30 January 2008

TUHAN, AJARLAH KAMI MEMBERITAKAN FIRMAN-MU (Pdt. Billy Kristanto, Dipl.Mus., M.C.S.)

Tuhan, Ajarlah Kami Memberitakan Firman-Mu
(Sebuah Refleksi Pribadi Atas Panggilan Berkhotbah)


oleh : Pdt. Billy Kristanto, Dipl.Mus., M.C.S.



Judul di atas tidak pernah saya dengar secara langsung sebagai suatu doa yang dikatakan oleh pak Tong (Pdt. Dr. Stephen Tong, ed.). Namun yang pernah saya dengar adalah kesadaran akan ketidaksanggupan beliau ketika harus mengajar mata kuliah homiletika (ilmu berkhotbah, ed.), karena beliau sendiri berpendapat belum begitu bisa berkhotbah. Suatu kerendahan hati yang pura-pura supaya mendapat kemuliaan yang lebih tinggi? Saya kira tidak. Karena pengertian paradoks seperti ini tidak mungkin tidak beliau mengerti dari pengajaran Firman Tuhan sebagaimana diteruskan oleh para reformator.[1] Dan saya pikir pemahaman seperti ini bukan hanya cocok diterapkan untuk homiletika tapi juga untuk semua bidang yang lain.

Tulisan singkat ini tidak bermaksud untuk merepresentasikan homiletika yang diajarkan oleh pak Tong (lebih baik kita mendengar langsung dari beliau), namun sebagai suatu refleksi pribadi yang subyektif sifatnya, sejauh yang dapat saya cerna dan olah kembali. Saya akan mulai dari tiga, bahkan empat poin dasar yang seringkali dikatakan oleh pak Tong mengenai tugas khotbah.

Yang pertama, khotbah harus menyatakan otoritas dari Tuhan. Kita teringat perkataan Luther yang menyatakan bahwa seorang pengkhotbah setelah menyelesaikan khotbahnya tidak perlu meminta pengampunan mengenai kekurangan dan keterbatasannya, “for it is God’s Word and not (the preacher’s) and God ought not and cannot forgive it, but only confirm, praise, and crown it.”
[2] Kedengarannya seperti bertentangan dengan pemahaman paradoks di alinea pertama tadi, mengapa tiba-tiba menjadi congkak di sini? Bukan bertentangan, melainkan ini adalah pengertian paradoks yang lain lagi: seorang pengkhotbah yang baik perlu menyadari ketidakberdayaannya, untuk dapat mengerti bahwa kemahakuasaan Tuhanlah yang sedang bekerja pada saat ia berdiri di atas mimbar. Ia tidak perlu merasa sungkan dan minder akan kekurangannya, karena justru melalui jalan itulah kuasa Tuhan dinyatakan secara sempurna.[3] Alangkah sulitnya untuk mengerti kebenaran yang sangat sederhana ini. Kita menjumpai mimbar-mimbar yang begitu confidence memberitakan ajaran-ajaran sesat yang tidak berasal dari Firman Tuhan di satu sisi, dan di sisi yang lain pengkhotbah-pengkhotbah yang ‘minder’ dan ‘sungkan’ untuk menegur dosa mereka. Para pencari muka manusia seperti ini tidak mungkin sanggup untuk menyatakan kemuliaan wajah Tuhan yang berbicara melalui mimbar. Tidak ada otoritas, tidak ada penyertaan dari tempat yang tinggi.

Yang kedua, seorang pengkhotbah menyampaikan berita (message) yang relevan bagi pendengarnya. Ada perbedaan antara message dan information. Informasi hanya berupa data, tidak harus ada kaitan yang personal, juga tidak memiliki aspek momen waktu yang krusial. Sebaliknya, message sekalipun tidak harus selalu merupakan new insights, mungkin bahkan perkataan yang kita ‘sudah’ pernah mendengarnya, namun dibutuhkan pada saat itu, karena itu adalah sapaan pribadi dari Tuhan kepada masing-masing pendengar. Tidak ada salahnya dengan new insights yang menambah wawasan pengetahuan kita lebih luas dan kaya, namun ketika seorang menyampaikan Firman Tuhan, ia melakukan lebih daripada hal itu. Seorang pengkhotbah yang diurapi memiliki kepekaan rohani untuk membicarakan kalimat-kalimat yang menyelidiki hati manusia yang terdalam, sementara ia sendiri tidak tentu tahu pergumulan pendengarnya. Relevansi message yang disampaikannya didasarkan pada iman yang sederhana atas kemahatahuan Allah yang mengenal setiap kebutuhan domba-domba-Nya. Karunia nubuat seperti ini tentu adalah semata-mata pemberian Allah dan yang menjadi tanggung jawab si pemberita Firman adalah dia sendiri hidup bersama dengan domba-domba yang ia layani. Ia menderita dan terluka bersama dengan domba-dombanya. Ia sendiri menanggapi dan menggumuli hidupnya di hadapan Tuhan. Ia bukan mesin fotokopi dan ketika ia mengutip perkataan para orang saleh, ia dengan jujur dan tulus belajar untuk mencicipi kedalaman pergumulan jiwa mereka.

Yang ketiga, kuasa yang mengubah (transforming power). Seorang pengkhotbah yang diurapi Tuhan tidak sekadar tampil sebagai pembicara yang menarik. Menarik adalah satu hal, menyampaikan berita yang mengubah hati dan hidup manusia adalah hal yang lain lagi. Seorang pengkhotbah yang baik tidak mempedulikan apakah khotbahnya diterima dan diakui dengan baik atau tidak, melainkan ia mendorong semua pendengarnya untuk bertumbuh menjadi dewasa. Transforming power ini berkaitan erat dengan convincing power, sementara convincing power berkaitan dengan ketulusan dan kesungguhan kerinduan si pemberita untuk menaati apa yang ia sampaikan. Setiap pengkhotbah adalah orang berdosa yang selalu membutuhkan anugerah pengampunan Tuhan. Ia bukanlah orang yang sempurna dalam pengertian kesempurnaan yang mutlak kelak di sorga. Ia bahkan kadang juga gagal dalam kesaksian untuk menjadi teladan atas apa yang ia khotbahkan. Namun kesempurnaannya terutama terletak pada sikap hatinya yang menjadikan dirinya sendiri sebagai pendengar yang pertama terhadap khotbah yang disampaikannya. Bersama dengan orang-orang Puritan yang saleh, ia meneriakkan khotbah yang paling keras dan tajam kepada dirinya sendiri.

Yang keempat, dinamika. Ini mirip dengan apa yang sudah dibahas di atas tadi, yaitu kepekaan menangkap apa yang Tuhan mau katakan pada saat itu. Seorang pengkhotbah yang baik, mempersiapkan dengan baik khotbah yang akan disampaikannya. Ia bukanlah seorang yang ‘bergantung kepada kuasa Roh Kudus’ tanpa melakukan persiapan apa-apa. Lloyd-Jones (D. Martyn Lloyd-Jones, ed.) mengatakan agar setiap pengkhotbah mempersiapkan dengan baik khotbah yang akan disampaikan, “The great preachers have been men who prepared great sermons.
[4] (=Pengkhotbah agung telah menjadi orang yang mempersiapkan khotbah yang agung., ed.) Namun ketika ia berdiri di atas mimbar, ia harus mempersilakan Roh Kudus untuk memegang kontrol sepenuhnya atas setiap perkataan yang keluar dari mulutnya, “...though you may go into the pulpit with what you regard as an almost perfect sermon, you never know what is going to happen to it when you start preaching...[5] (=...meskipun Anda berdiri di atas mimbar dengan apa yang Anda anggap sebagai sebuah khotbah yang sempurna, Anda tidak pernah mengetahui apa yang akan terjadi ketika Anda mulai berkhotbah..., ed.) Dia sendiri menyaksikan bagaimana seringkali kalimat-kalimat yang terbaik yang diucapkan dalam khotbahnya justru merupakan kalimat yang tidak ada dalam persiapannya. Pengkhotbah yang terlalu bergantung pada persiapannya dan tidak terbuka pada pimpinan Roh Kudus secara mendadak di atas mimbar akan sulit untuk menyatakan dinamika ini. Sebaliknya, mereka yang hanya menantikan karya Roh Kudus namun tidak melakukan persiapan apa-apa adalah orang-orang yang tidak taat menjalankan bagian dan tanggung jawab yang dipercayakan Tuhan kepadanya.

Beberapa poin tambahan lagi yang dapat kita pelajari dari pak Tong mengenai tugas khotbah yaitu suatu prinsip sederhana seperti kita warisi dari para reformator. Seorang pengkhotbah hanya memberitakan Kitab Suci. Calvin mengatakan, “The Spirit will not be a maker of new revelations.
[6] Sekalipun demikian, tugas seorang pengkhotbah adalah “to expound the scripture in the midst of the worshipping Church, preaching in the expectancy that God will do, through his frail human word, what He did through the Word of His prophets of old, that God by His grace will cause the word that goes out of the mouth of man to become a Word that proceeds from God Himself, with all the power and efficacy of the Word of the Creator and Redeemer.[7] Keaslian (authenticity) seorang pengkhotbah bukanlah dalam pengertian ia memberitakan wahyu-wahyu baru yang tidak ada dan bahkan bertentangan dengan Alkitab, melainkan bahwa ia tetap setia memberitakan wahyu yang tua itu, namun yang senantiasa menjadi baru dan segar karena “as if men ‘heard the very words pronounced by God himself.[8] Seorang pengkhotbah yang baik bergumul agar jemaatnya tidak melihat wajah manusia yang berdosa, melainkan kemuliaan wajah Tuhan yang sedang berkata-kata pribadi kepada domba-domba-Nya.

Dalam kaitan ini, pak Tong juga mengatakan bahwa kita perlu belajar beriman dan percaya bahwa Roh yang telah menggerakkan para nabi dan para rasul memberitakan Firman Tuhan adalah Roh yang sama yang juga dapat menggerakkan kita. Di sini, kita teringat perkataan seorang Elisa sebelum Elia terangkat ke sorga, “Biarlah kiranya aku mendapat dua bagian dari rohmu.” (2Raj. 2:9) Sayang sekali, di kalangan gereja-gereja Protestan tidak banyak pemberita-pemberita Firman yang memiliki urapan dan kuasa yang besar. Pengkhotbah-pengkhotbah yang hanya berusaha untuk menyenangkan pendengar dan jemaatnya dan tidak mencari kepenuhan kuasa dan kehadiran Tuhan dalam pelayanannya tidak mungkin dapat hidup memperkenan serta menyenangkan hati Tuhan.

Berbeda dengan pengkhotbah legendaris seperti Dr. Andrew Gih, pak Tong tidak berusaha untuk membujuk (persuade) pendengarnya untuk menerima kebenaran Injil Yesus Kristus. Seringkali pada saat calling beliau mengatakan, “Sekarang saya memberikan kesempatan terakhir bagi mereka yang mau menerima Tuhan ... setelah itu kesempatan akan ditutup.” Injil dan Firman Tuhan bukanlah sesuatu yang perlu diobral, karena bukan Tuhan yang membutuhkan manusia, tapi manusialah yang membutuhkan Tuhan dan Firman-Nya. Seorang theolog menggambarkan khotbah Jonathan Edwards demikian, “Rather than attempt to persuade the unconverted, Edwards tried by means of his preaching, in addition to offering the Word, (1) to provide the optimal conditions and circumstances within which conversion might take place, (2) to offer the logical connections between guilt and repentance so that those who have been or are being converted might better understand what is happening to them, and (3) to prevent the misinterpretation of pseudo-religious experience, especially by those who believe they have experienced grace but have not.
[9] Seorang pengkhotbah yang baik tidak menyayangkan perasaan pendengarnya agar jangan sampai dibuat terluka. Alkitab mengatakan, “Sebab dukacita menurut kehendak Allah menghasilkan pertobatan yang membawa keselamatan dan yang tidak akan disesalkan, tetapi dukacita yang dari dunia ini menghasilkan kematian.” (2Kor. 7:10)

Mungkin poin yang terakhir, seorang pengkhotbah yang baik setiap kali berdiri di atas mimbar, melihatnya sebagai kesempatan yang pertama kali, sekaligus yang terakhir kalinya. Sebagai yang pertama kali sehingga ia boleh senantiasa menjaga perasaan ketidaklayakan dan ketidakmampuan, supaya ia terus-menerus belajar bergantung kepada kuasa Tuhan. Sebagai yang terakhir kali sehingga ia berusaha untuk memberikan yang terbaik yang dapat ia berikan. Lloyd-Jones dalam bukunya Preaching and Preachers mengutip perkataan terkenal Richard Baxter, “I preach as never sure to preach again and as a dying man to dying men.”[10] Kaitan erat antara eschatological consciousness dengan hidup yang menggunakan waktu dengan baik sudah dicatat dalam Alkitab (Ef. 5:16). Ketika seseorang belajar untuk selalu melihat setiap kesempatan sebagai kesempatan yang terakhir, ia akan mempunyai cara pandang yang berbeda dalam melakukan segala sesuatu dalam hidup ini.

Dalam tulisan yang singkat ini, saya berharap dapat menggambarkan dengan gamblang bahwa homiletika Pdt. Stephen Tong mewarisi semangat dan pengertian yang dapat kita telusuri dalam sejarah Gereja, mulai dari Perjanjian Lama, Perjanjian Baru, para reformator dan pengkhotbah-pengkhotbah yang diurapi Tuhan. Kiranya kita dengan rendah hati boleh belajar dari kehidupan Kristus sebagaimana dinyatakan dalam hidup hamba-hamba-Nya yang dikasihi-Nya. Sola Gratia. Sola Fide. Solus Christus. Soli Deo Gloria!


Sumber :
Handout khotbah Pdt. Billy Kristanto di sesi Worker di National Reformed Evangelical Convention (NREC) 2007.


Disalin ulang dan diedit oleh :
Denny Teguh Sutandio, S.S.
(proofreader di Momentum Christian Literature, Surabaya)



Profil Pdt. Billy Kristanto :
Pdt. Billy Kristanto, Dipl.Mus., M.C.S. lahir pada tahun 1970 di Surabaya. Sejak di sekolah minggu mengambil bagian dalam pelayanan musik gerejawi. Setelah lulus SMA melanjutkan studi musik di Hochschule der Künste di Berlin majoring in harpsichord (Cembalo) di bawah Prof. Mitzi Meyerson (1990-96).
Setelah lulus dari situ melanjutkan post-graduate study di Koninklijk Conservatorium (Royal Conservatory) di Den Haag, a conservatory with the largest early music department in the world (mempelajari historical performance practice). Belajar di bawah Ton Koopman, seorang dirigen, organis, cembalis dan musicolog yang sangat ahli dalam interpretasi karya J. S. Bach. Selain itu juga mempelajari fortepiano di bawah Prof. Stanley Hoogland.
Setelah lulus dari situ pada tahun 1998 pulang ke Indonesia, lalu melayani sebagai Penginjil Musik di Gereja Reformed Injili Indonesia (GRII) di Jakarta pada Februari 1999. Pada tahun yang sama memulai study Teologi di Institut Reformed di Jakarta. Lulus pada tahun 2002 dengan Master of Christian Studies. Sejak tahun 2002 sampai sekarang menjabat sebagai Dekan School of Music di Institut Reformed Jakarta serta menggembalakan jemaat Mimbar Reformed Injili Indonesia (MRII) Jerman : Berlin, Hamburg dan Munich. Beliau ditahbiskan menjadi pendeta sinode Gereja Reformed Injili Indonesia (GRII) pada Paskah 2005 dan saat ini sedang menyelesaikan studi doktoral di bidang filsafat di Universitas Heidelberg, Jerman. Beliau menikah dengan Suzianti Herawati dan dikaruniai seorang putri, Pristine Gottlob Kristanto.


[1] Bandingkan perkataan Paulus bahwa di antara orang berdosa, dialah yang paling berdosa (1Tim. 1:15).
[2] Luthers Works Vol. 41, American ed., ed. by Jaroslav Pelikan and Helmut T. Lehmann (St. Louis: Concordia Publishing House; Philadelphia: Fortress, 1958-86), 216.
[3] Bersama dengan Paulus, ia mengatakan, “Sebab jika aku lemah, maka aku kuat.” (2Kor. 12:10)
[4] D. Martyn Lloyd-Jones, Preaching and Preachers (Grand Rapids, Mich.: 1972), 79.
[5] Ibid., 80.
[6] Commentary on John 14:26, Calvini Opera Vol. 47, 334-335. Quoted in Haroutunian, Calvin: Commentaries, 397.
[7] Ibid.
[8] T. H. L. Parker, The Oracles of God: An Introduction to the Preaching of John Calvin (London and Redhill: Lutterworth, 1947), 50. Ia mengacu pada Calvini Opera Vol. 25, 646.
[9] Stephen R. Yarborough and John C. Adams, Delightful Convinction: Jonathan Edwards and the Rhetoric of Conversion, Great American Orators, no. 20 (Westport, Conn., and London: Greenwood, 1993), 10.
[10] Lloyd-Jones, Preaching and Preachers, 86.

Resensi Buku-40 : KRISTUS YANG TIADA TARA (Rev. DR. JOHN R. W. STOTT, CBE)

...Dapatkan segera...
Buku
INCOMPARABLE CHRIST (KRISTUS YANG TIADA TARA)

oleh : Rev. DR. JOHN R. W. STOTT

Penerbit : Momentum Christian Literature, 2007

Penerjemah : Ina Elia





Dunia postmodern adalah dunia yang dipenuhi dengan ide pluralisme dan universalisme yang menganggap segala sesuatu adalah sama. Selain itu, ide filsafat pragmatisme melahirkan banyak manusia mengeluarkan sesuatu/ide dengan tidak bertanggungjawab. Tidak heran, di zaman postmodern ini, buku The Da Vinci Code, “Injil” Yudas, “Injil” Thomas, dll bermunculan untuk menipu dunia tentang “kebusukan” Kristus. Mereka “boleh” saja menuduh dan memfitnah Kristus dengan keji, tetapi sebagai umat pilihan-Nya, sudah seharusnya kita lebih mengenal Kristus yang sebenarnya, yaitu Kristus yang tak dapat dibandingkan (atau Kristus yang tiada taranya) itu. Bagaimana caranya ? Caranya adalah melalui Alkitab dan belajar melalui sejarah bagaimana pandangan orang tentang Kristus (baik benar maupun salah) dan bagaimana Kristus mempengaruhi dunia. Hal inilah yang diuraikan oleh seorang pendeta, penginjil, theolog, pengkhotbah, apologet dan penafsir Alkitab terkenal di seluruh dunia, Rev. DR. JOHN R. W. STOTT. Dr. Stott menjelaskan finalitas Kristus dalam dua hal, yaitu : Kristus menurut Alkitab dan Kristus menurut dunia. Kristus menurut Alkitab adalah penguraian Dr. Stott tentang Pribadi Kristus di dalam Perjanjian Baru dari Injil Matius s/d Wahyu (dibahas pada Bab 1 dan 4), sedangkan Kristus menurut dunia adalah penguraian Dr. Stott tentang pribadi Kristus disoroti dari orang-orang dunia/Kristen sejak zaman bapa gereja, konsili gereja sampai formulasi iman di dalam Kongres Penginjilan, seperti Lausanne (dibahas pada Bab 2 : Yesus menurut Gereja/Yesus yang Lain) dan pribadi dan ajaran Kristus yang mempengaruhi orang-orang dunia, seperti Mahatma Gandhi, Ronald Allen, Joni Eareckson Tada, dll (dibahas pada Bab 4 : Yesus yang Berpengaruh/Kisah tentang Yesus). Banyak hal menarik dan memberikan pengertian dari buku Dr. Stott ini yang mungkin jarang dibahas oleh pengkhotbah siapapun. Biarlah buku ini menjadi bahan inspirasi dan peneguhan iman kita di tengah zaman postmodern yang menyuarakan pluralisme.







Profil Rev. DR. JOHN R. W. STOTT :
Rev. Dr. John Robert Walmsley Stott,
CBE adalah seorang pemimpin Kristen dari Inggris dan pendeta gereja Anglikan yang tercatat sebagai seorang pemimpin dari gerakan Injili di seluruh dunia. Beliau terkenal sebagai salah seorang penulis terpenting dari the Lausanne Covenant pada tahun 1974. Beliau lahir di London pada tahun 1921 dari Sir Arnold dan Lady Stott. Stott belajar modern languages di Trinity College, Cambridge di mana beliau lulus dengan dua gelar dalam bidang bahasa Prancis dan Theologia. Di universitas, beliau aktif di the Cambridge inter-collegiate Christian Union (CICCU).
Setelah ini, beliau berpindah ke
Ridley Hall Theological College (juga the University of Cambridge) sehingga beliau dapat ditahbiskan menjadi pendeta Anglikan pada tahun 1945 dan menjadi pembantu pendeta di the Church of All Souls, Langham Place (1945-1950) (website : www.allsouls.org) kemudian Pendeta (1950-1975). Beliau dipilih menjadi Pendeta bagi Ratu Inggris Elizabeth II (1959-1991) dan Pendeta luar biasa pada tahun 1991. Beliau menerima CBE pada tahun 2006 dan menerima sejumlah gelar doktor kehormatan dari sekolah-sekolah di Amerika, Inggris dan Kanada. Salah satunya adalah Lambeth Doctorate of Divinity pada tahun 1983.

Matius 8:23-27 : COMMITMENT AND TEMPTATION

Ringkasan Khotbah : 20 Februari 2005

Commitment and Temptation
oleh : Pdt. Sutjipto Subeno, M.Div.

Nats: Mat. 8:23-27



Kita sudah memahami bahwa mengikut Kristus bukanlah pengikutan yang bersifat fanatisme atau karena ingin mendapatkan keuntungan. Tidak! Ingat, serigala mempunyai liang, burung mempunyai sarang, tetapi Anak Manusia tidak mempunyai tempat untuk meletakkan kepala-Nya (Mat. 8:20). Mengikut Kristus haruslah dengan komitmen penuh dan motivasi murni. Kristus haruslah menjadi yang terutama sebab Dia adalah Raja atas segala raja, King of kings dan Sang Raja itu datang ke dalam dunia untuk menjadi tebusan bagi kita, manusia berdosa. Sayangnya, manusia berdosa yang egois tidak memahami kebenaran ini, manusia hanya memikirkan kenikmatan dirinya sendiri maka tidaklah heran kalau kebenaran yang sejati itu selalu bertentangan dengan konsep manusia. Ironisnya, manusia tidak menyadari kalau yang mereka anggap sebagai kebenaran tersebut justru berakibat pada kebinasaan.
Tuhan haruslah yang terutama kalau kita tidak dapat menjadikan Kristus sebagai yang terutama maka omong kosong kalau kemudian ia mengatakan bahwa ia beriman dan menjadikan Kristus sebagai Tuhan atas dirinya. Tuhan tidak ingin ada ilah lain di hadapan-Nya sebab hal itu menjadi perzinahan rohani. Kristus berhak untuk diikuti sebab Dia adalah Raja atas segala raja dan Dia adalah penguasa alam semesta yang mempunyai kedaulatan penuh atas seluruh ciptaan-Nya. Dan hal ini ditunjukkan oleh Matius melalui kisah Tuhan Yesus meredakan angin ribut. Kita telah memahami sebelumnya bahwa Injil Matius tidak ditulis berdasarkan urutan sejarah sebab itu bukan tujuan Matius. Peristiwa Tuhan Yesus meredakan angin ribut ini sesungguhnya terjadi lebih dahulu, yakni sebelum Tuhan Yesus berbicara dengan Ahli Taurat dan murid-Nya tentang hal mengikut Dia. Namun Matius meletakkannya terbalik, Matius ingin mengkaitkan bahwa setelah orang memutuskan untuk menjadi pengikut Kristus maka kini ia harus mengikut Kristus (ay. 23).
Ketika Yesus dan para murid naik ke dalam perahu, sekonyong-konyong datanglah angin ribut. Angin ribut disini bukanlah angin keras biasa sebab sebagian besar murid Kristus yang notabene seorang nelayan yang biasa menghadapi badai dan gelombang pun menjadi takut, panik, dan kuatir. Hal ini membuktikan bahwa badai tersebut berada di luar batas mereka. Bukankah reaksi yang ditunjukkan oleh para murid ini juga menjadi gambaran diri setiap kita, ketika badai dan gelombang, yakni kesulitan itu datang menerpa maka orang tidak lagi dapat melihat kesulitan itu sebagai ujian iman dan memandangnya sebagai kebahagiaan tetapi orang justru ingin cepat menyelesaikan menurut caranya sendiri sebab mata kita selalu tertuju pada realita.
Tuhan Yesus menegur mereka dengan keras: “Mengapa kamu takut, kamu yang kurang percaya.“ Kata “kurang percaya“ disini berarti orang yang beriman kecil sebab apa yang menjadi komitmen kita belum menjadi iman yang sejati terbukti badai gelombang tidak menjadikan kita semakin beriman namun justru membuat kita takut dan kuatir. Badai gelombang yang bergolak dengan begitu dahsyat langsung berhenti dan danau menjadi teduh sekali itu ketika Tuhan Yesus menghardiknya. Secara logika, orang sukar untuk mengerti, orang seharusnya menyadari bahwa Yesus adalah Allah pemilik alam semesta sebab angin dan danau pun taat kepadanya. Adalah anugerah dan menjadi sukacita tersendiri bagi kita kalau Tuhan, Pemilik dan Penguasa alam semesta ini berkenan memanggil dan menjadikan kita sebagai murid-Nya, sayang, iman kita terlalu kecil, maka tidaklah heran kalau kita tidak dapat melihat Tuhan sedang bekerja dengan ajaib dan heran untuk itu kita harus memahami:
1. Mengikut Kristus bukan tanpa kesulitan.
Tuhan tidak pernah berjanji bahwa kalau kita mengikut Kristus, Raja di atas segala raja itu maka kita tidak akan pernah mengalami kesulitan dan penderitaan. Tidak! Jangan tertipu dengan ajaran bidat yang mengajarkan bahwa, Tuhan itu Maha Dahsyat maka menjadi murid Tuhan yang Maha Dahsyat itu, kita pasti tidak akan pernah mengalami penderitaan. Pertanyaannya adalah kalau Tuhan Maha Dahsyat, apakah kita dapat mengatur Dia sedemikian rupa menuruti semua keinginan kita? Tidak! Tuhan yang harus menjadi pemegang kuasa tertinggi dan Dia berkuasa atas hidup manusia; tidak ada siapapun atau apapun di dunia ini yang dapat memimpin dan mengarahkan hidup kita. Ketika Tuhan Yesus mengajak murid-murid-Nya ke danau, Tuhan Yesus pasti tahu akan datang gelombang yang menerpa dan Tuhan Yesus tidak menghindarkan murid-murid-Nya dari bahaya itu. Tuhan sengaja membiarkan murid-murid-Nya menghadapi gelombang, Tuhan Yesus tidur nyenyak di buritan ketika gelombang besar itu mengombang-ambingkan perahu. Sesungguhnya, Tuhan Yesus ingin menguji iman para murid namun murid-murid ingin supaya Yesus segera menyelesaikan masalah mereka. Bukankah kita seringkali juga demikian? Kita ingin supaya Yesus segera mengangkat semua kesulitan hidup dan hal ini juga menjadi teriakan nabi Habakuk. Berapa lama lagi, Tuhan, aku berteriak, tetapi tidak Kaudengar, aku berseru kepada-Mu: “Penindasan!“ tetapi tidak Kau tolong? (Hab. 1:2). Kalau Tuhan diam bukan berarti Tuhan tidak peduli. Tuhan tidak langsung bertindak karena Tuhan ingin supaya anak-anak-Nya mempunyai kekuatan sehingga kita bisa menghadapi berbagai-bagai kesulitan.
Di dalam kehidupan Kristen, kita seringkali dilumpuhkan oleh ajaran-ajaran palsu yang mengajarkan bahwa kita akan menjadi kaya dan sukses, kita tidak akan sakit. Kalaupun kita mengalami sakit, berarti ada dosa yang telah kita perbuat maka segeralah meminta ampunan pada-Nya. Setelah melihat begitu banyak mujizat yang dilakukan oleh Kristus, murid-murid seharusnya tahu bahwa pastilah kapal itu tidak akan tenggelam sebab ada Yesus di dalam perahu. Tapi sayang, para murid kurang beriman, mereka justru menjadi panik dan kuatir. Sesungguhnya, melalui kesulitan dan penderitaan itu Tuhan ingin menjadikan anak-anak-Nya dewasa, mature. Sayangnya, hari ini banyak orang Kristen ingin menjadi “bayi rohani“ yang segala sesuatunya selalu minta diperhatikan. Celakanya, dunia mengerti tentang perlunya pertumbuhan fisik yang diikuti dengan kedewasaan mental namun orang Kristen justru tidak memahami pentingnya kedewasaan rohani.

2. Mengikut Kristus dilatih menjadi dewasa.
Pengikut Kristus sejati haruslah kuat menghadapi kesulitan dan ingat, ada Tuhan bersama dengan kita, Dia tidak akan membiarkan kita sendiri menghadapi semua kesulitan. Realita ini seharusnya memberikan kekuatan kepada kita untuk melangkah dalam dunia. Tuhan tahu sampai dimana batas kita mampu menghadapi kesulitan. Tuhan tidak akan membiarkan kita dicobai sedemikian rupa sampai di luar batas kemampuan kita. Tuhan tahu sampai dimana batas kemampuan para murid-murid itu menghadapi gelombang karena itu Tuhan tidak tinggal diam, Dia langsung menghardik angin itu. Jangan pernah berpikir bahwa orang yang banyak mengalami mujizat Tuhan itu karena ia mempunyai iman yang besar. Tidak! Justru sebaliknya, orang yang senantiasa selalu ditolong Tuhan menunjukkan imannya kerdil. Seharusnya ia malu sebab ia tidak mempunyai daya juang untuk menghadapi kesulitan. Perhatikan, ketika iman itu sampai pada titik puncak maka Tuhan menunjukkan bahwa kita mempunyai kekuatan pertahanan yang sangat besar.
Hal ini sangat kontras kalau dibandingkan dengan Tuhan Yesus sendiri ketika Ia harus menghadapi penderitaan yang begitu besar, “Bapa, kalau boleh cawan ini lalu daripada-Ku“. Tuhan tidak minta supaya Bapa mengangkat cawan itu. Kesulitan hidup yang Tuhan perkenankan untuk kita lewati dimana kesulitan itu bukan sebagai akibat dari perbuatan dosa kita maka biarlah kita meneladani sikap Yesus:“Biarlah, kehendak-Mu saja yang jadi“. Jiwa seperti inilah yang harus ada dalam diri mereka yang menyebut diri sebagai murid Kristus sejati, yaitu taat mutlak pada kehendak Tuhan dan rela menghadapi kesulitan karena kita tahu semua penderitaan itu dimaksudkan demi untuk kebaikan kita, yakni pendewasaan iman dengan demikian kita dapat menjadi saksi bagi dunia.
Ironis, hari ini orang justru berpikir terbalik, seorang bayi dianggap dewasa. Seperti halnya orang yang diberikan karunia berbahasa Roh dianggap karena mereka mempunyai iman yang besar. Tidak! Karunia bahasa Roh itu diberikan untuk orang yang tidak beriman (1Kor. 14:22). Sayang, banyak orang Kristen yang melewatkan ayat ini. Mengikut Kristus berarti rela dipimpin oleh Kristus dan ingat, pimpinan Tuhan akan menjadikan kita dewasa. Jangan takut, Tuhan tahu sampai dimana batas kemampuan kita dapat menanggung penderitaan sebab Tuhan tidak akan menguji kita melampaui kekuatan kita dan percayalah, pada waktu kita dicobai, Ia akan memberikan jalan keluar, sehingga kita dapat menanggungnya (1Kor. 10:13). Tuhan tahu, Ayub adalah seorang beriman besar karena itu Tuhan mengijinkan ia dicobai oleh iblis; Ayub harus mengalami kesulitan dan penderitaan. Maka dapatlah dibayangkan, orang Kristen karismatik atau mereka yang ikut dalam gerakan neo pantekostalisme pastilah akan meninggalkan Tuhan ketika ia mengalami kesulitan seperti Ayub. Tuhan tahu sampai dimana kapasitas iman Ayub maka ketika iman Ayub mulai goyah, Ayub mulai mengutuki hari kelahirannya karena saudara-saudara seimannya, maka Tuhan mulai bertindak. Tuhan memulihkan keadaan Ayub; Tuhan memberkati Ayub dengan mengembalikan seluruh hartanya dengan berlipat-lipat. Di dunia modern, iman Kristen telah dirusak oleh berbagai macam ajaran-ajaran palsu maka tidaklah heran kalau anak-anak Tuhan tidak mempunyai daya untuk menghadapi gelombang yang dahsyat, orang Kristen tidak mempunyai iman yang cukup untuk kita bisa tahu rencana Tuhan yang indah di balik gelombang itu dan dimana kekuatan kita. Tuhan membiarkan kita masuk dalam berbagai-bagai kesulitan untuk mendidik dan melatih supaya mempunyai kedewasaan rohani. Pikiran Tuhan lebih tinggi dari pikiran manusia, Dia melihat yang tidak dapat kita lihat.
3. Mengikut Kristus disiapkan untuk melakukan perkara besar.
Setelah Tuhan Yesus menyelesaikan misi-Nya di dunia, maka tanggung jawab pelayanan berada di tangan murid-Nya karena itu iman mereka harus dilatih terlebih dahulu. Akan tetapi, seringkali orang tidak siap untuk dididik Tuhan, kita tidak siap dengan berbagai-bagai kesulitan. Bagaimana mungkin buah zaitun akan menghasilkan minyak kalau tidak ditekan atau buah anggur akan menjadi arak kalau tidak diperas? Kita sepatutnya mengucap syukur kalau Tuhan masih berkenan mendidik kita dengan luar biasa, kita boleh mengalami pengalaman indah berjalan bersama dengan Tuhan. Seringkali, ketika kesulitan itu datang kita tidak pernah memandangnya sebagai ujian iman, kita hanya melihat ujian itu sebagai beban yang harus kita tanggung padahal Tuhan mau memakai kita menjadi alat-Nya untuk berbagian dalam pekerjaan-Nya. Siapakah kita sehingga Tuhan berkenan memakai kita, manusia berdosa dan terbatas ini dipakai menjadi alat-Nya sehingga menjadi saluran berkat bagi banyak orang?

Setiap hari kita telah merasakan anugerah Tuhan telah memelihara hidup kita dan kita melihat dan merasakan mujizat Tuhan yang bekerja dengan luar biasa bahkan sangat sukar dimengerti logika manusia. Pertanyaannya apakah pimpinan Tuhan yang begitu dahsyat atas kita tersebut belum cukup membuktikan bahwa Tuhan menyertai kita. Ingat, Tuhan tidak pernah tidur, Dia tidak pernah meninggalkan kita walau sedetikpun, Dia ada di dalam kapal. Apakah kita masih kurang percaya? Apakah kita masih beriman kerdil? Kalau sampai detik ini, kita dapat melewati kesulitan, ingat, itu karena Tuhan yang memimpin. Tuhan ingin membentuk kita melalui latihan-latihan iman, tanpa latihan tidak ada pertumbuhan iman dan terkadang Tuhan memang membiarkan kita menghadapi kesulitan itu sampai di titik kritis sehingga kita dapat merasakan mujizat Tuhan yang ajaib. Biarlah kita mulai belajar untuk dilatih Tuhan dengan demikian kita bertumbuh dalam iman dan itu menjadikan kita bersemangat dan mempunyai kekuatan untuk mengerjakan pekerjaan Tuhan yang besar.
Jangan takut, Tuhan ada di kapal bersama-sama dengan kita, di saat gelombang itu datang, mungkin kita merasa lelah dan letih karena telah bekerja keras berusaha mengeluarkan air dari kapal supaya tidak tenggelam namun percayalah, ketika kita telah berada di ambang batas kekuatan kita maka Tuhan akan menolong tepat pada waktu-Nya. Seorang pengikut Kristus bukan berarti kita dilewatkan dari badai, angin menjadi tenang dan kapal kita akan melaju dengan lancar. Tidak! Kita seharusnya makin bersyukur kalau Dia berkenan membawa kita ke dalam kesulitan-kesulitan yang berat. Jangan mudah ditipu oleh gejala jaman yang berpendapat bahwa dunia semakin hari semakin enak karena setiap manusia egois yang hanya memikirkan kesejahteraan diri sendiri. Biarlah konsep kita diubahkan dengan demikian kita mempunyai kekuatan iman. Karena itu jadilah kuat di dalam Tuhan sehingga kita bisa menjadi saksi Tuhan di tengah dunia dan menolong mereka yang lemah iman dan tidak ada pengharapan. Amin.

(Ringkasan khotbah ini belum diperiksa oleh pengkhotbah)
Sumber :

Roma 5:6-11 : PENDERITAAN YANG BERHARGA-2

Seri Eksposisi Surat Roma :
Hasil Pembenaran Melalui Iman-3


Penderitaan yang Berharga-2 :
Pengharapan dan Teladan dari Penderitaan Kristus

oleh : Denny Teguh Sutandio


Nats : Roma 5:6-11.

Setelah Paulus menjelaskan tentang hasil dari pembenaran yang kedua yaitu kesengsaraan (Roma 5:3-5), ia melanjutkan pembahasannya dengan memberikan teladan dan pengharapan penderitaan yang Kristus alami sebagai alasan mengapa penderitaan karena nama Kristus itu berharga. Ingatlah, setiap orang Kristen yang sungguh-sungguh mau mengikut Kristus harus menyangkal diri, memikul salib dan mengikut-Nya (Matius 16:24). Penderitaan adalah harga yang harus kita tanggung di dalam mengikut Kristus. Meskipun demikian, sebagai anak-anak-Nya, kita dijamin oleh-Nya bahwa di dalam penderitaan, penderitaan Kristus yang telah mengalahkan maut menjadi pengharapan masa depan yang indah yang akan menanti kita sekaligus teladan bagi penderitaan yang kita alami. Mari kita merenungkan kedua poin ini di dalam ayat 6-11. Di dalam keenam ayat ini, Paulus membagi enam prinsip penderitaan penebusan Kristus sebagai teladan dan pengharapan bagi kita yang menderita karena nama Kristus.

Pertama, penderitaan Kristus ditujukan untuk orang-orang berdosa (lemah dan durhaka). Di dalam ayat 6a, Paulus menguraikan, “Karena waktu kita masih lemah, Kristus telah mati untuk kita orang-orang durhaka…” Di dalam bagian ini, Paulus langsung menunjukkan status dan kondisi kita yang berdosa. Pertama, kondisi lemah. “Karena waktu kita masih lemah” dalam Alkitab terjemahan King James mengartikannya, “For when we were yet without strength…” International Standard Version (ISV) menerjemahkannya powerless (=tidak ada kekuatan). Dengan kata lain, “lemah” berarti tanpa kekuatan (strengthless bisa diterjemahkan sick/sakit, impotent/tidak bertenaga, dll). Ini adalah kondisi kita ketika jatuh ke dalam dosa. Dosa mengakibatkan kita lemah, tak bertenaga apapun untuk berbuat sesuatu yang baik. Dengan kata lain, dosa mematikan keinginan kita untuk menyenangkan Allah. Mengapa ? Karena dosa adalah ketidaktaatan terhadap perintah-Nya atau menyelewengnya kita dari sasaran Allah. Paulus di dalam Roma 7:18 menuturkan, “Sebab aku tahu, bahwa di dalam aku, yaitu di dalam aku sebagai manusia, tidak ada sesuatu yang baik. Sebab kehendak memang ada di dalam aku, tetapi bukan hal berbuat apa yang baik.” Paulus menuliskan hal ini di dalam perikop tentang perjuangan hukum Taurat dan dosa. Di dalam bagian ini, ia menjelaskan bahwa meskipun hukum Taurat itu baik bagi umat-Nya, tetapi ketika kita masih hidup di dalam dunia ini, dosa terus melekat di dalam kita sehingga ketika kita ingin berbuat sesuatu yang menyenangkan Allah, ternyata kita malahan mendukakan hati-Nya (Roma 7:19-20). Itulah kuasa dosa yang terus membuat kita mendukakan hati-Nya. Kedua, status orang durhaka. Paulus mencatat hal ini di dalam ayat 6a di atas dengan menggunakan terjemahan ungodly di dalam KJV yang dalam bahasa Yunaninya asebēs berarti irreverent, that is, (by extension) impious or wicked: - ungodly (man). (=tidak sopan, yaitu, (secara perluasan) tidak beriman/berTuhan atau jahat : orang yang tak berTuhan.) Dengan kata lain, ketika kita jatuh ke dalam dosa, status kita langsung disebut “tidak berTuhan” dan “jahat”. Itulah status yang kita layak tanggung akibat ketidaktaatan manusia pertama. Kalau secara kondisi, kita lemah dan tak berdaya dalam menghadapi dosa, maka secara status, kita lebih kejam lagi yaitu benar-benar menyetujui adanya dosa dan melawan Allah, sehingga disebut “tidak berTuhan”. Di sini, status kita melebihi kondisi kita. Bagaimana dengan realita dunia kita ? Dunia postmodern yang kita hidupi saat ini mulai membalikkan/meniadakan realita ini dengan mengajarkan bahwa di dalam diri kita ada kekuatan besar yang berdiam (giant power/force dwells in us). Ajaran ini dipengaruhi oleh Gerakan Zaman Baru dengan ide man is god (manusia adalah “allah”). Dan anehnya, ajaran gila ini rupanya telah merasuki dunia pendidikan (khususnya manajemen), psikologi, dan bahkan di dalam keKristenan. Alhasil, tidak heran, kita melihat seorang Tung Desem Waringin, Andrie Wongso, dll laris diundang bahkan di sebuah kampus “Kristen” swasta terkenal di Surabaya, bahkan dipopulerkan di dalam keKristenan (oleh beberapa dosen “Kristen) dan “gereja” melalui buku-buku Berpikir Positif dari Norman Vincent Peale, David Yonggi Cho, Robert H. Schuller, Zig Ziglar (buku terkenalnya : “Smile” dipakai sebagai bahan “renungan” oleh seorang dosen “Kristen” yang adalah istri “pendeta” emeritus GKI Pregolan Bunder, Surabaya di dalam setiap perkuliahannya di salah satu kampus “Kristen” swasta terkenal di Surabaya), dll. Orang-orang Kristen terus-menerus diindoktrinasi bahwa mereka itu hebat, pintar, mampu, bijaksana, dll dan mulai disimpangkan/diselewengkan dari berita Alkitab bahwa manusia itu berdosa. Itu adalah tipu daya setan yang mulai meracuni keKristenan, tetapi sayangnya banyak orang “Kristen” masih tertidur oleh bujuk rayu si setan dan tidak mau kembali kepada Alkitab. Sudah saatnya, para kaum pilihan-Nya sadar dari tipu daya si setan, bertobat dan kembali kepada Alkitab sebagai satu-satunya kebenaran mutlak. Alkitab mengajarkan bahwa kita berdosa, dan itu harus kita amini dan sadari. Kesadaran tentang dosa adalah titik awal nantinya kita bisa bertobat. Ketika kita tidak menyadari dosa ini, kita tidak mengerti untuk apa kita bertobat dan lebih parah kita tidak mengerti untuk apa Kristus mau mati bagi dosa-dosa kita. Kembali, semua status dan kondisi kita yang berdosa ternyata menemui kebuntuan. Tidak ada seorangpun yang dapat melepaskan kita (sekalipun para utusan Allah) dari status dan kondisi kita ini. Lalu, adakah jalan keluarnya ? Puji Tuhan, Paulus di dalam ayat 6a menyatakan bahwa bagi kita yang masih lemah dan durhaka ini, Kristus telah mati untuk kita. Kematian Kristus menunjukkan bahwa ada pengharapan dan jalan keluar dari masalah yang kita hadapi yaitu status dan kondisi kita yang berdosa. Selain pengharapan, kematian Kristus juga harus menjadi teladan bagi kita yang harus terus-menerus mematikan dosa di dalam diri kita. Di dalam Efesus 4:17-32, Paulus dengan gamblang memaparkan bahwa kita sebagai manusia baru harus hidup lebih memuliakan Allah daripada ketika kita masih seteru Allah (manusia lama). Rasul Yohanes juga mengingatkan kita, “Setiap orang yang lahir dari Allah, tidak berbuat dosa lagi; sebab benih ilahi tetap ada di dalam dia dan ia tidak dapat berbuat dosa, karena ia lahir dari Allah.” (1 Yohanes 3:9) Dengan kata lain, “mematikan dosa” sama dengan menyangkal diri. Menyangkal diri tidak berarti kita tidak boleh memiliki keinginan sama sekali. Inilah kekeliruan terbesar dan terkonyol di dalam agama dari Timur yang mengajarkan bertarak diri (askese). Kalau kita tidak boleh memiliki keinginan, berarti kita pun tidak boleh mengingini untuk masuk nirwana (menurut agama itu). Itu logika yang tepat, tetapi herannya sambil mengajarkan bahwa kita tidak boleh memiliki keinginan, agama ini juga mengajarkan bahwa setiap orang bisa menjadi “allah”. Sungguh suatu logika yang tidak masuk akal. Kembali, menyangkal diri berarti kita berani mengatakan “tidak” kepada setiap keinginan kita yang negatif (dan beberapa keinginan positif) untuk disesuaikan dengan kehendak dan kedaulatan Allah. Di dalam proses menyangkal diri, baiklah kita terus-menerus dipimpin dan disucikan oleh Roh Kudus.

Kedua, penderitaan Kristus ditentukan oleh Allah. Kalau kita kembali pada ayat 6, pada enam kalimat terakhir, Alkitab LAI menyebutkan, “pada waktu yang ditentukan oleh Allah.” Kalimat ini tidak dapat kita jumpai pada KJV yang hanya menyebut “in due time”. ISV juga hanya menyebutkan, “at just the right time” English Standard Version menyebutkan hal yang sama, “at the right time” Di sini, LAI menambahkan kata “Allah” menunjukkan bahwa kematian Kristus bukan ditentukan oleh manusia atau Kristus dapat disalib gara-gara Yudas menjual-Nya (seolah-olah tanpa Yudas, Kristus tak mungkin disalib atau Allah Bapa “bingung” memilih sarana lain untuk membuat Kristus disalib). Hal tersebut tidak pernah ada dalam “kamus” Alkitab/Allah, karena Allah kita adalah Allah yang sejati yang berdaulat yang merencanakan segala sesuatu dan kita mempercayai bahwa rencana-Nya pasti berhasil karena Ia adalah Allah yang layak dipercaya (trust-worthy God). Kalau kita mempercayai kepada “Allah” yang “plin-plan”, jujur, itu bukan Allah yang diajarkan dan diberitakan oleh Alkitab, tetapi diajarkan oleh para pemuja postmodernisme, open theism, pluralisme, dan sejenisnya yang pura-pura memakai plang “Kristen” ! Kembali, ketika kita mengerti bahwa penderitaan Kristus ditentukan oleh Allah, kita dapat belajar beberapa prinsip, yaitu pertama, penderitaan Kristus menjadi pengharapan bahwa bukan karena kita yang minta diselamatkan baru Allah menyelamatkan, tetapi Allah yang merencanakan keselamatan, Dia jugalah yang menggenapinya di dalam Pribadi Kristus. Kedua, penderitaan Kristus menjadi teladan bagi kita yang harus menyangkal diri bahwa penderitaan yang kita alami itu juga atas kehendak Allah/diizinkan Allah untuk menguji iman kita di dalam mengikut-Nya. Rasul Petrus di dalam 1 Petrus 4:14 mengajarkan, “Berbahagialah kamu, jika kamu dinista karena nama Kristus, sebab Roh kemuliaan, yaitu Roh Allah ada padamu.” Kata “berbahagialah” di dalam ayat ini sama dengan kata “berbahagia” yang diucapkan oleh Tuhan Yesus di dalam Matius 5:3-11 (khususnya ayat 10) yang dalam bahasa Yunaninya makarios bisa berarti “diberkatilah” (blessed). Khususnya di Indonesia, kita membaca banyak berita bahwa banyak gereja dibakar, izin pembangunan gereja dipersulit dengan berjuta alasan yang tidak masuk akal (tetapi kalau membangun tempat ibadah agama mayoritas dipermudah, bahkan banyak yang tidak pakai IMB/Izin Mendirikan Bangunan), dll. Itu semua adalah bentuk penderitaan yang harus ditanggung ketika kita berkomitmen menjadi pengikut Kristus sejati. Menjadi orang “Kristen” kampungan dan murahan (pseudo-Christians) itu mudah, karena tidak usah memikul salib (kalau perlu meng“amin”i apa yang dicetuskan oleh para penganut “theologia” kemakmuran bahwa orang “Kristen” adalah anak “raja” yang pasti kaya, sukses, diberkati, sembuh, bahkan tidak pernah digigit nyamuk), tetapi kalau kita sungguh-sungguh mau mengikut Kristus (the true Christians), kita harus rela menanggung aniaya karena seperti Kristus yang telah difitnah, dianiaya, dll, kita pun sebagai pengikut sekaligus murid-Nya pun harus mengalami hal yang sama, selain itu karena kita harus menTuhankan Kristus bukan men”Tuhan”kan penguasa, dan hal-hal palsu lainnya.

Ketiga, penderitaan Kristus ditujukan untuk menggantikan kita yang masih berdosa ® substitusi (ayat 7-8). Poin ketiga ini kelihatannya sama dengan poin pertama, tetapi pada poin ini saya menitikberatkan pada kematian Kristus yang menggantikan (substitusi). Pada ayat 7, Paulus berkata, “Sebab tidak mudah seorang mau mati untuk orang yang benar--tetapi mungkin untuk orang yang baik ada orang yang berani mati--.” “Orang yang benar” dalam terjemahan KJV adalah a righteous man, dalam bahasa Yunaninya menggunakan kata dikaios yang bisa berarti adil benar. Lalu, siapakah orang adil/benar yang Paulus maksudkan ? Dari tafsiran Adam Clarke dalam Adam Clarke’s Commentary on the Bible, kita mendapatkan sedikit latar belakang tradisi Yudaisme bahwa orang-orang Yahudi membedakan empat macam orang, di mana orang macam pertama dari empat macam orang tersebut disebut orang yang adil (a just man) yang mengatakan, “what is mine, is my own; and what is thine, is thy own.” (=apa yang menjadi milikku adalah milikku ; dan apa yang menjadi milikmu, adalah milikmu.) Adam Clarke mengatakan, “These may be considered the just, who render to every man his due; or rather, they who neither give nor take.” (=Orang ini dapat disebut orang adil, yang memberikan kepada setiap orang haknya masing-masing ; atau lebih baik, mereka tidak memberi atau mengambilnya.) Dari tafsiran ini, saya berani menyimpulkan bahwa a just man sebenarnya adalah orang yang merasa diri “benar” dan “layak”, tetapi sebenarnya tidak mampu. Mengapa saya berani mengambil kesimpulan demikian ? Karena seperti yang diungkapkan Clarke, a just man menunjuk kepada orang yang selalu menuntut keadilan tetapi tidak mengerti sesuatu yang melampaui keadilan yaitu kasih yang tanpa syarat (unconditional love). Kasih dan keadilan tidak bisa dipisahkan, karena itu saling terkait. Bagi mereka yang seolah-olah merasa diri “benar”, Tuhan melalui Paulus berkata bahwa itu adalah hal yang sulit khususnya di dalam pengorbanan Kristus yang bersifat mengganti. Mengapa ? Karena a just man selalu merasa diri “layak”, “tak berdosa”, dll lalu kalaupun ia melakukan sesuatu yang salah/berdosa, maka ia dengan sombongnya akan berjuang sendiri untuk melepaskan/keluar dari jurang kesalahan/dosan. Terhadap orang inilah, Kristus sulit mau berkorban bagi/menggantikan posisi mereka. Tetapi meskipun sulit, Kristus rela melakukannya karena kematian-Nya membuktikan cinta kasih Allah kepada dunia yang jauh melampaui konsep keadilan manusia (Yohanes 3:16 ; Roma 5:8). Apa yang Kristus kerjakan berbeda total dari apa yang manusia dunia lakukan. Hal ini ditunjukkan Paulus dengan membedakan konsep substitusi di dalam pengorbanan Kristus dengan tindakan orang yang mau mati bagi orang yang baik. Tindakan pertama yaitu tindakan pengorbanan Kristus adalah tindakan yang mulia dan dimotivasi oleh cinta yang tanpa bersyarat yang tak memerlukan balas jasa apapun dari siapapun juga (karena manusia yang olehnya Kristus mati tidak memiliki daya/jasa baik yang cukup syarat untuk membalas kasih Allah), sedangkan tindakan kedua adalah tindakan yang seolah-olah kelihatan “berkorban”, tetapi sebenarnya mau meminta balas jasa (karena orang ini mati bagi orang yang mati yang akan membalas jasanya). Penderitaan Kristus ini menjadi pengharapan bagi kita yang berada di dalam penderitaan bahwa kita memiliki Kristus yang sudah menggantikan kita yang seharusnya berdosa. Sudah seharusnya kita tidak lagi arogan lalu berkata bahwa kita bisa menyelesaikan dosa kita sendiri. Itu adalah tindakan atheis yang menghina karya penebusan Allah. Kita sebagai umat pilihan-Nya yang telah ditebus harus terus-menerus bersyukur atas anugerah-Nya dan mengerjakan keselamatan kita (bukan supaya kita diselamatkan/tidak kehilangan keselamatan) sebagai respon kita telah ditebus dan diselamatkan untuk memuliakan Allah. Penderitaan Kristus juga dapat menjadi teladan bagi kita sehingga kita rela berkorban/mati bagi orang-orang yang kita kasihi demi Injil. Penginjilan tanpa dimotivasi dan bertujuan untuk mengasihi jiwa-jiwa yang terhilang adalah penginjilan yang sia-sia. Sudahkah kita mengasihi jiwa-jiwa yang terhilang dan membawanya kepada Kristus ?

Keempat, penderitaan Kristus meredakan murka Allah ® propisiasi (ayat 9). Pada ayat 9, Tuhan melalui Paulus mengungkapkan, “Lebih-lebih, karena kita sekarang telah dibenarkan oleh darah-Nya, kita pasti akan diselamatkan dari murka Allah.” Tentang propisiasi atau peredaan murka Allah, Paulus sudah menjelaskannya di dalam Roma 3:25, “Kristus Yesus telah ditentukan Allah menjadi jalan pendamaian karena iman, dalam darah-Nya…” (KJV, “Whom God hath set forth to be a propitiation through faith in his blood,…”) dan Yohanes menjelaskannya di dalam 1 Yohanes 4:10, “Inilah kasih itu: Bukan kita yang telah mengasihi Allah, tetapi Allah yang telah mengasihi kita dan yang telah mengutus Anak-Nya sebagai pendamaian bagi dosa-dosa kita.” (KJV, “Herein is love, not that we loved God, but that he loved us, and sent his Son to be the propitiation for our sins.”). Semua kata “pendamaian” di dalam kedua bagian ayat ini seharusnya diterjemahkan “peredaan murka Allah”. Peredaan murka Allah yang Kristus kerjakan menjadi pengharapan bagi kita yang seharusnya mati dan dikenai murka Allah akibat dosa, tetapi puji Tuhan, penebusan Kristus di kayu salib sudah memenuhi syarat wujud keadilan dan kasih Allah bagi manusia berdosa. Penderitaan Kristus ini juga menjadi teladan bagi kita yang harus menderita karena nama Kristus supaya kita tetap memberitakan Injil sehingga banyak orang diselamatkan dari murka Allah yang menyala-nyala. Penderitaan kita karena nama Kristus seharusnya tidak memadamkan semangat kita dalam mengabarkan Injil, melainkan justru mengobarkan semangat kita bahwa orang-orang yang menganiaya kita harus diinjili agar mereka pada suatu saat atas kehendak-Nya dapat bertobat dan kembali kepada Kristus serta diselamatkan dari murka Allah yang dahsyat.

Kelima, penderitaan Kristus memperdamaikan kita dengan Allah ® rekonsiliasi (ayat 10). Selain substitusi dan propisiasi, penebusan Kristus juga mendamaikan kita yang dahulu adalah seteru/musuh Allah yang najis dan berdosa dengan Allah yang Mahakudus, seperti yang dipaparkan Paulus di ayat 10, “Sebab jikalau kita, ketika masih seteru, diperdamaikan dengan Allah oleh kematian Anak-Nya, lebih-lebih kita, yang sekarang telah diperdamaikan, pasti akan diselamatkan oleh hidup-Nya!” Kata “diperdamaikan” dalam KJV adalah reconcile (=direkonsiliasikan/diperdamaikan). Kalau kita mengerti kata “musuh”, maka kita seharusnya mengerti bahwa itulah status kita ketika kita masih berdosa. Kalau di poin pertama, kita belajar tentang status dan kondisi kita yang jatuh ke dalam dosa yaitu durhaka/tidak berTuhan dan lemah/tidak berdaya, maka di poin ini, kita belajar tentang status kita dahulu yang “baru” yaitu musuh/seteru Allah. Kita disebut seteru Allah karena kita melawan ketetapan-Nya. Bagi seorang musuh, kita sudah seharusnya melawannya, hal yang sama juga dilakukan oleh Allah. Tetapi sekali lagi karena kasih-Nya begitu besar, maka beberapa orang dari antara musuh-Nya yang memberontak dipilih, dipanggil dan dibenarkan-Nya di dalam Kristus, sehingga mereka beroleh anugerah-Nya untuk beriman di dalam Kristus. Bagi orang-orang pilihan-Nya inilah, Kristus mati dan memperdamaikan mereka dengan Allah. Adalah tidak masuk akal jika ada orang-orang yang tidak dipilih-Nya berani mengklaim diri umat pilihan Allah lalu menyatakan diri dengan sombongnya bahwa Kristus juga mati untuknya. Itu adalah ajaran yang aneh dan tidak sesuai dengan Alkitab. Penderitaan Kristus ini menjadi pengharapan bagi umat pilihan-Nya yang berdosa yaitu kita yang dahulu berdosa sudah diperdamaikan dengan Allah yang Mahakudus melalui penebusan Kristus, sehingga kita diselamatkan oleh hidup Kristus dan kita tidak usah takut (dalam pengertian takut yang berlebihan) menghampiri Allah. Bukan berarti karena kita telah ditebus oleh Kristus, maka kita boleh sembarangan menghadap Allah, lalu seenaknya sendiri menggunakan hal-hal yang tidak bertanggungjawab di dalam ibadah. Itu namanya “anak-anak Allah” yang keterlaluan/kelewatan (Jawa : nglunjak). Meskipun kita sudah ditebus oleh Kristus, kita sebagai anak-anak-Nya tetap harus menghormati dan takut kepada-Nya, karena Ia tetap adalah Allah dan Tuhan kita (sedangkan kita adalah manusia yang terbatas), meskipun kita bisa/dapat tetap bersukacita ketika menghadap Allah. Inilah paradoks di dalam ibadah Kristen : takut dan gentar terhadap Allah sekaligus bersukacita. Penderitaan Kristus juga menjadi teladan bagi kita yaitu perdamaian antara manusia dengan Allah di dalam Kristus adalah wujud perdamaian sejati meskipun kita menderita aniaya. Seringkali di dunia ini, ketika ada orang yang mengalami penderitaan, para pemuja “theologia” religionum/social “gospel” selalu melontarkan kalimat “damai”, “gencatan sejata”, “toleransi”, dll supaya tidak terjadi penderitaan dan penganiayaan. Apakah itu salah ? Di satu sisi, benar, tetapi di sisi lain, inti masalahnya bukan sekedar penghentian tindakan penganiayaan/kekerasan/penderitaan, tetapi esensinya justru terletak pada pendamaian antara manusia dengan Allah di dalam Kristus. Kalau manusia tidak didamaikan kembali dengan Allah, maka manusia tak mungkin bisa berdamai dengan sesamanya, karena masalah manusia yang paling serius adalah dosa, dan bukan hanya sekedar ketidakseimbangan/ketidaktenteraman atau penderitaan/penganiayaan/dll.

Terakhir, penderitaan Kristus membuat kita berbangga di dalam-Nya (ayat 11). Di dalam ayat 11, Paulus mengungkapkan, “Dan bukan hanya itu saja! Kita malah bermegah dalam Allah oleh Yesus Kristus, Tuhan kita, sebab oleh Dia kita telah menerima pendamaian itu.” Kata “bermegah” bisa berarti bersukacita (joy/rejoice) atau berbangga (boast). Bukan hanya substitusi, propisiasi dan rekonsiliasi, penebusan dan penderitaan Kristus memberikan pengharapan kepada kita bahwa meskipun kita mengalami penganiayaan, Roh-Nya yang Kudus membuat kita terus-menerus bersukacita di dalam Allah. Mengapa kita bisa bersukacita meskipun penderitaan mengancam kita ? Karena kita memiliki pengharapan yang kokoh di dalam Kristus yang telah mengalami dan menang mengalahkan segala pencobaan, sehingga Ia dinobatkan sebagai Imam Besar Agung (Ibrani 4:14-15). Selain itu, penderitaan Kristus yang mengakibatkan kita bersukacita di dalam-Nya juga menjadi teladan bagi kita untuk menyalurkan sukacita di dalam penderitaan ini baik dengan berbagi kepada sesama, khususnya yang paling utama yaitu memberitakan Injil. Sehingga ketika orang yang menganiaya kita tetap melihat kita bersukacita bahkan masih memberitakan Injil, orang tersebut atas kemurahan-Nya akan bertobat dan kembali kepada Kristus. Hal ini sudah dialami oleh Paulus yang tetap memberitakan Injil kepada kepala penjara di Filipi meskipun dipenjara dan mengalami penderitaan (Kisah Para Rasul 16:19-40). Maukah kita meneladani Paulus dengan menjadi saksi Kristus bahkan di dalam penderitaan sekalipun ?

Setelah kita merenungkan keenam prinsip penderitaan Kristus yang menjadi pengharapan sekaligus teladan bagi kita yang menderita, biarlah kita menjadikan penderitaan Kristus bukan sekedar teori/rutinitas ketika kita memperingati Jumat Agung, tetapi penderitaan Kristus menjadi titik pusat kehidupan keKristenan kita dalam menapaki setiap penderitaan yang harus ditanggung karena mengikut Kristus. Soli Deo Gloria. Amin.