07 July 2013

Resensi Buku-226: KEKRISTENAN TANPA KRISTUS (Rev. Prof. Michael S. Horton, Ph.D.)

“Kristen” berarti pengikut Kristus. Dengan kata lain, setiap orang Kristen seharusnya adalah mereka yang mengikut dan men-Tuhan-kan Kristus di setiap waktu. Namun, apa jadinya jika Kekristenan tidak lagi mengikut Kristus? Apa akibatnya? Bagaimana solusi terhadap masalah tersebut?

Temukan jawabannya dalam:
Buku
KEKRISTENAN TANPA KRISTUS

oleh: Prof. Michael S. Horton, Ph.D.

Kata Pengantar:
Rev. Dr. William H. Willimon, S.T.D.
(Uskup di The United Methodist Church; Bachelor of Arts—B.A. dari Wofford College; Master of Divinity—M.Div. dari Yale Divinity School; Doctor of Sacred Theology—S.T.D. dari Emory University; dan menerima gelar kehormatan Doctor of Divinity—D.D. dari: Westminster College, Campbell University, Lafeyette College, Colgate University, Centre College, LaGrange College, Albright College, Birmingham-Southern College, Mennonite Theological Seminary dan gelar kehormatan lainnya, seperti: Doctor of Humane Letters—D.Hum.Lit. dari Wofford College dan Methodist College dan gelar Doctor of Letters—D.Litt. dari Lehigh University)

Penerjemah: Grace Purnamasari

Penerbit: Momentum Christian Literature, Surabaya, 2012



Di dalam bab-bab awal bukunya, Prof. Michael S. Horton, Ph.D. menjelaskan tentang gejala Kekristenan tanpa Kristus yang sedang menawan Kekristenan Amerika dengan menggeser Kristus dan Injil-Nya, lalu menggantinya dengan khotbah-khotbah yang menekankan perubahan moral dan pengajaran hal-hal praktis (seperti pernikahan, dll). Dr. Horton menyebutnya sebagai: “Deisme Terapeutik yang Moralistik”. Gejala ini ditandai dengan ucapan yang muluk-muluk nan indah yang menekankan kehebatan diri sendiri dan menyingkirkan Kristus dari takhta-Nya sebagai Raja dan Tuhan. Akibatnya, jangan heran, Injil yang berarti Kabar Baik (berbicara tentang apa yang sudah Allah kerjakan di dalam Kristus) diganti menjadi Nasihat Baik (berbicara tentang apa yang harus orang Kristen kerjakan). Nasihat Baik ini nantinya mengarahkan banyak orang Kristen Amerika kepada sosok Yesus yang bukan lagi unik dan final menurut Alkitab, tetapi Yesus yang milik pribadi masing-masing, sehingga siapa pun bisa mengikut Yesus tanpa menjadi seorang Kristen. Jangan heran, melalui Nasihat Baik ini, banyak theolog dan pendeta tidak lagi menyampaikan Kristus dengan berita dan cara yang tepat, tetapi dengan berita dan cara yang berpusat pada manusia. Bagaimana kita menghadapi situasi kelam ini? Di bab 7, Dr. Horton memanggil kita untuk melawan gejala ini di dalam Kekristenan dengan kembali memberitakan Kristus yang disalib dan bangkit sesuai dengan apa yang Injil beritakan, lalu mengaplikasikannya dalam kehidupan Kristen sehari-hari dengan tetap berfokus kepada Kristus yang Injil beritakan. Biarlah buku ini dapat menyadarkan kita betapa pentingnya Kristus yang tersalib dan bangkit di dalam Kekristenan, sehingga menghilangkan Kristus dari Kekristenan berarti mematikan Kekristenan itu sendiri.



Rekomendasi:
“Horton mengonfrontasi evangelikalisme modern dalam bahasa yang mengingatkan kita kepada tantangan J. Gresham Machen kepada liberalisme di tahun 1920-an. Keduanya menyoroti kekurangan dan kelemahan (injil baru) yang bukan hanya mendistorsi iman Kristen, tapi bahkan telah menolaknya…. Argumennya meyakinkan; moralisme terapeutik benar-benar tealh menetap dengan nyaman dalam kelompok Injili.”
Rev. Parker T. Williamson, M.Div., Ph.M.
(editor emeritus dan Koresponden senior dari The Presbyterian Layman dan Pendeta di Presbyterian Church (USA); M.Div. dari Union Theological Seminary, Richmond, VA dan Master of Philosophy—Ph.M. dalam bidang Etika Kristen dari Yale Divinity School)

“Kekristenan Tanpa Kristus mengukuhkan Michael Horton sebagai protagonis terkemuka bagi ortodoksi Protestan klasik. Contoh-contohnya yang luas dan dengan saksama ditelaah menunjukkan bagaimana gereja dan megachurch telah bermain mata dengan kebudayaan bersama bidaah Gnostik, Pelagian, moralistik, dan penolong-diri, serta dilucuti dari karya Yesus Kristus yang menyelamatkan. Horton memberi kita keyakinan yang teguh dalam iman Alkitabiah kita. Apa lagi yang lebih penting daripada hal ini?”
Uskup Christopher FitzSimons Allison, Ph.D.
(mantan uskup Episkopal; Bachelor of Divinity—B.D. dari Virginia Theological Seminary dan Doctor of Philosophy—Ph.D. dari Oxford University, U.K.)


Profil Rev. Dr. Michael S. Horton:
Rev. Prof. Michael S. Horton, Ph.D. adalah Profesor Theologi Sistematik dan Apologetik J. Gresham Machen di Westminster Seminary, California dan Pendeta di the United Reformed Churches of North America. Beliau juga adalah anggota dari the Oxford University Union Society, the Royal Institute of Philosophy, the American Academy of Religion, the American Theological Society, dan the Calvin Studies Society. Beliau menyelesaikan studi Bachelor of Arts (B.A.) di Biola University; Master of Arts (M.A.) di Westminster  Seminary California; dan Doctor of Philosophy (Ph.D.) di University of Coventry and Wycliffe Hall, Oxford. Beliau menyelesaikan Research Fellowship di Yale University Divinity School. Beliau menikah dengan Lisa dan dikaruniai 4 orang anak. Mereka semua sekarang tinggal di Escondido, California.