelius Van Til, Ph.D. di dalam apologetikanya (Van Til disebut presuppositionalist apologet). Presuposisi ini bertolak dari iman sebagai dasar keKristenan yang bersumberkan wahyu khusus Allah, yaitu Alkitab dan kedaulatan Allah. Sehingga ketika memberitakan Injil, para apologet presupositionalis ini tidak mempergunakan sederetan bukti-bukti ilmiah, tetapi mempertajam presuposisi orang-orang yang diinjili sehingga mereka diyakinkan terlebih dahulu. Hal ini semua dapat dibaca di dalam buku Dr. Van Til : The Defense of the Faith. Bukan hanya itu saja, ketika berdebat theologia, kita pun tidak boleh mempergunakan bukti-bukti ilmiah sebagai dasar pembelaan iman kita. Itu fatal. Tetapi kita harus membentuk cara berpikir atau presuposisi dasar masing-masing golongan agar kita bisa berdebat secara bertanggungjawab. Kalau dasar presuposisi masing-masing golongan tidak beres, itulah yang harus dibereskan dan dibenahi terlebih dahulu, baru kita masuk ke dalam inti perdebatan. (Debat diizinkan di dalam keKristenan dengan motivasi untuk mencari Kebenaran sejati, tetapi itu harus dilakukan dengan semangat kasih yang disertai pengajaran. Jika debat dilakukan dengan motivasi untuk mencapai kemenangan di dalam perdebatan, maka sebaiknya tidak usah berdebat.)

Ketiga, Aquinas memegang doktrin transendensi Allah dan menolak imanensi Allah secara tidak langsung. Aquinas mempercayai bahwa Allah hanya dapat dikenal di dalam natur-Nya sebagai Allah yang tidak berurusan dengan manusia, sehingga Allah tidak boleh dikenal dengan menggunakan atribut-atribut manusia. Sekilas pandangan ini “benar”, karena sebenarnya kata “atribut” terkesan membatasi Allah, tetapi pandangan ini memiliki kesalahan fatal. Dengan bijaksana, Dr. Hoffecker memaparkan kelemahan Aquinas, “...apa yang hilang dengan memakai metode Skolastis Thomas adalah kebergantungan yang sederhana kepada Alkitab sebagai sumber yang paling dapat dipercaya untuk memahami natur dan keberadaan Allah.” (p. 113) Lebih lanjut, Dr. Hoffecker memaparkan bahwa justru di dalam Alkitab, kita mempelajari bahwa Allah memakai istilah-istilah yang dipahami oleh manusia dalam konteks kehidupan keluarga pedesaan sehari-hari, misalnya Bapa Surgawi yang mengasihi, suami yang setia, gembala, Raja, dan Tuhan. Pandangan Thomistis saat ini dianut juga oleh sekelompok orang “Kristen” yang dipengaruhi “theologia” liberal yang menekankan transendensi Allah dan mengabaikan imanensi Allah. Mereka mengajarkan bahwa Allah itu nun jauh di sana dan tidak menyatakan diri-Nya, sehingga Alkitab bukanlah firman Allah, karena Alkitab ditulis oleh manusia. Bukan hanya liberalisme, beberapa golongan Protestan yang menyebut dirinya “Reformed”, ternyata seorang Reformed Neo-Platonisme (mengutip istilah Pdt. Billy Kristanto di dalam khotbahnya di National Reformed Evangelical Worker Convention/NREWC 2004). Mereka belajar banyak doktrin dan theologia penting dari para theolog, misalnya Luther, Calvin, Van Til, Kuyper, Warfield, Hodge, dll, tetapi spiritualitas mereka kering, seolah-olah Allah dimengerti di dalam rasio dan tidak di dalam afeksi. Inilah spiritualitas yang mati. Di sisi lain, beberapa golongan “Kristen” yang kontemporer terlalu menekankan imanensi Allah, sehingga seolah-olah Allah menjadi teman (bahkan “pembantu”)nya. Ada seorang “pendeta” gereja ini bahkan “bersaksi” bahwa ia minum kopi dengan “Tuhan Yesus”, langsung diajari Alkitab oleh “Tuhan Yesus”. Bahkan di dalam Toronto Blessing, beberapa orang yang tertawa-tawa tidak sadarkan diri bahkan sampai 2 minggu mengaku bahwa mereka dipenuhi “Roh Kudus”, bisa main sepak bola dengan “Tuhan Yesus”. Salah satu buku dari para penganut ajaran ini berjudul “Selamat Pagi, Roh Kudus”. Mereka terlalu menekankan imanensi Allah, lalu lupa menekankan transendensi Allah yang Mahakuasa, Mahakudus, Mahaagung, dll. Alkitab yang mempengaruhi theologia Reformed Injili mengajarkan keseimbangan antara pengertian (knowledge) akan firman Allah dan doktrin dengan afeksi yang dinamis dan berkobar-kobar. Meskipun bukan menjadi dasar iman sejati, pengalaman rohani itu tetaplah penting, karena pengalaman itu menunjukkan bahwa kita juga mengalami Allah dan kasih-Nya yang telah kita pelajari di dalam firman-Nya. Meskipun penting, pengalaman rohani itu harus diuji berdasarkan Alkitab, dan jangan sekali-kali menjadikan pengalaman sebagai doktrin. Misalnya, pengalaman doa Yabes di dalam Alkitab adalah pengalaman pribadi Yabes, tetapi beberapa gereja kontemporer menjadikannya doktrin dan dijadikan seminar. Anehnya, doa Tuhan Yesus (Doa Bapa Kami) tidak diseminarkan, tetapi doa Yabes yang diseminarkan.

Keempat, kerusakan sebagian yang dipercayai oleh Aquinas di dalam dosa asal. Aquinas mempercayai bahwa meskipun natur Adam yang rusak diwariskan kepada keturunannya, kekuatan rasional manusia tersebut tidak berkurang. Ia juga mengajarkan bahwa kehendak manusia tidak rusak secara total, sehingga kita secara moral bebas dan mampu melakukan sejumlah kebaikan, meskipun terbatas. Selain rasio, Aquinas juga dengan terus terang menerima perasaan indrawi sebagai titik tolak yang sah bagi pengetahuan. Saya menyebut pandangan Aquinas tentang kerusakan manusia : kerusakan sebagian manusia, karena baginya kerusakan manusia tidak meliputi totalitas manusia, tetapi sebagian unsur manusia. Aquinas mempercayai hal ini karena sekali lagi, ia mensintesiskan filsafat Yunani dengan Alkitab, sehingga baginya Alkitab “diuji” dengan filsafat Yunani, dan bukan sebaliknya. Benarkah demikian ? Augustinus, Luther dan Calvin dengan jelas menolak anggapan ini, mengapa ? Karena Alkitab sendiri yang mengajarkan, “Tidak ada yang benar, seorangpun tidak. Tidak ada seorangpun yang berakal budi, tidak ada seorangpun yang mencari Allah.” (Roma 3:10-11) Kedua ayat Alkitab ini sudah sangat jelas bahwa tidak ada seorangpun yang benar, bahkan tidak ada seorangpun yang berakal budi lalu mencari Allah. Roma 3:10-18 jelas menunjukkan bahwa dosa mengakibatkan hati, pikiran, perkataan, dan tindakan manusia menjadi rusak dan tidak memuliakan Allah. Calvin menyebut hal ini sebagai Total Depravity (Kerusakan Total) di dalam natur manusia berdosa. Kembali, bagi saya, Aquinas sangat aneh di dalam mengajarkan konsepnya (konsep yang berkontradiksi). Ia percaya bahwa manusia rusak akibat dosa, tetapi rusaknya tidak totalitas, tetapi sebagian, di mana rasio dan kehendak manusia tidak rusak. Tolong klarifikasi arti kata “rusak” itu sesungguhnya. Pdt. Dr. Stephen Tong pernah memberikan ilustrasi untuk menjelaskan arti kata “rusak” ini : teh yang tertumpah dan menempel pada baju (noda teh) mengakibatkan baju yang tadinya berwarna putih, menjadi puteh (putih yang kena teh). Baju ini tetap mengandung unsur putih, tetapi sudah dicemari oleh noda teh ini, sehingga warna putihnya tidak putih seperti warna aslinya, tetapi putih busuk/ agak kecoklatan. Demikian juga dengan natur manusia yang berdosa, di mana manusia yang berdosa tidak kehilangan gambar Allah, tetapi gambar Allah menjadi rusak. Dalam hal ini, Roma 3:23 di dalam Terjemahan Baru LAI kurang tepat menerjemahkannya (memakai “kehilangan kemuliaan Allah”), yang lebih tepat terjemahannya adalah beberapa terjemahan bahasa Inggris. King James Version (KJV) menerjemahkannya, “For all have sinned, and come short of the glory of God;” Pernyataan “come short” berarti tidak mencukupi. English Standard Version (ESV) dan International Standard Version (ISV) menerjemahkannya : fall short. Dari ketiga terjemahan ini, tidak ada indikasi sama sekali tentang hilangnya kemuliaan Allah di dalam diri manusia seperti yang dijumpai di dalam terjemahan LAI. Gambar Allah masih bisa dijumpai di dalam diri manusia, tetapi sayangnya, gambar Allah itu sudah dicemari oleh dosa, sehingga meskipun manusia bisa berbuat baik, perbuatan baik mereka bukan bermotivasi untuk memuliakan Allah, tetapi untuk memuliakan diri. Itulah kerusakan total di dalam diri manusia.

Kelima, joint venture antara Allah dan manusia di dalam keselamatan. Aquinas mengajarkan dua hal di dalam keselamatan dan pembenaran. Di dalam hal keselamatan, ia mengajarkan anugerah Allah dibagi menjadi dua : aktif dan pasif. Anugerah Allah (manusia pasif menerimanya) memang perlu untuk keselamatan manusia dari dosa, tetapi manusia juga aktif menerima keselamatannya. Ajaran ini jelas tidak konsisten. Ia tak mengerti definisi anugerah, lalu berani memakai kata anugerah dan mengajarkan konsep yang aneh ini. Anugerah adalah sesuatu yang diberikan kepada seseorang karena seseorang ini tidak bisa memperoleh yang diberikannya itu. Ilustrasi sederhana (meskipun ini jelas kurang sempurna), seorang ayah memberikan permen kepada anaknya yang masih berusia 3 tahun. Ini yang disebut anugerah, mengapa ? Karena si anak yang masih kecil ini tak mampu membeli permen sendiri, sehingga ayahnya yang membelikan dan memberikan permen itu. Ketika sang ayah memberikan permen itu kepada anaknya, sang anak pasti menerima, lalu ia mengucapkan terima kasih kepada ayahnya. Itulah anugerah. Seorang bapa gereja pernah mengatakan bahwa anugerah Allah harus dimengerti berkaitan erat dengan dosa. Orang tidak akan pernah mengerti seberapa besar anugerah Allah, ketika ia tak mengerti seberapa besar dosa yang diperbuat manusia. Ketika manusia berdosa, seluruh naturnya rusak total, sehingga Augustinus menyebutnya sebagai mati rohani. Kalau seseorang dikatakan mati rohani, apakah mungkin ia bisa tiba-tiba hidup kembali ? MUSTAHIL. Sehingga untuk menghidupkan kerohaniannya ini dibutuhkan anugerah Allah saja. Kalau ada peran aktif manusia di dalam karya keselamatan ini, saat itu bukan lagi disebut anugerah Allah. Berkali-kali Alkitab mengajarkan hal ini khususnya di Surat Roma dan Efesus : Roma 3:24-25 ; Efesus 1-2:9 ; dll, tetapi ayat-ayat ini sengaja diselewengkan artinya oleh Aquinas dan pengikutnya yang adalah beberapa orang “Kristen” non-Protestan untuk mengajarkan bahwa keselamatan diperoleh melalui iman + perbuatan baik. Kalau ajaran ini (mempengaruhi Arminianisme) “benar”, maka Allah seolah-olah “kewalahan” ketika manusia tidak meresponi anugerah-Nya ini melalui iman dan perbuatan baik, akibatnya keputusan di tangan manusia, bukan dari Allah. Kalau sampai demikian, apakah keselamatan murni merupakan anugerah Allah ? Silahkan pikirkan sendiri.
Di dalam hal pembenaran, Aquinas mengajarkan pembenaran subyektif, di mana Allah menjadikan kita benar dengan menginfusikan anugerah itu kepada kita (melalui sakramen-sakramen). Pembedaan dua hal ini jelas tidak diajarkan Alkitab. Alkitab mengajarkan bahwa penebusan Kristus diefektifkan oleh Roh Kudus di dalam hati dan pikiran umat pilihan-Nya sehingga mereka dapat berespon dengan beriman di dalam Kristus. Penebusan ini berfungsi ganda yaitu menyatakan kita benar di hadapan Allah (arti kata ini diambil dari konteks penghakiman/kerajaan), dan sekaligus menjadikan kita benar. Dengan kata lain, Alkitab mengajarkan bahwa pembenaran obyektif, di mana Allah menyatakan kita benar oleh karena penebusan Kristus di kayu salib. Bacalah Surat Roma secara teliti, maka Anda akan menemukan keindahan dan keagungan konsep pembenaran oleh iman ini.

Keenam, adanya sakramen dan orang-orang suci. Aquinas percaya anugerah Allah berupa 7 sakramen yang harus diterima oleh orang-orang percaya, sehingga sakramen dianggap sebagai sarana anugerah Allah. Orang yang tidak berbagian di dalam sakramen ini secara tidak langsung tidak menerima anugerah Allah, dan pasti binasa. Yang paling mengasihankan adalah penjahat di sebelah Tuhan Yesus yang bertobat, tetapi tidak pernah berbagian di dalam sakramen ini. Benarkah ajaran ini ? Tidak ada satu ayat Alkitab yang mengajarkan bahwa sakramen itu menyelamatkan. Yang menyelamatkan manusia adalah penebusan Kristus. Ketika ada anggapan yang mengajarkan bahwa sakramen menyelamatkan, secara tidak langsung, orang itu sedang menghina karya penebusan Kristus yang baginya belum cukup dan harus ditambah sakramen. Kedua, gereja-gereja Protestan yang sehat menetapkan 2 sakramen gereja yaitu Baptisan dan Perjamuan Kudus, karena kedua sakramen itulah yang ditetapkan sendiri oleh Tuhan Yesus (Lukas 22:19-20 ; Matius 22:19). Di dalam Kisah Para Rasul dan tradisi apostolik sendiri, Paulus atau Petrus dan para rasul lainnya tidak pernah menjalankan sakramen-sakramen lainnya kecuali Perjamuan Kudus (1 Korintus 11:23-31) dan Baptisan (Kisah 8:38).
Tentang orang-orang suci, Aquinas percaya bahwa merekalah yang melakukan sesuatu yang melebihi/melampaui hukum Allah. Ketika membaca bagian ini, saya terkejut. Apa artinya melakukan sesuatu yang melebihi hukum Allah ? Apakah berarti hukum Allah kurang lengkap sehingga ia perlu “menambahi”nya dengan tindakan-tindakan “positif” yang diklaim sebagai tindakan “suci”, misalnya bertarak/menyiksa diri, dll ? Padahal Alkitab sendiri yang mengajarkan, “Aku bersaksi kepada setiap orang yang mendengar perkataan-perkataan nubuat dari kitab ini: "Jika seorang menambahkan sesuatu kepada perkataan-perkataan ini, maka Allah akan menambahkan kepadanya malapetaka-malapetaka yang tertulis di dalam kitab ini. Dan jikalau seorang mengurangkan sesuatu dari perkataan-perkataan dari kitab nubuat ini, maka Allah akan mengambil bagiannya dari pohon kehidupan dan dari kota kudus, seperti yang tertulis di dalam kitab ini."” (Wahyu 22:18-19) Tuhan tidak bermain-main dengan barangsiapa yang menambah-nambahi firman-Nya, sehingga bagi saya, melakukan sesuatu yang melebihi/melampaui hukum Allah, itu bukan tindakan “suci”, tetapi tindakan yang tidak beres. Apa yang Tuhan tuntut, itulah yang harus dikerjakan manusia. Aquinas juga mengajarkan adanya jasa-jasa orang suci, bahkan Katolik Roma mengajarkan bahwa orang Katolik dapat berdoa kepada mereka, selain kepada Kristus dan Maria. Adakah Alkitab mengajarkan hal ini ? Adakah Alkitab mengajarkan bahwa Paulus menyuruh Timotius, anak rohaninya untuk berdoa kepadanya atau Petrus/Yohanes menyuruh muridnya untuk berdoa kepadanya ? TIDAK. Mereka semua adalah manusia yang harus berdoa bersama-sama kepada Allah di dalam Kristus melalui Roh Kudus. Berdoa kepada Maria pun tidak pernah diajarkan oleh Alkitab, sebaliknya Alkitab menceritakan bahwa Maria sendiri berdoa dan memuji Allah ketika ia melahirkan Kristus (Lukas 1:46-55).

Ketujuh (terakhir), dualisme antara orang-orang suci dan orang-orang awam. Karena pengajarannya tentang adanya orang-orang suci, maka Aquinas mendualismekan dua golongan orang yaitu orang-orang suci yang menerima panggilan khusus dari Allah untuk menyiksa diri di biara (asketisme/monatisisme), dan orang-orang awam/biasa yang tidak mendapatkan panggilan khusus dari Allah. Thomistis berpengaruh bahkan sampai di abad postmodern ini. Beberapa orang “Kristen” yang saya temui pun juga mengembangkan ide filsafat Yunani tentang dualisme (yang akhirnya juga dikembangkan oleh filsuf Immanuel Kant) sehingga ia pernah mengatakan bahwa agama dan ilmu tidak ada hubungannya. Secara tidak sadar, dualisme itulah yang menjadi “iman” orang “Kristen” yang saya temui ini. Di mana letak kelemahan ajaran ini ? Ajaran dualisme di dalam keKristenan jelas menyangkali beberapa ide dasar iman Kristen, yaitu :
(1) Para dualis (penganut dualisme) “Kristen” jelas-jelas menyangkali bahwa Allah itu Mahakuasa, karena mereka berpendapat bahwa Allah “hanya” menguasai hal-hal rohani, sedangkan hal-hal jasmani adalah urusan manusia.
(2) Para dualis “Kristen” jelas-jelas menyangkali otoritas Alkitab yang juga membicarakan hal-hal tentang pemerintahan (Roma 13:1-7), politik, ekonomi, dll, karena bagi mereka, Alkitab “hanya” berurusan dengan hal-hal rohani, dan bukan jasmani.
(3) Para dualis “Kristen” jelas menyangkali inkarnasi Kristus, di mana Kristus adalah Pribadi Allah yang menjelma menjadi manusia (dwi natur Kristus). Mengapa ? Karena para dualis Kristen mempercayai bahwa yang supranatural tidak ada hubungannya dengan natural, padahal hubungan itulah yang direkatkan di dalam inkarnasi Kristus.
(4) Para dualis “Kristen” jelas menyangkali keimaman orang percaya. Di dalam theologia Reformed yang ketat, kita percaya adanya mandat budaya. Artinya, setiap orang Kristen adalah imam Allah yang membawa kembali alam dan dunia sekeliling kita yang rusak akibat dosa ini kepada Allah sebagai Sang Pencipta dengan menebus alam dan dunia/kebudayaan (Kejadian 1:28 ; 2:15). Tidak mengerjakan mandat budaya berarti tidak menaati perintah Allah dan pada saat yang sama, ia sedang menghina Allah, seolah-olah “Allah” itu terkotak-kotak hanya pada dunia rohaniah/supranatural.
Lalu, bagaimana jalan keluarnya ? Alkitab tidak membedakan antara dua golongan orang yaitu suci dan awam. Semua orang Kristen sejati (baik hamba Tuhan maupun jemaat) adalah umat pilihan Allah yang di dalam theologia Reformed menjabat tiga fungsi yaitu sebagai : nabi, imam, dan raja. Sebagai nabi, ia berfungsi memberitakan firman Allah kepada umat manusia (dari atas ke bawah). Sebagai imam, ia harus membawa kembali dunia ciptaan kepada Allah (dari bawah ke atas). Dan sebagai raja, ia harus bertahta penuh di atas ciptaan Allah untuk memanfaatkan dan memeliharanya untuk kepentingan manusia dan akhirnya untuk memuliakan Allah. Tetapi meskipun demikian, ada beberapa orang yang dipanggil secara khusus oleh Tuhan untuk melayani secara penuh waktu baik untuk menggembalakan gereja, mengajar doktrin/theologia dan memberitakan Injil. Orang-orang inilah yang mengajar orang-orang lain yang tidak dipanggil khusus tentang theologia. Meskipun demikian, baik orang “awam” yang tidak dipanggil khusus, maupun orang-orang yang dipanggil khusus untuk melayani Tuhan secara penuh waktu, mereka semua tetap melayani Tuhan, selama mereka menerapkan prinsip-prinsip Firman Tuhan di dalam kehidupan mereka sehari-hari. Mengapa ? Karena melayani Tuhan bukan dikunci dalam pengertian melayani di mimbar gereja, berdoa, dll, tetapi semua kehidupan kita yang memuliakan Allah adalah ibadah (Roma 12:1). Percuma saja, seorang “pemimpin gereja” berkhotbah di mimbar, tetapi yang disampaikannya adalah “khotbah” tentang Aristoteles, Plato, Kong Fu-Tze, dll, dan bukan berita Kebenaran Firman Allah, mereka bukan sedang melayani Tuhan, tetapi melayani diri sendiri (self-centered service). Bertobatlah jika Anda termasuk salah satu dari mereka.


Penutup
Setelah menjelaskan tentang semangat Reformasi di dalam diri Augustinus dan musuh Kebenaran, baik Pelagianisme, Semi-Pelagianisme dan Thomistis, sadarkah kita bahwa Kebenaran itu begitu agung dan jauh melampaui rasio manusia yang terbatas ? Maukah kita hari ini berkomitmen untuk setia kepada Kebenaran dan memberitakan Firman Tuhan ketimbang filsafat-filsafat Yunani yang atheis ? Sekali lagi, biarlah peringatan Rasul Paulus ini menjadi pelajaran bagi kita, “...sekalipun kami atau seorang malaikat dari sorga yang memberitakan kepada kamu suatu injil yang berbeda dengan Injil yang telah kami beritakan kepadamu, terkutuklah dia.” (Galatia 1:8)

Kiranya Tuhan memberkati kita melalui perenungan Firman-Nya sehingga kita makin lama makin bertumbuh di dalam anugerah dan firman-Nya. Soli Deo Gloria. Solus Christus.


Daftar Kepustakaan :
Augustine of Hippo. (2005). Retrieved on October 20, 2005 from
http://en.wikipedia.org/wiki/Augustine_of_Hippo.
Hoffecker, W. Andrew. dan Gary Scott Smith. (Ed.). (2006). Membangun Wawasan Dunia Kristen (Volume 1 : Allah, Manusia dan Pengetahuan). (Peter Suwadi Wong, Trans.). Surabaya : Momentum Christian Literature.
Semi-Pelagianism. (2007). Retrieved on October 20, 2007 from
http://en.wikipedia.org/wiki/Semi-Pelagianism.
Thomas Aquinas. (2005). Retrieved on October 20, 2005 from
http://en.wikipedia.org/wiki/Thomas_Aquinas.