23 January 2008

Roma 5:3-5 : PENDERITAAN YANG BERHARGA-1

Seri Eksposisi Surat Roma :
Hasil Pembenaran Melalui Iman-2


Penderitaan yang Berharga-1

oleh : Denny Teguh Sutandio


Nats : Roma 5:3-5.

Setelah Paulus menjelaskan bahwa efek/akibat dari pembenaran itu yaitu damai sejahtera (Roma 5:1-2), maka ia melanjutkan hasil dari pembenaran yang kedua yaitu kesengsaraan (Roma 5:3-5). Ini mengingatkan kita bahwa setelah kita dibenarkan melalui iman, kita tetap harus menderita aniaya oleh karena nama-Nya (Matius 16:24).

Pada pasal 5 ayat 3, Paulus mengatakan, “Dan bukan hanya itu saja. Kita malah bermegah juga dalam kesengsaraan kita, karena kita tahu, bahwa kesengsaraan itu menimbulkan ketekunan,” Di ayat ini, kata “Dan bukan hanya itu saja.” menunjukkan bahwa selain menerima damai sejahtera dari Allah, kita yang sudah dibenarkan melalui iman juga menerima hal yang lain, yaitu penderitaan/kesengsaraan. Kalau kita melihat kembali konteks penulisan surat Roma, di mana jemaat-jemaat Kristen menerima penganiayaan dari kekaisaran Romawi yaitu barangsiapa yang berani menyebut Tuhan kepada pribadi selain Kaisar harus dihukum mati. Dalam konteks inilah, Paulus menghibur jemaat Roma agar mereka juga bermegah di dalam kesengsaraan selain menerima damai sejahtera dari/dengan Allah setelah dibenarkan melalui iman. Kata “kesengsaraan” dalam bahasa Yunani thlipsis berarti pressure (=tekanan) atau bisa berarti persecution, tribulation, trouble, etc (=penganiayaan, penderitaan, masalah, dll). Lalu, kata “bermegah” dalam bahasa Yunani kauchaomai bisa berarti rejoice (=bersukacita). Ini adalah suatu paradoks yang diajarkan Paulus. Banyak pemimpin gereja saat ini menipu jemaatnya yang lagi menderita dengan mengatakan bahwa kalau mereka “percaya”, semua penderitaan pasti sirna/hilang. Tidak seperti para pemimpin gereja palsu tersebut, Paulus menghibur jemaat Roma bukan dengan meniadakan realita, tetapi memaparkan realita dari perspektif kedaulatan Allah. Apakah itu ? Paulus mengajar bahwa di dalam penderitaan, jemaat Roma harus bersukacita. Apa yang Paulus ajarkan sama seperti yang Kristus ajarkan di dalam khotbah di bukit, “Berbahagialah orang yang dianiaya oleh sebab kebenaran, karena merekalah yang empunya Kerajaan Sorga.” (Matius 5:10) Kata “berbahagialah” dalam bahasa asli (Yunani)nya lebih tepat diterjemahkan blessed (=diberkatilah) atau fortunate (=keberuntungan). Ketika menghadapi penderitaan, orang dunia seringkali kalah di dalamnya atau bahkan bersungut-sungut, tetapi keKristenan mengajarkan bahwa justru di dalam penderitaan, kita harus bersukacita/berbahagia, mengapa ? Dari ajaran Kristus sendiri, penderitaan itu dilakukan asalkan demi Kebenaran/memberitakan Kebenaran, maka penderitaan itu baru dikatakan berbahagia/diberkati/beruntung. Hal ini sudah dibuktikan oleh para rasul sendiri (Kisah 5:41) dan diajarkan oleh Petrus (1 Petrus 4:13). Kedua, di dalam penderitaan, kita harus bersukacita, karena berdasarkan ajaran Paulus (Roma 5:3), penderitaan/kesengsaraan itu menimbulkan ketekunan (prinsip pertama). Kata “ketekunan” dalam bahasa Yunani hupomonē berarti cheerful (or hopeful) endurance, constancy: - enduring, patience, patient continuance (waiting) (=kesabaran/ketahanan yang gembira/berharap ; keteguhan/kesetiaan/kepatuhan : tahan, sabar, sabar yang berkelanjutan (proses menunggu)). Penderitaan yang menghasilkan ketekunan juga diajarkan oleh Yakobus di dalam Yakobus 1:3, “...ujian terhadap imanmu itu menghasilkan ketekunan.” Di sini, Yakobus melihat penderitaan sebagai ujian terhadap iman orang percaya. Apa artinya ketekunan sebagai hasil dari penderitaan/kesengsaraan ? Bukankah justru orang-orang dunia di dalam penderitaan seringkali mengeluh dan ingin segera mengakhirinya dengan berbagai cara, misalnya bunuh diri ? Di sini, ada pengharapan bagi orang-orang percaya (anak-anak Allah). Anak-anak Allah memang harus menghadapi penderitaan, ancaman, fitnahan, dll (Matius 16:24 ; Yohanes 16:1-2), tetapi kita percaya di dalam Allah yang setia yang akan memberikan kekuatan kepada kita sehingga kita mampu menang di dalam setiap penderitaan/kesengsaraan. Apa artinya kemenangan di dalam penderitaan ? Apakah ini berarti kita meniadakan realita penderitaan ? TIDAK ! Justru, kemenangan ini adalah kemenangan yang tahan/sabar dan tekun melihat Allah sebagai Sumber Kebenaran. Hal ini juga diungkapkan oleh Matthew Henry di dalam tafsirannya Matthew Henry’s Commentary on the Whole Bible, “Tribulation worketh patience, not in and of itself, but the powerful grace of God working in and with the tribulation… patience, as parts and gifts increase by exercise.” (=penderitaan/penganiayaan menghasilkan ketekunan/ketabahan, bukan di dalam atau dari penderitaan itu sendiri, tetapi dari anugerah Allah yang berkuasa yang bekerja di dalam dan dengan penderitaan itu... ketekunan/ketabahan/kesabaran, sebagai bagian dan karunia ditingkatkan melalui latihan.) Di sini, kita mendapatkan pengajaran yang bagus dari Matthew Henry, yaitu anugerah Allah bukan hanya kelihatan positif, tetapi juga mungkin kelihatan negatif tetapi bermotivasi dan bertujuan positif. Apa wujud anugerah Allah yang seolah-olah kelihatan negatif ? Yaitu memakai penderitaan untuk melatih ketekunan/keteguhan umat pilihan-Nya. Iman yang tidak diuji adalah iman yang tidak ada artinya, karena iman justru nampak ketika iman itu bukan berharap kepada sesuatu yang kelihatan ketika menghadapi penderitaan, tetapi berharap dan berserah total kepada sesuatu yang tidak kelihatan, yaitu Tuhan. Sama seperti Abraham yang diuji oleh Allah dengan mengorbankan Ishak, dan ia tetap taat karena ia beriman di dalam Allah yang setia, maka kita pun harus meneladani iman Abraham untuk berani berkorban dan siap menghadapi ujian Allah dalam bentuk penderitaan, dll, karena kita percaya di dalam Allah yang setia akan janji-Nya. Oleh karena itu, kita harus sabar/tabah di dalam menghadapi penganiayaan. Artinya, kita tidak boleh gegabah, marah-marah, bersungut-sungut, dll, sebaliknya kita sabar dan terus menunggu dan berharap pada janji Allah.

Lalu, Paulus melanjutkan pengajarannya, “dan ketekunan menimbulkan tahan uji dan tahan uji menimbulkan pengharapan.” (ayat 4). King James Version (KJV) menerjemahkan, “And patience, experience; and experience, hope:” Kata “tahan uji” di dalam KJV adalah experience, yang dalam bahasa Yunani dokimē berarti test (abstractly or concretely); by implication trustiness: - experience (-riment), proof, trial (=ujian {secara abstrak atau konkrit} ; secara implikasi :dapat dipercaya, pengalaman, pembuktian/sanggup/tahan, percobaan). Dengan kata lain, setelah penderitaan menghasilkan ketekunan, maka ketekunan menghasilkan tahan uji/pengalaman. Apa artinya ? Artinya, ketekunan/ketabahan kita di dalam penderitaan membuktikan bahwa kita bukan orang “Kristen” murahan yang asal-asalan menjadi Kristen atau menjadi Kristen dengan motivasi yang tidak beres. Dengan baik sekali, Albert Barnes di dalam tafsirannya Albert Barnes’ Notes on the Bible memaparkan, “that thorough examination by which we ascertain the quality or nature of a thing, as when we test a metal by fire, or in any other way, to ascertain that it is genuine. It also means approbations, or the result of such a trial; the being approved, and accepted as the effect of a trying process.” Albert Barnes memaparkan bahwa penderitaan yang menghasilkan ketekunan membuahkan adanya proses tahan uji. Seperti yang telah saya paparkan di atas, iman yang tak diuji adalah iman yang palsu/sia-sia, maka ketika menghadapi ujian dari Allah, kita harus bersukacita, tetap teguh, setia, dll, karena itu semua membuktikan bahwa kita adalah orang-orang Kristen sejati. Orang Kristen yang tidak menderita bukan orang Kristen yang imannya beres. Justru, orang Kristen yang beriman beres pasti akan mengalami banyak penderitaan/kesengsaraan, entah itu fitnahan, hujatan, dll, karena ia memiliki iman yang teguh dan tak tergoyahkan. Sedangkan, orang “Kristen” yang beriman tidak beres, mudah berkompromi adalah sahabat bagi dunia, tetapi musuh Allah. Justru, kalau kita yang beriman beres dan mengalami penganiayaan/kesengsaraan, itu mengakibatkan pada kesempatan lain di dalam penderitaan, kita juga mampu menghadapinya. Jadi, tahan uji berarti siap menghadapi segala penderitaan/resiko lain karena ia telah berhasil mengalahkan satu masalah/penderitaan, seperti emas yang terus dibakar oleh api tidak membuat emas itu melebur, justru membuat emas itu menjadi makin teruji kesejatian/keasliannya. Hal ini juga diajarkan oleh Yakobus di dalam Yakobus 1:4, “Dan biarkanlah ketekunan itu memperoleh buah yang matang, supaya kamu menjadi sempurna dan utuh dan tak kekurangan suatu apapun.” “Tahan uji” di dalam pengajaran Paulus identik dengan kata “buah yang matang” (terjemahan KJV : perfect work = karya/kerja yang lengkap/sempurna) di dalam pengajaran Yakobus. Dengan kata lain, tahan uji di dalam pengertian kedua adalah tahan uji yang berkaitan dengan proses pemurnian menuju kesempurnaan. Theologia Reformed mengajarkan paradoksikal di dalam keKristenan, yaitu kita sudah diselamatkan di dalam karya penebusan Kristus, tetapi sekaligus belum diselamatkan, karena keselamatan sempurna hanya di dalam Surga. Oleh karena itu, kita di dalam dunia sedang mengalami proses pemurnian (pengudusan) terus-menerus (tanpa henti) menuju kesempurnaan, sehingga kita nantinya akan menyerupai gambar Kakak Sulung kita yaitu Tuhan Yesus Kristus. Di dalam proses pemurnian, Allah tidak meniadakan realita penganiayaan, tetapi Ia justru memakai penderitaan/kesengsaraan untuk menguji dan memurnikan iman kita sehingga kita semakin lama semakin bertumbuh di dalam kedewasaan iman. Iman yang teruji adalah bukti kedewasaan iman. Sedangkan orang “Kristen” yang selalu bersungut-sungut di dalam penderitaan sama sekali tidak membuktikan orang “Kristen” tersebut adalah orang yang sudah dewasa imannya, melainkan membuktikan orang yang imannya masih kanak-kanak (childish faith). Di dalam hal ini, kita dapat belajar dari pengalaman Pdt. Dr. Stephen Tong tentang pengalaman penderitaan. Beliau sejak umur 3 tahun sudah ditinggal oleh ayahnya dan hidupnya dibiayai oleh ibunya. Pada usia belasan tahun, beliau harus mengajar filsafat sambil belajar. Mungkin orang-orang “Kristen” kontemporer yang pro dengan “theologia” kemakmuran akan memandang hidup yang menderita ini adalah kutukan dari Tuhan. Ini adalah ajaran yang sama sekali tidak bertanggungjawab. Tetapi kita melihat justru di dalam hidup yang menderita mengakibatkan orang-orang ini menjadi orang yang kuat, tegar, setia, taat, jujur, dll, sehingga ketika ia harus melalui penderitaan yang berat di kemudian hari, ia tetap kuat dan sanggup melewatinya. Hal inilah yang terus diteladankan dari hamba-Nya yang setia, Pdt. Dr. Stephen Tong. Dari keluarga yang miskin, Pdt. Dr. Stephen Tong lahir, tetapi jika Anda melihat semangat pelayanan Pdt. Dr. Stephen Tong yang teguh, tanpa kompromi, dll, Anda akan terkagum-kagum. Mengapa bisa seperti ini ? Karena beliau dari kecil sudah dilatih menerima segala bentuk penderitaan. Mungkin kita yang sudah hidup di dalam zaman yang begitu enak, kita tak memiliki pengalaman seperti Pdt. Dr. Stephen Tong, tetapi setiap kita sebagai anak-anak Tuhan mau tidak mau harus mengalami penderitaan dan biarlah penderitaan/resiko tersebut menjadi alat Tuhan untuk menguji dan mendewasakan iman kita makin serupa dengan Kristus.
Dan, prinsip ketiga, tahan uji tersebut menimbulkan pengharapan. Kata “pengharapan” dalam bahasa Yunani elpis bisa berarti expectation, confidence : faith, hope (=pengharapan, keyakinan : iman, pengharapan). Beberapa tafsiran Alkitab yang saya baca, bagian ini membicarakan hasil dari penderitaan yaitu pengharapan atau iman yang teguh. Dengan kata lain, penderitaan yang telah membuat seseorang tahan uji/siap menghadapi penderitaan dalam wujud lain mengakibatkan orang tersebut semakin berharap bukan kepada manusia, tetapi kepada Allah. Di dalam penderitaan, Allah kita adalah Allah yang setia yang memberikan kekuatan kepada kita. Dan ingatlah, “Pencobaan-pencobaan yang kamu alami ialah pencobaan-pencobaan biasa, yang tidak melebihi kekuatan manusia. Sebab Allah setia dan karena itu Ia tidak akan membiarkan kamu dicobai melampaui kekuatanmu. Pada waktu kamu dicobai Ia akan memberikan kepadamu jalan ke luar, sehingga kamu dapat menanggungnya.” (1 Korintus 10:13).

Mengapa kita memiliki pengharapan seperti itu ? Jawabannya ada di dalam ayat 5, “Dan pengharapan tidak mengecewakan, karena kasih Allah telah dicurahkan di dalam hati kita oleh Roh Kudus yang telah dikaruniakan kepada kita.” Kita bisa memiliki pengharapan kepada Allah di dalam penderitaan, karena ada dua alasan yang dipaparkan Paulus : pertama, kasih Allah. Penganiayaan, fitnahan, kesengsaraan, dan segala bentuknya bukan wujud kebencian Allah atau kutukan Allah, seperti yang diajarkan oleh banyak gereja “Kristen” kontemporer yang pro dengan “theologia” kemakmuran ! Segala bentuk penderitaan justru membuktikan Allah itu mengasihi umat-Nya sehingga Ia ingin mendewasakan imannya. Jemaat mula-mula adalah saksi matanya. Mereka sungguh-sungguh beriman di dalam Kristus, sehingga untuk itu, mereka harus menderita menjadi santapan bagi singa yang lapar, dibakar hidup-hidup, dll. Bapa-bapa gereja yang agung juga mengalami hal yang sama. Dr. Martin Luther, seorang reformator gereja juga mengalami penderitaan yaitu dibuang dari gereja Katolik karena dianggap membangkang, padahal ia ingin menegakkan iman Kristen sejati di atas dasar Alkitab. Bahkan kaum Puritan (Calvinis) di suatu negara yang mayoritas Katolik harus mengungsi ke negara lain karena mereka dikucilkan dan dibuang. Semua gereja/orang Kristen yang sungguh-sungguh mengajar Firman dan Kebenaran pasti dibuang dan diasingkan dari dunia ini, karena sejujurnya, “tidak dapat lagi menerima ajaran sehat, tetapi mereka akan mengumpulkan guru-guru menurut kehendaknya untuk memuaskan keinginan telinganya. Mereka akan memalingkan telinganya dari kebenaran dan membukanya bagi dongeng.” (2 Timotius 4:3-4). Siapakah orang-orang tidak dapat lagi menerima ajaran sehat tersebut ? Paulus menjelaskannya di dalam suratnya yang lain di dalam 2 Korintus 4:4, “orang-orang yang tidak percaya, yang pikirannya telah dibutakan oleh ilah zaman ini, sehingga mereka tidak melihat cahaya Injil tentang kemuliaan Kristus, yang adalah gambaran Allah.” Kasih Allah lah yang memungkinkan para duta/utusan Kebenaran ini mampu dan sanggup menghadapi berbagai macam penganiayaan fisik maupun mental.
Kedua, penghiburan dan pimpinan Roh Kudus. Selain kasih dan pemeliharaan Allah, kita dapat sanggup menghadapi berbagai penderitaan, karena ada penghiburan dan pimpinan Roh Kudus. Roh Kudus bukan membuat orang menjadi tidak sadarkan diri, itu bukan ajaran Alkitab ! Roh Kudus membuat orang yang dipimpin-Nya sadar, taat, patuh bukan kepada diri-Nya, tetapi kepada perintah Kristus. Di dalam Kisah Para Rasul 16:9, Roh Kudus mencerahkan Paulus melalui sebuah mimpi agar ia memberitakan Injil ke daerah Makedonia. Tetapi uniknya, di daerah ini, tepatnya di kota Filipi, dr. Lukas mencatat bahwa Paulus dan Silas difitnah dan dipenjarakan (Kisah 16:19-34). Kalau kita melihat sekilas, maka kita mungkin bertanya, masa mungkin Roh Kudus memimpin hamba-Nya mengalami penderitaan ? Mungkin itu juga yang dicetuskan oleh para penganut “theologia” kemakmuran. Tetapi di sini, Alkitab sendiri memberitakan bahwa Roh Kudus memimpin umat/hamba-Nya mengalami penderitaan. Lalu, apa tujuannya ? Meskipun seolah-olah kelihatan negatif, tetapi Allah menunjukkan bahwa tujuannya adalah baik. Kalau kita kembali kepada kisah tadi, meskipun Paulus dan Silas dipenjara, tetapi Paulus dapat memberitakan Injil kepada kepala penjara tersebut setelah terjadi gempa bumi yang hebat membuka semua pintu penjara tetapi semua narapidana tersebut tidak melarikan diri (Kisah Para Rasul 16:26-33). Kalau kita melihat pimpinan Tuhan hanya selalu positif, maka kita tidak dapat memahami pimpinan-Nya dan kehendak-Nya. Belajarlah untuk mengalami dan mengenali kehendak dan pimpinan-Nya melalui Roh Kudus. Lalu, percayalah bahwa pimpinan-Nya selalu baik bagi kita menurut kehendak-Nya meskipun seolah-olah pimpinan Roh Kudus selalu kelihatan negatif.

Setelah kita merenungkan ketiga ayat ini, maukah kita saat ini hidup sungguh-sungguh beriman di dalam Kristus meskipun harus menanggung aniaya yang seolah-olah membuat kita menderita ? Maukah di dalam penderitaan tersebut kita semakin berharap kepada janji-janji dan kehendak Allah yang ingin mendewasakan iman kita ? Bertobatlah dan kembali kepada ajaran Alkitab yang bertanggungjawab. Amin. Soli Deo Gloria...

No comments: