17 November 2007

Iman Kristen dan Musik-2

Iman Kristen dan Musik (2)

Di bagian pertama kita sudah membahas bahwa tidak mungkin untuk membiarkan suatu ilmu independen dari penilaian Firman Tuhan. Alkitab mengajarkan kepada kita untuk menguji segala sesuatu dan memegang yang baik (I Tes 5:21). Tidak menguji adalah suatu bentuk ketidak-taatan terhadap ayat ini. Sayangnya, kita sekarang berada dalam suatu kondisi dunia yang mendiscourage segala pengujian. Orang yang berusaha untuk menguji dikatakan berpikiran sempit, tidak memiliki spirit toleransi, tidak mempunyai kasih, bahkan suka menghakimi. Dunia lebih suka berada dalam suatu keadaan di mana segala sesuatu sebisa mungkin dianggap netral, dengan demikian persoalan salah – benar, kudus – tidak kudus, baik – buruk, tidak akan menyusahkan manusia lagi.

Kita berada dalam perubahan budaya modern dan pasca-modern sekaligus. Mythos yang keliru dari orang-orang modern adalah percaya satu-satunya kebenaran tunggal yang harus diterima secara seragam dengan menolak semua perbedaan yang ada. Sementara dalam kebudayaan pasca-modern ada kecenderungan untuk mengakomodasi semua perbedaan yang ada, budaya merayakan keaneka-ragaman, termasuk juga siapa pun berhak membicarakan segala sesuatu, karena manusia tidak percaya lagi adanya suatu jawaban otoritatif yang dianggap mengulang kesalahan modern totaliterism atau bahkan kesalahan gereja pada jaman abad pertengahan (yang dipersoalkan oleh Luther). Sejarah biasa bergerak dari suatu pendulum dari satu arah ke arah yang lain. Sebagai orang percaya, kita perlu kembali kepada apa yang dikatakan oleh Alkitab, instead mengikuti begitu saja semangat jaman tanpa melakukan suatu refleksi kritis terhadapnya.

Alkitab menyatakan kebenaran memang tunggal (dalam pengertian ada kesatuan/unity, sifat koherensi di dalamnya). Kebenaran selalu bersifat integratif dan tidak mungkin fragmented. Sekaligus kata integrasi atau unity sebenarnya menyatakan adanya aspek pluralitas/diversitas di dalamnya. Allah Tritunggal adalah Allah yang esa, sekaligus dalam tiga Pribadi. Demikian juga metafor banyak anggota satu tubuh, dan juga banyak karunia satu Roh menyatakan hal yang sama. Di dalam kultur modern selalu ada ketakutan terhadap perbedaan, perbedaan selalu dianggap sebagai ancapan terhadap kesatuan (unity), di mana unity cenderung dimengerti sebagai uniformity (maksudnya tidak boleh ada perbedaan). Sementara dalam pasca-modern kecenderungannya sekali lagi adalah merayakan diversitas, namun diversitas ini akhirnya menimbulkan division atau fragmentasi karena kita tahu memang tidak mungkin untuk mengakomodasi semua pluralitas, menyambut semua keaneka-ragaman dalam hidup sama dengan tindakan memecah-belah diri alias memeluk suatu kehidupan yang fragmented (baca: tidak memiliki integrasi).

Dalam jaman seperti ini, pemahaman tentang karunia-karunia rohani yang berbeda-beda, dan juga penggalian talenta yang berbeda-beda (bukan hanya jenis tapi juga takarannya), merupakan hal urgent yang harus digumulkan oleh setiap orang percaya. Dengan runtuhnya paradigma modern totaliterism, absolut otoriterism, sekarang orang berada dalam keadaan confusion, karena sekarang seolah setiap orang berhak bicara apa saja, setiap orang boleh menjadi guru, setiap orang boleh mengajar yang lain, sementara ia sendiri mungkin tidak jelas pimpinan Tuhan secara khusus di dalam dirinya. Dalam jaman seperti ini kita cenderung kehilangan pengertian akan keunikan diri sendiri, di mana Tuhan menempatkan saya dalam Kerajaan Allah. Orang yang memiliki talenta A mencoba untuk mengerjakan talenta H, orang yang memiliki takaran 1 talenta mencoba mengerjakan porsi 5 talenta, sementara yang memiliki 5 talenta begitu “rendah hati” dengan mencukupkan diri puas dengan hasil 1 talenta. Orang yang tidak memiliki karunia X memaksakan diri untuk tampil sebagai orang yang berkarunia X, sementara yang sungguh-sungguh dipercayakan Tuhan dengan karunia X tidak puas dengan hal itu dan mencoba untuk mengambil karunia A.

Yang jelas, banyak orang tidak sabar (I’m certainly one of them!) dengan masa pembentukan padang gurun selama 40 tahun yang merupakan periode sangat penting dalam kehidupan Musa. Sejujurnya kita lebih suka mengajar orang lain daripada diajar, memimpin orang lain daripada dipimpin, menasihati orang lain daripada dinasihati, mengubah orang lain daripada sendiri terlebih dahulu diubahkan oleh Tuhan. Humility is a very rare jewel in our age, isn’t it? Kita ingin apa yang kita katakan berdampak begitu besar dan semua orang mendengarkan kita dengan terangguk-angguk, tapi kita sendiri tidak suka mendengarkan orang lain. Orang yang tidak dipanggil menjadi ekonom berbicara banyak tentang ekonomi, mereka yang tidak mempelajari seni membicarakan segala sesuatu tentang seni, yang bukan fisikawan mengajar kelas tinjauan iman Kristen terhadap fisika, dan yang paling kacau: tidak mengerti teologi berani bicara di atas mimbar! Everybody can teach everything. This is a very sad condition.

Saya pribadi merindukan suatu kebangunan rohani yang menyentuh salah satu aspeknya: kebangunan pelayanan kaum awam, di mana setiap anggota tubuh Kristus menyadari keunikan panggilannya masing-masing, mengenal karunia tertentu yang pasti Tuhan percayakan dalam hidupnya, seumur hidup menjalankan talenta tertentu dengan takaran tertentu yang Tuhan percayakan dalam dirinya. Saya tidak perlu menjadi gelisah apalagi iri dan marah-marah jika di dalam Kerajaan Allah saya mendapati orang lain jauh lebih menguasai ekonomi daripada saya, karena itu mungkin adalah panggilan Tuhan di dalam dirinya dan bukan panggilan saya, biarkan dia mengajar bidang yang dia gumuli bersama dengan Tuhan lalu menjadi berkat bagi keKristenan. Mengapa saya harus memaksakan diri menjadi guru dalam semua bidang? We should follow the biblical story, the story of the gospel, rather than Superman story, to shape our life. We are created, we have our limitation. Mengapa tidak menggunakan waktu sebaik-baiknya untuk mengerjakan hal-hal yang sungguh Tuhan percayakan di dalam hidup kita masing-masing dengan mempertahankan keluasan pandangan Kerajaan Allah (supaya kita tidak menganggap beban kita yang paling penting daripada semua yang lain), sehingga ada kekuatan yang saling melengkapi satu sama lain? Kelebihan orang lain mencukupkan kekurangan saya, sementara kelebihan saya mencukupkan kekurangan orang lain sehingga terjadi keseimbangan seperti dikatakan oleh Paulus. Mari kita belajar saling mengasihi satu sama lain dengan terus mempertahankan kerendahan hati untuk semakin mengenal kebenaran Allah dan sesuai dengan janjiNya, jika ada sesuatu yang berlainan di antara kita, maka Tuhan juga yang akan menyatakannya. Sola gratia, Soli Deo Gloria!

I'd like to thank God for the beautiful weather today ... despite the theo- and eco- logical confusion in our time ... May God bless you abundantly today and give you all a reason to smile, because God loves you :)


Tu excitas, ut laudare te delectet, quia fecisti nos ad te et inquietum est cor nostrum, donec requiescat in te (Augustinus).