23 January 2008

Matius 8:18-21 : THE ATTITUDE OF THE TRUE FOLLOWER

The Attitude of the True Follower
oleh : Pdt. Sutjipto Subeno, M.Div.
Nats: Mat. 8:18-21
Kristus adalah Tuhan dan Guru yang Agung maka sudah sepatutnyalah kalau setiap orang mengikut dan menjadi murid-Nya dan Tuhan Yesus telah memberikan teladan indah bagaimana menjadi seorang murid sejati, the true follower. Kristus bukan sekedar berteori tetapi Dia menjalankan teori yang Ia ajarkan tersebut dalam kehidupan-Nya. Untuk menjadi seorang pengikut Kristus sejati, pertama-tama kita harus memahami terlebih dahulu akan esensi seorang murid sejati maka kita harus mengubah konsep berpikir atau paradigma yang salah dan kembali pada kebenaran, yaitu: Pertama, mengarahkan pandangan mata kita hanya kepada kehendak Tuhan. Pada umumnya, saat masalah datang, manusia selalu memandang ke bawah akibatnya kita selalu melihat dan merasakan kesulitannya saja sebab kita telah terjepit oleh kondisi. Berbeda halnya kalau kita memandang pada Tuhan maka percayalah, bersama Tuhan, segala kesulitan tersebut dapat kita lewati sebab kita tahu bahwa semuanya itu sudah menjadi kehendak Tuhan dan demi untuk kemuliaan nama-Nya. Kedua, menguji hati apakah kita mempunyai motivasi yang bersih. Orang lain tidak tahu apa motivasi kita sebab ada kemungkinan sepertinya kita mempunyai motivasi rohani namun sesungguhnya di balik motivasi yang “rohani“ itu ada motivasi duniawi yang mengikut di belakangnya. Sebagai contoh, banyak orang Kristen yang “katanya“ sedang melakukan pelayanan misi, yaitu memberitakan Injil ke daerah namun sesungguhnya motivasi mereka bukanlah mengabarkan Injil tapi rekreasi. Alkitab mengajarkan seorang murid sejati haruslah mempunyai motivasi murni, yaitu segala sesuatu yang kita kerjakan adalah untuk Tuhan bukan untuk manusia. Ketiga, mempersiapkan hati untuk segala kemungkinan yang terburuk yang mungkin terjadi, prepare for the worst. Kalau kita tidak mempunyai kesiapan hati maka saat kesulitan itu datang, kita akan pergi dan meninggalkan Tuhan. Mengikut yang dimaksud oleh Tuhan Yesus adalah mengikut yang selama-lamanya bukan sekedar mengikut ketika keadaan menyenangkan saja.Setelah kita memahami dan memiliki jiwa seorang murid dengan paradigma yang baru, pertanyaannya kini bagaimana hal itu termanifestasi dalam tindakan kita. Hati-hati, setiap tindakan kita merupan cerminan dari konsep berpikir atau paradigma kita, apakah kita mempunyai paradigma salah atau benar. Kalau Matius hanya mengambil dua contoh orang yang mengikut Kristus, yaitu ahli Taurat dan murid Kristus sendiri maka itu bukan berarti yang mau menjadi murid Kristus hanya dua orang itu saja. Tidak! Mengingat banyaknya mujizat yang Yesus lakukan maka hari itu pastilah banyak orang yang hendak mengikut Kristus namun baik Matius maupun Lukas tidak mencatat semua sebab memang, tujuannya bukan mencatat detail tetapi mereka ingin supaya pembaca melihat apa yang sedang terjadi dan bagaimana mengerti ada apa dibalik kejadian tersebut. Alkitab tidak mencatat apakah si ahli Taurat ini bertobat dan mengikut ataukah meninggalkan Tuhan Yesus dan Alkitab juga tidak mencatat apakah si murid ini mengerti akan penjelasan Yesus dan kemudian memutuskan untuk mengikut Yesus dengan sungguh-sungguh atau meninggalkan Yesus. Kenapa Alkitab tidak mencatat? Beberapa penafsir beragumen kita tidak perlu mencari kenapa sebab memang bukan tentang kenapa tetapi Matius ingin mengajak pembaca masuk ke dalam pilihan sikap. Tuhan Yesus tidak menunjukkan sikap senang ketika ada seorang ahli Taurat yang hendak berniat menjadi murid-Nya. Tidak! Tuhan Yesus justru memberikan pilihan yang menuntut suatu keputusan, yakni serigala mempunyai liang dan burung mempunyai sarang, tetapi Anak Manusia tidak mempunyai tempat untuk meletakkan kepala-Nya (Mat. 8:20). Keputusan setiap orang pastilah tidak sama bahkan orang Kristen yang mendengar kalimat inipun belum tentu menghasilkan reaksi yang sama. Sebagian orang mungkin memutuskan untuk ikut namun sebagian orang mungkin memutuskan tidak mau mengikut Yesus. Jadi, kalimat ini kembali kepada pribadi setiap kita, bagaimana paradigma yang benar yang Tuhan Yesus sudah teladankan tersebut terimplikasi pada setiap kita. Bagaimana menjadi seorang pengikut Kristus sejati? Ada tiga aspek yang perlu kita perhatikan: 1. Total ServiceSebagai hasil dari paradigma yang diubahkan maka pengikut Tuhan Yesus haruslah mempunyai sikap pelayanan yang sepenuh hati, total service. Hal inipun sangatlah disadari oleh dunia khususnya dalam dunia kerja, dengan segala cara perusahaan akan mengusahakan supaya pekerjanya berjiwa loyal pada perusaahaan dengan demikian perusahaan yang diuntungkan. Bahkan beberapa perusahaan tertentu menggunakan prinsip meditasi new age untuk memotivasi para pekerjanya. Dunia melihat secara pragmatis, untuk sesaat memang kelihatan hebat namun dunia tidak memahami bahwa pertumbuhan yang cepat tanpa pondasi yang kuat berakibat kehancuran. Dunia tahu pentingnya total service namun ironisnya orang Kristen tidak tahu bagaimana melayani Tuhan dengan total service. Tuhan Yesus sudah membukakan realita bahwa mengikut Dia menuntut suatu total comitment, jangan mengharapkan keuntungan dari Kristus. Mengikut Kristus berarti kita turut melakukan pekerjaan dahsyat dan mulia karena itu, Kristus menuntut sikap pelayanan yang sepenuh hati.Semangat materialisme telah mencengkeram pikiran kita, maka sesungguhnya, orang bukan total komitmen pada perusahaan tapi pada uang akibatnya kalau ada perusahaan lain yang memberikan tawaran lebih besar maka ia akan pindah ke perusahaan lain. Begitu juga dengan pelayanan kita, banyak orang yang giat dan semangat melayani tapi sesungguhnya komitmen hidupnya diserahkan pada mamon. Seluruh hidupnya diserahkan pada uang. Betapa celakanya, manusia yang hidupnya dibelenggu dengan setan. Pertanyaannya ketika Tuhan Yesus mengatakan serigala punya liang, burung punya sarang tetapi Anak Manusia tidak punya tempat untuk meletakkan kepala-Nya, apakah itu berarti Tuhan Yesus sengaja mau membuat orang-orang yang mengikut Dia menjadi orang-orang yang papah? Apakah Tuhan Yesus tidak menghargai mereka, yaitu orang-orang yang telah melayani sesuai dengan apa mereka kerjakan? Tidak! Tuhan Yesus adalah Tuhan yang adil, Tuhan Yesus tahu bagaimana memberikan penghargaan. Uang yang diiming-imingi di depan itulah yang memacu manusia untuk maju seperti halnya anjing pacuan, greyhorne , bukankah anjing pacuan juga dipancing dengan makanan di depannya dengan demikian ia akan terus berpacu tapi sampai akhir toh ia tidak akan pernah mendapatkan apapun. Kristus telah menebus kita dari dosa dengan darah-Nya ketika kita masih berdosa. Kristus telah memberikan penghargaan pada kita terlebih dahulu; Dia mengangkat kita dari lumpur dosa dan memberikan keselamatan pada kita. Orang kristen sejati seharusnya menyadari dan berespon dengan tepat akan anugerah Tuhan ini. Tuhan sudah berikan diri-Nya menjadi tebusan dan harganya sangat mahal. Hal ini seharusnya menjadikan kita gemetar ketika kita melayani; bagaimana kita melakukan yang terbaik untuk Tuhan sebab kita telah mendapat keselamatan. Orang yang mengerti anugerah seharusnya mengerjakan setiap tugas pelayanan yang Tuhan beri dengan sepenuh hati namun sangatlah disayangkan, banyak orang justru mempermainkan anugerah. Puji Tuhan, kalau Dia telah berkenan menebus kita dari dosa, menyelamatkan kita dari kematian kekal dan menjadikan kita sebagai anak-Nya maka hendaklah hal itu menyadarkan kita bahwa darah Kristus sangatlah mahal, kita tidak akan mampu membayarnya, kita hanya dapat melayani Dia dengan sepenuh hati. 2. Single AuthorityKalimat Tuhan Yesus yang berkata: “Ikutlah Aku dan biarlah orang-orang mati menguburkan orang-orang mati mereka“ ini berarti bahwa menjadi pengikut Kristus berarti tidak boleh mengikut yang lain. Kata “mengikut“ dari bhs. Yunani, eltheim yang berarti mengikut selama-lamanya dan itu menjadi keputusan tunggal. Seorang yang telah diubahkan paradigmanya maka hatinya selalu terarah pada Kristus. Mengikut Kristus berarti kembalinya kita pada otoritas tunggal, yaitu Kristus sebagai pemegang otoritas tertinggi. Namun, manusia tidak suka kalau ada kuasa lain yang lebih tinggi dan berkuasa atas dirinya. Seiring dengan berkembangnya dunia maka konsep berpikir manusia pun juga mengalami pengembangan namun bersifat negatif sebab telah terdistorsi oleh berbagai macam pikiran filsafat. Akibatnya, manusia menjadi paranoid, orang akan sukar percaya pada orang lain sebab manusia takut ditipu. Bahkan orang yang mengaku dirinya mempunyai rasa percaya diri pun sesungguhnya tidaklah demikian. Pertanyaannya sekarang apakah diri sendiri bisa dipercaya? Tidak! Sebab diri sendiri pun sedang mencari-cari rasa percaya itu. Sebagai contoh, ketika diri meyakini sesuatu sebagai kebenaran pertanyaannya apakah sesuatu itu merupakan kebenaran sejati sehingga keyakinan kita tidak akan salah? Sayangnya, itu bukanlah kebenaran sejati karena selama kita belum tahu salah maka hal tersebut dianggap sebagai kebenaran. Bayangkan, kalau setiap hal yang ia yakini ternyata kedapatan salah maka orang menjadi skeptis, akibatnya segala sesuatu yang ia anggap benar itulah kebenaran. Sikap skeptis ini meluas hingga ke seluruh dunia, dunia menjadi anti kepercayaan dan anti otoritas. Ketika manusia sudah sampai pada titik puncak skeptik maka saat berhadapan dengan Tuhan, maka Tuhan pun tidak ia percaya lagi. Bersama-sama dengan Frederich Engels, Karl Max membuat manifesto komunisme dan mencetuskan ekonomi kapitalisme namun dunia akhirnya sadar kalau paham komunisme justru tidak membuat orang menjadi kaya bersama-sama tetapi sebaliknya orang menjadi miskin bersama. Orang menjadi kecewa ironisnya kekecewaan tersebut ditumpahkan pada Tuhan. Hati-hati ketika orang berpikir, dirinya mampu maka itu menjadi titik kehancurannya. Hendaklah kita sadar bahwa kita harus kembali kepada Tuhan sebagai single authority yang mengontrol hidup kita sebab tidak ada siapapun atau apapun di dunia ini yang dapat memimpin dan mengarahkan hidup kita. Hal ini seharusnya menyadarkan kita, kita tidak perlu kuatir dan cemas akan hidup kita. Biarlah orang-orang “mati“ (arti: mati rohani) menguburkan orang-orang mati (mati jasmani) mereka. Ketika kita tahu apa yang menjadi prioritas hidup maka biarlah kita menjadi orang hidup yang hidup dalam pemikiran kita dan otoritas kita sehingga semua tindakan kita menjadi hidup. Dimanakah kita bisa mempunyai dinamika dan kehidupan seperti demikian? Jawabannya hanya satu, yaitu kalau kita hidup di dalam Kristus. Mengikut Kristus membutuhkan kesadaran bukan fanatisme tetapi ketaatan karena kita tahu siapa Kristus yang kita ikuti tersebut, yaitu Kristus yang telah menebus dan membayar kita dengan harga yang mahal, yaitu dengan darah-Nya dan itu telah lunas di bayar.3. Kerelaan Hati Yesus berkata, “Biarlah orang mati menguburkan orang-orang mati.“ Kalimat ini langsung memilah menjadi dua posisi dan menuntut keputusan dari kita, yaitu mengikut atau menolak. Hanya ada dua pilihan, tidak ada pilihan ketiga. Serigala punya liang, burung punya sarang, Anak Manusia tidak punya tempat untuk meletakkan kepala-Nya. Kalau kita termasuk sebagai orang yang “hidup“ maka kita harus mengikut pada yang Kristus yang hidup, biarlah orang mati menguburkan orang yang mati. Kita dihadapkan pada pilihan, mau posisi yang hidup atau posisi yang mati? Ingat, kalau kita memilih mengikut pada “yang hidup“ maka ia akan membawa pada kehidupan, kalau kita memilih mengikut pada “yang mati“ maka ia akan membawa kita pada kematian. Sebab kedua hal ini terletak pada dua kutub yang berbeda sehingga terjadi kesenjangan yang saling tarik menarik maka hati-hati, dengan demikian kita tidak salah memilih. Namun bukan berarti antara hidup dan mati tidak saling berhubungan. Tuhan juga tidak mengajarkan anak-anak-Nya supaya hidup secara eksklusif, yaitu hanya hidup dengan sesama orang Kristen saja. Tidak! Tuhan justru memberikan amanat Agung supaya kita pergi mengabarkan Injil ke seluruh bangsa. Tuhan ingin anak-anak-Nya mempunyai paradigma hidup yang diubahkan namun hal itu bukan berarti seorang anak Tuhan harus hidup terasing di dunia. Tidak! Tuhan justru menempatkan anak-anak-Nya di tengah-tengah kawanan serigala tapi ia haruslah tetap menjadi seekor domba dengan demikian ia menjadi terang dunia. Bagaimana anak Tuhan harus menjadi orang yang hidup di tengah-tengah orang mati tanpa kita diseret ke dalam kehidupan kematian. Inilah gambaran Kekristenan tentang discipleship of Christ. Sebagai murid Kristus yang sejati maka sikap murid seperti yang Tuhan Yesus teladankan itu harus terimplikasi dalam hidup kita sehari-hari dengan demikian hidup kita menjadi berkat bagi orang lain; orang disadarkan akan dosa dan bertobat. Biarlah sebagai murid Kristus sejati hendaklah kita mempunyai jiwa servanthood, pelayanan yang total, dan menyerahkan hidup kita sepenuhnya pada otoritas Kristus yang tunggal serta kerelaan untuk hidup dalam situasi yang bersifat kontras di tengah dunia. Amin. ? (Ringkasan khotbah ini belum diperiksa oleh pengkhotbah)


Sumber :
http://www.grii-andhika.org/ringkasan_kotbah/2005/20050206.htm

Roma 5:3-5 : PENDERITAAN YANG BERHARGA-1

Seri Eksposisi Surat Roma :
Hasil Pembenaran Melalui Iman-2


Penderitaan yang Berharga-1

oleh : Denny Teguh Sutandio


Nats : Roma 5:3-5.

Setelah Paulus menjelaskan bahwa efek/akibat dari pembenaran itu yaitu damai sejahtera (Roma 5:1-2), maka ia melanjutkan hasil dari pembenaran yang kedua yaitu kesengsaraan (Roma 5:3-5). Ini mengingatkan kita bahwa setelah kita dibenarkan melalui iman, kita tetap harus menderita aniaya oleh karena nama-Nya (Matius 16:24).

Pada pasal 5 ayat 3, Paulus mengatakan, “Dan bukan hanya itu saja. Kita malah bermegah juga dalam kesengsaraan kita, karena kita tahu, bahwa kesengsaraan itu menimbulkan ketekunan,” Di ayat ini, kata “Dan bukan hanya itu saja.” menunjukkan bahwa selain menerima damai sejahtera dari Allah, kita yang sudah dibenarkan melalui iman juga menerima hal yang lain, yaitu penderitaan/kesengsaraan. Kalau kita melihat kembali konteks penulisan surat Roma, di mana jemaat-jemaat Kristen menerima penganiayaan dari kekaisaran Romawi yaitu barangsiapa yang berani menyebut Tuhan kepada pribadi selain Kaisar harus dihukum mati. Dalam konteks inilah, Paulus menghibur jemaat Roma agar mereka juga bermegah di dalam kesengsaraan selain menerima damai sejahtera dari/dengan Allah setelah dibenarkan melalui iman. Kata “kesengsaraan” dalam bahasa Yunani thlipsis berarti pressure (=tekanan) atau bisa berarti persecution, tribulation, trouble, etc (=penganiayaan, penderitaan, masalah, dll). Lalu, kata “bermegah” dalam bahasa Yunani kauchaomai bisa berarti rejoice (=bersukacita). Ini adalah suatu paradoks yang diajarkan Paulus. Banyak pemimpin gereja saat ini menipu jemaatnya yang lagi menderita dengan mengatakan bahwa kalau mereka “percaya”, semua penderitaan pasti sirna/hilang. Tidak seperti para pemimpin gereja palsu tersebut, Paulus menghibur jemaat Roma bukan dengan meniadakan realita, tetapi memaparkan realita dari perspektif kedaulatan Allah. Apakah itu ? Paulus mengajar bahwa di dalam penderitaan, jemaat Roma harus bersukacita. Apa yang Paulus ajarkan sama seperti yang Kristus ajarkan di dalam khotbah di bukit, “Berbahagialah orang yang dianiaya oleh sebab kebenaran, karena merekalah yang empunya Kerajaan Sorga.” (Matius 5:10) Kata “berbahagialah” dalam bahasa asli (Yunani)nya lebih tepat diterjemahkan blessed (=diberkatilah) atau fortunate (=keberuntungan). Ketika menghadapi penderitaan, orang dunia seringkali kalah di dalamnya atau bahkan bersungut-sungut, tetapi keKristenan mengajarkan bahwa justru di dalam penderitaan, kita harus bersukacita/berbahagia, mengapa ? Dari ajaran Kristus sendiri, penderitaan itu dilakukan asalkan demi Kebenaran/memberitakan Kebenaran, maka penderitaan itu baru dikatakan berbahagia/diberkati/beruntung. Hal ini sudah dibuktikan oleh para rasul sendiri (Kisah 5:41) dan diajarkan oleh Petrus (1 Petrus 4:13). Kedua, di dalam penderitaan, kita harus bersukacita, karena berdasarkan ajaran Paulus (Roma 5:3), penderitaan/kesengsaraan itu menimbulkan ketekunan (prinsip pertama). Kata “ketekunan” dalam bahasa Yunani hupomonē berarti cheerful (or hopeful) endurance, constancy: - enduring, patience, patient continuance (waiting) (=kesabaran/ketahanan yang gembira/berharap ; keteguhan/kesetiaan/kepatuhan : tahan, sabar, sabar yang berkelanjutan (proses menunggu)). Penderitaan yang menghasilkan ketekunan juga diajarkan oleh Yakobus di dalam Yakobus 1:3, “...ujian terhadap imanmu itu menghasilkan ketekunan.” Di sini, Yakobus melihat penderitaan sebagai ujian terhadap iman orang percaya. Apa artinya ketekunan sebagai hasil dari penderitaan/kesengsaraan ? Bukankah justru orang-orang dunia di dalam penderitaan seringkali mengeluh dan ingin segera mengakhirinya dengan berbagai cara, misalnya bunuh diri ? Di sini, ada pengharapan bagi orang-orang percaya (anak-anak Allah). Anak-anak Allah memang harus menghadapi penderitaan, ancaman, fitnahan, dll (Matius 16:24 ; Yohanes 16:1-2), tetapi kita percaya di dalam Allah yang setia yang akan memberikan kekuatan kepada kita sehingga kita mampu menang di dalam setiap penderitaan/kesengsaraan. Apa artinya kemenangan di dalam penderitaan ? Apakah ini berarti kita meniadakan realita penderitaan ? TIDAK ! Justru, kemenangan ini adalah kemenangan yang tahan/sabar dan tekun melihat Allah sebagai Sumber Kebenaran. Hal ini juga diungkapkan oleh Matthew Henry di dalam tafsirannya Matthew Henry’s Commentary on the Whole Bible, “Tribulation worketh patience, not in and of itself, but the powerful grace of God working in and with the tribulation… patience, as parts and gifts increase by exercise.” (=penderitaan/penganiayaan menghasilkan ketekunan/ketabahan, bukan di dalam atau dari penderitaan itu sendiri, tetapi dari anugerah Allah yang berkuasa yang bekerja di dalam dan dengan penderitaan itu... ketekunan/ketabahan/kesabaran, sebagai bagian dan karunia ditingkatkan melalui latihan.) Di sini, kita mendapatkan pengajaran yang bagus dari Matthew Henry, yaitu anugerah Allah bukan hanya kelihatan positif, tetapi juga mungkin kelihatan negatif tetapi bermotivasi dan bertujuan positif. Apa wujud anugerah Allah yang seolah-olah kelihatan negatif ? Yaitu memakai penderitaan untuk melatih ketekunan/keteguhan umat pilihan-Nya. Iman yang tidak diuji adalah iman yang tidak ada artinya, karena iman justru nampak ketika iman itu bukan berharap kepada sesuatu yang kelihatan ketika menghadapi penderitaan, tetapi berharap dan berserah total kepada sesuatu yang tidak kelihatan, yaitu Tuhan. Sama seperti Abraham yang diuji oleh Allah dengan mengorbankan Ishak, dan ia tetap taat karena ia beriman di dalam Allah yang setia, maka kita pun harus meneladani iman Abraham untuk berani berkorban dan siap menghadapi ujian Allah dalam bentuk penderitaan, dll, karena kita percaya di dalam Allah yang setia akan janji-Nya. Oleh karena itu, kita harus sabar/tabah di dalam menghadapi penganiayaan. Artinya, kita tidak boleh gegabah, marah-marah, bersungut-sungut, dll, sebaliknya kita sabar dan terus menunggu dan berharap pada janji Allah.

Lalu, Paulus melanjutkan pengajarannya, “dan ketekunan menimbulkan tahan uji dan tahan uji menimbulkan pengharapan.” (ayat 4). King James Version (KJV) menerjemahkan, “And patience, experience; and experience, hope:” Kata “tahan uji” di dalam KJV adalah experience, yang dalam bahasa Yunani dokimē berarti test (abstractly or concretely); by implication trustiness: - experience (-riment), proof, trial (=ujian {secara abstrak atau konkrit} ; secara implikasi :dapat dipercaya, pengalaman, pembuktian/sanggup/tahan, percobaan). Dengan kata lain, setelah penderitaan menghasilkan ketekunan, maka ketekunan menghasilkan tahan uji/pengalaman. Apa artinya ? Artinya, ketekunan/ketabahan kita di dalam penderitaan membuktikan bahwa kita bukan orang “Kristen” murahan yang asal-asalan menjadi Kristen atau menjadi Kristen dengan motivasi yang tidak beres. Dengan baik sekali, Albert Barnes di dalam tafsirannya Albert Barnes’ Notes on the Bible memaparkan, “that thorough examination by which we ascertain the quality or nature of a thing, as when we test a metal by fire, or in any other way, to ascertain that it is genuine. It also means approbations, or the result of such a trial; the being approved, and accepted as the effect of a trying process.” Albert Barnes memaparkan bahwa penderitaan yang menghasilkan ketekunan membuahkan adanya proses tahan uji. Seperti yang telah saya paparkan di atas, iman yang tak diuji adalah iman yang palsu/sia-sia, maka ketika menghadapi ujian dari Allah, kita harus bersukacita, tetap teguh, setia, dll, karena itu semua membuktikan bahwa kita adalah orang-orang Kristen sejati. Orang Kristen yang tidak menderita bukan orang Kristen yang imannya beres. Justru, orang Kristen yang beriman beres pasti akan mengalami banyak penderitaan/kesengsaraan, entah itu fitnahan, hujatan, dll, karena ia memiliki iman yang teguh dan tak tergoyahkan. Sedangkan, orang “Kristen” yang beriman tidak beres, mudah berkompromi adalah sahabat bagi dunia, tetapi musuh Allah. Justru, kalau kita yang beriman beres dan mengalami penganiayaan/kesengsaraan, itu mengakibatkan pada kesempatan lain di dalam penderitaan, kita juga mampu menghadapinya. Jadi, tahan uji berarti siap menghadapi segala penderitaan/resiko lain karena ia telah berhasil mengalahkan satu masalah/penderitaan, seperti emas yang terus dibakar oleh api tidak membuat emas itu melebur, justru membuat emas itu menjadi makin teruji kesejatian/keasliannya. Hal ini juga diajarkan oleh Yakobus di dalam Yakobus 1:4, “Dan biarkanlah ketekunan itu memperoleh buah yang matang, supaya kamu menjadi sempurna dan utuh dan tak kekurangan suatu apapun.” “Tahan uji” di dalam pengajaran Paulus identik dengan kata “buah yang matang” (terjemahan KJV : perfect work = karya/kerja yang lengkap/sempurna) di dalam pengajaran Yakobus. Dengan kata lain, tahan uji di dalam pengertian kedua adalah tahan uji yang berkaitan dengan proses pemurnian menuju kesempurnaan. Theologia Reformed mengajarkan paradoksikal di dalam keKristenan, yaitu kita sudah diselamatkan di dalam karya penebusan Kristus, tetapi sekaligus belum diselamatkan, karena keselamatan sempurna hanya di dalam Surga. Oleh karena itu, kita di dalam dunia sedang mengalami proses pemurnian (pengudusan) terus-menerus (tanpa henti) menuju kesempurnaan, sehingga kita nantinya akan menyerupai gambar Kakak Sulung kita yaitu Tuhan Yesus Kristus. Di dalam proses pemurnian, Allah tidak meniadakan realita penganiayaan, tetapi Ia justru memakai penderitaan/kesengsaraan untuk menguji dan memurnikan iman kita sehingga kita semakin lama semakin bertumbuh di dalam kedewasaan iman. Iman yang teruji adalah bukti kedewasaan iman. Sedangkan orang “Kristen” yang selalu bersungut-sungut di dalam penderitaan sama sekali tidak membuktikan orang “Kristen” tersebut adalah orang yang sudah dewasa imannya, melainkan membuktikan orang yang imannya masih kanak-kanak (childish faith). Di dalam hal ini, kita dapat belajar dari pengalaman Pdt. Dr. Stephen Tong tentang pengalaman penderitaan. Beliau sejak umur 3 tahun sudah ditinggal oleh ayahnya dan hidupnya dibiayai oleh ibunya. Pada usia belasan tahun, beliau harus mengajar filsafat sambil belajar. Mungkin orang-orang “Kristen” kontemporer yang pro dengan “theologia” kemakmuran akan memandang hidup yang menderita ini adalah kutukan dari Tuhan. Ini adalah ajaran yang sama sekali tidak bertanggungjawab. Tetapi kita melihat justru di dalam hidup yang menderita mengakibatkan orang-orang ini menjadi orang yang kuat, tegar, setia, taat, jujur, dll, sehingga ketika ia harus melalui penderitaan yang berat di kemudian hari, ia tetap kuat dan sanggup melewatinya. Hal inilah yang terus diteladankan dari hamba-Nya yang setia, Pdt. Dr. Stephen Tong. Dari keluarga yang miskin, Pdt. Dr. Stephen Tong lahir, tetapi jika Anda melihat semangat pelayanan Pdt. Dr. Stephen Tong yang teguh, tanpa kompromi, dll, Anda akan terkagum-kagum. Mengapa bisa seperti ini ? Karena beliau dari kecil sudah dilatih menerima segala bentuk penderitaan. Mungkin kita yang sudah hidup di dalam zaman yang begitu enak, kita tak memiliki pengalaman seperti Pdt. Dr. Stephen Tong, tetapi setiap kita sebagai anak-anak Tuhan mau tidak mau harus mengalami penderitaan dan biarlah penderitaan/resiko tersebut menjadi alat Tuhan untuk menguji dan mendewasakan iman kita makin serupa dengan Kristus.
Dan, prinsip ketiga, tahan uji tersebut menimbulkan pengharapan. Kata “pengharapan” dalam bahasa Yunani elpis bisa berarti expectation, confidence : faith, hope (=pengharapan, keyakinan : iman, pengharapan). Beberapa tafsiran Alkitab yang saya baca, bagian ini membicarakan hasil dari penderitaan yaitu pengharapan atau iman yang teguh. Dengan kata lain, penderitaan yang telah membuat seseorang tahan uji/siap menghadapi penderitaan dalam wujud lain mengakibatkan orang tersebut semakin berharap bukan kepada manusia, tetapi kepada Allah. Di dalam penderitaan, Allah kita adalah Allah yang setia yang memberikan kekuatan kepada kita. Dan ingatlah, “Pencobaan-pencobaan yang kamu alami ialah pencobaan-pencobaan biasa, yang tidak melebihi kekuatan manusia. Sebab Allah setia dan karena itu Ia tidak akan membiarkan kamu dicobai melampaui kekuatanmu. Pada waktu kamu dicobai Ia akan memberikan kepadamu jalan ke luar, sehingga kamu dapat menanggungnya.” (1 Korintus 10:13).

Mengapa kita memiliki pengharapan seperti itu ? Jawabannya ada di dalam ayat 5, “Dan pengharapan tidak mengecewakan, karena kasih Allah telah dicurahkan di dalam hati kita oleh Roh Kudus yang telah dikaruniakan kepada kita.” Kita bisa memiliki pengharapan kepada Allah di dalam penderitaan, karena ada dua alasan yang dipaparkan Paulus : pertama, kasih Allah. Penganiayaan, fitnahan, kesengsaraan, dan segala bentuknya bukan wujud kebencian Allah atau kutukan Allah, seperti yang diajarkan oleh banyak gereja “Kristen” kontemporer yang pro dengan “theologia” kemakmuran ! Segala bentuk penderitaan justru membuktikan Allah itu mengasihi umat-Nya sehingga Ia ingin mendewasakan imannya. Jemaat mula-mula adalah saksi matanya. Mereka sungguh-sungguh beriman di dalam Kristus, sehingga untuk itu, mereka harus menderita menjadi santapan bagi singa yang lapar, dibakar hidup-hidup, dll. Bapa-bapa gereja yang agung juga mengalami hal yang sama. Dr. Martin Luther, seorang reformator gereja juga mengalami penderitaan yaitu dibuang dari gereja Katolik karena dianggap membangkang, padahal ia ingin menegakkan iman Kristen sejati di atas dasar Alkitab. Bahkan kaum Puritan (Calvinis) di suatu negara yang mayoritas Katolik harus mengungsi ke negara lain karena mereka dikucilkan dan dibuang. Semua gereja/orang Kristen yang sungguh-sungguh mengajar Firman dan Kebenaran pasti dibuang dan diasingkan dari dunia ini, karena sejujurnya, “tidak dapat lagi menerima ajaran sehat, tetapi mereka akan mengumpulkan guru-guru menurut kehendaknya untuk memuaskan keinginan telinganya. Mereka akan memalingkan telinganya dari kebenaran dan membukanya bagi dongeng.” (2 Timotius 4:3-4). Siapakah orang-orang tidak dapat lagi menerima ajaran sehat tersebut ? Paulus menjelaskannya di dalam suratnya yang lain di dalam 2 Korintus 4:4, “orang-orang yang tidak percaya, yang pikirannya telah dibutakan oleh ilah zaman ini, sehingga mereka tidak melihat cahaya Injil tentang kemuliaan Kristus, yang adalah gambaran Allah.” Kasih Allah lah yang memungkinkan para duta/utusan Kebenaran ini mampu dan sanggup menghadapi berbagai macam penganiayaan fisik maupun mental.
Kedua, penghiburan dan pimpinan Roh Kudus. Selain kasih dan pemeliharaan Allah, kita dapat sanggup menghadapi berbagai penderitaan, karena ada penghiburan dan pimpinan Roh Kudus. Roh Kudus bukan membuat orang menjadi tidak sadarkan diri, itu bukan ajaran Alkitab ! Roh Kudus membuat orang yang dipimpin-Nya sadar, taat, patuh bukan kepada diri-Nya, tetapi kepada perintah Kristus. Di dalam Kisah Para Rasul 16:9, Roh Kudus mencerahkan Paulus melalui sebuah mimpi agar ia memberitakan Injil ke daerah Makedonia. Tetapi uniknya, di daerah ini, tepatnya di kota Filipi, dr. Lukas mencatat bahwa Paulus dan Silas difitnah dan dipenjarakan (Kisah 16:19-34). Kalau kita melihat sekilas, maka kita mungkin bertanya, masa mungkin Roh Kudus memimpin hamba-Nya mengalami penderitaan ? Mungkin itu juga yang dicetuskan oleh para penganut “theologia” kemakmuran. Tetapi di sini, Alkitab sendiri memberitakan bahwa Roh Kudus memimpin umat/hamba-Nya mengalami penderitaan. Lalu, apa tujuannya ? Meskipun seolah-olah kelihatan negatif, tetapi Allah menunjukkan bahwa tujuannya adalah baik. Kalau kita kembali kepada kisah tadi, meskipun Paulus dan Silas dipenjara, tetapi Paulus dapat memberitakan Injil kepada kepala penjara tersebut setelah terjadi gempa bumi yang hebat membuka semua pintu penjara tetapi semua narapidana tersebut tidak melarikan diri (Kisah Para Rasul 16:26-33). Kalau kita melihat pimpinan Tuhan hanya selalu positif, maka kita tidak dapat memahami pimpinan-Nya dan kehendak-Nya. Belajarlah untuk mengalami dan mengenali kehendak dan pimpinan-Nya melalui Roh Kudus. Lalu, percayalah bahwa pimpinan-Nya selalu baik bagi kita menurut kehendak-Nya meskipun seolah-olah pimpinan Roh Kudus selalu kelihatan negatif.

Setelah kita merenungkan ketiga ayat ini, maukah kita saat ini hidup sungguh-sungguh beriman di dalam Kristus meskipun harus menanggung aniaya yang seolah-olah membuat kita menderita ? Maukah di dalam penderitaan tersebut kita semakin berharap kepada janji-janji dan kehendak Allah yang ingin mendewasakan iman kita ? Bertobatlah dan kembali kepada ajaran Alkitab yang bertanggungjawab. Amin. Soli Deo Gloria...