15 October 2010

SAMAKAH SEMUA AGAMA? (Denny Teguh Sutandio)

SAMAKAH SEMUA AGAMA?

oleh: Denny Teguh Sutandio



“Akulah jalan dan kebenaran dan hidup. Tidak ada seorangpun yang datang kepada Bapa, kalau tidak melalui Aku.”
(Yoh. 14:6)



PENDAHULUAN: Pluralitas Vs Pluralisme
Kita hidup di dalam zaman yang merayakan pluralitas. Di satu sisi, fakta tentang pluralitas adalah sebuah fakta nyata yang harus kita akui, karena di sekitar kita terdapat berbagai macam keanekaragaman, khususnya agama. Di Indonesia saja, kita menjumpai ada 6 agama resmi yang diakui. Namun di sisi lain, kita menjumpai banyak orang yang karena terlalu menekankan pluralitas, akhirnya masuk ke dalam paham pluralisme dan terakhir berakibat fatal yaitu sinkretisme: mencampuradukkan semua ajaran agama. Ide dasar yang mereka percayai adalah semua agama itu sama dan menuju ke satu tujuan yang sama. Ide ini sedikit banyak dipengaruhi oleh paham Gerakan Zaman Baru yang merebak di sekitar kita dengan paham bahwa segala sesuatu itu satu (monisme). Yang paling celaka jika ada orang Kristen bahkan pemimpin gereja yang ikut-ikutan mempercayai bahwa semua agama itu sama saja dan menuju ke Tuhan yang sama. Benarkah semua agama itu sama?




SEMUA AGAMA ITU SAMA?: Analisis Presuposisional
Secara presuposisi, jika ada orang yang mengatakan bahwa semua agama itu sama, maka Pdt. Dr. Stephen Tong mengatakan bahwa orang tersebut tidak mengerti masing-masing agama secara menyeluruh. Mungkin saja yang dia mengerti hanya kulit luar dari masing-masing agama yang akhirnya mengarahkannya untuk mengambil kesimpulan bahwa semua agama itu sama. Di sisi lain, orang yang mengatakan bahwa semua agama itu sama memiliki ketidakkonsistenan paradigma dan kebahayaan tersendiri. Kalau mau konsisten, orang yang mengatakan bahwa semua agama itu sama (baik) harus juga menekankan bahwa semua agama itu sama jahatnya. Jika kekonsistenan ini dipertahankan, maka ia sedang menghakimi semua agama dan pertanyaan lebih lanjut, dengan standar apa dia menghakimi semua agama? Tentu standar diri! Jika standar diri yang dipakai sebagai standar kebenaran, layakkah diri yang relatif dan terbatas menjadi standar kebenaran obyektif yang absolut? Di sini letak kegagalan cara berpikir para penganut semua agama itu sama.




SEMUA AGAMA ITU SAMA?: Analisis Kebenaran
Sebelum menjawab pertanyaan benarkah semua agama itu sama, mari kita berpikir sebentar tentang kebenaran yang diklaim ada di dalam agama.
Pertama, kebenaran itu ada. Kebenaran sejati pasti dan harus ada. Jika kebenaran sejati tidak ada, ngapain orang meneriakkan sesuatu yang tidak ada? Bukankah itu suatu keanehan logika.

Kedua, kebenaran itu mutlak. Karena kebenaran sejati itu harus dan pasti ada, maka kebenaran sejati harus mutlak, karena ia harus menjadi standar kebenaran lainnya yang relatif.

Ketiga, kebenaran itu satu. Jika kebenaran sejati itu ada dan mutlak, maka kebenaran sejati HARUS satu, karena sebuah kemutlakan bersumber dari satu, bukan banyak. Jika kebenaran itu banyak, maka kebenaran tidak bisa menjadi sesuatu yang mutlak.

Keempat, kebenaran itu bersifat kekal. Kebenaran yang ada dan satu pasti adalah kebenaran yang bersifat kekal, karena kebenaran tersebut bukan hanya menjadi patokan bagi kebenaran relatif, namun juga harus melampaui ruang dan waktu.

Kelima, kebenaran itu paradoks, BUKAN berkontradiksi! Jika kebenaran itu mutlak, satu dan kekal, maka kebenaran itu TIDAK mungkin berkontradiksi dengan dirinya sendiri. Di sini, saya mengaitkan kebenaran dengan fungsi logika. Logika/rasio memang bukan ilah manusia, namun manusia harus menggunakan seefektif mungkin rasio yang diberikan Tuhan untuk memikirkan kebenaran. Apa itu kontradiksi? Sebuah hukum logika mengajarkan bahwa pada saat dan tempat yang sama, A tidak mungkin juga non A, jika A = non A, maka itu namanya berkontradiksi. Jika kebenaran mutlak saja berkontradiksi, bagaimana kebenaran itu bisa dijadikan kebenaran mutlak? Bukankah nantinya kebenaran mutlak identik dengan kebenaran relatif yang perlu dipertanyakan keabsahannya? Jika kebenaran tidak berkontradiksi, maka kebenaran sejati adalah kebenaran yang paradoks: seolah-olah kelihatan berkontradiksi, namun sebenarnya tidak. Paradoksikal kebenaran sejati menandakan keagungan kebenaran sejati karena tidak mungkin dimengerti oleh logika manusia biasa.

Keenam, kebenaran itu universal. Artinya, kebenaran sejati berlaku di seluruh dunia. Sungguh suatu ketidakmasukakalan jika mengatakan bahwa ada agama yang mengklaim kebenaran namun “wahyu” yang diklaimnya sebagai kebenaran itu hanya dipahami di dalam suatu bahasa “khusus”.

Ketujuh, kebenaran itu bersifat moral. Adanya universalitas kebenaran sejati menuntun kita mengerti bahwa di dalam kebenaran sejati pasti mengandung unsur-unsur moralitas yang agung. Tidak mungkin ada agama yang mengklaim ada kebenaran, namun mengajar para penganutnya untuk membunuh orang lain atas nama agamanya.




SAMAKAH SEMUA AGAMA?: Analisis Obyektif
Setelah mengerti tentang 7 syarat kebenaran sejati, maka kembali ke pokok pikiran kita: benarkah semua agama itu sama? Coba pikirkan beberapa ajaran dari agama-agama berikut ini. Saya akan memberikan sebuah analisis singkat tentang agama-agama dari dua segi: sumber kepercayaan, keselamatan, dan moralitas.
1. Mengenai Sumber Kepercayaan
Ada agama yang mempercayai bahwa alam semesta ini diciptakan oleh Tuhan yang berpribadi 1, ada juga agama yang mempercayai bahwa Allah tersebut berpribadi 3 namun 1 hakikat. Yang lain percaya bahwa Tuhan hanya 1 namun menyatakan dirinya ke dalam berbagai macam bentuk (muncullah dewa/i). Sedangkan agama lain membingungkan. Menurut survei saya sendiri di situs resmi yang berkaitan dengan agama ini, agama yang membingungkan ini ada yang mengatakan bahwa ia tidak percaya adanya Tuhan, karena segala sesuatu terjadi menurut hukum alam, namun ada situs lain yang mengatakan bahwa agama ini percaya adanya Tuhan, namun Tuhan tersebut TIDAK berpribadi. Mari kita analisa satu per satu.

Jika ada agama yang mengatakan bahwa tidak ada Tuhan, yang ada hanya hukum alam. Sekarang, tanyalah kepada penganut hukum alam ini, apakah hukum alam itu sesuatu yang hidup atau mati? Jika ia berkata, MATI, tolong tanya, bagaimana dari sesuatu yang mati bisa keluar makhluk yang hidup (manusia)? Contoh sederhana, mungkinkah dari sebuah hukum grativasi ala Einstein dapat menghasilkan seorang manusia? (lebih sederhana lagi: mungkinkah dari sebuah kursi menghasilkan seorang wanita yang cantik?) Jika mungkin, apa yang mengakibatkan sesuatu yang mati dapat menghasilkan sesuatu yang hidup?

Jika ada agama yang mengajarkan bahwa hanya ada satu Tuhan namun banyak wujud melalui dewa/i, tanyakan kepada penganut agama ini, jika ada banyak dewa/i bahkan yang berkontradiksi (misalnya: dewa pencipta dan dewa pengrusak), satu Tuhan seperti apa yang muncul? Jika satu Tuhan tersebut baik, pertanyaan selanjutnya, mengapa dalam wujudnya muncul dewa pengrusak?

Jika ada agama yang mengajarkan bahwa hanya ada satu pribadi Tuhan, lalu Tuhan tersebut mengatakan mengasihi manusia, pertanyaan selanjutnya adalah bagaimana kita mengetahui bahwa Tuhan yang satu pribadi tersebut mengasihi manusia? Kasih PASTI membutuhkan lebih dari satu pribadi, yaitu: subyek dan obyek kasih.


2. Mengenai Keselamatan
Semua agama mengakui bahwa semua manusia itu berdosa dan membutuhkan jalan keluar, namun jalan keluar dari dosa ini berbeda-beda menurut masing-masing agama. Semua agama di luar Kekristenan mengajarkan bahwa jalan keluar dari dosa adalah berbuat baik. Salah satu agama tersebut mengajarkan bahwa berbuat baik ditunjukkan dengan menjalankan ibadah tertentu di bulan “suci” tertentu, menunaikan ibadah khusus di luar negeri, dll. Agama yang lain mengajarkan bahwa berbuat baik ditunjukkan dengan menghilangkan segala keinginan. Agama ini mengajarkan bahwa hidup adalah penderitaan; penderitaan ada karena adanya keinginan akan kesenangan dan kemakmuran; maka jika ingin lepas dari penderitaan, maka buanglah segala keinginan; dan keinginan bisa dihilangkan dengan Delapan Jalan (sistem pendidikan agama dan ajaran moral dari agama ini). Benarkah berbuat baik itu merupakan satu-satunya solusi dari dosa manusia? Mari kita uji satu per satu.

Jika ada agama yang mengajarkan berbuat baik sebagai solusi terhadap dosa manusia, maka perbuatan baik tersebut dilakukan bukan dengan motivasi kebaikan itu sendiri, namun motivasinya untuk diselamatkan/masuk Sorga (kalau orang ini akhirnya tidak diselamatkan, masihkah orang ini berbuat baik?). Menurut seorang filsuf atheis Grika, kebaikan tersebut TIDAK sungguh-sungguh baik, karena kebaikan sejati adalah kebaikan yang dilakukan dengan motivasi dan tujuan untuk kebaikan itu sendiri.

Jika ada agama yang mengajarkan bahwa berbuat baik dilakukan dengan membuang segala keinginan yang “jahat” dan menghilangkannya dengan Delapan Jalan, bukankah metode Delapan Jalan itu sendiri merupakan sebuah cara lain untuk menambahkan keinginan yang berbeda (baik)? Bukankah masih tetap ada keinginan? Adalah suatu absurditas jika ada orang yang mengatakan bahwa orang harus menghilangkan keinginan, padahal untuk mengatakan hal ini pun, orang tersebut memiliki suatu keinginan di dalam hati dan otaknya. Sama tidak masuk akalnya jika ada orang yang mengatakan bahwa segala sesuatu itu adalah ilusi, di titik pertama, kita yang mendengar pernyataan itu TIDAK usah menyetujui pandangan itu bahkan orang itu pun tidak perlu dihargai, karena orang itu dan perkataan yang diucapkannya adalah sebuah ilusi. Apakah kita kengangguran meladeni suatu ilusi yang mengatakan sebuah ilusi?


3. Mengenai Standar Moralitas
Selain keselamatan, sumber kepercayaan juga mempengaruhi cara berpikir dan bertindak, termasuk moralitas. Suatu agama yang tidak memiliki dasar kepercayaan yang kokoh menghasilkan standar moralitas yang relatif dan berkontradiksi dengan dirinya sendiri! Agama yang mempercayai adanya satu pribadi Tuhan mengajarkan bahwa pria boleh menikah dengan lebih dari 1 wanita (maksimal 4), namun harus diperlakukan secara adil, sedangkan ada agama yang mengajarkan bahwa tidak menikah itu lebih suci. Agama lain yang mempercayai 3 pribadi Allah di dalam 1 hakikat mengajarkan bahwa 1 pria hanya boleh menikah dengan 1 wanita, selain itu dianggap berzinah. Agama lainnya yang percaya kepada hukum alam mengajarkan bahwa segala sesuatu itu diizinkan asalkan sesuai dengan hukum alam (salah satunya: sel sperma dengan sel telur). Mari kita pikirkan bersama.

Jika ada agama yang mengajarkan bahwa pria boleh menikah dengan lebih dari 1 wanita (meskipun dengan alasan harus diperlakukan secara adil), tolong tanya, apakah diizinkan wanita menikah dengan lebih dari 1 pria? Jika tidak boleh, apa standarnya? Kedua, pria boleh menikah dengan lebih dari 1 wanita namun harus diperlakukan dengan adil, apa batasan adil di sini? Apakah adil berarti masing-masing wanita/istri diberi kepuasan seks, uang, dll yang sama dari si suami? Batasan adil ini didasarkan pada standar apa? Obyektif atau subyektif? Ataukah sebenarnya ajaran ini dinyatakan sebagai legitimasi dari kebejatan si pendiri agama yang ingin menikahi lebih dari 1 wanita bahkan menikahi istri dari anak angkatnya sendiri? Ketiga, secara fakta, kita melihat banyak wanita yang menganut agama ini menangis dan sedih ketika mengetahui bahwa suaminya berzinah dan menikahi gadis lain. Ini membuktikan secara hati nurani, agama ini sudah tidak beres.

Jika ada agama yang mengajarkan bahwa tidak menikah itu lebih suci, tolong tanya, apa itu suci dan apa standar kesucian? Siapa yang menentukan standar kesucian tersebut: Allah ataukah manusia? Jika Allah, tentu standarnya adalah wahyu-Nya, yaitu Alkitab, apakah ajaran demikian diajarkan secara tegas dan jelas di dalam Alkitab? Bisakah ditunjukkan dengan penggalian isi Alkitab secara teliti tentang larangan menikah bagi mereka yang melayani Tuhan? Bagaimana dengan Rasul Petrus yang menikah (Mat. 8:14—ibu mertua Petrus: berarti Petrus menikah)? Apakah berarti Rasul Petrus TIDAK suci?

Jika ada agama yang mengajarkan bahwa segala sesuatu diizinkan asalkan sesuai dengan hukum alam (misalnya pertemuan antara sel sperma dan sel telur), maka bagaimana dengan free-sex? Seorang teman saya yang menganut agama ini melegalkan kloning dengan dasar pikir bahwa sel sperma dan sel telur bertemu, maka itu benar, pertanyaan lebih tajam lagi, jika demikian, apakah free-sex itu benar? Bukankah free-sex juga merupakan pertemuan sel sperma dengan sel telur? Jika free-sex itu tidak benar, pertanyaan lebih tajam lagi, apa standar mengatakan bahwa sesuatu itu benar atau tidak benar? Hukum alam? Bukankah hukum alam itu sesuatu yang MATI?




SAMAKAH SEMUA AGAMA?: Kesimpulan dan Tantangan
Setelah menyelidiki dua hal di atas, apa kesimpulan kita? Samakah semua agama? TIDAK. Agama yang mengakui adanya satu Tuhan yang berpribadi tentu TIDAK bisa dipersamakan dengan agama yang TIDAK mengakui adanya Tuhan atau agama yang mengakui adanya 3 pribadi di dalam satu hakikat Allah.

Jika semua agama TIDAK SAMA, maka di manakah letak kebenaran sejati? Kebenaran sejati TIDAK terletak di tangan manusia, karena jika terletak di tangan manusia, pasti rusak dan hancur, sebagai buktinya, saya telah memverifikasi validitas pola pikir agama-agama di atas dan sebagai hasilnya, mereka menjumpai gang buntu yang tidak bisa diselesaikan. Jadi, di mana letak kebenaran sejati? Kebenaran sejati hanya ada di dalam tangan Allah yang menciptakan langit dan bumi serta memeliharanya. Allah yang berpribadi yang adalah 3 Pribadi Allah di dalam 1 esensi adalah Allah sejati yang merupakan Sumber Kebenaran. Mengapa? Karena:

Pertama, hanya Allah yang BERPRIBADI yang bisa menciptakan alam semesta dan manusia. Alam semesta adalah sesuatu yang mati yang relatif dan manusia adalah “sesuatu” yang hidup yang relatif, maka tentu alam semesta dan manusia TIDAK ada dengan sendirinya seperti yang dipercayai secara konyol oleh teori Big Bang, namun dicipta oleh Pencipta. Pencipta alam semesta dan manusia ini tentu HARUS merupakan Pencipta yang berpribadi yang hidup, karena tak mungkin dari sesuatu yang mati bisa menghasilkan sesuatu yang mati dan hidup. Mungkinkah dari sebuah kursi menghasilkan dengan sendirinya sebuah meja dan seorang pria tampan? Silahkan pikir sendiri.

Kedua, Allah yang berpribadi ini adalah 3 pribadi dalam 1 esensi/hakikat Allah. Allah sejati selain berpribadi haruslah lebih dari 1 pribadi, namun TIDAK boleh terlalu banyak. Mengapa? Karena kalau hanya satu pribadi, bagaimana membuktikan bahwa Tuhan mengasihi manusia? Bukankah kasih itu membutuhkan subyek dan obyek kasih? Kedua, kalau pribadi yang banyak bahkan beratus-ratus dan beribu-ribu, pasti akan terjadi konflik yang berkepanjangan. Jika antar dewa/i saja berkonflik, adakah standar etika yang bisa dibangun? Tidak ada jalan lain, Allah sejati adalah Allah yang berjumlah 3 pribadi di dalam 1 esensi/hakikat Allah (Trinitas/Tritunggal). Mempercayai Allah Trinitas LEBIH Alkitabiah dan LEBIH masuk akal ketimbang mempercayai satu pribadi Allah atau banyak pewujudnyataan “Allah” atau bahkan: hukum alam!

Ketiga, Allah yang berpribadi dan Trinitas tersebut menyatakan diri-Nya kepada manusia. Supaya kita bisa mengenal Allah secara tuntas (meskipun tidak 100% sempurna), maka Allah memilih untuk menyatakan diri-Nya kepada manusia melalui dua sarana: wahyu umum (berupa: alam dan hati nurani) kepada semua manusia tanpa kecuali (yang diresponi dengan munculnya: agama, kebudayaan, dan sains) dan wahyu khusus (berupa: Kristus dan Alkitab) kepada beberapa manusia yang merupakan umat pilihan-Nya saja. Di dalam Alkitab dan Kristuslah, kita menjumpai finalitas Kekristenan yang mempercayai bahwa Allah sejati adalah 3 pribadi di dalam 1 esensi Allah dan Allah ini menyatakan diri-Nya secara khusus di dalam Pribadi Tuhan Yesus yang daripada-Nya kita belajar banyak hal yang agung tentang Allah dan kehendak-kehendak-Nya serta apa yang Kristus inginkan dari kita sebagai anak-anak Allah. Kristus ini bukan hanya memberitakan tentang Allah kepada kita, Ia sendiri adalah Allah yang menjelma menjadi manusia (tanpa meninggalkan natur Ilahinya) menebus dosa-dosa manusia dengan mati disalib dan bangkit pada hari ketiga, sehingga melalui kematian dan kebangkitan-Nya dari antara orang mati, ada keselamatan sejati melalui penebusan dosa. Di dalam Kekristenan yang Alkitabiah, keselamatan didapat bukan karena kita yang berbuat baik, namun karena Kristus yang telah berbuat baik bagi kita untuk menyenangkan Allah (anugerah Allah). Jika semua pendiri agama hanya menunjukkan jalan keselamatan dan kebenaran, maka hanya Tuhan Yesus Kristus yang dengan berani dan tegas mengatakan, “Akulah jalan dan kebenaran dan hidup. Tidak ada seorangpun yang datang kepada Bapa, kalau tidak melalui Aku.” (Yoh. 14:6)

Bagaimana dengan kita? Bagi Anda yang belum menerima Kristus hari ini atau masih meragukan iman Kristen Anda, izinkanlah Roh Kudus bekerja saat ini juga untuk melembutkan Anda dengan mencerahkan hati dan pikiran Anda tentang keagungan dan finalitas Kristus sebagai satu-satunya Juruselamat dan Kebenaran sejati. Bukalah hati dan pikiran Anda, terimalah Tuhan Yesus Kristus sebagai satu-satunya Tuhan dan Juruselamat dalam hidup Anda. Amin.